1 UNIVERSITAS INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KECELAKAAN PESAWAT SUKHOI SUPERJET 100 DITINJAU DARI PERSPERKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN RINGKASAN SKRIPSI AULIA DWI UTOMO 0906606160 FAKULTAS HUKUM DEPOK JANUARI 2013 Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
30
Embed
UNIVERSITAS INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
UNIVERSITAS INDONESIA
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
KECELAKAAN PESAWAT SUKHOI SUPERJET 100
DITINJAU DARI PERSPERKTIF HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN
RINGKASAN SKRIPSI
AULIA DWI UTOMO
0906606160
FAKULTAS HUKUM
DEPOK
JANUARI 2013
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
2
ABSTRAK
Nama : Aulia Dwi Utomo
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kecelakaan
Pesawat Sukhoi Superjet 100 Ditinjau dari Hukum
Perlindungan Konsumen
Kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet 100 (SSJ-100) dalam rangka penerbangan
demo yang terjadi pada 9 Mei 2012 menimbulkan korban jiwa sebanyak 45 orang.
Setiap terjadinya peristiwa kecelakaan tentunya akan berdampak secara hukum,
karena selalu membawa dampak kerugian sehingga melahirkan tanggung jawab
hukum. Dalam hal ini terutama bagi Sukhoi selaku pemilik pesawat SSJ-100.
Dalam menentukan tanggung jawab hukum dari Sukhoi, penulis akan
menganalisis dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan sehingga
terdapat kepastian hukum, apa bentuk tanggung jawabnya, apa persyaratan untuk
dapat bertanggung jawab, berapa besar kerugian yang harus dibayar dan lain-lain.
Penentuan tanggung jawab Sukhoi dalam perspektif hukum merupakan sarana
perlindungan hukum bagi konsumen pengguna pesawat SSJ-100. Hasil penelitian
menunjukan bahwa dalam tatanan hukum positif di Indonesia terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi
konsumen pengguna pesawat SSJ-100, yaitu antara lain: Ordonansi Pengangkutan
Udara 1939, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999. Materi perlindungan hukum yang diatur meliputi: tanggung jawab
terhadap konsumen pengguna pesawat SSJ-100 dan penentuan nilai ganti rugi
yang wajib dipenuhi oleh Sukhoi.
Kata kunci:
Hukum Perlindungan Konsumen, Kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet 100, SSJ-
100
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
3
ABSTRACT
Nama : Aulia Dwi Utomo
Program studi : Law
Judul : Legal Protection for Accident Victims of Aircraft
Sukhoi Superjet 100 Seen from the Perspective of
Consumer Protection Laws
Sukhoi Superjet 100 Aircraft Accident (SSJ-100) in order to demo flight that
occurred on May 9, 2012 caused fatalities by 45 people. Each occurrence of the
accident will certainly affect the law, because it's always taken a heavy toll so
bear legal responsibility. In this case, especially for the owners as the Sukhoi SSJ-
100 aircraft. In determining the legal liability of the Sukhoi, the author will
analyze with reference to legislation so that there is rule of law, what kind of
responsibility, what are the requirements to be responsible, how much damages
should be paid and others. Determination Sukhoi responsibility legal perspective
is a means of legal protection for consumers of SSJ-100 aircraft. The results
showed there are several laws and regulations relating to the protection of the law
for consumer users SSJ-100 aircraft, which include: Air Freight Ordinance 1939,
Act No. 1 of 2009, Act No. 8, 1999. The material legal protection set includes:
responsibility towards the consumers SSJ-100 aircraft and the determination of
Trimarga telah mendaftarkan diri sebagai badan hukum di Kantor
Kementerian Hukum dan HAM. Pada 18 Maret 2010, terbit surat Keputusan
Menkum HAM yang menyetujui perubahan atas Anggaran Dasar Trimarga. SK
itu ditandatangani oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum, Aidir Amin Daud.12
Sukhoi Civil Aircraft Corporation (SCAC) merupakan salah satu anak
perusahaan dari Sukhoi Company, didirikan tahun 2000 bertujuan untuk
mendesain, memproduksi, menjual serta mendukung program pesawat sipil
Rusia.13
2.3 Analisis Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan
Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pesawat SSJ-100.
2.3.1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
KUH Perdata menganut sistem tanggung jawab hukum atas dasar
kesalahan (liability based on fault) terdapat dalam pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut dikenal sebagai tindakan melawan hukum
(onrechtsmatigdaad) berlaku umum terhadap siapapun.
Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.14
Menurut pasal tersebut setiap perbuatan melawan hukum yang
menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena
perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian. Berdasarkan
ketentuan tersebut setiap orang atau badan hukum harus bertanggung jawab secara
hukum atas perbuatannya sendiri artinya apabila karena perbuatannya
12 Ibid. 13 Ibid. 14 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1365.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
12
mengakibatkan kerugian kepada orang lain, maka orang tersebut harus
bertanggung jawab (liable) untuk membayar ganti kerugian yang diderita.15
Adapun Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan
berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata adalah :
a. Adanya perbuatan melawan hukum
b. Adanya kesalahan
c. Adanya kerugian
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian
yang timbul
Penggunaan KUH Perdata di dalam kasus kecelakaan ini dapat saja
dilakukan, tetapi cenderung terlalu memaksakan. KUH Perdata adalah hukum
privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan individu di
dalam suatu negara, sehingga dalam ranah hukum privat ini Pemerintah tidak ikut
campur tangan. Dalam penyelesaian kasus ini hampir tidak dimungkinkan jika
tidak ada campur tangan dari Pemerintah. Pemerintah memiliki pengaruh yang
sangat besar untuk melakukan upaya diplomasi dalam menghadirkan perwakilan
Sukhoi ke Indonesia. Tanpa adanya tekanan dari Pemerintah pihak Sukhoi belum
tentu memiliki itikad baik untuk bertanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi.
Andaikata perwakilan Sukhoi dapat dihadirkan ke Indonesia tentunya
untuk proses pembuktiannya tidaklah mudah. KUH Perdata dirasa adil apabila
kedudukan kedua belah pihak baik penumpang dengan perusahaan penerbangan
mempunyai kemampuan yang sama membuktikan sehingga mereka dapat saling
membuktikan kesalahannya. Dalam perkembangannya, tanggung jawab hukum
atas dasar kesalahan tidak dapat diterapkan dalam angkutan udara mengingat
kedudukan perusahaan penerbangan dengan penumpang dan/atau pengirim barang
tidak seimbang, karena perusahaan penerbangan menguasai teknologi tinggi,
15 Martono, Tanggung Jawab Operator Pesawat Udara terhadap Pihak Ketiga di
Permukaan Bumi, Disampaikan pada Seminar Tanggung Jawab Operator Pesawat Udara terhadap Pihak Ketiga yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi 22 November 2000 di Jakarta.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
13
sementara itu penumpang dan/atau pengirim barang tidak menguasai teknologi
tinggi.
Selain itu KUH Perdata adalah peraturan yang bersifat umum, tidak
mengatur secara spesifik mengenai penerbangan. Setiap kasus kecelakaan
penerbangan hampir tidak pernah disebabkan oleh sebuah faktor tunggal, biasanya
disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan sehingga membuat kasus
kecelakaan penerbangan cenderung rumit dan teknis. Dengan adanya adagium
hukum lex specialis derogat lege generale maka jika ada peraturan perundang-
undangan yang lebih khusus, KUH Perdata akan dikesampingkan, dan peraturan
perundang-undangan yang lebih khusus akan digunakan.
2.3.2 Ordonansi Pengangkutan Udara Stb.1939-100 (OPU 1939)
Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 yang biasa disingkat OPU 1939
merupakan produk hukum yang mengatur tentang pengangkutan udara yang
dibuat pada masa kolonial Belanda. Ordonansi ini diundangkan setelah
pemerintahan Belanda meratifikasi konvensi Warsawa 1929 beserta protokol
tambahannya pada tanggal 1 Juli 1933. Konvensi tersebut mulai berlaku bagi
negeri Belanda, Hindia Belanda(Indonesia), Suriname, Curacalo pada tanggal 29
September 1933. Ordonansi penerbangan ini disahkan pada tanggal 1 Mei 1939
dan diundangkan dalam Indische Staatsblad 1939 No.100.
Dalam kecelakaan pesawat SSJ-100 di wilayah Indonesia yang kemudian
mengakibatkan kerugian serta meninggalnya penumpang pesawat, ada
kemungkinan untuk menerapkan OPU 1939 serta peraturan perundang-undangan
nasional lainnya bagi korban kecelakaan. Secara formal Indonesia masih
menggunakan OPU 1939, sebagai dasar hukum pengangkutan udara domestik.
Saat ini OPU 1939 masih berlaku berdasarkan pasal 1 Aturan Peralihan
UUD 1945 Amandemen keempat yang berbunyi :
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
14
Segala peratuaran perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini.16
Ketentuan keberlakuan OPU 1939 diperkuat berdasarkan pasal 74
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan yang berbunyi :
Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad
Tahun, 1939 Nomor 100) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti dengan
Undang-undang yang baru.17
OPU 1939 tidak berlaku terhadap transportasi tanpa bayaran, transportasi
perdana yang dimaksudkan untuk percobaan (inaugural flight). Hal ini dapat
dilihat dari pasal 2 ayat (1) OPU 1939 :
Pasal 2.
1) Kecuali yang ditentukan dalam pasal 39, ordonansi ini tidak berlaku bagi:
a. pengangkutan udara cuma-cuma, yang tidak diselenggarakan oleh
suatu perusahaan pengangkutan udara; (VWarschau 11.)
b. pengangkutan udara yang dilakukan oleh suatu perusahaan
pengangkutan udara sebagai suatu percobaan pertama berhubung
dengan maksud mengadakan dinas penerbangan tetap;
c. pengangkutan udara, yang dilakukan dalam keadaan luar biasa,
menyimpang dari usaha yang lazim dari suatu perusahaan
penerbangan. (VWarschau 34.)18
Di dalam pasal 2 ayat (1) OPU 1939 disebutkan ada pengecualian terhadap
pasal ini sebagaimana diatur dalam pasal 39 OPU 1939. Untuk lebih memahami
maksud dari isi pasal 2 ayat (1) ini, penulis akan melihat isi pasal 39 yang
berbunyi :
16 Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD Tahun 1945, pasal
1 Aturan Peralihan. 17 Indonesia, Undang-undang tentang Penerbangan, UU No.15 Tahun 1992, pasal 74. 18 Ordonansi Pengangkutan Udara,Staatblad No.100 Tahun 1939, pasal 2.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
15
Pasal 39.
1) Bila dalam pengangkutan udara seperti yang dimaksud dalam pasal 2 ayat
(1), ditimbulkan luka atau kerugian pada orang, bagasi atau barang, maka
orang yang menyelenggarakan pengangkutan udara ini
bertanggungjawab tentang kerugian, bila ditunjukkan bahwa ia atau salah
seorang yang dipekerjakan olehnya pada pengangkutan udara itu, tidak
mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian
itu, kecuali bila dapat dibuktikan bahwa mereka tidak mungkin untuk dapat
mengambil tindakan-tindakan itu. Bila pengangkut membuktikan bahwa
kesalahan orang yang menderita rugi telah mengakibatkan kerugian yang
timbul atau telah turut mengakibatkan timbulnya kerugian, hakim dapat
mengesampingkan atau mengurangi tanggungjawab pengangkut. (Lvervoer
65, 11.)
2) Bila luka itu mengakibatkan kematian, maka suami atau istri dari korban,
anak-anaknya atau orang tuanya yang menjadi tanggungan korban dapat
menuntut dari orang yang menyelenggarakan pengangkutan udara itu ganti
rugi yang dinilai sesuai dengan keadaan mereka dengan syarat-syarat yang
ditentukan dalam ayat di atas.
3) Bila, sesuai dengan yang ditentukan dalam ayat (2), pengangkut
bertanggungjawab untuk kerugian yang dimaksud dalam ayat-ayat di atas,
maka tanggungjawabnya, kecuali yang ditentukan dalam ayat (4), dibatasi
sampai jumlah-jumlah seperti berikut:
a. terhadap setiap orang yang diangkut, yang menderita luka, atau
terhadap mereka yang ditunjuk dalam ayat (2), seluruhnya, sampai
sejumlah Rp 12,500;
b. tentang kerugian yang timbut karena kehancuran, kehilangan atau
kerusakan barang-barang yang diangkut, sampai jumlah Rp 25 tiap
kg.19
Dari kedua pasal di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa sebenarnya
OPU 1939 tidak mengatur mengenai transportasi udara tanpa bayaran maupun
19 Ordonansi Pengangkutan Udara,Staatblad No.100 Tahun 1939, pasal 39.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
16
transportasi perdana yang dimaksudkan untuk percobaan (inaugural flight).
Hanya saja jika terjadi kecelakaan pesawat yang menyebabkan kerugian maupun
korban meninggal bagi penumpang, maka pasal 39 OPU 1939 berlaku terhadap
kejadian tersebut. Menurut pendapat penulis isi dari kedua pasal tersebut
terdengar aneh, karena tidak konsisten, di pasal 2 disebut tidak mengatur, tetapi di
pasal 39 justru mengatur jika terjadi kecelakaan pesawat yg menimbulkan
kerugian. Menurut ilmu perundang-undangan seharusnya kedua pasal tersebut
disatukan ke dalam satu bab karena memiliki muatan materi yang sama. Selain itu
seharusnya pasal 39 dibentuk sebagai kelanjutan pengaturan dari pasal 2, ditaruh
berurutan dan bukan sebagai pengecualian. Kekurangan ini dapat dimaklumi
karena mungkin pada saat itu ilmu perundang-undangan belum se-moderen saat
ini.
Analisis dari penulis menurut Pasal 2 ayat (1), OPU 1939 tidak berlaku
untuk penerbangan yang dilakukan oleh pesawat SSJ-100 karena penerbangan
tersebut adalah penerbangan tanpa bayaran, Sukhoi tidak memungut bayaran
kepada penumpang. Selain itu penerbangan tersebut ditujukan sebagai percobaan
(demo flight) kepada maskapai-maskapai penerbangan di Indonesia selaku calon
konsumen. Namun berdasarkan pasal 39, OPU 1939 menjadi berlaku terhadap
penerbangan SSJ-100 dikarenakan pesawat tersebut mengalami kecelakaan yang
mengakibatkan kematian pada penumpangnya.
Menurut pasal 39 ayat (1) pihak yang harus bertanggung jawab terhadap
terjadinya kecelakaan adalah penyelenggara pengangkutan udara. Dalam
penerbangan (demo flight) pesawat SSJ-100, pihak penyelenggara pengangkutan
adalah Sukhoi Civil Aircraft Company (Sukhoi) dan agen perwakilannya di
Indonesia yaitu PT. Trimarga Rekatama. Oleh karena itu Sukhoi dan PT.
Trimarga Rekatama harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul.
Berdasarkan pasal 39 ayat (2) OPU 1939 maka suami atau istri dari
korban, anak-anaknya atau orang tuanya yang menjadi tanggungan korban berhak
untuk menuntut ganti kerugian kepada Sukhoi dan PT.Trimarga Rekatama.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
17
Besarnya ganti kerugian di dalam OPU 1939 dibatasi, menurut pasal 30
ayat 3 setiap penumpang yang meninggal dunia memperoleh ganti rugi sebesar
Rp. 12.500 , Rp. 25 per kilogram bagasi tercatat dan Rp. 500 setiap kilogram
barang. Ditinjau dari standar hidup, keadaan sosial ekonomi bangsa Indonesia
serta tingkat inflasi yang ada, jumlah tersebut pada saat ini sudah tidak sesuai lagi.
Walaupun seluruh unsur-unsur dari OPU 1939 terpenuhi untuk digunakan
dalam kecelekaan pesawat SSJ-100, namun ganti kerugian yang diatur dalam
peraturan ini sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang, hal ini dapat
dimaklumi karena peraturan ini dibuat 73 tahun yang lalu. Kesimpulan penulis
peraturan ini dapat digunakan jika Sukhoi memiliki itikad baik untuk
memberikan ganti kerugian sesuai dengan keadaan pada saat kecelakaan terjadi.
Intinya OPU 1939 hanya digunakan sebagai dasar hukum sedangkan ganti
kerugiannya berdasarkan negosiasi antara Sukhoi dan keluarga korban.
2.3.3 Undang-Undang RI No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan beserta
Peraturan Pelaksananya
Penulis berpendapat bahwa Undang-undang (UU) ini adalah yang paling
lengkap dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, karena UU
ini adalah UU yang mengatur penerbangan nasional secara spesifik. UU No.1
Tahun 2009 adalah lex specialis dari undang-undang lainnya yang mengatur
mengenai penerbangan. Selain itu UU No.1 Tahun 2009 adalah UU terbaru
mengenai penerbangan domestik sehingga diharapkan memiliki pengaturan yang
sesuai dengan keadaan sekarang baik dari segi ganti kerugian maupun hal-hal
teknis yang berkenaan dengan penerbangan.
Namun sebelum mengambil kesimpulan akhir mengenai dapat atau tidak
dapat digunakannya UU ini, maka penulis akan mencoba menguraikan unsur-
unsur yang ada di dalam pasal-pasal UU No.1 Tahun 2009. Mengenai tanggung
jawab pengangkut terhadap penumpang diatur di dalam pasal 141 ayat (1) yang
berbunyi :
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
18
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal
dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan
udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.20
Melihat kepada isi pasal 141 ayat (1) maka jelas bahwa yang harus
bertanggung jawab terhadap korban meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat
SSJ-100 adalah pengangkut. Namun, siapakah pengangkut? Untuk mengetahui
definisi dari pengangkut maka dapat melihat ketentuan di dalam pasal 1 angka 26
UU No.1 Tahun 2009 yang berbunyi:
Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin
kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan
udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini, dan/atau badan
usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak
perjanjian angkutan udara niaga.21
Definisi pengangkut di dalam pasal 1 angka 26 UU No.1 Tahun 2009
belum memberikan gambaran yang jelas apakah Sukhoi dan PT. Trimarga
Rekatama adalah termasuk pengangkut atau tidak. Oleh karena itu penulis akan
menguraikan dan menjelaskan unsur-unsur yang ada di dalam pasal 1 angka 26
UU No.1 Tahun 2009, di dalam pasal tersebut terdapat 3 unsur yaitu :
1. Badan usaha angkutan udara niaga
2. Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang
melakukan kegiatan angkutan udara niaga
3. Badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang
membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga
Pertama, Pengertian dari badan usaha angkutan udara niaga dapat
dilihat di dalam pasal 1 angka 20 UU No.1 Tahun 2009 yang berbunyi :
20 Indonesia, Undang-undang tentang Penerbangan, UU No.1 Tahun 2009, pasal 141
ayat (1). 21 Indonesia, Undang-undang tentang Penerbangan, UU No.1 Tahun 2009, pasal 1 angka
26.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
19
Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan
terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat
udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos
dengan memungut pembayaran.22
Sukhoi adalah perusahaan pembuat pesawat yang berasal dari Rusia dan
berdomisili di Rusia. Sukhoi bukan badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, atau badan hukum Indonesia, Oleh karena itu Sukhoi tidak termasuk ke
dalam unsur badan usaha angkutan udara. PT. Trimarga Rekatama selaku agen
dari Sukhoi juga bukan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
namun merupakan badan hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas
(PT). Tetapi tidak semua badan hukum Indonesia masuk ke dalam kategori badan
usaha angkutan udara, hanya badan hukum Indonesia yang kegiatan utamanya
mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo,
dan/atau pos dengan memungut pembayaran. PT. Trimarga Rekatama kegiatan
utamanya adalah sebagai agen penjualan pesawat Sukhoi di Indonesia, Oleh
karena itu PT. Trimarga Rekatama tidak masuk ke dalam unsur ini.
Kedua, unsur pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga
yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga, Sukhoi dan PT. Trimarga
Rekatama tidak melakukan kegiatan angkutan udara niaga, sebagaimana yang
terdapat dalam pasal 1 angka 14 UU No.1 Tahun 2009 bahwa angkutan udara
niaga adalah angkutan udara umum dengan memungut pembayaran. Sukhoi dan
PT. Trimarga Rekatama melakukan penerbangan dalam rangka demo pesawat
terbaru dari Sukhoi yaitu Superjet S-100, dan tidak memungut bayaran kepada
penumpangnya. Oleh karena itu Sukhoi dan PT.Trimarga Rekatama tidak
termasuk ke dalam unsur yang kedua ini.
Ketiga, unsur badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga
yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga. Dalam penerbangan
demo yang dilakukan oleh Sukhoi dan PT.Trimarga Rekatama tidak ada kontrak
22 Indonesia, Undang-undang tentang Penerbangan, UU No.1 Tahun 2009, pasal 1 angka
20.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
20
perjanjian angkutan udara niaga antara Sukhoi dan PT.Trimarga Rekatama dengan
penumpang. Bentuk kontrak perjanjian angkutan udara niaga biasanya berbentuk
tiket pesawat, karena ini adalah penerbangan demo yang tidak memungut bayaran
maka penumpang tidak memiliki tiket. Oleh karena itu Sukhoi dan PT.Trimarga
Rekatama tidak termasuk unsur yang terakhir ini.
Maka kesimpulan dari penulis, pengertian dari pengangkut di dalam UU
No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak termasuk Sukhoi dan PT.Trimarga
Rekatama. Oleh karena itu pasal 141 ayat (1) UU No.1 Tahun 2009 tentang
tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang meninggal dunia tidak dapat
digunakan dalam kasus kecelekaan pesawat SSJ-100. Jika penulis membaca isi
dari UU No.1 Tahun 2009 memang sebagian besar pengaturan yang diatur adalah
mengenai penerbangan niaga berjadwal dan tidak mengatur mengenai
penerbangan demo.
2.4.4 Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Pengertian Konsumen menurut UU No.8 Tahun 1999 diatur di dalam pasal
1 angka 2 yang berbunyi :
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.23
Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa penumpang
pesawat SSJ-100 dapat dikategorikan sebagai konsumen, karena penumpang SSJ-
100 adalah pengguna dari pesawat SSJ-100 yang datang atas undangan dari pihak
Sukhoi. Selain itu pengertian konsumen di atas tidak mempermasalahkan
bagaimana cara mendapatkan barang dan/atau jasa yang dimaksud, apakah dengan
cara membayar atau gratis. UU Perlindungan Konsumen juga tidak mensyaratkan
adanya perjanjian pengangkutan. Oleh karena itu ketika penumpang
menggunakan pesawat SSJ-100 maka telah terjadi hubungan hukum antara
penumpang sebagai konsumen dan Sukhoi sebagai pelaku usaha.
23 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Opcit,pasal 1 angka 2.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
21
Pengertian pelaku usaha menurut UU No.8 Tahun 1999 diatur di dalam
pasal 1 angka 3 yang berbunyi :
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.24
Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 termasuk Sukhoi dan
PT.Trimarga Rekatama. Sukhoi adalah perusahaan asal Rusia, berkedudukan dan
berdomisili di Rusia, namun menjalankan usahanya dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia secara bersama-sama dengan PT.Trimarga Rekatama sebagai
agen perwakilannya di Indonesia. PT.Trimarga Rekatama adalah badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum negara Republik Indonesia.
Dan yang perlu digarisbawahi dalam kasus kecelakaan pesawat SSJ-100 adalah
tujuan dari penerbangan demo itu sendiri sebagai sarana untuk promosi yang
merupakan bagian dari kegiatan usaha mereka untuk melakukan penjualan
pesawat. Oleh karena itu baik Sukhoi dan PT.Trimarga Rekatama masuk ke dalam
pengertian pelaku usaha di dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pada Pasal 4, dinyatakan Hak
konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa25
Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 di atas, jika
dikonstruksikan pada penerbangan demo pesawat SSJ-100, yaitu sebagai berikut:
konsumen dalam hal ini penumpang berhak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam menggunakan pesawat SSJ-100 yang dibuat oleh Sukhoi,
secara a contrario berarti Sukhoi memiliki kewajiban untuk memberikan
kenyamanan, keamanan, keselamatan kepada penumpang. Pasal 4 tersebut di atas
24 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Opcit,pasal 1 angka 3. 25 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Opcit,pasal 4.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
22
mengandung makna bahwa konsumen dapat menuntut haknya sebagai penumpang
dalam penerbangan demo SSJ-100.
Selanjutnya UU No.8 Tahun 1999 menentukan kewajiban pelaku usaha,
sebagaimana ditentukan pada Pasal 7, yang menyatakan kewajiban pelaku usaha
adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
Ketentuan mengenai kewajiban pelaku usaha di atas berlaku juga dalam
penerbangan demo SSJ-100, sebab Sukhoi merupakan pelaku usaha atau
produsen. Dengan demikian, dengan terjadinya kecelakaan pesawat SSJ-100 maka
kewajiban Sukhoi adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
kepada penumpang.
Menurut pendapat penulis UU No.8 Tahun 1999 dapat digunakan pada
kasus kecelakaan pesawat SSJ-100. Mengenai jumlah ganti kerugian dapat
dilakukan negosiasi antara Sukhoi dengan keluarga korban.
2.5 Upaya Pemerintah untuk Memberikan Ganti Kerugian bagi Koban
Kecelakaan Pesawat SSJ-100.
Pemerintah menuntut pihak Sukhoi untuk memberikan ganti kerugian
sebesar 1,25 Miliar Rupiah dengan mengacu pada ketentuan di dalam Permenhub
No.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Upaya
yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah dengan cara diplomasi G to G
(Government to Government) kepada Pemerintah Rusia. Hal ini dilakukan karena
pemilik sebagian besar saham Sukhoi adalah Pemerintah Rusia, selain itu Sukhoi
sendiri berdomisili di wilayah Rusia.
Pihak Pemerintah Indonesia dengan pihak Sukhoi melakukan negosiasi
terkait dengan besaran santunan yang akan diberikan pada keluarga korban. Pada
awalnya pihak Sukhoi hanya mau menggelontorkan santuan sebesar 50 Ribu
Dolar Amerika, atau berkisar 450 Juta Rupiah per korban, sementara Pemerintah
Indonesia mendesak agar Sukhoi memberikan santunan sebesar 1,25 Miliar
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
23
Rupiah. Pada akhirnya Sukhoi menyanggupi untuk memberikan ganti kerugian
sebesar 1,25 Miliar Rupiah kepada para ahli waris korban kecelakaan pesawat
SSJ-100.
Penulis berpendapat bahwa Peraturan di dalam Permenhub No.77 Tahun
2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara tidak dapat
digunakan untuk menuntut pihak Sukhoi, karena Permenhub tersebut tidak
mengatur mengenai penerbangan demo melainkan hanya mengatur mengenai
penerbangan niaga berjadwal. Tidak berlakunya Permenhub No.77 Tahun 2011
maka seharusnya Pemerintah Indonesia tidak harus mematok nilai ganti kerugian
sebesar 1,25 Miliar Rupiah seperti yang terdapat di dalam Permenhub tersebut.
Pemerintah Indonesia dapat menuntut ganti kerugian dengan nilai yang lebih
besar dari yang terdapat di dalam Permenhub No.77 Tahun 2011.
Menurut penulis logika pemberian santunan dengan nilai yang besar
adalah wajar, pertama, bahwa lazimnya kecelakaan transportasi yang merenggut
korban meninggal, mengakibatkan keluarga yang ditinggalkan jatuh miskin. Hal
ini disebabkan mayoritas korban meninggal pada kecelakaan transportasi adalah
tulang punggung keluarga (pencari nafkah). Sirnanya tulang puggung keluarga,
sirna pula sumber nafkah keluarga. Fenomena semacam ini ditandaskan oleh hasil
survei World Bank26, bahwa di seluruh dunia mayoritas kecelakaan transportasi
mengakibatkan jatuh miskin bagi keluarga korban, karena tidak ada pengganti
sumber nafkah.
Kedua, di saat tumbangnya sumber nafkah keluarga itu, terlihat tanggung
jawab negara untuk men-recovery keluarga korban belum optimal. Ini terlihat
masih kecilnya jumlah santunan asuransi yang diberikan kepada keluarga korban.
Dalam regulasi, korban meninggal pada kecelakaan pesawat hanya mendapatkan
santunan sebesar 50 Juta Rupiah dari PT. Jasa Raharja. Sebagai perbandingan,
kebijakan negeri Jiran Malaysia memberikan santunan korban kecelakaan lalu
lintas di jalan raya sebesar 1,3 Miliar Rupiah; di Amerika angkanya lebih
signifikan yakni 3 Miliar Rupiah. Jika dibandingkan dengan Indonesia tentu
jumlah ganti kerugian tersebut sangat jauh berbeda.
26 Tulus Abadi, “Tragedi Sukhoi dan Ironi Asuransi,” Warta Konsumen ( Juni 2012 ) : 10
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
24
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam tatanan hukum positif di Indonesia terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan hukum bagi penumpang transportasi udara, yaitu:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b. Ordonansi Pengangkutan Udara 1939;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan;
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995
Tentang Angkutan Udara;
f. Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011
Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan
Udara.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan;
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan
Udara; Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara tidak
mengatur mengenai penerbangan demo, sehingga tidak dapat
digunakan pada kecelakaan pesawat SSJ-100.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
25
Hanya terdapat dua Peraturan Perundang-undangan yang
memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pesawat
SSJ-100 yaitu Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (OPU 1939)
dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Produk hukum tersebut dapat digunakan oleh keluarga
korban untuk mengajukan gugatan ataupun tuntutan ganti kerugian
kepada Sukhoi.
2. Mengenai nilai ganti kerugian masih terdapat kekurangan di dalam
OPU 1939 dan UU Perlindungan Konsumen, nilai ganti kerugian
di dalam OPU 1939 sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang,
sehingga mengenai ganti kerugian harus di negosiasikan antara
Sukhoi dan keluarga korban. UU Perlindungan Konsumen juga
tidak mengatur mengenai nilai/jumlah ganti kerugian, sehingga
diganti kerugian harus dinegosiasikan antara Sukhoi dan keluarga
korban.
Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan melakukan
upaya diplomasi kepada Pemerintah Rusia sudah benar dan tepat.
Namun nilai ganti kerugian yang dituntut seharusnya tidak dibatasi
dengan nilai yang sama seperti di dalam Permenhub No.77 Tahun
2011 yaitu 1,25 Miliar Rupiah, seharusnya dapat lebih besar dari
nilai tersebut. Alasan logisnya adalah Permenhub No.77 Tahun
2011 ditujukan untuk penerbangan niaga berjadwal bukan
penerbangan demo, sehingga tidak dapat digunakan terhadap
kecelakaan pesawat SSJ-100. Penuntutan nilai ganti kerugian yang
besar adalah wajar, karena mayoritas korban meninggal adalah
tulang punggung keluarga (pencari nafkah), dengan tidak adanya
pengganti sumber nafkah maka dapat mengakibatkan keluarga
korban jatuh miskin.
3.2 SARAN
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
26
1. Pemerintah harus menuntut pemberian ganti rugi kepada Sukhoi melalui
upaya diplomasi. Pemerintah Indonesia dapat menekan Pemerintah Rusia
sebagai pemilik saham terbesar dari Sukhoi melalui upaya diplomasi.
Penuntutan ganti kerugian kecelakaan pesawat SSJ-100 pada dasarnya
memiliki dasar hukum yang kuat karena dilindungi oleh perjanjian
internasional dan hukum positif di Indonesia. Ketika ganti kerugian telah
didapatkan dari Sukhoi, Pemerintah juga harus terus mengawal agar ganti
kerugian dapat diterima oleh ahli waris korban yang memang berhak.
2. Melakukan peninjauan kembali terhadap Ordonansi Pengangkutan Udara
1939 yang dibuat tahun 1939 pada masa kolonial Belanda. Hal yang
mendesak untuk dilakukan perbaikan adalah aturan mengenai jumlah nilai
ganti rugi, sebab nilai ganti rugi yang ditentukan di dalam OPU 1939
sangat kecil dan tidak sesuai dengan keadaan sekarang.
3. Undang-undang No.1 Tahun 2009 sebagai Undang-undang penerbangan
nasional tidak mengatur mengenai penerbangan demo, maka perlu
dilakukan perubahan terhadap isi dari UU No.1 Tahun 2009 agar mengatur
juga mengenai penerbangan demo, atau nantinya jika dibuat UU
penerbangan nasional yang baru harus mencakup mengenai penerbangan
demo. Sehingga apabila terjadi kecelakaan pada penerbangan demo, maka
korban mempunyai dasar hukum yang kuat untuk menuntut ganti
kerugian.
4. Mengingat proses penyelesaian ganti kerugian melalui pengadilan
memerlukan waktu lama serta biaya yang tidak sedikit, maka sebaiknya
proses ganti kerugian di luar pengadilan diatur sedemikian rupa sehingga
dapat memuaskan para pihak, dan dapat terwujud proses penyelesaian
ganti kerugian yang mudah, cepat dengan biaya ringan.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
27
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Mamudji, Sri. et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Az. Nasution. Gerakan Perlindungan Konsumen: Tinjauan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999. Jakarta: Pustaka Sinar Grafika, 2005.
Az. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar. Jakarta:Diadit
Media, 2007.
Az. Nasution. Konsumen dan Hukum, Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia. Cet.1. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1995.
Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Martono, H.K. Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Hukum Angksas, Hukum
Internasional. Bandung : Madar Maju, 1995.
Martono, H.K. Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik. Jakarta :
Rajawali Pers, 2010.
Martono, H.K. Hukum Angkutan Udara berdasarkan UU RI No.1 Tahun 2009.
Jakarta : Rajawali Pers, 2011.
Miru. Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2004.
Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT
Binacipta, 1997.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara.
Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994.
Perlindungan hukum ..., Aulia Dwi Utomo, FH UI, 2013
28
Saefullah. Tanggung jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan
dari Produk pada Era Pasar Bebas. Bandung: Mandar Maju, 2000.
Setiawan. Makalah Produsen atau Konsumen;Siapa Dilindungi Hukum. Jakarta,
2001
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : PT.
Citra Aditya
Bakti, 2006.
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen Dan Tanggung
Jawab Produk. Jakarta: Panta Rei, 2005.
Simatupang, Taufik. Aspek Hukum Periklanan. Bandung: PT Aditya Bakti. 2004
Setiawan. R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Ctk. Keenam. Bandung : Putra