-
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
ITB
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 711
Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Konteks
Pembangunan Berkelanjutan (Studi Kasus: Pertambangan Pasir Besi di
Kabupaten Tasikmalaya)
Yunie Nurhayati R. (1), Suhirman
(1) Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah
Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK),
ITB.
(2)
(2) Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan
Kebijakan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan
Kebijakan (SAPPK), ITB.
Abstrak
Pemikiran terhadap aspek keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber
daya alam pada dasarnya muncul karena adanya kesadaran terhadap
dampak lingkungan yang merugikan manusia. Banyak literatur yang
berusaha untuk menemukan definisi terbaik yang jika
dioperasionalisasikan ke dalam konsep kebijakan akan mengarah pada
manfaat (outcome) yang diharapkan (Rydin, 2003). Sebagai sebuah
konsep, pembangunan berkelanjutan mendapat baik kritikan maupun
dukungan (Wood, 1993). Perkembangan isu dan konsep pembangunan
berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara global juga
telah mempengaruhi kelembagaan pengelolaan SDA di Indonesia,
terutama setelah era demokratisasi yang terjadi dalam kurun waktu
Tahun 1998 2008. Dalam konteks nasional, terjadi transisi
kelembagaan di sektor pertambangan secara fundamental semenjak era
otonomi daerah. Hal ini dicirikan dengan digantikannya UU No.11
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan yang bersifat
sentralistik dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara yang bersifat desentralistik serta mengadopsi
paradigma baru dalam pengelolaan pertambangan. Berdasarkan UU No.4
Tahun 2009, daerah kabupaten memiliki peran dan kewenangan yang
besar untuk mengelola pertambangan di daerah otonomnya. Di sisi
lain, pemerintah kabupaten memiliki keterbatasan kapasitas SDM dan
pengalaman dalam mengelola pertambangan. Hal ini telah menimbulkan
berbagai persoalan seperti tumpang tindih kepentingan sektoral,
tumpang tindih izin pertambangan, kerusakan lingkungan, praktik
pertambangan ilegal dan konflik sosial di masyarakat. Adanya
kekosongan hukum pada peraturan di tingkat di tingkat yang lebih
teknis mengakibatkan lemahnya kerangka aturan formal dalam
mempengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat daerah. Oleh
karena itu, dinamika kelembagaan dalam proses pengambilan keputusan
secara utama dipengaruhi oleh jejaring dan wacana aktor yang
terbentuk dari pola relasi dan sistem nilai yang melekat pada
aktor. Jejaring aktor ini sebagian besar adalah jejaring informal
yang terbentuk di dalam konteks kerangka aturan informal dan
bersifat dinamis dan cair dan sebagian besar didasari oleh
kepentingan ekonomi. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang
dikeluarkan dalam pertambangan pasir besi sebagian besar mendukung
kepentingan ekonomi, baik pengusaha, masyarakat lokal, maupun
perekonomian daerah.
Kata-kunci: dinamika kelembagaan, aturan, jejaring aktor,
pengelolaan pertambangan
PENDAHULUAN
Pemikiran terhadap aspek keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber
daya alam pada dasarnya muncul karena adanya kesadaran terhadap
dampak lingkungan yang merugikan, dipicu oleh tragedi Teluk
Minamata yang terjadi di Jepang Tahun 1950. Menurut Redclift
(1999), ketika istilah keberlanjutan digunakan dalam relasinya
dengan masyarakat, hal ini seringkali
-
Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan
Berkelanjutan
712 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3
menyiratkan pergeseran paradigma dimana masyarakat perlu
mempertimbangkan segala sesuatu dalam kaitannya dengan alam.
Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mendapat baik
kritikan maupun dukungan (Wood, 1993).
Perkembangan isu dan konsep pembangunan berkelanjutan dalam
pemanfaatan sumber daya alam secara global juga telah mempengaruhi
kelembagaan pengelolaan SDA di Indonesia, terutama setelah era
demokratisasi yang terjadi dalam kurun waktu Tahun 1998 2008.
Perkembangan yang lebih progresif dapat dilihat dengan adanya
Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Salah satu kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang memiliki
dampak langsung terhadap lingkungan adalah kegiatan pertambangan,
terutama yang dilakukan di kawasan pesisir (Dahuri dkk, 2004).
Aktivitas penambangan dan industri tersebut, menurut Dahuri, akan
menimbulkan gangguan fisik, kimiawi, dan biologi terhadap ekosistem
wilayah pesisir. Selain itu, Ruchyat (2009) menyebutkan bahwa salah
satu karakterisik pengelolaan sumberdaya alam yang kompleks dan
berpotensi konflik adalah pengelolaan kawasan Pesisir. Salah satu
daerah di pesisir Indonesia yang mengalami konflik pengelolaan
pertambangan adalah Kabupaten Tasikmalaya, yaitu konflik dalam
praktik pertambangan pasir besi. Praktik pertambangan pasir besi di
Kabupaten Tasikmalaya dimulai sejak Tahun 2004 dimana pengelolaan
sudah dilakukan oleh pemerintah daerah.
Ostrom (1990) menilai bahwa salah satu faktor utama yang
mempengaruhi kelembagaan pengelolaan sumber daya alam adalah
kerangka aturan, baik formal maupun informal yang bekerja di dalam
suatu praktik pengelolaan sumber daya alam. Dalam konteks nasional,
terjadi transisi kelembagaan di sector pertambangan secara
fundamental semenjak era otonomi daerah. Hal ini dicirikan dengan
digantikannya UU No.11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan
yang bersifat
sentralistik dengan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral Batubara yang bersifat desentralistik serta mengadopsi
paradigma baru dalam aspek investasi dan mekanisme perdagangan
internasional. Dengan adanya mandat baru UU No.4 Tahun 2009, daerah
kabupaten memiliki peran dan kewenangan yang besar untuk mengelola
pertambangan di daerah otonomnya. Di sisi lain, pemerintah
kabupaten memiliki keterbatasan kapasitas SDM dan pengalaman dalam
mengelola pertambangan yang sebelumnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat.
Otoritas dan tanggung jawab yang besar bagi pemerintah daerah
kabupaten yang tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas
kelembagaan telah menimbulkan berbagai persoalan seperti tumpang
tindih kepentingan sektoral, tumpang tindih izin pertambangan,
kerusakan lingkungan, praktik pertambangan ilegal dan konflik
sosial di masyarakat. Meskipun konsep pembangunan berkelanjutan
telah diadposi ke dalam berbagai peraturan dari tingkat pusat
hingga tingkat daerah, termasuk di sektor pertambangan, praktik
pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya masih menunjukkan
berbagai dampak lingkungan, terutama di kawasan sempadan pantai dan
lahan-lahan bekas pertambangan.
Dinamika kelembagaan dari tingkat pusat mempengaruhi dinamika
kelembagaan di tingkat daerah dan semakin kompleks dengan adanya
konflik kepentingan hingga tingkat lokal. Dinamika kelembagaan ini
tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan dan gagasan antar
aktor untuk mengarahkan keputusan (Bots, 2008). Oleh karena itu,
studi mengenai dinamika kelembagaan dalam konteks pembangunan
berkelanjutan penting untuk merumuskan kebijakan pengelolaan
pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya agar lebih
berkelanjutan. Fokus dinamika kelembagaan dalam tulisan ini mengacu
pada kerangka kelembagaan Ostrom (1990), yaitu arena aturan formal
dan informal yang mempengaruhi aturan operasional pertambangan
pasir besi. Selain itu, dilakukan pula analisis jejaring aktor
untuk melihat bagaimana aturan formal dan informal
-
Yunie Nurhayati R.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 713
bekerja dalam suatu struktur hubungan aktor yang terlibat di
dalam praktik pertambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya.
METODOLOGI
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif
karena bertujuan untuk mengetahui suatu situasi atau kejadian
secara mendalam (Babbie, 2007). Berdasarkan teknik penelitian,
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif sebagai pendekatan utama. Penelitian ini
menggunakan desain studi kasus tunggal holistik karena menggunakan
satu unit analisis dan sekaligus menyatu dalam kasusnya, yaitu
dinamika kelembagaan pertambangan pasir besi di kawasan pesisir
selatan Tasikmalaya.
Terdapat 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya yang
memiliki aktivitas pertambangan pasir besi, yaitu Kecamatan
Cikalong, Cipatujah, dan Karangnunggal. Namun aktivias pertambangan
pasir besi di Karangnunggal sudah menurun drastis dan hampir
berhenti. Oleh karena itu, studi ini hanya mengambil kasus studi di
Kecamatan Cikalong dan Cipatujah yang masih aktif melakukan
kegiatan pertambangan pasir besi.
Persebaran potensi pasir besi tidak merata di seluruh wilayah di
kedua kecamatan ini, hanya 3 (tiga) desa dari masing-masing
kecamatan yang memiliki aktivitas pertambangan pasir besi. Dari
ketiga desa di kedua kecamatan ini, penulis memilih desa yang
paling sering muncul di media, yaitu Desa Cikawungading di
Kecamatan Cipatujah dan Desa Mandalajaya di Kecamatan Cikalong.
Richardson (2002) menjelaskan bahwa bahasa, dan bagaimana ia
direproduksi di tempat yang berbeda, adalah sangat penting dalam
membentuk peristiwa-peristiwa di dunia, dan bahasa tertentu dapat
memperkuat struktur kekuasaan. Dengan demikian, banyaknya actor
yang mengacu pada kedua desa ini di media publik mencerminkan
kompleksitas kepentingan, argumen, dan gagasan yang terjadi di
kedua wilayah tersebut. Oleh karena itu, analisis dinamika
kelembagaan pertambangan pasir besi di tingkat lokal dilakukan di
kedua desa tersebut.
Analisis Kerangka Aturan
Analisis kerangka aturan dibagi menjadi analisis kerangka aturan
formal dan informal. Analisis kerangka aturan formal bersumber dari
peraturan perundangan hingga peraturan daerah yang secara legal
mengatur pengelolaan pertambangan pasir besi dalam aspek ekonomi,
lingkungan, maupun sosial serta berbagai peraturan lainnya yang
sesuai dengan konteks studi ini seperti peraturan tata ruang,
kawasan pesisir, dan kebencanaan. Analisis terhadap berbagai aturan
ini dilakukan dengan standar analisis isi dan analisis deskriptif
kualitatif pada umumnya, yaitu berupa penelaahan bacaan,
interpretasi, dan penarikan kesimpulan. Penyajian dilakukan melalui
gambar/skema dan diagram alir untuk mempermudah pemahaman isi
secara visual. Proses yang sama dilakukan dalam analisis kerangka
informal, namun data dan informasi bersumber dari naskah wawancara
dan aturan yang berlaku di luar kebijakan formal.
Analisis Jejaring Aktor
Analisis jejaring aktor yang dilakukan dalam studi ini mengikuti
kaidah analisis kualitatif, yaitu analisis isi pada umumnya, yaitu
klasifikasi, interpretasi, kodifikasi, lalu kesimpulan. Klasifikasi
dilakukan berdasarkan indikator dan parameter yang telah dirumuskan
pada bagian tinjauan literatur. Kodifikasi dilakukan sebelum proses
penarikan kesimpulan, yaitu berupa pengelompokkan interpretasi
berdasarkan aspek-aspek utama yang mengandung kesamaan makna dari
naskah wawancara aktor kunci. Hal ini dilakukan untuk
memsntrukturkan jawaban dan mengklasifikasinnya menjadi aspek-aspek
yang lebih rinci untuk menjelaskan pencapaian parameter dan
indikator. Selanjutnya kesimpulan disajikan dalam bentuk tabel yang
lebih ringkas yang menjelaskan pencapaian setiap paramater dan
indikator dari sasaran analisis jejaring aktor. Pada akhirnya,
jejaring aktor digambarkan dalam bentuk skema hubungan aktor secara
visual untuk menjelaskan pola dan struktur hubungan antar aktor
secara keseluruhan.
-
Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan
Berkelanjutan
714 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3
KERANGKA KERJA TEORITIS: PENDEKATAN KELEMBAGAAN DALAM
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Kebanyakan analisis terbaru mengenai CPR dalam kaiannya dengan
tindakan kolektif, fokus pada satu tingkat analisis, yang disebut
dengan analisis tingkat operasional (Kiser dan Ostrom 1982).
Tindakan individu dalam situasi operasional secara langsung
mempengaruhi dunia fisik. Analisis pada level perubahan kelembagaan
jauh lebih sulit daripada analisis pada level keputusan operasional
dalam menetapkan suatu aturan yang ditetapkan. Aturan-aturan yang
mempengaruhi pilihan operasional dibuat dalam satu set aturan
pilihan kolektif yang aturan pilihan kolektif tersebut juga dibuat
dalam seperangkat aturan pilihan konstitusi. Aturan pilihan
konstitusional untuk pengaturan mikro dipengaruhi oleh
aturan-pilihan kolektif dan pilihan-insitutional bagi yurisdiksi
yang lebih besar.
Lembaga dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan (working
rules) yang digunakan untuk menentukan siapa yang berhak untuk
membuat keputusan dalam beberapa arena, tindakan apa yang diikuti
atau dibatasi, aturan agregasi apa yang akan digunakan, prosedur
apa yang harus diikuti, informasi apa yang harus atau tidak harus
diberikan, dan
hadiah apa yang akan diberikan kepada individu tergantung pada
tindakan mereka (Ostrom 1986a). Aturan ini harus benar-benar
digunakan, dipantau, dan ditegakkan ketika individu membuat pilihan
tentang tindakan yang akan diambil (Commons, 1957). Aturan (working
rules) adalah pengetahuan umum dan dipantau dan ditegakkan (E.
Ostrom, 1990). Aturan ini mungkin atau tidak mungkin sangat mirip
dengan hukum formal yang disajikan dalam peraturan
perundang-undangan, peraturan administratif, dan keputusan
pengadilan.
Hubungan antara arena dan aturan jarang melibatkan arena tunggal
yang hanya berhubungan dengan satu set aturan. Paling sering,
beberapa arena kolektif pilihan mempengaruhi seperangkat aturan
operasional yang benar-benar digunakan oleh appropriators untuk
membuat pilihan tentang pengambilan unit sumberdaya dan strategi
investasi dalam CPR. Keputusan yang dibuat di level legislatif
nasional dan perundang-undangan berkenaan dengan akses terhadap
sumber daya, ketika diberi legitimasi dalam pengaturan lokal dan
diimplementasikan, cenderung mempengaruhi aturan operasional yang
digunakan di lapangan. Demikian pula, proses konstitusional pilihan
formal dan informal dapat terjadi di arena lokal, regional,
dan/atau nasional.
-
Yunie Nurhayati R.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 715
KONFIRMASI EMPIRIK: KERANGKA ATURAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN
PASIR BESI DI KABUPATEN TASIKMALAYA
Analisis kerangka aturan pengelolaan pertambangan pasir besi
meliputi analisis kerangka aturan formal, informal, dan jejaring
aktor dalam arena pengambilan keputusan terkait pertambangan pasir
besi di Kabupaten Tasikmalaya.
Kerangka Aturan Formal
Pergeseran sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi
desentralisasi telah mempengaruhi kerangka formal kelembagaan
pertambangan di Indonesia. Sebelum era desentralisasi, induk aturan
pertambangan mengacu pada Undang-undang No.11 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Pertambangan. Undang-undang ini bersifat sentralistik
karena perizinan dan pengelolaan pertambangan berada dalam
sepenuhnya dalam kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini
Menteri. UU 11/1967 belum mengakomodasi peran pemerintah daerah
tingkat II atau kabupaten sehingga dinilai sudah tidak sesuai lagi
dengan sistem desentralisasi saat ini berlaku.
Undang-Undang No.4 Tahun 2009 merupakan induk regulasi di sektor
pertambangan mineral dan batubara yang saat ini berlaku. UU ini
diantaranya diturunkan ke dalam PP No. 23
Tahun 2010 dan PP No. 23 Tahun 2010. Kedua peraturan pemerintah
tersebut mengatur 2 (dua) hal yang sangat mempengaruhi dinamika
pertambangan pasir besi di tingkat daerah, yaitu peningkatan nilai
tambah dan penetapan Wilayah Pertambangan (WP). Aturan mengenai
peningkatan nilai tambah yang sudah diturunkan ke dalam Peraturan
Menteri ESDM No. 7 dan No.11 Tahun 2012 bertujuan untuk mendorong
terciptanya industri pengolahan dan pemenuhan kebutuhan industri
dalam negeri sebelum melakukan ekspor.
Terdapat beberapa regulasi penting yang belum dietapkan
(ditandai dengan kotak berwarna abu-abu). Hal ini menimbulkan
persoalan di daerah dan pada tingkat operasional di lapangan.
Aturan penting di sektor pertambangan yang menentukan izin
pertambangan pasir besi adalah Peraturan Menteri ESDM tentang
penetapan WP. Berdasarkan UU No.4 Tahun 2009 dan PP No.22 Tahun
2010, izin pertambangan harus mengacu pada Wilayah Pertambangan.
Karena Permen ini belum ditetapkan sejak Tahun 2009, maka UU No.4
Tahun 2009 pun belum dapat diimplementasikan sementara aturan lama
(UU No. 11 Tahun 1967) telah dihapuskan secara otomatis sejak UU
No.4 Tahun 2009 ditetapkan. Hal ini menimbulkan terjadinya
kekosongan hukum (lack of law) di sektor pertambangan.
-
Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan
Berkelanjutan
716 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3
Gambar 3 Kerangka Aturan Formal Pengelolaan Pertambangan di
Tingkat Pusat dan Daerah (Sumber : UU No.4 Tahun 2009; PP No. 22
Tahun 2010; Permen ESDM No.7 dan No.11 Tahun 2012; dan hasil
analisis, 2013)
Dengan demikian, kebijakan di tingkat daerah menjadi
satu-satunya yang menentukan mekanisme dalam pertambangan pasir
besi. Konflik kepentingan terjadi karena proses pembuatan kebijakan
di tingkat daerah dapat dengan mudah diakses oleh kelompok
kepentingan dalam pertambangan pasir besi. Berbagai aktor dengan
kepentingan berbeda dapat melakukan tindakan untuk mempengaruhi
proses-proses pembuatan keputusan, baik secara formal maupun
informal. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kepentingan dan aturan
yang relatif tidak stabil karena faktor dorongan dan penekanan
berbagai kelompok kepentingan dan tidak ada acuan dari aturan yang
lebih tinggi.
Kerangka Aturan Informal
Setelah UU No.11 Tahun 1967 secara resmi tidak diberlakukan lagi
dan UU No.4 tahun 2009 masih menunggu aturan teknis untuk dapat
diimplementasikan di daerah, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya
menerapkan mekanisme alternatif dalam penerbitan IUP, termasuk
untuk pasir besi karena banyaknya permohonan IUP dari pengusaha.
Pada periode pemerintahan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten
Tasikmalaya memberikan kebijakan yang mudah dalam penerbitan IUP
pasir besi sehingga saat ini masih banyak IUP yang masih
berlaku.
Alternatif penerbitan IUP memuat mekanisme informal di tingkat
lokal, yaitu adanya rekomendasi pemerintah di tingkat desa dan
kecamatan serta persetujuan pemilik lahan dan masyarakat sekitar
yang diperoleh melalui sosialisasi di tingkat lokal. Dengan adanya
pelembagaan mekanisme informal ke dalam mekanisme formal,
masyarakat memiliki kontrol yang lebih besar dalam penggunaan
sumberdaya yang dapat memperngaruhi kehidupannya. Jika kita lihat
diagram yang dikembangkan oleh Ostrom (1990) pada Gambar 2, ada dua
hal yang akan mempengaruhi aturan yang bekerja dalam penggunaan
sumberdaya alam atau yang Ostrom sebut dengan istilah operational
rules in use, yaitu mekanisme formal dari kebijakan pemerintah di
tingkat pusat hingga daeerah dan mekanisme informal di tingkat
komunitas dan dunia usaha serta kelompok kepentingan lain. Ketika
mekanisme formal tidak bekerja, maka mekanisme informal menjadi
faktor yang sangat menentukan aturan tersebut.
-
Yunie Nurhayati R.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 717
Gambar 4 Kerangka Aturan Eksisting Pengelolaan Pertambangan di
Tingkat Pusat dan Daerah (Sumber: Hasil Analisis, 2013)
Dalam kasus ini, mekanisme informal terjadi di tingkat lembaga
lokal dan komunitas, yaitu dengan adanya proses sosialisasi kepada
masyarakat sekitar daerah penambangan dan perizinan di tingkat
institusi lokal (Desa dan Kecamatan). Dalam kasus ini juga,
mekanisme informal tersebut difasilitasi dan dilembagakan ke dalam
mekansime formal sehingga keduanya tidak terpisahkan. Jika dilihat
dalam Gambar 5.3, koordinasi lintas sektoral dilakukan dalam tahap
perizinan melalui rekomendasi dari seluruh SKPD. Hal ini ditujukan
untuk menghindari tumpang tindih kepentingan pada saat izin
dikeluarkan karena persoalan penggunaan ruang, terutama di kawasan
pesisir akan beririsan dengan berbagai kepentingan.
Jejaring Aktor dalam Praktik Pertambangan Pasir Besi di
Kabupaten Tasikmalaya Terdapat 2 (dua) mekanisme hubungan dalam
jejaring aktor dalam praktik pertambangan pasir besi di Kabupaten
Tasikmalaya, yaitu hubungan formal dan/atau prosedural; dan
hubungan informal. Hubungan formal dan/atau prosedural terjadi
ketika terdapat aturan yang jelas dan transparan dalam
berinteraksi, baik melalui mekanisme regulasi formal, hubungan
struktural, maupun regulasi di tingkat lokal atau di dalam
internal lembaga itu sendiri. Hubungan formal dan/atau struktural
terjadi di dalam konteks kelembagaan formal. Dalam kasus ini,
hubungan formal terjadi antar lembaga di dalam lingkungan birokrasi
pemerintahan daerah, antara pemerintah dengan dunia usaha dan
masyarakat yang mekanismenya diatur di dalam suatu peraturan
formal, antara institusi lokal (kecamatan dan desa) dengan
masyarakat dalam konteks kewenangan formalnya, serta antara dunia
usaha dengan masyarakat dalam konteks aturan formal. Hubungan
seperti ini dapat dengan mudah diidentifikasi, baik melalui
wawancara maupun kajian dokumen legal karena prosedurnya sudah
jelas dan transparan. Hubungan formal ini memiliki keterbatasan
dalam memfasilitasi dan menyelesaikan isu dan permasalahan dalam
situasi chaos atau berkonflik karena sifatnya yang rigid dan
prosedural. Situasi yang terjadi dalam kasus pertambangan pasir
besi merupakan situasi yang kompleks, berbagai kelompok aktor
melakukan tindakan untuk memaksa dan mempengaruhi aktor lain agar
sejalan dengan kepentingannya. Situasi seperti ini akan menimbulkan
berbagai hubungan informal. Hubungan informal ini dapat berupa
proses negosiasi, koalisi, kompromi, ataupun
-
Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan
Berkelanjutan
718 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3
penekanan terbuka seperti protes dan demonstrasi. Berbagai
bentuk hubungan tersebut dilakukan aktor untuk mengartikulasikan
masalah serta membuat pihak lain sadar terhadap masalah tersebut,
termasuk dengan adanya peran media dalam pembentukan opini.
Munculnya kelompok
kepentingan di luar konteks kelembagaan formal seperti Ormas,
LSM, dan media difasilitasi oleh lingkungan rezim demokrasi membuat
situasi semakin cair dan dinamis.
Hubungan informal yang terjadi dalam praktik pertambangan pasir
besi di Kabupaten Tasikmalaya, sebagian besar didorong oleh
kepentingan ekonomi. Dalam hal ini dunia usaha menjadi aktor yang
memiliki power besar untuk mempengaruhi sikap aktor lain. Namun,
tidak semua aktor bergerak atas nilai ekonomi, beberapa aktor yang
meskipun tidak dominan, bergerak karena nilai-nilai lingkungan,
seperti WALHI dan Kantor Lingkungan Hidup.
Kepentingan sosial dalam jejaring aktor ini terbagi juga ke
dalam dimensi ekonomi dan lingkungan, dimana masyarakat yang
memiliki akses terhadap sumberdaya ekonomi berkompetisi dengan
masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap sumberdaya
ekonomi
namun merasakan eksternalitas negatif pertambangan pasir
besi.
Pembangunan Berkelanjutan dalam Kerangka Normatif Pertambangan
Pasir Besi
Kerangka normatif pertambangan mengandung 3 (tiga) dimensi
utama, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. UU No.4 Tahun 2009
memuat dimensi sosial dan ekonomi sekaligus. Dimensi sosial ini
terutama terlihat dari aspek pemberdayaan masyarakat dan
ketenagakerjaan. UU No.4 Tahun 2009 yang diturunkan ke dalam
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 memuat kewajiban pengusaha
untuk melakukan pemberdayaan masyarakat lokal melalui kegiatan
CSR-nya. Namun, dimensi sosial ini belum mencapai rasionalitas
komunikatif yang dikemukakan Rydin (2003) karena rasionalitas
komunikatif sudah berbicara mengenai kontrol masyarakatsebagai
salah satu pihak yang berkepentinganterhadap lingkungan yang
mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan masyarakat masih berupa
balas jasa atau kompensasi atas eksternalitas negatif yang
ditimbulkan akiba kegiatan pertambangan bagi masyarakat, belum
memuat kontrol masyarakat terhadap lingkungan tersebut.
-
Yunie Nurhayati R.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 719
Gambar 6 Pembangunan Berkelanjutan dalam Kerangka Normatif
Pertambangan Pasir Besi (Sumber : Hasil Sintesis dan Analisis,
2013)
Rasionalitas komunikatif ini sudah terlembagakan ke dalam
mekanisme formal, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.17
Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses
Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan. Regulasi ini
mengatur peran aktif masyarakat dalam penilaian terhadap Amdal dan
izin lingkungan yang diajukan oleh pengusaha. Perwakilan masyarakat
bersama-sama dengan instansi berkepentingan, ahli, dan organisasi
lingkungan tergabung dalam Tim Penilai Amdal untuk menilai
kelayakan Amdal yang dibuat oleh pengusaha. Hal ini menunjukkan
adanya akses dan kontrol berbagai pemangku kepentingan untuk
menentukan keputusan terhadap lingkungan.
Dalam aspek lingkungan, induk kerangka normatif adalah UU No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang menyatakan bahwa lingkungan hidup sebagai prinsip dalam setiap
pembangunan ekonomi. Dalam sektor pertambangan, aspek lingkungan
termuat dalam konsep Good Mining Practice yang sudah diadopsi ke
dalam Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan
Pasca tambang. Selain itu, konsep Good Mining
Practice juga diadopsi ke dalam kebijakan sektoral di bidang
pertambangan di tingkat kabupaten, yaitu Rencana Strategis Dinas
Pertambangan dan Energi Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011 -2015
sejalan dengan Rencana Strategis kantor Lingkungan Hidup Kabupaten
Tasikmalaya Tahun 2011 -2015.
Kerangka normatif yang memuat dimensi ekonomi dalam sektor
pertambangan adalah UU No.4 Tahun 2009 yang diturunkan ke dalam
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 selanjutnya dijelaskan lebih
rinci dalam Peraturan Menteri ESDM No 7 dan No.11 Tahun 2012
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Regulasi ini mengandung upaya
untuk menumbuhkan ekonomi melalaui penciptaan industri pengolahan
dan pemurnian mineral. Pertumbuhan ekonomi dapat diperoleh melalui
peningkatan investasi di sektor industri pengolahan tersebut,
peningakatan nilai tambah material (mineral pasir besi),
peningkatan pendapatan daerah dan nasional melalui pajak dan
royalti, serta keseimbangan neraca perdagangan. Hal ini diatur
dalam Peraturan Menteri ESDM No. 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan
Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam
Negeri.
-
Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan
Berkelanjutan
720 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3
Gambar 7 Proses Pengambilan Keputusan Pertambangan Pasir Besi di
Kabupaten Tasikmalaya (Sumber: Hasil Analisis, 2013)
Rasionalitas ekonomi juga bekerja di tingkat lokal, yaitu dengan
mendorong tumbuhnya sektor UMKM dan jasa oleh masyarakat lokal
untuk mendukung kegiatan pertambangan. Selain itu, penyerapan
tenaga kerja lokal dan pemasukan royalti unuk APBDes memberikan
manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal, diantaranya perbaikan sarana
dan prasarana lingkungan. Di tingkat lokal hal ini dilembagakan
melalui peraturan dan kesepakatan di tingkat desa, yaitu antara
Pemerintah Desa dengan Pengusaha sebagai salah satu prasyarat
mendapatkan rekomendasi dan persetujuan di tingkat desa. Dalam
tataran ini, rasionalitas ekonomi sudah berkolaborasi dengan
rasionalitas komunikatif karena masyarakat dilibakan dalam
pengambllan keputusan terhadap lingkungannya. Kolaborasi ini,
menurut Rydin (2003) disebut rasionalitas kemakmuran masyarakat
dalam pembangunan berkelanjutan.
Baik rasionalitas ekonomi maupun rasionalitas lingkungan di
sektor pertambangan sudah terlembaga ke dalam kebijakan formal,
kolaborasi keduanya termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009 dalam bentuk
instrumen ekonomi lingkungan hidup. Instrumen ini terdiri dari 3
(tiga) jenis, yaitu perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
pendanaan lingkungan hidup; dan insentif dan/atau disinsentif.
KESIMPULAN
Dinamika kelembagaan dalam proses pengambilan keputusan
dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu kerangka aturan,
jejaring aktor, dan wacan aktor. Adanya kekosongan hukum (lack
of law) pada peraturan di tingkat di tingkat yang lebih teknis
mengakibatkan lemahnya kerangka aturan formal dalam mempengaruhi
proses pengambilan keputusan di tingkat daerah. Oleh karena itu,
proses pengambilan keputusan secara utama dipengaruhi oleh jejaring
dan wacana aktor yang terbentuk dari pola relasi dan sistem nilai
yang melekat pada aktor-aktor tersebut. Jejaring aktor yang
mempengaruhi proses pengambilan keputusan sebagian besar adalah
jejaring informal yang terbentuk di dalam konteks kerangka aturan
informal. Jejaring ini bersifat dinamis dan cair karena terbentuk
atas dasar kepentingan dan preferensi aktor.
Jejaring informal dari aktor-aktor dalam praktik pertambangan
pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya sebagian besar didasari oleh
kepentingan ekonomi. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang
dikeluarkan dalam pertambangan pasir besi sebagian besar mendukung
kepentingan ekonomi, baik pengusaha, perekonomian masyarakat,
maupun perekonomian daerah. Meskipun demikian, aspek lingkungan dan
sosial tetap dipertimbangkan. Hal ini dapat dilihat, salah satunya
dalam kebijakan moratorium penghentian sementara kegiatan
pertambangan pasir besi dimana kepentingan ekonomi masih menjadi
pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan dipengaruhi oleh
jejaring aktor informal, terutama oleh pengusaha dan pemerintah
dengan sentralitas yang paling besar.
-
Yunie Nurhayati R.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 721
PEMBELAJARAN
Beberapa temuan, terutama yang berkaitan dengan teori yang
digunakan sebagai kerangka kerja dalam studi ini adalah sebagai
berikut.
a). Wacana Formal dan Wacana Informal dalam Kelembagaan
Pertambangan Pasir Besi di Kabupaten Tasikmalaya
Secara formal, wacana pembangunan berkelanjutan, baik dari
dimensi lingkungan, ekonomi,maupun sosial dan rasionalitas dari
ketiganya sudah termuat dan terlembagakan dalam peraturan-peraturan
yang ada. Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara memuat dimensi ekonomi dan sosial meskipun
dimensi ekonomi masih menjadi kerangka utamanya dan dimensi sosial
sebagai bentuk kompensasi bagi masyarakat lokal atas eksternalitas
negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan. Dimensi
lingkungan pun sudah terlembagakan, induknya di dalam Undang-Undang
No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang menjadi acuan bagi perencanaan setiap kegiatan
pembangunan ekonomi, termasuk juga sektor pertambangan.
Undang-undang ini juga memuat kolaborasi rasionalitas lingkungan
dan ekonomi melalui instrumen ekonomi lingkungan hidup meskipun
belum dapat dilaksanakan karena belum diturunkan ke dalam peraturan
yang lebih teknis.
Secara kebijakan/kelembagaan formal, wacana pertambangan
berwawasan lingkungan lebih dominan, namun secara informal atau
praktik, pertambangan pasir besi sangat dipengaruhi oleh wacana
pertambangan untuk menambah kekayaan. Hal ini terjadi karena
koalisi aktor-aktor dalam wacana ini dibentuk atas dasar
kepentingan dan preferensi individu aktor yang sifatnya temporer,
cair, dan dinamis.
b). Pilihan Rasional dan Arena Pilihan Kolektif dalam Sistem
Terbuka
Arena pilihan kolektif dalam kasus ini tidak dapat diasumsikan
bahwa setiap individu di dalam komunitas memiliki pengaruh dan
kesempatan yang sama untuk mengambil tindakan dengan pilihan
rasional (asumsi tragedy of the common). Hal ini juga tidak
sesederhana prisoners dilemma game yang dikembangkan Hardin, Dawes
(1973, 1975), dan Ostrom (1990) dimana persoalan daya dukung dan
resiko degradasi lingkungan dapat diselesaikan dengan kecukupan
informasi diantara individu atau yang disebut dengan istilah
herder. Baik tragedy of the common maupun prisoners dilemma
mengasumsikan bahwa arena pilihan kolektif berada pada suatu sistem
tertutup dimana setiap individu herder di dalamnya lah yang
menentukan pilihan, mengambil tindakan, berbagi resiko, dan
merasakan dampak dari tindakan tersebut. Penulis menemukan bahwa
dalam kasus ini sistem sumberdaya ini bersifat terbuka dan
terhubung dengan sistem yang luas dimana individu atau aktor herder
dari luar sistem memiliki pilihan untuk bertindak. Resiko dari
tindakan tersebut secara langsung dapat dirasakan oleh aktor di
dalam sistem namun pihak herder yang melakukan tindakan tidak
selalu akan menerima dampak dari tindakan tersebut karena bisa jadi
mereka bukan bagian dari sistem tersebut. Sebagian besar pihak
herder bertindak atas dasar pilihan rasional, namun komunitas di
dalam sistem sumberdaya yang akan merasakan dampak paling besar
sekalipun kedua pihak sama-sama bertindak atas dasar pilihan
rasional.
c). Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya dan Relasi Kuasa
Pendekatan kelembagaan yang dikembangkan Ostrom (1990) untuk
pengelolaan Common Pool Resources tidak sepenuhnya dapat diterapkan
dalam kasus ini karena sebagian besar pertambangan pasir besi
dilakukan dalam lahan milik masyarakat (private goods). Konsep
barang privat ini memberikan kuasa yang lebih besar kepada pemilik
sumberdaya, dalam hal ini lahan, untuk menentukan keputusan dan
tindakan. Hal ini menjadi semakin kompleks dalam kasus dimana lahan
tersebut dimiliki oleh masyarakat di luar komunitas yang terkena
eksternalitas negatif secara langsung. Dalam hal ini, masyarakat
lokal memiliki kontrol yang rendah dalam menentukan keputusan
terhadap
-
Dinamika Kelembagaan Pengelolaan SDA Dalam Konteks Pembangunan
Berkelanjutan
722 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3
lingkungan. Meskipun ada ketentuan secara konstusional dalam UUD
194 Pasal 33 ayat 3 bahwa semua kekayaan alam dikuasai oleh negara,
namun pada praktiknya skema penguasaan oleh negara ini harus
berkompetisi dengan penguasaan oleh bisnis (rasionalias ekonomi
korporat) atau yang Rydin (2003) sebut dengan slogan money
talks.
Ostrom (1990) menilai bahwa arena pilihan kolektif dan
operasional sangat dipengaruhi oleh arena pilihan konstitusional,
namun dalam kasus ini pengaruh dari arena pilihan konstitusional
tersebut tidak signifikan. Hal ini disebabkan arena pilihan atau
aturan konstitusional terkait pertambangan pasir besi masih belum
ditetapkan dan diterjemahkan ke dalam pengaturan yang lebih rinci
untuk diimplementasikan di tingkat daerah sehingga aturan kolektif
dan operasional dipengaruhi oleh power. Arena pilihan kolektif
maupun pilihan operasional dalam kasus ini sangat dipengaruhi oleh
power yang melekat pada penguasaan terhadap sumberdaya. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Foucault bahwa power ada
dalam setiap relasi dan praktik sosial dan power tidak melekat pada
aktor ataupun mekanisme kebijakan. Dalam kasus ini, power tersebut
melekat pada wacana (discourse) dan anti-wacana (wacana
kompetitor). Kedua wacana ini lah yang pada akhirnya mendorong
tindakan aktor dalam kasus pertambangan pasir besi di Kabupaten
Tasikmalaya.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Dosen Pembimbing, Dr.
Suhirman, yang telah memberikan pembelajaran, pengetahuan, dan
motivasi kepada penulis untuk mengerjakan studi ini sebaik-baiknya.
Selain itu, terima kasih juga penulis tujukan kepada semua
narasumber, yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya,
Pemerintah Kecamatan Cikalong dan Kecamatan Cipatujah, Pemerintah
Desa Mandalajaya dan Desa Cikawungading, Asosiasi Pengusaha Tambang
Kabupaten Tasikmalaya, WALHI, dan masyarakat di Desa Mandalajaya
dan Desa Cikawungading.
Daftar Pustaka
Dahuri, Rokhmin dkk. (2004). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita)
Dryzek, J. (1990), Discursive Democracy: Politics, Policy, and
Political Science (Cambridge University Press: Cambridge)
Foucault, M. (1984). The Order of Discourse, in M. Shapiro
(ed.), Language and Politics (Oxford: Basil Blackwell)
Gillham, B. (2000). Case Study Research Methods. New York:
Continuum.
Gupta, Dipak K. (2001). Analyzing Public Policy, Concepts,
Tools, and Techniques, CQ Press.
Hajer, Maarten A. 2006. Doing Discourse Analysis: Coalitions,
Practices, Meanings. Utrecht
Hermans, Leon M., Wil A.H. Thissen. (2011). Actor analysis
methods and their use for public policy analysts. European Journal
of Operational Research 196 (2009) 808818.
Hudalah, Delik. 2010. Peri-urban Planning in Indonesia:
Contexts, approaches and institutional capacity. Groningen:
Rijksuniversiteit Groningen.
Imawan, Riswandha. (2000). Formulasi Kebijakan Publik dan
Penyerapan Aspirasi Masyarakat, Makalah disampaikan pada Orientasi
DPRD hasil Pemilu 1999, Purwokerto.
Irwin, A. (1995), Citizen Science: A Study of People, Expertise
and Sustainable Development London: Routledge
Killingsworth, M.J., dan J.S Palmer (1992). Ecospeak: Rhetoric
and Environmental Politics in America (Carbondale: Southern
Illinois University Press).
Kusumanegara, Solahudin. (2010). Model dan Aktor dalam Proses
Kebijakan Publik. (Yogyakarta: Penerbit Gava Media)
Madani, Muhlis. (2011). Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses
Perumusan Kebijakan Publik. (Yogyakarta: Graha Ilmu)
Mitchell,Setiawan, Rahmi. (2000). Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)
Ostrom, E. (1990). Governing the Commons: The Evolution of
Institutions for Collection
-
Yunie Nurhayati R.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N3 | 723
Action (Cambridge: Cambridge University Press)
Redclift, Michael. (1999). Pathways to Sustainability: Issues,
Policies and Theories dalam Kenny dan Meadowcroft. Planning
Sustainability: Environmental Politics. (London dan New York:
Routledge).
Ripley, Randall B. (1985) Policy Analysis in Political Science.
(Chicago: Nelson Hall Publisher)
Ruchyat, Denny Dj. (2009). Bahari Nusantara untuk Kesejahteraan
Masyarakat dan Ketahanan Nasional. (Jakarta: The Media of Social
and Culture Communication)
Rydin, Yvonne. 2003. Conflict, Consensus, and Rationality in
Environmental Planning: An Institutional Discourse Approach. New
York: Oxford University Press.
Yin, Robert K. 2009. Case Sudy Research: Design and Methods4th
ed. Thousand Oaks: Sage
Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Pertambangan
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan
Pascatambang
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara
Peraturan Menteri ESDM No. 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan
Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
Mineral
Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 07 Tahun 2012
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengolahan dan Pemurnian Mineral
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012 tentang
Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak
Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang
Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya No. 02 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011
2031
Rencana Strategis Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten
Tasikmalaya 2011 2015
Rencana Strategis Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Tasikmalaya
Tahun 2011 2015
KERANGKA KERJA TEORITIS: PENDEKATAN KELEMBAGAAN DALAM
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM(Sumber : Hasil Sintesis dan Analisis,
2013)(Sumber: Hasil Analisis, 2013)