Page 1
1
Mengenal Sosok Ustadz Khoiron Sang Kyai Prostitusi, 1
Studi Kajian Tokoh dan Kontribusinya Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Lokalisasi Bangunsari
Surabaya2
A. Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan, masyarakat Indonesia di gemparkan dengan hebohnya
berita tentang kebijakan pemerintah kota Surabaya yang berjanji akan menutup enam
kawasan lokalisasi yang beroperasi secara resmi3 di kota Pahlawan. Puncaknya adalah
berita penutupan aktivitas prostitusi di kawasan Dolli yang selama ini diklaim sebagai
lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, dilakukan pada tanggal 18 Juli 2014. Reaksi
beragam muncul dari segenap lapisan masyarakat. Banyak pihak yang setuju dan puas
dengan realisasi janji manis pemkot Surabaya yang memang sudah sejak lama berjanji
untuk segera menutup lokalisasi ini. Namun tidak sedikit pula pihak-pihak lain yang
tidak sependapat dan bahkan dengan lantang mengecam aksi penutupan lokalisasi ini
dengan memakai banyak argumentasi.
Kini kota Surabaya yang dahulu dikenal sebagai kota basis prostitusi terbesar di
Jawa Timur, 180 derajat berbalik keadaan menjadi kota yang bebas dari aktivitas
prostitusi berkat usaha keras pemkot yang serius mengeksekusi Surat Edaran (SE)
Gubernur Jatim nomor 460/16474/031/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Prostitusi serta Perdagangan Perempuan.. Segala bentuk apresiasi dan pujian bertubui-
tubi dilayangkan kepada pemerintah kota khususnya Ibu Tri Rismaharini selaku
Walikota Surabaya atas prestasinya. Praktis setelah itu, kota-kota sekitaran Surabaya
yang memiliki permasalahn serupa mulai berani memasang strategi untuk mengikuti
jejak kota Pahlawan sebagai kota bebas prostitusi.
Namun jika dicermati dengan seksama, penulis melihat jika prestasi yang di raih
kota Pahlawan itu tidak bisa lantas di klaim sebagai prestasi pemkot semata. Karena
fakta lapangan menunjukkan jika dalam proses pengentasan PSK yang berujung pada
penutupan lokalisasi ini ada andil pihak-pihak lain yang tidak bisa begitu saja di pandang
sebelah mata, sebutlah sebagai peran tokoh agama setempat. Alih-alih meremehkan
1 "Kyai prostitusi" adalah semacam gelar atau sebutan yang disematkan terhadap KH.
Muhammad Khoiron Syu„aib yang dicetuskan oleh Dr. H. Sunarto AS., M.E.I sebagai apresiasi atas
kegigihan dan perjuangannya dalam berdakwah di tengah-tengah komunitas para PSK. Penggunaan
judul "Kyai Prostitusi" ini pertama kali digunakan dalam buku karya Sunarto dalam disertasi doktoral
yang selanjutnya diterbitkan untuk umum oleh penerbit Jaudar Press dengan judul "Kyai Prostitusi,
Pendekatan Dakwah KH. Muhammad Khoiron Syu‘aib di Lokalisasi Surabaya". 2
Disusun oleh Mochammad Andre Agustianto, mahasiswa semester satu program
pascasarjana UIN SUnan Kali Jaga Yogyakarta. 3 Meminjam istilah Kartono, prostitusi atau lokalisasi menurut aktivitasnya terbagi menjadi
dua jenis, yaitu: prostitusi yang terdaftar dan prostitusi yang tidak terdaftar. Lihat: Kartini Kartono,
Patologi Sosial, (Jakarta, Rajawali Pers, 2011), hlm.251.
Page 2
2
kontribusi yang diberikannya, bisa jadi cita-cita pemerintah kota tidak akan pernah
terwujud jika dilakukan tanpa peran penting sosok ini. Salah satunya adalah kontribusi
yang diberikan oleh tokoh masyarakat yang bernama KH. Muhammad Khoiron Syu„aib
atau yang biasa di panggil Kyai Khoiron yang kemudian di sebut oleh Sunarto dalam
bukunya sebagai Kyai Prostitusi.
Sayangnya, dalam banyak kesempatan, kontribusi yang dihasilkan oleh pemkot
Surabaya lebih dominan dan menarik untuk di perbincangkan di masyarakat luas
ketimbang membahas prestasi tokoh masyarakat yang satu ini. Padahal jika dirunut
sejarahnya, Kyai yang namanya tidak setenar prestasinya ini telah menghabiskan
berpuluh-puluh tahun umurnya hidup di tengah-tengah kawasan lokalisasi Bangunsari
Surabaya untuk berdakwah dan menuntun satu-persatu para aktivis bisnis prostitusi baik
itu germo, hidung belang maupun PSKnya sendiri kembali ke jalan yang benar. Faktor
inilah yang kemudian membuat penulis tertarik untuk membahas lebih jauh tentang siapa
sosok Kyai Khoiron berikut kontribusi yang telah diberikannya sehingga menjadikan
penulis merasa perlu untuk memperkenalkan sosok yang satu ini ke masyarakat umum.
Namun demikian, penelitian ini hanya penulis fokuskan pada kontribusi yang
diberikannya untuk masyarakat Bangunsari. Selain karena keterbatasan waktu penelitian,
juga karena penulis berpendapat bahwa, Bangunsari adalah semacam magnum opus
model dakwah Kyai Khoiron dalam misi pengentasan aktivitas prostitusi. Adapun
lokalisasi lain hanya cukup meniru dari kesuksesan yang dilakukan di Bangunsari.
B. Kerangka Teori
B.1.Pengertian Kyai
Menurut Zamakhsyari Dhofier, awalnya istilah "Kyai" dalam bahasa Jawa
dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda.
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat. Umpanya,
"Kyai Garuda Kencana", dipakai untuk menyebut kereta emasyang ada dikerton
Yogyakarta.
2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan koleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang
memiliki atau menjadi pimpinan pondok pesantren dan mengajar kitab-kitab
Islam klasik kepada para santrinya.
Namun di zaman sekarang banyak juga ulama yang berpengaruh di masyarakat
mendapat gelar Kyai, walaupun mereka tidak memimpin pesantren. Dengan kaitan
Page 3
3
yang sangat kuat dengan tradisi pesantren gelar Kyai biasanya dipakai untuk
menunjuk para ulama dari kelompok Islam tradisional.4
B.2. Pengertian Prostitusi
Lena Edlund dan Evelyn Korn mengutip dari Random house dictionary of the
english language, bahwa prostitusi adalah “sebuah aktivitas atau praktik hubungan
seksual yang dilakukan atas dasar untuk memperoleh uang”. Namun
uniknya,mereka berdua tidak serta menjadikan pengertian yang dia kutip tersebut
sebagai definisi yang baku dalam menterjemahkan makna prostitusi, karena menurut
mereka sebagaimana mengutip dari perkataan Ellis (1936) bahwa pada hakikatnya,
pengertian umum seperti itu akan mencakup pula terhadap peranan seorang
perempuan yang berstatus sebagai istri yang rela melayani hasrat seksual laki-laki
(suaminya) untuk mendapatkan kompensasi uang (nafkah) dalam kesehariannya,
dan tidak demikian yang terjadi sesungguhnya.5
Adapun definisi prostitusi menurut mereka sendiri adalah “aktivitas pemberian
layanan seksual non-produktif terhadap klien demi mendapatkan keuntungan berupa
uang”.6 Definisi yang mereka ajukan ini memberikan titik tekan terhadap bentuk
layanan seksual yang bersifat non-reproduktif. Sehingga dari sana nanti terlihat
bahwa hal mendasar yang menjadikan pembeda dari ambiguitas definisi yang
ditawarkan oleh Random house dictionary of the english language adalah terletak
pada hasrat pasangan (dalam hal ini laki-laki) untuk menghasilkan anak dan menjadi
sosok ayah dari hasil hubungan seksual yang mereka lakukan (sexsual
reproductive).
Sedangkan definisi lain yang diajukan oleh dr. G. Sihombing MPH, dkk,
mengatakan,
"Prosititusi pada hakikatnya adalah perilaku seksual berganti-ganti pasangan,
dapat dilakukan oleh pria maupun wanita. Di Indonesia praktik prostitusi
lebih banyak dilakukan oleh kaum wanita meskipun tidak dapat dipungkiri
bahwa praktik prostitusi untuk kaum pria mulai banyak dilakukan khususnya
4 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta,
LP3ES, 1994), hlm.55. 5 Lena Edlund and Evlyen Korn (2002), A Theory of Prostitution,The University of Chicago,
Journal Of Political Economi, vol 110, no 1, hlm 183. 6Ibid.
Page 4
4
di daerah-daerah tujuan wisata di Jawa dan Bali. Alasan utama terjunnya
seseorang pada praktik prostitusi adalah masalah ekonomi".7
Dari beberapa paparan definisi yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa prostitusi adalah “praktik hubungan seksual dengan berganti-
ganti pasangan yang bisa dilakukan baik oleh pria maupun wanitayang berorientasi
untuk memperoleh uang semata, tanpa terbesit sedikitpun adanya keinginan untuk
menghasilkan dan bertanggung jawab atas anak yang dihasilkan dari aktivitas
hubungan seksual tersebut (sexual non-reproductive).
B.3. Perubahan sosial
B.3.1. Definisi Perubaha Sosial
Terjadinya perubahan sosial dan pola perilaku serta interaksi sosial menunjukkan
adanya perubahan sosial. Menurut Wilbert More, perubahan sosial sebagai
perubahan penting dari struktur sosual dan pola-pola perilaku dan interaksi sosial.8
Macionis, mengartikan perubahan sosial adalah tranformasi dalam organisasi
masyarakat, dalam pola berpikir, dan dalam perilaku pada waktu tertentu.9
Sedangkan Kingsley Davis mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan-
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Perubahan-perubahan
sosial dikatakannya sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (social
relationship) atau perubahan terhadap keseimbangan (equelibrium) hubungan sosial
tersebut.10
Untuk mengetahui perubahan sosial dari suatu masyarakat, perubahan sosial
seperti apakah yang terjadi, T.B. Bottomore mencoba untuk membuat suatu model
yang mencakup beberapa pertanyaan yang menyangkut pokok perubahan sosial,
yaitu (i) Dari manakah perubahan sosial itu berasal? (ii) Kndisi-kondisi awal apakah
yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang luas? (iii) Bagaimana
kecepatan dari proses perubahan sosial? (iv) Sampai seberapa jauhkah proses
perubahan sosial bersifat kebetulan atau disengaja atau dikehendaki?
B.3.2. Agama dan Perubahan Sosial
Emile Durkheim menyatakan bahwa agama harus mempunyai fungsi. Agama
bukan ilusi tetapi merupakan fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai
7Astry Sandra Amalia (2013), Dampak Lokalisasi Pekerja Seks Komersial (PSK) Terhadap
Masyarakat Sekitar, eJournal Administrasi Negara, , vol 1, no 2, hlm 468. 8 Robert H. Lauer, Prespektif tentang perubahan Sosial, terjemahan. Alimandan, (Jakarta:
Rineka Cipta,1993), hlm.4. 9
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, terjemahan. Alimandan, (Jakarta: Prenada,
2007), hlm. 5. 10 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV.Rajawali, 1986), hlm. 285.
Page 5
5
kepentingan sosial.11
Istilah fungsi ini menunjuk pada sumbangsih yang diberikan
agama atau lembaga sosial yang lain untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat
sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus. Dengan demikian yang
menjadi perhatiannya adalah peranan yang telah dan masih dimainkan oleh agama
dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat.12
B.4. Lokalisasi
Soedjono D. membahasakan lokalisasi adalah sebagai bentuk usaha untuk
mengumpulkan segala macam aktivitas/kegiatan pelacuran dalam satu wadah,
selanjutnya hal ini disebutnya sebagai kebijaksanaan lokalisasi pelacuran.13
C. Metode Penelitian
Untuk bisa menghadirkan gambaran dan bukti yang nyata guna menunjukkan
ketokohan seseorang berikut kontribusi yang telah diberikannya terhadap masyarakat.
Maka dalam penelitian ini, untuk teknik pengumpulan data, penulis melakukan riset
lapangan (field work research) dengan cara berkunjung langsung ke lokasi penelitian
untuk melakukan observasi, selanjutnya penulis mewawancarai beberapa pihak yang
dianggap penulis bisa memberikan sumbangsih dalam kepenulisan ini. Antara lain
wawancara dengan sang tokoh langsung, Kyai Khoiron.14
kemudian dua orang penduduk
asli yang sudah tinggal di lokasi penelitian lebih dari 40 tahun,15
petugas Linmas RW.04
Dupak Bangunsari,16
bapak Gatot mantan preman setempat dan beberapa lainnya yang
tidak bisa dicantumkan satu persatu dalam uraian singkat ini.
Selanjutnya dari hasil observasi, wawancara yang kemudian ditunjang dengan
pendokumentasian beberapa data (foto-foto, arsip, dll) yang dibutuhkan, kesemuanya itu
penulis olah dan padukan dengan sumber data sekunder. Semisal, literatur hasil
penelitian (disertasi) Dr. Soenarto berjudul "Kyai Prostitusi" yang meniliti ketokohan
Kyai Khoiron dari sudut pandang pendekatan dakwah yang dilakukan. Ditambahkan juga
11 Syamsudin Abdullah, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama, (Jakarta:Logos
Wacana Ilmu, 1997), hlm.31. 12 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, terjemahan. Abdul Muis Naharong,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm.31. 13 Soedjono Dirdjosisworo, Pathologi Sosial: Gelandangan Penyalahgunaan Narkoba ….,
(Bandung: Penerbit Alumni, 1974), hlm.122-124. 14 Wawancara dengan Kyai Khoiron berlangsung selama 2 hari (26-27 November 2014)
bertempat di kediaman narasumber. Selain wawancara penulis juga mengamati kegiatan pengajian
yang dilakukan di TPI (Taman Pendidikan Islam) Raudhatul Khair yang berada satu lokasi dengan kediaman narasumber.
15 Responden pertama bernama Cak Abdul Usia 41 tahun seorang buruh pabrik ditemui
penulis di warung kopi dekat kediaman Kyai Khoiron, responden kedua Bapak Sugiono Usia 56 Tahun
ditemui penulis di kantor Linmas Balai RW.04 Dupak Bangunsari. 16 Bapak Marjoko Warsito usia 53 tahun, seorang petugas Linmas yang ditemui penulis di
Balai RW. 04 Dupak Bangunsari.
Page 6
6
beberapa literatur lainnya baik yang masih ada kaitannya secara langsung dengan tema
penelitian maupun buku-buku teori yang memperkuat analisa dan kesimpulan penulis.
terakhir dari kesemua data yang telah tersaji, karya ilmiah ini ditulis menggunakan
metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
D. Penyajian Data
D.1. Gambaran Umum Masyarakat Dupak Bangunsari
D.1.1. Kondisi Geografi
Dari sudut pandang geografis, Kawasan Dupak Bangunsari terletak di Kelurahan
Dupak Kecamatan Krembangan yang terpaut jarak kurang lebih 4 km ke utara dengan
pelabuhan Tanjung Perak dan 5 km ke arah timur dengan Tugu Pahlawan Surabaya.
Adapun secara administratif, Bangunsari termasuk di kawasan Surabaya bagian utara.
Sebagaimana pada umumnya perkampungan di kota Surabaya, kawasan Bangunsari
berada dinaungan RW.04 yang membawahi 15 RT.
Adapun batas wilayah Dupak Bangunsari bagian barat: berbatasan dengan jalan
Dupak Bangunrejo, bagian utara: berbatasan dengan jalan Lasem, jalan Salatiga, bagian
timur: berbatasan dengan jalan Demak yang dipisahkan oleh jalan raya, bagian selatan:
berbatasan dengan jalan Dupak Bandarejo, jalan Rembang Selatan.
D.1.2. Kondisi sosial
Adapun untuk komposisi sosial masyarakat Dupak Bangunsari, menurut cerita
warga asli setempat, dahulu kala kawasan yang sekarang diberi nama Dupak Bangunsari
ini asalnya adalah merupakan rawa-rawa yang tidak berpenghuni. Akan tetapi karena
tingginya jumlah pendatang dari luar kota Surabaya yang ingin mendapat peruntungan
hidup di kota ini semakin besar, menjadikan jantung kota Surabaya penuh sesak,
sehingga pemerintah menyarankan kepada masyarakat untuk menjadikan rawa-rawa
yang kemudian dikenal dengan nama Dupak Bangunsari sebagai pemukiman baru (buka
lahan).
Mulanya yang berduyun-duyun menempati kawasan ini adalah masyarakat yang
tinggal dikawasan Benowo Surabaya saja, hal itu disebabkan kondisi lokasi Dupak
Bangunsari yang sebagian besar masih berupa rawa-rawa dianggap sebagi tempat yang
tidak memiliki daya tarik dan rasa nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Hingga
dikemudian hari kawasan ini penuh sesak dipadati oleh pendatang lainnya, termasuk
mereka yang lantas memanfaatkannya sebagai markas prostitusi atau yang dikenal
sebagai lokalisasi. Jadilah kemudian kawasan Dupak Bangunsari ini di diami oleh
masyarakat pendatang yang memiliki latar belakang dan tujuan yang bermacam-macam.
Page 7
7
D.1.3. Kondisi Keberagamaan
Meski tidak ada data yang pasti, tetapi menurut penuturan Pak Sugiono salah
seorang warga asli yang sudah tinggal di Dupak Bangunsari selama 56 tahun yang
ditemui di Balai RW.04, mayoritas penduduk Dupak Bangunsari mayoritas adalah Islam
yang secara kultural mengikuti tradisi NU. Hal itu terlihat manakala ada salah satu warga
yang meninggal dunia mereka berduyun-duyun ikut melakukan ritual tahlilan. Namun
ketika ditanya lebih jauh tentang pemahaman warga terhadap Islam dan kehidupan etika
beragama beliau bertutur. "walah mas, endi ngerti wong-wong ngunu iku, wong-wong
ngertine yo lek adzan wayae sembayang, sembayang iku maceme 5, lek kapan wulan
poso yo poso, tapi yo mbuh dilakoni ta gak yo biasa-biasa ae seh mas. Tapi yo gak kabeh
seng sobo mesjid yo lumayan masio akeh seng gak (walah mas, mana tau mereka tentang
Islam yang aneh-aneh, mereka taunya paling kalo ada suara adzan itu menunjukkan
waktunya sholat tiba, dan sholat itu sehari ada lima kali, trus kalau masuk bulan ramdhan
itu disuruh puasa, tapi ya gak tau itu semua dijalani apa enggak. Ya biasa-biasa saja lah
mas. Tapi ya gak semua, yang aktif mendatangi masjid juga jumlahnya lumayan
meskipun banyak yang tidak)".17
Ini menunjukkan pada hakekatnya masyarakat Dupak
Bangunsari saat itu sudah tersentuh nilai-nilai benar-salah, dan baik-buruk agama.
Namun secara aplikatif mereka belum tersadarkan akan hal-hal semacam ini, atau dalem
istilah lain disebut sebagai Islam KTP.
Pada saat itu di kawasan ini setidaknya sudah ada dua masjid yang berdiri kokoh.
Masjid Nurul Fattah yang terletak di ujung jalan raya berbatasan dengan jalan Demak,
dan masjid al-Hidayah yang letaknya ada wilayah RT.05. kegiatan yang diselenggarakan
bervariasi, mulai dari pengajian hingga acara-acara keagamaan lainnya. Meski demikian
keberadaan dua masjid berikut kegiatannya ini masih bersifat pasif. Hanya ritual sentris,
belum ada upaya nyata untuk mengentaskan problematika kemasyarakatan (prostitusi)
yang ada disekitarnya saat itu
D.2. Gambaran Umum Kehidupan PSK dan Mucikari
D.2.1. Sejarah Keberadaan
Faktor utama yang mendukung area ini menjadi kawasan lokalisasi yang
berkembang dengan cepat adalah kedekatannya yang hanya terpaut 4 kilometer dari
pelabuhan besar Tanjung perak. Seolah menjadi hal yang lumrah manakala suatu kapal
dengan sejumlah anak buah kapalnya (ABK) bersandar di sebuah pelabuhan, semacam
agenda rutinan bagi mereka adalah mencari tempat-tempat pelacuran untuk meluapkan
hasrat biologis yang terpendam selama berada di laut lepas. Tidak hanya itu, kondisi
Dupak Bangunsari yang masih tanah rawa yang lapang dan terpencil atau terletak jauh
17
Bapak Sugiono, Wawancara, Surabaya 26 November 2014.
Page 8
8
dari jantung kota seakan memberi angin segar terhadap mereka untuk semakin
mengembangkan dan memperluas bisnis prostitusinya.18
Menurut keterangan Sunarto, aktifitas prostitusi di lokalisasi Dupak Bangunsari ini
memang tidak muncul dengan sendirinya melainkan perpindahan dari daerah sebelahnya
yaitu Dupak Bandarejo yang sudah ada sejak zaman kolonialisme Jepang pada tahun
1943.19
Sayangnya, tidak disebutkan disana alasan detil kenapa bergeser praktik
prostitusi tersebut berpindah tempat. Namun demikian muncul asumsi bahwa bukan
perpindahan yang terjadi disana, melainkan perluasan atau penyebaran dari yang hanya
terfokus di kawasan Dupak Bandarejo kini mulai meluber hingga kawasan Dupak
Bangunsari. Asumsi tersebut diperkuat dengan data lanjutan penurunan aktifitas
prostitusi di lokalisasi Dupak Bangunsari pada tahun 1985 yang diiringi surutnya jumlah
PSK yang beraktivitas di Bandarejo. Data jumlah WTS penghuni lokalisasi Dupak
Bangunsari pada masa puncak keemasannya tahun 1970 berkisar 3000-an orang. Adapun
data terakhir yang diperoleh dari balai RW.04 Kelurahan Dupak Bangunsari Surabaya
pada tahun 2012 tersisa sebanyak 153 PSK maupun mucikari.20
D.2.2. Karakteristik PSK Lokalisasi Dupak Bangunsari
Hasil analisa Kartono dapat mengidentifikasi cara kerja PSK menurut jumlahnya
terbagi menjadi 2, yaitu: (a) Prostitue yang beroperasi secara individual merupakan
single operator atau (b) Prostitue yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat
yang teratur dan rapi.21
Kelompok yang kedua bisa ditemui dengan mudah disepanjang
jalan kawasan Dupak Bangunsari. tempat mangkal mereka adalah cukup duduk di depan
wisma atau rumah bordil yang mempekerjakan mereka sembari merayu setiap orang
yang lewat di hadapannya. Mereka ini adalah PSK yang bekerja di rumah-rumah bordil
milik seorang "mami" atau germo yang tentunya cara kerja mereka terikat kontrak
dengan segala peraturan-peraturan yang ada termasuk cara pembagian besaran uang yang
diterima dari "tamu".
Karakteristik yang kedua, mereka yang sistem kerjanya tidak terikat dengan siapa-
siapa. Mereka berhak menjajakan dirinya dimanapun dan kapanpun. Untuk tipikal yang
seperti ini untuk di kawasan lokalisasi resmi seperti di komplek Dupak Bangunsari ini
jumlahnya sedikit. Karena meski terlihat untung karena tidak adanya pembagian fee dari
pelanggan sama sekali namun tipe-tipe seperti ini kerap kali menjadi sasaran pemalakan
preman. Dan hanya mereka yang benar-benar nekat yang memutuskan untuk menjadi
18
Kyai Khoiron, Wawancara, Surabaya, 26 November 2014. 19 Sunarto AS., M.E.I., Kyai Prostitusi, Pendekatan Dakwah KH. Muhammad Khoiron
Syu‘aib di Lokalisasi Surabaya, (Surabaya: IDIAL-MUI, 2012), hlm.72. 20 Ibid. 21 Dr. Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 253.
Page 9
9
PSK tipe ini. Biasanya yang seperti ini cara kerja mereka keliling dari satu tempat ke
tempat lain dalam lingkup kawasan komplek lokalisasi dan terkadang beberapa bisa
ditemukan di lapangan alun-alun Dupak Bangunsari yang berada tepat di tengah-tengah
area, persis di depan balai RW.04.
D.2.3. Keadaan interaksi Sosial Masyarakat Lokalisasi Bangunsari
Di Dupak Bangunsari Surabaya, komplek lokalisasi berposisi tepat di tengah
lingkaran atau membaur menjadi satu dengan pemukiman penduduk. besaran jumlah
penduduk yang berprofesi sebagai Mucikari dan PSK sebesar 85% pada 1970 dari
komposisi masyarakat Dupak Bangunsari. Hal itu menjadikan pemandangan rumah
warga biasa yang berdempetan, berhadapan atau bahkan dikelilingi dengan rumah yang
dijadikan ajang prostitusi adalah sebuah hal yang lumrah ditemui di kawasan tersebut.22
Begitupula dengan aktivitas keseharian yang ada, pemandangan interaksi sosial antara
warga biasa dan mereka yang berstatus PSK atau mucikari berjalan apa adanya. Mereka
berbaur bercanda tawa di depan rumah, begitu juga dengan anak-anak kecil, mereka
bermain secara normal layaknya anak seusia mereka seolah tanpa ada rasa dan sekat
yang membatasi.
Sedikit perbedaan akan tampak manakala hari menapaki petang. lazimnya
aktivitas di lokalisasi, tibanya petang adalah semacam alarm yang menandakan
dimulainya aktivitas prostitusi. Mereka yang berstatus warga biasa sedapat mungkin
mengurangi aktifitas di luar sekitaran rumah. Rumah di kondisikan sedemikian rupa agar
tidak tampak mencolok dan menarik perhatian "tamu" atau laki-laki hidung belang yang
sedang menjelajah dan berburu di kawasan komplek lokalisasi tersebut. Bila perlu
mereka akan memasang tulisan "RUMAH TANGGA" di tembok atau tempelan gantung
di pintu rumah masing-masing. Perbedaan kontras akan ditampilkan oleh PSK dan
mucikari. Pada jam-jam seperti ini mereka berubah bentuk menampilkan diri dengan
make up tebal mencolok khas PSK umumnya. Cara berinteraksi juga berubah, jika
paginya mereka bersikap normal pada umumnya kini mereka akan berikap lebih agresif,
manja dan genit lebih-lebih jika ada orang asing yang di curigai sebagai "pemburu" lewat
dihadapan mereka, tak segan mereka akan menghampiri, bergelayut bahkan menarik
tangannya sambil berujar "monggo mas mampir…."
Bukan hanya itu, penampakan rumah bordil yang tampak tersamarkan pada pagi
dan siang hari kini mendadak di sulap semeriah mungkin. Pencahayaan rumah dipenuhi
lampu kerlap-kerlip meredup khas diskotik. Tak ketinggalan alunan musik disko,
dangdut koplo, dll. Diperdengarkan dengan suara kencang dan membahana di tiap-tiap
22 Ibid.
Page 10
10
rumah yang dijadikan tempat peortitusi, seolah ingin meneriakkan keberadaannya dan
memanggil-manggil setiap "tamu" yang mendengarnya. Praktis suasana kampung yang
semula tenang dan tampak seperti perkampungan normal menjadi mencekam dan tidak
kondusif bagi mereka yang berstatus rumah tangga. Belum lagi kerap terjadi kericuhan
yang ditimbulkan oleh "tamu-tamu" atau preman setempat yang mabuk dan mencoba
membuat ulah.
D.2.4. Latar belakang PSK Lokalisasi Bangunsari
Terdapat banyak motif yang melatari belakangi seseorang menjadi PSK,setidaknya
faktor yang paling umum dan paling sering dijumpai adalah sebagai berikut:23
1. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, ada pertimbangan-pertimbangan
ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam
usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
2. Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan
terhadap pakaian-oakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah
mewahan namun malas berkerja.
3. Oleh bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjanjikan
pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji yang tinggi. Misalnya sebagai
pelayan toko, bintang film, peragawati dan lain-lain. Namun pada akhirnya,
gadis-gadis tersebut dengan kejamnya dijebloskan ke dalam rumah-rumah
bordil dan rumah-rumah pelacuran.
4. Ajakan teman-teman sekampung yang sudah terjun terlebih dahulu dalam
dunia pelacuran.
5. Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak
suami. Misalnya suami impoten, lama menderita sakit, banyak istri dan lain-
lain.
Seperti itu pula fakta yang lapangan yang terjadi dengan para PSK lokalisasi
Dupak Bangunsari sesuai dengan penuturan Kyai Khoiron. Bahkan menurutnya, Faktor
ekonomi bukan satu-satunya faktor yang menjadikan mereka memilih hidup seperti itu
sebagaimana kebanyakan yang beredar di masyarakat. Justru umumnya mereka
terjembab ke lembah hitam ini karena tertipu. Baik ditipu oleh orang yang baru
dikenalnya atau bahkan oleh temannya sendiri. Disamping itu, mereka datang ke
Surabaya tanpa keterampilan apa-apa, mereka juga tidak punya sanak saudara atau
bahkan sekedar kenalan di tempat tersebut, sehinggah putus asa dan memilih jalan pintas
23
Ibid, hlm.245-248.
Page 11
11
untuk melacurkan diri. Faktor keterpaksaan yang umumnya menjadi latar belakang
mereka untuk memutuskan diri terjun di dunia hitam ini.24
D.3. Kyai Khoiron dan Perkembangan Kehidupan Beragama Masyarakat
D.3.1. Mengenal Biografi Sosok Kyai Khoiron25
Ringkasnya biografi adalah runutan catatan hidup mengenai seseorang.
Paling tidak pada tiap kajiannya, terdapat empat poin utama yang harus diuraikan,
yaitu tentang watak kepribadian tokoh, kekuatan sosial yang mendukung, lukisan
sejarah zamannya, dan keberuntungan juga kesempatan yang datang. Dan keempat
hal inilah yang akan diuraikan penulis untuk mengetahui sejarah hidup Kyai Khoiron.
Nama lengkapnya Muhammad Khoiron Syu„aib. Lahir pada 17 Agustus 1959
dari pasangan suami Istri bapak H. Syu„aib bin Kyai „Asim dan ibu Hj. Muntayyah
binti Kyai Mu„assan. Ia terlahir sebagai dua bersaudara, memiliki kakak perempuan
yang bernama Kholifah. Keberadaan keluarga Kyai Khoiron sendiri bisa dikatakan
sebagai pendatang di Surabaya. Ayahnya berasal dari Desa Karang turi, Kecamatan
Glagah, Kabupaten Lamongan. Sedang ibunya berasal dari Desa Tanggul Rejo,
Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik.
Setelah menikah pada tahun 1950, kedua orang tuanya memutuskan untuk
berpindah ke kota Surabaya guna mencari penghidupan yang layak. Di sana, mereka
berdua bekerja dengan membuka depot makanan di bilangan Pasar Turi. Adapun
tempat tinggal mereka sementara itu terletak dikawasan jalan Maspati gang IV
Surabaya. Sebelum akhirnya sepuluh tahun kemudian berpindah ke jalan Demak
Surabaya, dan terakhir pindah ke Jalan Bangunsari pada bulan Desember tahun 1969
tepatnya di tempatinya hingga saat ini.
Banyak komentar miring yang diterima oleh oleh orang tua Kyai Khoiron
baik dari teman-temannya maupun warga setempat akan keputusannya untuk memilih
tinggal dikawasan tersebut. Hal itu dikarenakan tempat yang dipilihnya saat itu
merupakan kawasan lokalisasi terbesar di kota Surabaya. Terlebih dalam sejarahnya,
saat dimana mereka pindah adalah saat-saat dimana dimana lokalisasi Bangunsari
sedang berada di puncak momentum ramai-ramainya.
Namun modal keyakinan dan kemantapan hati Kyai Syu„aib ayahanda Kyai
Khoiron ini yang membuatnya teguh dengan keputusannya tersebut dari sindiran dan
cibiran orang-orang yang dikenalnya. Salah satu contoh cibiran yang diterima oleh
ayahanda Kyai Khoiron saat itu misalnya, "Lha iyo, awakmu iku yoopo, wong seng
24
Sunarto, Kyai Prostitusi, Pendekatan Dakwah KH. Muhammad Khoiron Syu‘aib di
Lokalisasi Surabaya, (Surabaya: IDIAL-MUI, 2012), hlm.9. 25
Kyai Khoiron, Wawancara, Surabaya, 26 November 201.
Page 12
12
nak njero kepingin metu, lha kok awakmu malah pingin melbu (kok bisa, kamu itu
bagaimana, orang yang terlanjur tinggal di dalam (daerah sini) saja punya keinginan
untuk bisa keluar dan tinggal ditempat lain, sekarang kamu malah memilih untuk
masuk kesini.). dan ungkapan seperti itu selalu di jawab oleh Kyai Syu„aib dengan
sikap bersahaja dan toleran, "yo wes babah, seng gelem ngono yo ngono, seng
penting awakdewe wes kepingin urip nak kene, (ya sudahlah, yang mau begitu ya biar
begitu, yang penting kita ingin tinggal di daerah sini). Saya niatkan ibadah saja,
syukur-syukur nanti bisa mengajar ngaji disini".
Tidak mengherankan jika di kemudian hari sosok Kyai Khoiron menjadi
seorang pendakwah yang gigih dan ulet seperti saat ini, karena jika mendengarkan
penuturannya mengenai sepak terjang ayahandanya, Kyai Syu„aib, hampir semua
sifat-sifat progresif dan mental pejuangnya itu merupakan warisan berharga yang
diterimanya dari sang ayah. Begitu resmi menjadi penduduk jalan Bangunsari, selain
melakukan aktivitas berdagang seperti biasanya, Kyai Syu„aib mulai mencoba untuk
melakukan aktivitas dakwahnya dengan dua cara: formal dan non-formal.
Dakwah formal ia lakukan dengan aktif mengisi kegiatan mengaji kitab
Tafsir Qur'an berbahasa jawa pegon "al-Ibrîz" karya KH. Bisri Musthafa di masjid
Nurul Fattah dan masjid Nurul Hidayah yang keduanya berada di kawasan kelurahan
Dupak Bangunsari. Selain itu Kyai Khoiron juga membuka Taman Pendidikan
Alquran (TPQ) bertempat di rumahnya sendiri yang khusus di design untuk mengajari
anak-anak PSK dan mucikari membaca Alquran, sekaligus menanamkan pendidikan
moral dan Islam dalam kehidupan mereka. Inisiatif itu muncul atas rasa prihatin yang
mendalam Kyai Syu„aib membayangkan masa depan anak-anak para mucikari dan
PSK yang rentan menjadi korban keadaan dari perilaku orang tuanya, terlebih di saat
itu untuk kawasan Bangunsari sendiri belum terdapat lembaga pendidikan semacam
ini. Adapun untuk dakwah non-formal, Kyai Syu„aib lakukan dengan memanfaatkan
keberadaan warung makannya. Saat ada pelanggan datang yang ia kenali sebagai
"pelaku", maka saat melayani pesanan pelanggannya itu ia selingi dalam canda
tawanya dengan sentilan-sentilan nasehat agar berkenan meninggalkan aktivitasnya
yang tidak terpuji tersebut.
Pada masa awal perjuangan ayahnya tersebut, kondisi Kyai Khoiron sendiri
masih kecil, ia masih berstatus sebagai siswa kelas 4 Madrasatul Ibtidaiyah (MI)
Sabilal Muttaqin Bangunsari. Dan kondisi lingkungan sekitar Bangunsari yang begitu
vulgar, terlebih posisi rumah Kyai Khoiron yang terjepit dan dikelilingi rumah-rumah
bordil yang sangat mudah baginya untuk melihat segala aktivitas prostitusi
disekelilingnya sehingga sangat mungkin membentuk mental seorang anak untuk
berperilaku menyimpang.
Page 13
13
Atas pertimbangan-pertimbangan hal semacam ini yang kemudian membuat
Kyai Syu„aib memutuskan untuk memondokkan Kyai Khoiron ke pesantren
Tebuireng Jombang setamatnya mengenyam pendidikan bangku sekolah dasar pada
tahun 1975. selesai sekolah menengah pertama di MTs. SS. Tebuireng dilanjutkan ke
MA. SS. Tebuireng hingga lulus pada tahun 1978. Setelah itu ia mengambil
pendidikan sarjana muda (Bachelor of Art) masih di pesantren Tebuireng tepatnya di
Universitas Hasyim Asy„ari (UNHAYS) dan resmi meraih title tersebut pada tahun
1982. Terakhir, untuk menggenapi pendidikan formalnya ia melanjutkan kuliah s-1 di
Institut Agama Islam Negri Surabaya hingga lulus pada tahun 1988 meraih gelar
(Drs).
Dalam riwayat hidupnya yang ditulis oleh Sunarto, selain menempuh
pendidikan agama melalui pendidikan informal yang disediakan oleh pesantren
Tebuireng melalui program diniyah-nya. Kyai Khoiron juga sempat mencicipi
pendidikan tradisional khas pesantren salaf di pesantren Qamaruddin Sampurnaan
Bungah Gresik. Hal itu semata-mata dilakukannya demi memenuhi nasehat ayahnya
yang berpesan bahwa keilmuan yang dimiliki oleh Kyai Khoiron selama bertahun-
tahun mondok di pesantren Tebuireng belum bisa dikatakan sempurna manakala
belum mencicipi pendidikan ala pesantren Qamaruddin Sampurnan.26
Pada tahun 1987 Kyai Khoiron memutuskan untuk menikahi gadis pilihannya
Hj. Roudlotul Jauharoh binti Mudhoffar Affandi. Dan dari pernikahan tersebut
mereka dianugrahi 3 orang putra, yaitu: Fajar Rasyid Wisudawan, Dzulfikar Zakky
Ramadhan, Fahad Sulthan Nashir. Setelah menikah mereka sekeluarga menempati
rumah Bangunsari warisan dari Kyai Syu„aib hingga saat ini. Aktivitas keseharian
Kyai Khoiron yang dilakukan selepas menikah saat itu bermacam-macam. Salah
satunya adalah menjadi tenaga pengajar bahasa Arab di SMP Wachid Hasyim
Kalianak Surabaya. Pada masa-masa itu juga Kyai Khoiron yang dikenal masyarakat
sekitar sebagai pribadi hasil tempaan pesantren sudah mulai di percaya oleh
masyarakat untuk berkhutbah jum'at dan mengisi acara di tempat-tempat tertentu di
kawasan Surabaya. Dari sinilah nanti petualangan dakwah Kyai Khoiron dimulai.
Sebagaimana layaknya seorang aktivis dakwah, kehidupannya tentu tak akan
pernah bisa dilepaskan dari kehidupan berorganisasi. Begitu juga dengan sosok Kyai
Khoiron, dalam hidupnya ia memiliki seabrek pengalaman organisasi yang pernah di
ikutinya hingga saat ini, ia pernah menjadi ketua MUI Kec.Krembangan (1998 –
sekarang), menjadi ketua DMI (Dewan Masjid Indonesia) Kec. Krembangan (2005-
sekarang), pengurus DMI tingkat 2 kota Surabaya (2005-sekarang), ketua IPHI
26
Sunarto, Kyai Prostitusi, Pendekatan Dakwah KH. Muhammad Khoiron Syu‘aib di
Lokalisasi Surabaya, (Surabaya: IDIAL-MUI, 2012), hlm.9
Page 14
14
(Ikatan Pembimbing Haji Indonesia) kec. Krembangan, penyuluh agama (non-PNS)
KEMENAG Surabaya, ketua takmir masjid Nurul Fattah Dupak Bangunsari Surabaya
(1999-2006), wakil ketua IDIAL-MUI Jatim (Ikatan Dai Area Lokalisasi) (2012-
sekarang), Musytasyar PCNU Krembangan.
D.3.2. Riwayat perjuangan Kyai Khoiron27
Bisa merasakan masa-masa pertumbuhan dan perkembangan di lingkungan
yang kondusif, nyaman dan harmonis adalah dambaan setiap individu. Tidak hanya
kenikmatan hidup yang dirasakan, namun juga pembentukan karakter dan
kepribadian seseorang selain ditentukan oleh ragam pendidikan yang diberikan orang
tua, kerap kali kondisi lingkungan sekitar juga merupakan faktor yang sangat
dominan dalam menentukan kepribadian seseorang. Tentu akan terlihat perbedaan
karakter yang mencolok terhadap anak yang dididik dan dibesarkan di lingkungan
positif dan lingkungan negatif. Faktanya anak yang didik pada lingkungan yang
negatif acap kali terbentuk semacam kepribadian yang agak brutal atau sedikit
menyimpang. Seperti hasil penelitian Retnowati (2007) mengatakan,
"Faktor kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau rawan,
merupakan faktor yang kondusif bagi anak/remaja untuk berperilaku tidak
wajar. Faktor kutub masyarakat ini dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu
pertama, faktor kerawanan masyarakat dan kedua, faktor daerah rawan
(gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat).
Kreteria faktor kerawanan masyarakat (lingkungan) antara lain: (a)
Tempat-tempat hiburan malam yang buka sampai larut malam bahkan sampai
dini hari. (b) Peredaran alcohol, narkotika, obat-obatan terlarang lainnya (c)
Pengangguran. (d) Anak-anak putus sekolah/jalanan. (e) Pekerja seks
komersil (PSK). (f) Beredarnya tontonan, bacaan, televisi, majalah dan lain-
lain yang sifatnya pornografis dan kekerasan. …."
Namun sayangnya, tidak semua bisa merasakan kenikmatan tersebut. Seperti
halnya dialami oleh Kyai Khoiron. Keputusan orang tuanya untuk berpindah tempat
ke kawasan lokalisasi Dupak Bangunsari disaat dirinya masih kelas 4 SD dirasakan
sangat mempengaruhi masa kecilnya. Masa-masa indah yang lazimnya dilalui dengan
suka cita bersama teman sebayanya tidak bisa dirasakan Khoiron kecil. Hal itu
lantaran kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Dikatakannya, selain karena
27
Kyai Khoiron, Wawancara, Surabaya, 26 November 2014.
Page 15
15
teman-teman seusianya yang berperilaku nakal-nakal disebabkan pengaruh
lingkungan juga tersebab keberadaan PSK yang tersebar dimana-mana membuat
dirinya risih. Bisa dibayangkan, umur yang masih kecil itu ia acapkali terpaksa harus
melihat perilaku yang tidak seharusnya dilihat oleh anak seumurannya. "Lha mau
gimana lagi, buka pintu keluar sedikit sudah ngeliat orang (berbuat) gak beres, jadi
kalo mau keluar kemana-mana itu ya susah, dan dulu bapak (Kyai Syuaib) sangat
protektif dan suka ngelarang keluar kalau nggak penting." Ujarnya.
Tanggap dengan bahaya yang sedang dihadapi anaknya, Kyai Syuaib
ayahanda dari Kyai Khoiron berinisiatif untuk mengirimkannya ke pesantren
Tebuireng Jombang selepas tamat SD. Keputusan itu diambil selain untuk
memberikan porsi pendidikan agama yang lebih kepada anaknya juga demi
menjauhkan Khoiron kecil dari pengaruh negatif lingkungan sekitar tempat tinggal.
Tampaknya, berangkat pengalaman hidup seperti inilah yang kemudian menjadikan
Kyai Khoiron manakala usai menyelesaikan pendidikannya di pesantren Tebuireng.
Membuatnya bangkit dan berjuang ingin merubah kondisi lingkungan sekitar
tempatnya tinggal kearah lebih baik. Impiannya saat itu adalah menjadikan kawasan
Dupak Bangunsari terbebas dari segala bentuk aktivitas prostitusi.
Tepatnya pada tahun 1980- an. Saat itu posisi Kyai KHoiron masih berstatus
mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Ia seringkali merasa resah melihat
fenomena yang terjadi di kampungnya tak kunjung usai. Lebih-lebih sebagai alumni
pesantren, beberapa kali sempat mendapatkan sindirian akan ketidakberdayaannya
dalam merubah kondisi sosial yang ada. Akhirnya ia memutuskan bergabung dengan
karang taruna setempat untuk aktif di kegiatan-kegiatan sosial yang ada di kampung-
kampung wilayah kelurahan Dupak Bangunsari. Masa-masa bercengkrama lebih
dekat dengan masyarakat Dupak Bangunsari selama bergabung dengan karang taruna
tidak ia sia-siakan begitu saja. Ia manfaatkan betul momen-momen itu untuk
mengidentifikasi akar masalah yang menjadi pokok persoalan prostitusi yang tak
kunjung reda. Tak hanya itu, seringnya frekwensi pertemuannya dengan ketua RW.04
Dupak Bangunsari membuat kedekatan diantara mereka berdua tidak hanya sebatas
dalam lingkup formal antara Ketua RW dan anggota karang taruna, namun lebih jauh
beliau buat kesempatan ini untuk menyampaikan keluh kesahnya berbicara dari hati
ke hati tentang aktivitas prostitusi yang ada dikawasan ini.
Perlu diketahui, jabatan ketua RW kala itu merupakan jabatan yang sangat di
idam-idamkan setiap orang. Selain masalah prestise, dan alasan finansial, faktor
utama yang menjadikan jabatan tersebut sebagai rebutan adalah karena siapapun yang
menduduki jabatan tersebut dia akan berkuasa layaknya raja di kawasan itu. Setiap
keputusan dan omongannya pasti akan di dengar oleh para mucikari dan WTS.
Page 16
16
"Mereka gak bakal berani macam-macam sama RW. Andaikata ada ada mucikari atau
PSK yang mayak trus dia bilang 'tak tutup lho yo wismamu' mereka bakalan takut."
Tutur Kyai Khoiron. Bahkan di banyak kesempatan para mucikari berlomba-lomba
mendekati ketua RW demi kelancaran bisnisnya. Biasanya dengan memberikan
"servis" gratis kepadanya tiap kali ada "stok baru" datang. Dengan bermodalkan
amunisi diatas, mulailah Kyai Khoiron menyalakan ambisi yang selama ini
dipendamnya.
Bak gayung bersambut, lobi dari hati ke hati yang dilakukan oleh Kyai
khoiron kepada ketua RW mendapat respon yang positif. Kyai Khoiron menuturkan
jika saat itu ketua RW juga mengeluh jenuh dan ingin memiliki dan tinggal di tengah-
tengah tatanan masyarakat yang normal. Setelah melalui pembicaraan yang panjang
lebar, mulailah kemudian mereka berdua membahas langkah taktik dan strategi
dakwah apa saja untuk mengentaskan problem masyarakat yang berjalan selama ini.
Sukses melakukan pendekatan dengan ketua RW. Sasaran berikutnya adalah
para perangkat kelurahan. Hingga pada akhirnya Kyai Khoiron mendapat lampu hijau
dari mereka untuk melakukan dakwah dan pembinaan mental kepada mucikari dan
PSK yang ada. Untuk melaksanakan dakwah pertamanya. Pikirannya cenderung
untuk menggunakan gedung bioskop Bintoro yang letaknya berada sekitar 150 meter
dari gedung balai RW sebagai tempat dakwahnya. Gedung itu ia pilih karena selain
lokasinya yang berada di tengah-tengah lokalisasi juga karena gedung bioskop
tersebut selama ini menjadi tempat favorit para PSK, mucikari dan para hidung
belang untuk mencari hiburan.
Setelah melalui pertimbangan yang matang. Dilakukanlah dakwah pertama
itu di gedung bioskop Bintoro. Secara teknis, acara dakwah dan pembinaan mental itu
dihadiri oleh para PSK dan mucikari undangan atas nama ketua RW.04 bekerjasama
dengan Dinas Kesehatan Kota (DKK) Surabaya dan pihak pengelola bioskop, dengan
dalih akan diadakannya penyuluhan mengenai kesehatan dan taushiyah dari seorang
ustadz. Setelah undangan diperkirakan telah banyak yang hadir mulailah petugas
bioskop memutar film. Setelah sekitar 15-20 menit para undangan dirasa sudah
nyaman, barulah Kyai Khoiron tampil kedepan penonton untuk memulai
melaksanakan dakwahnya menyadarkan dan membimbing mereka untuk menjalani
aktivitas hidup normal.
Untuk materi yang disampaikan, ia pilih yang sesederhana mungkin, inti poin
yang ingin ia sampaikan hanyalah mengajak mereka bersama-sama untuk kembali ke
jalan yang benar dan menginformasikan bahwa tidak ada dosa yang tidak mungkin
diampuni oleh Allah kecuali syirik. Kyai Khoiron juga menuturkan bahwa tidak
sekalipun ia dalam dakwahnya menyalah-nyalahkan atau memberikan ancaman dosa
Page 17
17
besar terhadap pelaku zina. Alasannya sederhana, baginya tanpa perlu untuk di
omongkan pun mereka para mucikari dan PSK sudah tau kalau apa yang mereka
lakukan itu salah.
Dari sini terlihat betapa piawainya sosok Kyai Khoiron dalam mengatur
strategi dakwahnya. Lebih-lebih inisiatifnya menjadikan gedung bioskop sebagai
tempat untuk dirinya memberikan tausiyah. Bukan hanya lokasinya yang strategis
sebenarnya, namun jika kita analisa lebih dalam, tampak jika Kyai Khoiron sangat
memahami karakter manusiawi orang-orang yang akan menjadi sasaran dakwahnya.
Tentunya para mucikari dan PSK akan merasa malu dan gengsi jika harus ketahuan
yang lain menghadiri acara bimbingan rohani yang ada jika acara tersebut dilakukan
ditempat yang lain. Disinilah terlihat letak kehebatan keseriusan seorang Kyai
Khoiron ia benar-benar memikirkan sedemikian rupa taktik dan strategi dakwahnya,
sehingga hasil yang dicapainya pun bersifat jangka panjang dan jauh dari kesan asal-
asalan.
Sukses beberapa kali menjalankan dakwahnya di gedung bioskop, mulailah
perlahan sosok Kyai Khoiron dikenal di mata masyarakat Dupak Bangunsari,
khususnya para mucikari dan PSK. Namun hal itu tak lantas membuatnya tinggi hati
atau bahkan membuat jarak dengan mereka. justru hal itu dimanfaatkan dengan cantik
oleh Kyai Khoiron untuk bisa lebih dekat dan berdakwah dari hati ke hati dengan
para PSK dan mucikari. Sering sore hari ia berjalan-jalan di sekitaran kawasan
lokalisasi untuk menyapa masyarakat sekitarnya. Dalam aktivitasnya itu, ia biasa
mendapati seseorang yang ingin menumpahkan keluh kesah kepada dirinya. Namun
pernah juga sekali terjadi kejadian lucu. Secara tidak sengaja ia pernah di tarik dan di
rayu oleh salah seorang PSK yang sedang mencari mangsa. Ketika sadar yang
ditariknya adalah sosok yang dikenalnya, si PSK pun lantas malu dan meminta maaf
sudah bertindak senonoh, mendapati perlakuan demikian Kyai Khoiron hanya
tersenyum dan menanggapinya dengan bercanda, ia paham bahwa perlu ketelatenan
dan kesabaran dalam membimbing masyarakatnya yang terjembab dalam kubang
kemaksiatan.
Merupakan sebuah hal yang lumrah ketika terjadi perubahan positif dan
orang-orang saling menunjukkan dirinya sebagai pihak yang paling berjasa dalam
perubahan itu. demikian pula yang terjadi dalam perkembangan dakwah Kyai
Khoiron. Melihat tercapainya perubahan positif pada warganya, ketua RW pun mulai
tampil memposisikan dirinya sebagai pihak yang berjasa dalam perubahan ini kepada
masyarakatnya. Seperti misalnya saat mengeluarkan kebijakan-kebijakan atau
mengadakan kegiatan-kegiatan yang bernuansa pengentasan aktivitas prostitusi.
Kerap kali ia dominan menonjolkan dirinya dibandingka pihak-pihak lain yang turut
Page 18
18
berkontribusi. Akan tetapi hal ini tidak diambil pusing oleh Kyai Khoiron. Baginya,
selama dakwahnya bisa berjalan lancar tanpa hambatan, ia tak mau di pusingkan
dengan hal-hal sepele semacam ini.
Perhatian dakwah Kyai Khoiron tidak terfokus mucikari dan PSK saja.
Sebagaimana ia pernah merasakan getirnya tumbuh dalam lingkungan yang tidak
bersahabat. Keprihatinan Kyai Khoiron pada akhirnya membawa dirinya untuk
memikirkan pula nasib anak-anak kecil yang tinggal di kawasan lokalisasi, lebih-
lebih perhatian kepada anak-anak para mucikari dan PSK. Maka pada tahun 1996, ia
mendirikan lembaga pendidikan Islami yang kemudian diberi nama Taman
Pendidikan Al-Qur„an Raudlotul Khoir yang saat itu santrinya mayoritas adalah anak-
anak mucikari dan PSK. Hingga kini taman pendidikan itu masih eksis dan memiliki
santri sebanyak 300 santri. Tiga tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1999 ia
mendirikan majelis taklim yang jumlahnya mencapai 70 jamaah. Begitu pula ketika
tempat pengajian yang diadakan di gedung bioskop Bintoro dipindahkan ke Balai
RW.04 Dupak Bangunsari, para WTS dan mucikari yang begitu mencintainya ikut
dan tetap rajin mengikuti pengajian yang digelar setiap hari jumat hingga saat ini.
Selama masa perjuangannya, Kyai Khoiron juga banyak dibantu oleh pihak-
pihak lain. Salah satunya Sunarto atau yang akrab dipanggil dengan Kyai Narto. Ia
adalah kawan seperjuangan Kyai Khoiron. Kyai Khoiron mengenal Kyai Narto
semenjak masih menimba ilmu di pesantren Tebuireng Jombang. Hanya saja ketika
tamat sekolah Aliyah, Kyai Khoiron yang terlebih dahulu mengambil pendidikan
sarjana muda di Universitas Hasyim Asy„ari milik pesantren Tebuireng. Berbeda
dengan Kyai Narto langsung melanjutkan pendidikan S-1 nya di IAIN Surabaya. Hal
ini yang kemudian menurut penuturan Kyai Khoiron mengantarkan sosok Kyai Narto
menjadi sosok akademisi kampus, dibandingkan dengan Kyai Khoiron yang akhirnya
lebih sibuk bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Akan tetapi, lagi-lagi bukan Kyai Khoiron namanya jika tidak bisa membaca
celah dan peluang yang ada di sekitarnya. Ssosok Kyai Narto seorang akademisi yang
sering bergelut dengan orang-orang memiliki kedudukan dan berpengaruh di
pemerintahan diajak kerja sama oleh Kyai Khoiron demi kelancaran dakwahnya
untuk melobi orang-orang pemerintahan. Hal itu dilakukan karena sadar betul bahwa
jika dirinya yang turun tangan sendiri untuk melobi pemerintah maka hasilnya tidak
akan semaksimal jika dilakukan oleh Kyai Narto. Adapun tujuan Kyai Khoiron
mengajak Kyai Narto untuk melobi pemerintah bukan semata-mata ketidak mampuan
mereka untuk membimbing masyarakat. Lebih dari itu mereka ingin agar niat baik ini
mendapat dukungan dari berbagai lapisan elemen masyarakat, baik sipil maupun
pemerintah.
Page 19
19
Impian untuk menjadikan suatu masyarakat yang terbebas dari segala bentuk
aktivitas prostitusi adalah bukan milik perorangan saja. lebih-lebih bagi mereka yang
menyandang status sebagai tokoh agama. Tanggung jawab terbesar mereka adalah
sedapat mungkin membimbing umat ke jalan yang lurus. Dan hal inilah yang
kemudian mengilhami KH. Abdus Shomad Buchori ketua MUI Jawa TImur selalu
menyindir Gubernur Jawa Timur Soekarwo di tiap kesempatan agar mengeluarkan
kebijakan menutup seluruh lokalisasi di Jawa Timur. walhasil pada tahun 2010,
pemerintah provinsi mengeluarkan Surat Edaran (SE) Gubernur No
460/16474/031/2010 tentang pencegahan dan penanggulangan prostitusi serta
perdagangan perempuan yang selanjutnya dipertegas dengan SE No 460/15612/-
031/2011 tentang penanganan lokalisasi di Jawa Timur yang kurang lebih intinya
adalah menargetkan tahun 2015 Jawa Timur bebas prostitusi.
Meski secara khusus kota Surabaya sudah memiliki PERDA kota Surabaya
no 7 Tahun 1999 tentang larangan menggunakan bangunan/tempat untuk perbuatan
asusila. Namun dalam hal eksekusi pemerintah kota saat itu terkesan menjadikan
PERDA ini semacam formalitas semata. Baru ketika era kepemimpinan kota
Surabaya dipimpin oleh walikota Tri Rismaharini. Ia secara lantang berani
mengeluarkan kebijakan untuk menutup lokalisasi Dolli setelah sebelumnya
berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan pihak-pihak terkait lainnya.28
D.3.3. Bentuk-Bentuk Bimbingan Keagamaan yang di Konsep Kyai Khoiron29
Memberantas kemaksiatan yang telah mengakar tentu tidak semudah
layaknya membalikkan telapak tangan. Perlu usaha massif dan telaten untuk
mengubah tatanannya, karena hal itu tidak bisa cukup dilakukan dengan
mendedahkan ayat-ayat ancaman, kemudian berharap dengan konsekwensi adzab
yang disertakan dalam ayat ancaman tersebut, mereka akan dengan segera mungkin
meninggalkan prilaku penyimpangan yang dilakukan karena takut adzab yang di
timpakan Allah atas kelakuannya selama ini.
Berangkat dari kesadaran inilah yang membuat Kyai Khoiron demi
mewujudkan cita-citanya memberantas praktik prostitusi di komplek lokalisasi Dupak
Bangunsari, dalam upaya dakwahnya, ia konsep dengan model dakwah yang bersifat
kontinyu. Konsep tersebut bisa kita lihat dalam usahanya sebagai berikut:
1. Membangun Taman Pendidikan Islam (TPI) Roudlotul Khoir
Untuk memudahkan melakukan aktivitas dakwah, dibutuhkan sebuah
wadah atau tempat yang memudahkan untuk berlangsungnya aktivitas
28
Kyai Khoiron, Wawancara, Surabaya, 26 November 2014 29
Ibid.
Page 20
20
pendidikan rohani tersebut. Disitulah kemudian pada tahun 1992 Kyai
Khoiron bersama Istrinya membengun sebuah lembaga pendidikan yang di
beri nama Taman Pendidikan Islam Rhoudlotul Khoir.
Fokus lembaga pendidikan ini awalnya adalah sama seperti lembaga-
lembaga pendidikan al-Qur„an lainnya, yakni untuk membimbing dan
mendidik anak-anak usia dini untuk mampu baca tulis alQuran sekaligus
membirikan wawasan keagamaan dasar kepada mereka. hanya saja yang
membedakan antara lembaga pendidikan bentukan Kyai KHoiron dengan
lembaga pendidikan al-Qur„an lainnya yang ada pada saat itu adalah TPI ini
di fokuskan oleh Kyai Khoiron untuk mendidik putra-putri dari mucikari dan
PSK.
Menurut Kyai Khoiron, untuk merubah suatu tatanan maka harus
dilakukan pemangkasan generasi. Caranya yaitu dengan memberikan
pendidikan agama secara dini kepada putra-putri mereka supaya tidak
terjerumus ke lubang uang sama. Hingga saat ini siswa didiknya berjumlah
sekitar 300 orang santri.
2. Membentuk Majelis Taklim (pengajian)
Disamping aktif memberikan bimbingan bimbingan rutin di Balai
RW.04 Dupak Bangunsari, Kyai Khoiron juga membentuk majelis taklim
yang bertempat di kediamannya sendiri. Persisnya bertempat di gedung
Taman Pendidikan Islam Roudlotul Khoir yang mulanya hanya dijadikan
sebagai tempat belajar ngaji anak-anak mucikari dan PSK. Secara resmi
majelis taklim ini dibentuk pada tahun 1999 dengan jumlah peserta sekitar
70 an orang.
Pembentukan majelis taklim ini dilatar belakangi keinginan beliau
untuk meningkatkan frekwensi pertemuan dengan para mucikari dan PSK.
Sehingga, diharapkan dari seringnya pertemuan tersebut membantu para
mucikari dan PSK untuk segera lekas mendapatkan pencerahan dan hidayah
sehingga secepatnya menghentikan aktivitas kelam yang selama ini
dijalaninya.
3. Layanan Bimbingan Konseling
Usaha lain yang dilakukan oleh Kyai Khoiron untuk bisa lebih dekat
dengan target dakwahnya adalah dengan membuka layanan bimbingan
konseling setiap hari bertempat di salah satu ruangan di TPI Roudlotul
Khoir. Layanan bimbingan konseling adalah semacam proses memberikan
Page 21
21
kesempatan bagi para mucikari maupun PSK yang ingin berkeluh kesah dan
mendapat bantuan solusi dari permasalahan yang dihadapinya. Layanan ini
rutin dijalankan oleh Kyai Khoiron setiap hari seusai sholat maghrib.
D.3.4 Tanggapan warga tentang peranan Kyai khoiron
Mengkaji mengenai peranan agama dalam kehidupan masyarakat tidak bisa
dilepaskan dari kajian mengenai fungsi-fungsi dari agama itu sendiri. Salah satu
fungsi dari agama adalah fungsi transformatif atau mengubah bentuk dalam arti
mengubah kehidupan masyarakat lama dengan menanamkan nilai-nilai baru.30
Peranan sosial dari agama harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang
mempertahankan. Pengertiannya adalah agama menciptakan ikatan bersama baik
diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban
sosial yang membantu mempersatukan mereka.31
Pemahaman seperti inilah yang ingin dipraktikan oleh Kyai Khoiron di
lingkungan tempat tinggalnya. Sebagai seorang muslim yang memiliki latar belakang
santri, dirinya merasa risih dan jenganh jika harus hidup di tengah-tengah masyarakat
lokalisasi hanya berpangku tangan tanpa memberikan kontribusi perubahan apa-apa
terhadap masyarakatnya. Dari dalam dalam hatinya ia menginginkan sebuah tatanan
baru masyarakat normal yang hidup sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianutnya.
Dan kesemuanya itulah yang menggerakkan Kyai Khoiron mentekadkan diri untuk
berjuang mewujudkan perubahan masyarakat dilingkungannya dengan berbagai
macam cara.
Usaha keras yang dilakukan Kyai Khoiron semenjak tahun 1983 ini cukup
mendapat apresiasi yang banyak dari masyarakat sekitarnya. Sebutlah Bapak
Sugiono, pria kelahiran asli Dupak Bangunsari yang berusia 56 tahun ini
menceritakan bagaimana dirinya merekam betul dalam memorinya bagaimana
parahnya kondisi lokalisasi Dupak Bangunsari saat dia masih usia anak-anak. Saat itu,
hampir diseluruh penjuru kawasan ini penuh dengan rumah-rumah bordil berikut
mucikari dan PSK-nya. Ketika malam menjelang suasana kawasan ini menjadi hingar
bingar dipenuh sesaki oleh para pelaku prostitusi. "Hampir-hampir susah mas untuk
tau mana orang bener dan mana yang nggak bener, umumnya sih, orang menganggap
rata jika orang yang tinggal di kawasan ini ya orang-orang gak baik.".
Ketika ditanya tentang sosok Kyai Khoiron dan usahanya merubah kawasan
lokalisasi Dupak Bangunsari ini ia menjelaskan, "Banyak mas jasanya bapak, ia
orangnya baik, mau ngemong dengan telaten dan sabar sama orang-orang yang gak
30
Hendro puspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta:kanisius, 1984),hlm.47. 31 Ibid.hlm.45.
Page 22
22
bener. Lebih-lebih sama mereka yang PSK dan mucikari, dan sampean bisa lihat
sendiri sekarang hasilnya".32
Pendapat serupa juga di dapatkan dari Bapak Marjoko
Warsito seorang anggota Linmas Dupak Bangunsari, ia sangat apresiasi sekali dengan
perjuangan yang dilakukan Kyai Khoiron, bahkan ia menuturkan, "Andaikata Kyai
Khoiron tidak gerak bisa jadi sampai seterusnya Dupak Bangunsari akan tetap jaya
mas" Ia juga melanjutkan jika di kawasan itu, terdapat banyak orang yang berstatus
sebagai Kyai. Hanya saja yang mau mendedikasikan hidupnya secara sungguh dalam
hal ini hanyalah Kyai Khoiron.33
Mengenai sifat dan kepribadian sosok Kyai Khoiron dalam interaksi sosialnya,
menurut Bapak Abdul dan Bapak Bambang dua orang warga Dupak Bangunsari yang
sering nongkrong di warung kopi samping alun-alun. Mereka menjelaskan jika Kyai
Khoiron adalah memang pribadi bersahaja yang sangat berbeda dengan orang
berstatus Kyai kebanyakan. Kepeduliannya terhadap masyarakat Dupak Bangunsari
khususnya kpeada para mucikari dan PSK sangat tinggi. Dalam hal bergaul dan
berinteraksi sosial juga dikatakan jika Kyai Khoiron merupakan sosok yang kerap
membaurkan diri dengan masyarakat sehari-hari, dan tidak hanya di forum-forum
yang sifatnya formal saja.
E. Analisa dan kesimpulan
E.1. Analisa
Keseimbangan sosial (ekuilibrium) adalah syarat wajib yang harus dipenuhi guna
menciptakan suatu tatanan masyarakat yang berfungsi sebagaimana mestinya. Lebih
lanjut yang dimaksud dari keseimbangan itu sendiri adalah keadaan atau situasi di
mana segenap lembaga sosial utama berfungsi dan saling tunjang-menunjang. Pada
kondisi seperti ini setiap warga bisa memperoleh perasaan damai oleh sebab
ketiadaan konflik norma dan gesekan nilai-nilai dalam masyarakat.34
Teori diatas seolah membicarakan fakta sejarah yang terjadi di komplek
lokalisasi Dupak Bangunsari. salah satu faktor yang menjadikan kawasan Dupak
Bangunsari menjadi sebuah lahan bisnis prostitusi yang mengakar adalah ketiadaan
keseimbangan yang terjadi disebabkan oleh disfungsi-nya lembaga-lembaga sosial
utama. Seperti halnya jabatan RW yang seharusnya menjadi lembaga sosial pertama
yang menjadi penuntun masyarakat berperilaku sesuai norma-norma sosial yang ada
justru dijadikan ajang pencarian kekuasaan dan kehidupan. Konsekwensinya yang
32 Bapak Sugiono, Wawancara, Surabaya, 26 November 2014. 33 Bapak Marjoko Warsito, Wawancara, Surabaya, 26 November 2014. 34
Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1986), hlm. 306.
Page 23
23
muncul pada akhirnya adalah kehidupan masyarakat Dupak Bangunsari yang syarat
berbenturan dengan konflik norma dan nilai-nilai dalam masyarakat.
Berangkat dari fenomena inilah kemudian Kyai Khoiron ketika memulai aksi
dakwahnya ia mencoba untuk terlebih dahulu berkordinasi dengan mereka para
pemegang kebijakan. Dengan kata lain mencoba untuk memfungsikan kembali
lembaga-lembaga sosial yang ada guna memudahkan misi dakwahnya tersebut.
Dalam teori fungsionalis yang berkaitan dengan Agama dan Masyarakat, Emile
Durkheim menyatakan jika agama harus memiliki fungsi.35
Adapun
pengejawantahan dari apa yang katakana Durkheim adalah sebagaimana yang
tampak dilakukan oleh Kyai Khoiron selama ini. Keengganannya menjadi manusia
beragama yang memiliki basicpesantren hanya diam terpaku menikmati fakta sosial
yang ada adalah sebuah bentuk kesadaran terdalam dari pemaknaan jika agama –
dalam hal ini tokoh agama- harus memposisikan dirinya sebagai sosok yang
memiliki fungsi positif dalam masyarakatnya. dan segala macam upaya yang
dilakukan oleh Kyai Khoiron dalam mentransformasi masyarakat kearah lebih baik
inilah yang menjadikan sosok Kyai Khoiron ini layak dijadikan sebagai tokoh yang
sangat berkontribusi dalam perubahan masyarakat Dupak Bangunsari ini terlebih
jika kita menyimak betul usaha-usaha yang dilakukannya selama berpuluh-puluh
tahun dalam membimbing masyarakat.
E.2. Kesimpulan
Dari banyak pembahasan yang dilalui diatas, beberapa kesimpulan yang bisa
diambil adalah sebagai berikut:
1. Jika merujuk pada tiga tawaran definisi Kyai dalam teori Zamakhsyari Dhofier,
maka sosok ustadz Khoiron yang diuraikan diatas, cukup memenuhi criteria
sebagai seorang tokoh yang layak menyandang gelar sebagai "Kyia". Hal tersebut
lantaran dalam kehidupan Kyai Khoiron tidak bisa dilepaskan dari tiga unsur
utama, yakni seorang yang ahli di bidang agama sebagaimana ia merupakan da'i
dan tokoh masyarakat dikampungnya, kemudian memiliki dan menjadi pimpinan
dalam pondok pesantren hal itu dibuktikan dengan di bangunnya Taman
Pendidikan Islam Rhoudlotul Khoir, dan terakhir mengajar kitab-kitab Islam
klasik atau kitab kuning yang menjadi ritual wirid beliau ke\pada jamaahnya
dengan memngajarkan kitab tafsir al-Ibrîz karya KH. Musthafa Bisri bertempat di
masjid Nurul Fattah dan masjid Nurul Hidayah yang berlokasi tidak jauh dari
kediamannya sendiri.
35
Syamsudin Abdullah, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.31.
Page 24
24
2. Untuk mellihat perubahan sosial yang terjadi, maka dibutuhkan teori yang tepat
untuk menganalisa bentuk perubahan tersebut. Dan oleh karena itulah pada
kerangka teori penulis mengajukan teori T.B. Bottomore sebagai pisau analisis
perubahan yang terjadi pada masyarakat komplek lokalisasi Dupak Bangunsari.
Hasilnya, didapatkan beberapa data penting sebagai bukti adanya perubahan
tersebut. Antara lain, perubahan sosial tersebut mulanya berasal dari segelintir
orang yang peduli terhadap ekuilibrium (keseimbangan) tatanan masyarakat yang
di gawangi oleh para tokoh agama. Namun demikian, tindakan yang mereka
lakukan masih sebatas dalam tataran sederhana, menyampaikan dakwah dan
nasehat dalam bingkai kegiatan formal. Baru kemudian muncul sosok Kyai
Khoiron yang melakukan trobosan selain menggunakan pendekatan formal ia
juga tak segan melakukan aksi pendekatan dan pendampingan secara langsung
kepada masyarakat. Dengan gigih ia lakukan pola pembinaan tersebut sehingga
kemudian terbentuklah keinginan bersama masyarakat untuk mewujudkan suatu
tatanan yang harmonis dan seimbang. Buah manis pun didapatkan dari jerih
payah usaha selama bertahun-tahun. Sebuah lingkungan tempat tinggal
masyarakat yang pada mulanya menjadi salah satu basis pelacuran terbesar di
Surabaya, kini perlahan sirna dan berubah sebagaimana layaknya lilngkungan
masyaraat normal pada umumnya. Dengan demikian diketahui bahwa terjadinya
perubahan sosial di kampung Dupak Bangunsari Surabaya ini melalui proses
panjang dengan proses usaha yang disengaja untuk mewujudkannya.
3. Dari data wawancara dari beberapa pihak, didapatkan hasil bahwa kesuksesan
Pemkot Surabaya dalam mengeksekusi kebijakan menutup lokalisasi Dupak
Bangunsari ini bukanlah semata-mata prestasi tunggal dari pemkot semata,
namun juga ada pihak lain disana yang layak dan sangat memberikan kontribusi
nyata dalam perubahan ini, yakni Kyai Khoiron. Meskipun dalam penulisan ini
bukan bermaksud menonjolkan Kyai Khoiron dengan menepikan pihak-pihak
lain yang juga berkontribusi.
Page 25
25
F. Daftar Pustaka
Abdullah, Syamsudin, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama,
Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997.
Amalia ,Astry Sandra, Dampak Lokalisasi Pekerja Seks Komersial (PSK) Terhadap
Masyarakat Sekitar, eJournal Administrasi Negara, , vol 1, no 2, 2013.
Dirdjosisworo, Soedjono, Pathologi Sosial: Gelandangan Penyalahgunaan Narkoba
…., Bandung: Penerbit Alumni, 1974.
Dhofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta, LP3ES, 1994.
Edlund, Lena and Evlyen Korn, A Theory of Prostitution,The University of Chicago,
Journal Of Political Economi, vol 110, no 1, 2002
Kartono, Dr. Kartini, Patologi Sosial, Jakarta, Rajawali Pers, 2011.
Lauer, Robert H., Prespektif tentang perubahan Sosial, terjemahan. Alimandan,
Jakarta: Rineka Cipta,1993.
Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat, terjemahan. Abdul Muis
Naharong, Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Puspito, Hendro, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta: CV.Rajawali, 1986.
Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1986.
Sunarto, Kyai Prostitusi, Pendekatan Dakwah KH. Muhammad Khoiron Syu‘aib di
Lokalisasi Surabaya, Surabaya: IDIAL-MUI, 2012
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, terjemahan. Alimandan, Jakarta:
Prenada, 2007.
G. Dokumentasi Naskah Wawancara36
G.1. Kyai Khoiron, Tokoh Utama Penulisan Karya Ilmiah.
Pertanyaan: Sejak tahun berapa bapak tinggal di kawasan ini?
Jawaban: Pertama tinggal disini sekitar bulan Desember tahun 1969 akhir, jadi ya
unda-undi (hampir-hampir) tahun 1970. Yang mana saat itu menjadi momentum
puncak-puncaknya lokalisasi Dupak Bangunsari ini.
Pertanyaan: Bagaimana kondisi awal masyarakat Dupak Bangunsari pada saat itu?
36 Naskah wawancara ini ditulis sesederhana mungkin setelah melalui proses pemilih dan
pemilahan. Jadi masih terdapat banyak perbincangan yang tidak mungkin untuk di cantumkan
keseluruhan. Adapun perbincangan yang di cantumkan adalah perbincangan yang menurut penulis
paling penting.
Page 26
26
Jawaban: Sedang parah-parahnya mas, apalagi rumah saya yang bisa dibilang berada
di tengah-tengah lokalisasi. Ini rumah saya di kelilingin sama rumah-rumah bordil
semua. Jadi kalau kita buka pintu sedikit, ngeliat orang berbuat seronok itu sudah biasa
sekali.
Pertanyaan: Upaya apa saja yang bapak lakukan untuk merubah kondisi ini?
Jawaban: Ada beberapa hal, diantaranya ya saya melakukan pendekatan dan
pendidikan formal melalui dakwah-dakwah yang ada di masjid, dan pengajian-
pengajian undangan, berikutnya saya mulai mulai pendekatan sama ketua RW, karena
ibarat kita megang ular, pegang kepalanya. Setelah semua elemen yang memiliki kuasa
bisa diajak bekerja sama baru saya melakukan dakwah secara terbuka dan bebas, tidak
hanya dalam kegiatan formal namun juga pendekatan dan pendampingan keseharian
secara langsung terhadap mereka yang membuttuhkan (PSK dan germo).
Pertanyaan: Apa yang melatar belakangi bapak sehingga berkeinginan menjadi agent
of change dalam masyarakat ini?
Jawaban: Semacam panggilan dari dalam hati, waktu itu saya kan berstatus sebagai
santri, seringkali saya dan pak Narto (Dr. Sunarto) diejek oleh kawan-kawan sebagai
alumni pesantren yang gak bisa berbuat apa-apa untuk kemaksiatan ini. Nah dari
situlah terketuk hati saya untuk berazam melakukan perubahan dala masyarakat ini.
G.2. Bapak Abdul dan Bapak Bambang, Warga Asli Dupak Bangunsari
Pertanyaaan: menurut jenengan-jenengan gimana sih bapak itu?
Narasumber: Orangnya baik mas, bersahaja dan sangat berbeda dengan Kyai-kyai
kebanyakan. Malah kalo orang gak kenal gak bakal tau kalau yang di depannya itu
kyai. Kalau bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat,bapak orangnya kerap
membaurkan diri, tidak hanya di forum-forum yang sifatnya formal saja.
Pertanyaan: Kalau kontribusi bapak yang jenengan ketahui apa?
Narasumber: Kepeduliannya terhadap masyarakat Dupak Bangunsari khususnya
kpeada para mucikari dan PSK sangat tinggi mas.
G.3. Bapak Marjoko Warsito, warga Dupak Bangunsari usia 53 tahun, anggota
LINMAS.
Pertanyaan: Kalau menurut pendapat bapak, bagaimana sosok Kyai Khoiron ini?
Narasumber: Orangnya baik, perhatian, dan bisa membimbing masyarakat. Saya ini
kan LINMAS, jadi saya tau betul bapak karena selama perjuangan bapak saya sering
dilibatkan. Lebih-lebih yang berhubungan dengan RW.
Pertanyaan: kalau kontribusinya?
Page 27
27
Narasumber: Cukup banyak mas, bahkan andaikata Kyai Khoiron tidak gerak, bisa
jadi sampai seterusnya "Dupak Bangunsari" akan tetap jaya mas. Wong, sebenarnya
kalau kyai itu disini banyak, cumin kalau yang mau turun langsung dan ngemong
masyarakat gak bener ya cuma bapak.
Pertanyaan: selain hal positif ada tidak hal lain yang ingin diungkap mengenai Kyai
Khoiron, atau yang berkaitan dengan perjuangannya?
Narasumber: Ada mas, kalau menurut saya, harusnya untuk perjuangan mulia ini
tidak dilakukan secara setengah-setengah. Maksud saya, aktivitas yang terjadi di Dupak
Bangunsari ini kan sudah berjalan tahunan. Jadi ya harus dimaklumi jika kemudian
banyak pihak yang menggantungkan hidupnya pada ramainya aktivitas lokalisasi ini.
Jadi kalau mau ditertibkan dan di cari solusinya, mbok ya jangan separuh-separuh,
jangan cuma mikirin PSK sama germonya saja. pikirin juga orang-orang yang
menggantungkan hidupnya dari keramaian lokalisasi ini. Kasih solusi juga lah.
G.4. Bapak Sugiono Warga Dupak Bangunsari Surabaya, Usia 56 Tahun.
Pertanyaan: Seberapa jauh bapak mengenal sosok Kyai Khoiron?
Narasumber: biasa saja mas, kalo interaksi secara langsung jarang, cumin kalau
mendengar nama dan kontribusinya sering.
Pertanyaan: kalau begitu apa saja kontribusi beliau yang jenengan ketahui?
Narasumber: Banyak mas jasanya bapak, ia orangnya baik, mau ngemong dengan
telaten dan sabar sama orang-orang yang gak bener. Lebih-lebih sama mereka yang
PSK dan mucikari, dan sampean bisa lihat sendiri sekarang hasilnya
Pertanyaan: Seingat bapak, bagaimana kondisi keagamaan masyarakat Dupak
Bangunsari pada masa awal-awal bapak dulu?
Narasumber: kalau sebagian besar penduduk sini sih (Dupak Bangunsari) dari dulu
mayoritas ya Islam (yang secara kultural mengikuti tradisi) NU. Yang kayak gitu itu
bisa dilihat ketika ada salah satu warga yang meninggal dunia kita gerudukan
(berduyun-duyun) ikut melakukan (ritual) tahlilan.
Pertanyaan: berarti semangat beragama orang-orang dulu sudah seperti yang terjadi
sekarang ini? Artinya mereka sudah paham baik-buruk, dan rajin beribadah?
Narasumber: "walah mas, endi ngerti wong-wong ngunu iku, wong-wong ngertine yo
lek adzan wayae sembayang, sembayang iku maceme 5, lek kapan wulan poso yo poso,
tapi yo mbuh dilakoni ta gak yo biasa-biasa ae seh mas. Tapi yo gak kabeh seng sobo
mesjid yo lumayan masio akeh seng gak (walah mas, mana tau mereka tentang Islam
yang aneh-aneh, mereka taunya paling kalo ada suara adzan itu menunjukkan waktunya
sholat tiba, dan sholat itu sehari ada lima kali, trus kalau masuk bulan ramdhan itu
disuruh puasa, tapi ya gak tau itu semua dijalani apa enggak. Ya biasa-biasa saja lah
Page 28
28
mas. Tapi ya gak semua, yang aktif mendatangi masjid juga jumlahnya lumayan
meskipun banyak yang tidak).
H. Dokumentasi Foto