i PENGUATAN DAYA SAING DAERAH TRANSMIGRASI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS KARET MELALUI PENGUATAN KELEMBAGAAN. (Studi Kasus Kawasan Transmigrasi Rambutan 1 Sumatera Selatan Dengan Gapoktan Bina Makmur) ECONOMICS EVENTS (7 th ECCENTS 2014) Disusun oleh : Khoriyah (F011056/Angkatan 2012) Norma sagita pratiwi (F0112067/ Angkatan 2012) UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS) SURAKARTA 2014
65
Embed
Upaya Pengembangan Potensi Daerah dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Daerah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
PENGUATAN DAYA SAING DAERAH TRANSMIGRASI UNTUK
MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS KARET MELALUI
PENGUATAN KELEMBAGAAN.
(Studi Kasus Kawasan Transmigrasi Rambutan 1 Sumatera Selatan Dengan
Gapoktan Bina Makmur)
ECONOMICS EVENTS (7th
ECCENTS 2014)
Disusun oleh :
Khoriyah (F011056/Angkatan 2012)
Norma sagita pratiwi (F0112067/ Angkatan 2012)
UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)
SURAKARTA
2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul : Penguatan Daya Saing Daerah Transmigrasi Untuk Mendukung
Pengembangan Komoditas Karet Melalui Penguatan Kelembagaan.
2. Penulis 1
Nama lengkap : Khoriyah
NIM : F0112056
Jurusan/angkatan : S1 Ekonomi Pembangunan 2012
Asal universitas : Universitas Sebelas Maret (UNS)
3. Penulis 2
Nama lengkap : Norma Sagita Pratiwi
NIM : F0112067
Jurusan/angkatan : S1 Ekonomi Pembangunan 2012
Asal universitas : Universitas Sebelas Maret (UNS)
4. Dosen pembimbing
Nama lengkap : Dr. Siti Aisyah Tri Rahayu. S.E, M.Si.
NIP : 196809271997022001
No. Hp : 08976822340
Surakarta, 28 Mei 2014
Ketua kelompok
Khoriyah
Mengetahui,
Pembantu Dekan III
Fakultas Ekonomi & Bisnis UNS
Lukman Hakim, SE, M.Si, Ph.D
NIP. 19680518 200312 1 002
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas terselesainya
karya tulis yang berjudul “Penguatan Daya Saing Daerah Transmigrasi Untuk
Mendukung Pengembangan Komoditas Karet Melalui Penguatan
Kelembagaan.
Penulisan karya tulis ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih ide
terhadap pihak-pihak yang terkait. sangat disadari masih terdapat kekurangan
karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan
pada skripsi ini sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis berterimakasih kepada sahabat, teman-teman, keluarga,
pembimbing yang selalu membantu dan memberikan motivasi sehingga karya
ini bisa terselesaikan. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Surakarta, 28 Mei 2014
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
SURAT PERNYATAAN................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii
RINGKASAN .................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 3
C. Tujuan .................................................................................................. 4
D. Manfaat ................................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengembangan Daerah Transmigrasi ................................................... 5
B. Daya saing ............................................................................................ 8
C. Perkebunan ........................................................................................... 10
D. Karet ..................................................................................................... 12
E. Pemberdayaan petani ........................................................................... 13
F. Konsep kelembagaan ........................................................................... 20
G. Penguatan kelembagaan ....................................................................... 22
H. GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani).......................................... 23
I. Kerangka pemikiran ............................................................................. 25
J. Penelitian terdahulu .............................................................................. 26
BAB III METODE PENULISAN
A. Desain Penulisan .................................................................................. 29
B. Sumber Penulisan ................................................................................. 29
C. Tahapan Penulisan ............................................................................... 29
v
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Aksesibilitas dan Pencapaian Lokasi ................................................... 31
B. Kondisi Geografis ................................................................................ 32
C. Kependudukan...................................................................................... 33
D. Ekonomi ............................................................................................... 34
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengembangan Kualitas Karet Di Kimtrans 1 ..................................... 36
B. Penguatan Kelembagaan Gapoktan di Kimtrans Rambutan 1 ............. 40
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .......................................................................................... 52
B. Saran ..................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA
BIODATA PENULIS
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 . Aksesibilitas ke lokasi UPT Rambutan ............................................. 31
Tabel 2. Kondisi Kemiringan Lahan di KTM Rambutan- Parit....................... 32
Tabel 3 . Luas Penggunaan Lahan Wilayah KTM Rambutan-Parit ................. 33
Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan Wilayah KTM Rambutan-Parit.................. 33
Tabel 5. Jumlah dan nama UPT pada KTM Rambutan Parit ........................... 33
Tabel 6. Jumlah dan nama Desa pada KTM Rambutan Parit .......................... 34
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. kerangka pemikiran konseptual ...................................................... 26
Gambar 2. pencapaian lokasi rambutan parit
(kementerian tenaga kerja dan transmigrasi R.I) ............................. 31
Gambar 3. kerangka, strategi dan bentuk pemanfaatan
(Badan Litbang Informasi Kemnakertrans ) ................................... 46
Gambar 4. rantai pemasaran bokar tradisional ................................................. 47
Gambar 5. Rantai pemasaran bokar yang terorganisasi ................................... 48
viii
PENGUATAN DAYA SAING DAERAH TRANSMIGRASI UNTUK
MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS KARET MELALUI
PENGUATAN KELEMBAGAAN.
(Studi Kasus Kawasan Transmigrasi Rambutan 1 Sumatera Selatan Dengan
Gapoktan Bina Makmur)
Khoriyah, Norma Sagita Pratiwi
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
ABSTRAK
Karet merupakan komoditas ekspor unggulan diIndonesi, dengan adanya program
percepatan pembangunan ekonomi indonesia yang menjadikan sumatera sebagai
koridor ekonomi penghasil karet. Sumatera selatan sebagai wilayah terluas dan
penghasil karet cukup besar serta infrastruktur yang memadai untuk proses hilirisasi
karet. Dalam rangka peningkatan produksi karet disumatera selatan,pemanfaatan
daerah transmigrasi sebagai wilyahah penghasil karet yang awalnya hanya berorientasi
pada pangan berganti ke produksi. Kendala yang dihadapi berupa produksi bahan
olahan karet yang berkualitas rendah. Hal ini juga terjadi pada kawasan transmigrasi
rambutan satu yang ada di KTM rambutan parit kabupaten ogan ilir kecamatan
indralaya. Metode yang digunakan berupa teknik analisis diskriptif dengan data
sekunder sebagai referensinya baik dari jurnal,Bps, Departemen Perindustrian,
maupun pihak lain yang berkaitan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kimtrans rambutan 1 masih
menghasilkan bahan olahan karet yang berkualitas rendah dikarenakan kelembagaan
atau gapoktan bina makmur yang belum mampu menjalankan fungsi kelembagaannya
dengan optimal. Faktor yang mempengaruhi kualitas bahan olahan karet berupa masih
digunakannya tawas dan bahan pembeku yang tidak dianjurkan oleh pemerintah serta
keterbatatsan teknologi pengolahan karet. Sebagai langkah awal upaya untuk
meningkatkan kualitas bahan olahan karet berupa penguatan gapoktan bina makmur
sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan petani karet dan meningkatnya kualitas
bahan olahan karet yang berdaya saing baik. Ketika kualitas dari bahan baku baik
maka akan berefek multiplier terhadap meningkatnya kualitas barang-barang olahan
karet yang bisa menjadi nilai tambah dan menjadi komoditas unggulan bagi daerah
tersebut.
Kata kunci: daerah transmigrasi, komoditas karet, kelembagaan, daya saing.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam negara yang sedang
tumbuh (emerging country), masalah yang dihadapi bagi negara yang sedang
tumbuh adalah sebagian besar perekonomian masih ditopang bahan mentah
dari komoditas perkebunan dan kehutanan, sementara industri olahan belum
mampu dioptimalkan. Meskipun saat ini makro ekonomi Indonesia cukup
kuat seperti difisit neraca fiskal kurang dari 2%, rasio utang di bawah 30%,
dan transaksi berjalan 2,8% dari total PDB di tahun 2013, namun industri
nasional belum berkembang sebagaimana mestinya. Hal ini bisa dilihat dari
kontribusi paling besar terhadap PDB adakah sektor tersier yang kurang
menyerap tenaga kerja. Sementara sektor yang penyerapann tenaga kerja
tinggi seperti pertanian dan industri olahan semakin terpuruk. Kinerja ekspor
melemah dibandingkan impor sehingga mengakibatkan difisit neraca berjalan,
dan rendahnya kualitas manusia yang menimbulkan permasalahan serius
antara lain produktivitas rendah dan kurangnya inovasi dalam perekonomian.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia akan mengalami
jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap). Suatu situasi
dimana perekonomian akan stagnan dengan pendapatan saat ini, tanpa mampu
bergerak menjadi negara dengan pendapatan tinggi, tetap bergantung dengan
sumber daya alam, dan tidak mampu menjadi negara maju dengan basis
industri yang kuat dan modern.Dalam majalah the economist terbitan februari
2014 dengan judul “The parable of Argentina – what other countries can
learn from a century of decline” digambarkan bahwa negara Argrntina pernah
mengalami kekuatan ekonomi yang kuat pada tahun 1914 mengalahkan
Amerika Serikat dengan pendapatan perkapita melebihi Jerman, Perancis dan
Italia serta menjadi negarasalah satu dari sepuluh negara terkaya di dunia
setelah Australia, Inggris dan Amerika Serikat namun sangat bertolak
belakang bila kita bandingkan dengan keadaan perekonomian Argentina.
2
Kondisi turunya perekonomian Argentina saat ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu tidak berkembangkan industri, kebijakan perdagangan
yang cenderung tertutup, dan lemahnya institusi dalam mendorong kebijakan
jangka panjang.
Untuk dapat terhindar dari jebakan negara berpenghasilan menengah
(middle-income trap) Wakil Menteri Keuangan II, Bambang PS
Brodojonegoro mengatakan, empat tantangan internal yang harus dihadapi,
yaitu memperkuat daya tahan ekonomi domestik, memperbaiki produktivitas
dan daya saing, memperbaiki fiskal dan APBN, serta memperbaiki
kesejahteraan masyarakat dan kesenjangan. Dari sisi eksternal tantangan yang
dihadapi adalah ketidakpastian pertumbuhan ekonomi global terutama mitra
dagangan. Pemerintah juga harus menghadapi risiko gejolak arus likuiditas
global dan risiko gejolak harga komoditas global. “Kalau kita tidak bisa
melakukan perbaikan ini, kita bisa terjebak dalam middle income,”
Peningkatan daya saing daerah adalah salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk menghindari jebakan middle-income trap. Secara konsep,
daya saing menunjukkan kemampuan suatu daerah dibandingkan dengan
daerah lain dalam menetapkan strategi yang tepat untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya. Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan
Ekonomi Indonesia pemerintah memfokuskan pada peningkatan daya saing
daerah yang dibagi menjadi enam koridor utama yaitu koridor sumatera,
Jawa,Kalimantan,Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara dan koridor Papua dan
Kepulauan Maluku dengan mengoptimalkan masing-masing potensi daerah
yang ada. Penguatan daya saing daerah dengan masing-masing komuditi
unggulan diharapkan akan meningkatkan daya saing kita secara agregat
dengan negara lain.
Ditinjau dari potensi yang ada pulau Sumatera memiliki komoditas
unggulan berupa kelapa sawit dan karet. Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) memberikan arahan bahwa salah
3
satu komoditas utama yang dikembangkan pada Koridor Ekonomi Sumatera
adalah karet. Produksi karet yang dihasilkan di koridor ekonomi ini tidak
kurang dari 65% dari total produksi karet Indonesia. Dari jumlah tersebut,
Sumatera Selatan mampu memberikan sumbangan produksi 20% dari total
produksi karet Sumatera. Kawasan transmigrasi dipilih sebagai lokasi yang
dianggap tepat untuk pengembangan karet di koridor Sumatera khususnya
Sumatera Selatan karena perkebunan karet di permukiman transmigrasi
umumnya adalah perkebunan karet rakyat yang diusahakan pada permukiman
transmigrasi pola pangan dan tidak bekerjasama dengan investor sehingga
mutu karet yang dihasilkan relatif rendah. Disini peran kelembagaan tani
sangat diperlukan untuk mendampingi petani dalam menghasilkan karet
dengan kualitas unggul dan menjadi perantara dalam pemasaran karet sampai
ke tangan perusahaan pengolah karet.
Hasil karet petani di wilayah Kimtrans Rambutan 1 masih memiliki
kualitas yang rendah, peran kelembagaan seperti Gapoktan masih belum
optimal bagi kelompok tani yang berada dalam naungannya. Beberapa fungsi
Gapoktan harus terus ditingkatkan dan dikaji untuk memperbaiki kondisi
industri karet yang ada baik melalui peningkatan sumber daya manusia,
teknologi maupun penguatan peran dari gapoktan sendiri.
B. Rumusan masalah
Penguatan kelembagaan tani Gapoktan harus terus dikaji dan ditingkatkan
agar dapat berperan sebagaimana mestinya demi kesejahteraan petani karet
yang ada di wilayah Kimtrans Rambutan 1 , Sumatera Selatan. Dari latar
belakang diatas beberapa masalah yang terjadi dalam industri karet di daerah
tersebut kami rumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kualitas karet alam yang dihasilkan oleh petani karet di
wilayah Kimtrans Rambutan 1 ?
2. Apa saja permasalahan yang dihadapi Gapoktan Bina Makmur dalam
menjembatani kelompok tani dalam menjalankan usaha perkebunan
karetnya?
4
3. Bagaimana seharusnya Gapoktan Bina Makmur menjalankan perannya
untuk mensejahterakan petani karet dan mengatasi permasalahan yang
ada?
C. Tujuan penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjelaskan potensi unggulan karet
yang ada di Sumatera Selatan terutama di kawasan transmigrasi yang
dianggap potensial untuk pengembangan komoditas karet. Secara terperinci
tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk :
1. Menjelaskan kualitas karet yang dihasilkan petani di wilayah Kimtrans
Rambutan 1 di Sumatera Selatan.
2. Menjelaskan permasalahan yang dihadapi kelembagaan tani berupa
Gapoktan Bina Makmur yang ada di wilayah Kimtrans Rambutan 1 di
Sumatera Selatan.
3. Menjelaskan upaya yang harus dilakukan Gapoktan Bina Makmur dalam
menjalankan peranan dan mengatasi permasalahan yang ada dalam
kelompok tani yang dinaunginya.
D. Manfaat penulisan
Harapan kami dengan penulisan karya tulis ini akan memberikan manfaat
bagi stakeholder terkait melalui dalam dua aspek, yaitu:
1. Aspek Teoritis
Hasil penulisan ini dapat digunakan lebih lanjut sebagai bahan kajian pustaka
dan dokumentasi penulisan maupun penelitian mengenai topik sejenis.
2. Aspek Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi sarana evaluasi peran kelembagaan
tani yang ada untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas petani karet
dalam upaya mensejahterakan kehidupan petani serta memberi masukan
kepada pemerintah daerah lain dalam menerapkan upaya sejenis.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengembangan Daerah Transmigrasi
Pengertian kawasan transmigrasi secara umum adalah kawasan budidaya
intensif untuk menampung perpindahan penduduk secara menetap dalam jumlah
besar dengan susunan fungsi-fungsi sebagai tempat permukiman, pelayanan jasa
pemerintahan, sosial dan kegiatan ekonomi untuk menumbuhkan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi. Dalam pelaksanaannya, kawasan transmigrasi memiliki
pengertian: (1) satu kesatuan hamparan lahan dalam kawasan budidaya (dalam
wilayah otonom), (2) terdiri atas permukiman transmigrasi yang ada (PTA),
permukiman transmigrasi yang telah diserahkan (PTD), permukiman
transmigrasi baru (PTB), permukiman desa setempat (PDS) dan areal potensial
sebagai permukiman transmigrasi cadangan (PTC), (3) berpotensi untuk
pengembangan komoditi unggulan yang memenuhi skala ekonomi, (4)
terhubungkan dalam satu kesatuan jaringan transportasi yang dapat merangsang
tumbuhnya pusat pertumbuhan ekonomi, dan (5) tersedianya sarana dan
prasarana penunjang ekonomi, sosial dan budaya. Permukiman transmigrasi
merupakan satu kesatuan permukiman atau bagian dari satuan permukiman yang
diperuntukkan bagi tempat tinggal dan tempat usaha transmigran.
Visi pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi adalah
terwujudnya kawasan transmigrasi sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di
daerah, sesuai kebutuhan pengembangan daerah yang bersangkutan secara
berkesinambungan dan peduli lingkungan. Untuk mewujudkan visi tersebut,
maka ditetapkan misi pembangunan kawasan transmigrasi: (1) membangun
kawasan transmigrasi yang cepat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan,
(2) memberdayakan masyarakat di kawasan transmigrasi, (3) mempercepat
pembangunan ekonomi perdesaan yang berbasis masyarakat, dan (4) membantu
pengentasan kemiskinan.
Beberapa hal pokok yang menjadi konsep pengembangan kawasan
transmigrasi dalam konteks menjalankan misi pembangunan transmigrasi, yaitu:
6
(1) pengembangan akan meliputi seluruh unit permukiman dalam kawasan, baik
permukiman transmigrasi, permukiman penduduk tempatan dan areal potensial
sebagai calon permukiman, (2) mewujudkan kemudahan interaksi antar unit-unit
permukiman, dan dari unit-unit permukiman ke pusat pertumbuhan ekonomi
yang diusulkan, baik langsung maupun secara berjenjang, (3) mengembangkan
komoditi potensial/unggulan di seluruh kawasan dengan pendekatan sistem
agribisnis melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan menarik investor
(kemitraan) untuk pengembangan komoditi yang memerlukan investasi besar,
(4) mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ada melalui: pembukaan lahan
usaha II yang masih merupakan lahan tidur, pembukaan lahan tidur penduduk
desa sekitar, dan membuka areal produksi baru pada areal potensial dengan
memperhatikan prinsip clean and clear dan catur layak, (layak huni, layak
usaha, layak berkembang dan layak lingkungan) dan (5) setiap program
pemberdayaan transmigran selalu melibatkan masyarakat desa sekitar.
Kawasan kawasan transmigrasi yang telah dikembangkan di seluruh pelosok
Indonesia (luar Jawa dan Bali) sebagian kecil diantaranya sudah berkembang
dan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru tetapi sebagian besar masih
memerlukan upaya penanganan agar dapat berkembang menjadi sentrasentra
produksi dan memiliki keterkaitan kegiatan hulu-hilir yang selanjutnya dapat
menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru, sesuai dengan cita-cita
pembangunan transmigrasi seperti tercantum pada UU nomor 15 tahun 1997
tentang ketransmigrasian dan PP nomor 2 tahun 1999 tentang penyelenggaraan
transmigrasi, yang menyebutkan bahwa peningkatan dan pemerataan
pembangunan daerah diwujudkan melalui pembangunan pusat pertumbuhan
wilayah baru.
Berlakunya otonomi daerah menuntut tatacara penyelenggaraan transmigrasi
dan pendekatan yang dilakukan disesuaikan terhadap tuntutan perkembangan
keadaan saat ini. Pelaksanaannya harus memegang prinsip demokrasi,
mendorong peran serta masyarakat, mengupayakan keseimbangan dan keadilan,
serta memperhatikan potensi dan karakteristik daerah (Anharudin et al., 2003).
Pembangunan transmigrasi pada masa otonomi daerah lebih diutamakan kearah
7
pembangunan dan pengembangan wilayah (pembangunan kewilayahan) dengan
upaya membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Karena
pembangunan transmigrasi berkaitan dengan upaya pemanfaatan ruang dan
sumberdaya alam (lahan), maka transmigrasi dipandang sebagai sektor
pembangunan yang secara langsung berkaitan dengan upaya pembentukan pusat
pusat pertumbuhan ekonomi wilayah.Proses pemberdayaan kawasan, akan
terlaksana secara bertahap dengan mengintegrasikan desa setempat yang berada
di dalam kawasan yang diarahkan kepada pengembangan komoditi unggulan
yang memiliki skala ekonomi, serta mengembangkan keterkaitan dari hulu
sampai hilir.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1997
tentang ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 2
tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi, yang menyebutkan bahwa
tujuan pembangunan transmigrasi yaitu : meningkatkan kesejahteraan
transmigrasi dan masyarakat sekitarnya, meningkatkan dan pemerataan
pembangunan daerah, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Tujuan dari transmigrasi mengalami beberapa perubahan,pada masa awal
kemerdekaan hingga awal tahun 1980-an, transmigrasi dilaksanakan dengan
orientasi lebih pada penyelesaian sebagian dari persoalan demografis.
Ketimpangan persebaran penduduk antar pulau dilihat sebagai suatu persoalan
yang perlu segera diatasi. tahun 1980-an, meskipun masih didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan pokok
transmigrasi, berbagai upaya telah dilakukan untuk menggeser orientasi
pembangunan transmigrasi lebih ke arah ekonomi. Hal ini ditandai dengan
dikembangkannya transmigrasi dalam berbagai pola usaha yang didasarkan atas
potensi sumberdaya yang ada sebagai sumber mata pencaharian utama
transmigran (Wibowo, 2002).
Pada akhir tahun 1990 tujuan transmigrasi sudah diseseuaikan dengan azas
desentralisasi, Sasarannya adalah masyarakat dan kawasan transmigrasi secara
ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara
berkelanjutan melalui: peningkatan kemampuan dan produktivitas masyarakat
8
transmigran, pembangunan kemandirian, serta integrasi masyarakat di
permukiman transmigrasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1997
tentang transmigrasi.
Tahun 2004- 2009 perubahan orientasi dimana daerah transmigrasi diarahkan
untuk mendukung pembangunan daerah, melalui pembangunan pusat-pusat
produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan kebutuhan tenaga kerja
terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui
kebijakan langsung maupun tidak langsung. Kebijakan transmigrasi diarahkan
pada tiga hal pokok yaitu: (1) Penanggulangan kemiskinan yang disebabkan oleh
ketidakberdayaan penduduk untuk memperoleh tempat tinggal yang layak; (2)
Memberi peluang berusaha dan kesempatan kerja; (3) Memfasilitasi pemerintah
daerah dan masyarakat untuk melaksanakan perpindahan penduduk (Anharudin
et al., 2003).
Menurut UU Nomor 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian dan PP
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, kegiatan
penyelenggaraan transmigrasi yang menyebar diseluruh wilayah nusantara
merupakan bagian dari pembangunan daerah, utamanya dalam bidang
pertanian dalam arti luas dengan mewujudkan desa-desa pertanian dan suatu
pusat pertumbuhan wilayah baru, atau untuk mendukung percepatan
perkembangan pusat pertumbuhan yang telah ada atau yang sedang
berkembang. Masing-masing desa pertanian dilengkapi dengan prasarana dan
sarana pendukung, dan saling berhubungan dalam tatanan jaringan jalan, yang
tersimpul pada pusat pertumbuhan sehingga akan membentuk Satuan
Kawasan Pengembangan yang wilayah pertumbuhan ekonomi.
B. Daya Saing
Daya saing sering diidentikkan dengan produktivitas (tingkat output yang
dihasilkan untuk setiap unit input yang digunakan). Peningkatan produktivitas
meliputi peningkatan jumlah input fisik (modal dan tenaga kerja),
peningkatan kualitas input yang digunakan dan peningkatan teknologi. Teori
keunggulan absolut (adam smith1776) menjelaskan bahwa suatu negara dapat
9
menikmati kemakmurannya apabila dapat menjadi spesialis dalam
memproduksi barang dan menjualnya kenegara lain.sfieiensi sistem produksi
suatu negara karena tersedianya sumber yang absolut lebih murah dari negara
laindalam pendekatan selanjutnya, muncul teori keunggulan komparatif
(david richardo 1817) yang menununjukkan pergerakan bahwa utama
perdagangan internasional bukanlah keunggulan atau kelemahan
mutlak,tetapi keunggulan relatif (komparatif).artinya suatu negara masih akan
menguntungkan jika berdagang dengan negara laindibandingkan negara
tersebutkarena perdagangan secara umum akan meningkatkan manfaat bagi
pihak-pihak yang berdagang ( kuncoro,1997).
Kendati konsep keunggulan komparatif berangkat dari suatu konstruksi
hipotesis yang mengandaikan adanya kondisi abstrak,yakni kondisi suatu
keadaan yang tidak ada secara empiris,namun partisipasi suatu negara dalam
perdagangan internasional untuk suatu komoditi tertentu menunjukkan bahwa
negara itu memiliki keunggulan komparatif untuk komoditas
tersebut.meningkat atau menurunnya perdagangan komoditi tersebut
mencerminkan perubahan komparatif dari faktor-faktor yang mendasari
perdagangan barang yang dimaksud. Karema keunggulan komparatif
menentukan komposisi dan arah arus perdagangan internasional,maka
keunggulan komparatif merupakan faktor penting dalam pembagian kerja
internasional. Konsep keunggulan komparatif ini hanya menunjukkan adanya
perbedaan dalam keunggulan antar negara dan implikasi yang ditimbulkannya
dalam perdagangan dan pembagian kerja internasional.
Dalam pendekatan lain ,heckhers-ohin memusatkan kajian pada perbedaab
karunia faktor antar negara khususnya modal dan tenaga kerja yang
merupakan fokus utama dalam teori ekonomi.dua asumsi yang mendasari teori
ini adalah sebagai berikut : a) Faktor produksi dapat berlimpah secara
internasional.realisasi asumsi ini sebetulnya mendasari globalisasi yang
melanda dunia. Faktor produksi yang dapat berpindah ( modal dan tenaga
kerja) mencari lokasi adanya faktor produksi yang efisiensimurah dan dapat
10
berpindah (tenaga kerja). b) teknologi industri yang tidak seragam
antarindustri tetapi seragam antar negara.dalam kenyatannya,jelas terdapat
ketimpangan dan ketertinggalan dalam teknologi.perbedaan dalam tingkat
penguasaan teknologi jelas dapat menjadi sumber keunggulan komparatif.
Konsep daya saing yang dikemukakan Michael Porter menjelaskan bahwa
faktor-faktor sumber daya bukanlah determinan tunggal dalam menentukan
daya saing suatu perekonomian.faktor sumber daya saling terkait dengan
kondisi permintaanindustri pendukung yang terkait,struktur,strategidan iklim
persaingan yang dihadapi perusahaan.strategi dalam menghadapi persaingan
adalah begaimanan mengubah keunggulan komperatif menjadi keunggulan
kompetitif. Dalam kaitan ini strategi yang menekankan pada biaya faktor
bergeser kearah diversifikasi produksi.efisiensi yang selama ini ditekankan
pada rantai produksi berubah menjadi prinsip rantai nilai.pada negara-negara
berkembang seringkali diadvokasikan behwa teknologi hanya terkait pada
industri modern padat modal sehingga tidak relevan bagi negara
berkembang,yang pada umumnya pada karya dan berbasis sumber daya alam.
Daya saing dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun
2007 tentang Standar Proses, dinyatakan bahwa daya saing adalah
kemampuan untuk menunjukkan hasil yang lebih baik, lebih cepat atau lebih
bermakna. Kemampuan yang dimaksud adalah (1) kemampuan
memperkokoh pangsa pasarnya, (2) kemampuan menghubungkan dengan
lingkungannya, (3) kemampuan meningkatkan kinerja tanpa henti, (4)
kemampuan menegakkan posisi yang menguntungkan. Dengan menggunakan
kinerja atau melihat indikator tertentu sebagai acuan, maka dapat diukur
tingkat kuat lemahnya daya saing.
C. Perkebunan
Perkebunan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004
didefinisikan sebagai segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu
pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,
mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan
11
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Pelaksanaan perkebunan diselenggarakan antara lain dengan tujuan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara,
penyedia lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi, serta
pengoptimalan sumberdaya secara berkelanjutan. Pada pasal 4 disebutkan
bahwa usaha perkebunan memiliki fungsi secara ekonomi, ekologi, dan sosial
budaya.
Tanaman perkebunan merupakan pendukung utama sektor pertanian
dalam menghasilkan devisa. Ekspor komoditas pertanian kita yang utama
adalah hasil-hasil perkebunan. Hasil-hasil komoditas perkebunan yang selama
ini telah menjadi komoditas ekspor konvensional terdiri atas karet, kelapa
sawit, teh, kopi dan tembakau (Badan Pusat Statistik, 2009). Masih ada
beberapa jenis tanaman perkebunan yang diekspor, namun porsinya relatif
kecil. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kakao telah berkembang menjadi
salah satu komoditas penting di dalam jajaran ekspor komoditas perkebunan.
Meskipun demikian, penghasil devisa utama dari subsektor perkebunan masih
dipegang oleh komoditas karet dan kopi.
Pengusahaan tanaman perkebunan di Indonesia,sebagian besar
diselenggarakan oleh rakyat secara orang perorangan, dengan teknologi
produksi dan manajemen usaha yang tradisional. Sebagian lagi diusahakan oleh
perusahaan-perusahaan perkebunan, baik milik pemerintah maupun swasta,
dengan teknologi produksi yang modern serta manajemen usaha yang
profesional. Karena tanaman perkebunan didominasi oleh perkebunan rakyat,
maka kondisi perkebunan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan
perkebunan negara lain. Pembangunan perkebunan dilaksanakan melalui empat
pola pengembangan, yaitu (Dumairy, 1996): Pola Perusahaan Inti Rakyat
(PIR),Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP),Pola Swadaya,dan, Pola
Perusahaan Perkebunan Besar. Pola PIR dimaksudkan untuk mewujudkan
keterpaduan usaha antara perkebunan rakyat sebagai plasma dan perkebunan
besar sebagai inti, dalam suatu sistem pengelolaan yang menangani seluruh
12
rangkaian kegiatan agribisnis. Pelaksanaannya dilakukan dengan
memanfaatkan perkebunan besar untuk mengembangkan perkebunan rakyat
pada areal bukaan baru.
Peningkatan produksi perkebunan diupayakan terutama melalui
peningkatan produktivitas lahan serta perbaikan efisiensi pengolahan. Sasaran
utamanya adalah peningkatan produksi perkebunan rakyat, mengingat
produktivitas per hektar dan mutu hasilnya masih rendah, padahal sebagian
besar hasil perkebunan berasal dari perkebunan rakyat. Untuk menunjang
kenaikan produksi perkebunan rakyat dimaksud, dibangun unit-unit pelayanan
pengembangan (UPP). Unit-unit ini memberikan pembinaan dalam hal teknik
agronomi, membantu pembiayaan, pemasaran, dan pengembangan fasilitas
pengolahannya. Sementara itu usaha ekstensifikasi perkebunan dilaksanakan
melalui pola PIR, dimana perusahaan inti bertugas membina plasma-plasmanya
(pekebun-pekebun rakyat) dalam hal teknik agronomi, pengolahan, dan
pemasaran hasil.
D. Karet
Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan
(dikenal sebagai latex), di getah pada beberapa jenis tumbuhan tetapi dapat
juga diproduksi secara sintetis. Sumber utama barang dagang dari latex yang
digunakan untuk menciptakan karet adalah pohon karet Para, Hevea
brasiliensis (Euphorbiaceae). Pengambilan getah dilakukan dengan cara
melukai kulit pohon sehingga pohon akan memberikan respon yang
menghasilkan lateks lebih banyak (Departemen Perindustrian, 2007). Pohon
tersebut menurut Undri (2004) pertama kali ditemukan di lembah Amazone
oleh tim ekspedisi dari Perancis. Kemudian ekspedisi tersebut berhasil
menemukan pohon karet yang dapat diambil getahnya tanpa harus menebang
pohonnya, cukup dengan melukai kulit batang tanaman karet tersebut.
Penemuan tersebut menyebabkan pengembangan penggunaan lateks semakin
pesat, apalagi setelah ditemukannya proses vulkanisasi oleh Good Year tahun
1839, maka pengembangan perkebunan karet mulai berkembang secara
13
komersil. Setelah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon tersebut
berhasil dikembangkan di Asia Tenggara, dimana sekarang ini tanaman ini
banyak dikembangkan.
Tahun 1940, Indonesia dan Malaysia akhirnya menjadi produsen utama
karet dunia. Upaya pengembangan tanaman karet secara perkebunan baru
mulai pada akhir abad ke-19 (Undri, 2004). Saat ini komoditas karet menjadi
komoditas ekspor andalan bagi indonesia yang menyumbang banyak devisa
bagi pertumbuhan ekonomi. Indonesia pernah menjadi produsen ekspor karet
terbesar didunia, sebagian besar tanaman ini diusahakan oleh perkebunan
rakyat kemudian digeser oleh thailand akibat kurang produktifnya karet yang
dihasilkan.
Produksi karet alam Indonesia pada tahun 2007 sebesar 2,76 juta ton
dimana 2,44 juta ton atau 88,4% dari produksi karet alam tersebut diekspor
dengan nilai US$ 4,36 milyar, hanya 13,3% atau 355.717 ton yang digunakan
untuk kebutuhan industri dalam negeri (Association of Natural Rubber
Producing Countries, 2010). Pasar utama ekspor karet alam tertuju ke Amerika
Serikat (40%) dan Singapura (30%). Selebihnya ke Jepang dan Eropa Barat,
serta beberapa negara lain dalam porsi kecil (International Trade Statistics,
2010). Jenis yang diekspor terdiri atas lateks, karet sheets, karet crepe, dan
karet SIR (Standard Indonesia Rubber). Jenis yang paling banyak diekspor
adalah karet SIR. Selain getah karet yang berguna sebagai bahan baku berbagai
produk industri, kayu karet juga layak ekspor. Jepang, Taiwan, dan beberapa
negara Eropa mengimpor kayu karet dari Indonesia.
E. Pemberdayaan Petani
Pemberdayaan masyarakat tidak lain adalah memberikan motivasi dan
dorongan kepada masyarakat agar mampu menggali potensi dirinya dan berani
bertindak memperbaiki kualitas hidupnya, melalui cara antara lain dengan
pendidikan untuk penyadaran dan pemampuan diri mereka. Pemberdayaan
masyarakat petani adalah upaya–upaya yang dilakukan dalam rangka
meningkatkan kemampuan masyarakat agribisnis sehingga secara mandiri
mampu mengembangkan diri dan dalam melakukan usaha secara
14
berkelanjutan. Di Indonesia, perkembangan pemberdayaan petani dikenal
dengan program penyuluhan, dimulai bersamaan dengan berdirinya
Departemen Pertanian pada tahun 1905. Pada masa itu, salah satu tugas
departemen tersebut adalah menyalurkan hasil penyelidikan pertanian kepada
petani. Lalu, menjelang dan awal Pelita I, melalui program Bimbingan Massal
Intensifikasi Massal (Bimas-Inmas), penyuluhan dilakukan besarbesaran.
Walaupun demikian, praktis sejak perang kemerdekaan orientasi kegiatan
penyuluhan ditujukan untuk meningkatkan produksi bahan makanan pokok
rakyat Indonesia yaitu beras.
Puncak pengaruh langsung maupun tidak langsung pelaksanaan
penyuluhan adalah keberhasilan Indonesia mencapai swasembada pangan,
yaitu beras yang diakui secara internasional pada sidang FAO 1985 di Roma
(Pambudy dan A.K Adhy, 2001: 92-99). Namun, landasan penyuluhan yang
selama ini diketahui hanya sekedar meningkatkan produksi perlu dikaji
kembali. Selain itu, kelembagaan atau institusi (pendidikan atau pemerintahan
atau birokrasi) yang juga lebih berorientasi pada peningkatan produksi sektor
pertanian (termasuk subsektor tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan
peternakan) juga perlu ditinjau kembali. Konsep pemberdayaan masyarakat
secara mendasar berarti menempatkan masyarakat beserta institusi-institusinya
sebagai kekuatan dasar bagi pengembangan ekonomi, politik, sosial, dan
budaya.
Menghidupkan kembali berbagai pranata ekonomi masyarakat untuk
dihimpun dan diperkuat sehingga dapat berperan sebagai lokomotif bagi
kemajuan ekonomi merupakan keharusan untuk dilakukan. Ekonomi rakyat
akan terbangun bila hubungan sinergis dari berbagai pranata sosial dan
ekonomi yang ada didalam masyarakat dikembangkan kearah terbentuknya
jaringan ekonomi rakyat. Dalam rangka mencari solusi masalah ekonomi dan
politik serta budaya yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, semua pihak telah
memberikan rambu-rambu untuk tidak terjebak membuat “bungkus baru
namun isi lama”. Dari berbagai tawaran alternatif model pemberdayaan
15
masyarakat, “model ekonomi kerakyatan” secara teoritik telah berkembang
menjadi wacana baru saat ini.
Paradigma pemberdayaan ekonomi rakyat sebenarnya bukan saja berupa
tuntutan atas pembagian secara adil aset ekonomi, tetapi juga merupakan
keniscayaan ideologis dengan semangat meruntuhkan dominasi-dominasi
birokrasi dalam mengatur dan menentukan berbagai bidang kehidupan rakyat
(Adi Sasono, 1999:13-15). Untuk itu, maka pemberdayaan ekonomi rakyat
(dalam penerapan untuk petani dan nelayan kecil) berarti menuju kepada
terbentuknya kemandirian petani, yaitu berperilaku efisien, modern dan
berdaya saing tinggi. Perilaku efisien artinya berpikir dan bertindak serta
menggunakan sarana produksi secara tepat guna atau berdaya guna.
Beberapa aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam
pemberdayaan masyarakat petani antara lain :
a. Pengembangan organisasi atau kelompok masyarakat yang dikembangkan
dan berfungsi dalam mendinamisir kegiatan produktif masyarakat,
misalnya berfungsinya HKTI, HNSI dan organisasi lokal lainya.
b. Pengembangan jaringan strategis antar kelompok atau organisasi
masyarakat yang terbentuk dan berperan dalam pengembangan masyarakat
tani dan nelayan, misalnya asosiasi dari organisasi petani dan nelayan,
baik dalam skala nasional, wilayah, maupun lokal.
c. Kemampuan kelompok petani dalam mengakses sumbersumber luar yang
dapat mendukung pengembangan mereka, baik dalam bidang informasi
pasar, permodalan, serta teknologi dan manajemen, termasuk didalamnya
kemampuan lobi ekonomi. Di sinilah maka perlunya ekonomi jaringan
dipembangkan. Ekonomi jaringan adalah suatu perekonomian yang
menghimpun para pelaku ekomomi, baik dari produsen, konsumen,
service provider,equipment provider, cargo, dan sebagainya di dalam
jaringan yang terhubung baik secara elektronik maupun melalui berbagai
forum usaha yang aktif dan dinamis. Ekonomi jaringan ini harus didukung
oleh jaringan telekomunikasi, jaringan pembiayaan, jaringan usaha dan
perdagangan, jaringan advokasi usaha, jaringan saling belajar, serta
16
jaringan lainnya seperti hasil temuan riset dan teknologi atau inovasi baru,
jaringan pasar, infomasi kebijakan dan pendukung lainnya yang dapat
diakses oleh semua dan tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu (Adi
Sasono, 2000: 5-7).
d. Pengembangan kemampuan-kemampuan teknis dan manajerial kelompok-
kelompok masyarakat, sehingga berbagai masalah teknis dan organisasi
dapat dipecahkan dengan baik. Di sini, selain masyarakat sasaran (petani
dan nelayan), juga para petugas penyuluh atau pendamping pemberdayaan
masyarakat harus meningkatkan kompetensi diri sebagai petugas yang
mampu memberdayakan, karena banyak diantara mereka justru
ketinggalan kemampuannya dengan kelompok sasarannya.
Pendekatan dan strategi dalam pemberdayaan masyarakat petani
(Pambudy dan A.K.Adhy, 2001: 68-82) menuju kemandirian petani, dapat
ditempuh dengan berbagai upaya sebagai berikut :
a. Memulai dengan tindakan mikro dan lokal. Proses pembelajaran rakyat
harus dimulai dengan tindakan mikro dan lokal, namun memiliki konteks
makro dan global. Dialog mikro–makro harus terus menerus menjadi
bagian pembelajaran masyarakat agar berbagai pengalaman mikro dapat
menjadi policy input dan policy reform sehingga memiliki dampak yang
lebih luas. Petugas pemberdayaan atau pendamping masyarakat tani dan
nelayan kecil seyogyanya diberikan kebebasan untuk mengembangkan
pendekatan dan cara yang sesuai dengan rumusan tuntutan kebutuhan
setempat atau lokal di wilayah tugasnya masingmasing.
b. Pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan kondisi lokal
(daerah). Karena masing-masing daerah potensinya berbeda, maka
kebijakan yang akan diberlakukan juga berbeda antar daerah.
Pemberlakuan kebijakan secara seragam untuk semua daerah harus
ditinggalkan.
c. Mengganti pendekatan kewilayahan administratif dengan pendekatan
kawasan. Pemberdayaan masyarakat tidak mungkin didasarkan atas
kewilayahan administratif. Pendekatan kewilayahan administratif adalah
17
pendekatan birokrasi atau kekuasaan. Pendekatan kawasan berarti lebih
menekankan pada kesamaan dan perbedaan potensi yang dimiliki oleh
suatu kawasan tertentu. Dengan pendekatan ini akan memungkinkan
terjadinya pemberdayaan masyarakat dalam skala besar dan lebih lanjut
akan memungkinkan terjadinya kerjasama antar kawasan yang lebih
produktif.
d. Membangun kembali kelembagaan masyarakat. Peran serta masyarakat
menjadi keniscayaan bagi semua upaya pemberdayaan masyarakat, jika
tidak dibarengi munculnya kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya yang
benar-benar diciptakan oleh masyarakat sendiri. Misalnya lumbung desa
dan organisasi lokal lainnya dipersilahkan tetap hidup.
e. Mengembangkan penguasaan pengetahuan teknis. Perlu dipahami bersama
bahwa desakan modernisasi telah menggusur ilmu pengetahuan dan
teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan masyarakat lokal pada
input luar serta hilangnya kepercayaan diri yang sangat serius. Temuan-
temuan lokal oleh petani dan nelayan setempat harus mendapatkan
pengakuan sejajar dan dipersilahkan bebas berkompetisi dengan inovasi
baru dari luar. Pola penyuluhan yang bersifat sentralistik, topdown dan
linier (Sumardjo, 1998) perlu diubah menjadi pendekatan yang lebih
dialogis dan hadap masalah.
f. Pengembangan kesadaran pelaku ekonomi. Karena peristiwa ekonomi
juga merupakan peristiwa politik atau lebih dikenal dengan politik
ekonomi, maka tindakan yang hanya berorientasi memberikan bantuan
teknis jelas tidak memadai. Pemberdayaan yang diperlukan adalah
tindakan berbasis pada kesadaran masyarakat untuk membebaskan diri
dari belenggu kekuatan ekonomi dan politik yang menghambat proses
demokratisasi ekonomi. Komitmen para petugas pemberdayaan
masyarakat dan lembagalembaga terkait pada pengembangan kemandirian
petani dan nelayan kecil merupakan sesuatu yang sangat diperlukan.
g. Membangun jaringan ekonomi strategis. Jaringan strategis akan berfungsi
untuk mengembangkan kerjasama dalam mengatasi keterbatasan-
18
keterbatasan yang dimiliki kelompok ekonomi satu dengan lainnya baik
dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan. Salah satu
yang sudah waktunya dibangun adalah jaringan infrastruktur
telekomunikasi dan sistim informasi pendukungnya yang memanfaatkan
seperti internet untuk membuka pintu gerbang seluas-luasnya bagi petani
dan nelayan atas informasi yang diperlukan bagi pengembangan usahanya
(setidaknya memalui mediasi para petugas penyuluh atau pendamping
pemberdayaan masyarakat).
h. Kontrol kebijakan. Agar kebijakan pemerintah benar-benar mendukung
upaya pemberdayaan masyarakat, maka kekuasaan pemerintah harus
dikontrol. Sebagai contoh adalah keikut sertaan organisasi petani dan
nelayan dalamn proses pengambilan keputusan tentang kebijakan
pertanian dan perikanan.
Pemberdayaan petani tidak terlepas dari upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia baik dari segi pendidikan, pengetahuan dan sikap untuk
mengoptimalkan sumber daya yang ada. Kondisi ketidak berdayaan petani
secara ekonomi yang karena rendahnya tingkat pendidikan mereka maupun
adanya intervensi pihak luar, maka pemberdayaan petani merupakan hal yang
penting untuk dilakukan. Ditambah lagi alih fungsi lahan menjadi pemukiman
dan pusat kegiatan ekonomi semakin mempersempit lahan pertanian terutama
di daerah Jawa. Dari kondisi ini, perlu dilakukan suatu upaya pemberdayaan
untuk meningkatkan kesejahteraah petani terutama miskin yang punya lahat
sempit dan terbatas, salah satu upaya yang dapat dilakukan program
transmigrasi peningkatan pendidikan dan peningkatan peran lembaga–
lembaga sosial kemasyarakatan merupakan tiga strategi utama untuk
meningkatkan pemberdayaan petani miskin:
a) Transmigrasi
Bagi petani berlahan sempit dan yang tak berlahan di jawa, apabila
tetap ingin bertahan di bidang pertanian,transmigrasi keluar jawa
merupakan usaha yang logis dalam memperoleh areal pertanian yang
memadai sebagai faktor produksinya. Transmigrasi sendiri telah
19
lamadilakukan sejak masih dalam masa pemerintahan kolonial Belanda.
Motivasi pemindahan penduduk dari jawa ke luar Jawa pada waktu itu
adalah karena adanya kekhawatiran akan kepadatan penduduk dipulau
Jawa dan dikaitkan dengan kebutuhan tenaga kerja pertanian diluar pulau
jawa. Kolonisasi petani–petani mandiri sebagai perintis pertanian yang
dapat mengembangkan daerah pemukiman adalah orang–orang unggulan
(Onny S Prijono & A.M.W Pranarka, 1996:166-170). Tetapi usaha ini
dilakukan terutama untuk kepentingan pemerintah kolonial belanda pada
waktu itu. Pemindahan penduduk keluar jawa pada masa kemerdekaan
telah mementingkan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan petani
dan penduduk miskin pada umumnya di jawa. Banyak temuan studi yang
menunjukkan bahwa pada umumnya keberhasilan petani transmigran
dikarenakan mereka sudah mampu membawa modal dari desa asal dan
dasar pendidikan yang relatif berfungsi.
b) Peningkatan Pendidikan
Peningkatan pendidikan merupakan salah satu upaya pemberdayaan
penduduk pedesaan yang perlu segera dilakukan. Usaha pemerataan untuk
memperoleh pendidikan tercermin pada kebijakan wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun perlu diberi bobot yang konkrit dalam
melihat fenomena situasi pedesaan baik secara nasional maupun daerah
masing–masing sangat membantu anak dalam menentukan masa
depannya. Mereka juga perlu diberi gambaran bagaimana jalan menuju
masa depan yang lebih baik, serta bagaiman apabila mereka tetap ingin
bertani seperti orang tua mereka. Guru dalam hal ini dapat membantu,
misalnya dengan memberikan gambaran tentang kemungkinan
bertransmigrasi. Dengan demikian konsep transmigrasi akan dipahami
sejak dini, untuk kemudian menimbulkan rasa keinginan. Demikian pula
halnya jika anak tidak ingin menjadi petani, guru memberikan gambaran
mengenai sektor modern akan membantu anak didik mengenai
pemahaman anak didik diluar sektor pertanian.
c) Pengaktifan Kelembagaan
20
Strategi terakhir untuk meningkatkan keberdayaan petani adalah
dengan melalui pengaktifan kelembagaan. KUD selama ini bercerita
kurang baik karena penyelewengan–penyelewengan yang dilakukan
pengurusnya, perlu mendapatkan pengawasan yang semakin ketat. Selain
pengawasan yang ketat pengurus KUD harus mendapat pendidikan
manajemen, serta mengenai model organisasi modern, dinamika
pembangunan ekonomi secara menyeluruh maupun tantangan yang akan
dihadapi dimasa yang akan datang. Saat ini telah dibentuk kelembagan
yang baru dengan harapan para petani mampu berperan aktif dalam
berdirinya lembaga tersebut sehingga kehidupan petani dimasa yang akan
datang dapat lebih baik lagi. Pembentukan dan pengembangan Gapoktan
yang akan dibentuk di setiap desa, juga harus menggunakan basis sosial
kapital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui
prinsip keotonomian dan pemberdayaan. Ada dua kebijakan penting akhir-
akhir ini, yaitu pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan (RPPK). Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Undang-Undang ini
merupakan impian lama kalangan penyuluhan yang sudah diwacanakan
semenjak awal tahun 1980-an. Lahirnya UU ini dapat pula dimaknai
sebagai upaya untuk mewujudkan revitalisasi pertanian tersebut. Pada
kedua kebijakan tersebut, permasalahan kelembagaan tetap merupakan
bagian yang esensial, baik kelembagaan di tingkat makro maupun di
tingkat mikro. Di tingkat mikro, akan dibentuk beberapa lembaga baru,
misalnya Pos Penyuluhan Desa dan Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan).
F. Konsep Kelembagaan
Menurut North (1991) dalam Arsyad (2010), institusi atau kelembagaan
adalah aturan – aturan (constraints) yang diciptakan oleh manusia untuk
mengatur dan membentuk interaksi politik, sosial dan ekonomi. Aturan –
aturan tersebut terdiri dari aturan – aturan formal (misalnya: peraturan –
peraturan, undang – undang, konstitusi) dan aturan – aturan informal
21
(misalnya: norma sosial, konvensi, adat istiadat, sistem nilai) serta proses
penegakan aturan tersebut (enforcement). Secara bersama – sama aturan –
aturan tersebut menentukan struktur insentif bagi masyarakat, khususnya
perekonomian. Aturan – aturan tersebut diciptakan manusia untuk membuat
tatanan (order) yang baik dan mengurangi ketidakpastian (uncertainty) di
dalam proses pertukaran.
Pengertian dari kata kelembagaan adalah suatu sistem badan sosial atau
organisasi yang melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu.Aspek
kata kelembagaan memiliki inti kajian kepada prilaku dengan nilai, norma dan
aturan yang mengikuti dibelakangnya. Lembaga dapat dibedakan menjadi dua
jenis7, yaitu lembaga formal dan lembaga non-formal. Kelembagaan lokal dan
area aktivitasnya terbagi menjadi tiga kategori,8 yaitu kategori sektor publik
(administrasi lokal dan pemerintah lokal); kategori sektor sukarela (organisasi
keanggotaan dan koperasi); kategori sektor swasta (organisasi jasa dan bisnis
swasta). Bentuk resmi suatu lembaga yaitu lembaga garis (line organization,
military organization); lembaga garis dan staf (line and staff organization);
lembaga fungsi (functional organization).
Konsep yang luas mengenai kelembagaan meliputi keseluruhan tingkat
baik secara lokal atau tingkat masyarakat, unit pengelola proyek, badan-badan
pemerintah dan sebagainya (Israel, 1987). Kelembagaan dapat dimiliki oleh
publik atau sektor privat atau dapat pula merujuk kepada fungsi administratif
pemerintah secara luas. Suatu hal yang perlu dibedakan yaitu, jika
kelembagaan adalah peraturan permainan maka lembaga atau organisasi
tertentu adalah pemainnya (Braun and Feldbrugge, 1998).
Syahyuti (2003) mengatakan bahwa kelembagaan dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian. Norma dan
perilaku merupakan dua objek pokok dalam kajian kelembagaan, sementara
organisasi memperhatikan masalah struktur serta peran. Lebih lanjut Syahyuti
mengatakan ada beberapa cara untuk membuat pengelompokan kelembagaan
yang berkaitan dengan dunia pertanian atau pedesaan, tergantung kepada dasar
pengelompokannya, yaitu : (1) Atas sistem agribisnis; (2) Atas konsep
22
kelembagaan di dunia sosial; (3) Atas orientasi, bentuk pelayanan, dan sifat
keanggotaannya dan; (4) Atas dasar fungsi-fungsi yang dijalankan.
G. Penguatan kelembagaan
Pola pengembangan kelembagaan masyarakat agar semakin kuat perlu
memperhatikan beberapa aspek, yaitu (1). Perbaikan struktur dan fungsi
kelembagaan masyarakat, (2). Pemanfaatan informasi dan teknologi yang
berimbang, (3) peningkatan program-program pendidikan dan pelatihan secara
berkelompok, (4) meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana aktifitas
kelembagaan, (5) memberdayakan dan memfasilitasi kelembagaan masyarakat
informal, (6). Menciptakan pemimpin kelembagaan yang transformasional
(Daryanto, 2004). Berdasarkan pemahaman tersebut, maka penguatan
kelembagaan menurut Saharuddin (2000) adalah mencakup pengembangan
kapasitas institusi dan kapasitas sumber daya manusia.
Tidak dapat disangkal bahwa teknologi dewasa ini berkembang dengan amat
pesat, bahkan pada tingkat kepesatan yang belum pernah dialami oleh umat
manusia sebelumnya. Pemberdayaan kelembagaan petani dalam bentuk
kelompok bertujuan untuk pemberdayaan petani dalam penerapan inovasi
teknologi secara berkelanjutan. Disadari bahwa keberhasilan pengembangan
inovasi teknologi pertanian tidak hanya tergantung pada faktor teknologi semata,
namun juga faktor sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal sosial dan
kelembagaan. Kelima faktor tersebut merupakan unsur penggerak dalam
pembangunan pertanian yang sinergis, sehingga apabila salah satu faktor
mengalami hambatan atau tidak sesuai maka kegiatan yang dilakukan tidak
memberi hasil yang optimal. Dengan demikian penerapan teknologi saja tidak
cukup untuk mengatasi permasalahan di lapang tetapi perlu diimbangi dengan
pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagan kelompok
serta penguatan modal (Saleh dkk., 2004).
Penerapan teknologi akan berhasil apabila kelembagaan yang ada
didalamnya juga solid, sebagaimana dinyatakan Binswanger dan Ruttan dalam
Syahyuti (2003) bahwa kelembagaan merupakan faktor utama yang
menghasilkan teknologi. Teknologi yang baik hanya dapat dihasilkan dari suatu
manajemen kelembagaan yang baik pula. Seterusnya, penerapan suatu teknologi
23
yang telah dihasilkan tersebut akan lebih berhasil bila dilakukan oleh
kelembagaan yang memadai pula Masalah utama yang dihadapi petani dalam
mengadopsi suatu teknologi adalah terbatasnya modal petani, disamping itu
sumber modal berupa kredit usaha tani baik formal mupun non formal tidak
tersedia di lokasi kajian. Keadaan ini cukup mempersulit petani didalam
mengadopsi suatu teknologi, karena adopsi teknologi baru membutuhkan biaya
tambahan. Sesungguhnya disinilah peran Pemerintah Daerah dalam menginisiasi
adanya kemitraan dalam hal mengakses ke sumber permodalan sehingga proses
transfer teknologi dapat berjalan sesuai yang diharapkan dan skala usaha dapat
ditingkatkan (sudana 2005)
H. GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani)
Pengertian Gapoktan adalah gabungan kelompok tani yang bergabung dan
bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha.
Gapoktan dibentuk atas dasar (1) Kepentingan bersama antara anggota, (2)
Berada pada kawasan usaha tani yang menjadi tanggung jawab bersama
diantara anggota, (3) Mempunyai kader pengelolaan yang berdedikasi untuk
menggerakkan petani,(4) Memiliki kader atau pimpinan yang diterima oleh
petani lainnya, (5) Mempunyai kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya
oleh sebagian besar anggotanya, (6) Adanya dorongan atau manfaat dari tokoh
masyarakat setempat.Upaya penguatan kelembagaan Gapoktan diperlukan
dukungan sumber daya manusia yang berkualitas melalui pembinaan yang
berkelanjutan. Proses penumbuhan dan pengembangan Gapoktan yang kuat
dan mandiri diharapkan secara langsung dapat menyelesaikan permasalahan
petani, pembiayaan dan pemasaran.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.273/KPTS/OT.160/4/2007
tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani, pembinaan kelompok tani
diarahkan pada penerapan sistem agribisnis, peningkatan peran, peran serta
petani dan anggota masyarakat pedesaan. Gapoktan merupakan kelembagaan
ekonomi di pedesaan yang didalamnya bergabung kelompok-kelompok tani.
Gapoktan sebagai aset kelembagaan dari Kementrian Pertanian diharapkan
dapat dibina dan dikawal selamanya oleh seluruh komponen masyarakat
24
pertanian mulai dari pusat,provinsi, kab/kota hingga kecamatan untuk dapat
melayani seluruh kebutuhan petani dipedesaan.
Fungsi dan Peran Gapoktan
Penggabungan kelompok tani ke dalam gapoktan dilakukan agar kelompok
tani dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, dalam penyediaan sarana
produksi pertanian, permodalan, peningkatan atau perluasan usaha tani ke
sektor hulu dan hilir, pemasaran serta kerja sama dalam peningkatan posisi
tawar. Fungsi gapoktan antara lain :
1. Merupakan satu kesatuan unit produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar
(kuantitas, kualitas, kontinuitas dan harga)
2. Penyediaan saprotan (pupuk bersubsidi, benih bersertifikat, pestisida dan
lainnya) serta menyalurkan kepada para petani melalui kelompoknya
3. Penyediaan modal usaha dan menyalurkan secara kredit/ pinjaman kepada
para petani yang memerlukan
4. Melakukan proses pengolahan produk para anggota (penggilingan,
grading, pengepakan dan lainnya) yang dapat meningkatkan nilai tambah
5. Menyelenggarakan perdagangan, memasarkan/menjual produk petani
kepada pedagang/industri hilir.
25
I. KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam rangka mengembalikan kedudukan indonesia sebagai produsen
pengekspor karet terbesar didunia sekaligus sebagai upaya menyukseskan
program MP3EI dimana koridor sumatra sebagai fokus pengembangan karet
dan kelapa sawit yang sebenarnya sumatera lebih condong ke produksi karet
dimana produksi nasional karet 50% lebih dihasilkan disumatra. Indonesia
sebagai wilayah yang memiliki luas lahan karet terbesar didunia tetapi
menjadi produsen karet terbesar kedua setelah thailand yang luas tanah lebih
sempit dari Indonesia
Sebagai upaya pengembangan produktivitas karet, daerah transmigrasi di
sumatera juga memiliki potensi dalam menghasilkan bahan olahan karet jika
lebih dikembangkan lagi. Selain untuk meningkatkan produksi bahan olahan
karet nasional pengembangan di daerah transmigrasi juga mampu menjadi
daya saing daerah tersebut dan menciptakan pusat pertumbuhan baru sesuai
dengan UU no 15 tahun1997 tentang ketransmigrasian dan peraturan
pemerintah no 2 tahun 1990 tentang pelaksanaan transmigrasi. Permasalahan
pada daerah transmigrasi berupa rendahnya kualitas bahan olahan karet
karena kurangnya pengetahuan dalam pengolahan karet serta keterbatsan
teknologi. Teknologi menjadi begitu penting untuk menciptakan efisiensi dan
produktivitas karet. Proses difusi teknologi dan pembelajaran terhadap petani
karet didaerah rambutan 1 begitu lambat dan tidak maksimal dikarnakan
kelembagaan yang ada didaerah tersebut belum mampu melaksanakan
beberapa fungsinya.
Diperlukan penguatan kelembagaan terdahulu supaya proses-proses
selanjutnya bisa berjalan lancar seperti masuknya teknologi, saluran
pemasaran melalui kemitraan. Petani akan mendapatkan keuntunggan yang
lebih tinggi karena kualitas bokar lebih tinggi, petani juga bisa mendapatkan
pendapatan dsecara tetap dan berkelanjutan melalui penjualan bokar ke
perusahaan melalui kemitraan selain bokar yang pasti di beli oleh perusahaan
mitra petani juga akan diberika pelatihan,bimbingan, tambahan modal dan
26
alat-alat produksi karet yang mampu menghasilkan bokar yang sesuai
keinginan perusahaan mitra. Peningkatan kualitas bokar akan berdampak
pada bagusnya kualitas barang olahan dari karet yang mampu meningkatkan
nilai tambah.
Gambar 1. kerangka pemikiran konseptual
J. Penelitian terdahulu
Terdapat beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
topik penelitian ini, meliputi :
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sri Najiati dkk (2012) dalam
“Difusi Teknologi Pengolahan Karet Rakyat di Kawasan Transmigrasi
Mendukung Koridor Ekonomi Sumatera”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahi pengembangan hasil karet alam yang dihasilkan oleh petani di
kawasan transmigrasi Sumatera Selatan tepatnya di desa Pule dan Kimtrans
rambutan 1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas yang dihasilkan
oleh petani di kawasan tersebut masih memiliki kualitas karet yang rendah
sehingga diperlukan adanya peningkatan mutu hasil karet dengan metode difusi
27
teknologi yang direncanakan dan diaplikasikan melalui lembaga tani yang ada
yaitu koperasi dan Gapoktan.
Sabarman Damanik (2012) dalam “Pengembangan Karet (Havea
brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia”. Penelitian ini memfokuskan pada
peningkatan pengembangan berkelanjutan di Indonesia dengan memaparkan
data prospek pengembangan karet dan delapan faktor strategis yang saling
berkaitan dan sangat menentukan keberlanjutan perkebunan karet yaitu :
ketersediaan teknologi, tenaga pembina, pelatihan petani,dukungan kebijakan,
luas perkebunan karet, produktivitas ,ketrampilan petani,dan kelembagaan
ekonomi petani. dari hasil temuan faktor-faktor tersebut dirumuskan beberapa
alternatif yang dapat dijalankan pemerintah meliputi kebijakan produksi dan
peningkatan mutu, kebijakan perdagangan, kebijakan revitalisasi dan kebijakan
perindustrian.
Penelitian yang dilakukan Kementrian Keuangan Republik Indonesia
Badan Kajian Fiskal Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (2012) dalam “Laporan
kajian Nilai Tambah Produk Pertanian”. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa untuk mendukung hilirarisasi karet di Sumatera Selatan perlu dilakukan
peningkatan kegiatan industri terpadu dan industri inovatif karet, yang perlu
didukung Pemerintah dalam sisi pendanaan dan sistem birokrasi serta regulasi
yang memadai.
Penilitian serupa dilakukan Ahmad Zazali dalam “Pola Inti Plasma,
Kemitraan yang “Harus” ditinjau ulang”. Hasil dari penelitian tersebut adalah
menjelaskan tentang permasalahan Pola Inti Rakyat yang terjadi dalam
kemitraan yang terjalin antara petani dan stake-holder diperlukan adanya
peninjauan dalam pelaksanaanya agar petani mampu mengorganisir diri dalam
proses negosiasi dan mendapatkan informasi yang memadai sebelum
mengadakan kesepakatan kemitraan dengan stake-holder.
Wiyanto.(2009) menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif berupa
model regresi logistik biner. Sample tiga desa di Kecamatan Tulang Bawang
Tengah Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Hasil penelitianya berdasarkan
Model regresi logistik biner menunjukan adanya hubungan negatif antara usia,
28
pendidikan dan kualitas karet, serta hubungan positif antara keanggotaan petani
di dalam kelompok tani, partisipasi petani di dalam kegiatan sosial, jumlah
anggota keluarga, pernahnya bertanya kepada PPL dan kualitas karet pada
tingkat selang kepercayaan 80 persen (α=20 persen). Hasil analisis keuntungan
parsial menunjukan bahwa upaya peningkatan kualitas karet berupa
penggunaan asam semut sebagai pembeku menguntungkan bagi petani.
Penelitian yang dilakukan oleh Syahid (2005), tentang pengembangan
ekonomi lokal melalui pengembangan kelompok tani ternak itik di Kabupaten
Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa
diperlukan langkah strategis dalam pengembangan ekonomi lokal melalui
pengembangan kelompok tani ternak itik. Kajian ini juga bertujuan untuk
mengkonstruksikan konsep pemberdayaan yang sesuai bagi seluruh komunitas
dan kelompok tani dalam pengelolaan potensi sumberdaya lokal. Kegiatan dan
proses pemberdayaan yang dilakukan ternyata belum menunjukkan
keberdayaan masyarakat petani. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya
masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi warganya.
Konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini memiliki persamaan dan
dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Persamaannya adalah
mengkaji peranan kelembagaan dan teknologi dalam peningkatan kualitas bahan
olahan karet yang hasil akhirnya akan menciptakan kualitas bokar yang baik
dengan sistem kelembagaan yang berfungsi maksimal.
29
BAB III
Metodologi Penulisan
A. Desain Penulisan
Penulisan ini dilakukan dalam rangka mengkaji permasalan internal
yang ada dalam lembaga gapoktan di wilayah Kimtrans Rambutan 1 dalam
upaya pengembanagan produktivitas petani karet. Dalam tulisan ini juga
menjelaskan bagaimana meningkatkan kualitas produktivitas hasil karet
dalam meningkatkan daya saing daerah Sumatera Selatan yang berbasis
kawasan transmigrasi melalui peningkatan mutu dan penguatan lembaga
tani. Metode penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka dan beberapa
tulisan terdahulu.
B. Sumber Penulisan
Sumber yang digunakan dalam karya tulis ini berupa data sekunder.
Data sekunder adalah data yg diperoleh seorang peneliti secara tidak
langsung dr objeknya, tetapi melalui sumber lain, baik lisan maupun tulis
(kamus besar). Referensi dalam penulisan karya tulis ini berasal dari
beberapa buku, jurnal, internet, kamus dan penulisan sebelumnya.
C. Tahapan Penulisan
Tahap-tahap yang dilalui dalam penulisan ini, yaitu :
1. Memilih masalah penulisan
a. Pertimbangan dalam memilih masalah dalam karya tulis ini:
b. Masalah dalam karya ini mempunyai nilai penelitian, yaitu
mempunyai kegunaan tertentu dan dapat digunakan untuk suatu
keperluan.
c. Masalah yang dibahas menarik bagi penulis.
d. Masalah dalam karya tulis ini bersifat fisible, yaitu masalah yang
dapat diselesaikan dan dijelaskan secara diskriptif.
30
2. Sumber pemerolehan masalah
Dalam penulisan ini sumber pemerolehan masalah diperoleh dari :
a. Bacaan seperti buku, jurnal ilmiah, internet, dan penelitian
sebelumnya.
b. Pengamatan terhadap kegiatan masyarakat
3. Merumuskan masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini,yaitu :
a. Rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan.
b. Berisi implikasi dalam memecahkan masalah.
c. Jelas dan singkat.
4. Studi Eksplorasi
Studi eksplorasi adalah kegiatan yang lebih mendalami mengenai
segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah yang dipilih. Segala
sesuatu tersebut meliputi: teori, hasil penelitian atau karya tulis yang
sama, data, model analisis, dan metode penelitian. Studi eksplorasi
dalam karya tulis ini menggunakan jurnal ilmiah, internet, buku teks,
paper, dan penulisan terdahulu.
5. Melakukan Pembahasan
Setelah memilih masalah, merumuskan masalah, melakukan studi
eksplorasi, tahap selanjutnya yaitu melakukan pembahasan.
Pembahasan yang pertama kali kita lakukan adalah menjelaskan
pengertian, sistem kerja, menjelaskan permaslahan, memberikan solusi
dan rekomendasi.
31
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Aksesibilitas dan Pencapaian Lokasi
Aksesibilitas ke lokasi KTM Rambutan – Parit dapat ditempuh melalui darat
maupun sungai dari ibukota provinsi Sumatera Selatan yaitu Kota Palembang.
Tabel 1 . Aksesibilitas ke lokasi UPT Rambutan
Sumber : kementerian tenaga kerja dan transmigrasi r.i
.
Gambar 2. pencapaian lokasi rambutan parit (kementerian tenaga kerja dan transmigrasi R.I)
32
B. Konsidi Geografis.
a. Iklim
Kabupaten Ogan Ilir merupakan daerah beriklim tropis basah
(Type B), menurut Klasifikasi Type Iklim Oldemen termasuk ke dalam
Zone Agroklimat B2 yaitu memiliki periode bulan basah (>200 mm/bln)
berturut turut selama 7 (tujuh) bulan dan periode kering <100 mm/bln)
selama 3(tiga) bulan berturut turut. Musim kemarau berkisar antara bulan
Mei sampai bulan Oktober. Sedangkan musim penghujan berkisar antara
bulan Oktober sampai April. Di kawasan KTM Rambutan-Parit -
Kecamatan Indralaya Utara, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret
297 mm dan Desember 300 mm.
b. Topografi/ Kemiringan Lahan
Dari hasil pengamatan peta Jantop -1977, diketahui bahwa kemiringan
tanah di lokasi KTM Rambutan-Parit adalah seluas 34.933Ha, 34.627 Ha
didominasi oleh lahan datar dengan kemiringan (0-3 %) dan 306 Ha
berombang (4-6 %), penyebaran seperti tergambar pada Tabel berikut ini.
Tabel 2. Kondisi Kemiringan Lahan di KTM Rambutan- Parit
no Kemiringan lahan Bentuk
wilayah
Luas
Kelas Slope (%) Ha %
1 A 0-3 Datar 34.627 99.36
2 B 4-8 Berombak 306 0.64
Jumlah 34.933 100
Sumber : hasil perhitungan Tim KTM rambutan-parit, peta satuan lahan dan tanah, 1991
dan peta jantap 1977
Tanah di daerah kawasan KTM Rambutan-Parit sebagian besar terbentuk dari
bahan induk endapan muda dan tua. Bahan induk sedimen muda berasal dari luapan
Sungai Komering, berupa lumpur terdiri dari bahan agak halus dan sedang saling
berselingan.
c. Penggunaan lahan
33
Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Ogan Ilir terdiri dari lahan
yang sudah diusahakan mencapai 65,24 % dan yang belum diusahakan
sebanyak 31,68 % dan tanah lainnya sebesar 3,08 %. Jenis lahan yang
sudah diusahakan meliputi Permukiman, sawah irigasi. Adapun luasan
masing-masing penggunaan lahan adalah sebagai berikut.
Tabel 3 . Luas Penggunaan Lahan Wilayah KTM Rambutan-Parit
Sumber. kementerian tenaga kerja dan transmigrasi R.I
Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Ogan Ilir terdiri dari lahan
yang sudah diusahakan mencapai 65,24 % dan yang belum diusahakan
sebanyak 31,68 % dan tanah lainnya sebesar 3,08 %. Jenis lahan yang
sudah diusahakan meliputi Permukiman, sawah irigasi.
Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan Wilayah KTM Rambutan-Parit
Sumber : Hasil Identifikasi dan Kecamatan Dalam Angka Tahun 2005,2007
C. Kependudukan
a. Jumlah dan Nama UPT
Tabel 5. Jumlah dan nama UPT pada KTM Rambutan Parit
Penggunaan Lahan Luas (Ha)
Areal Transmigrasi 2,275.00
Areal Penduduk Lokal 29,386.00
Penggunaan Lahan Penduduk
3,272.00
Jumlah 34,933.00
Areal Transmigrasi 2,275.00
Areal Penduduk Lokal 29,386.00
Penggunaan Lahan Penduduk
3,272.00
Jumlah 34,933.00
No Nama
Desa/UPT
Bina
Jumlah
Penduduk
Keterang
an
Jiwa KK
1 UPT
Rambut
an 1
600 150 UPT
Bina
2 UPT
Parit 1
1.200 300 UPT
Bina
JUMLAH 1.800 450
34
b. Jumlah dan Nama Desa
Jumlah penduduk di kawasan KTM Rambutan-Parit ada 7.598
jiwa (1.898 KK), terdiri dari masyarakat lokal & masyarakat
transmigran yang tersebar di 5 desa dan 2 UPT (lihat tabel dibawah
ini). Jumlah penduduk terbesar berada di Desa Lorok yaitu 2.390
jiwa (425 KK) dan jumlah penduduk terkecil di UPT Parit I
sebesar 533 jiwa (150 KK)
Tabel 6. Jumlah dan nama Desa pada KTM Rambutan Parit
No Nama Desa Jumlah Penduduk
Keterangan
Jiwa KK
1 Desa S. Rambutan
825 206 Desa Lokal
2 Desa Parit 990 247 Desa Lokal
3 Desa Purnajaya
865 216 Desa Lokal
4 Desa Lorok 2.390 597 Desa Lokal
5 Desa Bakung
728 182 Desa Lokal
6 UPT Rambutan 1
600 150 UPT Bina
7 UPT Parit 1 1.200 300 UPT Bina
JUMLAH 7.598 1.898
D. Ekonomi
a. Kelayakan usaha
Sektor pendukung perekonomian di kawasan KTM
Rambutan-Parit adalah sektor pertanian yang meliputi Pertanian
tanaman pangan dan pertanian non tanaman pangan, dengan
tingkat serapan tenaga kerja relatif tinggi.
b. Komoditas Unggulan (Pertanian dan Perkebunan)
Komoditas unggulan di KTM Rambutan Parit untuk
tanaman perkebunan adalah sawit. Karet dan kelapa, tanaman
pangan adalah padi, jagung, , kacang tanah sedangkan untuk
tanaman buah-buahan adalah jeruk, durian, duku, pisang, mangga,
nangka, rambután.
c. Kemitraan
35
Dalam pengembangan agribisnis diperlukan modal,
teknologi dan pasar yang biasanya tidak dimiliki oleh petani, asset
petani dalam pengembangkan agribisnis berupa SDM baik sebagai
sumber tenaga kerja maupun manajerial dalam proses produksi.
Untuk dapat memberdayakan SDM dan lahan serta dapat
terwujudnya suatu usaha agribisnis perlu dilakukan kemitraan
antara petani dengan investor atau perbankan dengan dukungan
dan bimbingan teknis dari pemerintah daerah melalui instansi
terkait. Untuk memenuhi kebutuhan modal, teknologi dan pasar,
petani melalui koperasi perlu bermitra usaha dengan investor baik
lokal maupun asing.
Investor dimaksud adalah pengusaha yang memiliki equity
yang cukup untuk pengembangan suatu unit skala usaha komoditas
agribisnis atau mampu menjadi counterpart lembaga keuangan atau
mampu menjadi penjamin kredit (avalis) kepada pihak lembaga
keuangan untuk skim kredit kemitraan pengembangan agribisnis.
d. Kelembagaan Ekonomi
Lembaga perekonomian desa, seperti Kelompok Usaha
Tani tanaman pangan dan non pangan, Gapoktan, Kelompok
Peternak, Koperasi, dan Kelompok Usaha Bersama.
e. Investor
Investor yang bergabung pada kegiatan usahatani di KTM
Rambuatan Parit di Kabupaten Ogan Ilir sampai saat ini sudah ada,
yaitu : 1. PT. Palm Agro dan PT. Sawit Indralaya Lestari
36
BAB V
PEMBAHASAN
A. Pengembangan Kualitas Karet Di Kimtrans 1
Penilaian terhadap kualitas bahan olahan karet meliputi kadar kotoran,
kadar air, dan kekenyalan. menurut Waluyono (1981) yang diacu dalam
Erwan (1994) kualitas karet ditentukan oleh kadar karet kering, kadar
kotoran, kadar air, kadar abu, nilai PRI (Plastysity Ratention Index), sifat-sifat
fisika lain, berat, tebal, dan ukuran lainnya serta pengemasan.Sawardin et al.
(1995) juga telah melakukan penelitian kualitas bahan olah karet khususnya
spesifikasi karet remah (SIR). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa
parameter terpenting mengenai karakteristik mutunya adalah kadar kotoran,
kadar abu, kadar bahan menguap, dan indeks katahanan plastisitas (PRI).
Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional sesuai SNI-BokarNo. 06 – 2047 –
2002 tanggal 17Oktober 2002 kriteria dari kualitas bokar meliputi karet
kering, ketebalan, kebersihan, dan jenis bahan bekuan dan bokar yang
bermutu tinggi harus memenuhi beberapa persyaratan teknis, yaitu tidak
ditambahkan bahanbahan non karet, dibekukan dengan asam format/ semut
atau bahan lain yang dianjurkan dengan dosis yang tepat.
Peningkatan kualitas bahan olahan karet perlu dilakukan secara
menyeluruh dan berkelanjutan tidak hanya dari defernsiasi produk tetapi
perbaikan kualitas dari dasarnya yaitu bahan olahan karet yang dihasilkan
petani karet. Seperti yang dikatakan Haris et al. (1995) menyatakan bahwa
perbaikan kualitas bahan olah karet seharusnya dimulai dari tingkat paling
awal yaitu pada tingkat petani. Jika kualitas bahan olahan karet berkualitas
baik maka untuk pengolahan selanjutnya akan mendapatkan hasil dan
keuntungan yang meningkat.
Pengembangan karet dikawasan transmigrasi merupakan salah satu
kawasan yang berpotensi untuk pengembangan komoditas karet. Perkebunan
karet di permukiman transmigrasi umumnya adalah perkebunan karet rakyat
37
yang diusahakan pada permukiman transmigrasi pola pangan dan tidak
bekerjasama dengan investor sehingga mutu karet yang dihasilkan relatif
rendah. Daerahkimtrans rambutan 1 memiliki luas lahan karet 150 Ha. Luas
lahan tanaman karet yang sudah dapat dipanen kurang lebih 50 Ha dengan
produksi Bokar 3 Ton/bulan.
Kelembagaan yang berkembang di kimtrans berupa Gapoktan Bina
Makmur didirikan tanggal 3 April 2007 dan mengkoordinasikan 10 kelompok
tani namun gaptokan tersebut belum menjalankan fungsi kelembagaannya
secara maksimal. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas bokar di
daerah kimrans rambutan 1 adalah teknologi dan kelembagaan. Gaptokan
bina makmur yang belum berfungsi sebagai sarana pembelajaran dan difusi
teknologi budidaya maupun pengolahan karet sehingga belum mampu
memberikan pembekalan dalam beberapa teknik pengolahan karet mulai dari
pembibitan sampai pasca panen. Mengakibatkan petani kekurangan informasi
dan keterbatasan teknologi dalam pengolahan karet yang baik masih sehingga
petani masih mengggunakan bahan yang buruk dan dilarang dalam
pengolahan karet seperti TSP, tawas, dan bahan pembeku berisi H2SO4 karena
akan berdampak pada kualitas bokar rendah.Gaptokan juga belum mampu
sebagai lembaga pemasaran dan pengontrol harga karet. Hali ini yang
menjadi akar kurang berkembangnya karet dan petani di desa kimtrans 1
lembaga ekonomi yang kurang berfungsi dengan maksimal membuat
teknologi dan kualitas petani dan karetnya buruk.
Produksi Bokar yang dihasilkan oleh desa kimtrans sangat rendah
dibandingkan dengan rata-rata produksi karet rakyat di Indonesia yaitu 717
Kg/Ha/Tahun dengan potensi produksi karet unggulan 1.500-
1800Kg/Ha/Tahun (Ditjen Perkebunan, 2011). Rendahnya produksi tersebut
antara lain karena teknologi budidaya yang kurang baik seperti penggunaan
bibit bukan dari klon unggul, pemeliharaan tanaman (pengendalian hama
penyakit, gulma, pemupukan) kurang sesuai, dan cara penyadapan (panen)
belum dipahami secara baik sehingga batang karet tidak pulihsecara
38
sempurna.Bokar yang dihasilkan jelek dikarnakan pengolahan karet
menggunakan tawas dan bahan pembeku berisi H2SO4. Alasan petani
menggunakan tawas karena harga yang lebih murah, mudah didapat, mudah
pemakaiannya. tawas akan mengakibatkan kadar debu dalam bahan olah karet
meningkat, sehingga mutu karet turun.
Proses koagulasi menggunakan koagulan selain asam format atau asam
semut menyebabkan teradinya penurunan mutu bokar yang antara lain
ditunjukkan dengan nilai plasticity retention index (PRI) yang rendah
(Budiman 2000). Nilai PRI menggambarkan ketahanan karet mentah terhadap
degradasi oleh oksidasi pada suhu tinggi. Kondisi petani yang belum
menguasi teknologi budidaya, panen dan pengolahan karet secara baik
membuat petani kurang dapat membedakan antara koagulan yang
mengandung asam semut dengan bahan koagulan yangmengadung H2SO4
yang penting bagi petani adalah harga koagulan murah dan Bokar laku
dijual.Diperlukanadanya teknologi yang dapat meningkatkan kualitas bokar
seperti teknik budidaya, panen, dan pengolahan karet.
Peningkatan kualitas bokar erat kaitanya dengan teknologi yang dimiliki
dan kemudian ditingkatkan dapat berupa penggunaan bahan dan alat yang
sebelumnya tidak digunakan, melakukan suatu teknik atau aktivitas yang
sebelumnya tidak dilakukan, maupun menambah pengetahuan yang
sebelumnya tidak diketahui. Teknologi menjadi tanggungjawab pemerintah
daerah dalam penyelediaannya karena teknologi sebagai barang primer bagi
petani karet dalam meningkatkan kualitas bokar berdasarkan (Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian
Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Perekayasaan, Inovasi, dan
DifusiTeknologi).
Menurut Balai Penelitian Sembawa (2007)Teknologi pengolahan karet
yang sesuai di Kimtrans Rambutan I adalah pengolahan latek menjadi sleb.
Pertimbangannya, teknologi ini relatif mudah diiplementasikan. Lum, slep,
39
dan sit merupakan jenis bokar yang dapat diproduksi menurut Standar
Nasional Indonesia (2002). Koagulan yang digunakan dalam proses
pengolahan adalah yang direkomenasikan dariBalai Penelitian Sembawa
(2007) yaituDeorub (asap cair) dan asam semut hal ini juga sesuai dengan
bahan yang dianjurkan oleh Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional untuk
bokar yang berkualitas tinggi.Melalui gaptokan bina makmur sebagai
perantara dalam penyalurannya kepada masyarakat.
Harga bahan pembeku asam semut dan Deorub memang lebih mahal untuk
asam semut kisaran Rp 20.000 dan deorub Rp 16.000, dibandingkan dengan
harga TSP, tawas dan asam tidak lebih dari Rp 12.000. Tetapi ketika harga
karet dapat dibedakan berdasarkanmutunya, transmigran akan memperoleh
keuntungan tambahan berupa kenaikan harga sesuai mutunya.Selain petani
karet dapat menjualnya keperusahaan melalui kemitraan akan jauh lebih
menjamin keuntungan yang akan diterima petani karet.
Perbaikan pada sistem kelembagaan akan sangat membantu petani karet
didaerah kimtrans 1 mendapatkan bahan- bahan yang berkualitas untuk
mendukung pengolahan karet disertai dengan pelatihan teknik pengolahan
yang baik dan penerapan teknologi akan meningkatkan produktivitas petani
karet didaerah kimtrans 1. Ketika gapoktan telah melakukan fungsinya
dengan baik maka ada beberapa poin yang dapat mengembangkan petani
karet dan menjadikan karet sebagai komoditas unggulandi rambutan 1
meliputi :
a. Pasar : kemudahan akses pasar bagi petani untuk memasarkan
karetnya,mendapatkan informasi tentang jenis karet yang dibutuhkan
pasar dan mudah diterima pasar.
b. Harga : petani karet akan menjualnya ke pengepul setiap dua minggu
sekali dengan harga yang murah. Ketika gapoktan sudah menjalankan
fungsinya sebagai pengontral harga, petani tidak perlu lagi menjualnya
ke pengepul.
40
c. Penguasaan teknologi : melalui difusi teknologi dimana gapoktan
sebagai perantara dan salura pembelajaran dalam penguasaan
teknologi. perubahan teknologi dilakukansecara bertahap dan akan
lebih menjamin terciptanya sisitem usahatani yangberkelanjutan.
Penguasaan teknologi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi baik.
d. Keterkaitan terhadap hilir yang kuat : ilai tambah komoditi pertanian
hanyabisa diciptakan, jika komoditi tersebut mampu diolah menjadi
produk yangdiperlukan konsumen. Pengembangan agroindustri di
sentra produksi komoditiakan membawa dampak yang luar biasa bagi
pembangunan di perdesaan. Desa akan relatif lebih cepat maju teknis
maupun ekonomis, dengan demikian peluang untuk memperoleh
keuntungan menjadi semakin besar.
e. Modal usaha tani : gapoktan yang mampu melaksanakan kemitraan
akan sangat membantu petani karet dalam hal modal dan pelatihan
serta pembimbingan supaya menghasilkan bahan olahan karet yang
sesuai dengan keinginan perusahaan.
B. Penguatan Kelembagaan Gapoktan di Kimtrans Rambutan 1
a) Kondisi Kelembagaan Tani di Kimtrans Rambutan 1 :
Lembaga tani yang ada di daerah Kimtrans Rambutan 1 adalah Gapoktan
Bina Makmur yang menaungi 10 kelompok tani yang ada di kawasan
tersebut. Peranan kelembagaan ini masih belum optimal karena beberapa
faktor diantaranya:
1. Belum mampu menjadi pengontrol harga
Selama ini GAPOKTAN Bina Makmur yang menaungi 10
kelompok tani di desa Kimtrans Rambutan 1 masih belum berfungsi
sebagai pengontrol harga bagi para petani. sejauh ini peran koperasi
baru sampai pada tahap perantara kebijakan dari pemerintah kepada
kelompok tani yang dinaunginya serta memberikan bantuan pinjaman
modal dalam pengembangan usaha karet para petani. Padahal petani
41
butuh pendampingan mulai dari modal masa tanam perawatan hingga
penjualan hasil karet. Jika koperasi mampu mengambil peran dalam
pengontrol harga bagi petani penjual karet dengan perusahaan pengolah
karet kesejahteraan petani akn lebih terjamin karena perusahaan
pengolah karet tidak lagi sewenang-wenang dalam memberikan harga
kepada petani.
2. Perantara pemasaran
Kelembagaan tani seperti Gapoktan dan koperasi harus berperan
sebagai perantara pemasaran bagi para petani dan menyediakan opsi
kemitraan demi kesejahteraan petani karet dan untuk meningkatkan
produksi karet yang potensial untuk dilempar ke pasar internasional.
Masalah seperti uang jasa bagi koperasi juga harus kita tinjau bersama.
Dalam meningkatkan daya jual karet tentunya harus dihitung seefisien
mungkin niaya-biaya yang mungkin timbul pasca panen termasuk uang
jasa koperasi. Pemungutan uang jasa harus bersifat transparan dan
diketahui petani. akan percuma ketika rantai alur distribusi mampu
ditampung oleh koperasi namun biaya jasa yang ditimbulkan masih
besar. Untuk itu kelembagaaan koperasi harus diperbaiki untuk
meningkatkan daya jual bokar.
3. Kualitas hasil karet
Kualitas karet yang dieluh-eluhkan perusahaan pengolah karet
karena masih mempunyai mutu yang rendah adalah PR bagi koperasi
untuk mengembangkan difusi teknologi untuk mengatasi maalah ini.
Koperasi harus melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk
mencari solusi pengadaan alat teknologi agar tak kalah saing dengan
produk karet sintetis. Selama ini beberapa kasus terjadi agar berat karet
makin besar, petani melakukan tindakan mencampur karet dengan
pupuk urea (TSP) sebagai pengganti asam smooth, dicampur dengan
benda lainnya maupun direndam dengan air. Hal ini tentu saja
merugikan petani sendiri karena harga di pasaran menjadi berkurang.
Di daerah Kimtrans Rambutan 1 misalnya kualitas hasil karet alam dari
42
petani masih rendah dan kotor sehingga harga dari karet pun cenderung
murah. Hal lain yang sering terlupakan adalah masa rawat dari tanaman
karet. Koperasi atau kelembagaan industri karet terkait mereka
cenderung hanya memberikan bibit dan pengawasan yang dilakukan
baru sekedar program peremajaan karet saja sedang masa tunggu karet
tidak begitu diperhatikan sehingga kualitas dari bokar petani cenderung
rendah. Gapkindo dan Gapoktan harus mengambil peran untuk
memperbaiki kualitas bokar petani melalui program penyuluhan yang
terus digiatkan.
4. Bentuk hubungan kerjasama pelaku industri karet
Petani karet tradisional belum mampu menjalankan pemasaran
secara terkoordinir kepada perusahaan pengolah karet. Alur distribusi
pemasaran mereka masih cenderung panjang dan melibatkan tengkulak
dan pedagang perantara sebelum sampai ke perusahaan pengolah karet.
Peran koperasi dan kelompok tani disini adalah mengembangkan pola
kemitraan yang efisien untuk memutus rantai pemasaran yang terlalu
panjang.
Pola kemitraan yang terbentuk selama ini masih harus terus dikaji
untuk meningkatkan kualitas kerja sama yang saling menguntungkan
antara petani karet dan perusahaan. Kualitas bokar petani harus
ditingkatkan melalui difusi teknologi melalui program pembinaan
koperasi terkait agar harga dari bokar tidak jatuh ketika masa jual.
Selama ini di daerah Kimtrans Rambutan 1 masih belum terjalin
pola kemitraan dengan perusahaan karet secara terorganisir. Pemasaran
hasil karet masih melibatkan alur distribusi yang panjang sebelum
sampai ke perusahaan pengolah tanah.
b) Analisis SWOT terhadap pengembangan komoditas karet didaerah
transmigrasi
Strength
1. Ketersediaan Lahan
43
Daerah Sumatera selatan memiliki keunggulan dalam hal luas
perkebunan untuk pengembangan komoditas karet yang tercermin dari
dimasukkannya karet sebagai komoditas unggulan untuk meningkatkan
daya saing daerah di koridor Sumatera dalam Master Plan Percepatan
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Potensi alam yang dimiliki harus
mampu dioptimalkan oleh oleh pemerintah melalui penguatan
kelembagaan terkait dalam sektor tersebut diantaranya adalah
kelompok tani dan GAPOKTAN. Di daerah kimtrans Rambutan 1
GAPOKTAN menaungi 10 kelompok tani yang diberikan pembinaan
untuk memperbaiki kualitas karet yang dihasilkan
2. Pemberdayaan Transmigran
Pemberdayaan daerah transmigrasi sebagai penghasil karet
merupakan satu tindakan yang strategis mengingat potensi perkebunan
karet di wilayah pulau Sumatera khususnya di kimtrans rambutan 1
termasuk daerah yang potensial untuk mengembangkan komoditas
karet. Daerah transmigrasi dipilih sebagai daerah pengembangan
komoditas karet karena industri karet mampu menyerap tenaga kerja
yang cukup banyak apalagi untuk transmigran yang baru menempati
lahan baru. Selain menyajikan penyerapan tenaga kerja perkebunan
karet di daerah transmigrasi juga dapat memaksimalkan potensi
sumatera selatan dalam meningkatkan daya saing daerah.
Untuk meningkatkan daya saing daerah melalui sektor tanaman
karet tidak lepas dari peranan petani karet sendiri yang tergabung dalam
kelompok tani dan peran pemerintah dengan menyediakan
kelembagaan berupa Gapoktan. Gapoktan mempunyai peran sebagai
media dan perantara petani dalam pengembangan, produktivitas sampai
pemasaran ke konsumen karet.
Weakness
1. Kualitas SDM yang masih rendah
44
Berbicara kelemahan tidak lepas dari masalah pokok yang dihadapi
dalam pemberdayaan daerah transmigrasi yaitu berupa kualitas sumber
daya manusia yang masih rendah. Kualitas sumber daya manusia dalam
hal ini adalah kemampuan petani dalam menghasilkan karet yang
berkualitas. Selama ini petani karet masih belum menerapkan teknologi
dan masih bertani dengan menggunakan cara tradisional sehingga kualitas
hasil karet yang dihasilkan masih rendah sehingga harga jual rendah.
2. Manajemen Kelembagaan
Peran kelembagaan seperti Gapoktan yang terdapat di kimtrans
Rambutan 1 sekarang baru menginjak pada difusi teknologi yang bahkan
penerapan teknoligi yang diterapkan masih terus dikaji lembaga terkait
untuk dapan diadopsi oleh petani karet di wilayah tersebut. Kelembagaan
Gapoktan juga belum berfungsi sebagai pengontrol harga dan perantara
bagi petani untuk membangun suatu kemitraan usaha dengan perusahaan
pengolah karet dengan pola kemitraan yang saling menguntungkan kedua
belah pihak untuk menguatkan daya saing karet sendiri
Opportunity
Indonesia menempati urutan pertama untuk luas lahan perkebunan karet di
dunia. Tidak hanya terfokus di pulau Sumatera dan Kalimantan saja namun
tersebar di beberapa pulau lain termasuk ada beberapa di pulau Jawa.
Pengembangan perkebunan karet secara terfokus di koridor Sumatera
ditujukan untuk meningkatkan daya saing daerah. Pemetaan daerah
transmigrasi yang difokuskan di wilayah perkebunan karet adalah untuk
membuka peluang bagi transmigran untuk meningkatkan produktivitas hasil
karet sebagai komoditas unggul yang siap ekspor.
Ketersediaan lahan yang dimiliki Indonesia merupakan satu modal besar
apabila dibarengi dengan peningkatan kualitas karet yang dihasilkan. Hasil
survei yang dilakukan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan
menyatakan bahwa Indonesia memiliki areal karet terluas di dunia (3,4 juta
45
ha), diikuti Thailand (2,1 juta ha), dan Malaysia (1,3 juta ha) dengan produksi
Indonesia 2,6 juta ton, Thailand 2,9 juta ton, dan Malaysia sekitar 1,1 juta
ton. Saat ini areal karet nasional terluas berada di Provinsi Sumatera Selatan
dengan luas 1,29 juta ha yang terdiri dari 1,2 juta ha perkebunan rakyat
(92,9%), 42,1 ribu ha perkebunan campuran nasional dan asing, 39,8 ribu ha
perkebunan besar swasta nasional (3,1%), 6,8 ribu ha perkebunan besar
negara (0,5%), dan 2,3 ribu ha perkebunan swasta asing (0,2%). Sementara
itu di Sumsel saat ini terdapat 29 perusahaan yang bergerak di pengolahan
produk karet.
Treath
1. Karet sintetis
Hadirnya karet sintetis tidak dapat dipungkiri sangat mengancam
pengembangan industri karet di Indonesia. Karet sintetis yang diproduksi
dengan teknologi yang cangggih tentu memiliki beberapa keunggulan
dibanding karet alami yang dihasilkan petani lokal. Masalah waktu dalam
memproduksi tentu lebih efisien karet sintesis karena proses produksinya
tidak selama karet alami hargapun justru lebih murah dibandingkan karet
alam.
2. Standarisasi ramah lingkungan
Tantangan lain terkait dengan isu sustainability dan ketertelusuran bahan
baku karet alam dalam produksi Green Tyre di Uni Eropa yang
mengharuskan industri pengolahan karet adalah ramah lingkungan. Isu
standarisasi ini menjadi tantangan karena produk karet mengingat bokar hasil
petani lokal masih memerlukan proses pemurnian untuk dapat ke pabrik
pengolahan karet.
c) Penguatan Kelembagaan
Masalah yang dihadapi dalam pengembangan industri karet di daerah
Kimtrans 1 adalah mutu bahan olah karet (bokar) yang rendah, yang
mengakibatkan inefisiensi pengangkutan dan pengolahan serta menimbulkan
bau busuk menyengat mulai dari kebun sampai di pabrik. Hasil dari petani
46
karet di desa Pule masih berkualitas sangat rendah sehingga bernilai jual
rendah. Upaya yang pernah dilakukan pemerintah dalam mengoptimalkan
kelembagaan kelompok tani dan koperasi di daerah transmigrasi desa pule
adalah melakukan difusi teknologi dan pengembangan sumber daya manusia.
Program ini memiliki tujuan untuk mencerdaskan petani karet di daerah pule
melalui difusi teknologi untuk meningkatkan mutu karet yang dihasilkan.
Hasil dari rumusan tersebut secara singkat tercermin dalam skema dibawah
ini.
Gambar 3. kerangka, strategi dan bentuk pemanfaatan (Badan Litbang Informasi
Kemnakertrans )
Program ini difokuskan penguatan kelembagaan sebagai sarana
pembelajaran dan difusi teknologi pengolahan karet pada petani untuk
peningkatan mutu bokar. Lembaga yang terlibat dalam program ini antara lain
Balai Penelitian Sembawa, Balitbanginov Prov Sumatera Selatan, Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (provinsi dan Kabupaten), Dinas Perkebunan
(provonsi dan Kabupaten),dan Dit. Pengembangan Usaha Kemnakertrans.
Pada kenyataannya peran kelembagaan Gapoktan di kimtrans Rambutan 1
masih berhenti pada tahap peningkatan mutu dari olahan karet berupa gokar.
Untuk pemasaran dari hasil karet para petani masih belum bisa dinaungi oleh
Gapoktan tersebut sehingga harga jual dari hasil olahan. Koperasi seharusnya
mampu menjadi sebuah lembaga perantara pemasaran bagi petani dan
membangun sebuah kemitraan kepada perusahaan pengguna bahan baku
karet.
47
Pengoptimalan peran kelembagaan tani
Penguatan kelembagaan untuk meningkatkan daya saing produk hasil karet
tidak lepas dari belum berfungsinya peran lembaga terkait secara optimal
dalam pengembangan hasil karet di koridor Sumatera terutama di kimtrans
Rambutan 1 di Sumatera Selatan.
Peran sebagai perantara pemasaran
Rantai pemasaran karet seharusnya melalui lembaga yang ada dalam hal
ini adalah Gapoktan Bina Makmur. Kelembagaan ini harus mampu
mengorganisir pemasaran hasil karet dengan meminimalkan alur distribusi
yang ada. Semakin sedikit pihak yang terlibat dalam alur distribusi pemasaran
akan semakin efisien proses pemasaran hasil karet. Koperasi juga harus
berperan sebagai perantara untuk petani dalam menjalin kemitraan dengan
perusahaan pengolahan karet dan berfungsi sebagai pengontrol harga bagi
komuditas tersebut. Pola pemasaran yang masih berjalan di Kimtrans
Rambutan 1 adalah alur distribusi tradisional yang masih melibatkan banyak
pihak sehingga prosesnya panjang dari petani ke pabrik pengolahan karet.
Gambar 4. rantai pemasaran bokar tradisional
Pola ini menunjukkan bahwa gapoktan belum mampu mengambil peran
dalam proses pemasaran karet dari petani. Penguatan kelembagaan koperasi
perlu ditingkatkan tidak hanya berperan sebagai difusi teknologi tetapi harus
mampu mencakup semua aspek pengembangan karet dari hulu hingga hilir.
Tidak cukup hanya meningkatkan kualitas dan produktifitas karet saja
mengingat potensi ekspor karet yang begitu potensial industri ini harus digarap
dengan sungguh-sungguh.
48
Gapoktan harus memutus mata rantai yang panjang dalam pendistribusian
hasil karet dengan cara masuk dalam alur distribusi kepada perusahaan
pengolahan karet dan berperan sebagai pengontrol harga sehingga perusahaan
tetap dapat dikontrol dalam memberikan harga kepada petani.
Gambar 5. Rantai pemasaran bokar yang terorganisasi
Dalam pola diatas koperasi telah mengambil peran dalam distribusi
pemasaran hasil karet dari petani. pola kemitraan juga ditawarkan koperasi untuk
memfasilitasi petani karet yang tergabung dalam kelompok tani untuk bermitra
dengan perusahaan pengolah karet. Sistem pemasaran bokar yang terorganisir
terdapat kessepakatan yang harus disepakati oleh kedua pihak yang bermitra
antara lain :
1. Terdapat standarisasi kualitas bokar
Kualitas bokar terus akan ditingkatkan oleh petani karet di desa
Pule dengan menggunakan difusi teknologi yang diterapkan dalam
program arahan pemerintah yang ditujukan di daerah transmigrasi desa
pule melalui koperasi Tekad Mandiri.
2. Harga
Dalam menentukan harga kedua pihak yang terkait harus
melakukan transparansi kepada koperasi sebagai dapat berperan
pengontrol harga untuk melindungi petani karet dari ketimpangan harga
yang mungkin dilakukan oleh perusahaan.
49
Dari pola terorganisir, GAPOKTAN juga mampu mengambil peran
sebagai fasilitator dalam pola hubungan antara produsen hulu ke hilir
melalui dua macam tipe hubungan yaitu kemitraan dan lelang.
Pengembangan pola Kemitraan
Kemitraan Usaha adalah jalinan kerjasama usaha yang saling
menguntungkan antara pengusaha kecil dengan pengusaha
menengah/besar (Perusahaan Mitra) disertai dengan pembinaan dan
pengembangan oleh pengusaha besar, sehingga saling memerlukan,
menguntungkan dan memperkuat. Kemitraan membutuhkan persyaratan,
antara lain adanya kesamaan visi (untuk kepentingan bersama), komitmen
(kesungguhan untuk mencapai tujuan bersama), kooperatif (mau bekerja
sama) dan akuntabel(dapat dipertanggungjawabkan). Secara konsepsi melalui
kemitraan diperoleh banyak keuntungan, di antaranya:
1. Pemasaran produk lebih pasti dan periodik
2. Perusahaan besar dapat memperoleh pasokan secara rutin dengan kualitas
sesuai kesepakatan.
3. Bantuan dalam bentuk dana, teknologi, manajemen dan sarana lainnya
dapat tersedia bagi petani.
4. Proses persaingan tidak terjadi pada produk yang sama karena telah diatur
segmennya dalam kemitraan.
5. Masing-masing pengusaha (besar, menengah, dan kecil) mempunyai
spesialisai dan tugas yang saling mendukung
Pola kemitraan usaha pertanian yang telah direkomendasikan yaitu:
A. Pola inti plasma. Adalah hubungan kemitraan antara kelompok mitra
dengan perusahaan mitra dimana kelompok mitra bertindak sebagai plasma
inti. Perusahaan Mitra membina Kelompok Mitra dalam hal:
a. Penyediaan dan penyiapan lahan
b. Pemberian saprodi.
c. Pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi.
d. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi.
50
e. Pembiayaan.
f. Bantuan lain seperti efesiensi dan produktifitas usaha.
B. Pola Sub Kontrak Adalah hubungan kemitraan antar kelompok mitra
dengan perusahaan mitra; dimana kelompok mitra memproduksi komponen
yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.
C. Pola Dagang Umum Adalah hubungan kemitraan antara kelompok
mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra memasarkan hasil
produksi kelompok mitra memasok kebutuhan perusahaan mitra.
D. Pola Keagenan Adalah hubungan kemitraan antar kelompok mitra
dengan perusahaan mitra dimana kelompok diberi hak khusus untuk
memasarkan barang dan jasa usaha pengusaha mitra.
E. Pola Kerjasama Operasional Agribisnis Adalah hubungan kemitraan
antar kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana kelompok mitra
menyediakan modal dan atau sarana untuk mengusahakan/budidaya
pertanian.
F. Pola Pasar Lelang Pasar lelang bokar merupakan bentuk interaksi
antara permintaan pabrik pengolah dan penawaran langsung dari
petani/kelompok tani. Harga transaksi yang terjadi adalah harga tertinggi
yang ditentukan secara transparan dan dilaksanakan di tingkat lokal/desa.
Pasar lelang bokar berperan sebagai lembaga perantara bagi kepentingan
pembeli dan penjual, terutama dalam hal penentuan harga yang sesuai. Pasar
lelang juga berfungsi sebagai wahana untuk memberikan pelayanan dan
sarana bagi pembeli dan penjual. Pelayanan dan sarana tersebut adalah sarana
tempat, pengumpulan produk, informasi patokan harga regional dan
internasional, serta penilaian mutu bokar. Pelayanan dan sarana tersebut
diharapkan dapat berkembang menjadi sistem standarisasi dan grading, serta
sarana untuk mengadakan transaksi.
Mekanisme umum pasar lelang bokar sebagai berikut :
1. Panitia lelang mengkoordinasikan jenis dan mutu bokar tertentu yang
harus dihasilkan oleh petani/kelompok tani sesuai dengan permintaan
pasar.
51
2. Panitia lelang mengundang pabrik pengolah atau pedagang besar untuk
mengikuti lelang pada waktu yang ditentukan, disertai estimasi jenis dan
volume bokar yang akan dilelang.
3. Para petani/kelompok tani mengumpulkan sejumlah bokar dengan volume
tertentu.
4. Diadakan pemeriksaan mutu bokar oleh panitia dan penawar lelang.
5. Panitia lelang menentukan harga indikator yang disesuaikan dengan
perkembangan harga umum (terutama harga internasional) dengan
memperhatikan mutu.
6. Pembeli mengadakan penawaran terbuka dan ditentukan harga penawaran
tertinggi.
7. Penimbangan bokar yang dilelang.
8. Pembayaran bokar dilakukan secara tunai.
52
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kualitas bahana olahan karet yang dihasilkan oleh kimtrans 1 masih
rendah karena petani masih menggunakan tawas, bahan pembeku berisi
H2SO4 , petani lebih memilih tawas karena harga yang lebih murah.
Kurang maksimalnya peran gapoktan bina makmur membuat petani
kurang dalam pengetahuan mengenai pengolahan karet keterbatasan
teknologi menjadi faktor penentu ketidakberkembangnya petani karet
kimtrans rambutan 1.
2. Peran dari gapoktan rambutan 1 masih sebatas sosialisasi kebijakan dari
pemerintah, gapoktan belum mampu menjadi perantara kemitraan maupun
pasar lelang dalam sistem pemasarannya.
B. Saran
1. Dilakukannya penguatan kelembagaan dan peremajaan fungsi dan
peran gaptokan sehingga gaptokan bina makmur mampu sarana bagi
petani dalam segala aspek, meliputi penyedia benih unggul,penyuluhan
perawatan tanaman,menjamin kualitas melalui peningkatan
teknologi,menyediakan alternatif kemitraan, mengawasi jalannya
kemitraan yang ada untuk menjadikan petani karet sejahtera dan
menghasilkan output yang berkualitas serta berdaya saing.
2. Pemerintah perlu memberikan pelatihan dan bimbingan yang intensif
dalam hal manajemen, peningkatan kualitas sumber daya anggota
gapoktan, disediakannya saran konsultasi bagi petani dan gapoktan
jika mengalami kendala dalam pengolahan karet.
3. Diperlukan keterkaitan antar sektor baik dari petani karet,
kelembagaan, pemerintah daerah yang terkait, pihak swasta berupa
perusahaan yang mau bermitra.
53
DAFTRA PUSTAKA
Anharudin, R.N. Dewi, dan Anggraini, R. 2003. Membidik Arah Kebijakan
Transmigrasi Pasca Reformasi, Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Ketransmigrasian, I : 1 – 14.
BPS.2009.Data Strategis BPS.Badan Pusat Statistik.Jakarta
Damanik,Sabarma.(2012). Pengembangan Karet (Havea brasiliensis)
Berkelanjutan di Indonesia. http://s3.amazonaws.com/.diakses 19/05/2014.
Departemen Perindustrian.2007.Gambaran Sekilas Industri Karet.Departemen