Vol 01, Ed 5, April 2021 URGENSI REVISI HPP GABAH DAN BERAS Hal. 1 DAYA SAING, BIAYA LOGISTIK, SERTA EFISIENSI LAYANAN PANDU DAN TUNDA DI PELABUHAN Hal. 3 HOLDING INDONESIA BATTERY CORPORATION (IBC) DAN TANTANGAN INDONESIA MENJADI PRODUSEN BATERAI DUNIA Hal. 5 TINJAUAN DAMPAK PENGHAPUSAN FABA DALAM KATEGORI LIMBAH B3 Hal. 7
12
Embed
URGENSI REVISI HPP GABAH DAN BERAS Hal. 1 EFISIENSI ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Vol 01, Ed 5, April 2021
URGENSI REVISI HPP GABAH DAN BERAS
Hal. 1
DAYA SAING, BIAYA LOGISTIK, SERTA EFISIENSI LAYANAN PANDU DAN TUNDA DI PELABUHAN
Hal. 3
HOLDING INDONESIA BATTERY CORPORATION (IBC) DAN TANTANGAN INDONESIA MENJADI PRODUSEN BATERAI DUNIA
Hal. 5
TINJAUAN DAMPAK PENGHAPUSAN FABA DALAM KATEGORI LIMBAH B3
Hal. 7
Penanggung Jawab
Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.
Pemimpin Redaksi
Rastri Paramita, S.E., M.M.
Redaktur
Robby Alexander Sirait, S.E., M.E.
Dahiri, S.Si., M.Sc.
Adhi Prasetyo Satriyo Wibowo, S.M.
Rosalina Tineke Kusumawardhani, S.E.
Editor
Deasy Dwi Ramiayu, S.E.
Sekretariat
Husnul Latifah, S.Sos.
Memed Sobari
Musbiyatun
Hilda Piska Randini, S.I.P.
Budget Issue Brief Industri dan Pembangunan ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran, Badan
Keahlian DPR RI. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di terbitan ini sepenuhnya
tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Badan Keahlian DPR RI.
Artikel 1 Urgensi Revisi HPP Gabah dan Beras ...................................................................................... 1
Artikel 2 Daya Saing, Biaya Logistik, Serta Efisiensi Layanan Pandu dan Tunda di
Artikel 3 Holding Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Tantangan Indonesia Menjadi Produsen Baterai Dunia ................................................................................................................. 5
• Biaya usaha tani untuk setiap 1 kg GKP adalah sebesar Rp4.523.
• Harga gabah sudah di atas HPP 2020
• Rata-rata GKP di tingkat petani Rp4.855 per kg dan GKG Rp5.462 per kg.
• GKP di tingkat penggilingan Rp4.952 per kg dan GKG Rp5.626 per kg.
• Revisi HPP Gabah dan Beras. GKP di Petani Rp4.940 per kg, GKG di petani Rp6.164 per kg, GKP di penggilingan Rp5.035 per kg, GKG di penggilingan Rp6.275 per kg, GKG di Bulog Rp6.325 per kg, dan Beras Rp9.306 per kg.
HIGHLIGHT
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si. Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu. Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Dahiri dan Rosalina Tineke K
Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
Salah satu determinan yang memengaruhi daya saing Indonesia
dengan negara lain dan kinerja perekonomian secara keseluruhan
adalah kinerja sistem logistik nasional. Pada 2018, peringkat
Logistic Performance Index (LPI) Indonesia meningkat menjadi
peringkat 46 dari peringkat 63 di 2016. Namun, jika
membandingkan antar negara di kawasan ASEAN, peringkat
Indonesia mengalami penurunan, yaitu dari posisi ke-4 pada 2016
menjadi posisi ke-5 pada 2018. Posisi ini berada di bawah
Singapura (7), Thailand (32), Vietnam (39) dan Malaysia (41).
Ketertinggalan ini tidak terlepas dari masih tingginya biaya
logistik di Indonesia dibanding negara ASEAN lainnya, biaya
logistik Indonesia termasuk yang tertinggi yaitu mencapai 23,2
persen dari Produk Domestik Bruto (RPJMN 2020-2024). Salah
satu yang memengaruhi tingginya biaya logistik ini adalah biaya
transportasi air. Sebagai rujukan, total biaya transportasi dalam
kurun waktu 2004-2011 berkontribusi 46,25 persen terhadap
biaya logistik nasional. Dari total biaya transportasi tersebut,
19,66 persennya bersumber dari biaya transportasi air (Bank
Dunia, 2013). Dengan kata lain, biaya transportasi air
berkontribusi 9,09 persen terhadap total biaya logistik nasional,
yang salah satunya adalah layanan di pelabuhan.
Menurut Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero),
pelabuhan berkontribusi sekitar 1,4 persen terhadap biaya
logistik (CNN, 2021). Di sisi lain, kontribusi biaya dari pelayanan
pandu dan tunda terhadap total biaya pelayanan jasa kapal selama
di pelabuhan mencapai sekitar 40 persen sampai 50 persen
(Indonesia National Shipowners’ Association, 2019). Dengan
demikian, pelayanan pandu dan tunda sangat besar kontribusinya
terhadap biaya pelayanan di pelabuhan dan biaya logistik secara
keseluruhan, atau setara hampir 0,56-0,7 persen terhadap total
biaya logistik nasional.
Pada praktiknya, masih terdapat beberapa permasalahan dalam
layanan ini, yang gilirannya berimplikasi pada masih tingginya
biaya logistik. Permasalahan pertama adalah bentuk pasar
layanan pandu dan tunda bersifat monopoli. Pasal 30 Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 57 Tahun 2015 tentang Pemanduan
dan Penundaan Kapal (Permenhub 57/2015) menyebutkan
bahwa pelayanan pemanduan dan penundaan hanya dilakukan
oleh otoritas pelabuhan, kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan
Komisi V
DAYA SAING, BIAYA LOGISTIK, SERTA EFISIENSI LAYANAN
PANDU DAN TUNDA DI PELABUHAN
• Pada 2018, kinerja logistik Indonesia masih tertinggal dibanding Singapura, Thailand, Vietnam dan Malaysia, yang salah satunya disebabkan oleh masih tingginya biaya logistik di Indonesia.
• Salah satu yang memengaruhi tingginya biaya logistik ini adalah kinerja layanan pandu dan tunda di pelabuhan yang masih dihadapkan pada beberapa masalah, antara lain a. Bentuk pasar layanan pandu dan
tunda bersifat monopoli, b. Ketentuan terkait ukuran kapal,
dan c. Kewajiban penggunaan kapal
tunda bagi kapal yang hendak melakukan perbaikan
• Guna mengurangi biaya logistik dalam rangka peningkatan daya saing perekonomian nasional, pemerintah perlu merevisi Permenhub 57/2015 dengan memberikan kesempatan swasta untuk memberikan layanan pandu dan tunda, serta melakukan penyesuaian batasan ukuran kapal yang diwajibkan dan kewajiban pengunaan kapal pandu di pelabuhan khusus.
HIGHLIGHT
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Emillia Octavia, Ricka Wardianingsih, & Robby Alexander Sirait
5 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
Saat ini, terjadi peningkatan pada konsumsi nikel seiring dengan semakin berkembangnya industri mobil listrik.
Berdasarkan data Stastista (2020), terjadi peningkatan konsumsi nikel global yaitu dari 1,89 juta metrik ton di tahun 2015 menjadi
2,32 juta metrik ton pada tahun 2019. Indonesia yang merupakan
salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia (sekitar
21% dari total cadangan dunia) tentunya memiliki potensi ekonomi yang besar jika pemerintah dapat melakukan hilirisasi
nikel yang nantinya diproduksi menjadi baterai lithium yang merupakan komponen utama mobil listrik. Adapun tiga daerah
dengan kandungan nikel terbesar adalah di Sulawesi Tenggara,
Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Selain bertujuan untuk mengendalikan penggunaan energi
fosil dan pengurangan emisi gas rumah kaca, lahirnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program
Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan juga bertujuan memicu pertumbuhan industri kendaraan
listrik di Indonesia. Sejalan dengan tujuan beleid tersebut, PT. Pertamina (Persero), PT. PLN (Persero), MIND ID dan PT Aneka
Tambang Tbk. telah menandatangani perjanjian tentang struktur kepemilikan Indonesia Battery Corporation (IBC) yang merupakan
perusahaan induk baterai kendaraan listrik, pada tanggal 16 Maret 2021. Masing-masing perusahaan tersebut akan memiliki porsi
kepemilikan sebesar 25% terhadap IBC. Holding baterai ini
nantinya tidak hanya fokus pada mobil listrik namun juga kendaraan roda dua.
Keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global di industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) masih sangat kecil.
Kendala teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM), serta masih
lemahnya industri manufaktur baterai di Indonesia merupakan
hal mendasar yang perlu dibenahi. Hingga tahun 2025, baterai diprediksi akan memiliki porsi sekitar 35-40% di mobil listrik dan
sekitar 30% di motor listrik (IESR, 2020). Namun di sisi lain, belum terbentuknya fasilitas produksi di dalam negeri hingga saat ini
merupakan tantangan besar yang harus diselesaikan. Tantangan
yang tidak kalah penting adalah masih rendahnya kualitas SDM dan belum memadainya teknologi, yang pada gilirannya
berdampak rendahnya kualitas atau mutu produk yang dihasilkan. Padahal, teknologi dan SDM merupakan faktor penting untuk
menjadikan Indonesia sebagai
Komisi VI
HOLDING INDONESIA BATTERY CORPORATION (IBC) DAN
TANTANGAN INDONESIA MENJADI PRODUSEN BATERAI DUNIA
• Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia (sekitar 21% dari total cadangan dunia) tentunya memiliki potensi ekonomi yang besar jika pemerintah dapat melakukan hilirisasi nikel.
• PT. Pertamina (Persero), PT. PLN (Persero), Mining Industry Indonesia (MIND ID) dan PT. Aneka Tambang Tbk (Antam) telah menandatangani perjanjian tentang struktur kepemilikan Indonesia Battery Corporation (IBC), yaitu sebuah perusahaan induk baterai kendaraan listrik.
• Keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik masih sangat kecil. Kendala teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM), serta masih lemahnya industri manufaktur baterai di Indonesia merupakan hal mendasar yang perlu dibenahi.
7 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
Upaya penanganan limbah batubara telah mendesak
pemerintah untuk menghasilkan berbagai alternatif kebijakan,
salah satunya melalui pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3) berupa Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) pada
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hal ini dengan
mempertimbangkan kondisi pada tahun 2019, dimana sebanyak
9,7 juta ton FABA dihasilkan dari 97 juta ton batubara yang
digunakan PLTU. Di tahun 2028 produksi FABA diproyeksikan
meningkat hingga 15,3 juta ton dari kebutuhan batubara yang
mencapai 153 juta ton untuk PLTU. Sementara itu, dalam Rencana
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030,
penambahan pembangkit listrik dalam 10 tahun ke depan
mencapai 41 GigaWatt (GW), yang mana PLTU masih
mendominasi sekitar 36 persen atau 14-15 GW dari target
pemerintah. Besarnya potensi tersebut memerlukan adanya
akselerasi pemanfaatan untuk mengurangi permasalahan
lingkungan akibat jumlah timbunan FABA.
Berangkat dari uraian di atas, melalui sejumlah rangkaian
pengujian karakteristik, Pemerintah resmi mengeluarkan limbah
B3 FABA yang dihasilkan PLTU. Hal ini tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun yang
dikeluarkan dari kategori limbah B3 itu adalah FABA atau limbah
padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada
PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau
keperluan sektor konstruksi.
Menurut rencana, limbah FABA akan dimanfaatkan sebagai
substitusi bahan baku untuk material infrastruktur; substitusi
bahan baku untuk daerah tambang; dan substitusi bahan baku
untuk industri semen. Dikutip dalam Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, rencana pengelolaan limbah non B3 antara
lain: (i) Limbah non B3 khusus merujuk kepada Penetapan
Menteri yang selanjutnya dituangkan dalam Persetujuan
Lingkungan; (ii) Limbah non B3 terdaftar wajib dicantumkan
secara rinci dalam Persetujuan Lingkungan; dan (iii) Pengelolaan
Limbah non B3 tidak memerlukan persetujuan teknis.
Kebijakan ini tentunya menimbulkan dampak positif dan
negatif. Sisi positifnya, jika implementasi pengelolaannya berjalan
sesuai rencana, maka pembangunan infrastruktur dapat
Komisi VII
TINJAUAN DAMPAK PENGHAPUSAN FABA DALAM
KATEGORI LIMBAH B3
• Besarnya potensi jumlah limbah FABA memerlukan adanya akselerasi pemanfaatan untuk mengurangi permasalahan lingkungan, sehingga ditetapkan FABA sebagai limbah non B3.
• Dampak positifnya, kebijakan ini dapat menghemat anggaran pembangunan infrastruktur senilai Rp4,3 triliun hingga 2028 mendatang, meningkatkan pendapatan pekerja, memperluas peluang investasi, serta sebagai sumber energi baru terbarukan (EBT). Dari sisi negatifnya, rencana pengelolaan yang tidak perlu mendapatkan persetujuan teknis dan pengawasan lemah dapat memperbesar risiko pencemaran limbah terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
• Hal yang dapat dilakukan antara lain: perlunya mendorong Kementerian ESDM untuk menyusun SOP pengelolaan limbah FABA yang baik dan aman bagi lingkungan; dan memberlakukan persetujuan teknis tentang rencana pengelolaan limbah