UPAYA PASANGAN SUAMI ISTRI TUNANETRA MEMBENTUK KELUARGA SAKINAH DI YAYASAN RAUDLATUL MAKFUFIN SERPONG – TANGERANG SELATAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : AINUROHMAN NIM. 1113044000067 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2019 M / 1440 H
132
Embed
UPAYA PASANGAN SUAMI ISTRI TUNANETRA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46491/...lingkungannya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
UPAYA PASANGAN SUAMI ISTRI TUNANETRA
MEMBENTUK KELUARGA SAKINAH DI YAYASAN
RAUDLATUL MAKFUFIN SERPONG – TANGERANG SELATAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
AINUROHMANNIM. 1113044000067
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2019 M / 1440 H
ABSTRAK
Ainurohman. NIM 1113044000067. UPAYA PASANGAN SUAMIISTRI TUNANETRA MEMBENTUK KELUARGA SAKINAH DIYAYASAN RAUDLATUL MAKFUFIN SERPONG – TANGERANGSELATAN. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019M/1440H. viii+91halaman.
Keluarga sakinah merupakan tujuan dari setiap pernikahan dan tentumenjadi dambaan bagi setiap pasangan suami istri, tak terkecuali dengan pasangansuami istri tunanetra, tentu cara pasangan suami istri tunanetra membentukkeluarga sakinah berbeda dengan pasangan suami istri normal pada umumnya.Tujuan dari penelitian ini adalah: Pertama untuk mengetahui pemahamanpasangan suami istri tunanetra tentang keluarga sakinah, Kedua untuk mengetahuiupaya pasangan suami istri tunanetra membentuk keluarga sakinah.
Jenis penelitian yang digunakan yaitu field research (penelitian lapangan),dengan Pendekatan Normatif. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dariYayasan Raudlatul Makfufin Serpong. Penelitian ini bersifat deskriptif analitikdengan mengumpulkan data yang valid melalui sumber-sumber terpercaya.Teknik pengumpulan data berupa wawancara dengan lima pasangan suami istritunanetra dan satu orang pengurus Yayasan Raudlatul Makfufin. Analisis datamenggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil studi dari penelitian ini yaitu pertama, pemahaman pasangan suamiistri tunanetra tentang keluarga sakinah terbagi menjadi empat, yaitu 1) keluargayang diliputi dengan kasih sayang dan jarang bertengkar. 2) Keluarga yang selaluberpegang pada ajaran agama Islam. 3) Keluarga yang ekonomi berkecukupanserta pendidikan yang layak, dan 4) Keluarga yang terjamin dalam kesehatan sertaaktif dalam hidup bersosial. Dengan demikian, pasangan suami istri tunanetra diYayasan Raudlatul Makfufin serpong, memahami bahwa keluarga sakinah itutidak dinilai dari sempurnanya fisik pasangan. Kedua, upaya pasangan suami istritunanetra membentuk keluarga sakinah adalah dengan: 1) ekonomi, para pasangansuami istri tunanetra tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga,diantaranya sebagai guru dan karyawan, 2) pengasuhan anak, sebagian pasangantunanetra tersebut ada yang mandiri dalam mengasuh anak, dan ada pula yangdibantu dengan orang lain, 3) hubungan biologis, pasangan suami istri tunanetrasaling menerima satu sama lain tanpa melihat adanya kekurangan padapasangannya, serta 4) pengurusan tugas rumah tangga, sebagian pasangantunanetra mengurus rumah tangga secara mandiri, namun adapula yang dibantuorang lain.
Kata Kunci : Keluarga Sakinah, Tunanetra, Yayasan Raudlatul Makfufin
A. Kesimpulan ........................................................................................ 89
B. Saran ................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 92
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang mensyariatkan pernikahan, dalam islam
pernikahan tidaklah hanya semata-mata sebagai hubungan atau kontrak
keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah, maka, amatlah tepat
jika kompilasi hukum islam menegaskan bahwa pernikahan sebagai akad yang
sangat kuat untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan nilai
ibadah. pernikahan dalam islam bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang
sakinah, sebagaimana di jelaskan pada surat Ar-Rum (30): 21:
ة إن في ذلك ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحم
آليات لقوم يتفكرون
Artinya:”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikan diantaramu rasa kasih sayang, sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir”.
Keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang, tentram, rukun dan damai.
Dalam keluarga itu terjalin hubungan mesra dan harmonis diantara semua anggota
keluarga dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.1 Sedangkan dalam
keputusan Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor:
D/71/1999 tentang Pelaksanaan Pembinaan Keluarga Sakinah Bab III Pasal 3
menyatakan bahwa keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas
perkawinan yang sah mampu memenuhi hajat spiritual dan material secara layak
dan seimbang diliputi suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan
1 Hasan Basri, Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), cet. Ke-4, h.,
16
2
lingkungannya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan, menghayati
dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.2
Rasulullah SAW bersabda dalam hadist riwayat Ad-Dailami dari Anas
menyatakan “Tatkala Allah menghendaki anggota keluarga menjadi baik, maka
Dia memahamkan mereka tentang agama, mereka saling menghargai. Yang muda
menghormati yang tua, Dia memberikan rizki dalam kehidupan mereka, hemat
dalam perbenlanjaan mereka, dan mereka saling menyadari kekurangan-
kekurangan lantas mereka memperbaikinya, dan apabila Dia menghendaki
sebaliknya, maka Dia meninggalkan mereka dalam keadaan merana”. (HR. Ad-
Dailami dari Anas)3
Ayat dan hadist diatas menjelaskan bahwa keluarga sakinah menjadi
dambaan dan idaman setiap keluarga, keluarga sakinah merupakan impian dan
harapan setiap insan yang merencanakan dan melangsungkan pernikahan, serta
menjadi tujuan dari pernikahan itu sendiri
Untuk mewujudkan keluarga sakinah perlu ditetapkan hak dan kewajiban
antara suami dan istri. Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung
jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan
hati, sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian
tujuan pernikahan akan terwujud sesuai tuntutan agama, yaitu sakinah, mawaddah
wa rahmah. Berbicara tentang hak pasti dibarengi dengan berbicara tentang
kewajiban. Hak dan kewajiban ibarat dua sisi satu mata uang. Luas dan fungsinya
juga sama dan berimbang. Bila terjadi ketimpangan di mana hak lebih ditekankan
atau lebih luas dari kewajiban, atau sebaliknya, niscaya akan tercipta ketidak
adilan. Dalam lingkungan keluarga, hak dan kewajiban yang berjalan seimbang
amat menentukan keberlangsungan dan keharmonisan hubungan keduanya. Islam
sangat memperhatikan hak dan kewajiban dalam ikatan keluarga, hak dan
kewajiban suami istri dalam Islam sudah diatur sedemikian rupa, yaitu meliputi
2 Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat, Petunjuk Pelaksanaan
Pembinaan Keluarga Sakinah, (Bandung: Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, 2004), h., 21 3 Hasan Basri, Membina Keluarga Sakinah, h.,18
3
hak dan kewajiban suami terhadap istri, hak dan kewajiban istri terhadap suami
serta hak dan kewajiban bersama suami istri. Adanya hak dan kewajiban antara
suami istri dalam kehidupan rumah tangga itu dapat dilihat pada surat Al-Baqarah
(2): 228:
جال ع ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللر زيز حكيم عليهن درجة وللا
Artinya: “Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada istrinya, Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Pentingnya hak dan kewajiban dalam berumah tangga haruslah sangat di
perhatikan, karna tak jarang salah satu penyebab munculnya kegoncangan pada
keluarga yaitu perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan tidak adanya
pengetahuan suami dan istri terhadap haknya masing-masing atau pengabaian hak
pasangan. Oleh karena itu untuk menciptakan keluarga sakinah, suami istri
dituntut untuk mengerti, memahami serta melaksanakan kewajibannya terhadap
pasangannya. Yang dimaksud dengan kewajiban disini adalah hal-hal yang wajib
dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami atau istri untuk memenuhi
hak dari pihak lain. Suatu pekerjaan melaksanakan kewajiban guna memenuhi
hak-hak antara suami istri inilah yang disebut fungsi keluarga, adalah pekerjaan
atau tugas yang harus dilakukan didalam atau diluar keluarga. Masalah krisis
keluarga dapat diduga muncul sebagai akibat tidak berfungsinya tugas dan
peranan keluarga yang sudah ditetapkan dalam hak dan kewajiban. Dalam buku
pegangan kursus pra nikah untuk calon pengantin disebutkan bahwa terdapat 8
(delapan) fungsi keluarga diantaranya adalah fungsi keagamaan, fungsi sosial-
budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi
sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan4.
4 Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat, Petunjuk Pelaksanaan
Pembinaan Keluarga Sakinah, h., 24
4
Apabila setiap keluarga menerapkan fungsi-fungsi yang seharusnya
berjalan didalam kehidupan keluarga, maka keluarga sakinah yang merupakan
tujuan pernikahan pun akan tercapai. Namun permasalahannya bagaimana jika
dalam sebuah keluarga terdiri dari pasangan suami istri tunanetra? Bagaimana
pasangan tersebut mampu menjalankan hak dan kewajibannya dalam keluarga?
Bagaimana cara suami tunanetra menjalankan kewajibannya sebagai kepala
keluarga? Bagaimana cara suami istri menyelesaikan permasalahan dalam
keluarga? Bagaimana pasangan suami istri tunanetra menciptakan keluarga yang
sakinah? Apa pemahaman suami istri tunanetra terhadap keluarga sakinah?
Di Yayasan Raudlatul Makfufin, Kelurahan Buaran Kecamatan Serpong
Kota Tangerang Selatan terdapat 8 (Delapan) Pasang suami istri tunanetra yang
telah menjalani hidup berumah tangga selama beberapa tahun pernikahan, dalam
sebuah keluarga pasangan ini pasti terdapat permasalahan dan tantangan yang
dihadapi dalam memebentuk keluarga sakinah, tentu berbeda dengan keluarga lain
pada umumnya, bahkan mungkin lebih sulit, mengingat kondisi salah satu atau
keduanya yang kurang sempurna. Meskipun demikian, kenyataan membuktikan
bahwa pasangan ini masih bisa mempertahankan keluarganya dengan cukup baik
hingga saat ini, hal ini menjadi menarik, mengingat dalam upaya membentuk
keluarga sakinah sangat dibutuhkan usaha dan kerja keras, lalu bagaimana upaya
keluarga tunanetra ini dalam membentuk keluarga sakinah. Berdasarkan realita
tersebut, Penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh yang dituangkan dalam bentuk
skripsi dengan judul “Upaya Pasangan Suami Istri Tunanetra membentuk
Keluarga Sakinah di Yayasan Raudlatul Makfufin Serpong – Tangerang
Selatan”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat di identifikasi
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apa makna keluarga sakinah yang dipahami oleh pasangan tunanetra?
5
2. Bagaimana pelaksanaan hak dan kewajiban suami istri bagi pasangan yang
tunanetra?
3. Apa saja upaya yang dilakukan oleh pasangan suami istri tunanetra dalam
membentuk keluarga sakinah?
4. Apa saja faktor pendukung dan penghambat pasangan tunanetra dalam
membentuk keluarga sakinah?
5. Bagaimana sikap negara bagi pasangan tunanetra dalam mewujudkan
keluarga sakinah?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini untuk menghindari pembahasan yang terlalu melebar,
penulis membatasi masalah yang dikaji hanya berkaitan dengan pemahaman
pasangan suami istri tunanetra terhadap keluarga sakinah dan upaya mereka dalam
membentuk keluarga sakinah. Dalam skripsi ini yang dimaksud dengan pasangan
suami istri tunanetra adalah pasangan suami istri yang keduanya tunanetra, suami
normal sedangkan istri tunanetra, dan suami tunanetra sedangkan istri normal.
Kemudian yang dimaksud dengan keluarga sakinah adalah sebuah keluarga yang
dibina atas perkawinan yang sah mampu memenuhi hajat spiritual dan material
secara layak dan seimbang diliputi suasana kasih sayang antar anggota keluarga
dan lingkungannya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan,
menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan , ketakwaan dan akhlak mulia.
Penelitian ini dilaksanakan di Yayasan Raudlatul Makfufin Serpong
Tangerang Selatan, mulai Januari 2018 sampai Maret 2018.
2. Rumusan Masalah
Permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Bagaimana pemahaman pasangan suami istri tunanetra di Yayasan
Raudlatul Makfufin Serpong mengenai keluarga sakinah?
6
b. Apa upaya pasangan suami istri tunanetra di Yayasan Raudlatul
Makfufin Serpong dalam pembentukan keluarga sakinah?
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, maka yang menjadi tujuan
dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pemahaman pasangan suami istri tunanetra di Yayasan
Raudlatul Makfufin Serpong mengenai keluarga sakinah
b. Untuk mengetahui upaya pasangan suami istri tunanetra di Yayasan
Raudlatul Makfufin Serpong dalam membentuk keluarga sakinah
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini selain bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca
pada umumnya, bahwa betapa pentingnya berkeluarga, rasa pengertian dan
saling menerima kondisi pasangan, sehingga tercipta suatu keluarga yang
tentram dan kuat dalam menghadapi tiap permasalahan yang ada dalam
membentuk keluarga sakinah
b. Sebagai sumbangan untuk memperkaya khazanah keilmuan khususnya
pada pembahasan keluarga sakinah bagi pasangan tunanetra, sehingga
kelak dapat dijadikan motivasi bagi penulis dan pembaca
.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan “yuridis
sosiologis”. Secara yuridis yang ditelaah yakni tentang peraturan perundang-
undangan hukum perdata khususnya dalam masalah pernikahan. Sedangkan dari
segi sosiologisnya dengan mengamati pendapat/tanggapan pasangan suami istri
tunanetra di Yayasan Raudlatul Makfufin Serpong Tangerang Selatan mengenai
upaya pasangan suami istri tunanetra dalam membentuk keluarga sakinah,
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah field research (studi
lapangan), yaitu peneliti langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada
7
objek yang dibahas, yakni dimaksudkan untuk mempelajari secara mendalam
mengenai suatu cara unit sosial. Dalam hal ini peneliti mencoba memahami
berbagai pendapat serta pengalaman pasangan suami istri tunanetra di Yayasan
Raudlatul Makfufin Serpong Tangerang Selatan tentang keluarga sakinah serta
upaya pasangan suami istri tunanetra tersebut dalam membentuk keluarga
sakinah.
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer, yakni data-data yang diperoleh langsung dari
sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya, yang diperoleh
berupa data atau pendapat dari hasil wawancara dengan pasangan
suami istri tunanetra di Yayasan Raudlatul Makfufin Serpong
Tangerang Selatan dan juga para pihak yang berkompeten.
b. Sumber Data Sekunder, yaitu data-data yang bukan diusahkan sendiri
oleh penelitii. Data sekunder ini meliputi dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian,
dan lainnya. Data sekunder ini membantu peneliti untuk mendapatkan
bukti maupun bahan yang akan di teliti, sehingga peneliti dapat
memecahkan atau menyelesaikan suatu penelitian yang baik.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis,
karena tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan data. Bila dilihat dari
sumber datanya, maka pengumpulan data menggunakan interview atau
wawancara
Metode interview dalam pengumpulan data pada penelitian ini merupakan
primer atau utama. Adapun teknik yang digunakan adalah interview bebas
terpimpin, yaitu kombinasi antara interview terpimpin dalam pelaksanannya
pewawancara membawa serentetan pertanyaan lengkap dan terperinci, serta
8
dilaksanakan dalam suasana santai namun serius.5 Dengan kata lain, pewawancara
mengajukan pertanyaan yang telah disusun sebelumnya, dan informan dapat
menjawab dengan bebas (tidak di tentukan oleh pewawancara tentang alternatif
jawabannya).
Di Yayasan Raudlatul Makfufin Serpong terdapat 8 (Delapan) Pasang
suami istri tunanetra, yang menjadi objek penelitian ini adalah sejumlah. 5 (Lima)
Pasang. Pasangan yang diteliti ditentukan oleh pengelola Yayasan Raudlatul
Makfufin dengan syarat memenuhi kriteria yaitu,
1) Suami Tunanetra & Istri Tunanetra berjumlah 2 pasang
2) Suami Tunanetra & Istri Normal berjumlah 3 Pasang.6
Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, dengan
mengumpulkan dan menganalisis hal-hal yang berupa buku, makalah, artikel dan
sebagainya.
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data diproses dengan proses diatas, maka tahapan selanjutnya
adalah pengolahan data. Dan untuk menghindari agar tidak terjadi banyak
kesalahan dan mempermudah pemahaman maka peneliti dalam menyusun
penelitian ini akan melakukan beberapa upaya diantaranya adalah:
a. Editing
Editing merupakan proses penelitian kembali terhadap catatan,
berkas-berkas, informasi dikumpulkan oleh pencari data.7 Dalam hal
ini peneliti menganalisis kembali hasil penelitian yang didapatkan
5 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Sebuah Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), h., 127-128 6 Pada dasarnya peneliti memberikan tiga kriteria pasangan untuk menjadi objek
penelitian, yaitu Suami&Istri tunaetra, suami Tunanetra & istri normal dan suami normal & istri
tunanetra, akan tetapi untuk kriteria ke-3 (suami normal & istri tunanetra) penulis tidak
mendapatkannya di lapangan. 7 Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2006), h., 45
9
seperti wawancara, observasi ataupun dokumentasi. Proses editing
diharapkan mampu meningkatkan kualitas data yang hendak diolah
dan dianalisis, karena bila data yang dihasilkan berkualitas, maka
informasi yang dibawapun juga ikut berkualitas.
b. Klasifikasi (pengelompokan)
Klasifikasi adalah mereduksi data yang ada dengan cara menyusun
dan mengklasifikasikan data yang diperoleh kedalam pola tertentu atau
permasalahan tertentu untuk mempermudah pembahasannya. Pada
penelitian ini, setelah proses pemeriksaan atas data-data yang diambil
dari masyarakat Kotalama selesai, kemudian data-data tersebut
dikelompokkan berdasarkan kategori-kategori kebutuhan akan data-
data penelitian dimaksud, dengan tujuan agar lebih mudah dalam
melakukan pembacaan dan penelaahan. Disini peneliti menelaah
kembali data yang dihasilkan kemudian mengklasifikasikan sesuai
dengan data yang diperlukan.
c. Pemeriksaan (Verifying) Data
Setelah diklasifikasikan langkah yang kemudian dilakukan adalah
verifiikasi (pemeriksaan) data yaitu mengecek kembali dari data-data
yang sudah terkumpul untuk mengetahui keabsahan datanya apakah
benar-benar sudah valid dan sesuai dengan yang diharapkan oleh
peneliti. Dalam tahap verifikasi, peneliti dapat meneliti kembali
mengenai keabsahan datanya di mulai dari responden, apakah
responden tersebut termasuk yang diharapkan peneliti atau tidak.
d. Analisis Data
Langkah selanjutnya adalah menganalisis data-datayang sudah
terkumpul kemudian mengkaitkan antara data-data yang sudah
terkumpul dari proses pengumpulan data yaitu melalui wawancara dan
observasi dengan sumber datanya seperti buku-buku Ensiklopedi,
kitab-kitab, jurnal dan lain sebagainya untuk memperoleh hasil yang
lebih efisien dan sempurna sesuai dengan yang peneliti harapkan.
10
Metode analisis yang dipakai penulis adalah deskriptif kualitatif,
yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status fenomena
dengan kata-kata atau kalimat, kemudian dipisah-pisahkan menurut
kategori untuk memperoleh kesimpulan.
e. Kesimpulan
Setelah proses analisa data selesei, maka dilakukan kesimpulan
dari analisis data untuk menyempurnakan penelitian tersebut, dengan
tujuan untuk mendapatkan suatu jawaban dari hasil penelitian yang
dilakukan
5. Teknik Penulisan
Adapun Teknik penulisan menggunakan buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2017”
F. Review Studi Terdahulu
Dalam melakukan penelitian ini, penulis juga membaca, menelaah serta
mengambil teori dari studi-studi terdahulu, diantaranya :
1. Skripsi dengan judul “Konsep Keluarga Sakinah Menurut Keluarga Single
Parent”(Studi kasus di Desa Gumeng Kecamatan Bungah Kabupaten
Gresik) oleh Lailatul Furqoniyah, mahasiswa Peradilan Agama Fakultas
Syariah dan Hukum, Tahun 2014 dibawah bimbingan Drs. Abu Thamrin,
SH., M.Hum. Skripsi ini membahas terkait bagaimana keluarga single
parent dalam memandang keluarga sakinah . Kesimpulannya adalah, para
pelaku single parent memahami konsep keluarga sakinah, hanya saja
dalam kenyataanya, para suami atau istri pekaku single parent harus
menjalani peran ganda, baik sebagai suami maupun istri.
2. Skripsi dengan judul “Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Kehidupan
Perkawinan Keluarga/Pasangan Tunanetra” (Studi di ITMI (Ikatan
Tunanetra Muslim Indonesia) Kabupaten Sleman) oleh Rusia Ningsih,
mahasiswa Al Akhwal Asy Syakhsiyyah Fakultas Syariah, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta Tahun 2009 dibawah bimbingan Lebba, S.Ag., M.Si.
11
Skripsi ini membahas terkait bagaimana pasangan suami istri tunanetra
dalam menjalankan kehidupannya, yang berkaitan dengan hak dan
kewajibannya dalam keluarga. Kesimpulan nya adalah, pasangan suami
istri harus menerima satu sama lain, saling menjaga, memahami,
pengertian dan tak banyak menuntut, sehingga tercipta saling menjalankan
kewajiban serta mendapatkan hak dalam keluarga.
Dari 2 (dua) penelitian tersebut penulis mendapatkan kesimpulan
bahwasanya tampak bahwa apa yang penulis lakukan berbeda dengan apa yang
sudah dilakukan keduanya. Mereka menitik beratkan kepada hal-hal yang
mengenai pemenuhan hak dan kewajiban suami istri, sedangkan penulis lebih
kepada bagimana pemahaman suami istri tunanetra tentang keluarga sakinah dan
apa upaya keduanya untuk membentuk keluarga sakinah.
Disamping perbedaan pembahasan penelitian, perbedaan juga terdapat
pada lokasi penelitian. Keduanya melakukan penelitian di Desa Gumeng
Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik dan di ITMI (Ikatan Tunanetra Muslim
Indonesia) Kabupaten Sleman. Sedangkan penulis melakukan penelitian di
Yayasan Raudlatul Makfufin Serpong Tangerang Selatan.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, Peneliti akan memberikan gambaran
mengenai hal apa saja yang akan dilakukan. Maka secara garis besar gambaran
tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini :
Bab pertama, merupakan Pendahuluan yang berisikan latar belakang
masalah, Identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu serta sistematika
penulisan.
Bab kedua berisikan tinjauan umum tentang Pernikahan, Keluarga Sakinah
dan Tunanetra, diawali dari pengertian pernikahan, tujuan pernikahan, rukun dan
syarat pernikahan, hukum pernikahan serta hak dan kewajiban suami istri dalam
pernikahan. Kemudian membahas keluarga sakinah, diawali dari penegertian
12
keluarga sakinah, unsur-unsur keluarga sakinah, kriteria keluarga sakinah serta
upaya pembentukan keluarga sakinah. Selanjutnya membahas tunanetra, diawali
dengan pengertian tunanetra, klasifikasi tunanetra dan dampak tunanetra.
Bab ketiga berisikan gambaran umum tentang Yayasan Raudlatul
Makfufin dimulai dari deskripsi singkat Yayasan Raudlatul Makfufin yang berisi
letak geografis, kedudukan lembaga, tugas dan wewenang serta struktur
organisasi dan kegiatan lembaga, selanjutnya membahas Deskripsi Singkat
Penghuni Yayasan Raudlatul Makfufin yang berisi kondisi umum penghuni,
kondisi sosial pendidikan, kondisi sosial keagamaan dan kondisi sosial ekonomi,
selanjutnya membahas deskripsi singkat kehidupan pasangan tunanetra di
Yayasan Raudlatul Makfufin yang berisi pengalaman hidup dari 5 (Lima)
pasangan suami istri tunanetra
Bab keempat berisikan tentang Pengalaman Pasangan Tunanetra di
Yayasan Raudlatul Makfufin yang berisi hasil penelitian dan analisis, seperti
pemahaman pasangan suami istri tunanetra tentang keluarga sakinah, serta upaya
mereka dalam membentuk keluarga sakinah
Bab kelima, penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan
kesimpulan dan saran-saran
13
BAB II
PERNIKAHAN, KELUARGA SAKINAH DAN TUNANETRA
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Nikah berasal dari kata nakaha, yankihu, nikahan yang berarti
mengumpulkan. Menurut bahasa, nikah berarti suatu ikatan (akad) pernikahan
dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.1 Nikah juga berarti penggabungan
dan percampuran. dan bisa juga berarti kebersamaan, berkumpul, dan menjalin
ikatan antara suami istri.2
Nikah menurut bahasa adalah al-jam’u dan ad-dhamu yang artinya
kumpul atau bercampur. Maka nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu at-tazwij
yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan wath’u al-zaujah yang bermakna
menyetubuhi istri.3
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, nikah berarti perjanjian antara
seorang laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri secara resmi.4 Sedangkan
kata nikah menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,
melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan.5
Sedangkan menurut istilah syara’ nikah adalah akad yang meliputi rukun-
rukun dan syarat-syarat dengan tujuan istima’, menjalin rasa kasih sayang untuk
mencaai kepuasan lahir batin untuk menghindari pandangan mata yang haram
serta melestarikan keturunan yang shaleh.6 Dalam keterangan lain, nikah adalah
akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai pustaka, 1994), Cet. Ke-3, edisi ke-2, h., 179 2 Musifin As’ad dan H.Salim Basyarahil, Pernikahan dan Masalahnya.(Jakarta : Pustaka
Al-kautsar, 2002), hal., 17 3 Amir Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h., 37 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h., 614 5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h., 456 6 Syamsudin Abu Abdillah, Terjemah Fathul Qarib, Pengantar Fiqih Imam Syafi’I,
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), h., 247
14
memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.7
Dalam Islam pernikahan merupakan sunatullah yang sangat dianjurkan
karena hal itu merupakan cara yang dipilih Allah SWT untuk melestarikan
kehidupan manusia dalam mencapai kemaslahatan dan kebahagiaan hidup.8
Di dalam Al-Qur’an pernikahan banyak terdapat dalam beberapa ayat,
diantaranya dalam surat yasin (36): 36:
ا تنبت ال ا ال يعلم نفسهم وم رض ومن أ سبحان الذي خلق الزواج كلها مم ون م
Artinya: “Maha suci tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,
baik apa yang ditumbuhkan dari bumi dan dari diri mereka maupun apa yang
tidak mereka ketahui”.
Dalam surat An Nisa (4): 1:
اس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما يا أيها الن
ثيرا ونساء رجاال ك
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya,
dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak”.
Dalam surat an nahl (16): 72:
جا وجعل لكم ن أنفسكم أزو جعل لكم م جكم م وٱلل بنين وحفدة ن أزو
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kami sendiri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu”
Dalam Al-Quran sebagaimana diatas sudah jelas bahwa status ikatan
pernikahan adalah merupakan ikatan yang kokoh dan perjanjian yang kokoh
7 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada
masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah
sehingga dari keluarga-keluarga itu akan membentuk suatu umat, yaitu umat
Islam.18
Selain itu ada pendapat yang mengatakan bahwa tujuan pernikahan dalam
Islam selain untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga
sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan
dalam menjalankan hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinahan, agar
tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman
keluarga dan masyarakat.19.
Dalam hukum positif, tujuan pernikahan tertera jelas dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang merumuskan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarakan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Dari rumusan tersebut dapat dimengerti bahwa tujuan pokok pernikahan
adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu
saling membantu agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya,
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Selain itu, tujuan
material yang akan diperjuangkan oleh suatu perjanjian pernikahan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga bukan saja mempunyai unsur
lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga yang mempunyai peranan
penting.
Jadi, pernikahan adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua orang
laki-laki dan perempuan dengan tujuan material, yaitu membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
sebagai asas pertama dalam pancasila. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan
pernikahan dapat dirumuskan sebagai berikut :20
18 M. Thalib, Analisa dan Bimbingan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), h., 119 19 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Pernikahan, (Jakarta: Bulan
Bintang,1987), h., 13 20 Idris Ramulyo, Hukum Pernikahan Islam Suatu Analisis Drai Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, (Jakarta: Bumi Askara, 1996), h., 21
19
a. Melaksanakan ikatan pernikahan antara pria dan wanita yang
sudahdewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga
b. Mengatur kehidupan seksual antar seorang laik-laki dan perempuan
sesuai dengan ajaran dan firman Tuhan Yang Maha Esa
c. Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan
dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak untuk
masa depan
d. Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri dalam
membina kehidupan keluarga
e. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang terartur, tentram dan damai
dalam suatu ikatan pernikahan
3. Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya
sesuatu pekerjaan, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian perkerjaan itu.21
Adapun rukun nikah adalah:
a. Mempelai laki-laki
b. Mempelai perempuan
c. Wali
d. Dua orang saksi
e. Sighat ijab Kabul
Sedangkan syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu.
Adapun syarat pernikahan adalah :
a. Syarat-syarat suami
1) Bukan mahram dari calon istri
2) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri
3) Orang nya tertentu, jelas orangnya
21 Ahmad Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Press, 2009),
h., 12
20
4) Tidak sedang ihram
b. Syarat-syarat istri
1) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan
mahram, tidak sedang dalam iddah
2) Merdeka, atas kemauan sendiri
3) Jelas orangnya
4) Tidak sedang berihram
c. Syarat-syarat wali
1) Laki-laki
2) Baligh
3) Waras akalnya
4) Tidak dipaksa
5) Adil
6) Tidak sedang ihram
d. Syarat-syarat saksi
1) Laki-laki
2) Baligh
3) Waras akalnya
4) Adil
5) Dapat mendengar dan melihat
6) Bebas, tidak dipaksa
7) Tidak sedang mengerjakan ihram
8) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul
4. Hukum Pernikahan
Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan
realita yang tidak ada perdebatan di dalamnya. Nikah pada satu sisi adalah sunnah
yang dilakukan para Nabi dan Rasul dalam upaya penyebaran dan penyampaian
Risalah Illahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai penyambung
21
keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata
rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial seseorang.22
Kesinambungan mata rantai sebuah keluarga amat penting bagi generasi
hadapan agar mereka berkaca dan meneladani hal-halyang baik dan menjauhi hal-
hal yang buruk. Meskipun demikian, tidak berarti diambil kesimpulan bahwa
menikah menjadi sesuatu hal yang mutlak adanya tanpa melihat beberapa kondisi
pendukungnya.
Untuk mengetahui kedudukan nikah dilihat dari sudut pandang hukum
perlu dikemukakan beberapa hukum nikah. Menurut perspektif fikih, nikah
disyariatkan dalam Islam berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’. Ayat
yang menunjukan nikah disyariatkan adalah firman Allah dalam surat An-Nur
(24): 32, berikut :23
الحين من عبادكم و إمائكم إن يكونوا فقراء يغنهم هللا و أنكحوا اليامى منكم و الص
ليم واسع ع من فضله و هللا
Artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-
orang yang layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memeberikan kemampuan kepada merek adengan karunia-Nya".
Tentang hukum melakukan pernikahan, Ibnu Rusyd menjelaskan
segolongan fuqoha, yakni jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya
sunnah, golongan Zahiriah berpendapat bahwa nikah itu hukumnya wajib, para
ulama Malikiyah Mutaakhiriin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian
orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah bagi segolongan yang lain.24
Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan pelakunya, dilihat dari segi
kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka
22 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, .(Jakarta : Prima Heza Lestari), h., 7 23 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga,
melakukan pernikahan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunat, haram, makruh
ataupun mubah.25
a. Hukum wajib mekakukan pernikahan
Orang yang diwajibkan kawin, ialah orang yang sanggup untuk kawin,
sedang ia khawatir terhadap dirinya akan melakukan p0erbuatan yang dilarang
Allah melakukannya. Sehingga melakukan pernikahan merupakan satu-satunya
jalan baginya untuk menhindakan diri dari perbuatan yang dilarang Allah,
berdasarkan hadist Nabi SAW :
عن عبد هللا بن مسعود قال : قال لنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يا معشر الشباب ،
، ومن لم يستطع من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر ، وأحصن للفرج
فعليه بالصوم فإنه له وجاء )رواه بخارئ مسلم(
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, telah berkata kepada kami
Rasulullah SAW: “Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah
sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin, maka sesungguhnya kawin itu
menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memlihara
faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup, hendaklah ia bepuasa, karena puasa
itu adalah perasai baginya”. (HR. Bukhori dan Muslim).26
b. Hukum Sunnah melakukan pernikahan
Orang yang telah memiliki kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak nikah tidak dikhawatirkan berbuat
zina, maka melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah sunnat. Alasannya
anjuran Al-Quran seperti dalam surat An-Nur ayat 32 dan hadist Nabi yang
diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud tersebut berbentuk
perintah, tetapi berdasarkan qarinah-qarinah yang ada, perintah Nabi tidak
memfaedahkan hukum wajib, tetapi hukum sunnat saja.27
25 Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat, h., 18 26 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.th), h., 304 27 Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat, h., 20
23
c. Hukum Haram melakukan pernikahan
Melakukan pernikahan menjadi haram apabila orang yang melakukannya
tidak mempunyai keinginan dan kemampuan, serta tanggung jawab untuk
menjalankan kewajiban-kewajibandalam berkeluarga. Disamping itu haram
hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa mudharat
kepada istrinya karena ketidakmampuan dalam member nafkah lahir batin.28 Allah
SWT berfirman dalam surat al-baqarah (2): 195 :
لى التهلكة وال تلقوا بأيديكم إ
Artinya: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan".
d. Hukum makruh melakukan pernikahan
Orang yang makruh melakukan pernikahan ialah orang yang tidak
mempunyai kesanggupan untuk kawin (dibolehkan melakukan pernikahan tetapi
ia dikhawatirkan tidak dapat mencapai tujuan pernikahannya),29 karena itu
dianjurkan sebaiknya ia tidak melakukan pernikahan. Firman Allah SWT dalam
surat An-Nur (24): 33 :
هللا من فضله ا حتى يغنيهم و ليستعفف الذين ال يجدون نكاح
Artinya: Hendaklah menahan diri orang-orang yang tidak memperoleh (alat-alat)
utnuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan sebahagiaan karunia-Nya”.
e. Hukum Mubah melakukan Pernikahan
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi
apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila
melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Pernikahan orang tersebut
hanya didasarkan untuk meemnuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga
kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga
28 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h., 6 29 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Pernikahan, h., 24
24
ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya itu sama,
sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin.30
Sedangkan, jika dilihat dari hukum Indonesia, maka tak lepas dari
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, berdasarkan pasal 2 ayat
(1), perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya. Serta pasal dua ayat (2), menyatakan tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Sehingga,
setiap perkawinan harus tercatat di Kantor Urusan Agama.31.
Hukum pernikahan didasarkan pada alasan pernikahan, yang
dikelompokan menjadi lima, yaitu:
1) Wajib, bagi seseorang yang sudah cukup umur, mampu member
nafkah, dan khawatir tidak mampu menahan nafsu atau takut berzina
2) Sunnah, bagi seseorang yang sudah mempunyai kemampuan member
nafkah dan berkeinginan melangsungkan pernikahan
3) Haram. Bagi seseorang yang mempunyai maksud menyakiti hati
suami/istri atau menyia-nyiakannya
4) Mubah, bagi seseorang yang belum mampu memberi nafkah,
sementara dirinya tidak mampu menahan nafsu dan khawatir akan
berzina
5) Makruh, bagi orang yang belum sanggup memberikan nafkah,
sementara dia masih mampu menahan nafsu yang mengarah pada
zina.32
30 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Pernikahan, h., 25 31 BKKBN, Buku Pegangan Petugas BP4 tentang Kursus Calon Pengantin, (Jakarta:
BKKBN, 2004), h., 3 32 BKKBN, Buku Pegangan Petugas BP4 tentang Kursus Calon Pengantin, h., 4
25
Melihat dari penjelasan diatas, menurut penulis seseorang dapat dihukumi
wajib, sunah, haram, makruh ataupun mubah dalam melakukan pernikahan yaitu
dengan melihat dari kondisi orang tersebut.
5. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Pernikahan
Apabila akad nikah telah berlangsung dan memenuhi syarat rukunnya,
maka menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan
juga hak serta kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga, yang meliputi hak
suami istri secara bersama, hak suami atas istri, dan hak istri atas suami,
diantaranya:33
a. Hak dan kewajiban suami istri
Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya
masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan
hatisehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan
demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan
tuntunan agama, yaitu sakinah, mawadah, dan rahmah.
1) Hak bersama suami istri
Dengan adanya akad nikah, maka antara suami dan istri
mempunyai hak dan tanggung jawab secara bersama, yaitu sebagai
berikut:34
a) Suami dan istri dihalalkan mengadakan hubungan seksual.
Perbuatan ini merupakan kebutuhan suami istri yang
dihalalkan secara timbale balik, suami halal melakuka apa saja
terhadap istrinya, demikian pula sebaliknya. Mengadakan
kenikmatan hubungan merupakan hak bagi suami istri yang
dilakukan secraa bersamaan
33 Ahmad Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h.,153 34 Ahmad Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h.,155
26
b) Haram melakukan pernikahan, artinya baik suami maupun
istri tidak boleh melakukan pernikahan dengan saudaranya
masing-masing
c) Dengan adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling
mewarisi apabila salah seorang diantara keduanya telah
meninggal meskipun belum bersetubuh
d) Anak mempunyai nasab yang jelas
e) Kedua belah pihak wajib bertingkah laku dengan baik
sehingga dapat melahirkan kemesraan dalam kedamaian
hidup.
2) Kewajiban bersama suami istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa, kewajiban
suami istri, secara rinci adalah sebagai berikut:35
a) Suami istri memilkul kewajiban yang luhur untuk menegakan
rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat
b) Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan
memberi bantuan lahir batin
c) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani, maupun kecerdasannya, serta pendidikan
agamanya
d) Suami istri wajib memelihara kehormatannya
e) Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
35 Ahmad Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat., h.155
27
3) Hak dan Kewajiban Suami terhadap Istri
a) Hak suami atas istri
Diantara beberapa hak suami terhadap istrinya, yang paling
pokok adalah :
(1) Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat
(2) Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami
(3) Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat
menyusahkan suami
(4) Tidak bermuka masam di hadapan suami
(5) Tidak menunjukan keadaan yang tidak disenangi suami36
b) Kewajiban Suami terhadap Istri
Kewajiban suami terhadap istri mencangkup kewajiban materi
berupa kebendaan dan kewajiban non materi yang bukan berupa
kebendaan. Kewajiban materi berupa kebendaan tentu sesuai dengan
penghasilan suami, kewajiban materi berupa kebedaan seperti:
(1) Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal
(2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan
bagi istri dan anak
(3) Biaya pendidikan bagi anak
c) Kewajiban Istri terhadap Suami
Diantara beberapa kewajiban seorang istri terhadap suami adalah
sebagai berikut:
36 Ahmad Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h., 158
28
(1) Taat dan patuh kepada suami
(2) Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman
(3) Mengatur rumah dengan baik
(4) Menghormati keluarga suami
(5) Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami
(6) Tidak mempersulit suami, dan selalu mendorong suami untuk
maju
(7) Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami
(8) Selalu berhemat dan suka menabung
(9) Selalu berhias, bersolek untuk atau di hadapan suami
(10) Jangan selalu cemburu buta
Selain penjelasan diatas, dalam Undang-undang Perkawinan ada Bab
tersendiri yang mengatur mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri, yaitu
berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan, suami istri
memiliki kewajiban sebagai berikut :37
a. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup
bermasyarakat
b. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
c. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga
d. Suami istri mempunyai tempat kediaman yang tetap
e. Suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati. Setia
member bantuan kahir, dan batin kepada pasangannya
37 BKKBN, Buku Pegangan Petugas BP4 tentang Kursus Calon Pengantin, (Jakarta:
BKKBN, 2004), h., 5
29
f. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
g. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya
h. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Bagaimanapun hak dan kewajiban tersebut hendaklah dilakukan
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 undang-undang perkawinan, dimana
suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan
memberikan bantuan lahir batin yang satu pada yang lain.
Dalam satu keluarga, tak lengkap jika rasanya hanya terdiri dari pasangan
suami-istri, tentu hadirnya seorang anak akan melengkapi susunan keluarga
tersebut, namun hal ini tentu berlaku otomatis bagi orangtua untuk melaksanakan
kewajibannya terhadap anak, dan anak itu sendiri berhak mendapatkan hak-
haknya sebagai seorang anak. Di Indonesia, anak-anak dilindungi oleh Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
(UUPA). Dan kewajiban anak terhadap orang tua pun terdapat didalamnya, yaitu
pada Pasal 26 Ayat 1UUPA yang menyebutkan bahwa “orang tua berkewajiban
dan bertanggungjawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi
anak; membiayai mulai dari pangan, sandang, pendidikan; menumbuh
kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya; dan mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”.38
Oleh karena itu, ayah ibu dan anak merupakan satu paket lengkap dalam
sebuah keluarga, seperti yangtelah tertuang pada UU No. 52 Tahun 2009 tentang
perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, disebutkan bahwa
“keluarga adalah untit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau
suami, istri dan anak, atau ayah dan anak, atau ibu dan anak. Tugas utama
keluarga adalah memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anggota
keluarganya mencangkup pemeliharaan dan perawatan anak-anak, pembimbingan
38 BKKBN, Buku Pegangan Petugas BP4 tentang Kursus Calon Pengantin, h., 8
30
perkembangan kepribadian anak-anak, dan memenuhi kebutuhan emosional
anggota keluarganya”.39
B. Keluarga Sakinah
1. Pengertian Keluarga Sakinah
Keluarga sakinah terdiri dari dua kata, yaitu kata keluarga dan sakinah.
Keluarga dalam istilah fikih disebut Usrah atau Qirabah yang telah menjadi
bahasa Indonesia yakni kerabat.40 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
keluarga adalah sanak saudara.41 Sedangkan kata sakinah dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah damai, tempat yang aman dan damai. Sakinah berasal
dari kata “sakana-yaskunu-sakinatan” yang berarti rasa tentram, rasa aman, dan
damai.42
Kata sakinah berasal dari sakana yang mempunyai makna berlawanan
(antonim) dari guncangan atau gerakan. Dari sini muncul kata sakan (tempat
tinggal menetap) yang berarti segala sesuatu yang membuat seseorang menetap
padanya karena kecintaan. Begitu pula kata sikkin (pisau) karena dipakai
menyembelih dan karenanya mendiamkan semua gerakan sembelihan, lalu kata
sakinah yang berarti ketenangan atau kedamaian (al-waqar). Menurut Ibnu
Abbas, sebagaimana dikutip dalam Tajul-‘Arus min Jawahiril-Qamus, bahwa
semua kata sakinah dalam Al-Qur’an mempunyai makna tenteram, damai, tenang
(tuma’ninah).43
Secara terminologi, keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang,
tentram, rukun, dan damai. Dalam keluarga itu terjalin hubungan mesra dan
39 BKKBN, Buku Pegangan Petugas BP4 tentang Kursus Calon Pengantin, h., 14 40 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh, (Jakarta:
Departemen Agama, 1984/1985), Jilid II, Cet. Ke-2, h., 156 41 Muhamad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, tt), h., 175 42 Poewadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976) h.,
851 43Departemen Agama RI, Membangun Keluarga Harmonis (Tafsir Al-Qur’an Tematik),
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), h., 2-4.
31
harmonis, diantara semua anggota keluarga dengan penuh kelembutan dan
kasih sayang.44
Keluarga sakinah adalah keluarga yang mebndapatkan limpahan rahmat
dan berkah dari Allah, menjadi dambaan dan idaman setiap insane sejak
merencanakan pernikahan, serta merupakan tujuan dari pernikahan itu sendiri.45
firman Allah dalam Surat Ar-Rum (30): 21 :
ة إن ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحم
في ذلك آليات لقوم يتفكرون
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikan diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa keluarga sakinah merupakan impian dan
harapan setiap muslim yang melangsungkan pernikahan dalam rangka melakukan
pembinaan keluarga. Demikan pula dalam keluarga terdapat peraturan-peraturan
baik yang secara rinci maupun global yang mengatur tiap individu maupun
keseluruhanya sebagai kesatuan. Islam memberikan ajaran agar rumah tangga
menjadi surga yang dapat menciptakan ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan.
Dalam upaya mengantisipasi pengaruh budaya luar yang negativ. Demikanlah ciri
khas keluarga sakinah yang Islami. Mereka (suami- istri) berserikat dalam rumah
tangga itu untuk berkhidmat pada aturan dan beribadah kepada Allah SWT.46
Berdasarkan Keputusan Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan
Haji Nomor : D/71/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Keluarga
Sakinah Bab III Pasal 3 menyatakan bahwa Keluarga Sakinah adalah keluarga
yang dibina atas pernikahan yang sahm mampu memenuhi hajat spiritual dan
material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara anggota
44 Hasan Basri, Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), cet. Ke-4,
h., 16 45 Hasan Basri, Membina Keluarga Sakinah, h., 17 46 Cahyadi Takariawan, Pernik-pernik Rumah Tangga Islami, (Surakarta: Intermedia,
2001), Cet Ke-3, h., 37
32
keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan,
menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak
mulia.47
Dalam beberapa definisi diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
keluarga sakinah adalah sebuah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak yang hidup secara harmonis, diliputi rasa kasih sayang,
terpenuhinya kebutuhan setiap anggota keluarga, baik lahir maupun batin secara
seimbang dan didalamnya terdapat ketenangan, kedamaian serta mengamalkan
ajaran agama sekaligus merealisasikan akhlak mulia.
2. Unsur-unsur Keluarga Sakinah
Suatu keluarga dapat disebut keluarga sakinah apabila telah memenuhi
kriteria antara lain:48 kehidupan keagamaan dalam keluarga, dari segi
keimanannya kepada Allah murni tidak melakukan kesyirikan, taat terhadap
ajaran Allah dan Rasul-Nya, cinta kepada Rasulullah dengan mengamalkan
misinyang diembannya, mengimani kitab-kitab Allah dan Al-Qur’an, mempelajari
dan memperdalam maknanya, mengimani yang ghaib, hari pembalasan serta
mengimani qadla dan qadar, sehingga ia berupaya untuk mencapai yang terbaik,
sabar dan tawakal menerima qadar Allah. Dari segi ibadah, mampu melaksanakan
ibadah sunnah seperti shalat dhuha, puasa sunnah senin dan kamis dan
sebagainya.
Dari segi pengetahuan agama, memiliki semangat untuk memepelajari,
memahami dan memperdalam ajaran islam, taat melaksanakan tuntunan akhlak
yang mulia, disamping itu kondisi rumah nya islami.
Di samping itu pendidikan keluarga dalam suatu keluarga, orang tua
mempunyai kewajiban untuk memberikan motivasi terhadap pendidikan formal
bagi setiap anggota keluarga, membudayakan suka membaca, mendorong anak-
47 Departemen Agama Kantor Wilayah Propvinsi Jawa Barat Bidang Urusan Agama
Islam, Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Keluarga Sakinah, (Bandung: Departemen Agama
Provinsi Jawa Barat, 2004), h., 21 48 Imam Musbikin, Membangun Keluarga Sakinah,(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007) h.,
8
33
anak untuk melanjutkan dan menyelesaikan sekolahnya terutama bila mampu
sampai tingkat sarjana
Selanjutnya kesehatan keluarga, semua anggota keluarga menyukai
olahraga, sehingga tidak mudah sakit, kalau ada yang sakit segera menggunakan
pertolongan puskesmas atau dokter, mendapatkan imunisasi pokok, keadaan
rumah dan lingkungan memenuhi kriteria lingkungan rumah sehat, mendapatkan
cahaya matahari yang cukup, sanitasi lengkap dan lancar, lingkungan rumah
bersih ada saluran pembuangan air, tidak terdapat sarang nyamuk dan sebagainya.
Kemudian ekonomi keluarga, suami atau istri mempunyai penghasilan
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, pengeluaran tidak melebihi
penghasilan yang cukup mampu menabung, kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi kebutuhan makan sehari-hari, sandang, tempat tinggal, pendidikan,
kesehatan dan sebagainya
Terakhir hubungan sosial keluarga yang harmonis, hubungan suami istri
saling mencintai, menyayangi, menghormati, mempercayai, membantu, saling
terbuka dan bermusyawarah bila mempunyai masalah dan saling memaafkan.
Demikian pula hubungannorang tua tehadap anak, orang tua mampu menunjukan
rasa cinta dan kasih sayangnya, memberikan perhatian, bersikap adil, mampu
membuat suasana terbuka sehingga anak merasa bebas mengutarakan
permasalahannya sehingga suasana rumah tangga itu mampu menjadi tempat
bernaung yang indah, aman dan segar.49
Begitu pula hubungan anak dan orang tua, anak terhadap orang tua
berkewajiban menghormati, mentaati dan menunjukan cinta dan kasih sayangnya
terhadap orang tua dan tak kalah pentingnya si anak selalu mendoakannya.
Sedangkan hubungan dengan tetangga, diupayakan menjaga keharmonisan
dengan jalan saling menolong, menghormati, mempercayai dan mampu ikut
berbahagia terhadap kebahagiaan tetangganya dan ikut berduka atas duka
tetangganya, mampu tidak bermusuhan dan mampu saling memaafkan
Keluarga sakinah dapat tercipta apabila lima aspek pokok kehidupan
keluarga terpenuhi dengan mewujudkan kehidupan bersama, menciptakan suasana
49 Imam Musbikin, Membangun Keluarga Sakinah, h., 15
34
keislaman, pendidikan keluarga yang mantap, kesehatan yang terjamin, ekonomi
keluarga yang stabil, hubungan intern dan antar keluarga harmonis dan terjalin
hubungan yang baik. Inilah gambaran keluarga sakinah sebagai upaya membina
bangsa, sebab keluarga merupakan miniature masyarakat dan bangsa.50
3. Kriteria dan Tahapan Keluarga Sakinah
Dalam Program Pembinaan Keluarga Sakinah disusun kriteria-kriteria
umum keluarga sakinah yang terdiri dari Keluarga Pra Sakinah, Keluarga Sakinah
I, Keluarga Sakinah II, Keluarga Sakinah III, dan Keluarga Sakinah III Plus yang
dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.
Uraian masing-masing kriteria sebagai berikut :51
a. Keluarga Pra Sakinah: yaitu keluarga yang dibentuk bukan melalui
ketentuan pernikahan yang sah, tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar
spiritual dan material (basic need) secara mnimal, sepeti keimanan,
shalat, zakat fitrah, puasa, sndang, pangan, papan dan kesehatan.
b. Keluarga Sakinah I: yaitu keluarga yang dibangun atas pernikahan
yang sah dan telah dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan material
secara minimal tetapi masih belum bisa memenuhi psikologisnya
seperti kebutuhan akan pendidikan, bimbingan keagamaan dalam
keluarganya, mengikuti interaksi sosial keagamaan dengan
lingkungannya.
c. Keluarga Sakinah II: yaitu keluarga yang dibangun atas pernikahan
yang sah dan disamping telah dapat memenuhi kebutuhan
kehidupannya juga telah mampu memahami pentingnya pelaksanaan
ajaran agama serta bimbingan keagamaan dalam keluarga serta mampu
mengadakan interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya, tetapi
belum mampu mengahayati serta mengembangkan nilai-niali
keimanan, ketaqwaan, dan akhlaqul karimah, infaq, zakat, amal
jariyah, menabung dan sebagainya.
50 Imam Musbikin, Membangun Keluarga Sakinah, h., 9 51 Departemen Agama Kantor Wilayah Propvinsi Jawa Barat Bidang Urusan Agama
Islam, Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Keluarga Sakinah, h., 21-25
35
d. Keluarga Sakinah III: yaitu keluarga yang dapat memenuhi seluruh
kebutuhan keimanan, ketaqwan, akhlaqul karimah, sosial psikologis,
dan pengembangan keluarganya, tetepi belum mampu menjadi suri
tauladan bagi lingkungannya
e. Keluarga Sakinah III Plus: yaitu keluarga yang telah dapat memeuhi
seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan, dan akhlaqul karimah secara
sempurna, kebutuhan sosial psikologis, dan pengembangannya serta
dapat menjadi suri teladan bagi lingkungannya.
Untuk mengukur keberhasilan program keluarga sakinah tersebut
ditentukan tolak ukur masing-masing tingkatan. Tolak ukur ini juga dapat
dikembangkan sesuai situasi dan kondisi di sekitarnya. Adapun tolak ukur umum
adalah sebagai berikut:52
a. Keluarga Pra Sakinah
1. Keluarga dibentuk tidak melalui pernikahan yang sah
2. Tidak sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku
3. Tidak memiliki dasar keimanan
4. Tidak melakukan shalat wajib
5. Tidak mengeluarkan zakat fitrah
6. Tidak menjalankan puasa wajib
7. Tidak tamat SD, dan tidak dapat baca tulis
8. Termasuk kategori fakir atau miskin
9. Berbuat asusila
10. Terlibat perkara-perkara kriminal
b. Keluarga Sakinah I
1. Pernikahan sesuai dengan peraturan syariat dan UU nomor 1 tahun
1974 tentang pernikahan
52 Departemen Agama Kantor Wilayah Propvinsi Jawa Barat Bidang Urusan Agama
Islam, Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Keluarga Sakinah., h. 21-25. Lihat juga: Sutarmadi,
Memberdayakan Keluarga Sakinah Menuju Indonesia 2020, (BP4 Bekerjasama dengan BKM
Jawa Timur, 1997), h., 11-13
36
2. Keluarga memiliki surat nikah atau bukti lain sebagai bukti
pernikahan yang syah
3. Mempunyai perangkat shalat sebagai bukti melaksanakan shalat
wajib dan dasar keimanan
4. Terpenuhi kebutuhan makanan pokok, sebagai tanda bukan
tergolong orang yang fakir miskin
5. Masih sering meninggalkan shalat
6. Jika sakit sering pergi ke dukun
7. Percaya pada tahayul
8. Tidak datang di pengajian/majelis taklim
9. Rata-rata keluarga tamat atau memiliki ijazah SD
c. Keluarga Sakinah II
1. Tidak terjadi perceaian, kecuali sebab kematian atau hal sejenis
lainnya yang mengharuskan terjadinya perceraian tersebut.
2. Penghasilan keluarga melebihi kebutuhan pokok, sehingga bisa
menabung
3. Rata-rata keluarga memiliki ijazah SMP
4. Memiliki rumah sendiri meskipun sederhana
5. Keluarga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan sosial
keagamaan
6. Mampu memenuhi standar makanan yang sehat/ memenuhi 4 sehat
5 sempurna
7. Tidak terlibat perkara kriminal, judi, mabuk, prostitusi dan
perbuatan amoral lainnya.
d. Keluarga Sakinah III
1. Aktif dalam upaya meningkatkan kegiatan dan gairah keagamaan
di masjid-masjid maupun dalam keluarga
2. Keluarga aktif menjadi pengurus kegiatan keagamaan dan sosial
kemasyarakatan
37
3. Aktif memberikan dorongan dan motivasi untuk meningkatkan
kesehatan ibu dan anak serta kesehatan masyarakat pada umumnya
4. Rata-rata keluarga memiliki ijazah SLTA keatas
5. Pengeluaran zakat, infaq dan wakaf senantiasa meningkat
6. Meningkatnya pengeluaran qurban
7. Melaksanakan ibadah haji secara baik dan benar, sesuai tuntunan
agama dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
e. Keluarga Sakinah III Plus
1. Keluarga yang telah melaksanakan haji dapat memenuhi kriteria
haji mabrur
2. Menjadi tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh organisasi yang
dicintai oleh masyarakat dan keluarganya
3. Pengeluaran zakat, infaq, sodaqoh, jariyah, wakaf meningkat baik
secara kualitatif maupun kuantitatif
4. Meningkatnya kemampuan keluarga dan masyakat sekelilingnya
dalam memenuhi ajaran agama
5. Keluarga mampu mengembangkan ajaran agama
6. Rata-rata anggota keluarga memiliki ijazah sarjana
7. Nilai-nilai ketaqwaan, keimanan dan akhlaqul karimah tertanam
dalam kehidupan pribadi dan keluarganya
8. Tumbuh berkembang perasaan cinta kasih sayang secara selaras,
serasi dan seimbang dalam anggota keluarga dan lingkunganya
9. Mampu mejadi suri tauladan masyarakat sekitarnya.
Yang menjadi karakteristik dari keluarga sakinah atau ciri-ciri keluarga
sakinah antara lain:53
a. Adanya ketenangan jiwa yang ditandai dengan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa
53 Danuri, Pertambahan Penduduk dan Kehidupan Keluarga, (Yogyakarta: LPPK IKIP,
1976), h., 19
38
b. Adanya hubungan yang harmonis antara individu dengan individu lain
dan antara idivbidu dengan masyarakat
c. Terjamin kesehatan dan rohani serta sosial
d. Cukup sandang, pangan dan papan
e. Adanya jaminan hukum terutama hak asasi manusia
f. Tersedianya pelayanan pendidikan yang wajar
g. Adanya jaminan di hari tua
h. Tersedianya fasilitas rekreasi yang wajar.
4. Proses Pembentukan Keluarga Sakinah
Dalam suatu perjalanan rumah tangga tidak selalu berisikan senyum dan
tawa, tetapi sesekali terdapat perselisihan antara suami dan isteri. Karena itulah,
ketika hendak melangkah ke jenjang pernikahan dianjurkan memilih jodoh yang
baik (sholeh atau sholehah), hal ini tidak lain hanya untuk bertujuan dalam
membina pernikahan yang bahagia, sakinah dan harmonis. Untuk itu, dalam
upaya membina keluarga yang sakinah perlu diperhatikan berbagai aspek secara
menyeluruh, di antaranya peranan masing-masing suami dan isteri, baik yang
individual maupun yang dimiliki bersama.54
Namun selain mengetahui peranan masing-masing suami dan isteri,
terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh dalam membentuk keluarga
sakinah, yaitu:
a. Saling pengertian.
b. Saling sabar.
c. Saling terbuka.
d. Toleransi.
e. Kasih sayang.
f. Komunikasi.
g. Adanya kerjasama55
54 Dedi Junaedi, Pernikahan Membina Keluarga Sakinah menurutAl-Qur’an dan As-
sunah, (Jakarta: Akademika Pressindo,2003) h., 220 55 Ali Qaimi,Single Parent Peran Ganda Ibu dalam Mendidik Anak, (Bogor: Cahaya,
2003), h., 178
39
Ahmadi Sofyan mengatakan ada empat kiat minimal menuju keluarga
yang sakinah:56
a. Jadikan rumah tangga sebagai pusat ketentraman bathin dan
ketenangan jiwa. Keluarga/rumah tangga adalah sebuah institusi
terkecil di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk
mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera
dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggota-anggotanya.
Sesungguhnya rumah tangga itu bisa dijadikan pusat ketenangan,
ketentraman dan kenyamanan bathin para penghuninya. Sehingga
ketika sang suami sudah berlumuran keringat, bersimbah peluh,
bekerja keras, ia akan selalu merindukan untuk pulang ke rumah.
Ketika rumah mampu dijadikan sebagai pusat ketentraman bathin dan
ketenangan jiwa, maka anak-anak pun akan rindu berkumpul bersama
dengan orang tuanya. Menciptakan rumah sebagai pusat ketenangan
bathin dan ketenangan jiwa, akan mampu menjadi pelepas dahaga.
b. Jadikan rumah tangga sebagai pusat ilmu rumah tangga yang
ditingkatkan derajatnya oleh Allah swt. Bukanlah rumah tangga yang
memiliki status sosial keduniawian. Tidak pula rumah tangga yang
para penghuninya adalah penuh dengan deretan titel dan gelar. Bahkan
justru hal seperti itu seringkali memisahkan kita dengan kebahagiaan
bathin dan ketentraman jiwa. Tidak jarang pula rumah tangga yang
berlimpah dengan kekayaan justru membuat penghuninya
di.miskinkan. oleh keinginan-keinginan, diperbudak dan dinistakan
oleh apa yang dimilikinya. Hendaknya sesudah memantapkan niat kita
kepada Allah untuk mengarungi bahtera rumah tangga, maka kekayaan
yang harus dimiliki dalam berkeluarga adalah ilmu. Merawat dan
mendidik anak merupakan tugas bersama suami istri.
c. Jadikan rumah tangga sebagai pusat nasehat, suami istri hendaknya
mengetahui bahwa semakin hari semakin banyak yang harus
56 Ahmadi Sofyan, The Best Husband in Islam,(Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), h., 37
40
dilakukan. Untuk itulah kita membutuhkan orang lain agar bisa
melengkapi kekurangan kita guna memperbaiki kesalahan kita. Rumah
tangga bahagia adalah rumah tangga yang dengan sadar menjadikan
sikap saling menasehati, saling memperbaiki, serta saling mengoreksi
dalam kebenaran dan kesabaran sebagai kekayaan yang berharga
dalam rumah tangga. Suami yang baik adalah suami yang mau
dinasehatin oleh sang istri, begitu pula sebaliknya. Karena keduanya
tidaklah boleh merasa lebih baik dan lebih berjasa dalam membangun
rumah tangga. Apabila sebuah rumah tangga mulai saling menasehati,
maka rumah tangga tersebut bagaikan cermin, yang tentu cermin akan
mampu membuat sebuah penampilan penghuninya menjadi lebih baik.
Tidak ada koreksi yang paling aman selain koreksi dari keluarga kita
sendiri.
d. Jadikan rumah tangga sebagai pusat kemuliaan, hendaknya suami istri
mampu menjadikan rumah tangga seperti cahaya matahari. Menerangi
kegelapan, menumbuhkan bibit-bibit, menyegarkan yang layu, selalu
dinanti cahayanya dan membuat gembira bagi yang terkena pancaran
cahayanya. Keluarga yang mulia adalah keluarga yang bisa menjadi
contoh kebaikan bagi keluarga yang lainnya. Sehingga tidak ada yang
diucapkan selain kebaikan tentang keluarga yang telah dibangun.
Empat kiat upaya menuju keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah diatas
hendaknya dilakukan oleh keluarga muslim di era modern ini. Karena betapa
memilukan sekaligus memalukan jika ada keluarga muslim yang melakukan
tindakan kekerasan rumah tangga seperti yang akhir-akhir ini terjadi.
C. Tunanetra
1. Pengertian Tunanetra
Tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa, tuna berarti rugi dan netra
berarti mata atau cacat mata, istilah tunanetra yang mulai populer dalam dunia
pendidikan dirasa cukup tepat untuk menggambarkan keadaan penderita yang
41
mengalami kelainan indera pengelihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun
ringan. Sedangkan istilah buta pada umumnya melukiskan keadaan mata yang
rusak, baik sebagian (setengah) maupun seluruhnya (kedua-duanya), sehingga
mata itu tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya.57
Menurut Agustyawati dan Solicha, tunanetra adalah salah satu jenis
hambatan fisik yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk melihat,
baik menyeluruh (total blind) ataupun sebagian (low vision). Dengan kata lain
tunanetra adalah seseorang yang mengalami gangguan fungsi penglihatan
sedemikian rupa sehingga tidak dapat menggunakan indera penglihatannya secara
fungsional.58
2. Klasifikasi Tunanetra
Secara garis besar tunanetra diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu
total blind (buta) dan low vision:59
a. Total Blind (Buta), Dikatakan buta apabila sama sekali tidak mampu
menerima rangsangan cahaya dari luar
b. Low Vision, Bila masih mampu menerima rangsangan cahaya dari luar,
tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau berdasarkan tes anak hanya
mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat
dibaca pada jarak 21 meter.
Selain dua klasifikasi besar tersebut, tunanetra juga dapat diklasifikasikan
menjadi empat , yaitu:60
1) Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan
a) Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali
tidak memiliki pengalaman penglihatan.
57 Soekini Pradopo, Suharto dan L Tobing, Pendidikan Anak-Anak Tunanetra, (Bandung:
Masa Baru,t.tp.), h., 12. 58 Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,(Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h., 5 59 Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, h., 10-12 60 Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, h., 13
42
b) Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki
kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah
terlupakan.
c) Tunanetra pada usia sekolahatau pada masa remaja; mereka telah
memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang
mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
d) Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan
segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian
diri.
e) Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti
latihan-latihan penyesuaian diri.
2) Berdasarkan kemampuan daya penglihatan
a) Tunanetra ringan (defective vision/low vision), yakni mereka yang
memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih
dapat mengikuti program pendidikan dan mampu melakukan
pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
b) Tunanetra setengah berat (partially sighted), yakni mereka yang
kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan
menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa
atau membaca tulisan yang bercetak tebal.
c) Tunanetra berat (totally blind), yakni mereka yang sama sekali
tidak dapat melihat
3) Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata
a) Myopia: adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus
dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau
objek didekatkan.
b) Hyperopia: adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus
dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek
dijauhkan.
43
c) Astigmatisme: adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang
disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada
permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik
pada jarak jauh maupun dekat tidak terfokus jatuh pada retina.
3. Dampak Ketunanetraan
Ketunanetraan memiliki dampak baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap penyandangnya. Dampak secara langsung menyebabkan
tunanetra tidak dapat menggunakan penglihatan dalam kegiatan sehari-hari seperti
membaca, menulis berjalan dan sebagainya. Sebagai gantinya mereka harus
menggunakan indera perabaan untuk melakukan aktifitasnya. Sedangkan dampak
secara tidak langsung sangat tergantung pada banyak faktor, misalnya seberapa
berat ketunanetraan yang dialami, kapan ketunanetraan terjadi, serta bagaimana
sikap keluarga dan masyarakat terhadap penyandang tunanetra tersebut. Dampak
tidak langsung inilah yang justru sering kali menimbulkan dampak negatif. 61
Ketika lingkungan dapat melakukan aktiftas sehari-hari dengan cara yang
efektif maka lain halnya dengan penyandang tunanetra, mereka sangat bergantung
dengan lingkungan sekitar, tak jarang pandangan negative lingkungan sekitar
dapat mempengaruhi psikologis tunantera. Oleh karena itu, dukungan moral dari
lingkungan sekitar bagi penyandang tunanetra sangatlah dibutuhkan.
Ketunanetraan memberi dampak yang tidak begitu baik bagi keluarga. Salah
satu contoh dampak ketunanetraan bagi keluarga, yaitu:
a. Sebagian orang awam (kurang mengerti) menganggap bahwa
ketunanetraan yang terjadi pada anak diakibatkan oleh dosa orang
tuanya sehingga anak menjadi “wadal” dari dosa yang diperbuat
orang tua. Asumsi sebagian masyarakat tersebut seringkali
dijadikan bahan olok-olokan bagi konsumsi masyarakat.
b. Sebagian orang berpendapat pula bahwa ketunanetraan yang
terjadi pada diakibatkan oleh penyakit atau kelainan yang diderita
61 Affifah Azzahro, Dampak Ketunanetraan Terhadap Kegiatan Kehidupan Sehari-Hari,
(Bandung: Makalah Universitas Pendidikan Indonesia, 2014), h., 7
44
orang tuanya, misalkan kedua orang tuanya merupakan penderita
tunanetra.62
Sedangkan dampak yang diakibatkan ketunanetraan bagi masyarakat,
yaitu:
a. Ketidakpercayaan masyarakat kepada penderita tunanetra
mengenai segala aspek yang dimilikinya, seperti keterampilan,
kelayakan untuk bekerja dan lain-lain sehingga asumsi ini lebih
merugikan penderita tunanetra.
b. Melalui sistem pendidikan yang lebih terbuka (segresi ke integrasi
hingga inklusif) memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi
setiap individu tanpa pandang bulu untuk mendapat pendidikan
yang bermutu sesuai kondisi dan kebutuhan masing-masing
individu.63
62 Affifah Azzahro, Dampak Ketunanetraan Terhadap Kegiatan Kehidupan Sehari-Hari,
h., 8 63 Anak Berkelainan Mata (Tunanetra), azwarfikum.blogspot.co.id/2017/03/gangguan-