URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian 1 Abstract The development of science and technology and globalization were already unstoppable today, not only have a beneficial impact, but also often have a negative impact for example by the "globalization of crime" and the development of quality (modus of operation) and the quantity of criminal acts. Offenses rife nowadays with regard to the corporate existence of the corporation is a criminal offense that could result in serious and widespread impact, damage the joints of the nation and threatens the stability of the State. Therefore, the law should take back its role in order to create justice and welfare and in handling needed ways remarkable that one of them is to make the corporation as a subject of criminal law that is considered to be committing a crime and can be criminally) Keywords: criminal law, corporate criminal offense, criminal liability corporation Abstrak Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi yang sudah tidak terbendung dewasa ini, tidak hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga seringkali menimbulkan dampak negatif misalnya dengan adanya “globalisasi kejahatan” dan berkembangnya kualitas (modus operandi) dan kuantitas tindak pidana. Tindak pidana yang marak terjadi dewasa ini berkaitan dengan eksistensi korporasi adalah tindak pidana korporasi yang akan menimbulkan dampak serius dan meluas, merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan mengancam stabilitas Negara. Oleh sebab itu, hukum harus mengambil kembali peranannya dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat dan dalam penangannya dibutuhkan cara-cara yang luar biasa yang salah satunya adalah menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana) Kata kunci: hukum pidana, tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban pidana korporasi 1 Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung. Alamat kontak: [email protected].
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
Kristian1
Abstract
The development of science and technology and globalization were already
unstoppable today, not only have a beneficial impact, but also often have a
negative impact for example by the "globalization of crime" and the
development of quality (modus of operation) and the quantity of criminal acts.
Offenses rife nowadays with regard to the corporate existence of the
corporation is a criminal offense that could result in serious and widespread
impact, damage the joints of the nation and threatens the stability of the State.
Therefore, the law should take back its role in order to create justice and
welfare and in handling needed ways remarkable that one of them is to make
the corporation as a subject of criminal law that is considered to be
kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan
(breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan peraturan (ilegal
circumvention) sehingga sangat merugikan masyarakat secara luas.4
Selain itu, menurut Mardjono Reksodiputro, tindak pidana korporasi
merupakan bagian dari White Collar Crime yang dikemukakan oleh
Shutherland berikut ini: “…is a violation of criminal law by the person of the
upper socioeconomic class in the course of his occupational activities”
(kejahatan kerah putih adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai tingkat sosial ekonomi kelas atas yang berhubungan dengan
jabatannya).
Melihat hal-hal tersebut diatas, tidaklah berlebihan apabila dikatakan
bahwa tindak pidana korporasi sebagai bentuk kejahatan yang tidak hanya
mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga
dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Terkait dengan korporasi sebagai pembuat tindak pidana, ketika
korporasi melakukan suatu tindak pidana, maka korporasi tersebut seharusnya
dapat dimintakan dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang
dilakukannya baik yang ditunjukan langsung kepada korporasi yang
bersangkutan ataupun yang ditunjukan kepada pengurus-pengurusnya (organ-
organ korporasi). Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang
dinilai dapat melakukan tindak pidana yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana (corporate criminal responsibility)
3 Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System), Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2010, hal. 111. 4 Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis”, (Jakarta: Prenada Media,
2003), hal. Xiii.
550 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
bukanlah merupakan hal baru yang menimbulkan banyak persoalan hukum dan
suatu perdebatan baik dikalangan akademisi maupun dikalangan praktisi
hukum.
Permasalahan mengenai pertanggungjawaban korporasi ini baru muncul
manakala pertanggungjawaban korporasi ini dikaitkan dengan pertanyaan
mendasar dalam hukum pidana diantaranya: Apa yang dimaksud dengan
korporasi itu? Kapan suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban
secara pidana? Apa ukurannya untuk dapat mempertanggungjawabkan
korporasi dalam hukum pidana? Kemudian apabila dikaitkan dengan
pertanggungjawaban pidana Indonesia yang menganut asas kesalahan (mens
rea), maka akan timbul pertanyaan bagaimana kesalahan (mens rea)
sebagaimana tergambar dari asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf
zonder schuld; keine strafe ohne schuld) diterapkan terhadap korporasi? Dan
bentuk pertanggungjawaban seperti apakah yang dapat dimintakan terhadap
korporasi? Apakah hanya pidana denda ataukah dapat pula diterapkan sanksi
pidana lain seperti pidana mati atau pidana penjara? Namun sebelum menjawab
hal-hal berikut, akan diuraikan terlebih dahulu mengenai definisi dari korporasi
itu sendiri.
II. Pengertian Korporasi
Secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah)
sebagai subjek hukum, akan tetapi selain orang perseorangan dikenal pula
subjek hukum yang lain yaitu badan hukum (korporasi) yang padanya melekat
hak dan kewajiban hukum layaknya orang perseorangan sebagai subjek hukum.
Atas dasar itu, untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan korporasi, tidak
bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Hal ini disebabkan oleh karena
istilah korporasi sangat erat kaitannya dengan istilah “badan hukum” yang
dikenal dalam bidang hukum perdata. Perlu pula dikemukakan bahwa menurut
Rudi Prasetya, “Kata korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan di
kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang
hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau
yang dalam bahasa Belanda di sebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam
bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.5
Sedangkan apabila dilihat secara etimologisnya, pengertian korporasi
yang dalam istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation
(Inggris), korporation (Jerman), berasal dari bahasa Latin yaitu “corporatio”.6
Terkait dengan istilah “corporatio” ini, menurut Muladi dan Dwidja
Priyatno:
Seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran dengan “tio”
maka “corporatio” dianggap sebagai kata benda (substantivum)
5 Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”,
(Bandung: STHB, 1991), hal. 13. 6 Ibid.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 551
yang berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai
orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu.
“Corporare” itu sendiri berasal dari kata “corpus” yang dalam
bahasa Indonesia berarti “badan” atau dapat disimpulkan bahwa
corporatio dapat diartikan sebagai proses memberikan badan atau
proses membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya
“corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan, dengan
perkataan lain, korporasi merupakan badan yang dijadikan orang,
badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan
terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.7
Menurut Garner dan Bryan A, mengemukakan bahwa pengertian
korporasi diambil dari istilah dalam bahasa Inggris "Corporation" yang berarti
badan hukum atau sekelompok orang yang oleh Undang-Undang
diperbolehkan untuk melakukan perbuatan sebagaimana seorang individu
sebagai subjek hukum, berbeda dengan para pemegang sahamnya.8
Dilain kesempatan, Kenneth S. Ferber dalam bukunya Corporation
Law menyatakan bahwa:
A corporation is an artificial person. It can do anything a person
can do. It can buy and sell property, both real and personal, in its
own name. It can sue and be sued in its own name. It is formal.9
(korporasi adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan apa saja
yang dapat dilakukan oleh manusia. Korporasi dapat membeli dan menjual
properti, baik yang nyata secara pribadi dan atas namanya sendiri. Hal ini
menyebabkan korporasi dapat menuntut dan dituntut secara resmi atas
namanya sendiri).
Mengenai hakekat dari korporasi itu sendiri pada dasarnya dapat dilihat
dari pernyataan klasik Viscount Haldane L.C., yang menyatakan bahwa:
Korporasi adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki pikirannya
sendiri dibanding dengan tubuhnya sendiri; kehendak yang
dijalankan dan bersifat mengarahkan harus secara konsisten
dilihat pada seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin disebut
agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya mengarahkan pikiran dan
kehendak dari korporasi, yaitu ego dan pusat korporasi.10
7 Ibid., hal. 12. 8 Garner, Bryan A., (Ed.), “Black’s Law Dictionary”, Second Pocket Edition, (tanpa
kota, tanpa penerbit, 2003), page. 147 9 Kenneth S. Ferber, “Corporation Law”, Prentice Hall, 2002, page. 18 10 Peter Gillies (Penyunting: Barda Nawawi Arief), “Criminal Law”, (Tanpa kota, tanpa
penerbit, 1990), page. 126
552 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul
Ilmu Hukum dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah
Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur
fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat
badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan
ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun ditentukan oleh
hukum.11
Berbeda dengan pendapat para ahli diatas, Sutan Remi Sjahdeini
menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupun melihat artinya yang
luas. Beliau menyatakan bahwa:
Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum,
korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan
kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan
hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang
mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikannya hidup
untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu
figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” korporasi.
Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya‖
korporasi itu diakui oleh hukum.12
Sedangkan secara luas sebagai pengertian korporasi dalam hukum
pidana, beliau mendefinisikan korporasi sebagai berikut: “Dalam hukum
pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum.
Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi
atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan
sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan
komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan
usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum”.13
Hampir senada dengan pandapat Sutan Remi Sjahdeini diatas, menurut
Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana mengenai
korporasi, berkembang 2 (dua) pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan
korporasi itu? Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi, dalam hal ini
hanya dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana adalah korporasi yang telah berbadan hukum. Adapun alasan yang
dikemukakan oleh kelompok pertama ini bahwa dengan berbadan hukum, telah
jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi
tersebut. Pendapat lain adalah pendapat yang mengartikan korporasi secara
luas, dimana dikatakan bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan
Korporasi Dalam Hukum Pidana”, Edisi kedua, Cetakan Pertama, (Malang: Banyumedia
Publishing, 2003), hal. 17.
554 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.
Berikut ini akan diuraikan Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak
pidana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan khusus
diluar KUHP yang ruang lingkupnya diatur sedemikian luas (lebih luas dari
pengertian korporasi dalam hukum perdata) yaitu sebagaimana diatur dalam
Undang-undang berikut ini:16 Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955 tentang
Tindak Pidana Ekonomi; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos; Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian; dan lain sebagainya.
Berdasarkan ketentuan dalam berbagai Undang-Undang tersebut diatas,
Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa:17
1. Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak
pidana tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus;
2. Pada awalnya tidak digunakan istilah “korporasi”, tetapi digunakan
istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten;
3. Istilah “korporasi” mulai terlihat pada tahun 1997 dalam Undang-
Undang Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep
KUHP atau Rancangan KUHP tahun 1993.
Dari berbagai peraturan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan korporasi
sebagai subjek hukum pidana hanya terdapat dalam undang-undang khusus
diluar KUHP. Oleh karena itu, menuruh hemat saya, perumusan korporasi
sebagai subjek hukum pidana sebaiknya diatur secara tegas dalam Buku I
KUHP sehingga dapat diberlakukan bagi seluruh tindak pidana yang terjadi
baik tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur
diluar KUHP. Hal ini dapat dijumpai dalam Rancangan KUHP (yang
selanjutnya akan disingkat RKUHP) tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 47 yang
menyatakan: “Korporasi merupakan subyek tindak pidana” dan pasal 182
yang menyatakan bahwa: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari
orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum”.
III. Pengertian Dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korporasi
Istilah “Tindak Pidana Korporasi” dalam beberapa literature sering
disebut juga dengan “Kejahatan Korporasi” pada dasarnya tidak muncul
dengan sendirinya melainkan muncul seiring dengan perkembangan zaman dan
perkembangan masyarakat. Awal mula lahirnya tindak pidana korporasi ini
16 Lihat selengkapnya dalam Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, Op.
Cit., hal. 225-226 dan Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum Pidana”, Op. Cit., hal. 168-172. 17 Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003), hal. 226.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 555
berangkat dari pendapat Edwin Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis
kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime. Terkait dengan white
collar crime itu sendiri Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie
memberikan definisi yaitu sebagai: white collar crime sering diasosiasikan
dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis (financial and bussines
world) dan penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophisticated
frauds of senior executives) yang didalamnya termasuk apa yang secara
popular dikenal sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime).18
Mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven Box
mengemukakan tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan tindak pidana atau kejahatan
konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang lingkup
tindak pidana korporasi melingkupi:19
1. Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu
guna memperoleh keuntungan.
2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata
untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai
kedok dari suatu organisasi kejahatan).
3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap
korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal
ini korporasi sebagai korban.
Dalam tulisan ini, sudah tentu yang akan dibahas hanyalah Crimes for
corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh
keuntungan. Berkaitan dengan korban kejahatan korporasi ini, Muladi
membedakan antara korban kejahatan konvensional dengan korban kejahatan
korporasi sebagai berikut:
Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan
mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat
abstrak, seperti pemerintah, perusahaan lain atau konsumen yang jumlahnya
banyak, sedangkan secara individual kerugiannya sangat sedikit.20
Sedangkan menurut Clinard dan Yeager, terdapat enam jenis korban
kejahatan korporasi yaitu:21
1. Konsumen (keamanan atau kualitas produk).
18 Yusuf Shofie, “Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi”, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), hal. 44. 19 Lihat juga Muladi dan Dwija Priyatno hal 29 dan bandingkan juga dengan Hamzah
Hatrik, “Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability
dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), hal. 41. 20 Arief Amrullah, “Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega Profits and The Attack on
And Omissions In Reporting Corporate And White Collar Crime, “DePaul Business &
Commercial Law Journal”, 2008, hal. 347. 31 Hamzah Hatrik, “Asas Pertanggunggjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
(Strick Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 30. 32 Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan
Kuliah Kejahatan Korporasi, hal. 2.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 563
dijadikan dasar pembenar korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban
secara pidana:
1. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita
masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin
seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan.33
2. Korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia, sehingga
kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif
untuk mempengaruhi tindakan-tindakan actor rasional korporasi.34
3. Tindakan korporasi melalui agen-agennya pada satu sisi seringkali
menimbulkan kerugian yang sangat besar di masyarakat, sehingga
kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari
mengulangi tindakannya itu.35
4. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu
upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai
itu sendiri;36
5. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan
represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana
korporasi, korporasi, atau pengurus saja;37
6. Mengingat didalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin
memainkan peranan yang penting pula;
7. Hukum pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan
menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat;
Berbeda dengan pemikiran diatas, terdapat beberapa para ahli hukum
pidana yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum
pidana dengan alasan sebagai berikut :38
1. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah (manusia alamiah);
2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat
dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat
dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang,
perkosaan dan sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku
Barda Nawawi Arief dalam perkara yang menurut kodratnya tidak
33 Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human
Rights”, Berkeley Journal of International Law, 2002, hal. 46;bandingkan juga dengan Dwidja
Priyanto, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia,
CV. Utomo, Bandung, 2004, hal. 27-28 dan Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi
Intaran, Yogyakarta, 2008. 34 Pamela H. Bucy, Trends In Corporate Criminal Prosecutions, “American Criminal
Law Review”, 2007, hal. 1288. 35 Geraldine Szott Moohr, On The Prospects Of Deterring Corporate Crime, “Journal
of Business & Technology Law”, 2007, hal. 27. 36 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 47. 37 Ibid.
38 H.Setiyono, Op. Cit., hal. 10.
564 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
dapat dilakukan oleh korporasi, misal: bigami, perkosaan, sumpah
palsu”39
3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang,
tidak dapat dikenakan pada korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda
Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana
yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal
pidana penjara atau pidana mati”40
4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah;
5. Bahwa didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma
atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau
korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana;
Terlepas dari segala pro dan kontra terhadap pengaturan
pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehubungan
dengan korporasi yang telah dijatuhi pidana, ternyata dalam praktik belum ada
putusan pengadilan atau yurisprudensinya. Mengenai kedudukan badan hukum
atau korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat setidaknya tiga
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 136/KR/1966, tertanggal 1 Maret 1969;
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 66/KR/1969, tertanggal
19 September 1970; putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
346/KR/1980, tertanggal 26 Januari 1984.41 Dengan adanya ketiga putusan
Mahkamah Agung tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa korporasi
sebagai subjek hukum pidana namun tidak hanya sebatas pengakuan yuridis
sebab pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan
tindak pidana (pembuat) dan yang bertanggungjawab.
VI. Tahap-Tahan Perkembangan Pertanggungjawaban Korporasi
Pada bagian sebelumnya, telah dikemukakan bahwa korporasi diatur atau
dijadikan sebagai subjek hukum karena adanya perkembangan masyarakat
yang tidak terbendung lagi. Dengan adanya perkembangan masyarakat ini,
dirasakan perlu dan mendesak untuk menjadikan korporasi sebagai subjek
hukum dimana korporasi sebagai “wadah” yang membawa hak dan kewajiban.
Oleh sebab itu, dengan diaturnya korporasi sebagai subjek hukum, korporasi
tersebut dapat melakukan hak dan kewajibannya dengan nyata. Perubahan dan
perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana, mengalami
beberapa perkembangan secara bertahap yang secara garis besar dapat dibagi
dalam tiga tahap sebagaimana akan diuraikan dibawah ini. Perlu pula
dikemukakan bahwa tahap-tahap pertanggungjawaban pidana korporasi ini
akan mempengaruhi bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi.
39 Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2010), hal. 45-46.
40 Ibid. 41 Lihat selengkapnya dalam Dwidja Priyatno dan Muladi, hal 169 sampai dengan 196.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 565
1. Tahap Pertama
Pada tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang
dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).
Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi,
maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi
tersebut.42 Pandangan pada tahap pertama ini sangat dipengaruhi oleh
asas “societas delinquere non potest” yaitu badan hukum tidak dapat
melakukan tindak pidana.43 Jadi, apabila dalam suatu korporasi terjadi
tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh
pengurus korporasi tersebut.
Asas “societas delinquere non potest” ini merupakan dasar dan dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 59 KUHP (Pasal 51 W.v.S.) yang berbunyi:
Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana
terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris,
maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang
ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak
pidana.
Asas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari
abad ke-19, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan
sebagai kesalahan dari manusia.
2. Tahap Ke Dua
Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah
Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak
pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi)
namun demikian tanggung jawab untuk itu tetap menjadi beban dari
pengurus badan hukum tersebut. Tanggungjawab pada tahap ini
perlahan-lahan beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang
memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan
memimpin secara sesungguhnya atau dengan perkataan lain bahwa
pertanggungjawaban pidana tetap dimintakan terhadap pengurus yang
secara nyata memimpin korporasi tersebut. Oleh sebab itu, pada tahap ini
korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku
tindak pidana akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para
anggotanya atau pengurusnya selama dinyatakan dengan tegas dalam
peraturan perundang-undangan ataupun dalam aturan korporasi yang
bersangkutan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa
pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum
muncul.44
42 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 52.
43 Ibid., hal. 53. 44 Ibid., hal 53-54
566 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Dalam upaya menggambarkan korporasi sebagai subjek hukum yang
perbuatannya dilihat dari perbuatan para pegawai yang mewakilinya,
Denning L.J menjelaskannya secara metaforis:
A company may in many ways be likened to a human body. It
has a brain and a nerve centre which control what it does. It
also has hands which holds the tools and act in accordance
with directions from the centre. Some of the people of the
company are mere servants and agent who are nothing more
than hands to do the work and cannot be said to represent the
mind or will. Others are directors and managers who represent
the directing mind and will of the company, and control what it
does. The state of mind of these managers are the state of mind
of the company and is treated by the law as such. So you will
find that in cases where the law requires a personal fault as a
condition of lability in tort, the fault of the manager will be the
personal fault of the company.
So also in the criminal law. In cases where the law requires a
guilty mind as a condition of a criminal offence, the guilty mind
of the directors or managers will render the company itself
guilty.45
Adapun contoh dari peraturan perundang-undangan yang berada
pada tahap ini antara lain:46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951
(Undang-Undang Tenaga Kerja); Undang-Undang Nomor 2 tahun 1951
(Undang-Undang Kecelakaan); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951
(Undang-Undang Pengawasan Perburuhan); Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api); Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apotek); Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1957 (Undang-Undang Penyelesaian Perburuhan);
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan
Tenaga Asing); Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (Undang-
Undang Penerbangan); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-
Undang Telekomunikasi; berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1989); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang
Wajib Lapor Ketenagakerjaan); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981
(Undang-Undang Metrologi Legal); Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1982 (Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan); Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diganti oleh
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998); dan lain sebagainya.
45 Peter Gillies, Op. Cit., page 136.
46 Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Cetakan Ke
Dua Edisi Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 223.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 567
3. Tahap Ke Tiga
Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang
langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu sesudah Perang Dunia
II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan
meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan
diaturnya korporasi sebagai pembuat dan pihak yang harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana adalah karena
dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh
korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian
besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya
dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa
dengan memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa
korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Pemidanaan korporasi
dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu,
diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan
bersangkutan.47
Pada mulanya, peraturan perundang-undangan yang menempatkan
korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Drt
Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang
menyatakan:
Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan
orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan
hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik
terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan
itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan
tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai
pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun
terhadap kedua-duanya.
Berdasarkan perumusan diatas dapat dilihat bahwa yang dapat
melakukan suatu tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana adalah orang dan korporasi itu sendiri.
Tahap ketiga ini telah mempengaruhi politik hukum pidana (criminal
penal policy) Indonesia dimana hal ini menyebabkan peraturan
perundang-undangan di Indonesia mulai mencantumkan tanggungjawab
langsung dari korporasi dimana korporasi dinilai dapat melakukan tindak
pidana dan dapat dipertangguingjawabkan secara pidana meskipun masih
terbatas hanya dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP.
Peraturan perundang-undangan khsus ini diantaranya: 48 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Kerja; Undang-Undang Nomor 2 Tahun
47 Dwidja Priyatno, “Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Di Indonesia”, (Bandung, CV Utomo, 2004), hal. 27.
48 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 233.
568 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
1951 Tentang Kecelakaan; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951
Tentang Pengawasan Perburuhan; Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1951 Tentang Senjata Api; Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958
Tentang Penerbangan.
Sedangkan yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana
yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana antara lain dalam:49 Undang-Undang
Drt Nomor 7 Tahun 1955 (undang-undang Tindak Pidana Ekonomi);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 (Pos); Undang-Undang Nomor 11
Prips. 1963 (Subversi; sudah dicabut); Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 (Psikotropika); Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (Tindak
Pidana Korupsi); Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana
Pencucian Uang); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 (Perindustrian);
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 (Perikanan); Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 (Pasar Modal); Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 (Lingkungan Hidup) ; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen) dan
lain sebagainya.
Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Edi Yunara pembenaran
pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat
didasarkan hal-hal berikut:50
1) Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang
diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian
antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.
2) Atas dasar kekeluargaan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945.
3) Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan).
4) Untuk perlindungan konsumen.
5) Untuk kemajuan tehnologi.
Perlu pula dikemukakan bahwa menurut Muladi, tahap
perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia
ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda. Namun sekarang di
Negeri Belanda menurut beliau telah memasuki tahap keempat, yaitu
pengaturan tentang pertanggungjawaban tidak lagi tersebar di luar KUHP
(WVS) Belanda, sebab dengan lahirnya Undang-Undang Tanggal 23 Juni
1976 Stb 377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, muncul
perumusan baru Pasal 51 W.v.S Belanda yang berbunyi :
1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan
hukum;
49 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 89.
50 Edi Yunara, “Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi
Kasus)”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 31.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 569
2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat
dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat
dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam
undang-undang terhadap : badan hukum atau terhadap yang
“memerintah” melakukan tindakan yang dilarang itu; atau
terhadap mereka yang bertindak sebagai “pemimpin” melakukan
tindakan yang dilarang itu; terhadap “badan hukum” dan “yang
memerintahkan melakukan perbuatan” di atas bersama-sama .
3) Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum:
perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.
Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan
perundang-undangan pidana khusus yang tersebar di luar KHUP Belanda
yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut
karena dipandang tidak perlu lagi, sebab dengan diaturnya
pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 KUHP Belanda, maka
sebagai Ketentuan umum berdasarkan Pasal 91 KUHP Belanda (pasal
103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di
luar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.
Dalam RKUHP Tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 48 mencantumkan
kapan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
langsung yaitu:
Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan
oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan
hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup
usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-
sama”.
Dan Pasal 50 yang menyatakan bahwa:
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas
nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam
lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran
dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang
bersangkutan”.
Dengan melihat fase-fase perkembangan sebagaimana telah
dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek yang
mempengaruhi perkembangan pranata hukum yang menyebabkan
korporasi itu dijadikan subjek hukum pidana, pertama kali disebabkan
oleh perkembangan di bidang perekonomian, yang kedua adalah
merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri yang
memiliki aspek ganda yaitu:
1) Modernisasi hukum, yaitu memperbaharui hukum positif sesuai
dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat seirama dengan
perkembangan masyarakat.
570 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
2) Fungsionalisasi hukum, yaitu memberikan peranan pada hukum
untuk ikut dalam mengadakan perubahan pada masa
pembangunan
VII. Doktrin Pertanggungjawaban Korporasi
Terdapat beberapa doktrin yang membenarkan korporasi sebagai subjek
hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Umumnya,
pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior
yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa
melakukan kesalahan. Dalam hal ini hanya agen-agen korporasilah yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi. Oleh sebab itu, hanya agen-agen
korporasi saja yang dapat melakukan kesalahan. Doktrin respondeat superior
inilah yang kemudian menghasilkan tiga model pertanggungjawaban pidana
korporasi, yaitu direct corporate criminal liability, strict liability, dan vicarious
liability sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.51 Namun sebelum membahas
teori teori tersebut, perlu ditekankan bahwa antara teori teori tersebut memiliki
keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
1. Identification Theory Atau Direct Liability Doctrine
Sebelum membahas lebih jauh mengenai doktrin-doktrin atau teori-
teori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi, Roeslan
Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari
badan hukum (korporasi), asas kesalahan tidak mutlak berlaku.52
Doktrin pertama yang membenarkan pertanggungjawaban pidana
korporasi adalah Identification Theory atau dikenal juga dengan Direct
Liability Doctrine. Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat
bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik
sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan
adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Doktrin
pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah
salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi
pertanggungjawaban pidana korporasi meskipun korporasi bukanlah
sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Menurut doktrin ini korporasi dapat
melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior”
(senior officer) dan diidentifikasi sebagai perbuatan perusahaan atau
korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan “pejabat senior”
(senior officer) dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi, dalam teori
ini agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka
51 Sue Titus Reid, “Criminal Law”, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995),
hal. 53. Wayne R LaFave & Austin W. Scott Jr., “Criminal Law”, (Michigan: West Publishing
co, 1982, hal. 228.
52 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 140.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 571
orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat didentifikasi
terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar
dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut
dilakukan oleh orang yang merupakan “directing mind” dari korporasi
tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Richard Card, yang
menyatakan bahwa; “the acts and state of mind of the person are the acts
and state of mind of the corporation ” (tindakan atau kehendak direktur
adalah merupakan tindakan dan kehendak korporasi).53
Jadi, dalam teori identifikasi, perbuatan pidana yang dilakukan oleh
pejabat senior diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan
oleh korporasi. Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter
ego” atau “teori organ” yang dapat diartikan secara sempit maupun
secara luas, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, yaitu
sebagai:54
1) Arti sempit (Inggris): Hanya perbuatan pejabat senior atau otak
korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi.
Secara sempit teori identifikasi hanya membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada pejabat senior karena pejabat
seniorlah yang merupakan otak atau pengambil keputusan atau
kebijakan dalam korporasi, sehingga yang menentukan arah
kegiatan korporasi adalah pejabat senior atau dengan perkataan
lain bahwa pada umumnya pejabat senior adalah orang yang
mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama
yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali perusahaan
yang didalamnya terdiri dari para direktur dan manajer.
2) Arti luas (Amerika Serikat): Tidak hanya pejabat senior atau
direktur tetapi juga agen dibawahnya.
Tetapi apabila ditafsirkan secara luas, pertanggungjawaban secara
pidana tidak hanya dapat dibebaknan terhadap pejabat senior saja
melainkan juga dapat dibebani kepada mereka yang berada
dibawahnya.
Korporasi pada asasnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan
orang pribadi berdasarkan asas identifikasi ini. Misalnya dalam hal ini
suatu korporasi yang melakukan tindak pidana (yang mensyaratkan
adanya mens rea dan actus reus). Pengadilan dalam hal ini dapat
memandang atau menganggap bahwa perbuatan dan sikap batin dari
pejabat tertentu yang dipandang sebagai perwujudan dari “kedirian”
organisasi tersebut adalah perbuatan dan sikap batin dari korporasi.
Korporasi dalam hal ini bukan dipandang bertanggungjawab atas dasar
pertangunggjawaban dari perbuatan pejabatnya, melainkan korporasi itu
sendiri yang bertanggungjawab seperti halnya dalam pelanggaran
53 Muladi, Op. Cit., hal 21.
54 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 246.
572 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
terhadap kewajiban hukum justru dipandang telah melakukan tindak
pidana itu secara pribadi.55
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, bagaimana menentukan
siapa yang menjadi directing mind dari sebuah korporasi. Apabila dilihat
dari segi formal yuridis, yaitu melalui anggaran dasar korporasi, maka
akan terlihat jelas siapa yang menjadi directing mind dari korporasi
tersebut. Anggaran dasar tersebut berisi penunjukan pejabat-pejabat yang
mengisi posisi tertentu berikut kewenangannya. Disisi lain, Lord
Diplock mengemukakan bahwa pejabat senior adalah: “mereka-mereka
yang berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil
keputusan para direktur atau putusan rapat umum perusahaan, telah
dipercaya melaksanakan kekuasaan perusahaan”.56 Selain itu, menurut
Lord Morris, yang dapat dikatakan sebagai pejabat senior adalah orang
yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana dari
the directing mind and will of the company”.57 (Pejabat senior adalah
orang yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana
dari The directing mind and will of the company).
Oleh sebab itu, mengenai hakikat pejabat senior itu sendiri pada
dasarnya adalah mereka yang baik secara individual maupun kolektif,
diberikan kewenangan untuk mengendalikan korporasi melalui tindakan
atau kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Pejabat senior dari segi
struktural dan kewenangan (biasanya direktur dan manejer) berbeda dari
mereka yang bekerja sebagai pegawai atau agen yang melaksanakan
perintah atau keputusan yang dibuat oleh pejabat senior.
Selain itu, menurut Hanafi, penerapan prinsip identifikasi dapat
menimbulkan beberapa masalah antara lain:58
1) Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha sebuah
perusahan, maka besar kemungkinan bahwa perusahan tersebut
akan menghindar dari tanggung jawab. Sebagai contoh yang dapat
diambil untuk menggambarkan kondisi ini, misalnya dalam kasus
Tesco yang memiliki lebih dari 800 cabang yang dituntut
melakukan tindak pidana berdasarkan “The Trade Description Act
1968” yang dilakukan oleh manager cabang toko tersebut. Dalam
kasus ini, House Of Lord memutuskan bahwa manager cabang
adalah orang lain yang merupakan tangan dan bukan otak
perusahaan, belum ada pelimpahan oleh direksi berupa
pelimpahan fungsi managerial mereka sehubungan dengan urusan
perusahaan dengan manager cabang itu. Dia harus memenuhi
aturan umum dari perusahan dan menerima perintah dari
atasannya pada tingkat regional dan distrik, karenanya
perbuatannya atau kelalaiannya bukan kesalahan perusahan.
55 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 45-46.
56 Ibid., hal. 234.
57 Ibid.
58 Hanafi, “Strict Liability dan Vicarious Liability” dalam “Hukum Pidana”,
(Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 1997), hal. 63-64.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 573
2) Bahwa perusahan hanya bertanggungjawab apabila orang itu
diidentifikasikan dengan perusahan, yaitu dirinya sendiri yang
secara perorangan atau individual bertanggungjawab karena dia
memiliki “mens rea” untuk melakukan tindak pidana. Apabila
terdapat beberapa “superior officers” yang terlibat, maka masing-
masing mungkin tidak memiliki tingkat pengetahuan yang
disyaratkan agar merupakan “mens rea” dari tindak pidana
tersebut. Dapatkah perusahan bertanggungjawab jika apa yang
diketahui secara bersama-sama oleh para pejabat perusahaan
tersebut sudah cukup merupakan “mens rea”.
Dari pendapat tersebut, terlihat beberapa persamaan antara korporasi
dengan tubuh manusia berkaitan dengan pusat atau otak dan organ yang
melaksanakan perintah dari otak. Pada korporasi juga terdapat direktur
dan manejer yang mengontrol kegiatan korporasi dan para pegawai atau
agen yang melaksanakan kebijakan dari direktur atau manajer. Sikap
batin dan keinginan dari para pegawai tersebut tidak dapat dianggap
sebagai keinginan dan sikap batin dari korporasi. Berbeda dengan sikap
batin dan keinginan dari direktur atau manejer yang dapat dianggap
sebagai sikap batin dan keinginan dari korporasi, karena direktur atau
manejer merupakan directing mind dari korporasi.
Pada akhirnya dalam teori identifikasi, pertanggungjawaban pidana
yang dibebankan kepada korporasi harus memperhatikan dengan teliti
siapa yang benar-benar menjadi otak atau pemegang kontrol operasional
korporasi, yang berwenang mengeluarkan kebijakan dan mengambil
keputusan atas nama korporasi. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, hanya apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh pejabat senior korporasi yang memiliki
kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi
tersebut.
2. Strict Liability Atau Absolute Liability
Doktrin kedua yang mendukung pertanggungjawaban pidana
korporasi adalah strict liability atau absolute liability atau yang disebut
juga dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan atau disebut dengan
no-fault liability atau liability without fault. Dalam prinsip ini,
pertanggungjawaban dapat dimintakan tanpa keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief, sering dipersoalkan apakah strict
liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini terdapat dua
pendapat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pendapat pertama
menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Jadi
dapat dikatakan bahwa kelompok pertama ini menyamakan pengertian
antara strict liability dan absolute liability. Adapun alasan atau dasar
pemikirannya bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah
melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan
574 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan
apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi
sesorang yang sudah melakukan tindak pidana yang memenuhi rumusan
undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana.59
Menurut Curzon, adanya doktrin strict liability didasarkan pada
alasan-alasan sebagai berikut:60
1) Adalah sangat esensiil untuk menjamin dipatuhinya peraturan-
peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan
masyarakat.
2) Pembuktian akan adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk
pelanggaran–pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan
masyarakat itu (dalam hal ini salah satunya adalah tindak pidana
ekonomi).
3) Tingginya tingkat “bahaya sosial” yang ditimbulkan oleh perbuatan
yang bersangkutan.
Dalam hukum pidana Inggris, pertanggungjawaban yang bersifat
mutlak hanya dapat diterapkan pada pelanggaran ringan misalnya,
pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahateraan umum.
Pelanggaran terhadap tata tertib atau penghinaan terhadap pengadilan
(contempt of court), pencemaran nama baik, atau menggangu ketertiban
masyarakat merupakan contoh pelanggaran yang masuk dalam ketagori
pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum.61
Strict liability menurut Russel Heaton dalam bukunya Criminal Law
Textbook diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak
mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih
dari actus reus.62 Jadi dalam hal ini, strict liability ini merupakan
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Romli
Atmasasmita menyatakan bahwa hukum pidana Inggris selain menganut
asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” (a harmful act without a
blame worthy mental state is not punishable), juga menganut prinsip
pertanggungjawab mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak
adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana. Prinsip
pertanggungjawab tersebut dikenal sebagai strict liability crimes”.63
Apabila diperhatikan, terdapat dua istilah yang berbeda untuk
menggambarkan strict liability. Ada yang menggunakan istilah “strict
liability” dan ada pula yang menggunakan istilah “strict liability crimes”.
Kedua istilah tersebut nampaknya tidak memiliki perbedaan yang
prinsipil. Namun demikian, dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan
59 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 40.
60 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op. Cit., hal. 141.
61 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 110.
62 Russel Heaton, “Criminal Law Textbook”, (London: Oxford University Press, L,
2006), hal. 403.
63 Romli Atmasasmita, “Perbandingan Hukum Pidana”, Cetakan I, (Bandung:
Mandar Maju, 1996), hal. 76.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 575
istilah “strict liability” mengingat dalam Black’s Law Dictionary,
pengertian Strict-liablity crimes adalah: a crime that does not require a
mens rea element, such as speeding or attempting to carry a weapon
aboard an aircraft. Jadi pengertiannya adalah kejahatan atau tindak
pidana. Sedangkan terkait dengan bentuk pertanggungjawabannya
disebut dengan istilah “strict liability”.
Selanjutnya, Hamzah Hatrik mendefenisikan bahwa strict liability
adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault),
yang dalam hal ini si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah
melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan
dalam undang-undang, tanpa melihat lebih jauh sikap batin si pembuat.64
Disamping itu, Hanafi dalam bukunya “Strict Liability dan Vicarious
Liability dalam Hukum Pidana” menegaskan bahwa dalam perbuatan
pidana yang bersifat strict liability hanya dibutuhkan dugaan atau
pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut
pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi, tidak dipersoalkan
adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus reus
(perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus
(perbuatan), bukan mens rea (kesalahan).65
Selain itu, Siswanto Sunarso dalam bukunya Hukum Pidana
Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa juga
menerangkan bahwa menurut doktrin ”strict liability”
(pertanggungjawaban ketat) seseorang sudah dapat
dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri
orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability
diartikan sebagai “liability without fault” (pertanggungjawaban pidana
tanpa kesalahan).66 Pendapat senada juga diutarakan oleh Muladi
sebagaimana dikutip oleh M. Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana
Pencemar Lingkungan.67
Terkait dengan hal ini, Sutan Remi Sjahdeini berpendapat bahwa:
“Dalam hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula
tindak pidana-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat
dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens
rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku
tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan
yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan
yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak pidana-tindak pidana
yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering
dikenal juga sebagai offences of absolute prohibitation”.68
64 Hamzah Hatrik, Op. Cit., hal. 110.
65 Hanafi, Loc. Cit.
66 Siswanto Sunarso, “Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian
_Tentang_RUU_KUHP>, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11.16. 96 <http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan
_Tentang_RUU_KUHP>, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11. 25.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 587