UPGRADING LIMBAH TAR (HASIL GASIFIKASI BATUBARA) MENJADI BAHAN BAKAR CAIR SINTETIS SETARA MINYAK DIESEL SKRIPSI Oleh: ATTI SHOLIHAH 11150960000085 PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1439 H
99
Embed
UPGRADING LIMBAH TAR (HASIL GASIFIKASI BATUBARA) …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47789... · 2019-10-23 · pengaruh temperatur reaktor dan katalis yang digunakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
UPGRADING LIMBAH TAR (HASIL GASIFIKASI BATUBARA) MENJADI BAHAN BAKAR CAIR SINTETIS SETARA MINYAK DIESEL
SKRIPSI
Oleh:
ATTI SHOLIHAH 11150960000085
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/1439 H
UPGRADING LIMBAH TAR (HASIL GASIFIKASI BATUBARA) MENJADI BAHAN BAKAR CAIR SINTETIS SETARA MINYAK DIESEL
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
ATTI SHOLIHAH 11150960000085
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/1439 H
ABSTRAK
ATTI SHOLIHAH. Upgrading Limbah Tar (Hasil Gasifikasi Batubara) menjadi Bahan Bakar Cair Sintetis setara Minyak Diesel. Dibimbing oleh TRISAKSONO BAGUS PRIAMBODO dan ISALMI AZIZ
Tar batubara adalah limbah cair berbau, berbahaya, dan beracun (B3) yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara dalam jumlah banyak sehingga perlu dikelola dengan baik sehingga dapat dimanfaatkan kembali. Tar mengandung berbagai jenis hidrokarbon yang memungkinkan untuk diolah lebih lanjut (upgrading) menjadi bahan bakar sintetis setara minyak diesel melalui teknologi perengkahan termal dan katalitik. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur reaktor dan katalis yang digunakan terhadap kualitas bahan bakar sintetis hasil dari proses upgrading tar. Perengkahan tar dilakukan pada reaktor unggun tetap dengan variasi temperatur 300, 400, dan 500°C serta dengan dan tanpa penambahan katalis NiMo/Al2O3. Gas hasil perengkahan tar dialirkan untuk proses kondensasi dan dilanjutkan dengan proses distilasi sehingga menghasilkan produk cair. Bahan baku tar dan produk minyak tengah hasil distilasi diuji kualitasnya. Minyak tengah hasil distilasi merupakan minyak diesel. Tar batubara memiliki karakteristik dengan kadar sulfur 0,67%, titik tuang 42°C, nilai kalor 9999 kal/gram, serta hasil analisis Gas Kromatografi Spektrokopi Massa yang didominasi oleh senyawa hidrokarbon parafin sebesar 70,90%. Kondisi optimum perengkahan tar batubara adalah dengan perengkahan katalitik pada temperatur 400°C. Kondisi tersebut menghasilkan minyak tengah dengan karakteristik bahan bakar dengan kadar sulfur yaitu sebesar 0,29%, nilai viskositas 2,90 cSt, nilai titik tuang -33°C, nilai titik nyala 73°C, nilai kalor 9173 kal/gram, angka setana 61, serta hasil analisis yang didominasi oleh senyawa phenol sebesar 35,11%.
Kata Kunci : upgrading, tar, batubara, gasifikasi, perengkahan, katalis
ABSTRACT
ATTI SHOLIHAH. Upgrading Waste Tar (Results of Coal Gasification) into Synthetic Liquid Fuels equivalents of Diesel Oil. Guided by TRISAKSONO BAGUS PRIAMBODO and ISALMI AZIZ Coal tar is a smelly, dangerous, and toxic liquid waste (B3) generated from the coal gasification process in large quantities so it need to be managed properly so that it can be reused. Tar contains various types of hydrocarbons that allow for upgrading into synthetic equivalents of diesel fuel through thermal and catalytic cracking technology. The objective of this research is to know the effect of reactor temperature and catalyst used to the quality of synthetic fuel resulting from coal tar upgrading process. The tar cracking is carried out at a fixed bed reactor with a temperature range of 300, 400, and 500°C with and without addition of NiMo/Al2O3 catalyst. Gas from tar coal cracking flowed for condensation process and continued by distillation process to produce liquid product. The raw material of coal tar and the distillation product of middle oil is tested its quality. Middle oil from distillation process is diesel oil. Coal tar has characteristics with sulfur content 0.67%, pour point 42°C, calorific value 9999 cal/gram, and Gas Chromatography Mass Spectrocopy (GCMS) analysis result which is dominated by paraffin hydrocarbon compound 70,90%. The optimum condition of coal tar cracking is by catalytic cracking at 400°C. This condition produces middle oil with fuel characteristics with sulfur content of 0.29%, viscosity value of 2.90 cSt, pour point value -33°C, flash point value 73°C, heating value 9173 cal/gram, cetane number 61, and the result of analysis which dominated by phenol compound of 35,11%.
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kandungan komponen kimia dalam ... ..... Error! Bookmark not defined.8
Tabel 1. USA EPA daftar prioritas dari poliaromatik hidrokarbon ...................... 8
Tabel 2. Variabel proses perengkahan tar batubara. ........................................... 22
Tabel 3. Karakteristik tar batubara dan standar solar. ........................................ 27
Tabel 4. Nilai rendemen minyak tengah. ............................................................ 31
Tabel 5. Karakteristik bahan bakar dari minyak tengah. .................................... 33
Tabel 6. Komposisi senyawa dalam tar batubara, minyak tengah hasil perengkahan termal, dan katalitik temperatur 400°C. .......................... 47
Tabel 7. Data berat tar dan produk minyak tengah hasil distilasi vakum. .......... 63
Tabel 8. Data berat tar dan produk minyak hasil distilasi vakum ...................... 64
Tabel 9. Komposisi senyawa dalam tar batubara. .............................................. 65
Tabel 10. Komposisi senyawa dalam minyak tengah hasil perengkahan katalitik temperatur 400°C. .................................................................. 69
Tabel 11. Komposisi senyawa dalam minyak tengah hasil perengkahan katalitik temperatur 400°C. .................................................................. 74
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema proses gasifikasi total ......................................................... 6
Gambar 2. Tar hasil limbah gasifikasi batubara ............................................... 7
Gambar 3. Tipe dasar reaktor katalis unggun tetap .......................................... 10
Gambar 4. Katalis NiMo/ Al2O3 berbentuk pelet .............................................. 11
Gambar 5. Skema sistem kromatografi gas spektroskopi massa ...................... 18
Gambar 6. Bahan baku tar batubara (a), produk mentah (b), minyak ringan (c), minyak tengah (d), minyak berat (e), dan bahan sisa (f) ................. 30
Gambar 7. Perbandingan nilai rata-rata rendemen minyak hasil distilasi vakum dari proses perengkahan termal (a) dan perengkahan katalitik (b) tar batubara ............................................................................................ 31
Gambar 8. Pengaruh temperatur terhadap kadar sulfur ..................................... 34
Gambar 9. Pengaruh temperatur terhadap viskositas ........................................ 36
Gambar 10. Pengaruh temperatur terhadap titik tuang ....................................... 38
Gambar 11. Pengaruh temperatur terhadap titik nyala ........................................ 40
Gambar 12. Pengaruh temperatur terhadap nilai kalor ....................................... 42
Gambar 13. Pengaruh temperatur terhadap angka setana ................................... 43
Gambar 14. Kromatogram tar batubara ............................................................... 45
Gambar 15. Kromatogram minyak tengah hasil perengkahan termal temperatur 400°c ............................................................................. 46
Gambar 16. Kromatogram minyak tengah hasil perengkahan katalitik temperatur 400°C ............................................................................ 46
Gambar 17. Dehidrosiklisasi parafin ................................................................... 51
Gambar 18. Adisi alkohol .................................................................................... 52
Gambar 19. Mekanisme reaksi cannizaro............................................................ 53
Gambar 20. Konseptual proses unit alat upgrading tar ....................................... 61
Gambar 21. Data analisis nilai kalor ................................................................... 62
Gambar 22. Hasil analisis kromatografi gas spektrokopi massa bahan baku tar batubara.... ....................................................................................... 67
Gambar 23. Hasil identifikasi spektrokopi massa dari tar batubara ................... 68
Gambar 24. Hasil analisis kromatografi gas spektrokopi massa dari minyak tengah hasil perengkahan termal tar batubara temperatur 400°C.... 72
xiv
Gambar 25. Hasil identifikasi spektrokopi massa dari minyak tengah hasil perengkahan termal tar batubara temperatur 400°C ........................ 73
Gambar 26. Hasil analisis kromatografi gas spektrokopi massa dari minyak tengah hasil perengkahan katalitik tar batubara temperatur 400°C. 77
Gambar 27. Hasil identifikasi spektrokopi massa dari minyak tengah hasil perengkahan katalitik tar batubara temperatur 400°C .................... 78
Gambar 28. Standar dan mutu spesifikasi bahan bakar minyak jenis solar.... .... 79
Gambar 29. Reaktor perengkahan ....................................................................... 80
Gambar 30. Alat perengkahan tar batubara ......................................................... 80
Gambar 31. Minyak mentah hasil perengkahan tar batubara .............................. 80
Gambar 32. Proses distilasi vakum minyak mentah ........................................... 80
Gambar 33. Minyak hasil distilasi vakum ........................................................... 80
Gambar 34. Alat Lauda Pour Point .................................................................... 80
Gambar 35. Alat Mini Flash Point ...................................................................... 80
Gambar 36. Alat Lauda Viscotemp ..................................................................... 80
Gambar 37. Alat Zeltex Octane and Cetane Number ......................................... 80
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Konseptual Proses Unit Alat Upgrading Tar ................................ 61
Lampiran 2. Karakteristik Bahan Bakar-Nilai Kalor ......................................... 62
Lampiran 3. Perhitungan Nilai Rendemen Minyak Tengah Hasil Distilasi Vakum ............................................................................. 63
Lampiran 4. Analisis Kromatografi Gas Spektrokopi Massa ............................ 65
Lampiran 5. Standar dan Mutu Spesifikasi Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar 48 ............................................................................ 79
η sampel = C sampel X t sampel ................................................................... (6) Keterangan : η = Viskositas (cSt) T = Temperatur (°C) c = Konstanta (mm2/s3) t = Waktu (detik)
26
3.3.5.6. Pengukuran Angka Setana (Octane and Fuel Analyzer Zeltex- ASTM D 2699 dan D 2900)
Pengukuran angka setana menggunakan Octane and Fuel Analyzer Zeltex.
Sebelum dilakukan pengukuran sampel terlebih dahulu dilakukan pengukuran
blanko dan standar berupa bahan bakar solar yaitu Solar-dex dari Pertamina.
Sampel minyak sebanyak 225 ml dimasukan ke dalam wadah sampel kemudian
diukur panjang gelombangnya. Angka yang terbaca pada alat adalah nilai
RON+MON sehingga untuk mengetahui nilai angka setana nilai tersebut perlu
Keterangan: RON = Research Octane Number MON = Motor Octane Number
3.3.5.7. Pengukuran Nilai Kalor (ASTM D 240-02)
Pengukuran nilai kalor menggunakan IKA-Bomb Calorimetri berdasarkan
ASTM D240-02. Sampel minyak seberat 1,000 gram ditempatkan dalam cawan
platina yang telah dihubungkan tali perantara dengan pematik api. Kemudian
cawan berisi sampel dimasukan ke dalam wadah yang disebut ‘bom’ ditutup dan
dikencangkan. Wadah bom tersebut dipasang pada alat instrumen bom
kalorimetri. Pada teknisnya bom akan dialiri O2 hingga tekanan mencapai 25-30
atm. Kemudian bom kalorimetri akan dialiri air sehingga menenggelamkan bom.
Setelah selesai sejumlah tertentu aliran listrik dialirkan ke kawat besi di dalam
bom sehingga terjadi pembakaran yang akan membakar sampel. Kenaikan
temperatur yang terjadi diukur. Sehingga Nilai kalor akan muncul pada display
alat dalam J/g.
27
BAB IV
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Tar Hasil Gasifikasi Batubara
Bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan bahan bakar sintetis
setelah direngkah adalah tar hasil dari gasifikasi batubara. Menurut Setiadji, et al
(2006) dan Zeigler, C. D. (2012), tar terbentuk dari suatu reaksi kompleks selama
proses gasifikasi. Sifat fisik dan kimia tar hampir mirip dengan minyak bumi
sehingga berpotensi untuk diolah menjadi bahan bakar cair pengganti minyak
bumi tetapi tar batubara memiliki kadar poliaromatik dan pengotor yang cukup
tinggi. Untuk mengetahui potensi limbah tar untuk di upgrade menjadi bahan
bakar cair sintetis maka dilakukan pengujian karakteristik dari bahan baku tar
batubara. Tar batubara diuji karakteristik bahan bakarnya diantaranya : kadar
sulfur, viskositas, titik tuang, titik nyala, nilai kalor, dan angka setana. Hasil uji
karakteristik tar dibandingkan dengan standar dan mutu bahan bakar minyak jenis
minyak solar dari ESDM (2016). Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik tar batubara dan standar solar
Parameter Standar Solar ESDM (2016)
Tar
Sulfur (%) maks 0,25 0,67 Viskositas (cSt) 2,0 - 4,5 nil Titik Tuang (°C) maks 18 42 Titik Nyala (°C) min 52 nil Nilai Kalor(kal/g) nil 9999 Angka Setana min 48 nil
Berdasarkan Tabel 3 bahan baku tar batubara memiliki kadar sulfur
0,67%. Pada standar sulfur ESDM (2016) nilai sulfur yang memenuhi syarat
28
bahan bakar solar adalah maksimal sebesar 0,25%. Menurut Mudjirahardjo (2001)
senyawa-senyawa sulfur dalam minyak minyak diesel dapat bersifat korosif yaitu
berupa hidrogen sulfida. Kandungan sulfur pada tar batubara yang diatas nilai
standar harus dikurangi sehingga sesuai dengan standar. Menurut Heinrich dan
Kasztelaan (2001), komponen sulfur akan mengalami perubahan seiring dengan
perubahan pemanasan. Sulfur yang terdapat pada uap hasil pemanasan tar tidak
akan terbawa semua. Banyaknya tar yang terbawa bergantung pada suhu
pemanasan yang digunakan.
Nilai viskositas bahan baku tar batubara tidak dapat dianalisis. Analisis
nilai viskositas tar batubara didasarkan pada standar nilai viskositas solar dari
ESDM (2016) yang dianalisis pada suhu 40°C. Pada suhu tersebut tar batubara
tidak dapat mengalir. Nilai standar viskositas pada minyak solar berdasarkan
standar dari ESDM (2016) adalah 2,0 - 4,5cSt. Menurut Dou, et al (2003) dan
Setiadji, et al (2006), tar batubara adalah campuran senyawa hidrokarbon berantai
panjang yang sangat kompleks terdiri dari beberapa senyawa dengan gugus fungsi
berbeda dan didominasi senyawa poliaromatik sehingga mempengaruhi nilai
viskositasnya menjadi lebih tinggi. Menurut Panda (2011), perengkahan adalah
proses memecah rantai polimer menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih
rendah. Kandungan rantai hidrokarbon yang lebih sederhana setelah proses
perengkahan bisa mempengaruhi nilai viskositas dari tar menjadi lebih rendah
sehingga bisa memenuhi standar minyak solar ESDM (2016).
Nilai titik tuang tar batubara adalah sebesar 42°C. Standar minyak solar
ESDM (2016), nilai titik tuang yaitu maksimal +18°C. Perlu pengurangan nilai
titik tuang untuk memenuhi nilai standar. Menurut Shreve (1956), titik tuang
29
adalah titik temperatur terendah dimana mulai terbentuk kristal-kristal parafin
panjang yang dapat menyumbat saluran bahan bakar. Kandungan rantai
hidrokarbon pada tar yang lebih sederhana setelah proses perengkahan bisa
mempengaruhi nilai titik tuang dari tar menjadi lebih rendah sehingga bisa sesuai
dengan standar solar ESDM (2016).
Titik nyala dari tar batubara tidak bisa dideteksi. Hal ini bisa disebabkan
nilai titik nyala dari tar batubara tidak berada pada rentang kemampuan deteksi
alat yaitu 0-200°C. Berdasarkan standar solar ESDM (2016) nilai standar titik
nyala pada minyak solar adalah minimal 52°C. Menurut Setiadji, et al (2006), tar
batubara adalah campuran senyawa hidrokarbon berantai panjang yang sangat
kompleks. Hal tersebut bisa menyebabkan titik nyala dari tar tinggi sehingga tidak
dapat dideteksi alat. Tar kemudian mengalami proses perengkahan. Kandungan
hidrokarbon yang lebih sederhana pada tar setelah proses perengkahan bisa
mempengaruhi nilai titik nyala menjadi lebih rendah sehingga nilai titik nyala bisa
diketahui.
Nilai kalor pada tar batubara adalah sebesar 9999 kal/gram. Berdasarkan
pengujian yang dilakukan oleh Fajar dan Sudargana (2007), nilai kalor solar yaitu
10900 kal/gram. Nilai kalor tidak termasuk dalam syarat standar minyak solar
berdasarkan ESDM (2016) tetapi nilai kalor pembakaran menunjukkan energi
kalor yang dikandung dalam tiap satuan massa bahan bakar.
Angka setana tar batubara tidak dapat terdeteksi oleh alat. Alat yang
digunakan adalah Octane and Fuel Analyzer Zeltex dengan prinsip
spektrofotometri yaitu mengukur absorbansi sampel dengan cara melewatkan
cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Fisik tar batubara yang solid dan
30
berwarna hitam menyebabkan tidak ada sinar yang bisa masuk. Hal tersebut
menyebabkan angka setana dari tar batubara tidak dapat terdeteksi. Angka setana
berdasarkan standar minyak solar ESDM (2016) yaitu minimal 48.
4.2 Nilai Rendemen Minyak Tengah Hasil Distilasi Vakum
Bahan baku tar batubara setelah dilakukan proses perengkahan termal dan
perengkahan katalitik menghasilkan produk mentah. Menurut Vigouroux (2001),
produk perengkahan berupa senyawa-senyawa dengan rantai yang bervariasi.
Sehingga produk mentah hasil perengkahan termal dan perengkahan katalitik tar
perlu dilakukan proses distilasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kan,
et al (2011), produk cair hasil proses hidro tar batubara dalam tekanan atmosfir
didistilasi menjadi minyak gasolin (minyak ringan) (<180°C), minyak diesel
(minyak tengah) (180-360°C), dan minyak residu (minyak berat) (>360°C).
Pengamatan visual bahan baku tar batubara menjadi produk mentah kemudian
menjadi minyak setelah distilasi vakum dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Bahan baku tar batubara (a), produk mentah (b), minyak ringan (c), minyak tengah (d), minyak berat (e), dan bahan sisa (f)
Perbandingan nilai rata-rata rendemen minyak yang diperoleh dari proses distilasi
vakum setelah perengkahan dapat dilihat pada Gambar 7.
(a) (b) (c) (d) (e) (f)
31
Gambar 7. Perbandingan nilai rata-rata rendemen minyak hasil distilasi vakum dari proses perengkahan termal (a) dan perengkahan katalitik (b) tar batubara
Minyak diesel juga disebut sebagai minyak tengah karena didapatkan pada
pertengahan proses kondensasi distilasi fraksinasi. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Masfuri(2015), produk yang dominan dihasilkan dalam proses
distilasi yaitu minyak diesel dengan perbandingan hampir 80%. Penelitian
tersebut sesuai dengan hasil distilasi minyak tengah dengan proses distilasi vakum
menghasilkan nilai rendemen 65,10% - 76,90%. Nilai rendemen adalah
perbandingan massa zat-zat produk dengan jumlah massa awal. Nilai rendemen
minyak tengah dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai rendemen minyak tengah
Temperatur (°C)
Nilai Rendemen (%) Perengkahan Termal Perengkahan Katalitik
300 65,10 72,70 400 73,80 76,90 500 74,60 76,80
Menurut Aleme, et al (2012), minyak diesel hasil distilasi merupakan
campuran dari hidrokarbon ringan, hidrokarbon alifatik rantai panjang,
hidrokarbon kompleks seperti aromatik hidrokarbon cincin 3 dan aromatik cincin
2 yang tergabung dengan sulfur atau nitrogen.
Minyak Ringan
2%
Minyak Tengah
71%
Minyak Berat12%
Bahan Sisa15%
Minyak Ringan
4%
Minyak Tengah
75%
Minyak Berat7%
Bahan Sisa14%
(a) (b)
32
Perengkahan katalitik menghasilkan nilai persen rendemen minyak tengah
yang lebih banyak dibandingkan nilai rendemen perengkahan termal dalam
temperatur yang sama. Nilai rendemen tertinggi sebesar 76,90% dihasilkan pada
proses perengkahan katalitik tar pada suhu 400°C lebih tinggi dari pada nilai
rendemen perengkahan termal yaitu 73,8%. Hal ini dikarenakan penggunaan
katalis (NiMo/γ-Al2O3) dapat mengarahkan reaksi untuk mendapatkan produk
yang diinginkan dengan selektivitas yang lebih tinggi (Istadi, 2011). Katalis yang
bersifat asam menambahkan proton ke molekul olefin atau menarik ion hidrida
dari alkana sehingga menyebabkan terbentuknya ion karbonium. Ion karbonium
merupakan molekul yang sangat reaktif menyerang parafin dan naften
menghasilkan karbokation baru (Masfuri, 2015). Hal ini bisa menyebabkan nilai
konversi produk yang diinginkan bisa lebih tinggi. Menurut Syamsuddin, et al
(2005), katalis NiMo/γ-Al2O3 merupakan yang paling lazim digunakan sebagai
katalis perengkahan pada residu minyak.
Nilai rendemen terendah berada pada proses perengkahan dengan
temperatur 300°C yaitu 65,10% dengan perengkahan termal dan 72,70% dengan
perengkahan katalitik. Pada temperatur 400°C dan 500°C memperoleh nilai
rendemen yang hampir sama. Pada perengkahan termal menghasilkan nilai
rendemen 73,80% pada temperatur 400°C dan 74,60% pada 500°C serta proses
perengkahan katalitik pada temperatur 400°C dan 500°C yaitu 76,90% dan
76,80%. Rendahnya nilai rendemen minyak tengah pada perengkahan dengan
temperatur 300°C dikarenakan pada perengkahan katalitik memerlukan
temperatur sekitar 400-550oC sedangkan perengkahan termal membutuhkan
33
temperatur 600-1000oC sehingga banyak hidrokarbon berat yang tidak mengalami
proses perengkahan (Peng, et al., dan Shun, et al., 2013).
4.3 Karakteristik Produk Minyak Tengah
Minyak tengah hasil distilasi vakum diharapkan setara dengan bahan bakar
sintetis setara minyak diesel. Minyak tengah hasil perengkahan termal dan
perengkahan katalitik diuji karakteristik bahan bakarnya diantaranya : kadar
sulfur, viskositas, titik tuang, titik nyala, nilai kalor, dan angka setana. Sampel
yang diuji karakteristik produknya terdapat 6 sampel yaitu masing-masing 3
sampel dari hasil perengkahan termal dan perengkahan katalitik berdasarkan
perbedaan temperatur. Rentang temperatur yaitu 300, 400, dan 500°C. Hasil
kemudian dibandingkan dengan standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar
minyak jenis solar 48 yang dipasarkan dalam negeri dari ESDM (2016). Hasil uji
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik bahan bakar dari minyak tengah
Angka Setana min 48 nil 59 51 nil 63 61 nil Keterangan: (-): tidak terdapat dalam standar, nil: tidak terdeteksi
Hasil uji karakterisasi bahan bakar minyak tengah hasil distilasi vakum
seperti terlihat pada Tabel 5 menunjukan kadar sulfur, viskositas, titik tuang, titik
34
nyala, nilai kalor, dan angka setana. Pada standar dan mutu bahan bakar solar
ESDM (2016) tidak terdapat nilai kalor, akan tetapi nilai kalor menunjukan energi
kalor yang dikandung dalam setiap satuan massa bahan bakar. Pada pengujian
nilai viskositas, titik nyala serta angka setana pada sampel tar batubara, minyak
tengah dengan kondisi perengkahan secara termal dan katalitik pada temperatur
500°C tidak dapat terdeteksi oleh alat.
4.3.1 Kadar Sulfur
Minyak tengah hasil distilasi vakum kemudian diuji kadar sulfurnya
dengan menggunakan Leco Sulfur Analyzer. Menurut Mudjirahardjo (2001)
senyawa-senyawa sulfur dalam minyak diesel yang korosif dapat berupa hidrogen
sulfida. Hasil kadar sulfur dapat dilihat pada Tabel 5. Pengaruh temperatur
terhadap kadar sulfur dapat lihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Pengaruh temperatur terhadap kadar sulfur
Berdasarkan Tabel 5, kadar sulfur dari tar batubara yaitu 0,67%. Menurut
Mehran, et al, 2007 nilai rata-rata dari kadar sulfur pada minyak berat berada
dalam rentang 0,03% hingga 7,89%. Kadar sulfur tar setelah proses perengkahan
dan distilasi vakum menjadi produk minyak tengah mengalami penurunan. Kadar
sulfur produk minyak tengah setelah proses perengkahan termal dan katalitik pada
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0 200 400 600
Su
lfu
r C
onte
nt
(%)
Temperature(°C)
Perengkahan Termal
Perengkahan Katalitik
35
temperatur 300, 400, dan 500°C setelah distilasi vakum belum memenuhi standar
berdasarkan standar dan mutu bahan bakar minyak jenis solar 48, ESDM (2016)
yaitu 0,25%. Hal ini disebabkan karena pada proses perengkahan hanya terjadi
pemanasan. Perlu dilakukan proses desulfurisasi untuk bisa menurunkan kadar
sulfur secara signifikan.
Pada Gambar 8, kadar sulfur mengalami penurunan yang tidak signifikan
dari perengkahan temperatur 300°C menjadi 400°C dengan kadar 0,36% menjadi
0,30% pada perengkahan termal serta dari 0,34% menjadi 0,29% pada
perengkahan katalitik. Kemudian kadar sulfur naik kembali pada temperatur
500°C sebesar 0,49% pada proses perengkahan termal dan 0,47% pada
perengkahan katalitik. Sulfur akan mengalami perubahan seiring dengan
perubahan pemanasan. Kandungan sulfur pada distilat akan meningkat seiring
dengan meningkatnya rentang pemanasan. Pada suhu pemanasan 250-370°C,
kandungan sulfur yang akan terbawa ± 0,90% sedangkan pada 370-550°C
meningkat menjadi 1,8%. Senyawa sulfur menjadi lebih tahan api dengan
meningkatnya titik didih, karena kelompok senyawa dominan berubah dari tiol,
sulfida, dan tiofena dalam nafta menjadi benzothiofenofen (Heinrich dan
Kastelaan,2001).
Kadar sulfur pada minyak tengah setelah mengalami proses perengkahan
termal maupun katalitik mengalami perubahan. Menurut Pratiwi (2016),
penggunaan katalis NiMo/γ-Al2O3 selektif terhadap desulfurisasi karena
aktivitasnya sebagai katalis juga baik dalam mengadsorpsi kontaminan akan tetapi
dalam proses desulfurisasi dibutuhkan gas hidrogen serta proses pemisahan H2S
yang terbentuk. Menurut Javadli, et al, (2012), hidrodesulfurisasi adalah metode
36
yang paling umum digunakan untuk penghilangan sulfur pada minyak berat.
Penggunaan gas H2 dan katalis akan mengonversi komponen sulfur menjadi H2S
sehingga dapat dipisahkan.
4.3.2 Viskositas
Minyak tengah hasil distilasi vakum kemudian diuji nilai viskositasnya
dengan menggunakan Lauda Viscotemp 18. Minyak bumi yang viskositasnya
tinggi menunjukan mudah membeku pada keadaan dingin, kandungan
hidrokarbon parafin tinggi, dan residu hasil pengolahan mengandung lilin (wax)
(Mudjirahardjo, 2006). Hasil nilai viskositas dapat dilihat pada Tabel 5. Pengaruh
temperatur terhadap nilai viskositas dapat lihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Pengaruh temperatur terhadap viskositas
Pada Gambar 9, nilai viskositas minyak tengah pada perengkahan termal
dan perengkahan katalitik berbanding terbalik seiring peningkatan temperatur
perengkahan. Minyak tengah pada perengkahan termal temperatur 300°C
memiliki nilai viskositas yaitu 3,2cSt. Kemudian terus turun pada temperatur
400°C dengan nilai 3,1cSt dan pada temperatur 500°C sebesar 3,0cSt. Penurunan
nilai viskositas juga terjadi pada minyak tengah dengan perengkahan katalitik.
Pada temperatur 300°C memiliki nilai viskositas yaitu 3,1cSt. Kemudian terus
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3
3.1
3.2
3.3
300 400 500
Vis
kos
itas
(cSt)
Temperatur (°C)
Perengkahan Termal
Perengkahan Katalitik
37
turun pada temperatur 400°C dengan nilai 2,9 cSt dan pada temperatur 500°C
sebesar 2,8cSt. Perbandingan terbalik antara nilai viskositas dengan kondisi
temperatur perengkahan menunjukan temperatur perengkahan memiliki pengaruh
terhadap penurunan nilai viskositas. Menurut Hardiyatul dan Rani (2010),
peningkatan temperatur mengurangi kohesi molekuler sehingga viskositas
fluidanya berkurang. Menurut Shreve (1956), suatu minyak bumi atau produknya
mempunyai viskositas tinggi berarti minyak itu mengandung hidrokarbon berat
(berat molekul besar), sebaliknya viskositas rendah maka minyak itu banyak
mengandung hidrokarbon ringan. Hal ini menunjukan proses perengkahan
mempengaruhi nilai viskositas, terjadi perengkahan dari hidrokarbon berat
menjadi hidrokarbon yang lebih ringan.
Besar nilai viskositas minyak tengah setelah proses perengkahan termal
dan katalitik sesuai standar ESDM (2016) yaitu berada dalam rentang 2,0 -4,5 cSt.
Menurut Shreve (1956), pada umumnya, bahan bakar harus mempunyai viskositas
yang relatif rendah agar mudah mengalir dan teratomisasi. Namun tetap ada batas
minimal karena diperlukan sifat pelumasan yang cukup baik untuk mencegah
terjadinya keausan akibat gerakan piston yang cepat.
Berdasarkan Gambar 9, nilai viskositas minyak tengah pada perengkahan
termal lebih tinggi daripada perengkahan katalitik pada temperatur yang sama.
Hal ini menunjukan penggunaan katalis pada proses perengkahan memiliki
pengaruh terhadap nilai viskositas minyak tengah. Penggunaan katalis
menyebabkan penurunan nilai viskositas yang lebih rendah pada proses
perengkahan dengan temperatur yang sama walaupun tidak terlalu jauh berbeda.
Hal ini menunjukan bahwa terjadi perengkahan dari hidrokarbon berat menjadi
38
hidrokarbon yang lebih ringan lebih banyak walau tidak secara signifikan
daripada perengkahan tanpa katalis. Menurut Amiruddin (2002) dan Dou, et al
(2003), katalis NiMo/γ-Al2O3 memiliki keunggulan secara efektif dapat konversi
tar menjadi produk yang diinginkan tinggi.
4.3.3 Titik Tuang
Minyak tengah hasil distilasi vakum kemudian diuji nilai titik tuang
dengan menggunakan Lauda Pour point. Menurut Hardjono(2001), titik tuang
adalah temperatur terendah yang masih memungkinkan terjadinya aliran bahan
bakar, di bawah titik tuang bahan bakar tidak lagi bisa mengalir karena
terbentuknya kristal atau gel yang menyumbat aliran bahan bakar. Hasil nilai titik
tuang dapat dilihat pada Tabel 5. Pengaruh temperatur terhadap titik tuang dapat
lihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Pengaruh temperatur terhadap titik tuang
Berdasarkan Gambar 10, minyak tengah pada perengkahan termal
temperatur 300°C memiliki nilai titik tuang yaitu -30°C. Kemudian terus turun
pada temperatur 400°C dengan nilai -32°C dan pada temperatur 500°C sebesar
-33°C. Pada perengkahan katalitik pada temperatur 300°C memiliki nilai titik
tuang yaitu -31°C. Kemudian turun pada temperatur 400°C dengan nilai -33°C
-35
-33
-31
-290 200 400 600
Tit
ik T
uan
g (°
C)
Temperatur (°C)
Perengkahan Termal
Perengkahan Katalitik
39
dan pada temperatur 500°C dengan nilai titik tuang sama sebesar -33°C. Besar
nilai titik tuang minyak tengah setelah proses perengkahan termal dan katalitik
sesuai standar ESDM (2016) yaitu maksimal +18°C.
Perubahan nilai titik tuang seiring perubahan kondisi temperatur
perengkahan menunjukan temperatur perengkahan memiliki pengaruh terhadap
penurunan nilai titik tuang. Menurut Shreve (1956), titik tuang adalah titik
temperatur terendah dimana mulai terbentuk kristal-kristal paraffin panjang yang
dapat menyumbat saluran bahan bakar. Semakin rendah titik tuang maka kadar
parafin juga semakin rendah sedangkan kadar aromatnya semakin tinggi. Titik
tuang ini dipengaruhi juga oleh derajat ketidakjenuhan, semakin tinggi
ketidakjenuhan maka titik tuang semakin rendah, selain itu semakin panjang
rantai karbon maka semakin tinggi titik tuang.
Berdasarkan Gambar 10, sama seperti pada penentuan nilai viskositas,
nilai titik tuang minyak tengah pada perengkahan termal lebih tinggi daripada
perengkahan katalitik pada temperatur yang sama walau tidak berbeda secara
signifikan. Hal ini menunjukan penggunaan katalis pada proses perengkahan
memiliki pengaruh terhadap nilai titik tuang minyak tengah. Penggunaan katalis
menyebabkan penurunan nilai titik tuang yang lebih rendah pada proses
perengkahan dengan temperatur yang sama. Terjadi perengkahan dari hidrokarbon
kompleks menjadi hidrokarbon sederhana lebih banyak daripada perengkahan
tanpa katalis. Menurut Amiruddin (2002) dan Dou, et al (2003), katalis NiMo/γ-
Al2O3 memiliki keunggulan secara efektif dapat konversi tar menjadi produk yang
diinginkan tinggi.
40
4.3.4 Titik Nyala
Minyak tengah hasil distilasi vakum kemudian diuji nilai titik nyala
dengan menggunakan Ametek miniflash. Hasil nilai titik nyala dapat dilihat pada
Tabel 5. Pengaruh temperatur terhadap titik nyala dapat lihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Pengaruh temperatur terhadap titik nyala
Berdasarkan Gambar 11, nilai titik nyala minyak tengah pada perengkahan
termal dan katalitik berbanding terbalik seiring peningkatan temperatur
perengkahan. Minyak tengah pada perengkahan termal temperatur 300°C
memiliki nilai titik nyala yaitu 78°C. Kemudian terus turun pada temperatur
400°C dengan nilai 76°C dan pada temperatur 500°C sebesar 72°C. Penurunan
nilai titik nyala juga terjadi pada minyak tengah dengan perengkahan katalitik.
Pada temperatur 300°C memiliki nilai titik nyala yaitu 78,5°C. Kemudian turun
pada temperatur 400°C dengan nilai 73°C dan pada temperatur 500°C dengan
nilai titik nyala sebesar 65°C. Besar nilai titik nyala minyak tengah setelah proses
perengkahan termal dan katalitik sesuai standar solar ESDM (2016) yaitu minimal
52°C.
50
55
60
65
70
75
80
200 300 400 500 600
Tit
ik N
yala
(°C
)
Temperatur (°C)
PerengkahanTermalPerengkahanKatalitik
41
Menurut Hardjono (2010), titik nyala adalah temperatur terendah dimana
uap minyak bumi dari produknya dalam campurannya dengan udara akan menyala
kalau dikenai nyala uji. Perbandingan terbalik antara nilai titik nyala minyak
tengah dan temperatur perengkahan menunjukan semakin tinggi temperatur
perengkahan maka semakin rendah pula temperatur yang harus dicapai oleh
minyak tengah sehingga menghasilkan uap yang dapat memberikan nyala api.
Sesuai dengan penelitian Aleme, et al (2012), semakin tinggi temperatur
pemanasan yang digunakan maka semakin rendah titik nyala yang dimiliki suatu
bahan bakar.
Titik nyala sangat bergantung pada banyaknya kandungan dari
hidrokarbon ringan seperti n-parafin, semakin banyak kandungan hidrokarbon
ringan maka semakin rendah nilai titik nyala. Hal ini menunjukan bahwa terjadi
perengkahan dari hidrokarbon berat menjadi hidrokarbon ringan. Semakin tinggi
temperatur perengkahan semakin banyak pula komponen mudah menguap
(hidrokarbon ringan) yang dimiliki suatu produk minyak tengah untuk bisa
menyala (Aleme, et al., 2012).
Pada Gambar 11, secara umum nilai titik nyala minyak tengah pada
perengkahan termal lebih tinggi daripada perengkahan katalitik pada temperatur
yang sama. Penggunaan katalis menyebabkan penurunan nilai titik nyala menjadi
lebih rendah. Hal ini menunjukan bahwa perengkahan katalitik menghasilkan
hidrokarbon ringan lebih banyak daripada perengkahan termal. Menurut
Amiruddin (2002) dan Dou, et al (2003), katalis NiMo/γ-Al2O3 memiliki
keunggulan secara efektif dapat konversi tar menjadi produk yang diinginkan
tinggi.
42
4.3.5 Nilai Kalor
Minyak tengah hasil distilasi vakum kemudian diuji nilai kalor dengan
menggunakan IKA Bomb calorimetry. Nilai kalor pembakaran menunjukkan
energi kalor yang dikandung dalam tiap satuan massa bahan bakar. Hasil nilai
kalor dapat dilihat pada Tabel 5. Perubahan hasil nilai kalor pada setiap
temperatur dapat lihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Pengaruh temperatur terhadap nilai kalor
Berdasarkan Gambar 12, minyak tengah pada perengkahan termal
temperatur 300°C memiliki nilai kalor yaitu 9388 kal/gram. Kemudian terus turun
pada temperatur 400°C dengan nilai 9344 kal/gram dan pada temperatur 500°C
sebesar 9332 kal/gram. Pada perengkahan katalitik nilai kalor minyak tengah pada
perengkahan temperatur 300°C yaitu 9438 kal/gram. Kemudian turun pada
temperatur 400°C dengan nilai 9173 kal/gram dan naik sedikit pada temperatur
500°C dengan nilai sebesar 9192 kal/gram. Berdasarkan pengujian yang dilakukan
oleh Fajar dan Sudargana (2007), nilai kalor minyak diesel yaitu 10900 kal/gram.
Nilai kalor suatu bahan bakar menunjukkan jumlah energi panas yang
dapat dilepaskan pada setiap satu satuan berat bahan bakar apabila terbakar habis
91509200925093009350940094509500
0 200 400 600
Nila
i Kal
or (
cal/g
)
Temperatur (°C)
PerengkahanTermal
PerengkahanKatalitik
43
dengan sempurna (dalam satuan kal/g). Semakin tinggi nilai kalor bahan bakar
maka energi yang dilepaskan per satuan berat bahan bakar semakin tinggi. Pada
perengkahan terjadi pemecahan polimer sehingga terjadi suatu proses kondensasi
air dan minyak sehingga bisa menyebabkan nilai kalor menurun seiring dengan
bertambahnya temperatur perengkahan (Panda, 2011).
4.3.6 Angka Setana
Minyak tengah hasil distilasi vakum kemudian diuji angka setana dengan
menggunakan Octane and Fuel Analyzer Zeltex. Angka Setana menunjukkan
kemampuan bahan bakar untuk menyala sendiri (auto ignition). Hasil angka
setana dapat dilihat pada Tabel 5. Perubahan hasil angka setana pada setiap
temperatur dapat lihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Pengaruh temperatur terhadap angka setana
Berdasarkan Gambar 13, angka setana minyak tengah pada perengkahan
termal dan katalitik berbanding terbalik seiring peningkatan temperatur
perengkahan. Minyak tengah pada perengkahan termal temperatur 300°C
memiliki nilai titik nyala yaitu 59. Kemudian turun pada temperatur 400°C
40.00
45.00
50.00
55.00
60.00
65.00
0 100 200 300 400 500
An
gka
Set
ana
Temperatur (°C)
PerengkahanTermal
PerengkahanKatalitik
44
dengan nilai 51. Penurunan angka setana juga terjadi pada minyak tengah dengan
perengkahan katalitik. Pada temperatur 300°C memiliki angka setana yaitu 63.
Kemudian turun pada temperatur 400°C dengan nilai 61.
Angka setana minyak tengah setelah proses perengkahan termal dan
katalitik pada temperatur 300°C dan 400°C sesuai standar ESDM (2016) yaitu
minimal 48. Angka setana pada minyak tengah setelah proses perengkahan termal
maupun perengkahan katalitik pada temperatur 500°C tidak dapat terdeteksi alat.
Hal ini bisa disebabkan sampel memiliki angka setana dibatas luar rentang
kemampuan alat.
Menurut Prihandana, et al(2006), skala untuk angka setana biasanya
menggunakan referensi berupa campuran antara normal setana (C16H34) dengan
alpha metil naphtalena (C10H7CH3). Normal setana memiliki angka setana 100,
alpha metil naphtalena memiliki angka setana 0. Hal tersebut menunjukan bahan
bakar hidrokarbon dengan struktur atom rantai lurus mempunyai bilangan setana
lebih tinggi daripada bahan bakar dengan struktur atom yang rumit. Salah satu
penyebab menurunnya angka setana seiring meningkatnya temperatur
perengkahan bisa disebabkan karena masih terdapat hidrokarbon dengan struktur
hidrokarbon kompleks yang belum terengkah. Akan tetapi, bahan bakar diesel
mengandung banyak hidrokarbon yang berbeda. Angka setana dari setiap bahan
bakar diesel merupakan rata-rata semua angka setana dari berbagai hidrokarbon
yang ditemukan dalam bahan bakar (Nasikin dan Makhdiyanti, 2003). Tingginya
angka setana tidak hanya disebabkan ada atau tidaknya rantai hidrokarbon lurus
akan tetapi dari seluruh angka setana hidrokarbon yang terdapat dalam bahan
bakar.
45
4.4 Analisis Kromatografi Gas Spektrokopi Massa
Analisis kromatografi gas spektrokopi massa terhadap bahan baku tar
batubara dan minyak tengah hasil perengkahan termal maupun katalitik dilakukan
untuk mengetahui kompenen senyawa penyusun sampel sebelum dan sesudah
proses perengkahan berlangsung.
Bahan baku tar batubara dianalisis menggunakan kromatografi gas
spektrokopi massa untuk mengetahui komponen penyusunannya. Kromatogram
tar batubara dapat dilihat pada Gambar14.
Gambar 14. kromatogram tar batubara
Minyak tengah hasil perengkahan dianalisis komponen senyawa
penyusunnya menggunakan kromatografi gas spektrokopi. Kromatogram minyak
tengah hasil perengkahan termal temperatur 400°C dapat dilihat pada Gambar 15
dan kromatogram minyak tengah hasil perengkahan katalitik temperatur 400°C
dapat dilihat pada Gambar 16.
46
Gambar 15. Kromatogram minyak tengah hasil perengkahan termal
temperatur 400°C
Gambar 16. Kromatogram minyak tengah hasil perengkahan katalitik
temperatur 400°C
Dari data kromatrogram didapatkan pola fragmentasi dari masing-masing
senyawa. Terlihat puncak-puncak fragmen massa ion molekul penyusun tar
batubara dan minyak tengah. Dari Gambar 14 data kromatogram tar batubara
diperoleh data 116 puncak senyawa. Pada Gambar 15 dan 16 data kromatogram
minyak tengah hasil perengkahan termal dan katalitik temperatur 400°C diperoleh
data berturut-turut 151 dan 135 puncak senyawa.
Data spektrogram didapatkan pola fragmentasi dari masing-masing
senyawa. Berdasarkan pola fragmentasi dan puncak dasar yang khas maka
47
struktur dari masing-masing senyawa dapat diketahui. Banyaknya puncak
senyawa yang dihasilkan tar batubara dikarenakan tar batubara adalah campuran
senyawa hidrokarbon berantai panjang yang sangat kompleks terdiri dari beberapa
senyawa dengan gugus fungsi berbeda (Dou, et al., 2003).
Tabel 6. Komposisi senyawa dalam tar batubara, minyak tengah hasil perengkahan termal, dan katalitik temperatur 400°C
Kategori
Komposisi
Konsentrasi (%)
Tar Minyak
Tengah A Minyak
Tengah B Alifatik Hidrokarbon parafin 70,90 29,02 30,18 Alkena 8,59 17,36 12,42 Aromatik Benzena dan turunannya 1,39 4,49 9,48 Naftalena dan turunannya 2,92 5,46 3,26
Penantrena dan turunannya
Indene dan turunannya 0,78 3,00 2,79 Senyawa oksigenik Alkohol 0,40 0,45 4,08 Fenol 9,60 37,75 35,11 Aldehid, keton 3,60 0,69 0,31 Asam, ester Furan dan turunannya Pyran dan turunannya 0,69 Piridin dan turunannya 0,93
Senyawa sulfurik Thiophene dan turunannya
Senyawa asphaltena Lain lain 1,81 1,77 0,74
Keterangan: A: Hasil perengkahan termal temperatur 400°C, B : Hasil perengkahan katalitik temperatur 400°C
Data kemudian diolah dan dikelompokan sehingga didapatkan komposisi
senyawa tar batubara dan minyak tengah. Pengelompokan dibagi menjadi
beberapa kategori yaitu alifatik, aromatik, senyawa organik, senyawa oksigenik,
senyawa sulfurik, senyawa asphaltena, dan lain-lain seperti terlihat pada Tabel 6.
48
Komposisi utama senyawa dari tar batubara adalah parafin sebesar
70,90%. Hidrokarbon parafin adalah hidrokarbon jenuh dengan ikatan C –C dan C
–H dengan struktur rantai atom C terbuka (Mudjirahardjo, et al : 2006). Panjang
rantai hidrokarbon parafin lebih detil dapat dilihat pada Tabel 9 Lampiran 4. Pada
Tabel 9 dapat dilihat persentasi jumlah parafin sebesar 70,90% terdiri dari wujud
cair (C5-C17) 17,24% dan jumlah parafin wujud padat (C >17) 53,66%. Menurut
Mulyono (2010), alkana dengan jumlah atom C1-C4 berwujud gas, C4-C17
berwujud cair; dan alkana dengan jumlah atom C >17 berwujud padat. Besarnya
jumlah parafin yang berwujud padat menyebabkan bentuk fisik tar batubara yang
seperti pasta kental. Menurut Shreve (1956), suatu minyak bumi atau produknya
mempunyai viskositas tinggi berarti minyak itu mengandung hidrokarbon berat
(berat molekul besar).
Pada Tabel 6, kandungan alkena pada tar batubara sebesar 8,59%.
Menurut Jumina dan Noor (2011), senyawa alkena dengan rantai panjang atau
yang memiliki jumlah atom karbon lebih besar dari 15 buah dengan senyawa
berupa zat padat. Titik didih alkena meningkat sebanding dengan peningkatan
jumlah atom karbonnya. Jika dibandingkan dengan alkana yang memiliki jumlah
atom karbon yang sama, titik didih alkena lebih rendah. Pada Tabel 9 panjang
rantai karbon alkena pada tar batubara terdiri dari C15-C19 yang berwujud padat.
Kadar aromatik pada tar batubara terdiri dari benzena dan turunannya
1,39%, naftalena dan turunannya 2,92%, serta indene dan turunannya 0,78%.
Menurut Dou, et al (2003), komponen utama dari poliaromatik hidrokarbon (tar)
dari hasil produk gasifikasi batubara adalah naftalena dan benzena. Berdasarkan
hasil GCMS kandungan total senyawa aromatik pada tar batubara yaitu 5,09%.
49
Hal ini disebabkan bahan baku tar batubara dihasilkan pada proses gasifikasi
batubara PT. Sango Ceramics Indonesia pada tahun 2014. Pada suhu ruang
benzena mudah menguap dengan bau aromatik yang khas. Penyimpanan dalam
waktu yang lama menyebabkan senyawa aromatik pada bahan baku tar batubara
menguap sehingga berkurang (Connolly, et al, 2010).
Senyawa oksigenik terdiri dari alkohol 0,40%, aldehid keton 3,60% serta
disominasi oleh fenol 9,60%. Senyawa-senyawa fenol dalam minyak bumi
terdapat sebagai komponen alam bersama-sama dengan senyawa organik lainnya,
seperti senyawa sulfur dan nitrogen organik, serta senyawa-senyawa organik
heteroatom lainnya. Fenol tergolong dalam alkohol sehingga dapat teroksidasi
menjadi bentuk keton, aldehida dan asam karboksilat. Berbeda dengan alkohol
biasa, fenol bersifat asam. Keasaman fenol ini disebabkan adanya pengaruh cincin
aromatik dan adanya kemampuan fenol untuk melepaskan H+, sehingga
kepolarannya cukup tinggi (Isyuniarto, et al., 2005).
Komponen lainnya pada tar batubara sebesar 1,81% terdiri dari 4
kompenen sikloalkana dan 2 komponen mengandung nitrogen. Menurut Sasongko
(2012), senyawa-senyawa nitrogen dapat mengganggu kelancaran pemrosesan
katalitik yang jika sampai terbawa ke dalam produk, berpengaruh buruk terhadap
bau, kestabilan warna, serta sifat penuaan produk tersebut. Senyawa hidrokarbon
sikloalkana yang terdapat dalam minyak bumi adalah siklopentana dan
sikloheksana yang terdapat dalam fraksi sikloalkana dan fraksi minyak bumi
dengan titik didih lebih tinggi.
Berdasarkan Tabel 6 perengkahan menyebabkan kadar hidrokarbon
parafin mengalami penurunan dan hidrokarbon alkena mengalami kenaikan.
50
Hidrokarbon parafin turun dari 70,90% untuk tar batubara menjadi 29,02% untuk
minyak tengah A dan 30,18% untuk minyak tengah B. Alkena naik dari 8,59%
untuk tar batubara menjadi 17,36% untuk minyak tengah A dan 12,42% untuk
minyak tengah B. Perengkahan menyebabkan hidrokarbon berantai panjang pada
tar batubara menjadi hidrokarbon berantai pendek (Masfuri, 2015).
Pada perengkahan termal seperti yang terlihat pada Tabel 10 Lampiran 4,
komposisi hidrokarbon parafin menjadi didominasi hidrokarbon parafin wujud
cair 25,27% sisanya wujud padat 3,75%. Menurut Masfuri (2015), perengkahan
termal dari molekul parafin umumnya akan menghasilkan rantai dengan ukuran
molekul yang lebih rendah yang umumnya masuk dalam golongan parafin dan
olefin. Terjadi reaksi pemutusan ikatan C-C, dehidrogenasi, isomerisasi, dan
polimerisasi.
Perengkahan katalitik seperti yang terlihat pada Tabel 11 Lampiran 4,
komposisi hidrokarbon parafin keseluruhan menjadi hidrokarbon parafin wujud
cair. Perengkahan katalitik terjadi melalui pembentukan karbokation dari mokekul
yang berlanjut pada penyerangan molekul yang lain. Pembentukan karbokation
baru dan pemutusan ikatan C-C dari molekul didasarkan pada kestabilan
hiperkonjugasi yang mungkin dalam molekul. Karbokation yang terbentuk
bersifat sangat reaktif dan dapat menyerang parafin atau naften menghasilkan
karbokation baru (msfuri, 2015).
RCH2-CH=CH2 + (CH3)3CH (CH3)3C + RCH2-CH2-CH
Pada Tabel 6 perengkahan menyebabkan kadar hidrokarbon kategori
aromatik meningkat walau tidak signifikan. Benzena naik dari 1,39% untuk tar
batubara menjadi 4,49% untuk minyak tengah A dan 9,48% untuk minyak tengah
51
B. Naftalena dari 2,92% untuk tar batubara menjadi 5,46% untuk minyak tengah
A dan 3,26% untuk minyak tengah B. Indene naik dari 0,78% untuk tar batubara
menjadi 3,00% untuk minyak tengah A dan 2,79% untuk minyak tengah B.
Meningkatnya kadar aromatik pada perengkahan termal dikarenakan
terjadinya mekanisme reaksi dehidrogenasi, reaksi ini dapat membentuk cincin
aromatik (Masfuri, 2015). Pada perengkahan katalitik terjadi dehidroisomerasi
naftena dan dehidrosiklisasi parafin sehingga terbentuk senyawa aromatik.
Dehidroisomerasi naftena yaitu isomerisasi ion karbonium alkil-sikloamil menjadi
ion-alkil sikloheksil yang akan menjadi produk aromatik setelah pelepasan proton
dan dehidrogenasi. Dehidrosiklisasi parafin yaitu siklisasi ion karbonium alkil
akan menghasilkan ion alkil-sikloheksil yang kemudian menjadi produk aromatik
setelah pelepasan proton dan dehidrogenasi. Mekanisme dehidrosiklisasi dapat
dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Dehidrosiklisasi parafin (Nasution, et al., 2011)
Pada Tabel 6 perengkahan menyebabkan kadar alkohol dan fenol
meningkat, kadar aldehid-keton menurun, serta terbentuknya pyran dan piridin.
Senyawa fenol terbentuk cukup tinggi yaitu kadar fenol dari 9,60% untuk tar
batubara menjadi 37,75% untuk minyak tengah A dan 35,11% untuk minyak
tengah B. Terbentuknya fenol terjadi karena adanya proses lanjutan dari
dehidrosiklisasi senyawa parafin menjadi senyawa aromatik. Kemudian senyawa
aromatik yang terbentuk mengalami hidroksilasi menjadi senyawa fenol. H2O2
52
dan katalis hidroksilasi merupakan komponen utama transformasi benzena
menjadi fenol. H2O2 berperan sebagai oksidator untuk proses hidroksilasi. Selain
H2O2, senyawa halogen dan oksigen yang terdapat pada tar juga bisa berperan
sebagai oksidator (Xu, et al., 2017).
Alkohol naik dari 0,40% untuk tar batubara menjadi 0,45% untuk minyak
tengah A dan 4,08% untuk minyak tengah B. Aldehid-keton turun dari 3,60%
untuk tar batubara menjadi 0,69% untuk minyak tengah A dan 0,31% untuk
minyak tengah B. Pada proses perengkahan melibatkan banyak komponen
senyawa yang terkandung maka reaksi yang terjadipun akan semakin kompleks.
Reaksi yang terjadi antara aldehid keton dan alkohol diantaranya adalah reaksi
adisi alkohol terhadap aldehid keton serta reaksi Cannizzaro. Pada reaksi adisi
aldehid keton, aldehida dan keton bereaksi reversibel dengan alkohol dengan
adanya katalis asam menghasilkan asetal. Adisi alkohol yang mula-mula pada
gugus karbonil akan menghasilkan suatu hidroksi eter yang disebut hemiasetal.
Reaksi adisi alkohol dapat dilihat pada Gambar 18 (Ritmaleni, 2011).
Gambar 18. Adisi alkohol (Nasution, et al., 2011)
Reaksi Cannizzaro terjadi melalui adisi nukleofilik dari ion hidroksida
aldehida menghasilkan intermediet tetrahedral yang kemudian akan membuang
ion hidrida. Satu ekivalen aldehida yang kedua akan menerima ion hidrida
tersebut. Hasil bersihnya adalah satu molekul aldehida akan mengalami substitusi
asil, yaitu menangkap hidroksida dan mengeluarkan hidrida, teroksidasi menjadi
53
asam karboksilat; sedang molekul aldehida mengikat hidrida dan dengan
demikian tereduksi menjadi alkohol. Reaksi cannizaro dapat dilihat pada Gambar
19(Ritmaleni, 2011).
Gambar 19. Mekanisme reaksi cannizzaro (Nasution, et al., 2011)
54
BAB V
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Tar batubara memiliki karakteristik dengan kadar sulfur 0,67%, titik tuang
42°C, nilai kalor 9999 kal/gram, serta hasil analisis Gas Kromatografi
Spektrokopi Massa yang didominasi oleh senyawa hidrokarbon parafin
sebesar 70,90%.
2. Kondisi optimum perengkahan tar batubara adalah perengkahan katalitik
pada temperatur 400°C.
3. Perengkahan katalitik pada temperatur 400°C menghasilkan produk
minyak tengah yang memiliki karakteristik bahan bakar dengan kadar
sulfur yaitu sebesar 0,29%, nilai viskositas 2,90 cSt, nilai titik tuang
-33°C, nilai titik nyala 73°C, nilai kalor 9173 kal/gram, angka setana 61,
serta hasil analisis Gas Kromatografi Spektrokopi Massa yang didominasi
oleh senyawa phenol sebesar 35,11%.
5.2 Saran
Proses pengolahan lebih lanjut terhadap minyak tengah perlu dilakukan
proses desulfurisasi untuk mengurangi sulfur sehingga memenuhi standar kualitas
ESDM (2016). Selain itu minyak tengah perlu dicampur dengan zat aditif
sehingga dapat meningkatkan dan mempertahankan kualitas bahan bakar.
55
DAFTAR PUSTAKA
Aleme, Helga. G., J.S. Paulo., dan Barbeira. 2012. Determination of flash point and cetane index in diesel using distillation curvesand multivariate calibration. Fuel 102. 129-134
Anggriawan, Verdi. 2011. Analisis Uji Fisik Solar dan MFO dalam Produk Petroleum (Minyak Bumi). Laporan Praktik Kerja Industri. PT.SUCOFINDO.Cibitung
Amiruddin dan Trisunaryanti, T. 2002. Preparasi dan Karakterisasi Katalis Logam Ni, Mo, Cr, dan Modifikasinya Menggunakan Pengemban γ -Alumina untuk Hidrorengkah Fraksi Aspalten dari Aspal Buton. [Thesis] Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta
Ardhyarini, N., Setiawan, D.I., dan Nardey, S. 2015. Pengaruh Tekanan Reaktor pada Penghidrorengkahan Tar Batubara. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. 49(3): 155-163
ASTM D 97-05a. 2005. Standard Test Method for Pour Point of Petroleum Products. American Society of Testing and Materials, West Conshohocken, PA
ASTM D 440-02. 2005. Standard Test Method for Heat of Combustion of Liquid Hydrocarbon Fuels by Bomb Calorimeter. American Society of Testing and Materials, West Conshohocken, PA
ASTM D 445. 2005. Standard Test Method for Kinematic Viscosity of Transparent and Opaque Liquids (and the Calculation of Dynamic Viscosity. American Society of Testing and Materials, West Conshohocken, PA
ASTM D1160-03. 2014. Test Method for Distillation of Petroleum Products at Reduced Pressure. Annual Book of ASTM Standard, Section 05.05. American Society of Testing and Materials,West Conshohocken, PA
ASTM D1552. 2014. Standard Test Method for Sulfur in Petroleum Products. Annual Book of ASTM Standard
ASTM D 6450-05. 2005. Standard Test Method for Flash Point by Continuously Closed Cup (CCCFP) Tester. American Society of Testing and Materials, West Conshohocken, PA
Benito, A.M. & M.T. Martinez. 1996. Catalytic Hidrocracking of an Asphaltenic Coal Residue. Energy and Fuel. 10: 1235- 1240
Billah, Mutasim. 2007. Peningkatan Nilai Kalor Batubara Peringkat Rendah Dengan Menggunakan Minyak Tanah Dan Minyak Residu. Surabaya : UPN Press.
56
Buchori, L dan Widayat. 2009. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Goreng Bekas dengan Proses Catalytic Cracking. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia 2009. Jurusan Kimia Fakultas Teknik UNDIP. Semarang.
Caltex. 1998. The potential of coal bed methane in Indonesia. Jakarta: PT Caltex Pacific Indonesia, Jakarta
Clark, J. 2015. “Cracking Alkanes”. 12 Januari 2017. http:// www.chemguide.co.uk/crackingalkanes.html
Connolly, T.J., Considine, J.L., Ding, Z., Forsatz, B., Jennings, M.N., MacEwan, M.F., McCoy, K.M., Place, D.W., Sharma, A., dan Sutherland, K. 2010. Efficient Synthesis of 8-Oxa-3-aza-bicyclo[3.2.1]octane Hydrochloride. American Chemical Society. pp 459–465
Eigenberger, G. 1992. Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry, Vol B4, pp 200-201
ESDM. 2016. Standar dan Mutu Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar. Jakarta
Fajar, B dan Sudargana. 2007. Pengukuran Viskositas dan Nilai Kalor Bio-Diesel Minyak Bawang dengan Variasi Temperatur dan Kadar Minyak Bawang. Rotasi. Vol. 9, No. 3
Farr, J. R dan Jawad, M. H. 2001. Guidebook for Design of ASME Section VIII Pressure Vessel Second Edition. New York :The American Society of Mechanical Engineer
Fowlis, I. A. 1998. Gas Chromatography Analytical Chemistry by Open Learning. John Wiley & Sons Ltd: Chichester.
Hardiyatul, M dan Rani, E. 2010. Analisis Karakteristik Pengaruh Suhu dan Kontaminan terhadap Viskositas Oli menggunakan Rotary Viscometer. Jurnal Neutrno. Vol 3, No.1
Hardjono. 2001. Teknologi Minyak Bumi. Jogjakarta : UGM
Heinrich G, Kasztelaan S. 2001. Hydrotreating. Petroleum Refining. Conversion Processes Editions Technip. Vol 3: 533–573
Hendayana, S., Kodarohman, Sumarna, dan Supriana. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Semarang : IKIP Semarang press.
Hidayat, H dan Silalahi, L.S. 2007. Analisis Keunggulan Limonit Soroako Sebagai Katalis Pencairan Batubara (Direct Liquefaction). Jurnal Energi dan Lingkungan, Vol. 3, No. 1, 25 – 29
57
Illiuta, I., Ring, Z., dan Larachi, F. 2006. Simulating Simultaneous Fines Deposition Under Catalytic Hydrodesulfurization in Hydrotreating Trickle Beds:Does Bed Plugging Affect HDS Performance.Chemical Engineering Science. 61 : 1321-133
Istadi. 2011. Teknologi Katalis untuk Konversi energi, Fundamental dan Aplikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu
Iswara, G. 2006. Sintetis Bensin Bio dari Minyak Kelapa Sawit melalui Reaksi Perengkahan Katalitik pada Fasa Cair menggunakan Katalis H-Zeolit. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia
Isyuniarto, Usada, W., Purwadi, A., dan Suryadi. 2005. Degradasi Fenol dalam Limbah Pengolahan Minyak Bumi dan Ozon. Prosiding PPI. Jogjakarta: Batan
Javadli, Rashad dan Klerk, Arno de. 2012. Desulfurization of heavy oil. Petrochem Res. Vol 1: 3-19
Jiang, J., Wang, Q., Wang, Y., Tong, W., dan Xiao, B. 2007. GC/MS Analysis of Coal Tar Composition Produced From Coal Pyrolysis, Bull. Chem. Soc. Ethiop. 21(2): 229-240.
Jumina dan Noor, Robert. 2011. “Bahan ajar kimia organik UGM : Alkena dan Alkuna”. 24 Oktober 2017. http://kimiaorganik.pbworks.com
Knothe, G., Gerpen, J. V., dan Krahl, J. 2005. The Biodiesel Handbook. USA: AOCS Press.
Kaltim Metanol Industri [KMI]. 1997. Final Dokumen 3Vessel engineering. Lurgi OI Gas Chemie GmbH. Bontang. 21
Kan, T., Wang H., He H., Li C., Zhang S., 2011. Experimental Study on Two Stage Catalytic Hydroprecessing of Middle-temperature Coal Tar to Clean Liquid Fuels. Fuel. Vol 90: 3404-3409
Kelompok kerja teknis. 2009. Pengetahuan Produk Bahan Bakar Minyak. PT. Guna Patra. Cepu.
Kholiq, I. 2015. Pemanfaatan Energi Alternatif sebagai Energi Terbarukan untuk Mendukung Subtitusi Bbm. Jurnal IPTEK. 19(2)
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia, Jakarta
Kusy J., Andel L., Safarova M., Vales J., Ciahitny K., (2012). Hydrogenation Process of Tar Obtained from the Pyrolisis of Brown Coal. Fuel. 101(114): 388-389
58
Lee, Luqman. 2017. Modul Kimia Kelas 10. Semarang: SMA Sedes Sapientiae Bedono
Li, C dan Suzuki, K. 2010. Resources, Properties and Utilization of Tar Resourches. Conservation and Recycling. Vol. 4: 905-915
Li D., Li, Z., Li, W., Liu, Q., Feng, Z., dan Fan, Z. 2013. Hydrotreating of Low Temperature Coal Tar to Produce Clean Liquid Fuels. Journal of Analytical and Applied Pyrolisis, Vol. 100: 245-252
Masfuri, Imron. 2015. Laporan Akhir Tahun Tar Upgrading. Jakarta : BPPT
Milne dan Evans. 1998. Biomass Gasifier “Tars”:Their Nature, Formation,and Conversion. Colorado: National Renewable Energy Laboratory
Mudjirahardjo, M. 2001. Produk Migas III. Cepu : Akademi Minyak dan Gas Bumi.
Mudjirahardjo, M. 2006. Pengetahuan Produk Bahan Bakar Minyak. Cepu : Akademi Minyak dan Gas Bumi
Mulyono. 2010. Konsep Dasar Kimia untuk PGSD. Bandung: UPI Press
Nasikin, M dan Makhdiyanti, A. 2003. Sintetis Metil Ester sebagai Aditif Bahan Bakar Solar dari Minyak Sawit. Jurnal Teknologi. No. 1: 45-50
Nasution, A.S., Sidjabat, O., Haris, A., dan Morina. 2011. Proses Reformasi Katalitik. Jurnal Forum Teknologi. 1(2)
Nugraha M.F., Wahyudi A., dan Gunardi I. 2013. Pembuatan Fuel dari Liquid Hasil Pirolisis Plastik Polipropilene melalui Proses Reforming dengan Katalis NiO/T-Al2O3. Jurnal Teknik Pomits. 2(2)
Panda, A. K. 2011. Studies on Process Optimization for Production of Liquid Fuels from Waste Plastics. [Thesis]. Chemical Engineering Department National. Institute of Technology Rourkela
Peng, M. M., Aziz, A., Palanichamy, M., dan Lee, S. G. 2013. Selective cracking of Durene to Para Dimethyl Benzene over ZSM-5 Zeolite. International journal of Control and Automotion. 6(5): 181-190
Pontoh, J dan Buyung, N. 2011. Analisa Asam Lemak dalam Minyak Kelapa Murni (VCO) dengan Dua Peralatan Kromatografi Gas. Jurnal Ilmiah Sains. 11(2)
Pramesti, A., Fitriyanto, D., dan Roesyadi, A. 2014. Pembuatan Biofuel dari Minyak Kelapa Sawit melalui Proses Hydrocracking dengan Katalis Ni-Mg/γ-Al2O3. Jurnal Teknik Pomits. 3(2): 2301-9271
Pratiwi, N dan Dwi, K. 2016. Kajian Potensi CoMo/USY sebagai Katalis Desulfurisasi. Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia VIII. FKIP UNS
parafin aromatik
59
Prihandana, Rama., Hendroko, Roy., dan Nuramin, Makmuri. 2006. Menghasilkan Biodiesel Murah : Mengatasi Polusi dan Kelangkaan BBM. Jakarta: Agromedia Pustaka
Ritmaleni. 2011. “Kimia Organik: Aldehid dan Keton”. 29 November 2017. http://elisa.ugm.ac.id/community/show/kimiaorganikiritmaleni/
Robards, K., Haddad, P.R., and Jackson, P. 1994. Principles and practice of modern chromatographic methods. Australia : Academic Press
Rubailo, Anatoly dan Andrey V. O. 2008. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons as Priority Pollutants. Journal of Siberian Federal University. Chemistry 4 (1): 344-354
Santoso, H., Kristianto, I., dan Setyadi, A. 2013. Pembuatan Biodiesel menggunakan Katalis Basa Heterogen Berbahan Dasar Kulit Telur. [Makalah]. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Prahayangan. Bandung
Sasongko, A. 2012. Komposisi Minyak Bumi. Bogor: IPB
Setiadji, B., Tahir, I., dan Retno, D. 2005. Pemisahan Komponen Tar Batubara dengan Kolom Fraksinasi Menggunakan Fasa Diam Zeolit-Mn. Berkala MIPA
Shun, Y., Zhijun, Z., Jianping, S., dan Qingwen, W. 2013. Recent Progress of Catalytic Pyrolysis of Biomass by ZSM-5. Chinese Journal of Catalyst. 34: 641-650, Elsevier
Shreve, R.N. 1956. The chemical process industries. New York, Toronto, London: McGraw Hill Book Company, INC
Silalahi, L.H. 2006. Evaluasi Kinerja Katalis Limonit Soroako Proses Pencairan Batubara Banko Selatan. Jurnal Energi dan Lingkungan. Vol. 2 (1): 11 – 15
Silviani dan Purbasari, A. 2006. Studi Awal Deterpenisasi Minyak Nilam dengan Teknologi Redistilasi Vakum. Jurnal Reaktor. Vol. 10(2): 71-74.
Sinarep. 2011. Perancangan Reaktorgasifikasi Batubara pada Pengeringan Daun Tembakau Virginia di Ntb. Jurnal Keilmuan dan Terapan Teknik Mesin. 1(2)
Sitorus, M. 2009. Spektroskopi (Elusidasi Struktur Molekul Organik). Yogyakarta: Graha Ilmu
Suprapto, S. 2015. Karakterisitik dan Pemanfaatan Batubara. Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM.
Surono, Budi.U. 2013. Berbagai Metode Konfersi SampahPlastik Menjadi Bahan Bakar Minyak. Jurnal Teknik Vol. 3(1)
60
Suyitno, Nizam, Muhammad., dan Dharmanto. 2012. Teknologi Biogas: Pembuatan, Operasional dan Pemanfaatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Syamsuddin, Y., Hameed, B. H., Zakaria, R., dan Mohamed, A. R. 2005. Thermal and Ctalytic Cracking of Petroleum Residu Oil. Engineering Journal. Vol. 18: 1-8
Syifa, Putri. 2016. "Jenis-Jenis Bahan Bakar". 23 November 2017. https://sumbermaju.weebly.com/home/jenis-jenis-bahan-bakar
Tadeus, A., Silalahi, I., Sayekti, E., dan Sianipar, A. 2013. Karakterisasi Katalis Zeolit-Ni Regenerasi dan Tanpa Regenerasi dalam Reaksi Perengkahan Katalitik.Jkk. 2: 24-29
Tristantini, D dan Kristanda, R. 2015. Suhu dan Rasio Kukus Optimum pada Proses Gasifikasi Kukus Berkatalis K2CO3 terhadap Arang Batubara Lignit Hasil Pirolisis dengan Laju Pemanasan Terkontrol. Jurnal Integrasi Proses. Vol. 5(3): 142-149
Triyantoro, A., Mustofa, A., dan Riswan. 2013. Pengaruh Agen Gasifikasi Batubara Terhadap Produk Gas Yang Dihasilkanoleh Batubara Peringkat Rendah. Info Teknik, 14(2): 201-210
Ulfah, M dan Subagjo. 2012. Pengaruh Perbedaan Sifat Penyangga Alumina Terhadap Sifat Katalis Hydrotreating Berbasis Nikel-Molibdenum. 14(2): 151-157
Vigouroux, R.Z. 2001. Pirolysis of Biomass. Tesis. Stockholm: Royal Institute of Tehnology,
Wang, P., Jin, L., Liu, J., Zhu, S., dan Hu, H. 2010. Analysis of coal tar derived from pyrolysis at different atmospheres. Fuel .104: 14–21.
Wu, S., Lv, G., dan Lou, R., 2012. Applications of Chromatography Hyphenated Techniques in the Field of Lignin Pyrolysis. China: South China University of Technology
Xu, J., Chen, Y., Hong, Y., Zheng, H., Ma, D., Xue, B., dan Xin, Y. 2017. Direct Catalytic Hydroxylation of Benzene to Phenol Catalyzed by Vanadia Supported on Exfoliated Graphitic Carbon Nitride. Applied Catalysts A, General.549 :31-39
Zeigler, C. D. Dan Robbat, A. J. 2012. Comprehensive Profiling of Coal Tar and Crude Oil to Obtain Mass Spectra and Retention Indices for Alkylated PAH Shows Why Current Methods Err. Journal of Enviromental Science and Technology. Vol 46: 3935-394
Zuhdi A. 2002. Aplikasi Penggunaan Waste Methyl Ester Pada High Speed Marine Diesel Engine. Seminar Nasional Teori Aplikasi Teknologi Kelautan. FTK ITS
61
Lampiran 1
Konseptual Proses Unit Alat Upgrading Tar
Gambar 20. Konseptual proses unit alat upgrading tar
62
Lampiran 2
Karakteristik Bahan Bakar-Nilai Kalor
Gambar 21. Data analisis nilai kalor
63
Lampiran 3
Perhitungan Nilai Rendemen Minyak Hasil Distilasi Vakum
Tabel 7. Data berat tar dan produk minyak tengah hasil distilasi vakum
Sampel Berat (gram) Nilai Rendemen
(%) Tar 500,00 Perengkahan Termal Minyak Tengah (300°C) 325,50 65,10 Minyak Tengah (400°C) 369,00 73,80 Minyak Tengah (500°C) 373,00 74,60 Perengkahan Katalitik Minyak Tengah (300°C) 363,50 72,70 Minyak Tengah (400°C) 384,50 76,90 Minyak Tengah (500°C) 384,00 76,80
100%
Perengkahan Termal
NilaiRendemenMinyakTengah 300°C325,5g
500gx100% 65,10%
NilaiRendemenMinyakTengah 400°C369g
500gx100% 73,80%
NilaiRendemenMinyakTengah 500°C373g
500gx100% 74,60%
Perengkahan Katalitik
NilaiRendemenMinyakTengah 300°C363,5g
500gx100% 72,70%
NilaiRendemenMinyakTengah 400°C384,5g
500gx100% 76,90%
NilaiRendemenMinyakTengah 500°C384
500 100% 76,80%
64
Tabel 8. Data berat tar dan berat rata-rata produk minyak hasil distilasi vakum
Sampel Berat (gram) Nilai Rendemen
(%)
Tar 500,00 Perengkahan Termal
Minyak Ringan 10,50 2,10 Minyak Tengah 355,83 71,17 Minyak Berat 59,50 11,90 Bahan sisa 74,17 14,83 Perengkahan Katalitik
Minyak Ringan 19,67 3,93 Minyak Tengah 377,33 75,47 Minyak Berat 33,00 6,60 Bahan sisa 70,00 14,00
Jumlah 0,69 Piridin dan turunannya Cetylpyridinium Chloride C21H40ClNO 0,93 Jumlah 0,93 Dan lain-lain Hexadecane, 1-chloro- C16H33Cl 0,40 Cycloheptane, methyl- C8H16 0,34 0,74 Total 100,00
77
Gambar 26. Hasil analisis kromatografi gas spektrokopi massa dari minyak tengah hasil perengkahan katalitik tar batubara temperatur 400°C
78
Gambar 27. Hasil identifikasi spektrokopi massa dari minyak tengah hasil perengkahan katalitik tar batubara temperatur 400°C
79
Lampiran 5
Standar dan Mutu Spesifikasi Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar 48
Gambar 28. Standar dan mutu spesifikasi bahan bakar minyak jenis minyak solar 48