Top Banner
URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian 1 Abstract The development of science and technology and globalization were already unstoppable today, not only have a beneficial impact, but also often have a negative impact for example by the "globalization of crime" and the development of quality (modus of operation) and the quantity of criminal acts. Offenses rife nowadays with regard to the corporate existence of the corporation is a criminal offense that could result in serious and widespread impact, damage the joints of the nation and threatens the stability of the State. Therefore, the law should take back its role in order to create justice and welfare and in handling needed ways remarkable that one of them is to make the corporation as a subject of criminal law that is considered to be committing a crime and can be criminally) Keywords: criminal law, corporate criminal offense, criminal liability corporation Abstrak Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi yang sudah tidak terbendung dewasa ini, tidak hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga seringkali menimbulkan dampak negatif misalnya dengan adanya “globalisasi kejahatan” dan berkembangnya kualitas (modus operandi) dan kuantitas tindak pidana. Tindak pidana yang marak terjadi dewasa ini berkaitan dengan eksistensi korporasi adalah tindak pidana korporasi yang akan menimbulkan dampak serius dan meluas, merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan mengancam stabilitas Negara. Oleh sebab itu, hukum harus mengambil kembali peranannya dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat dan dalam penangannya dibutuhkan cara-cara yang luar biasa yang salah satunya adalah menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana) Kata kunci: hukum pidana, tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban pidana korporasi 1 Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung. Alamat kontak: [email protected].
46

URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Oct 16, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Kristian1

Abstract

The development of science and technology and globalization were already

unstoppable today, not only have a beneficial impact, but also often have a

negative impact for example by the "globalization of crime" and the

development of quality (modus of operation) and the quantity of criminal acts.

Offenses rife nowadays with regard to the corporate existence of the

corporation is a criminal offense that could result in serious and widespread

impact, damage the joints of the nation and threatens the stability of the State.

Therefore, the law should take back its role in order to create justice and

welfare and in handling needed ways remarkable that one of them is to make

the corporation as a subject of criminal law that is considered to be

committing a crime and can be criminally)

Keywords: criminal law, corporate criminal offense, criminal liability

corporation

Abstrak

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi yang

sudah tidak terbendung dewasa ini, tidak hanya menimbulkan dampak positif

tetapi juga seringkali menimbulkan dampak negatif misalnya dengan adanya

“globalisasi kejahatan” dan berkembangnya kualitas (modus operandi) dan

kuantitas tindak pidana. Tindak pidana yang marak terjadi dewasa ini

berkaitan dengan eksistensi korporasi adalah tindak pidana korporasi yang

akan menimbulkan dampak serius dan meluas, merusak sendi-sendi kehidupan

bangsa dan mengancam stabilitas Negara. Oleh sebab itu, hukum harus

mengambil kembali peranannya dalam rangka menciptakan keadilan dan

kesejahteraan rakyat dan dalam penangannya dibutuhkan cara-cara yang luar

biasa yang salah satunya adalah menjadikan korporasi sebagai subjek hukum

pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana)

Kata kunci: hukum pidana, tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban

pidana korporasi

1 Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik

Parahyangan (UNPAR) Bandung. Alamat kontak: [email protected].

Page 2: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 547

I. Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang, dikatakan

demikian karena Pembangunan Nasional Indonesia dewasa ini telah

memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini, pembangunan

tidak hanya menyangkut pembangunan di bidang ekonomi semata namun

menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk pembangunan di

bidang hukum, pembangunan dibidang ekonomi bahkan dibidang sosial dan

politik. Perkembangan dan pembangunan sebagaimana telah dikemukakan

diatas sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi dan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu cepat.

Namun demikian, globalisasi ini tentu saja di samping menimbulkan manfaat

bagi kehidupan manusia sudah tentu harus diwaspadai efek sampingnya yang

bersifat negatif, yaitu adanya “globalisasi kejahatan” dan meningkatnya

kuantitas (modus operandi) serta kualitas tindak pidana di berbagai negara dan

antar negara.2

Dengan adanya globalisasi dan modernisasi tepatnya dalam hal kemajuan

teknologi, komunikasi, transportasi dan informatika khususnya di bidang

ekonomi, perdagangan dan investasi, kemajuan dan perkembangan dunia,

seolah-olah membuat batas-batas negara, kedaulatan dan hak-hak berdaulat

menjadi kabur. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak negatif yang sangat

memprihatinkan. Atau dengan perkataan lain bahwa manusia seringkali

memanfaatkan perkembangan tersebut untuk memudahkan perilaku jahat yang

tidak dikendalikan akal dan hati nurani dan sebaliknya justru menggunakan

alat-alat teknologi modern tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana, tidak

jarang disertai violence yang bertentangan dengan peradaban manusia. Dengan

berkembangnya berbagai jenis kejahatan yang semakin kompleks sudah tentu

menuntut adanya sarana penanganan yang mampu untuk memecahkan dan

tanggap akan kondisi tersebut.

Hal ini diperkuat dengan Article 1 United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime Tahun 2000 (TOC) disebutkan dengan tegas

bahwa: The purpose of this convention is to promote cooperation to prevent

and combat transnational organized crime more effectively. (tujuan dari

konvensi ini adalah untuk memajukan kerja sama untuk mencegah dan

memberantas tindak pidana transnasional terorganisasi secara lebih efektif).

Dilihat ketentuan tersebut, terbukti adanya peningkatan kejahatan dan

keprihatinan masyarakat internasional mengenai kejahatan yang berkembang

dewasa ini yang tidak saja merupakan masalah suatu negara, tetapi juga

merupakan masalah global.

Kemudian diperkuat pula dengan laporan Kongres PBB ke-5 dan ke 6

mengenai The Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders

terungkap bahwa Crime As Business merupakan bentuk kejahatan dalam

bidang bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan secara terorganisasi

2 Nyoman Serikat Putra Jaya, Globalisasi HAM dan Penegakan Hukum, Makalah:

disampaikan pada matrikulasi mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Undip Tahun 2010,

tanggal 18 September 2010.

Page 3: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

548 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

dan mereka mempunyai kedudukan yang terpandang dalam masyarakat atau

dapat dikatakan sebagai white collar crime. Dan dalam Kongres ke-6 PBB

lebih lanjut dikatakan bahwa tindak pidana bisnis atau tindak pidana yang

berkaitan dengan ekonomi meliputi berbagai bidang tidak dapat dipisah-

pisahkan melainkan kesemuanya memiliki hubungan satu dengan yang lain.

Hal ini akan membawa konsekuensi lebih lanjut dalam hal atau upaya

pencegahan dan pemberantasannya. Karena kesemua bidang tersebut saling

berkaitan satu dengan yang lain, maka dalam upaya pencegahan dan

pemberantasannyapun tidak dapat dilakukan satu persatu atau bagian perbagian

melainkan harus dilakukan secara terpadu dengan sebuah kebijakan hukum

pidana (criminal penal policy).

Menghadapi efek negatif dari globalisasi yaitu adanya “globalisasi

kejahatan” serta peningkatan terhadap kuantitas dan kualitas kejahatan

sebagaimana telah dikemukakan diatas, hukum harus kembali mengambil

peranannya sebagai sarana atau alat untuk mengatur ketertiban umum dan

memulihkan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam

tataran Negara Republik Indonesia, hukum harus mengambil peranananya

dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam alinea ke

4 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi:

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial”.

Dalam kaitannya dengan era globalisasi dewasa ini, eksistensi suatu

korporasi memiliki andil yang cukup besar baik bagi kepentingan manusia

ataupun bagi kepentingan negara. Dikatakan demikian karena korporasi tidak

dapat dilepaskan dalam kehidupan bermasyarakat atau dengan kata lain, dalam

rangka mencukupi kebutuhan umat manusia dewasa ini tidak dapat dilepaskan

dari keberadaan korporasi. Sebagaimana dikemukakan diatas, selain bagi

manusia, eksistensi korporasipun dirasakan penting bagi kepentingan Negara.

Hal ini dikarenakan korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap

perekonomian nasional tepatnya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan

ekonomi suatu Negara. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa korporasi memiliki

peranan penting seperti meningkatkan penerimaan Negara dengan penerimaan

pajak, menciptakan lapangan pekerjaan, alih teknologi, terlebih untuk sebuah

bank, korporasi (yang dalam hal ini adalah bank) dapat dikatakan sebagai pilar

penopang perekonomian nasional.

Namun demikian, peranan penting dan hal positif yang dapat diambil dari

suatu korporasi sebagaimana tersebut tidak selamanya dapat terealisasi

melainkan dengan tidak dapat dilepaskannya eksistensi korporasi dewasa ini,

seringkali diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran atau bahkan perbuatan

melanggar hukum termasuk pelanggaran hukum pidana. Salah satu contoh

perbuatan pidana yang seringkali dilakukan oleh suatu korporasi misalnya

Page 4: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 549

adalah korporasi melakukan pencemaran lingkungan, melakukan unfair

business atau bahkan melakukan suatu tindak pidana di bidang ekonomi seperti

tindak pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang (tindak pidana

korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara pasif bahkan secara aktif)

yang tidak hanya merugikan orang perseorangan ataupun masyarakat luas

tetapi juga sangat berpotensi menimbulkan suatu kerugian Negara.

Selain itu, tindak pidana korporasi dapat pula dikategorikan sebagai

kejahatan transnasional yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena

kejahatan korporasi melibatkan suatu sistem yang tersistematis serta unsur-

unsurnya yang sangat kondusif. Dikatakan melibatkan suatu sistem yang

tersistematis karena adanya organisasi kejahatan (Criminal Group) yang sangat

solid baik karena ikatan etnis, kepentingan politis maupun kepentingan-

kepentingan lain, dengan kode etik yang sudah jelas. Sedangkan terkait dengan

“unsur-unsurnya yang sangat kondusif” bahwa dalam tindak pidana korporasi

selalu ada kelompok (protector) yang antara lain terdiri atas para oknum

penegak hukum dan professional. dan kelompok-kelompok masyarakat yang

menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara tersistematis tersebut.3 Perlu

pula dikemukakan bahwa kejahatan ini seringkali mengandung elemen-elemen

kecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation), penyembunyian

kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan

(breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan peraturan (ilegal

circumvention) sehingga sangat merugikan masyarakat secara luas.4

Selain itu, menurut Mardjono Reksodiputro, tindak pidana korporasi

merupakan bagian dari White Collar Crime yang dikemukakan oleh

Shutherland berikut ini: “…is a violation of criminal law by the person of the

upper socioeconomic class in the course of his occupational activities”

(kejahatan kerah putih adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang

yang mempunyai tingkat sosial ekonomi kelas atas yang berhubungan dengan

jabatannya).

Melihat hal-hal tersebut diatas, tidaklah berlebihan apabila dikatakan

bahwa tindak pidana korporasi sebagai bentuk kejahatan yang tidak hanya

mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga

dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.

Terkait dengan korporasi sebagai pembuat tindak pidana, ketika

korporasi melakukan suatu tindak pidana, maka korporasi tersebut seharusnya

dapat dimintakan dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang

dilakukannya baik yang ditunjukan langsung kepada korporasi yang

bersangkutan ataupun yang ditunjukan kepada pengurus-pengurusnya (organ-

organ korporasi). Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang

dinilai dapat melakukan tindak pidana yang dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana (corporate criminal responsibility)

3 Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System), Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2010, hal. 111. 4 Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis”, (Jakarta: Prenada Media,

2003), hal. Xiii.

Page 5: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

550 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

bukanlah merupakan hal baru yang menimbulkan banyak persoalan hukum dan

suatu perdebatan baik dikalangan akademisi maupun dikalangan praktisi

hukum.

Permasalahan mengenai pertanggungjawaban korporasi ini baru muncul

manakala pertanggungjawaban korporasi ini dikaitkan dengan pertanyaan

mendasar dalam hukum pidana diantaranya: Apa yang dimaksud dengan

korporasi itu? Kapan suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban

secara pidana? Apa ukurannya untuk dapat mempertanggungjawabkan

korporasi dalam hukum pidana? Kemudian apabila dikaitkan dengan

pertanggungjawaban pidana Indonesia yang menganut asas kesalahan (mens

rea), maka akan timbul pertanyaan bagaimana kesalahan (mens rea)

sebagaimana tergambar dari asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf

zonder schuld; keine strafe ohne schuld) diterapkan terhadap korporasi? Dan

bentuk pertanggungjawaban seperti apakah yang dapat dimintakan terhadap

korporasi? Apakah hanya pidana denda ataukah dapat pula diterapkan sanksi

pidana lain seperti pidana mati atau pidana penjara? Namun sebelum menjawab

hal-hal berikut, akan diuraikan terlebih dahulu mengenai definisi dari korporasi

itu sendiri.

II. Pengertian Korporasi

Secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah)

sebagai subjek hukum, akan tetapi selain orang perseorangan dikenal pula

subjek hukum yang lain yaitu badan hukum (korporasi) yang padanya melekat

hak dan kewajiban hukum layaknya orang perseorangan sebagai subjek hukum.

Atas dasar itu, untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan korporasi, tidak

bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Hal ini disebabkan oleh karena

istilah korporasi sangat erat kaitannya dengan istilah “badan hukum” yang

dikenal dalam bidang hukum perdata. Perlu pula dikemukakan bahwa menurut

Rudi Prasetya, “Kata korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan di

kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang

hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau

yang dalam bahasa Belanda di sebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam

bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.5

Sedangkan apabila dilihat secara etimologisnya, pengertian korporasi

yang dalam istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation

(Inggris), korporation (Jerman), berasal dari bahasa Latin yaitu “corporatio”.6

Terkait dengan istilah “corporatio” ini, menurut Muladi dan Dwidja

Priyatno:

Seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran dengan “tio”

maka “corporatio” dianggap sebagai kata benda (substantivum)

5 Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”,

(Bandung: STHB, 1991), hal. 13. 6 Ibid.

Page 6: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 551

yang berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai

orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu.

“Corporare” itu sendiri berasal dari kata “corpus” yang dalam

bahasa Indonesia berarti “badan” atau dapat disimpulkan bahwa

corporatio dapat diartikan sebagai proses memberikan badan atau

proses membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya

“corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan, dengan

perkataan lain, korporasi merupakan badan yang dijadikan orang,

badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan

terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.7

Menurut Garner dan Bryan A, mengemukakan bahwa pengertian

korporasi diambil dari istilah dalam bahasa Inggris "Corporation" yang berarti

badan hukum atau sekelompok orang yang oleh Undang-Undang

diperbolehkan untuk melakukan perbuatan sebagaimana seorang individu

sebagai subjek hukum, berbeda dengan para pemegang sahamnya.8

Dilain kesempatan, Kenneth S. Ferber dalam bukunya Corporation

Law menyatakan bahwa:

A corporation is an artificial person. It can do anything a person

can do. It can buy and sell property, both real and personal, in its

own name. It can sue and be sued in its own name. It is formal.9

(korporasi adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan apa saja

yang dapat dilakukan oleh manusia. Korporasi dapat membeli dan menjual

properti, baik yang nyata secara pribadi dan atas namanya sendiri. Hal ini

menyebabkan korporasi dapat menuntut dan dituntut secara resmi atas

namanya sendiri).

Mengenai hakekat dari korporasi itu sendiri pada dasarnya dapat dilihat

dari pernyataan klasik Viscount Haldane L.C., yang menyatakan bahwa:

Korporasi adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki pikirannya

sendiri dibanding dengan tubuhnya sendiri; kehendak yang

dijalankan dan bersifat mengarahkan harus secara konsisten

dilihat pada seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin disebut

agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya mengarahkan pikiran dan

kehendak dari korporasi, yaitu ego dan pusat korporasi.10

7 Ibid., hal. 12. 8 Garner, Bryan A., (Ed.), “Black’s Law Dictionary”, Second Pocket Edition, (tanpa

kota, tanpa penerbit, 2003), page. 147 9 Kenneth S. Ferber, “Corporation Law”, Prentice Hall, 2002, page. 18 10 Peter Gillies (Penyunting: Barda Nawawi Arief), “Criminal Law”, (Tanpa kota, tanpa

penerbit, 1990), page. 126

Page 7: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

552 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul

Ilmu Hukum dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah

Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur

fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat

badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan

ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun ditentukan oleh

hukum.11

Berbeda dengan pendapat para ahli diatas, Sutan Remi Sjahdeini

menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan

korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupun melihat artinya yang

luas. Beliau menyatakan bahwa:

Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum,

korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan

kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan

hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang

mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikannya hidup

untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu

figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” korporasi.

Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya‖

korporasi itu diakui oleh hukum.12

Sedangkan secara luas sebagai pengertian korporasi dalam hukum

pidana, beliau mendefinisikan korporasi sebagai berikut: “Dalam hukum

pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum.

Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi

atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan

sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan

komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan

usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum”.13

Hampir senada dengan pandapat Sutan Remi Sjahdeini diatas, menurut

Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana mengenai

korporasi, berkembang 2 (dua) pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan

korporasi itu? Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi, dalam hal ini

hanya dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara

pidana adalah korporasi yang telah berbadan hukum. Adapun alasan yang

dikemukakan oleh kelompok pertama ini bahwa dengan berbadan hukum, telah

jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi

tersebut. Pendapat lain adalah pendapat yang mengartikan korporasi secara

luas, dimana dikatakan bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan

11 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 13. 12 Sutan Remi Sjahdeini, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, (Jakarta: Grafiti

Pers, 2006), hal. 43. 13 Ibid., hal. 45.

Page 8: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 553

secara pidana tidak perlu harus berbadan hukum, dalam hal ini setiap kumpulan

manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya,

dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.14

Terkait dengan hal ini, H. Setiyono mengemukakan bahwa:

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli

hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut badan hukum

(rechtspersoon), legal body atau legal person. Konsep badan

hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata yang

tumbuh akibat dari perkembangan masyarakat. Pengertian

korporasi dalam hukum pidana Indonesia lebih luas dari

pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum

perdata. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum

pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah

kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik

merupakan badan hukum maupun bukan”.15

Dari pendapat di atas terlihat bahwa ada perbedaan ruang lingkup

mengenai subjek hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang

hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum

pidana. Pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata adalah “badan

hukum”, sedangkan dalam hukum pidana pengertian korporasi bukan hanya

yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum. Meskipun

demikian, perlu disadari bahwa beberapa pengertian korporasi sebagaimana

dikemukakan diatas merupakan pengertian korporasi yang disampaikan oleh

para ahli hukum sedangkan perumusan definisi sebagai hukum positif belum

ada. Keadaan ini tentu dalam prakteknya akan menimbulkan ketidakpastian

hukum karena penafsiran apa yang dimaksud dengan “korporasi” akan sangat

bergantung dari pendapat siapa kita berangkat. Singkatnya, apabila dilihat dari

sudut pandang hukum pidana Indonesia, terminologi “korporasi” belum

didefinisikan secara tegas. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat dalam

hukum pidana Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda masing

menganut individual responsibility.

Namun demikian, didalam beberapa Undang-Undang yang bersifat

khusus seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan didalam Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2010

Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang

sudah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum dikemukakan

bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau

14 Loebby Loqman, “Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian”, (Jakarta,

Datacom, 2002), hal. 32. 15 H.Setiyono, “Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban

Korporasi Dalam Hukum Pidana”, Edisi kedua, Cetakan Pertama, (Malang: Banyumedia

Publishing, 2003), hal. 17.

Page 9: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

554 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan

badan hukum.

Berikut ini akan diuraikan Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak

pidana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan khusus

diluar KUHP yang ruang lingkupnya diatur sedemikian luas (lebih luas dari

pengertian korporasi dalam hukum perdata) yaitu sebagaimana diatur dalam

Undang-undang berikut ini:16 Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955 tentang

Tindak Pidana Ekonomi; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar

Modal; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos; Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1984 tentang Perindustrian; dan lain sebagainya.

Berdasarkan ketentuan dalam berbagai Undang-Undang tersebut diatas,

Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa:17

1. Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak

pidana tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus;

2. Pada awalnya tidak digunakan istilah “korporasi”, tetapi digunakan

istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten;

3. Istilah “korporasi” mulai terlihat pada tahun 1997 dalam Undang-

Undang Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep

KUHP atau Rancangan KUHP tahun 1993.

Dari berbagai peraturan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan korporasi

sebagai subjek hukum pidana hanya terdapat dalam undang-undang khusus

diluar KUHP. Oleh karena itu, menuruh hemat saya, perumusan korporasi

sebagai subjek hukum pidana sebaiknya diatur secara tegas dalam Buku I

KUHP sehingga dapat diberlakukan bagi seluruh tindak pidana yang terjadi

baik tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur

diluar KUHP. Hal ini dapat dijumpai dalam Rancangan KUHP (yang

selanjutnya akan disingkat RKUHP) tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 47 yang

menyatakan: “Korporasi merupakan subyek tindak pidana” dan pasal 182

yang menyatakan bahwa: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari

orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum”.

III. Pengertian Dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korporasi

Istilah “Tindak Pidana Korporasi” dalam beberapa literature sering

disebut juga dengan “Kejahatan Korporasi” pada dasarnya tidak muncul

dengan sendirinya melainkan muncul seiring dengan perkembangan zaman dan

perkembangan masyarakat. Awal mula lahirnya tindak pidana korporasi ini

16 Lihat selengkapnya dalam Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, Op.

Cit., hal. 225-226 dan Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam

Hukum Pidana”, Op. Cit., hal. 168-172. 17 Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2003), hal. 226.

Page 10: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 555

berangkat dari pendapat Edwin Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis

kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime. Terkait dengan white

collar crime itu sendiri Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie

memberikan definisi yaitu sebagai: white collar crime sering diasosiasikan

dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis (financial and bussines

world) dan penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophisticated

frauds of senior executives) yang didalamnya termasuk apa yang secara

popular dikenal sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime).18

Mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven Box

mengemukakan tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan tindak pidana atau kejahatan

konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang lingkup

tindak pidana korporasi melingkupi:19

1. Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu

guna memperoleh keuntungan.

2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata

untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai

kedok dari suatu organisasi kejahatan).

3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap

korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal

ini korporasi sebagai korban.

Dalam tulisan ini, sudah tentu yang akan dibahas hanyalah Crimes for

corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh

korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh

keuntungan. Berkaitan dengan korban kejahatan korporasi ini, Muladi

membedakan antara korban kejahatan konvensional dengan korban kejahatan

korporasi sebagai berikut:

Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan

mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat

abstrak, seperti pemerintah, perusahaan lain atau konsumen yang jumlahnya

banyak, sedangkan secara individual kerugiannya sangat sedikit.20

Sedangkan menurut Clinard dan Yeager, terdapat enam jenis korban

kejahatan korporasi yaitu:21

1. Konsumen (keamanan atau kualitas produk).

18 Yusuf Shofie, “Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi”, (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2002), hal. 44. 19 Lihat juga Muladi dan Dwija Priyatno hal 29 dan bandingkan juga dengan Hamzah

Hatrik, “Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability

dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), hal. 41. 20 Arief Amrullah, “Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega Profits and The Attack on

Democracy)”, (Malang: Banyumedia Publishing, 2006), hal. 133. 21 Arief Amrullah, Op. Cit., hal. 140.

Page 11: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

556 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

Bilamana resiko keamanan dan kesehatan dihubungkan dengan

penggunaan produk, maka konsumen telah menjadi korban dari produk

tersebut.

2. Konsumen (kekuasaan ekonomi).

Pelanggaran kredit, yakni memberikan informasi yang salah dalam

periklanan dengan tujuan untuk mempengaruhi konsumen.

3. Sebagian besar sistem ekonomi telah terpengaruh oleh praktik-praktik

perdagangan yang tidak jujur secara langsung (pelanggaran terhadap

ketentuan anti monopoli dan pelanggaran-pelanggaran terhadap

peraturan persaingan lainnya) dan kebanyakan pelanggaran keuangan

kecuali yang berkaitan dengan belanjaan konsumen.

4. Pelanggaran lingkungan (pencemaran udara dan air), yang menjadi

korban yakni lingkungan fisik.

5. Tenaga kerja menjadi korban dalam pelanggaran terhadap ketentuan

upah.

6. Pemerintah menjadi korban, karena adanya pelanggaran-pelanggaran

administrasi atau perintah pengadilan dan kasus-kasus penipuan pajak.

Selain itu, tindak pidana korporasi telah menimbulkan kerugian

diberbagai bidang misalnya kerugian di bidang:

1. Kerugian di bidang ekonomi atau kerugian materil

Berbagai peristiwa menunjukkan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang

ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila

dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan

warungan seperti perampokan, pencurian, penipuan. Misalanya

perkiraan yang dilakukan oleh Subcommitee on Antitrust and Monoplay

of the US Senate Judiciary Commites yang diketuai oleh Senator Philip

Hart memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan

korporasi antara 174-231 miliar dollar per tahun. Ini adalah angka yang

sangat jauh bila dibandingkan kejahatan warungan yang berkisar 3-4

miliar.

2. Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa

Menurut Geis, setiap tahunnya korporasi bertanggungjawab terhadap

ribuan kematian dan cacat tubuh yang terjadi di seluruh dunia. Resiko

kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan

baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses

produksi, sehingga yang menjadi korban kejahatan korporasi adalah

masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada

korporasi.

3. Kerugian di bidang sosial dan moral

Disamping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak

kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah

kerugian di bidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh

Page 12: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 557

kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap

perilaku bisnis. The President‘s Commision on Law Enforcement and

Administration of Justice pernah menyatakan bahwa kejahatan

korporasi merupakan kejahatan yang paling penting mencemaskan

bukan saja karena kerugiannya yang sangat besar, akan tetapi akibat

yang merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis orang

Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong kepercayaan publik

terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke

dalam struktur bisnis yang sah (the structure of legitimate business).

Mengingat dampak yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi sangat

berdampak luas, menurut hemat saya, terdapat urgensi untuk mengatur

korporasi sebagai subjek hukum pidana dimana korporasi dinilai dapat

melakukan tindak pidana dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara

pidana. Namun demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi harus tetap

memperhatikan kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Clinard dan Yeagar

sebagai berikut:22

1. The degree of loss to the public. (Derajat kerugian terhadap public);

2. The lever of complicity by high corporate managers. (Tingkat

keterlibatan oleh jajaran manager);

3. The duration of the violation. (Lamanya pelanggaran).

4. The frequensi of the violation by the corporation. (Frekuensi

pelanggaran oleh korporasi);

5. Evidence of intent to violate. (Alat bukti yang dimaksudkan untuk

melakukan pelanggaran);

6. Evidence of extortion, as in bribery cases. (Alat bukti pemerasan,

semisal dalam kasus suap);

7. The degree of notoriety engendered by the media. (Derajat pengetahuan

publik tentang hal-hal negative yang ditimbulkan oleh pemberitaan

media);

8. Precedent in law. (Jurisprudensi);

9. The history of serious, violation by the corporation. (Riwayat

pelanggaran-pelanggaran serius oleh korporasi);

10. Deterence potential. (Kemungkinan pencegahan);

11. The degree of cooperation evinced by the corporation. (Derajat kerja

sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi).

Kemudian apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan

korporasi menyangkut tujuan yang bersifat integratif yang mencakup :23

1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan

pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki

penjahatnya; sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang

lain tidak melakukan kejahatan tersebut.Jadi jika dihubungkan dengan

korporasi, maka tujuan dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak

22 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hal. 118. 23 H.Setiyono, Op. Cit., hal. 121-123.

Page 13: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

558 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

melakukan pidana lagi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah

untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman

masyarakat.

2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan

masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang

sangat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua

pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan

kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana.

Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang

pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu . Bila

dikaitkan dengan korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi

melakukan suatu tindak pidana.

3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. .

Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan

pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan

untuk mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang

tidak resmi. Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan

masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh

negara. Kalau dihubungkan dengan pemidanaan korporasi kompensasi

terhadap korban dilakukan oleh korporasi itu sendiri yang diambil dari

kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara.

4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu

adanya kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban

individual dari pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa

faktor.Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada

proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat

sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi

kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general

apapun.

Mengutip kembali pernyataan Muladi diatas yang menyatakan bahwa:

…Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi

dengan mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya

seringkali bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi…24

Hazel Croall, menyatakan bahwa kesulitan mendeteksi kejahatan

korporasi ini karena karakteristik umum yang melekat pada white collar crime,

yaitu:25

1. Ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana (Diffusion Of

Responsibility)

2. Ketidakjelasan korban (Diffusion Of Victim)

3. Aturan hukum yang samar (Ambiguous Criminal Law)

24 Arief Amrullah, Op. Cit., hal. 133. 25 H. Setiyono, Op. Cit., hal. 54 – 56.

Page 14: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 559

4. Serta sulit mendeteksi dan dilakukan penuntutan (Weak Detection And

Prosecution).

Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa korban

kejahatan korporasi tidak hanya mengalami kerugian materi, tetapi juga

kerugian imateril seperti kesehatan, bahkan bukan tidak mungkin kehilangan

nyawa dan juga menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup. Kerugian

materi yang diderita oleh korban kejahatan korporasi sangat sulit untuk

diestimasi. Hal ini dikarenakan korban kejahatan korporasi yang sangat luas

(masyarakat pada umumnya, konsumen pengguna produk yang dihasilkan

korporasi baik berupa barang maupun jasa, korporasi yang bertindak selaku

kompetitor, para karyawan dan pemegang saham dalam sebuah korporasi,

bahkan negarapun dapat menjadi korban kejahatan korporasi). Selain itu, tidak

jarang kerugian yang diderita oleh korban kejahatan korporasi bersifat

kompleks sehingga tidak mudah melakukan pembuktiannya dan korbannya

seringkali bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi.

IV. Kriminalisasi Tindak Pidana Korporasi

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kriminalisasi? Mungkin

pertanyaan inilah yang pertama-tama harus dijawab. Istilah “kriminalisasi”

pada dasarnya merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu

“Criminalization” yang menurut penulis secara sederhana dapat diartikan

bahwa sebuah langkah atau proses yang diambil oleh legislative untuk menilai,

menentukan dan merumuskan, apakah suatu perbuatan yang sebelumnya

dinyatakan bukan sebagai perbuatan pidana (tindak pidana) menjadi suatu

tindak pidana.

Terkait dengan masalah kriminalisasi ini, pada dasarnya akan meliputi

dua masalah sentral yaitu terkait dengan masalah menentukan:26

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar.

Meskipun demikian, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak

pidana, perlu memperhatikan pernyataan dari Satjipto Rahardjo yang

menyatakan bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana

perlu diperhatikan kriteria umum sebagai berikut:27

1. Apakah perbuatan itu diakui oleh masyarakat karena merugikan atau

dapat merugikan atau mendatangkan korban;

2. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasil yang akan

dicapai. Artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan

26 Kristian, Draf buku “Prinsip-Prinsip Dasar Pertanggungjawaban pidana korporasi”,

non publikasi hal 34. 27 Satjipto Raharjo, “Hukum dan Perubahan Sosial”, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 62.

Page 15: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

560 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

penegakan hukum, beban yang dipikul korban dan pelaku kejahatan itu

sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;

3. Apakah akan makin bertambah beban aparat penegak hukum sehingga

terjadi ketidak seimbangan kemampuan dan beban tugas, atau nyara-

nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki petugas

penegak hukum;

4. Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa

Indonesia, yakni terwujudnya masyarakt yang adil dan makmur

sehingga merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat.

Jadi dapat disimpulkan pula bahwa istilah “krimanalisasi” hanya berlaku

bagi perbuatan-perbuatan yang dinilai sebagai perbuatan pidana. Proses

kriminalisasi ini penting mengingat dalam hukum pidana Indonesia menganut

asas legalitas sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan

bahwa:

Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan

ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari

pada perbuatan itu.28

Ini artinya, suatu perbuatan dapat dihukum apabila sudah ada aturan

hukum yang mengatur atau menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah

perbuatan pidana. Perlu pula dikemukakan bahwa asas legalitas disini

dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara

terhadap pemerintahan. Disinilah pentingnya proses kriminalisasi yaitu

menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana.

Perlu pula dikemukakan bahwa proses kriminalisasi di bidang tindak

pidana ekonomi yang salah satunya tindak pidana korporasi terus berlangsung

dari waktu ke watu dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang

wajar mengingat salah satu peran negara adalah melindungi warganya. Dalam

rangka ini, negara (pemerintah) melakukan banyak kriminalisasi terhadap

tindak pidana baru di bidang ekonomi misalnya kriminalisasi tindak pidana

pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 2003 sebagaimana saat ini telah dicabut oleh

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, kriminalisasi tindak pidana korupsi yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah

oleh Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, kriminalisasi di bidang perpajakan dengan diaturnya perbuatan pidana

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diubah dengan Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan kriminalisasi di bidang perbankan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

28 R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal”, (Bogor: Politeia, tanpa tahun), hal. 27.

Page 16: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 561

Perbankan. Berdasarkan uraian singkat diatas, dapat dilihat bahwa proses

kriminalisasi dalam hal tindak pidana di bidang ekonomi berlangsung begitu

cepat dan diatur dalam berbagai ketentuan dengan berbagai variasinya masing-

masing.

Namun demikian, berbeda dengan hal sebagaimana disebutkan diatas,

kriminalisasi tindak pidana korporasi dapat dikatakan berjalan sangat lambat

dibandingkan dengan kriminalisasi tindak pidana ekonomi lainnya. Hal ini

terbukti dengan tidak adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak

pidana korporasi. Jangankan sampai pada lahirnya undang-undang yang

mengatur secara khusus mengenai tindak pidana korporasi, sampai dengan saat

ini saja masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai

pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Sudah tentu hal ini nampaknya

akan sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kualitas dan kuantitas

kejahatan yang bersangkutan dan akan sangat berpengaruh dalam rangka

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di bidang ekonomi.

Selain itu, dengan terlambatnya melakukan kriminalisasi tindak pidana

korporasi maka akan manimbulkan dampak yang sangat serius. Hal ini

dikarenakan dampak dari tindak pidana korporasi begitu berbahayanya. Hal ini

Nampak dalam hal lumpur Lapindo, apabila tindak pidana lumpur Lapindo ini

sudah menimbulkan dampak (rusaknya lingkungan) maka sangat sulit atau

tidak ada lagi cara yang dapat diambil Negara untuk mengembalikan kondisi

lingkungan seperti semula. Oleh sebab itu, alangkah baiknya dalam proses

kriminalisasi tindak pidana korporasi ini dirumusakan baik dengan

menggunakan rumusan delik formal ataupun material, delik aduan ataupun

delik biasa sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan dapat dilaksanakan

secara efektif dan evisien.

Selain itu, yang perlu untuk diantisipasi mengingat banyaknya peraturan

yang mengkriminalisasi tindak pidana di bidang ekonomi adalah berkaitan

dengan subtansi atau pengaturannya. Dalam hal ini seringkali ditemukan terjadi

tumpang tindih atau duplikasi norma antara ketentuan yang satu dengan

ketentuan yang lain sehingga yang dicapai bukan efektifitas dan evisiensi

dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tetapi justru

menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghambat penegakan

hukumnya. Oleh sebab itu, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana ekonomi yang dalam hal ini adalah tindak pidana korporasi

(yang tidak dapat dilepaskan antara bidang yang satu dengan bidang lainnya)

dan dalam rangka menghindari tumpang tindih sebagaimana dikemukakan

diatas, maka dibutuhkan suatu asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam

melakukan kriminalisasi tersebut, dibutuhkan suatu kebijakan hukum pidana

(criminal penal policy) yang terpadu dan dibutuhkan kebijakan penal mengenai

kriminalisasi di bidang ekonomi itu sendiri.

V. Sejarah Pertanggungjawaban Korporasi

Dilihat dari segi historis, pengakuan korporasi sebagai subjek hukum

yang dapat melakukan tindak pidana yang dapat dimintakan

Page 17: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

562 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

pertanggungjawaban secara pidana sudah berlangsung sejak 1635. Pengakuan

korporasi ini dimulai ketika sistem hukum Inggris mengakui bahwa korporasi

dapat bertanggungjawab secara pidana namun hanya terbatas pada tindak

pidana ringan.29 Berbeda dengan sistem hukum Inggris, di Amerika Serikat,

Eksistensi korporasi sebagai subjek hukum pidana yang diakui dapat

melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara

pidana baru diakui eksistensinya pada tahun 1909 melalui putusan

pengadilan.30

Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensi pertanggungjawaban

korporasi atau mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai

dapat melakukan tindak pidana dan dimintakan pertanggungjawaban secara

pidana berkembang pula pada beberapa Negara seperti Belanda, Italia,

Perancis, Kanada, Australia, Swiss, dan beberapa Negara Eropa termasuk

berkembang pula di Indonesia.31

Berbicara tentang sejarah korporasi sebagai subjek hukum pidana di

Indonesia, menurut KUHP Indonesia, karena KUHP Indonesia menganut

sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) sedikit tertinggal jika

dibandingkan dengan negara-negara common law seperti Inggris, Amerika

Serikat dan Canada. Di negara-negara Common Law tersebut perkembangan

pertanggungjawaban pidana korporasi sudah dimulai sejak Revolusi Industri.

Pengadilan Inggris mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah

dijatuhi pidana denda karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban

hukum.32 Perlu pula dikemukakan bahwa pertanggungjawaban korporasi dalam

hukum pidana muncul pada dasarnya tidak melalui penelitian yang mendalam

dari para ahli hukum, melainkan hanya sebagai trend akibat dari adanya

kecenderungan dari formalisme hukum (legal formalism). Dalam hal ini dapat

dikatakan bahwa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi berkembang

melalui peran pengadilan tanpa adanya teori pendukung yang

membenarkannya.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, konsep pertanggungjawaban

korporasi yang hanya terbatas bagi tindak pidana ringan dirasakan tidak

mencukupi oleh sebab itu konsep pertanggungjawaban korporasi hanya

terbatas pada tindak pidana ringan hanya bertahan hingga akhir abad ke-1913.

Setelah itu, para ahli hukum khususnya ahli hukum pidana barulah mencari

dasar pembenar perlunya korporasi dianggap sebagai subjek hukum pidana

yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana. Berikut beberapa alasan yang dapat

29 Andrew Weissmann dan David Newman, Rethinking Criminal Corporate Liability,

“Indiana Law Journal”, 2007, hal. 419. 30 Leonard Orland, The Transformation of Corporate Criminal Law, “Brooklyn Journal

of Corporate, Finansial & Commercial Law”, 2006, hal. 46, Zachary Bookman, Convergences

And Omissions In Reporting Corporate And White Collar Crime, “DePaul Business &

Commercial Law Journal”, 2008, hal. 347. 31 Hamzah Hatrik, “Asas Pertanggunggjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

(Strick Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 30. 32 Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan

Kuliah Kejahatan Korporasi, hal. 2.

Page 18: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 563

dijadikan dasar pembenar korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban

secara pidana:

1. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita

masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin

seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan.33

2. Korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia, sehingga

kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif

untuk mempengaruhi tindakan-tindakan actor rasional korporasi.34

3. Tindakan korporasi melalui agen-agennya pada satu sisi seringkali

menimbulkan kerugian yang sangat besar di masyarakat, sehingga

kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari

mengulangi tindakannya itu.35

4. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu

upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai

itu sendiri;36

5. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan

represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu

korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana

korporasi, korporasi, atau pengurus saja;37

6. Mengingat didalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin

memainkan peranan yang penting pula;

7. Hukum pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan

menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat;

Berbeda dengan pemikiran diatas, terdapat beberapa para ahli hukum

pidana yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum

pidana dengan alasan sebagai berikut :38

1. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan

kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah (manusia alamiah);

2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat

dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat

dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang,

perkosaan dan sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku

Barda Nawawi Arief dalam perkara yang menurut kodratnya tidak

33 Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human

Rights”, Berkeley Journal of International Law, 2002, hal. 46;bandingkan juga dengan Dwidja

Priyanto, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia,

CV. Utomo, Bandung, 2004, hal. 27-28 dan Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi

Intaran, Yogyakarta, 2008. 34 Pamela H. Bucy, Trends In Corporate Criminal Prosecutions, “American Criminal

Law Review”, 2007, hal. 1288. 35 Geraldine Szott Moohr, On The Prospects Of Deterring Corporate Crime, “Journal

of Business & Technology Law”, 2007, hal. 27. 36 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 47. 37 Ibid.

38 H.Setiyono, Op. Cit., hal. 10.

Page 19: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

564 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

dapat dilakukan oleh korporasi, misal: bigami, perkosaan, sumpah

palsu”39

3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang,

tidak dapat dikenakan pada korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda

Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana

yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal

pidana penjara atau pidana mati”40

4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya

mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah;

5. Bahwa didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma

atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau

korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana;

Terlepas dari segala pro dan kontra terhadap pengaturan

pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehubungan

dengan korporasi yang telah dijatuhi pidana, ternyata dalam praktik belum ada

putusan pengadilan atau yurisprudensinya. Mengenai kedudukan badan hukum

atau korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat setidaknya tiga

putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 136/KR/1966, tertanggal 1 Maret 1969;

putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 66/KR/1969, tertanggal

19 September 1970; putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

346/KR/1980, tertanggal 26 Januari 1984.41 Dengan adanya ketiga putusan

Mahkamah Agung tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa korporasi

sebagai subjek hukum pidana namun tidak hanya sebatas pengakuan yuridis

sebab pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan

tindak pidana (pembuat) dan yang bertanggungjawab.

VI. Tahap-Tahan Perkembangan Pertanggungjawaban Korporasi

Pada bagian sebelumnya, telah dikemukakan bahwa korporasi diatur atau

dijadikan sebagai subjek hukum karena adanya perkembangan masyarakat

yang tidak terbendung lagi. Dengan adanya perkembangan masyarakat ini,

dirasakan perlu dan mendesak untuk menjadikan korporasi sebagai subjek

hukum dimana korporasi sebagai “wadah” yang membawa hak dan kewajiban.

Oleh sebab itu, dengan diaturnya korporasi sebagai subjek hukum, korporasi

tersebut dapat melakukan hak dan kewajibannya dengan nyata. Perubahan dan

perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana, mengalami

beberapa perkembangan secara bertahap yang secara garis besar dapat dibagi

dalam tiga tahap sebagaimana akan diuraikan dibawah ini. Perlu pula

dikemukakan bahwa tahap-tahap pertanggungjawaban pidana korporasi ini

akan mempengaruhi bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi.

39 Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada, 2010), hal. 45-46.

40 Ibid. 41 Lihat selengkapnya dalam Dwidja Priyatno dan Muladi, hal 169 sampai dengan 196.

Page 20: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 565

1. Tahap Pertama

Pada tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang

dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).

Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi,

maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi

tersebut.42 Pandangan pada tahap pertama ini sangat dipengaruhi oleh

asas “societas delinquere non potest” yaitu badan hukum tidak dapat

melakukan tindak pidana.43 Jadi, apabila dalam suatu korporasi terjadi

tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh

pengurus korporasi tersebut.

Asas “societas delinquere non potest” ini merupakan dasar dan dapat

dilihat dari ketentuan Pasal 59 KUHP (Pasal 51 W.v.S.) yang berbunyi:

Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana

terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris,

maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang

ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak

pidana.

Asas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari

abad ke-19, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan

sebagai kesalahan dari manusia.

2. Tahap Ke Dua

Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah

Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak

pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi)

namun demikian tanggung jawab untuk itu tetap menjadi beban dari

pengurus badan hukum tersebut. Tanggungjawab pada tahap ini

perlahan-lahan beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang

memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan

memimpin secara sesungguhnya atau dengan perkataan lain bahwa

pertanggungjawaban pidana tetap dimintakan terhadap pengurus yang

secara nyata memimpin korporasi tersebut. Oleh sebab itu, pada tahap ini

korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku

tindak pidana akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para

anggotanya atau pengurusnya selama dinyatakan dengan tegas dalam

peraturan perundang-undangan ataupun dalam aturan korporasi yang

bersangkutan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa

pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum

muncul.44

42 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 52.

43 Ibid., hal. 53. 44 Ibid., hal 53-54

Page 21: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

566 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

Dalam upaya menggambarkan korporasi sebagai subjek hukum yang

perbuatannya dilihat dari perbuatan para pegawai yang mewakilinya,

Denning L.J menjelaskannya secara metaforis:

A company may in many ways be likened to a human body. It

has a brain and a nerve centre which control what it does. It

also has hands which holds the tools and act in accordance

with directions from the centre. Some of the people of the

company are mere servants and agent who are nothing more

than hands to do the work and cannot be said to represent the

mind or will. Others are directors and managers who represent

the directing mind and will of the company, and control what it

does. The state of mind of these managers are the state of mind

of the company and is treated by the law as such. So you will

find that in cases where the law requires a personal fault as a

condition of lability in tort, the fault of the manager will be the

personal fault of the company.

So also in the criminal law. In cases where the law requires a

guilty mind as a condition of a criminal offence, the guilty mind

of the directors or managers will render the company itself

guilty.45

Adapun contoh dari peraturan perundang-undangan yang berada

pada tahap ini antara lain:46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951

(Undang-Undang Tenaga Kerja); Undang-Undang Nomor 2 tahun 1951

(Undang-Undang Kecelakaan); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951

(Undang-Undang Pengawasan Perburuhan); Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api); Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apotek); Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1957 (Undang-Undang Penyelesaian Perburuhan);

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan

Tenaga Asing); Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (Undang-

Undang Penerbangan); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-

Undang Telekomunikasi; berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1989); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang

Wajib Lapor Ketenagakerjaan); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981

(Undang-Undang Metrologi Legal); Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1982 (Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan); Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diganti oleh

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998); dan lain sebagainya.

45 Peter Gillies, Op. Cit., page 136.

46 Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Cetakan Ke

Dua Edisi Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 223.

Page 22: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 567

3. Tahap Ke Tiga

Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang

langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu sesudah Perang Dunia

II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan

meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan

diaturnya korporasi sebagai pembuat dan pihak yang harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana adalah karena

dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh

korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian

besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya

dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa

dengan memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa

korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Pemidanaan korporasi

dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu,

diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan

bersangkutan.47

Pada mulanya, peraturan perundang-undangan yang menempatkan

korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Drt

Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang

menyatakan:

Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas

nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan

orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan

hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik

terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan

itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan

tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai

pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun

terhadap kedua-duanya.

Berdasarkan perumusan diatas dapat dilihat bahwa yang dapat

melakukan suatu tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara

pidana adalah orang dan korporasi itu sendiri.

Tahap ketiga ini telah mempengaruhi politik hukum pidana (criminal

penal policy) Indonesia dimana hal ini menyebabkan peraturan

perundang-undangan di Indonesia mulai mencantumkan tanggungjawab

langsung dari korporasi dimana korporasi dinilai dapat melakukan tindak

pidana dan dapat dipertangguingjawabkan secara pidana meskipun masih

terbatas hanya dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP.

Peraturan perundang-undangan khsus ini diantaranya: 48 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Kerja; Undang-Undang Nomor 2 Tahun

47 Dwidja Priyatno, “Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi Di Indonesia”, (Bandung, CV Utomo, 2004), hal. 27.

48 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 233.

Page 23: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

568 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

1951 Tentang Kecelakaan; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951

Tentang Pengawasan Perburuhan; Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1951 Tentang Senjata Api; Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958

Tentang Penerbangan.

Sedangkan yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana

yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana antara lain dalam:49 Undang-Undang

Drt Nomor 7 Tahun 1955 (undang-undang Tindak Pidana Ekonomi);

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 (Pos); Undang-Undang Nomor 11

Prips. 1963 (Subversi; sudah dicabut); Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1997 (Psikotropika); Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (Tindak

Pidana Korupsi); Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana

Pencucian Uang); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 (Perindustrian);

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 (Perikanan); Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1995 (Pasar Modal); Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1997 (Lingkungan Hidup) ; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen) dan

lain sebagainya.

Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Edi Yunara pembenaran

pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat

didasarkan hal-hal berikut:50

1) Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang

diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian

antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.

2) Atas dasar kekeluargaan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar

1945.

3) Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan).

4) Untuk perlindungan konsumen.

5) Untuk kemajuan tehnologi.

Perlu pula dikemukakan bahwa menurut Muladi, tahap

perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia

ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda. Namun sekarang di

Negeri Belanda menurut beliau telah memasuki tahap keempat, yaitu

pengaturan tentang pertanggungjawaban tidak lagi tersebar di luar KUHP

(WVS) Belanda, sebab dengan lahirnya Undang-Undang Tanggal 23 Juni

1976 Stb 377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, muncul

perumusan baru Pasal 51 W.v.S Belanda yang berbunyi :

1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan

hukum;

49 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 89.

50 Edi Yunara, “Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi

Kasus)”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 31.

Page 24: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 569

2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat

dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat

dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam

undang-undang terhadap : badan hukum atau terhadap yang

“memerintah” melakukan tindakan yang dilarang itu; atau

terhadap mereka yang bertindak sebagai “pemimpin” melakukan

tindakan yang dilarang itu; terhadap “badan hukum” dan “yang

memerintahkan melakukan perbuatan” di atas bersama-sama .

3) Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum:

perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.

Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan

perundang-undangan pidana khusus yang tersebar di luar KHUP Belanda

yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut

karena dipandang tidak perlu lagi, sebab dengan diaturnya

pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 KUHP Belanda, maka

sebagai Ketentuan umum berdasarkan Pasal 91 KUHP Belanda (pasal

103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di

luar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.

Dalam RKUHP Tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 48 mencantumkan

kapan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara

langsung yaitu:

Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan

oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama

korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan

hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup

usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-

sama”.

Dan Pasal 50 yang menyatakan bahwa:

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas

nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam

lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran

dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang

bersangkutan”.

Dengan melihat fase-fase perkembangan sebagaimana telah

dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek yang

mempengaruhi perkembangan pranata hukum yang menyebabkan

korporasi itu dijadikan subjek hukum pidana, pertama kali disebabkan

oleh perkembangan di bidang perekonomian, yang kedua adalah

merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri yang

memiliki aspek ganda yaitu:

1) Modernisasi hukum, yaitu memperbaharui hukum positif sesuai

dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat seirama dengan

perkembangan masyarakat.

Page 25: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

570 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

2) Fungsionalisasi hukum, yaitu memberikan peranan pada hukum

untuk ikut dalam mengadakan perubahan pada masa

pembangunan

VII. Doktrin Pertanggungjawaban Korporasi

Terdapat beberapa doktrin yang membenarkan korporasi sebagai subjek

hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat

dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Umumnya,

pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior

yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa

melakukan kesalahan. Dalam hal ini hanya agen-agen korporasilah yang

bertindak untuk dan atas nama korporasi. Oleh sebab itu, hanya agen-agen

korporasi saja yang dapat melakukan kesalahan. Doktrin respondeat superior

inilah yang kemudian menghasilkan tiga model pertanggungjawaban pidana

korporasi, yaitu direct corporate criminal liability, strict liability, dan vicarious

liability sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.51 Namun sebelum membahas

teori teori tersebut, perlu ditekankan bahwa antara teori teori tersebut memiliki

keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.

1. Identification Theory Atau Direct Liability Doctrine

Sebelum membahas lebih jauh mengenai doktrin-doktrin atau teori-

teori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi, Roeslan

Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari

badan hukum (korporasi), asas kesalahan tidak mutlak berlaku.52

Doktrin pertama yang membenarkan pertanggungjawaban pidana

korporasi adalah Identification Theory atau dikenal juga dengan Direct

Liability Doctrine. Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat

bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik

sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan

adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Doktrin

pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah

salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi

pertanggungjawaban pidana korporasi meskipun korporasi bukanlah

sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Menurut doktrin ini korporasi dapat

melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior”

(senior officer) dan diidentifikasi sebagai perbuatan perusahaan atau

korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan “pejabat senior”

(senior officer) dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi, dalam teori

ini agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka

51 Sue Titus Reid, “Criminal Law”, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995),

hal. 53. Wayne R LaFave & Austin W. Scott Jr., “Criminal Law”, (Michigan: West Publishing

co, 1982, hal. 228.

52 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 140.

Page 26: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 571

orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat didentifikasi

terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar

dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut

dilakukan oleh orang yang merupakan “directing mind” dari korporasi

tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Richard Card, yang

menyatakan bahwa; “the acts and state of mind of the person are the acts

and state of mind of the corporation ” (tindakan atau kehendak direktur

adalah merupakan tindakan dan kehendak korporasi).53

Jadi, dalam teori identifikasi, perbuatan pidana yang dilakukan oleh

pejabat senior diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan

oleh korporasi. Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter

ego” atau “teori organ” yang dapat diartikan secara sempit maupun

secara luas, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, yaitu

sebagai:54

1) Arti sempit (Inggris): Hanya perbuatan pejabat senior atau otak

korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi.

Secara sempit teori identifikasi hanya membebankan

pertanggungjawaban pidana kepada pejabat senior karena pejabat

seniorlah yang merupakan otak atau pengambil keputusan atau

kebijakan dalam korporasi, sehingga yang menentukan arah

kegiatan korporasi adalah pejabat senior atau dengan perkataan

lain bahwa pada umumnya pejabat senior adalah orang yang

mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama

yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali perusahaan

yang didalamnya terdiri dari para direktur dan manajer.

2) Arti luas (Amerika Serikat): Tidak hanya pejabat senior atau

direktur tetapi juga agen dibawahnya.

Tetapi apabila ditafsirkan secara luas, pertanggungjawaban secara

pidana tidak hanya dapat dibebaknan terhadap pejabat senior saja

melainkan juga dapat dibebani kepada mereka yang berada

dibawahnya.

Korporasi pada asasnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan

orang pribadi berdasarkan asas identifikasi ini. Misalnya dalam hal ini

suatu korporasi yang melakukan tindak pidana (yang mensyaratkan

adanya mens rea dan actus reus). Pengadilan dalam hal ini dapat

memandang atau menganggap bahwa perbuatan dan sikap batin dari

pejabat tertentu yang dipandang sebagai perwujudan dari “kedirian”

organisasi tersebut adalah perbuatan dan sikap batin dari korporasi.

Korporasi dalam hal ini bukan dipandang bertanggungjawab atas dasar

pertangunggjawaban dari perbuatan pejabatnya, melainkan korporasi itu

sendiri yang bertanggungjawab seperti halnya dalam pelanggaran

53 Muladi, Op. Cit., hal 21.

54 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 246.

Page 27: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

572 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

terhadap kewajiban hukum justru dipandang telah melakukan tindak

pidana itu secara pribadi.55

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, bagaimana menentukan

siapa yang menjadi directing mind dari sebuah korporasi. Apabila dilihat

dari segi formal yuridis, yaitu melalui anggaran dasar korporasi, maka

akan terlihat jelas siapa yang menjadi directing mind dari korporasi

tersebut. Anggaran dasar tersebut berisi penunjukan pejabat-pejabat yang

mengisi posisi tertentu berikut kewenangannya. Disisi lain, Lord

Diplock mengemukakan bahwa pejabat senior adalah: “mereka-mereka

yang berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil

keputusan para direktur atau putusan rapat umum perusahaan, telah

dipercaya melaksanakan kekuasaan perusahaan”.56 Selain itu, menurut

Lord Morris, yang dapat dikatakan sebagai pejabat senior adalah orang

yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana dari

the directing mind and will of the company”.57 (Pejabat senior adalah

orang yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana

dari The directing mind and will of the company).

Oleh sebab itu, mengenai hakikat pejabat senior itu sendiri pada

dasarnya adalah mereka yang baik secara individual maupun kolektif,

diberikan kewenangan untuk mengendalikan korporasi melalui tindakan

atau kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Pejabat senior dari segi

struktural dan kewenangan (biasanya direktur dan manejer) berbeda dari

mereka yang bekerja sebagai pegawai atau agen yang melaksanakan

perintah atau keputusan yang dibuat oleh pejabat senior.

Selain itu, menurut Hanafi, penerapan prinsip identifikasi dapat

menimbulkan beberapa masalah antara lain:58

1) Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha sebuah

perusahan, maka besar kemungkinan bahwa perusahan tersebut

akan menghindar dari tanggung jawab. Sebagai contoh yang dapat

diambil untuk menggambarkan kondisi ini, misalnya dalam kasus

Tesco yang memiliki lebih dari 800 cabang yang dituntut

melakukan tindak pidana berdasarkan “The Trade Description Act

1968” yang dilakukan oleh manager cabang toko tersebut. Dalam

kasus ini, House Of Lord memutuskan bahwa manager cabang

adalah orang lain yang merupakan tangan dan bukan otak

perusahaan, belum ada pelimpahan oleh direksi berupa

pelimpahan fungsi managerial mereka sehubungan dengan urusan

perusahaan dengan manager cabang itu. Dia harus memenuhi

aturan umum dari perusahan dan menerima perintah dari

atasannya pada tingkat regional dan distrik, karenanya

perbuatannya atau kelalaiannya bukan kesalahan perusahan.

55 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 45-46.

56 Ibid., hal. 234.

57 Ibid.

58 Hanafi, “Strict Liability dan Vicarious Liability” dalam “Hukum Pidana”,

(Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 1997), hal. 63-64.

Page 28: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 573

2) Bahwa perusahan hanya bertanggungjawab apabila orang itu

diidentifikasikan dengan perusahan, yaitu dirinya sendiri yang

secara perorangan atau individual bertanggungjawab karena dia

memiliki “mens rea” untuk melakukan tindak pidana. Apabila

terdapat beberapa “superior officers” yang terlibat, maka masing-

masing mungkin tidak memiliki tingkat pengetahuan yang

disyaratkan agar merupakan “mens rea” dari tindak pidana

tersebut. Dapatkah perusahan bertanggungjawab jika apa yang

diketahui secara bersama-sama oleh para pejabat perusahaan

tersebut sudah cukup merupakan “mens rea”.

Dari pendapat tersebut, terlihat beberapa persamaan antara korporasi

dengan tubuh manusia berkaitan dengan pusat atau otak dan organ yang

melaksanakan perintah dari otak. Pada korporasi juga terdapat direktur

dan manejer yang mengontrol kegiatan korporasi dan para pegawai atau

agen yang melaksanakan kebijakan dari direktur atau manajer. Sikap

batin dan keinginan dari para pegawai tersebut tidak dapat dianggap

sebagai keinginan dan sikap batin dari korporasi. Berbeda dengan sikap

batin dan keinginan dari direktur atau manejer yang dapat dianggap

sebagai sikap batin dan keinginan dari korporasi, karena direktur atau

manejer merupakan directing mind dari korporasi.

Pada akhirnya dalam teori identifikasi, pertanggungjawaban pidana

yang dibebankan kepada korporasi harus memperhatikan dengan teliti

siapa yang benar-benar menjadi otak atau pemegang kontrol operasional

korporasi, yang berwenang mengeluarkan kebijakan dan mengambil

keputusan atas nama korporasi. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai

tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, hanya apabila tindak pidana

tersebut dilakukan oleh pejabat senior korporasi yang memiliki

kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi

tersebut.

2. Strict Liability Atau Absolute Liability

Doktrin kedua yang mendukung pertanggungjawaban pidana

korporasi adalah strict liability atau absolute liability atau yang disebut

juga dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan atau disebut dengan

no-fault liability atau liability without fault. Dalam prinsip ini,

pertanggungjawaban dapat dimintakan tanpa keharusan untuk

membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak pidana.

Menurut Barda Nawawi Arief, sering dipersoalkan apakah strict

liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini terdapat dua

pendapat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pendapat pertama

menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Jadi

dapat dikatakan bahwa kelompok pertama ini menyamakan pengertian

antara strict liability dan absolute liability. Adapun alasan atau dasar

pemikirannya bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah

melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan

Page 29: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

574 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan

apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi

sesorang yang sudah melakukan tindak pidana yang memenuhi rumusan

undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana.59

Menurut Curzon, adanya doktrin strict liability didasarkan pada

alasan-alasan sebagai berikut:60

1) Adalah sangat esensiil untuk menjamin dipatuhinya peraturan-

peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan

masyarakat.

2) Pembuktian akan adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk

pelanggaran–pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan

masyarakat itu (dalam hal ini salah satunya adalah tindak pidana

ekonomi).

3) Tingginya tingkat “bahaya sosial” yang ditimbulkan oleh perbuatan

yang bersangkutan.

Dalam hukum pidana Inggris, pertanggungjawaban yang bersifat

mutlak hanya dapat diterapkan pada pelanggaran ringan misalnya,

pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahateraan umum.

Pelanggaran terhadap tata tertib atau penghinaan terhadap pengadilan

(contempt of court), pencemaran nama baik, atau menggangu ketertiban

masyarakat merupakan contoh pelanggaran yang masuk dalam ketagori

pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum.61

Strict liability menurut Russel Heaton dalam bukunya Criminal Law

Textbook diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak

mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih

dari actus reus.62 Jadi dalam hal ini, strict liability ini merupakan

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Romli

Atmasasmita menyatakan bahwa hukum pidana Inggris selain menganut

asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” (a harmful act without a

blame worthy mental state is not punishable), juga menganut prinsip

pertanggungjawab mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak

adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana. Prinsip

pertanggungjawab tersebut dikenal sebagai strict liability crimes”.63

Apabila diperhatikan, terdapat dua istilah yang berbeda untuk

menggambarkan strict liability. Ada yang menggunakan istilah “strict

liability” dan ada pula yang menggunakan istilah “strict liability crimes”.

Kedua istilah tersebut nampaknya tidak memiliki perbedaan yang

prinsipil. Namun demikian, dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan

59 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 40.

60 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op. Cit., hal. 141.

61 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 110.

62 Russel Heaton, “Criminal Law Textbook”, (London: Oxford University Press, L,

2006), hal. 403.

63 Romli Atmasasmita, “Perbandingan Hukum Pidana”, Cetakan I, (Bandung:

Mandar Maju, 1996), hal. 76.

Page 30: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 575

istilah “strict liability” mengingat dalam Black’s Law Dictionary,

pengertian Strict-liablity crimes adalah: a crime that does not require a

mens rea element, such as speeding or attempting to carry a weapon

aboard an aircraft. Jadi pengertiannya adalah kejahatan atau tindak

pidana. Sedangkan terkait dengan bentuk pertanggungjawabannya

disebut dengan istilah “strict liability”.

Selanjutnya, Hamzah Hatrik mendefenisikan bahwa strict liability

adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault),

yang dalam hal ini si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah

melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan

dalam undang-undang, tanpa melihat lebih jauh sikap batin si pembuat.64

Disamping itu, Hanafi dalam bukunya “Strict Liability dan Vicarious

Liability dalam Hukum Pidana” menegaskan bahwa dalam perbuatan

pidana yang bersifat strict liability hanya dibutuhkan dugaan atau

pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut

pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi, tidak dipersoalkan

adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus reus

(perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus

(perbuatan), bukan mens rea (kesalahan).65

Selain itu, Siswanto Sunarso dalam bukunya Hukum Pidana

Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa juga

menerangkan bahwa menurut doktrin ”strict liability”

(pertanggungjawaban ketat) seseorang sudah dapat

dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri

orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability

diartikan sebagai “liability without fault” (pertanggungjawaban pidana

tanpa kesalahan).66 Pendapat senada juga diutarakan oleh Muladi

sebagaimana dikutip oleh M. Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana

Pencemar Lingkungan.67

Terkait dengan hal ini, Sutan Remi Sjahdeini berpendapat bahwa:

“Dalam hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula

tindak pidana-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat

dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens

rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku

tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan

yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan

yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak pidana-tindak pidana

yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering

dikenal juga sebagai offences of absolute prohibitation”.68

64 Hamzah Hatrik, Op. Cit., hal. 110.

65 Hanafi, Loc. Cit.

66 Siswanto Sunarso, “Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian

Sengketa”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 141.

67 M. Hamdan, “Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup”, (Bandung: Mandar

Maju, 2000), hal. 89-90.

Page 31: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

576 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

Selain pendapat tersebut, terdapat pendapat lain yang berbeda yang

menyatakan bahwa strict liability bukan atau tidak sama dengan absolute

liability. Dalam hal ini, orang yang telah melakukan perbuatan terlarang

menurut undang-undang (actus reus) tidak harus atau belum tentu dapat

dipidana. Menurut doktrin strict liability (pertanggungjawaban mutlak),

seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana

tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).69

Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya

Ted Honderich. Dikemukakan olehnya bahwa premisse (dalil atau

alasan) yang bisa dikemukakan untuk penerapan strict liability adalah

sebagai berikut:70

a) Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana

tertentu.

b) Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk,

menghindari adanya bahaya yang sangat luas.

c) Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.

Mengenai penerapan strict liability maupun vicarious liability

(sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikutnya), Muladi dan

Dwidja Priyatno mengemukakan bahwa: “Menurut hemat penulis

penerapan doktrin “strict liability” maupun “vicarious liability”

hendaknya hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan pelanggaran

yang sifatnya ringan saja seperti dalam pelanggaran lalu lintas dan dalam

kejahatan-kejahatan yang membutuhkan penanganan luar biasa.

Kemudian menurut hemat penulis (Muladi dan Dwidja Priyatno), doktrin

tersebut terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan

umum atau masyarakat, misalnya perlindungan di bidang makanan,

minuman serta kesehatan lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini

maka fakta yang bersifat menderitakan si korban dijadikan dasar untuk

menuntut pertanggungjawaban pada si pelaku atau korban sesuai dengan

adagium “res ipsa loquitur” atau dapat dikatakan sebagai fakta sudah

berbicara sendiri”.71 Oleh sebab itu, strict liability dan vicarious liability

juga pada dasarnya dapat diterapkan terhadap korporasi atas pelanggaran

hukum yang telah dilakukannya yang sudah tentu membahayakan

kepentingan masyarakat umum.

Dalam konteks ius constituendum, RKUHP 2010 telah mengadopsi

doktrin pertanggungjawaban strict liability tersebut. Ketentuan ini diatur

dalam Pasal 38 ayat (1) dari RKUHP 2010, yaitu:

Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat

menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata

68 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit., hal. 78.

69 Muladi dan Dwija Priyatno, Op.Cit Op. Cit., hal. 107.

70 Ibid., hal. 108.

71 Ibid., hal. 94.

Page 32: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 577

karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut

tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, strict liability hanya berlaku

untuk tindak pidana tertentu saja yang ditetapkan oleh undang-undang.

Dalam hal ini, pelaku tindak pidana akan dibebani pertanggungjawaban

tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan (mens rea)

ketika perbuatan (actus reus) dilakukan. Menurut hemat saya,

pemberlakuan ketentuan strict liability terhadap tindak pidana tertentu

saja adalah sudah tepat, karena penerapannya tidak boleh sembarangan

melainkan harus dengan pembatasan, sehingga penerapannya tidak

meluas dan tetap menjamin kepastian hukum.

Mengenai pertangunggjawaban mutlak (strict liability) itu sendiri

dalam kaitannya dengan korporasi, korporasi juga dapat dibebani

pertanggunggjawaban atas tindak pidana tertentu yang tidak harus

dibuktikan unsur kesalahannya (mens rea), yang telah ditetapkan oleh

undang-undang. Masalah yang perlu diperhatikan terkait penerapannya

adalah apakah tindak pidana tertentu yang tidak mensyaratkan adanya

usur kesalahan yang telah ditetapkan oleh undang-undang tersebut harus

dapat mengakomodasi sekian banyak kejahatan yang dilakukan oleh

korporasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

Sebagai perbandingan, Negeri Belanda dewasa ini sudah tidak

memberlakukan lagi pertanggungjawaban yang didasarkan pada doktrin

pertanggungjawaban muktlak. Di Belanda, pertanggungjawaban mutlak

tersebut dikenal dengan istilah leer van het materielle feit atau fait

materielle yang hanya diberlakukan terhadap tindak pidana yang berupa

pelanggaran. Seiring dengan perkembangan hukum itu sendiri, penerapan

pertanggungjawaban mutlak ditiadakan dengan arrest susu tahun 1916

dari Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad Netherland).72

3. Vicarious Liability Doctrine

Doktrin berikutnya yang membenarkan pertanggungjawaban

korporasi adalah vicarious liability. Pada dasarnya, doktrin vicarious

liability didasarkan pada prinsip “employment principle”. Yang

dimaksud dengan prinsip employment principle dalam hal ini bahwa

majikan (employer) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para

buruhnya atau karyawannya. Jadi dalam hal ini terlihat prinsip “the

servant’s act is the master act in law” atau yang dikenal juga dengan

prinsip the agency principle yang berbunyi “the company is liable for the

wrongful acts of all its employees”.73 Oleh sebab itu, perlu dikemukakan

dimuka bahwa dalam pembahasan mengenai doktrin vicarious liability

ini mencakup pula pembahasan mengenai Doctrine of Delegation atau

The Delegation Principle.

72 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit., hal. 80.

73 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 249.

Page 33: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

578 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

Hai ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Peter Gillies

yang menyatakan bahwa:

According to the doctrine of vicarious liability in the

criminal law, a person may incur liability by virtue of

attribution to her or him of responsibility for the act, or

state of mind, or both the act and state of mind of another

person; an offence, or element in an offence, commited by

another person: Such liability is almost wholly confined to

statutory offences, and the basis for its imposition is the

(presumed) intention of legislature, as gleaned from a

reading of the enacting provision in question, that this

offence should be able to be commited vicariously as well

as directly. In other words, not all offences may be

commited vicariously. The courts have evolved a number

of principle of specialist application in this context. One of

them is the scope of employment principle.74

Disisi lain, Vicarious Liability Doctrine ini sering diartikan sebagai

pertanggungjawaban pengganti (pertanggungjawaban menurut hukum

dimana seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain”

(the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another).75

Pada dasarnya, teori atau doktrin atau ajaran ini diambil dari hukum

perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya

berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the

law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior. Menurut asas

repondeat superior, di mana ada hubungan antara master dan servant

atau antara principal dan agent, berlaku pendapat dari Maxim yang

berbunyi qui facit per alium facit per se. Menurut Maxim tersebut,

seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap di sendiri yang

melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu, ajaran vicarious liability juga

disebut sebagai ajaran respondent superior.76

Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Sutan Remy

Sjahdeini dalam bukunya Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi yang

menyatakan bahwa vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum

perdata tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doktrin

respondeat superior.77

Berdasarkan doktrin pertanggungjawaban pengganti ini, seseorang

dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan atau kesalahan atau

perbuatan dan kesalahan orang lain. Pertanggungjawaban seperti ini

hampir seluruhnya diterapkan pada tindak pidana yang secara tegas

diatur dalam undang-undang. Dengan kata lain, tidak semua delik dapat

dilakukan secara vicarious. Pengadilan telah mengembangkan beberapa

74 Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit., hal. 101.

75 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 41.

76 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit., hal. 84.

77 Ibid., hal. 84.

Page 34: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 579

prinsip yang dapat diaplikasikan secara khusus mengenai hal ini. Salah

satunya adalah employment principle sebagaimana telah dikemukakan

diatas.

Mengenai employment principle ini, Peter Gillies mengemukakan

beberapa pendapat dalam kaitannya dengan vicarious liability, yaitu:78

1) Suatu perusahaan atau korporasi (seperti halnya manusia sebagai

pelaku atau pengusaha) dapat bertanggungjawab secara pengganti

untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan atau agennya.

Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang

mampu dilakukan secara vicarious.

2) Dalam hubunganya dengan “employment principle”, tindak pidana

ini sebagian besar atau seluruhnya merupakan “summary offences”

yang berkaitan dengan peraturan perdagangan.

3) Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya,

tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa

majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami, tidak telah

mengarahkan atau memberi petunjuk atau perintah pada karyawan

untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (Bahkan,

dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap

majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan

dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan

dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang

lingkup pekerjaannya). Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat,

pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan

tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan.

Perlu ditekankan bahwa dalam employment principle, majikan adalah

pihak yang utama yang bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan

oleh buruh dimana perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup

pekerjaannya. Di negara Australia dinyatakan dengan tegas bahwa the

vicar’s criminal act (perbuatan dalam delik vicarious) dan the vicar’s

guilty mind (kesalahan atau sikap batin jahat dalam delik vicarious)

adalah tanggungjawab majikan. Berbeda halnya dengan negara Inggris, a

guilty mind hanya dapat dianggap menjadi tanggungjawab majikan hanya

jika ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan (a

relevan “delegation” of power and duties) menurut undang-undang.79

Dengan kata lain ada prinsip delegasi (delegation principle) yang dianut,

dimana kesalahan (guilty mind) dari buruh atau karyawan dapat

dipertangungjawabkan kepada majikan, hanya apabila ada pendelegasian

kewenangan dan kewajiban dan hanya untuk delik yang ditentukan oleh

undang-undang (statutory offences).

Sutan Remy Sjahdeini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh

Barda Nawawi Arief yang mengistilahkan konsep pertanggungjawaban

78 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. hal. 236.

79 Barda Nawawi Arief, “Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 152.

Page 35: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

580 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

ini dengan istilah “pertanggungjawaban pengganti”. Lebih tepatnya,

Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa ajaran “vicarious liability”,

atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah

“pertanggungjawaban vikarius atau pertanggungjawaban pengganti”,

adalah pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan,

misalnya oleh A kepada B.80

Hamzah Hatrik mengutip pendapat Black mengenai vicarious

liability ini, yaitu indirect legal responsibility, for example, the liability

of an employer for the acts of an employes, or principal for torts an

contracts of an agent.81 Hatrik juga mengutip pendapat Roeslan Saleh

bahwa pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya

sendiri. Tetapi ada yang disebut vicarious liability, maka orang yang

bertanggung jawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan

undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang

bertanggung jawab sebagai pembuat.82

Dikaitkan dengan pertanggungjawaban Korporasi, menurut V.S.

Khanna dalam tulisannya berjudul “Corporate Liability Standars: When

Should Corporation Be Criminality Liabel?” Dikemukakan bahwa

terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk adanya

pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu; agen melakukan suatu

kejahatan; kejahatan yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup

pekerjaannya; dan dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan

korporasi.83

Teori ini juga hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan

(korporasi) hanya bertangungjawab atas perbuatan salah pekerja yang

masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.84 Rasionalitas penerapan teori

ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan

atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung

dimiliki oleh majikan (korporasi).85 Jadi dalam hal ini, doktrin

pertanggungjawaban pengganti hanya dapat diterapkan apabila benar-

benar dapat dibuktikan bahwa ada hubungan atasan dan bawahan antara

majikan (dalam hal ini korporasi) dengan buruh atau karyawan yang

melakukan tindak pidana. Oleh sebab itu, harus diperhatikan benar-benar

apakah hubungan antara korporasi dengan organ-organnya cukup layak

untuk dapat membebankan pertanggungjawaban kepada majikan (dalam

hal ini korporasi) atas tindak pidana yang dilakukan oleh organ-

organnya. Selain itu juga harus juga dipastikan apakah buruh atau

80 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 84.

81 Hamzah Hatrik, Op. Cit., hal. 115.

82 Ibid., hal. 116.

83 V.S. Khanna, Corporate Liability Standars: When Should Corporation Be

Criminality Liabel?, “American Criminal Law Review”, 2000, hal. 1242-1243.

84 C.M.V. Clarkson, “Understanding Criminal Law”, Second Edition, (London:

Sweet & Maxwell, 1998), hal. 44.

85 Ibid., hal. 45.

Page 36: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 581

karyawan tersebut dalam hal tindak pidana yang dilakukan, benar-benar

bertindak dalam kapasitas lingkup pekerjaannya.

Sedangkan menurut Menurut Marcus Flatcher dalam perkara

pidana ada 2 (dua) syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat

menerapkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pengganti,

syarat tersebut adalah:86

1) Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan

antara majikan dan pegawai atau pekerja;

2) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja

tersebut berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Menurut undang-undang (statute law) vicarious liability, dapat

terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:87

1) Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas

perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya

pendelegasian (the delegation principle).

2) Seorang majikan atau pemberi kerja dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik

dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum, perbuatan

dipandang sebagai perbuatan majikan.

Perlu pula dikemukakan bahwa Doktrin atau teori

pertanggungjawaban pengganti pada satu sisi dirasa bertentangan nilai-

nilai moral yang terkandung dalam prinsip keadilan, dimana dalam

pemidanaan tidak cukup hanya perbuatan saja (act), tetapi juga kesalahan

(state of mind) sehingga seseorang dapat dipertanggungjawabkan karena

melakukan perbuatan (act) atau tidak melakukan (omission) perbuatan

yang dilarang oleh undang-undang. Menurut Boisvert, teori ini secara

serius dianggap menyimpang dari doktrin mens rea karena berpendirian

bahwa kesalahan manusia secara otomatis begitu saja diatributkan

kepada pihak lain yang tidak melakukan kesalahan apapun.

Apabila dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability,

maka jelas tampak persamaan dan perbedaannya. Persamaan yang

tampak bahwa baik strict liability crimes maupun vicarious liability tidak

mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang

dituntut pidana. Hal ini tercermin pula dalam Paper prepared for OECD

Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International

Business transactions yang menyatakan bahwa: “In general, the process

of judicial interpretation of the statutory objected to corporate liability

being imposed only for regulatory offences, especially those offences

which did not require proof of mens rea or a mental element.”88

86 Hanafi, Op. Cit., hal. 34.

87 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op. Cit., hal. 62.

Page 37: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

582 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

Berdasarkan pengertian kalimat diatas pada umumnya penafsiran hukum

menurut undang-undang penjatuhan pertanggungjawaban pidana

terhadap korporasi hanya untuk pelanggaran yang khususnya tidak

mensyaratkan mens rea atau unsur kejiwaan. Sedangkan perbedaannya

terdapat pada strict liability crimes pertanggungjawaban pidana bersifat

langsung dikenakan kepada pelakunya, sedangkan pada vicarious

liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung kepada

pelaku melainkan “dilimpahkan” atau “digantikan” kepada orang lain.89

Dalam KUHP Indonesia saat ini, tidak mengenal adanya

pertanggungjawaban pengganti, tetapi doktrin pertanggungjawaban

pengganti telah diadopsi dalam RKUHP 2010, sebagaimana diatur dalam

Pasal 38 ayat (2) yang menyatakan: “Dalam hal ditentukan oleh Undang-

Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana

yang dilakukan oleh orang lain”. Dalam penjelasannya juga

dikemukakan bahwa “ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari

asas tiada pidana tanpa kesalahan”. Ini artinya, lahirnya pengecualian

ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis

moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang

patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan

pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.

Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak

melakukan tindak piana namun dalam rangka pertanggungjawaban

pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain

yang berada dalam kedudukan sedemikian itu merupakan tindak pidana.

Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus

dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas

oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.

Dengan diterapkannya doktrin pertanggungjawaban pengganti

(vicarious liability) ini diharapkan dapat menjadi faktor yang dapat

mencegah dan meminimalisir terjadinya tindak pidana baik tindak pidana

yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi.

4. The Corporate Culture Model

Doktrin berikutnya yang membenarkan pertanggungjawaban

korporasi adalah doktrin The Corporate Culture Model. Menurut doktrin

atau teori the corporate culture model ini, korporasi dapat

dipertanggungjawabkan dilihat dari prosedur, sistem bekerjanya, atau

budayanya (the procedures, operating systems, or culture of a company).

88 Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper

prepared for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business

transactions, Paris 4th October 2000, page 4 of 10

89 Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit., hal. 110.

Page 38: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 583

Oleh karena itu, teori budaya ini sering juga disebut teori atau model

sistem atau model organisasi (organisational or systems model).90

Dilihat dari pengaplikasiannya, teori The Corporate culture Model

ini dapat diterapkan apabila:91

1) An attitude, policy, rule, course of conduct or practice within the

corporate body generally or in the part of the body corporate

where the offences occured.

2) Evidence maybe led that the company’s unwritten rules tacitly

authorised noncpmpliance or failed to create a culture of

compliance.

VIII. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Ketika korporasi dinyatakan bertanggungjawaban secara pidana atas

tindak pidana yang dilakukan, maka pada umumnya dikenal tiga sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu:92

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada

tahap pertama),

2. Korporasi sebagai pembuat namun penguruslah yang bertanggungjawab

(perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap ke dua)

3. Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus

bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada

tahap ketiga).

Namun demikian, hemat saya, konsep pertanggungjawaban pidana

korporasi tidak cukup sampai dengan 3 konsep sebagaimana dikemukakan

diats, dalam hal ini, harus ditambahkan 1 konsep lagi yaitu: “Pengurus dan

korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang

harus memikul pertanggungjawaban pidana”. Hal ini penulis kutip dari

pendapat yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini. Berikut

penjelasannya.

Beberapa alasan yang digunakan Sutan Remy Sjahdeini berkaitan

dengan konsep “Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak

pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana”

antara lain sebagai berikut:93

1. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana,

maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian

karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan

90 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 251.

91 Ibid., hal. 252.

92 Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak

Pidana Korporasi, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH

UNDIP, Semarang, 23-24 Novemser 1989, hal. 9. 93 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 162-163.

Page 39: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

584 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan

atau menghindarkan mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.

2. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi

sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem

ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu

sembunyi tangan” atau mengalihkan pertanggungjawaban. Dengan kata

lain, pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung

korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih

bahwa perbuatannya itu bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan

untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang

dilakukannya untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan

korporasi.

3. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya

mungkin secara vikarius, atau bukan langsung (doctrine of vicrious

liability), pertanggungjawaban atas tidak pidana yang dilakukan oleh

seseorang dibebankan kepada pihak lain. Dalam hal

pertanggungjawaban pidana, korporasi dialihkan pertanggungjawaban

pidananya kepada korporasi. Pembebanan pertanggungjawaban pidana

kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius karena

korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri suatu perbuatan

hukum. Artinya, segala perbuatan hukum yang benar atau yang salah

baik dalam lapangan keperdataan maupun yang diatur oleh ketentuan

pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan

korporasi.

Dalam hal perbuatan hukum itu merupakan tindak pidana, actus reus

tindak pidana itu dilakukan oleh manusia pelaku tindak pidana itu (pengurus).

Dengan mendasarkan pada pemahaman atas kenyataan yang demikian itu,

maka tidak seyogianya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut adalah

bahwa hanya korporasi yang harus memikul pertanggungjawaban pidana

sedangkan manusia pelakunya dibebaskan. Untuk dapat membebankan

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, harus terlebih dahulu dapat

dibuktikan bahwa tindak pidana tersebut benar telah dilakukan oleh pengurus

korporasi dan sikap sikap batin pengurus dalam melakukan tindak pidana itu

adalah benar bersalah dan karena itu pengurus yang bersangkutan harus

bertanggung jawab atas tindak pidana itu. Baru setelah dapat dibuktikan bahwa

pengurus telah melakukan tindak pidana dan harus bertanggung jawab atas

tindak pidana itu.

Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak

pidana dan harus bertanggung jawab secara pidana, maka pertanggungjawaban

pidana itu dapat dibebankan secara vikarius kepada korporasi. Tanpa terlebih

dahulu dapat dibuktikan bahwa pengurus memang benar telah melakukan

tindak pidana dan memang benar pengurus tersebut memiliki sikap batin yang

bersalah dalam melakukan tindak pidan itu, tidak mungkin dapat dilakukan

pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi

yang dipimpin oleh pengurus tersebut.

Page 40: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 585

Sutan Remy Sjahdeini menambahkan bahwa apabila sistem yang

diberlakukan bukan sistem yang ke empat, yaitu membebankan

pertanggungjawaban pidana baik kepada korporasi yang melakukan tindak

pidana maupun membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius

kepada korporasi, maka kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah manusia

pelakunya (pengurus korporasi) yang harus memikul pertanggungjawaban

pidana sedangkan korporasinya bebas. Ini adalah sistem yang dianut oleh

KUHP yang berlaku sekarang, yang justru ingin ditinggalkan. Namun tidak

mungkin memberlakukan yang sebaliknya, yaitu membebankan

pertanggungjawaban pidana hanya kepada korporasi sedangkan manusia

pelakunya bebas. Hal ini bertentangan dengan sifat pembebanan

pertanggungjawaban pidana secara vikarius. Kondisi seperti ini jelas

bertentangan pula dengan asas bahwa korporsi tidak dapat bertindak sendiri

tetapi harus melalui pengurusnya.94

Apabila pada bagian sebelumnya sudah dibahas mengenai apa itu

korporasi, apa itu tindak pidana korporasi, kriminalisasi tindak pidana

korporasi, sejarah dan tahap-tahap pertanggungjawaban pidana korporasi,

doktrin yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi serta sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi, hal yang tidak kalah penting yang

penulis ingin kemukakan adalah masalah implementasi atau penerapan

aturan yang bersangkutan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, didalam

hukum pidana khusus seperti dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau dalam Undang-Undang No. 08

tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang korporasi sudah dengan tegas diatur sebagai subjek hukum. Ini artinya,

seharusnya korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana

manakala terjadi tindak pidana yang bersangkutan. Namun demikian, dalam

kenyataannya, hukum pidana hanya berkonsentrasi menjatuhkan pidana kepada

orang perseorangan atau dengan perkataan lain korporasi yang terkait dengan

tindak pidana yang bersangkutan tidak pernah dimintakan pertanggungjawaban

secara pidana (pidana denda yang dijatuhkan bagi perusahaan si koruptor

misalnya). Hal ini membuktikan bahwa meskipun korporasi sudah diatur

sebagai subjek hukum pidana (meskipun hanya dalam hukum pidana khusus)

apabila ketentuan tersebut tidak pernah diimplementasikan maka ketentuan itu

akan menjadi “ketentuan yang mati”. Jadi dalam hal ini, penulis menekankan

bahwa pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah sesuatu yang

penting dan sama pentingnya dengan pelaksanaan dari ketentuan yang

mengatur korporasi dapat ditertanggungjawabkan secara pidana tersebut.

94 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 162-163.

Page 41: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

586 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

Konsep Rumusan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam

Rancangan KUHP

Pertanggungjawaban pidana korporasi diangap sebagai sesuatu yang

penting, sehingga Ketua Penyusunan RKUHP, Muladi menyatakan bahwa

pasal 47 sampai dengan pasal 53 RKUHP mengatur tentang “corporate

criminal liability”. Dengan dimasukkannya hal tersebut berarti bahwa bentuk

pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi berlaku umum untuk semua

tindak pidana, termasuk yang berada di luar KUHP.95

Menurut Muladi, pasal 18 Council of Europe Criminal Law Convention

on Corruption (1999) dapat dijadikan pedoman, dimana dinyatakan:96

...that legal persons can be held liable for the criminal offences

…Committed for their benefit by any natural person, acting either

individually or as part of an organ of the legal person, who has a

leading position within the legal person, based on:

a. A power of representation of the legal person;

b. An authority to decisions on behalf of the legal person;

c. An authority to exercise control within the legal person;

d. As well as for involvement of such a natural person as accessory or

instigator in the above-mentioned offences.”

Adapun rumusan pasal-pasal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban

pidana korporasi dalam RKUHP 2010 adalah sebagai berikut:

1) Pasal 47: “Korporasi merupakan subyek tindak pidana”.

2) Pasal 48: “Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan

oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau

demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau

berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik

sendiri-sendiri atau bersama-sama”.

3) Pasal 49: “Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi,

pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau

pengurusnya”.

4) Pasal 50: “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama

korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya

sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain

yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”.

95 <http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan

_Tentang_RUU_KUHP>, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11.16. 96 <http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan

_Tentang_RUU_KUHP>, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11. 25.

Page 42: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 587

5) Pasal 51: “Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi

sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur

organisasi korporasi”.

6) Pasal 52

(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus

dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan

perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana

terhadap suatu korporasi.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus

dinyatakan dalam putusan hakim.

7) Pasal 53: “Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan

oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi,

dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung

berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.

Pasal 44: “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan

tindak pidana”.

Penutup

Kesimpulan

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta era

globalisasi dewasa ini, tidak hanya menimbulkan dampak positif

melainkan juga dapat menghasilkan dampak negatif. Dampak negatif

disini yaitu adanya globalisasi kejahatan dan berkembangnya kualitas

(modus operandi) dan kuantitas dari kejahatan itu sendiri. Terlebih lagi

apabila dikaitkan dengan eksistensi sebuah korporasi dewasa ini, maka

kualitas dan kuantitas tindak pidana yang terjadi tidak hanya merugikan

segelintir orang saja tetapi akan menimbulkan dampak yang sangat

mengkhawatirkan. Dalam hal ini, dampak kejahatan yang dilakukan oleh

korporasi dapat sangat meluas, mengancam stabilitas perekonomian

nasional, membahayakan integritas sistem keuangan nasional, merusak

sendi-sendi kehidupan bangsa serta tindak pidana korporasi ini dilakukan

oleh orang yang mempunyai keahlian atau jabatan (white collar crime)

sehingga tidak mudah pembuktiannya.

Saran

Mengingat hal tersebut, hukum harus mengambil kembali

peranannya dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat

sebagaimana diamatkan oleh UUD 1945. Oleh sebab itu, hukum harus

kembali “memiliki taring” dalam mencegah dan memberantas tindak

pidana korporasi ini. Meskipun demikian, dalam penangan tindak pidana

korporasi ini dibutuhkan cara-cara yang luar biasa yang salah satunya

Page 43: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

588 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

adalah menjadikan atau mengatur korporasi sebagai subjek hukum

pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana. Selain dilakukan pengaturan,

sudah tentu aturan tersebut harus dilaksanakan. Dikatakan demikian

karena menuruh hemat penulis, sampai dengan saat ini belum pernah ada

penjatuhan pidana bagi korporasi padahal korporasi sudah diatur secara

tegas sebagai subjek hukum misalnya dalam Undang-Undang No. 31

tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Singkatnya, selain

diatur sudah tentu ketentuan tersebut harus diimplementasikan atau

diterapkan. Dengan cara demikian, diharapkan dapat mencegah dan

memberantas tindak pidana korporasi.

Page 44: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 589

Daftar Pustaka

Ali, Mahrus. Kejahatan Korporasi, Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008.

Amrullah, Arief. Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega Profits and The

Attack on Democracy), Malang: Banyumedia Publishing, 2006.

Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2003.

-----------------------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Ke Dua

Edisi Revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

-----------------------, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2002.

-----------------------, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada, 2010.

Atmasasmita, Romli. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Jakarta: Prenada

Media, 2003.

-----------------------, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Bandung:

Mandar Maju, 1996.

Clarkson, C.M.V. Understanding Criminal Law, Second Edition, London:

Sweet & Maxwell, 1998.

Ferber, Kenneth S. Corporation Law, New Jersey: Prentice Hall, 2002.

Garner, Bryan A., (Ed.), Black’s Law Dictionary, Second Pocket Edition, 2003.

Hamdan, M. Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung: Mandar

Maju, 2000.

Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana,

Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 1997.

Hatrik, Hamzah. Asas Pertanggunggjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

(Strick Liability dan Vicarious Liability), Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1996.

Heaton, Russel. Criminal Law Textbook, London: Oxford University Press,

2006.

LaFave Wayne R., & Austin W. Scott Jr. Criminal Law, New Jersey: West

Publishing co, 1982.

Loqman, Loebby. Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian,

Jakarta: Datacom, 2002.

Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,

Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi.

-----------------------, dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi

Dalam Hukum Pidana, Bandung: STHB, 1991.

Page 45: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

590 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013

Raharjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1983.

Reksodiputro, Mardjono. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam

Tindak Pidana Korporasi, makalah disampaikan pada Seminar Nasional

Kejahatan Korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 Novemser 1989.

Reid, Sue Titus. Criminal Law, Third Edition, New Jersey: Prentice Hall, 1995,

Priyanto, Dwidja. Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban

Korporasi di Indonesia, Bandung: CV. Utomo, 2004;

-----------------------, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004.

Putra Jaya, Nyoman Serikat. Globalisasi HAM dan Penegakan Hukum,

Makalah: disampaikan pada matrikulasi mahasiswa program Magister

Ilmu Hukum Undip Tahun 2010, tanggal 18 September 2010.

-----------------------, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System), Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2010.

Sjahdeini, Sutan Remi. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti

Pers, 2006.

Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Edisi kedua,

Cetakan Pertama, Malang: Banyumedia Publishing, 2003.

Shofie, Yusuf. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Sunarso, Siswanto. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi

Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, tt.

-----------------------, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Yunara, Edi. Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut

Studi Kasus), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

Jurnal

Bookman, Zachary. Convergences And Omissions In Reporting Corporate And

White Collar Crime, ”DePaul Business & Commercial Law Journal”,

2008.

Bucy, Pamela H. Trends In Corporate Criminal Prosecutions, ”American

Criminal Law Review”, 2007.

Khanna, V.S. Corporate Liability Standars: When Should Corporation Be

Criminality Liabel?, ”American Criminal Law Review”, 2000.

Page 46: URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Kristian1

Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 591

Moohr, Szott. Geraldine. On The Prospects Of Deterring Corporate Crime,

”Journal of Business & Technology Law”, 2007.

Orland, Leonard. The Transformation of Corporate Criminal Law, ”Brooklyn

Journal of Corporate, Finansial & Commercial Law”, 2006.

Stephens, Beth. The Amorality of Profit: Transnational Corporations and

Human Rights, ”Berkeley Journal of International Law”, 2002;

Weissmann, Andrew, dan David Newman, Rethinking Criminal Corporate

Liability, ”Indiana Law Journal”, 2007.

Internet

<http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan_Te

ntang_RUU_KUHP>, diakses pada tanggal 16 November 2012.

<http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan_Te

ntang_RUU_KUHP>, diakses pada tanggal 16 November 2012.