17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang melingkupinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal (Rahmatan li al-‘Alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan dengan memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit. Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (mu’amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Bila seorang Muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa
yang melingkupinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan
sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap
insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal (Rahmatan li
al-‘Alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan
yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang
dihadapi kaum muslimin dengan dengan memberikan keringanan hukum pada
obyek hukum yang dinilai sulit.
Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang
dialami seorang Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial
(mu’amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek
yang dibebankan kepadanya. Bila seorang Muslim dalam menjalankan sebuah
kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi
serta kemudahan-kemudahannya.
Dalam penggalian Hukum Islam, kita mengenal kaidah “Kesulitan itu
mendatangkan kemudahan”. Yang dikenal dengan nama: تجلب المشقة
.التيسير
Qa’idah ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas
dispensasi syar’i didassari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa’idah fiqhiyah,
Qa’idah ini juga menjadi Qa’idah ushuliyah ai-ammah. Bahkan menjadi Qa’idah
yang memiliki sifat qath’y, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi
landasan tumpuannya sangant sempurna.
1
Sesungguhnya syari’ah tidak menuntut seseorang untuk melakukan
sesuatu yang menjatuhkannya pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai
dengan karakter dan hati nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan
dasar dari “pemilik syari’ah yang bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah
Islam.
Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan secara kontinyu. Orang
yang menderita sakit-berdasarkan perkiraan medis-yang tidak memungkinkan
sembuh secara biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan bebrapa
kewajiban. Oleh karena itu, kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberi
dispensasi, mengganti, dan mengubahnya. Sedangkan orang yang berpergian jauh
berdasarkan kebiasaan mengalami kelelahan dan karenanya berat dalam
melaksanakan kewajiban. Itupun diatasi dengan cara memberikan keringanan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir?
2. Bagaimanakah tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli
al-taisir?
3. Sebab-sebab apasaja yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh
penyusun adalah untuk mengetahui:
1. Mengetahui maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir dan
memahaminya.
2. Mengetahui tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli
al-taisir.
2
3. Mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau
toleransi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Kaidah
Secara bahasa, al-masyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan,kepenatan,
keletihan), Sedang arti terminology kata al-taysir adalah al-subulat (gampang,
mudah, ringan), dan al-luyunat (lunak, halus, dan ramah).1
Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah :
فى ومشقة المكلف على حرج تطبيقها عن ينشا التي االحكام ان
عسر دون المكلف قدرة تحت يقع بما تخففهما فاالشريعة ماله او نفسه
خرج او
“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan
sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga bebab
tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”2
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya
kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka
syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya agama Allah
adalah agama yang mudah.” (kata-kata itu) diucapkan tiga
kali.
c. Hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim:
اال أمرين بين وسلم رسولهللارسولهللاصىلهللاعليه ماخير
إثما يكن لم ما أيسرهما اختار“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara,
kecuali beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama
yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa”.
d. Hadits yang berbunyi:
تعسروا وال يسروا“Permudahlah dan jangan menyulitkan”.
e. Hadits riwayat Imam Ahmad dari Jabir ra.:
السمحة لحنيفية با بعثت“Aku (Nabi saw.) diutus untuk meninggalkan yang tidak
berhak dan dengan membawa ajaran yang mudah”.
Selain itu, masih banyak hadits-hadits lain yang membincang
seputar kemudahan dan keringanan syariat yang dibawa oleh Nabi
saw. Namun kelima hadits diatas kiranya sudah cukup untuk dijadikan
parameter, bahwa Islam bukanlah agama yang sulit.
Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah
disebutkan diatas, maka tercetuslah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib
al-taysir yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang
terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan
memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan
besarnya apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan
keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika
seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal,
kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu
lebih dicintai oleh Allah swt.
5
Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku
serampangan dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu
yang harus dipenuhi agar kemudahan itu dapat diperoleh.
3.1 Masyaqqah
3.1.1 Definisi Masyaqqah
Lafazh masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat, dan yang
searti dengannya. Dalam bahasa Arab, ketika dikatakan syaqqa alayhi
al-syai’ berarti ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang. Di
dalam Al Qur’an terdapat lafazh yang berasal dari akar yang sama
dengan masyaqqah, yakni syiqq al-anfus, sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Nahl ayat tujuh.6
Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna.
(1) Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu
dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang
manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah
dalam pengertian pertama ini. (2) Masyaqqah dimaknai sebagai
perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja
hal itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam
kesulitan yang sangat berat.7 (3) Masyaqqah dalam pengertian
kesulitan yang tidak sampai ‘keluar’ dari kebiasaan umum. (4)
Masyaqqah yang dimaknai sebagai ‘melawan hawa nafsu’.8
3.1.2 Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah
Berdasarkan analisa al-Suyuthi, karakteristik kesulitan
(masyaqqah) secara umum terbagi dalam dua pembagian pokok:9
6 Al-Syathibi: al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, II/119, ed. Abdullah Darraz. Dar al-Ma’rifah, Beirut.7 Bagian yang kedua ini oleh al-Syathibi dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, berupa sifat yang menetap pada sebuah pekerjaan. Artinya ketika pekerjaan itu dikerjakan untuk pertama kali akan langsung menimbulkan masyaqqah. Kedua, masyaqqah yang bukan merupakan ‘sifat asli’ dari pekerjaan itu, dengan kata lain kesulitan dalam perbuatan semacam ini baru terasa setelah dilakukan berulang-ulang al-Muwafaqat, Ibid, II/ 1208 Ibid, II/ 1219 Periksa antara lain, Jalal al-Din al-Suyuthi: al-Asybah wa al-Nahzair, ed. Muhammad al-Mu’tashim Billah. Dar al-Kitab al-‘Arabi, cet.IV, 1998, hal. 168, dan Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Op.cit., hal. 234
6
1) Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah).
Misalnya: rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak
secara otomatis menggugurkan kewajiban haji.
2) Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah
jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:
a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung
(a’la). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta,
keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada
taraf inilah syariat memberlakukan keringanan hukum
(rukhshah). Sebab, demikian tulis al-Suyuthi, pemeliharaan
jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban
syariat lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan sama
sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’
melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak
mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada
keselamatan jiwa maupun raganya.
b. Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal,
pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada
sama sekali legitimasi syariat untuk memberi rukhshah.
Sebab kemaslahatan ibadah masih lebih penting daripada
menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari
masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari
hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga
kemaslahatan ibadah yang nyata punya nilai lebih besar harus
lebih diutamakan.
c. Masyaqqah pertengahan (al-mutawassithah) yang berada
pada titik interval diantara dua bagian sebelumnya. Jenis
masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika
telah mendekati kadar masyaqqah pada urusan yang tertinggi
(a’la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori
7
masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat
menyebabkan rukhshah.
3.1.3 Metode Taqribi10
Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif,
dalam arti ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A
merasa berat mengerjakan, tapi si B tidak, padahal pekerjaannya
sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassitah. Karena
itulah fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna
mengukur berapa jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan
hukum.
Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran
kadar masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak.
Jika kadar masyaqqah masih dalam taraf rendah (adna), maka tidak
ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf rendah,
baik telah mencapai kategori mutawassithah ataupun sampai level
tertinggi (a’la), maka ia akan mendapat rukhshah.
Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami
masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu
dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya
bertambah, yakni masyaqqah berpuasa ditambah masyaqqah sakit.
Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas minimal
(adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.11
Contoh lainnya adalah musafir yang mengerjakan puasa. Selain
mengalami musyaqqah puasa, ia juga ditimpa masyaqqah berupa
beratnya melakukan perjalanan.12
3.2 Rukhshah (Toleransi)
3.2.1 Definisi Rukhshah dan ‘Azimah
Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang
diberikan syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam
Toleransi ini adalah bentuk imbangan bagi wanita yang memang tidak
punya kekuasaan untuk mentalak, sebagaimana seorang suami.
c. Disyariatkannya ruju’ setelah terjadinya perceraian, karena
dimungkinkan perceraian terjadi bukan atas dasar pertimbangan yang
matang.
36 Ibid.
15
1.3 Rukhshah (Toleransi) Bagi Mujtahid37
Contohnya, seorang hakim di pengadilan, yang juga termasuk mujtahid,
juga mendapat keringanan. Dalam membuat keputusan hukum dia cukup
berpegang pada persangkaan kuat yang didapatkan dari kesaksian para saksi
yang adil dan terpercaya. Ia tidak diwajibkan memberi putusan hukum yang
benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada dan dalam pengertian yang
sebenar-benarnya. Walaupun demikian, dia tetap harus berusaha
memutuskan hukum yang sesuai dengan ‘kebenaran’ semaksimal mungkin.
1.4 Rukhshah (Toleransi) dalam Ibadah
Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum sebagai
pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah
ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna.
37 Ibid.
16
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir adalah bahwa hokum-
hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran
bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga
mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Dikatakan pula bahwa dalam hukum-hukum syar’i tidak akan pernah
didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-Nya.
Dalil-dalil tersebut juga mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan
hokum-hukum-Nya (yang termuat dalam syari’ah Islam), pada hakikatnya
bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada hamba-
Nya. Seluruh amal ibadah, baik yang berhubungan dengan hati, atau yang
berhubungan dengan anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah, kecuali
semua itu sudah sesuai (seukuran) dengan kadar kemampuan seorang
mukallaf.
2. Menurut pandangan saya dalam Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:
حرج من ليجعلعليكم هللا مايريد
Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”.Secara etimologis (bahasa), lafadz haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq, yang sama-sama memiliki arti ”kesempitan” atau “kondisi sulit”. Sehingga menurut musafirin, kalimat haraj pada ayat diatas mencakup berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya.
17
3. Setidaknya ada tujuh sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan
atau toleransi. Seperti: Ikrah (terpaksa), Nis-yan (lupa), Jahl
(ketidaktahuan), Al-‘Usr (kesulitan), Safar (bepergian), Maradl (sakit),
Naqish (nilai minus).
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, al-Fawaid al-Janiyyah, Dar al-
Fikr, Beirut, Libanon, cet. I, 1997
Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh,