Top Banner
This article aims to present the importance of sufism in the application of Islamic law, and how both are ideally positioned. In many legal issues, sufism often separable. Sharia and law, all this time always use sight of valid non-valid towards 'ubudiyah. Thus the law made often feels dry because of lack of ethics, or even without ethics. This can be seen from the existing hilah in the concept of fiqh. While on the other hand sufism emphasizes the servitude, sincerity and honesty. Based on this literature research, it is known that basically, sufism and shariah equally put God as the purpose of worship. The difference is in terms of motivation. Sufis wishes to melt with God because of the encouragement of love or ittihad (unification), while the motivation in shari'ah is the desire to obey God. Ideally, the worship of Allah, shari'ah and sufism approaches should be equally used. It is impossible that people can love deeply without adherence to a loved one. Love is sufism, and obedience is shari'ah. URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM Barowi Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara Email: [email protected] Artikel ini bertujuan untuk menyajikan pentingnya sufisme dalam penerapan hukum Islam, dan bagaimana keduanya idealnya diposisikan. Dalam banyak masalah hukum, sufisme sering dipisahkan. Syariah dan hukum, selama ini selalu menggunakan kaca mata sah-tidak sah dalam ubudiyah. Dengan demikian hukum yang dibuat sering terasa kering karena kurangnya etika, atau bahkan tanpa etika. Hal ini dapat dilihat dari hilah yang ada dalam konsep fiqh. Sementara di sisi lain sufisme menekankan penghambaan, ketulusan dan kejujuran. Berdasarkan penelitian pustaka ini, diketahui bahwa pada dasarnya, sufisme dan syariah sama menempatkan Tuhan sebagai tujuan ibadah. Perbedaannya adalah dalam hal motivasi. Sufi mengharapkan mencair bersama-sama Allah karena dorongan cinta atau ittihad (penyatuan), sedangkan motivasi syariah adalah keinginan untuk taat kepada Allah. Idealnya, dalam menyembah Allah, syariah dan pendekatan tasawuf harus sama-sama digunakan secara bersama. Tidak mungkin bahwa orang-orang yang benar-benar mencintai tanpa kepatuhan terhadap orang yang dicintai. Cinta adalah sufisme, dan ketaatan adalah syari'ah. Abstract sufism, Islamic law, hilah, syari'ah. Keywords Abstrak ISTI’DAL; , Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150 Jurnal Studi Hukum Islam 1
10

URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

Dec 03, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

This article aims to present the importance of sufism in the application of Islamic law, and how both are ideally positioned. In many legal issues, sufism often separable. Sharia and law, all this time always use sight of valid non-valid towards 'ubudiyah. Thus the law made often feels dry because of lack of ethics, or even without ethics. This can be seen from the existing hilah in the concept of fiqh. While on the other hand sufism emphasizes the servitude, sincerity and honesty. Based on this literature research, it is known that basically, sufism and shariah equally put God as the purpose of worship. The difference is in terms of motivation. Sufis wishes to melt with God because of the encouragement of love or ittihad (unification), while the motivation in shari'ah is the desire to obey God. Ideally, the worship of Allah, shari'ah and sufism approaches should be equally used. It is impossible that people can love deeply without adherence to a loved one. Love is sufism, and obedience is shari'ah.

URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

BarowiUniversitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara

Email: [email protected]

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan pentingnya sufisme dalam penerapan hukum Islam, dan bagaimana keduanya idealnya diposisikan. Dalam banyak masalah hukum, sufisme sering dipisahkan. Syariah dan hukum, selama ini selalu menggunakan kaca mata sah-tidak sah dalam ubudiyah. Dengan demikian hukum yang dibuat sering terasa kering karena kurangnya etika, atau bahkan tanpa etika. Hal ini dapat dilihat dari hilah yang ada dalam konsep fiqh. Sementara di sisi lain sufisme menekankan penghambaan, ketulusan dan kejujuran. Berdasarkan penelitian pustaka ini, diketahui bahwa pada dasarnya, sufisme dan syariah sama menempatkan Tuhan sebagai tujuan ibadah. Perbedaannya adalah dalam hal motivasi. Sufi mengharapkan mencair bersama-sama Allah karena dorongan cinta atau ittihad (penyatuan), sedangkan motivasi syariah adalah keinginan untuk taat kepada Allah. Idealnya, dalam menyembah Allah, syariah dan pendekatan tasawuf harus sama-sama digunakan secara bersama. Tidak mungkin bahwa orang-orang yang benar-benar mencintai tanpa kepatuhan terhadap orang yang dicintai. Cinta adalah sufisme, dan ketaatan adalah syari'ah.

Abstract

sufism, Islamic law, hilah, syari'ah.

Keywords

Abstrak

ISTI’DAL; , Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150Jurnal Studi Hukum Islam

1

Page 2: URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

Pendahuluan berbeda dengan hukum aslinya. Sekedar “Quid leges sine moribus” (apa artinya memutar cara atau jalan untuk memuaskan

peraturan hukum jika tidak disertai moralitas). nafsu, agar bisa menikmati yang haram Demikianlah pepatah Romawi Kuno ketika maupun yang syubhat.d i t e r a pk a n u n tu k men gga mba rk a n Syari'ah terasa kaku, kering, dan pelaksanaan syari'ah tanpa sufisme. Di sini, gamang. Ia hanya mampu menuntut tanpa syari'ah digambarkan sebagai praktik berfiqh mampu memahami. Hukum berpihak kepada atas prosedur-prosedur hukum, sementara yang berkuasadan mampu menuruti, tetapi sufisme diandaikan sebagai ruh tindakan gagap memahami pihak yang lemah. Terbukti, berfiqh. Syari'ah cenderung ke arah leges, misalnya, pengabaian kehidupan perempuan sementara sufisme ke aspek moribus. dan anak-anak dilegalkan atas nama sahnya

Syari'ah sebagai pranata eksoteris dalam poligami dan nikah sirri. Aspek psiko-sosial Islam, kerapkali hanya berjalan di atas rel perempuan dan anak-anak akibat dua positivisme-empirisme, lahiriah-inderawi. perbuatan hukum tersebut tidak mampu Konsepsi “nahnu nahkumu bi dzawahir” ditangkap karena kesibukan memperhatikan membangun orientasi bahwa syari'ah hanya legal-formalnya saja. Suramnya masa depan “menghukumi” yang tampak kasat mata anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri belaka. Akibatnya, hukum agama yang dan poligami sangat jelas bisa disaksikan, terkandung dalam syari'ah dijalankan atas namun kemudian dinafikan karena alasan dasar, dengan, dan untuk persoalan yang dapat nikah sirri dan poligami adalah sah menurut terukur dengan mata kepala (formal-legal), hukum syara'. Bahkan ironisnya, kekerasan tanpa memperhitungkan mata batin (moral- dalam rumah tangga terhadap perempuan intuitif). Seolah apa saja yang dibenarkan (istri) disahkan atas nama penegakan syari'ah, menurut panca indera, maka pasti akan benar sambil di saat bersamaan melantangkan bahwa pula menurut syari'ah. Sebaliknya, apa saja syari'ah ditujukan untuk menjaga keselamatan yang tidak tampak secara lahir, maka akan jiwa-raga (hifdz al-nafs).terabaikan meski sesuai dengan maqashid al- Atas dasar pemikiran di atas, tulisan ini syari'ah. mencoba “menakar ulang” sufisme dalam

Syari'ah, sebagai seperangkat hukum penegakan syari'ah. Itu sebabnya, masalah Islam, yang dilaksanakan atas dasar nalar utama yang dikaji di sini adalah: (1) bagaimana positifistik juga terbukti membuka peluang dialektika sufisme dan syari'ah terjadi? (2) terjadinya rekayasa hukum (al-hilah al-syar'iyah) mengapa rekayasa hukum (al-hilah al-syar'iyah) untuk menghindari beban taklif. Seorang bisa terjadi, serta bagaimana kaitannya dengan mukallaf dapat saja menghindari beban sufisme dan syari'ah? (3) apa tujuan dan kewajiban asal secara prosedur (lahiriyah) manfaat sufisme dalam pelaksanaan syari'ah?memenuhi syarat, meskipun di sisi lain akan tampak keringnya semangat ketulusan dalam Dialektika Sufisme dan Syari'at; dari Ideologi ketaatan beragama. Pelaksanaan syari'ah yang ke Epistemologihanya berkutat pada persoalan “sah-tidak sah” Sufisme (bahasa Inggris) dan tasawuf menjadikan praktik beragama terjebak dalam (bahasa Arab) merupakan dua kata yang prosesi “menggugurkan kewajiban” belaka. menunjuk pada konsepsi yang sama, yaitu

Dengan mencari celah-celah untuk tentang hal-ihwal etika dan moralitas dalam merekayasa hukum, membuat-buat trik atau beragama. Ia merupakan perangkat untuk tipu daya hal-hal yang telah jelas haram dengan membenahi hati agar dalam menjalankan upaya menyamarkan keadaan, maka akan agama sampai kepada tingkatan terbaik di sisi tampak menjadi halal. Karena keringnya Allah, serta untuk mewujudkan misi rahmatan praktik beragama, berbagai cara dilakukan li al-'alamin. Sufisme secara perilaku telah untuk mengelabui dan untuk memperdaya diajarkan oleh Nabi, sedangkan kata tasawuf sehingga mendapatkan label halal dalam baru muncul sekitar abad ke tiga Hijriah (Amin bermu'amalah. Padahal, jika diamati, pada Syukur, 2011: 43-45). Perbedaan kemunculan hakikatnya cara yang ditempuh tidak jauh inilah yang kerapkali mendasari dialektika

Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam | 2

ISTI’DAL; , Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150Jurnal Studi Hukum Islam

Page 3: URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

sufisme dengan syariah. Dalam catatan sejarah, menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam.yang pertama sering dituduh antagonis-bid'ah, Pertentangan sistem pemikiran di yang kedua diposisikan sebagai protagonis- kalangan syari'ah dan sufisme terus berlanjut absah. hingga sekarang. Kaum Sunni sebagai

Dialektika sufisme dan syari'ah ini pengawal syari'ah pada perkembangannya merupakan pergulatan dua arus besar mampu menempati posisi dominan dalam pemikiran yang berkembang dalam tradisi kekuasaan politik. Adanya reaksi keras atas pemikiran Islam. Menurut Abed al-Jabiri dominasi ini memunculkan oposisi dari (1991: 21-23; 2000:10-21), pergulatan itu kalangan sufisme yang biasanya berasal dari bermula dari benturan tradisi kaum Sunni- kalangan luar kekuasaan. Gerakan oposisi ini Abbasiyah dengan tradisi kaum Syi'ah- terus meluas, hingga pada akhirnya Fatimiyah. Benturan ini bukan hanya pada memunculkan gerakan pembaharuan Islam. persoalan ideologi (politik) saja, melainkan Meskipun demikian, dominasi syari'ah tetap menukik hingga ke akar-akar epistemologis. tidak terkalahkan. Hal ini semakin tampak

Tradisi pemikiran Syi'ah Fatimiyah, ketika gerakan Wahabisme berhasil meraih sebagaimana pemikiran Syi'ah lainnya, kekuasaan politik yang kemudian diatur di berdasar pada sistem pemikiran irfani (gnosis- bawah konstitusi syari'ah Saudi Arabia. Hanya mistis). Dalam tradisi ini, pemikiran Syi'ah saja, gerakan purifikasi semacam ini hanya dibangun dengan gerakan kaum sufi, kaum menyentuh wilayah keagamaan secara dangkal. falasifah-bathiniyah, dan kaum isyraqy Bahkan, sebagaimana Turner yang disitir (illuminasionis). Sementara tradisi yang Bizawie, gerakan purifikasi Islam itupun gagal berkembang di tradisi Sunni-Abbasiyah menumbuhkan sistem etika duniawi yang bertolak dari kodifikasi (tadwin) disiplin- rasional dan produktif. Tidak jarang, syari'ah disiplin keilmuan Islam. Karenanya, tradisi dimanipulasi elit untuk kepentingan politik pemikiran ini mengambil bentuk kompilasi tertentu (Bizawie, 2012: 19).dan rekonstruksi warisan pra-Islam dan masa Kecenderungan kalangan syari'ah seperti permulaan Islam, termasuk tradisi filsafat itu mengingat syari'ah yang sejak awalnya Yunani. Dasar epistemologisnya adalah bayani, diartikan agama, akhirnya ditujukan sebagai yang berarti bukan hanya pengungkapan/ perangkat hukum-hukum yang bersifat penjelasan teks yang baik, tetapi sebuah amaliyah. Bahkan, syari'ah terkadang pandangan dunia yang ortodoks. dikhususkan untuk menyebut hal-hal yang

Pertentangan dua tradisi besar tersebut bersangkutan dengan peradilan dan kemudian membentuk konflik baru, yaitu pengajuan kepada mahkamah dan tidak antara kaum mistis (irfaniyun) dengan kaum mencakup halal-haram. Syari'at menyangkut tekstualis (nashiyun). Yang pertama dikenal kewajiban, had-had perintah, dan larangan. dengan “kalangan esoteris”(ahl bathin), Sehingga tidak termasuk di dalamnya akidah sementara yang kedua dikenal dengan dan hikmah-hikmah, seperti sabar, khusyu', “kalangan eksoteris” (yang jauh dari takwil ikhlas, tawakkal, pemaaf, kearifan, dan muatan atau penafsiran metaforis-alegoris). moral lainnya (Syah, 1992: 12).

Dari benturan dua arus di atas, menurut Ketegangan antara aspek esoteris al-Jabiri, tradisi pemikiran Andalusia dengan (sufisme) dan eksoteris (syari'ah) ini disatukan tokohnya Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd oleh al-Ghazali. Baginya, “amaliyah” terbagi mengambil bentuk pemikiran tersendiri yang atas dua kategori, yakni amal yang berurusan literalis namun kritis dengan mendasarkan dengan batin manusia dan amal yang pada sistem burhani(rasionalis). Dengan berkenaan dengan luar atau lahirnya (dzahir). berbekal ilmu-ilmu eksakta dan warisan Dalam penjelasan etisnya, perhatian terhadap pemikiran pra-Islam, Andalusia mengkritisi amal lahir mendahului amal batin. Latihan kedua tradisi pemikiran di atas. Di sinilah, peta spiritual bagi seorang yang hendak pemikiran Islam secara garis besar dapat dibaca meningkatkan kualitas keagamaannya harus dengan batas-batas pengertian aliran, yaitu dimulai dari amal lahir, kemudian setelah itu aliran arus irfani, bayani, dan burhani, yang baru diperkenankan melatih diri dengan amal

3 | Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam

ISTI’DAL; , Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150Jurnal Studi Hukum Islam

Page 4: URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

batin. Berikut pernyataan al-Ghazali: dijelaskan al-'Asqalani, mempunyai arti “segala “...harus disadari bahwa petunjuk itu cara yang mengantarkan kepada tujuan dengan ada awal dan akhirnya, aspek lahir dan cara yang tersembunyi (lembut)” (al-Asqalani, batin. Tidak seorang dapat mencapai t.th, XII: 326). Adapun secara istilah, hilah akhir itu tanpa menyelesaikan awalnya; adalah “melakukan suatu amalan yang tidak seorang bisa menemukan aspek dzahirnya boleh untuk membatalkan hukum batin tersebut tanpa menguasai aspek syar'i serta memalingkannya kepada hukum lahirnya. Maka di sini saya berikan yang lainnya” (Al-Syathibi, t.th, IV: 201).nasehat tentang awal petunjuk itu, agar Ibnu Taimiyyah menyatakan, “kata hilah dengan begitu Anda dapat meneliti bila diarahkan menurut pemahaman ulama sendiri dan menyelidiki hatimu. Jika fiqih mengandung arti tipu daya atau cara yang Anda dapati hatimu tertarik kepada hal dipakai untuk menghalalkan hal-hal yang itu dan jiwa Anda tenang dan menerima, haram” (Ibn Taimiyyah, 1976, III: 223). l a n j u t k a n l a h , d a n t u j u l a h Sementara bagi Ibnu Qudamah,hilah adalah akhirnya........” (Al-Ghazali, t.th: 87). “menampakkan transaksi yang mubah, sebagai

tipu daya dalam melakukan hal yang Amal lahir tersebut dibagi al-Ghazali ke diharamkan atau jalan yang mengantarkan

dalam dua arah, yaitu ditujukan untuk Allah kepada sesuatu yang telah Allah haramkan…” dan diarahkan kepada sesama manusia. Arah (Ibn Qudamah, t.th, IV: 179). Dengan pertama adalah sama sebagaimana ibadah yang demikian, dapat dikatakan, rekayasa hukum diperintahkan syari'at, tujuh jumlahnya: salat, bisa menjadi diharamkan ketika rekayasa puasa, zakat, pergi haji, membaca al-Qur'an, tersebut dalam perkara-perkara yang haram, dzikir kepada Allah dan berdoa kepadaNya. dengan menggunakan cara tidak langsung atau Empat yang pertama wajib, dan tiga setelahnya terselubung.sunnah. Semakin tinggi tingkat kesalehan Dengan upaya seperti itu, hukum seseorang semakin banyak amal sunnah yang ditransformasikan melalui metode yang halus dilakukannya sebagai ihsan. Sebaliknya, orang demi tujuan tertentu yang tidak bisa yang gagal melaksanakan yang wajib adalah dimengerti kecuali disertai oleh bentuk orang yang krisis moral (Al-Ghazali, 1346 H: kecerdasan dan kecerdikan. Apabila yang 141). Di sinilah, sufisme ditekankan al-Ghazali dimaksud adalah baik, maka dimungkinkan dalam pelaksanan syari'ah sejak dalam hilah hukum yang dilakukan akan baik. pengamalan ibadah mahdlah. Sebaliknya, jika buruk, akan buruk pula hilah

Seiring waktu, dialektika sufisme dan yang terjadi. Sebagian kalangan memandang syari'ah terus berjalan hingga sekarang. jika penerapan hilah hukum dimaksudkan Penya tuan ' a l a a l -Ghaza l i t e rnya t a untuk menghalalkan yang haram, maka sikap mendapatkan respon yang tidak selamanya semacam ini diidentikkan dengan perilaku positif. Bahkan, tidak jarang, ia dituduh munafiq yang menjalankan agamanya tidak sebagai biang kemunduran Islam terutama disertai dengan ketulusan. Ketundukan o l e h k a l a n g a n p e j u a n g p u r i f i k a s i terhadap agama hanya dilakukan ketika tidak Islam.Masuknya muatan sufisme ke dalam ada jalan lain yang lebih ringan. Sehingga, syari'at masih belum sepenuhnya memadahi. ketika terdapat alasan yang meringankan

beban hukum tersebut, ia lebih memilih hilah hukum demi kemudahan dan keringanan Al-Hilah al-Syar'iyyah; Potret Keculasan dirinya (Uways, 1998: 127).Syari'ah

Hilah hukum adalah rekayasa hukum. Dinamika hukum Islam berjalan terus-Dan rekayasa hukum menjadi mungkin jika menerus, melintasi batas-batas waktu dan dilakukan dengan pertimbangan pragmatisme tempat. Salah satu dinamika dalam hukum atas formalitas dan prosedur hukum. Islam terdapat suatu model hilah hukum (al-Pragmatisme selalu mencari celah yang hilah al-syar'iyyah) untuk mendapatkan “menguntungkan” bagi dirinya, tanpa kemudahan dengan “benar”.memikirkan hikmah dan tujuan hukum yang Secara bahasa, kata hilah, sebagaimana

ISTI’DAL; , Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150Jurnal Studi Hukum Islam

Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam | 4

Page 5: URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

memikirkan hikmah dan tujuan hukum yang disyari'atkan (seperti menikah, melakukan sesungguhnya. Dengan demikian, hilah hukum jual-beli, memberikan hadiah, dan sebagainya), merupakan upaya mendahulukan amal namun kemudian dipakai sebagai cara menuju lahiriah—meskipun diperkenankan—untuk sesuatu yang diharamkan.m e m b a t a l k a n h u k u m s e m u l a d a n Contoh-contoh praktik hilah yang tidak mengubahnya menjadi hukum lain. diperbolehkan di antaranya sebagai berikut:

Hilah hukum Islam sendiri terdiri dari 1. Transaksi gadai emas dalam Bank dua kategori: (1) hilah hukum Islam yang

Syariah. Gadai emas merupakan produk diperbolehkan, (2) hilah hukum Islam yang Bank Sya r i ah berupa fa s i l i t a s tidak diperbolehkan.Menurut Ibnu Qayyim, pembiayaan dengan cara memberikan hilah yang pertama mengantarkan kepada utang (qardh) kepada nasabah dengan amalan yang diperintahkan oleh Allah dan jaminan emas (perhiasan) melalui akad meninggalkan apa yang dilarangNya, gadai (rahn). Bank syariah selanjutnya membebaskan orang ter t indas dar i mengambil upah (ujrah, fee) atas jasa penindasan orang-orang yang dzalim. Jenis p e ny i m p a n a n / p e n i t i p a n y a n g hilahini termasuk baik dan tidak dilarang. dilakukannya atas emas tersebut Hilah yang kedua, adalah hilah yang bertujuan berdasarkan akad ijarah (jasa). Jadi, gadai u n t u k m e n g g u g u r k a n k e w a j i b a n , emas merupakan akad rangkap menghalalkan yang haram, merubah (uqudmurakkabah, multi-akad), yaitu kebenaran menjadi kebatilan dan kebatilan gabungan akad rahn dan ijarah. Praktik menjadi kebenaran. Jenis hilah seperti ini tidak gadai emas dengan cara tersebut, diperbolehkan (Ibn Qayyim, t.th, III: 158, walaupun disebut ujrah atas jasa 342). Dalam catatan al-Syatibi,hilah dalam penitipan, namun hakikatnya hanya bentuk yang tidak diperbolehkan tersebut rekayasa hukum (hilah) untuk menutupi akan mengacaukan sumber hukum syari'at riba, yaitu pengambilan manfaat dari yang sebenarnya, serta meniadakan maslahat pemberian utang, baik berupa tambahan yang dituju oleh syari'at yang terdapat di dalam (ziyadah), hadiah, atau manfaat lainnya. ketentuan asal (Al-Syathibi, t.th, IV: 387). Padahal manfaat-manfaat ini merupakan Dengan kata lain, perbuatan hilah seperti ini riba.termasuk dalam kategori mempermainkan

agama. Dari sisi perbuatannya telah haram, 2. Hilah seorang suami yang ingin berbuat karena adanya rekayasa dan ketidaktulusan di jahat kepada isterinya, dengan berusaha dalamnya. Ditinjau dari maksud dan menggugurkan hak istrinya untuk tujuannya, hilah juga haram, karena untuk mendapatkan warisan dari hartanya, ia meniadakan kebenaran dan kepastianhukum segera mentalaknya sebanyak tiga kali.(Ibn Qayyim, t.th., III: 287-288).

3. Hilah orang yang tidak mau berpuasa Lebih jauh, Ibnu Qayyim (t.th., III: 155-

Ramadhan, dengan cara merencanakan 156) membagi hilah hukum Islam menjadi 3

safar setiap bulan Ramadhan datang. (tiga) macam. Pertama,hilah haram yang

4. H i l a h s e s e o r a n g y a n g i n g i n ditujukan kepada sesuatu yang haram pula, menggugurkan kewajiban zakat hartanya seper t i me lak uk an rek aya sa untuk yang akan mencapai satu tahun (masa menghalalkan amalan yang mengandung haul), dengan menukarkannya dengan unsur riba. barang,atau dengan menjualnya, atau Kedua,cara atau perbuatan asalnya dengan cara menghibahkannyasehingga boleh, akan tetapi dipergunakan untuk sesuatu ia memulai hitungan awal tahun dari yang haram. Seperti melakukan safar yang barang baru tersebut. Begitu seterusnya digunakan untuk maksiat. dan seterusnya, setiap akan mencapai

Ketiga,cara yang dipakai pada asalnya waktu satu tahun umur hartanya tidak dipergunakan untuk sesuatu yang haram, tersebut. Dengan berbuat seperti itu, bahkan dimaksudkan untuk sesuatu yang menurutnya, selamanya ia akan terbebas

ISTI’DAL; , Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150Jurnal Studi Hukum Islam

5 | Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam

Page 6: URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM
Page 7: URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

jiwa manusia; yaitu; membersihkan sufisme dari elemen-3. Faqr, akan membentuk jiwa yang elemen yang tidak Islami, dan menjadikan

bersahaja, rendah hati, dan mengikis sufisme sebagai bagian integral dari syari'at. sikap oportunistik; Sebagaimana dinyatakan Fazlur Rahman

4. Shabr, akan membentuk pribadi yang (1979: 140), melalui al-Ghazali lah sufisme bermental baja; mendapat pengakuan ijma' umat Islam.

5 . Ta w a k k a l , a k a n m e m b a n g u n Kedua, jatuhnya imperium Islam pada independensi seseorang, dan; abad pertengahan yang menjadikan rasa tidak

6. Syukur, akan memberangus keserakahan aman bagi kalangan muslim. akibatnya, seseorang. lembaga sufisme menjadi tempat per-

lindungan dari kevakuman pemerintahan Sufisme memang acapkali dipahami yang seharusnya menjamin tatanan sosial.

terlepas dari kehidupan duniawi. Menjadi sufi Ketiga, keyakinan bahwa sufisme mampu seolah diharuskan anti dunia dengan larut mengantarkan manusia berkomunikasi dalam kehidupan bat innya sendir i . dengan Tuhan. Ajaran mengenai berkah, Sebenarnya bukanlah demikian. Karena, syafa'at, dan karamah, mampu menguatkan sebagaimana dijelaskan Sahal Mahfudh, keyakinan akan Tuhan dalam beragama sufisme memandang dunia ini sebagai sekaligus menguatkan ketertundukan yang jembatan yang harus dilalui menuju akhirat. sebenarnya (taqwa). Keempat, sufisme Artinya, kehidupan dunia merupakan media mengedepankan sikap toleran terhadap yang sangat penting untuk meraih kebahagiaan keyakinan dan praktik budaya lokal. Sikap ini di akhirat. Seorang yang mendalami sufisme sangat menarik banyak kalangan sekaligus diperintahkan untuk bekerja sebaik mungkin mempertegas Islam sebagai agama yang rahmatan bagi penghasilannya sehari-hari. Sama sekali li al-alamin.

Tujuan sufisme sendiri adalah men-tidak diperkenankan berpasrah diri dan jelaskan tata cara pengembangan rohani tawakkal kepada Allah saja, namun sembari manusia dalam rangka usaha mencari dan rajin mengerjakan salat sunnah dan banyak mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila berdzikir, ia memulai kewajiban-kewajibannya Allah). Dengan pengembangan rohani, kaum sebagai—misalnya—kepala rumah tangga untuk sufi ingin menyelami makna syari'ah secara mencari nafkah. Meskipun demikian, sufisme lebih mendalam dalam rangka menemukan lebih memandang dunia laksana api, di mana hakikatagama dan ajaran agama Islam. Bagi mereka dapat memanfaatkan sebatas kaum sufi yang mementingkan syari'ah dan kebutuhan, sembari tetap waspada akan hakikat sekaligus, salat misalnya, tidaklah bahaya percikan bunga api yang suatu saat akan hanya sekedar pengucapan sejumlah kata membakar hangus semuanya. Dalam hal ini dalam gerakan tertentu, tetapi adalah dialog sufisme berprinsip:spiritual antara manusia dengan Tuhan. Jika “Jika harta ini dikumpulkan maka syari'at mengharuskan memenuhi syarat dan haruslah untuk memenuhi kewajiban rukun, maka sufisme mengharuskan aktivitas yang musti dipenuhi, dan bukan untuk hati yang tulus, hudlur dan khusyu'. k e p e n t i n g a n p r i b a d i s e c a r a

Semakin mendalam realisasi sufisme berlebihan.” (Mahfudh, 2004: 79).seseorang, pada gilirannya justru semakin meningkatkan kualitas ke-syariah-an orang Dalam laju sejarah Islam, paling tidak tersebut dalam mencapai derajat muhsin.Di sisi terdapat 4 (empat) momentum yang lain, penguatan aspek sufisme juga mampu menjadikan sufisme penting untuk dimuat menjadi dinamisator bagi jiwa seseorang. dalam pelaksanaan syari'at (Al-Mughni, 2001: Kehadiran tasawuf mampu memicu al-Tsaurah 189). Pertama, faktor keberhasilan al-Ghazali al-Ruhiyyah (revolusi jiwa) dan menjadi spirit (w. 505/ 1111). Dalam suasana pertentangan bagi pelakunya. Sebaliknya, syari'at ibarat jalan jalan mencapai kebenaran, ia menemukan yang akan dilalui sufi dalam ber”revolusi” sufisme sebagai jalan kebenaran. Keberhasilan (Syukur, 2011: 87, 99).al-Ghazali ini mengarah pada dua kesuksesan,

ISTI’DAL; , Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150Jurnal Studi Hukum Islam

7 | Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam

Page 8: URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

Integrasi sufisme dalam syari'at juga sama-sama menempatkan Allah sebagai tujuan tampak dari pertautan ajaran mujahadah ibadah. Perbedaannya terletak pada segi dengan jihad. Jihad bersifat fisik, seperti ber- motivasinya. Kaum sufi berkeinginan lebur perang di medan pertempuran, memerangi bersama Allah karena dorongan cinta atau kemaksiatan, serta perjuangan material ittihad (penyatuan), sedangkan pada kaum lainnya. Sementara mujahadah lebih syari'ah motifasinya adalah keinginan untuk menekankan visi ruhani dalam menahan hawa taat kepada Allah. Kesulitan kaum syariah nafsu, amarah, serta penyakit hati lainnya. menerima paham ittihad adalah karena kaum Kedua bentuk perjuangan di atas dalam Islam syari'ah menyakini kemustahilan menyatunya jelas tidak dapat dipilah-pilah antara satu makhluk dan Sang Khalik dalam satu diri. dengan lainnya. Dengan kata lain, pijakan sufisme lebih

Sufisme dan syari'ah sebetulnya ibarat megandalkan rohani sementara syari'ah lebih dua sisi mata uang yang tak dapat dinegasikan condong pada penggunaan akal (Praja, 1995: 6-dan dipertentangkan antara satu sisi dengan 9).sisi lainnya. Penghadapan kedua sisi tersebut Tentang pendekatan akal dan rohani itu hanya akan memunculkan kesan parsialitas sebenarnya keduanya saling melengkapi. Bila Islam. Lebih dari itu, sufisme juga mampu hanya pendekatan akal maka pengalaman menjadi muara bagi semua madzhab (sekte) beragama akan kering, bila pendekatan rohani yang bertebaran di bidang syariah, baik di saja maka norma-norma hukum mungkin saja kalangan Sunni, Syi'i, Mu'tazili dan lainnya. terabaikan. Karena itu, sangat tepat ketika al-Bahkan, syari'at lintas agama pun mampu Ghazali mengatakan bahwa penyerasian tertampung dalam sufisme. pendekatan akal dengan rasa dalam me-

Dengan demikian, kaum syariah yang laksanakan ajaran agama sangatlah perlu (Al-dalam beramal selama ini selalu melihat dari Taftazani, 1997: 175). Bahwa untuk mencapai segi sah atau tidaknya amal itu ('ubudiyah), kesempurnaan beragama, pedekatan hukum perlu membangun niat yang benar dan (pendekatan syari'ah) tidak boleh ditinggalkan, haruslah diorientasikan pada tujuan pen-- tetapi pendekatan rasa (pendekatan sufisme) ciptaan manusia, yaitu untuk mengabdi tidak boleh dilupakan karena keduanya saling ('ibadah) kepada Allah. Semua amal haruslah menguatkan. Tidak mungkin orang yang betul-didasarkan pada rasa ketaatan manusia kepada betul mencintai tanpa patuh terhadap yang Allah, sehingga, terjalinnya ketaatan itu akan dicintai. Mencintai itu sufisme, dan patuh melahirkan taqarrub(kedekatan) manusia adalah syari'ah. dengan Tuhannya. Perlu dipikirkan lagi di sini bagaimana

Bagi kaum syariah, Allah adalah Mukallif jika syari'ah dilaksanakan tanpa sufisme. (yang memberikan kewajiban) dalam Sebagaimana dicontohkan di atas, orang yang hubungannya dengan penetapan hukum. Ia menghibahkan hartanya di akhir haul (ujung adalah al-Hakim sedangkan manusia adalah tahun) untuk menghindari zakat, misalnya, mukallaf. Dalam kaitannya dengan hukum, pada asalnya diperkenankan. Akan tetapi, manusia adalah mahkum 'alaih (yang diberi seseorang yang menolak zakat tanpa beban hukum). Adapun yang menjadi beban sebelumnya mengeluarkan hibah, hal itu adalah segala aktifitas manusia, baik berupa terlarang. Hal ini terjadi karena adanya sikap 'ubudiyah maupun mu'amalah, yang berkenaan pragmatis dan opor tunis dari yang dengan “keharusan, larangan, ataupun berkewajiban mengeluarkan zakat, namun ia kewenangan untuk memilih” yang dirinci berupaya menghindar dari membayar zakat dalam 5 (lima) hukum (al-ahkam al-khamsah) dengan memilih mengeluarkan hibah sebelum yaitu: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haul. haram (Al-Qurtuby, 1999: 47-50). Pendekatan Dalam pertimbangan syari'ah yang tersebut hanya menyentuh aspek legal-formal mempertimbangkan aspek lahiriah dalam dalam beragama, sehingga dirasakan kurang persyaratan hukum, sikap tersebut memang menyentuh bagian rohani manusia. diperkenankan karena cukup dianggap sah

Pada dasarnya, sufisme dan syari'ah secara hukum. Namun terasa ironis jika

ISTI’DAL; , Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150Jurnal Studi Hukum Islam

Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam | 8

Page 9: URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

dikaitkan dengan semangat sufisme yang dalam ranah ideologi-politik ini kemudian mendorong untuk bersyukur dengan berlanjut dan meluas pada pertentangan melaksanakan kewajiban zakat, ikhlas beramal epistemologis.sesuai ketentuan syari'at, menyadari rizki yang Rekayasa hukum (al-hilah al-syar'iyah) ia terima dari Allah, dan mewujudkan rasa bisa terjadi karena dominannya nalar kecintaan terhadap sesama. pragmatisme dan oportunisme (hubb al-

Di sinilah, muatan sufisme dalam dunya) dalam menjalankan syari'ah. Dengan syari'ah menemukan relevansinya. Beragama kata lain, hilah hukum lebih dimungkinkan tidak cukup dengan menjalankan perintah terjadi di kalangan pemegang syari'ah yang dan menjauhi larangan saja, mengingat Islam tanpa disertai sufisme. Hilah hukum dengan adalah ajaran penyempurna akhlak pemeluk- mudah terjadi dalam menjalankan syari'ah nya. Tegas sekali dijelaskan bahwa kerasulan yang hanya berdasar pada “ketaatan”, namun Nabi terutama untuk me-nyempurnakan bukan atas dasar “ketertundukan”. akhlak, “sesungguhnya aku diutus untuk Secara umum, tujuan dan manfaat menyempurnakan akhlak yang mulia”. sufisme dalam pelaksanaan syariah adalah

Dengan demikian, mengutip Sahal sebagai “kekuatan moral” dalam rangka Mahfudh (2004: 80), manfaat sufisme beserta peningkatan kualitas jiwa (ihsan). Hal ini segala komponennya adalah sebagai sekaligus menegaskan bahwa “beragama pengendali moral manusia. Keseluruhan adalah berakhlak”, sebagaimana maksud konsep yang ditawarkan sufisme, seperti utama diutusnya Rasul adalah untuk zuhud, akan dapat mengurangi kecenderung- menyempurnakan akhlak. an pola hidup konsumerisme dan pragmatisme yang mendorong untuk melakukan rakayasa Penutuphukum (al-hilah al-syar'iyyah). Sufisme dan Ketegangan dalam pergulatan sufisme syari'ah dalam skala lebih luas adalah bentuk dan syari'ah sampai sekarang senantiasa terasa. aturan normatif yang menjanjikan kedamaian Bukan hanya antar kelompok pendukung dan ketenteraman. Sehingga, di tengah masing-masing dari keduanya, tetapi bahkan kegalauan zaman, sufisme dapat dijadikan dalam diri umat Islam secara personal. sebagai kompensasi positif. Esoterisme dan eksoterisme. Ketegangan

Akhirnya , t ampak je las bahwa semacam inilah yang memerlukan upaya “beragama adalah berakhlak”, baik kepada pemaduan antara sufisme dan syari'ah. Dalam Allah, kepada manusia, maupun kepada alam rangka agenda tersebut, mengingat kajian ini raya sekitarnya. Pemahaman semacam ini sangat belum mencukupi, maka perlu kajian hanya akan bisa terlaksana jika sufisme yang lebih lengkap dan memadahi. Masukan menjadi bagian tak terpisahkan dalam dan kritik juga sangat diharapkan demi menjalankan syari'ah, baik berupa ketaatan pembenahan tulisan ini. Semoga bermanfaat.menjalankan perintah, menjauhi larangan, maupun menentukan pilihan secara arif- DAFTAR PUSTAKAbijaksana.

Al-Ashfahani, al-Raghib, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, Mesir: al-Halabi, 1961.Kesimpulan

Dialektika sufisme dan syari'ah bermula Al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Beirut: Dar karena perselisihan dalam urusan ideologi- al-Kutub al-Islamiy, t.th.politik, di samping memang terdapat muatan Bizawie, Zainul Milal, Perlawanan Kultural “selera” keagamaan yang berbeda. Sufisme Agama Rakyat; Pemikiran dan Paham lahir dari kalangan oposisi politik yang Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin cenderung mementingkan aspek batiniyah dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-(esoterisme), sedangkan syari'ah lahir dan 1740), Yogyakarta: SAMHA, 2002.tumbuh dalam tradisi pemegang kekuasaan Fazlur Rahman, Islam, Chicago: University of yang legalis-formalis yang memperhatikan Chicago Press, 1979.aspek lahiriyah (eksoterisme). Pertentangan Al-Ghazali, Abu Hamid, Bidayat al-Hidayah,

ISTI’DAL; , Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150Jurnal Studi Hukum Islam

9 | Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam

Page 10: URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM

ISTI’DAL; , Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150Jurnal Studi Hukum Islam

Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam | 10

Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiyah, t.th. Syukur, Amin, Sufi Healing; Terapi dalam ______________, Ihya Ulum al-Din, Mesir: al- L i t e ra t u r Ta sawu f , S emarang :

Maktabah al-Ilmiah, 1346 H. Walisongo Press, 2011.Al-Jabiri, Mohammad Abed, al-Turats wa al- Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi, Sufi;

H a d a t s a h ; D i r a s a h w a dari Zaman ke Zaman, Bandung: Munaqasyah,Beirut: Markaz al-Tsaqafi Penerbit Pustaka, 1997.al-Arabi, 1991. Taimiyah, Ibn, al-'Ubudiyah, Damaskus: al-

______________,Post Tradisionalisme Islam, Ihsan, 1966.Terj. Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, ______________, al-Fatawa al-Kubra, Beirut: 2000. Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1976.

Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Fiqh wa Yogyakarta: LKiS, 2004.

Fatawa Buyu', T.tp: Muassasah Salam, Mughni, Syafiq A., Nilai-Nilai Islam; Perumusan t.th.Ajaran dan Upaya Aktual i sas i ,

Uways, Abdul Halim, Fiqih Statis-Dinamis, Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.Zarkasyi Chuamidy, Bandung: Pustaka

Al-Nabhani, Taqiyuddin, al-Tarikh al-Kabir, Hidayah, 1998.T.tp: al-Syakhshiyah al-Islamiyah, t.th.

Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya: PT. Latifah Press, 1995.

Qayyim, Ibn, I'lamul Muwaqi'in, Beirut: Dar al-

Kitab al-Arabi, t.th.

Qudamah, Ibn, al-Mughni, Riyadh: Dar Syibiliya, t.th.

Al-Qurtuby, Sumanto, KH. Sahal Mahfudh; Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Cermin, 1999.

Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Depag RI, 1992.

Al-Syatibi, al-Muwafaqat, Riyadh: Dar Syibiliya, t.th.