UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard SKRIPSI PANDU WICAKSONO 0806356143 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI INGGRIS DEPOK JULI, 2012 Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
117
Embed
UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan
Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di
Universitas Harvard
SKRIPSI
PANDU WICAKSONO 0806356143
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI INGGRIS DEPOK
JULI, 2012
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenamya menyatakan bahwa
skripsi ini saya susun tenpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari temyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, 13 Juli 2012
Pandu Wicaksono
•
I I
,I,I
,I
h Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
I, HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah basil karya saya sendtrt,
dan semua sumber balk yang dikutip maupun dirujuk
teIah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Pandu Wicaksono
NPM : 0806356143
Tanda Tangan ~
Tanggal : 13 Juli 2012
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi yang diajukan oleh Nama : Pandu Wicaksono NPM : 0806356143 Program Studi : Inggris Judul : Analisis Wacana Kriris terhadap Retorika
Hubungan Islam dan Amerika Serikat dalam Pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard
ioi telah berhasil dipcrtahankan di hadapao Dewan Peoguji dan ditertma sebagai persayaratan yang diperlukan uotuk memperoleh gelar Sarjana Humaulora pada Program Studi Inggris, Fakultas Pengetabuan Umu Budaya, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Diding Fachrudin, M. A. (......... . : )
Alhamdulillahi rabbil alamin. Kalimat tersebutlah yang patut diucapkan
terlebih dahulu setelah menyelesaikan penelitian ini karena tanpa ridha Allah
SWT, saya tidak akan bisa sampai pada tahap ini. Tentunya dengan segala
kekurangan saya, penelitian ini masih jauh dari sempurna. Penelitian yang saya
lakukan ini melalui lima tahapan. Tiga tahapan pertama adalah tahap ditolak.
Tahap selanjutnya merupakan tahap disetujui dan tahap terakhir adalah tahap
pengerjaan. Saya memutuskan untuk menyusun skripsi dengan didasari oleh dua
hal. Pertama, keinginan saya untuk melanjutkan ke jenjang S2. Dasar kedua
adalah saya tergelitik melihat pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada 3 Januari 2011. Pada pidato tersebut, SBY
menggunakan banyak campur kode yang bagi saya justru membuat alur pidato
menjadi kurang halus dan pesan yang ingin disampaikan menjadi sedikit kabur.
Dari sana saya terinspirasi untuk menelaah pidato kepala negara Indonesia,
terutama SBY. Awalnya tentu saya ingin mengkaji pidato SBY tersebut, namun
karena bukan pidato berbahasa Inggris, saya tidak dapat melanjutkan. Akhirnya,
pidato SBY di Universitas Harvard lah yang saya pilih.
Skripsi ini telah melewati tahapan yang mudah dan susah. Dengan adanya
penelitian-penelitian terdahulu yang sejenis memberikan kemudahan bagi saya
untuk menyelesaikan skripsi ini. Perasaan takut yang dominan bercampur sedikit
rasa malas menggelayuti saya ketika mencoba untuk menerapkan analisis wacana
kritis terhadap data yang saya miliki. Ketakutan itu cukup beralasan bagi saya
mengingat minimnya pengetahuan tentang teori pendamping untuk mengupas
pidato ini. Oleh karena itu, saya terus berusaha untuk menelaah data dengan
pendekatan analisis wacana. Akan tetapi, dosen pembimbing beberapa kali
menyarankan saya untuk menggunakan analisis wacana kritis dan membaca
penelitian-penelitian sejenis yang dilakukan oleh senior-senior saya. Alhasil, saya
menemukan suatu pencerahan bahwa ada suatu metode yang cukup sederhana
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
vi
untuk melengkapi kekurangan dalam analisis wacana kritis yang saya gunakan,
yaitu dengan menggunakan teori struktur retorika.
Sudut pandang yang berbeda merupakan hal yang coba ditawarkan oleh
penelitian ini. Tentunya menarik untuk menelaah gagasan yang ditawarkan oleh
kepala negara dari sebuah negara yang berpengaruh, seperti Amerika, dan
dampaknya terhadap Indonesia atau negara lain. Di sisi lain, saya melihat hal
sebaliknya tidak akan kalah menarik. Oleh karenanya, saya bersikeras untuk
melanjutkan penelitian dengan data yang ada.
Manusia adalah makhluk sosial (walaupun belakangan cenderung menjadi
makhluk kapital). Oleh karena itu, segala dukungan dari berbagai pihak, mulai
dari yang terlihat sampai yang tidak terlihat, merupakan faktor penentu selesainya
penulisan skripsi ini. Dengan alasan tersebut, saya merasa perlu untuk
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Pak presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tim penyusun pidato
karena sudah membentuk pidato sedemikian rupa, sehingga bisa
ditelaah dengan analisis wacana kritis.
2. Pak rektor UI karena sudah membuat berbagai kebijakan yang
membuat mahasiswanya “terdorong untuk cepat lulus”.
3. Pak Diding Fachrudin sebagai dosen pembimbing yang bersedia sering
direpotkan di tengah kesibukannya oleh mahasiswanya yang kurang
mawas diri ini.
4. Pak Junaidi dan Bu Marti Fauziah sebagai dosen penguji yang bersedia
memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Para dosen program studi Inggris yang menginspirasi saya untuk selalu
berbuat yang terbaik walaupun masih berstatus mahasiswa.
6. Bapak dan Ibu saya yang tidak pernah saya kabari tentang skripsi ini
tapi, saya yakin, tetap mendoakan saya agar penelitian ini lancar dan
tuntas dengan baik.
7. Kakak saya yang mengingatkan untuk cepat menyelesaikan skripsi
karena saya harus membantu pekerjaannya. Tidak lupa, adik saya yang
beberapa kali menemani mengerjakan skripsi sampai pagi.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
vii
8. Keluarga besar mahasiswa program studi Inggris UI, baik yang masuk
ke dalam Ikatan Mahasiswa Inggris (IKMI) maupun tidak karena telah
menjadi bagian dari keluarga saya selama 4 tahun terakhir. Mereka
adalah tempat saya belajar, berbagi, bermain, berkelahi, dan berjuang.
9. Keluarga besar Sekolah Dasar Negeri Bojong 5, Pameungpeuk, Garut
beserta masyarakat kampung Cikangkung, Cikuya, dan Cipalahlar,
khususnya keluarga Pak Endang dan siswa-siswi kelas 5 SDN Bojong
5 karena telah menjadi alasan terbesar saya untuk menyelesaikan
skripsi ini. Setiap saya kurang bersemangat, hanya dengan mengingat
merekalah saya ingin segera menuntaskan penelitian ini. Hadiah
terbesar bagi saya adalah bisa bertemu dengan mereka lagi. Oleh
karena itu, saya tidak bisa berlarut-larut dalam pengerjaan skripsi ini.
10. Geng Ular (Alfi, Adel, Seto, Ririn, dan Wirda) karena selalu membuat
saya malu dengan jiwa-jiwa muda mereka yang selalu bersemangat.
Perasaan itulah yang sudah mengembalikan jiwa muda saya dan
memberikan saya dorongan moral di manapun mereka berada.
11. Pak Cecep dan Istri selaku pengurus Rumah Singgah Bina Tulus Hati
di Kampung Lio serta siswa-siswi di sana yang berbaik hati
mendoakan saya ketika saya bepergian jauh dan menjalani ujian.
Anak-anak di rumah singgah turut menjadi alasan untuk menuntaskan
skripsi ini karena mereka mungkin akan kekurangan tambahan
pelajaran jika saya terlalu lama berurusan dengan tugas akhir.
12. Geng Shuffle (Ade Linna, Beta Golda Nisa, Faries Muchlisin, dan
Sekar Sejati serta Chintya, sebagai penasihat) atas kebersamaannya di
masa-masa galau mengerjakan skripsi dan atmosfer unik yang telah
diciptakan. Untuk inisial A, B, F, dan S diharapkan dapat sesegera
mungkin menyusul lulus.
13. Pembina Teater Sastra (Tesas), Mas Yudi, dan teman-teman di Tesas
karena tanpa mereka saya mungkin hanya akan menjadi robot dan
menjadi naif, atau robot naif.
14. Keluarga besar panitia dan pengajar Gerakan UI Mengajar batch 1
karena telah menjadi keluarga dalam pengalaman yang tak terlupakan,
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
viii
memberikan semangat untuk saya, dan memberikan kesempatan yang
sangat berharga sebelum saya lulus kuliah.
15. Teman-teman kepanitiaan Desa Mandiri BEM UI 2012 yang membe-
rikan semangat di kala saya kewalahan mengerjakan tugas-tugas
sebagai Public Relation dan skripsi. Terutama Viola Almira yang
walaupun tidak banyak membantu saya, meminta untuk dimasukkan
namanya ke sini. Sayangnya dia sudah punya pacar, kalau belum
mungkin namanya minta dimasukkan ke hati saya.
16. Teman-teman FLAC (Future Leaders for Anti-Corruption) yang telah
memberikan saya kesempatan untuk tergabung dan ikut merasakan
kegiatan yang luar biasa di akhir-akhir masa perkuliahan saya.
17. Terakhir, namun bukan berarti paling tidak penting, para mantan
karena mereka telah menjadi faktor pembentuk karakter saya seperti
sekarang ini. Walaupun mereka mantan, mereka masih bersedia untuk
saya hubungi dan beberapa kali menanyakan perkembangan skripsi
saya. Terutama Imeh yang beberapa kali menemani saya mengerjakan
skripsi serta brain-storming ide dan konsep.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUANl'qBLlKASI
TUGAS AKIIIR UNTIJK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Pandu Wicaksnno
NPM : 0806356143 Program Studi : Inggris
Departemen : Lingnistik FakuItas : Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujni untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclustve Royalty
Free Right) atas karya i1miah saya yang beIjudul:
Analisis Wacana Kritis terhadap Retorika Hubungan Islam dan Amerika Serikat
dalam Pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard
beserte perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, menga1ilunedial
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selema tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hat Cipta.
Demikian pemyataan ini sayabuat dengan sebenamya,
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 13 Juli 2012
Yang menyatakan
~b5Jb du Wicaksono)
ix
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
x Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Pandu Wicaksono Program Studi : Inggris Judul : Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan
Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard
Sebagai rangkaian kunjungannya ke Amerika Serikat, setelah menghadiri forum G-20, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpidato di Universitas Harvard. Salah satu tujuannya adalah merespons pidato pidato Barrack Obama di Kairo. Dalam pidato yang berjudul “Toward Harmony among Civilizations” tersebut, SBY menyampaikan sembilan langkah yang dapat diterapkan untuk mencapai keharmonisan antar peradaban. Selain penjabaran langkah-langkah tersebut, SBY juga membangun retorika hubungan komunitas Muslim, terutama Indonesia, dengan Amerika. Penelitian ini mencoba menjabarkan formasi retorika, strategi, serta motivasi yang dibangun oleh SBY. Dengan pendekatan analisis wacana kritis dengan didukung oleh teori benturan peradaban, penelitian ini menemukan adanya kecenderungan untuk memperkuat citra Indonesia di mata dunia alih-alih memposisikan Islam sebagai rekan Amerika dalam mencapai perdamaian dunia.
Kata kunci: Retorika, wacana, analisis wacana kritis, pidato
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
xi Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Pandu Wicaksono
Study Program: English
Title : Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard
After attending the G-20 forum, the president of Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gave a speech in Harvard University as one of his activities in the United States of America. It is also a response to Barrack Obama’s speech in Cairo. Through his speech, which titled “Toward Harmony among Civilizations”, SBY presented nine imperatives to achieve harmony. Besides, he also built rhetoric of relationship between Muslim community, especially Indonesia, and America. This study aims to elaborate rhetoric formation, strategy, and motivation which are built by SBY. By using critical discourse analysis approach and clash of civilization theory, it discovers that there is a tendency to strengthen the image of Indonesia instead of arranging Islam as a partner of America to attain world’s peace.
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…………………………...ii SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………………iii LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………iv KATA PENGANTAR…………………………………………………………….v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………………..ix ABSTRAK………………………………………………………………………...x ABSTRACT………………………………………………………………………xi DAFTAR ISI………………………......................................................................xii BAB I PENDAHULUAN………………………………………...……………...1
BAB II LANDASAN TEORI……………………………….............................13 2. 1 Wacana………………………………………………………………13 2. 2 Analisis Wacana Versus Analisis Wacana Kritis……………………15
2. 5 Benturan Peradaban…………………………………………………40 BAB III ANALISIS…………………………………………………………….42
3. 1 Struktur Pidato Susilo Bambang Yudhoyono………………………42 3. 2 Analisis Bagian Pembuka…………………………………………...46
3. 2. 1 Analisis TSR Bagian Pembuka……………………………….46 3. 2. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa……..49 3. 2. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa………………………………………………………………..52 3. 2. 4 Analisis Praktik Wacana……………………………………...55 3. 2. 5 Analisis Urutan Wacana………………………………………56
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
xiii Universitas Indonesia
3. 2. 6 Analisis Fungsi Wacana………………………………………57 3. 3 Analisis Bagian Isi…………………………………………………..58
3. 3. 1 Analisis TSR Bagian Isi………………………………………58 3. 3. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa……..62 3. 3. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa………………………………………………………………..64 3. 3. 4 Analisis Praktik Wacana……………………………………...67 3. 3. 5 Analisis Urutan Wacana………………………………………67 3. 3. 6 Analisis Fungsi Wacana………………………………………68
3. 4 Analisis Bagian Penutup…………………………………………….69 3. 4. 1 Analisis TSR Bagian Penutup………………………………...69 3. 4. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa……...71 3. 4. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa………………………………………………………………...73 3. 4. 4 Analisis Praktik Wacana……………………………………...74 3. 4. 5 Analisis Urutan Wacana………………………………………74 3. 4. 6 Analisis Fungsi Wacana………………………………………75
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN……………………………………76 4. 1 Temuan Analisis Wacana Kritis……………………………………..76 4. 2 Temuan Analisis Fungsi Wacana…………………………………...81 4. 3 Temuan Analisis Teori Struktur Retorika…………………………...83 4. 4 Pembahasan dan Keputusan Hipotesis………………………………88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………..91 5. 1 Kesimpulan…………………………………………………….........91 5. 2 Saran…………………………………………………………………93
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
xiv Universitas Indonesia
Aku adalah kumpulan kertas, lahir di masa yang aneh Semua mata mendelik ke atas, semua lidah semakin nyeleneh
Aku adalah kumpulan kertas, lahir di masa yang aneh Semut sering menyantap ampas, lalat bergunjing sambil minum teh
Aku adalah kumpulan kertas, lahir saat dunia memuja kertas
Angka harus selalu menunjuk ke atas, angka selalu menjadi rating teratas Aku adalah kumpulan kertas, lahir saat dunia memuja kertas
Dua menangis karena kertas, dua tertawa karena kertas, dua takut kelipatannya kekurangan kertas
Kertas merajai dunia!
Batu hancur karenanya! Kerajaan runtuh olehnya!
Tapi, aku kertas. Kenapa sedikit yang mencintaiku?
Apa karena aku kertas?
Untuk Eyang
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Komunikasi adalah aktivitas harian yang biasa dilakukan manusia
untuk bertukar informasi. Selain untuk bertukar informasi, komunikasi
memiliki bentuk dan jenis tersendiri. Bentuk komunikasi bermacam-
macam, tergantung dari penerima pesan, arah pesan, dan medianya.
Dainty, Moore, dan Mooray (2006) membagi komunikasi ke dalam tiga
kategori berdasarkan penerima pesannya, yaitu komunikasi massa,
komunikasi kelompok, dan komunikasi perorangan.
1. Komunikasi massa merupakan komunikasi yang memiliki
sasaran pendengar atau penerima pesan dalam jumlah besar dan
umumnya tidak dikenal atau tidak saling mengenal. Contoh
komunikasi massa, yaitu media massa, radio, iklan, dan
sebagainya.
2. Komunikasi kelompok, yaitu komunikasi yang sasarannya
adalah sekelompok orang yang umumnya dapat dihitung atau
dalam jumlah yang dibatasi dan dikenal. Contoh komunikasi
kelompok, antara lain penyuluhan ibu-ibu PKK di Posyandu,
rapat koordinasi siskamling suatu kompleks perumahan,
sambutan ketua panitia dalam pembukaan pertemuan perdana,
kegiatan belajar mengajar di kelas, dan sebagainya.
3. Komunikasi perorangan adalah komunikasi yang melibatkan
dua individu. Contoh komunikasi perorangan, yaitu interaksi
antara dokter dan pasiennya di ruang periksa, dua orang yang
berbicara melalui telepon, dan sebagainya.
Di samping itu, menurut Dainty, Moore, dan Mooray (2006),
bentuk komunikasi juga dapat dikelompokkan berdasarkan arah pesan,
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
2
Universitas Indonesia
yaitu komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah atau timbal balik.
Komunikasi satu arah, sesuai namanya, hanya memberikan kesempatan
pada pengirim pesan untuk menyampaikan pesannya kepada penerima
pesan tanpa memberi kesempatan adanya timbal balik dari penerima
pesan. Berita di media cetak dan televisi, iklan di spanduk dan baliho, dan
pidato di acara pemakaman merupakan beberapa contoh dari komunikasi
satu arah. Komunikasi dua arah, di sisi lain, memberikan kesempatan
adanya timbal balik dari pemberi pesan dan penerima pesan. Komunikasi
dua arah biasa terjadi di beberapa kesempatan, misalnya obrolan santai
pegawai kantor di jam istirahat, komunikasi melalui telepon, chatting, dan
sebagainya.
Bentuk komunikasi selanjutnya, menurut Dainty, Moore, dan
Mooray (2006), berdasarkan medianya terbagi menjadi dua: komunikasi
langsung dan tidak langsung. Komunikasi langsung dapat dikatakan
sebagai komunikasi yang tidak menggunakan alat atau perantara. Dengan
kata lain, pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan langsung diterima
oleh penerima pesan saat itu juga tanpa perantara apa pun. Komunikasi ini
biasa ditemui pada percakapan sehari-hari antara individu atau kelompok
di tempat dan waktu yang sama, seperti di sekolah, pasar, dan kantor.
Sebaliknya, komunikasi tidak langsung membutuhkan perantara untuk
menyampaikan pesan. Iklan, media cetak, pengumuman, dan buku
petunjuk adalah beberapa contoh dari komunikasi tidak langsung.
Selain pengelompokan di atas, mengacu pada Dainty, Moore, dan
Mooray (2006) komunikasi juga terbagi menjadi dua jenis, yaitu
komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal menggunakan lisan
atau verbal sebagai media utama komunikasi, sedangkan komunikasi
nonverbal menggunakan media utama selain verbal untuk berkomunikasi.
Contoh komunikasi nonverbal adalah spanduk, poster, bahasa tubuh
manusia atau bahasa isyarat, dan sebagainya.
Komunikasi merupakan salah satu bentuk dari wacana. Oleh
karenanya, komunikasi tidak terlepas dari konteks situasi terjadinya
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
3
Universitas Indonesia
peristiwa komunikasi tersebut. Adapun wacana menurut Zaimar dan
Harahap (2009) merupakan kesatuan pesan yang mandiri dan
pemahamannya dipengaruhi konteks situasi. Di samping itu, Yuwono
(2005) memahami wacana sebagai kesatuan makna (semantis) antarbagian
di dalam sebuah bangun bahasa. Sebagai kesatuan pesan dan makna,
wacana memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan dan terpadu. Oleh
karena itu, sebuah teks, seperti pidato, iklan, dan prosa baru dapat dikaji
secara wacana ketika memiliki bangun bahasa.
Adapun pidato, sebagai teks wacana, merupakan sebuah contoh
komunikasi yang cukup kompleks. Hal ini dikarenakan pidato adalah
komunikasi verbal yang jumlah sasaran penerima pesannya bisa sangat
banyak, sedangkan pengirim pesan hanya, satu orang. Dengan demikian,
pengirim pesan perlu memiliki strategi dan kemampuan berkomunikasi
yang matang untuk memastikan bahwa pesan diterima dengan baik oleh
penerima pesan. Terlebih lagi, media perantara dan arah pesan pidato
disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk memberikan dampak yang besar,
pidato dapat berbentuk komunikasi langsung dan tidak langsung. Sebagai
contoh, dalam mengklarifikasi sebuah permasalahan, presiden Republik
Indonesia berpidato di istana negara. Pidato tersebut disaksikan secara
langsung oleh wartawan (komunikasi langsung) dan dapat diikuti pula
oleh rakyat Indonesia melalui layar kaca, radio, atau internet (komunikasi
tidak langsung). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pidato sebagai
komunikasi adalah arah pesannya, yaitu satu arah. Arah yang terbatas ini
membuat pengirim pesan seolah mendapatkan kebebasan untuk mengatur
jalannya pidato dan mengatur isi pidatonya sendiri. Terlebih lagi, tujuan
pidato pada umumnya, selain untuk memberi informasi, adalah
mempengaruhi penerima pesan.
Pidato, menurut Yuwono (2005) termasuk ke dalam jenis wacana
ekspresif, yaitu wacana yang sarana ekspresinya berasal dari ide penutur
atau penulis. Akan tetapi, bila sebuah pidato bertujuan untuk
mempengaruhi penerima pesan atau mitra tutur, maka pidato tersebut
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
4
Universitas Indonesia
berjenis wacana direktif. Penggolongan jenis wacana ini berdasarkan
fungsi-fungsi yang ditunjukkannya.
Fungsi wacana atau fungsi bahasa, meminjam istilah Zaimar dan
Harahap (2009), merupakan sistem klasifikasi wacana yang dikemukakan
oleh Jakobson (1985). Jakobson membagi fungsi wacana berdasarkan
elemen-elemen dalam komunikasi, yaitu: addressee, addresser, context,
message, code, dan contact. Dari keenam elemen tersebut, wacana
memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan fokusnya. Fungsi wacana yang
dikemukakan oleh Jakobson ada enam:
a. Fungsi referensial (referential function).
b. Fungsi puitis (poetic function).
c. Fungsi ekspresif (self-expressive function).
d. Fungsi konatif (conative function), Johnstone (2002)
menggunakan istilah fungsi retorik (rhetoric function).
e. Fungsi fatik (phatic function).
f. Fungsi metalinguistik (metalingual function).
Johnstone (2002) dan Zaimar dan Harahap (2009) sependapat
bahwa klarifikasi ini tidak dapat secara kaku diterapkan pada sebuah teks
karena teks tersebut berkemungkinan besar menggunakan beberapa fungsi
wacana. Tentunya penggunaan beberapa fungsi wacana ini secara sadar
dilakukan oleh pengirim pesan untuk mencapai tujuan tertentu.
Berkaitan dengan tujuan pidato untuk mempengaruhi pendengar-
nya dan mencapai tujuan tertentu, dikenal istilah retorika. Disiplin ilmu
seperti linguistik dan komunikasi politik cukup akrab dengan istilah ini.
Menurut Lauren (1981) sebagaimana dikutip oleh Syahriyani (2011) dari
Annisa (2010), keterlibatan konteks tempat dibacakannnya pidato, konteks
pendengar pidato, dan konteks tujuan yang diinginkan pembaca pidato
merupakan suatu kesatuan linguistik yang ditelaah dalam kajian linguistik.
Syahriyani (2011) menambahkan bahwa retorika berfungsi sebagai sebuah
strategi untuk memengaruhi pendengar melalui sebuah pidato yang
bersifat persuasif atau digunakan sebagai alat untuk membangun wacana
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
5
Universitas Indonesia
dan meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan yang disampaikan
dalam ranah ilmu komunikasi kontemporer.
Dalam retorika, masalah yang kerap kali menjadi fokus utama
adalah kekuasaan dan pembagiannya. Terkait dengan kekuasaan, retorika
memiliki tiga level atau tingkat. Tingkat yang pertama adalah kekuatan
pribadi (personal power), yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan
kekuatan yang membuka jalan untuk mencapai tujuan (cita-cita,
kesuksesan, dan lain-lain) bagi diri sendiri. Tingkat kedua adalah kekuatan
psikologis (psychological power), yaitu segala yang berkaitan dengan
kekuatan atau kemampuan untuk membentuk cara berpikir orang lain.
Tingkat retorika yang terakhir adalah kekuatan politis (political power),
yaitu segala yang berhubungan dengan pengaruh dalam pengambilan
keputusan dan aturan dalam menentukan orang yang berpendapat serta
pesan yang ingin disampaikan. Dengan kata lain, retorika, ideologi, dan
kekuasaan sangat erat hubungannya. Oleh karena itu, ketika satu ideologi
berperan dominan di dalam masyarakat, suatu kelompok tertentu dapat
diperkuat posisinya oleh konsepsi retorika yang terbentuk. (Herrick, 2000:
19-20)
Berdasarkan hubungan antara wacana, ideologi, dan kekuasaan,
Norman Fairclough mengembangkan sebuah teori bernama Analisis
Wacana Kritis (AWK). Fairclough membangun kerangka pemikiran
berdasarkan analisis wacana sebagai praktik sosial. Konsep Fairclough
bermula dari pemikiran Foucault yang melihat wacana sebagai
representasi pengetahuan dan kekuasaan. Lebih lanjut Fairclough menilai
bahwa wacana tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang terbentuk, tapi
juga dibentuk. Bagi Fairclough, wacana merupakan bentuk praktik sosial
yang mengubah dan mereproduksi identitas, relasi sosial, dan relasi kuasa
(power relation). Selain itu, wacana turut dibentuk oleh praktik dan
struktur sosial yang lain. Oleh karena itu, wacana dan unsur-unsur atau
dimensi sosial memiliki hubungan yang bersifat dialektis. (Jorgensen dan
Philips 2002: 65)
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
6
Universitas Indonesia
Dalam Analisis Wacana Fairclough, aspek koherensi dan kohesi
sebuah teks diperhitungkan untuk menelaah pengertian yang terbentuk dari
susunan kata dan kalimat. Selain itu, teks tersebut dianalisis dengan
melihat pilihan kata, tatanan semantik, dan tata kalimat. Dimensi yang
dibahas dalam Analisis Wacana Fairclough mencakup teks, praktik
wacana, dan praktik sosial. (Eriyanto, 2001)
Penelitian mengenai retorika menggunakan AWK pernah
dilakukan oleh mahasiswi Program Studi Inggris FIB UI , yaitu
Febriannisa Mutiara dengan judul skripsi “Analisis Wacana Kritis
Terhadap Retorika Hubungan Islam dan Amerika dalam Pidato Obama di
Kairo, Mesir” pada tahun 2010 dan Alfi Syahriyani dengan judul skripsi
“Retorika Hubungan Amerika Serikat dan Indonesia dalam Pidato Obama
di UI: Sebuah Tinjauan Analisis Wacana Kritis ” pada 2011. Mutiara
melihat bahwa retorika Obama di Kairo, Mesir, memiliki sejumlah wacana
mengenai hubungan antara Amerika dan komunitas muslim. Dengan
menggunakan teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough sebagai
teori utama, juga Teori Struktur Retorika (TSR) dan Benturan Peradaban
sebagai teori pendukung, Mutiara menemukan bahwa retorika Obama
memiliki indikasi pengalihfungsian relasi dialogis antara posisi pihak
penutur (AS) dengan audiens sasaran (komunitas Muslim). Penyajian
relasi dialogis tersebut sebaliknya memperkuat hegemoni pihak penutur
(AS) atas audiens sasarannya (komunitas Muslim). Namun demikian,
dalam studi yang dilakukan, Mutiara hanya membatasi penelitiannya pada
tiga wacana, yaitu isu ekstrimisme, isu konflik Israel dan Palestina, serta
isu pembangunan ekonomi, namun belum menjangkau semua wacana
yang disampaikan.
Tidak berbeda jauh dengan Mutiara, Syahriyani melihat adanya
tujuan untuk menguatkan hegemoni Amerika Serikat terhadap Indonesia
melalui pidato Obama di UI. Teori-teori yang digunakan Syahriyani
sebagai pendekatan dalam penelitiannya adalah teori AWK Fairclough
yang dikembangkan dari teori analisis wacana Foucault dan teori
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
7
Universitas Indonesia
hegemoni Gramsci yang bermula dari teori Marxisme Karl Marx. Dalam
penelitiannya, Syahriyani menemukan adanya strategi retorika oleh
Amerika Serikat yang terwujud dalam aspek kebahasaan, praktik wacana,
serta urutan wacana pidato yang mencerminkan relasi kuasa dan hegemoni
Amerika. Syahriyani juga tidak membahas keseluruhan wacana di dalam
pidato tersebut tetapi hanya tiga wacana yang memiliki episode yang
dominan.
Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
sejenis, penelitian ini menawarkan sudut pandang yang berbeda.
Penelitian-penelitian sebelumnya menitikberatkan pada retorika yang
dibangun oleh pemimpin negara lain, terutama dari peradaban Barat, dan
efeknya terhadap komunitas Muslim dunia dan Indonesia. Di sisi lain,
penelitian ini mencoba menjabarkan retorika yang dibangun dari sisi
Indonesia, termasuk perannya sebagai salah satu negara dalam komunitas
Muslim dunia, dan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh retorika yang
dibangun terhadap peradaban Barat. Di samping itu, penelitian ini
menggabungkan dua pendekatan telaah, yaitu AWK dan TSR, untuk
menganalisis data. TSR yang digunakan berfungsi untuk menjabarkan
organisasi teks secara makro. Kemudian organisasi retorika dalam teks
yang ditemukan akan memberikan gambaran umum pola retorika yang
dibangun dan kecenderungan penggunaan strategi oleh penutur atau
penyusun pidato. Pada akhirnya, TSR akan memperkaya dan memperinci
analisis data. Dengan demikian, penelitian ini dapat menunjukkan
dinamika retorika dari sudut pandang yang berbeda dari penelitian-
penelitian sebelumnya yang sejenis dan menemukan adanya perbedaan-
perbedaan serta kesamaan-kesamaan dari pidato SBY dan Obama.
Retorika berperan penting dalam dunia perpolitikan modern, yaitu
untuk membangun wacana demi keberhasilan agenda politik. Karena
fungsi retorika yang persuasif, para pendengar seringkali tidak sadar
bahwa pola pikirnya sedang dikonstruksi. Dengan demikian, keutuhan teks
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
8
Universitas Indonesia
pidato sebagai wacana perlu diteliti karena melibatkan pemahaman dan
tujuan pengirim pesan dengan pemahaman penerima pesan.
Pidato SBY di Universitas Harvard merupakan rangkaian aktivitas
di Amerika setelah menghadiri pertemuan G-20 di Pittsburgh. Pidato yang
dihadiri oleh ratusan tamu undangan ini merupakan tanggapan kepada
pidato Obama di Kairo pada bulan Juni 2009. Pada kunjungannya tersebut,
Obama menyampaikan sebuah pernyataan politik melalui pidatonya.
Pernyataan ini tentunya menarik perhatian internasional karena Obama
mencoba meyakinkan dunia, terutama komunitas Muslim, bahwa Amerika
Serikat ingin memperbaiki hubungan dengan komunitas Muslim dunia dan
bekerja sama dengan semua pihak. Di samping itu, Obama juga
menegaskan bahwa musuh Amerika Serikat bukanlah Islam, melainkan
para teroris. Hal ini menjadi penting mengingat citra Amerika di mata
dunia internasional, terutama komunitas Muslim dunia, tidak terlalu baik,
seperti adanya invasi Amerika ke negara-negara berpenduduk mayoritas
Muslim dan kecenderungan untuk mendukung Israel dalam berbagai
konflik di Gaza. Sebagai tanggapan dari gagasan yang dikemukakan
Obama, SBY membicarakan tentang keharmonisan antar peradaban dalam
pidatonya. Berbeda dari pidato Obama, pidato SBY menjabarkan langkah-
langkah yang menurutnya bisa mengantar pada keharmonisan peradaban.
Selain itu, SBY juga menekankan peran penting Indonesia sebagai
jembatan antara dunia Islam dengan Barat. Hal ini didukung oleh kekuatan
Indonesia sebagai negara yang multikultural sekaligus memiliki banyak
penduduk beragama Islam. SBY berharap Indonesia dan Amerika dapat
menjadi rekan dalam membangun keharmonisan dunia internasional.
Kedua pidato kepala negara ini oleh Richard Greene, seorang ahli strategi
komunikasi Beverly Hills dan penasihat pidato, dianggap sebagai pidato
yang berpengaruh pada abad ini dan diangkat ke dalam bukunya yang
berjudul “Words that Shook the World: Addendum: The first decade of the
21st century.”
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
9
Universitas Indonesia
Pidato ini dipilih dengan mempertimbangkan beberapa hal.
Pertama, tema yang diangkat oleh pidato ini menarik, mengingat
keharmonisan antar peradaban dunia tidak jarang merenggang belakangan
ini. Kedua, pidato ini menawarkan sudut pandang lain dari hubungan
antara Islam dan Barat, khususnya Amerika Serikat. Kali ini, pihak Islam
yang mengajukan sebuah gagasan dan tawaran. Tentunya dengan alasan
bahwa Indonesia termasuk ke dalam bagian dari komunitas Muslim dunia.
Ketiga, terlihatnya dinamika retorika pada pidato ini. Tidak seperti
beberapa pidato SBY di beberapa kesempatan lain yang lebih terkesan
kaku dan kurang berwarna, pidato di Universitas Harvard ini memberikan
gambaran berbeda dari SBY ketika berpidato di negara lain.
1. 2 Rumusan Masalah
Penelitian ini mengkaji tiga pokok permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana formasi retorika Susilo Bambang Yudhoyono di
Harvard University dibangun?
2. Bagaimana wacana retorika hubungan komunitas Muslim
(terutama Indonesia) dengan Amerika Serikat dipraktikkan?
3. Di manakah posisi Islam dan Amerika Serikat dalam konteks
pidato Susilo Bambang Yudhoyono?
1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, antara lain:
1. Menjabarkan formasi retorika SBY di Harvard University.
2. Menggambarkan strategi retorika yang dilakukan SBY melalui
pidatonya di Harvard University.
3. Menjabarkan motivasi kontekstual dan relasi dialogis yang
dibangun dalam pidato SBY di Harvard University.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
10
Universitas Indonesia
4. Mengetahui sasaran pendengar dari pidato SBY di Harvard
University.
1. 4 Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi oleh beberapa hal. Pertama, penelitian ini
merupakan penelitian tekstual yang berbasis pada transkripsi resmi yang
dikeluarkan oleh Biro Publikasi dan Media Kepresidenan Republik
Indonesia. Teks pidato yang akan dianalisis, yaitu pidato Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) di John F. Kennedy School of Government, Harvard
University, Boston tertanggal 30 September 2009. Elemen-elemen
suprasegmental seperti intonasi tidak akan dianalisis secara spesifik dalam
penelitian ini dikarenakan keterbatasan waktu penelitian.
1. 5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dapat dibuat dalam penelitian ini, antara lain:
1. Wacana yang dibangun dalam pidato SBY memposisikan Islam
dan komunitas Muslim sebagai pihak yang patut
diperhitungkan oleh Amerika Serikat.
2. Terdapat kombinasi sejumlah fungsi wacana yang membangun
retorika hubungan Islam dan Amerika.
3. Retorika yang dibangun oleh SBY dipengaruhi oleh konteks
tempat dibacakannya pidato.
4. Retorika Islam pada pidato SBY berusaha memperbaiki citra
Indonesia sebagai salah satu negara komunitas Muslim terbesar
di dunia.
1. 6 Metodologi Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif deskriptif. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan
untuk menjabarkan fenomena atau gejala sosial, dalam kasus ini linguistik,
yang ada atau pernah ada. Penelitian ini melalui empat tahap, yaitu tahap
pengumpulan data, analisis data, temuan, dan kesimpulan.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
11
Universitas Indonesia
A
Alur tahap analisis data
Pertama, dalam tahap pengumpulan data, penulis menggunakan
transkripsi resmi pidato SBY yang dipublikasikan oleh Biro Publikasi dan
Media Kepresidenan RI di presidenri.go.id. Sebagai data pendukung,
terutama dalam analisis praktik wacana (discourse practice) nantinya,
penulis mengambil rangkaian video dibacakannya pidato dari youtube.com
yang diunggah oleh Voice of America (VOA) Indonesia. Tahap kedua
adalah analisis data. Pada tahap ini, pidato tersebut akan dianalisis dengan
pendekatan analisis wacana kritis Norman Fairclough yang bermula dari
teori analisis wacana Foucault. Sebagai teori pendamping, penulis
menggunakan Teori Struktur Retorika (TSR) dari William Mann dan
Sandra Thompson, serta teori benturan peradaban (clash of civilization)
dari Samuel Huntington. Setelah melakukan analisis terhadap pidato
secara keseluruhan, penulis akan menyampaikan hasil penelitian atau
temuan analisis. Terakhir, penulis akan menarik kesimpulan untuk
mendapatkan tinjauan umum penelitian.
1. 7 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan tidak hanya memberikan implikasi yang
bersifat teoritis, tetapi juga bersifat praktis. Implikasi teoritis yang
diharapkan dari penelitian ini adalah penambahan pemahaman dalam
analisis wacana terutama analisis fungsi wacana dalam sebuah pidato. Di
samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong penelitian-
penelitian linguistik lainnya yang menggunakan tuturan atau fenomena
komunikasi dan sosial dari pihak otoritas, seperti pemerintah, sebagai
korpus penelitiannya.
Tahap
Pengum
pulan
Data
Temuan Analisis
Data Kesimpulan
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
12
Universitas Indonesia
Di sisi lain, secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat
menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari suatu teks, terutama pidato
kenegaraan, sehingga masyarakat mengetahui salah satu faktor yang perlu
diperhatikan dalam membuat teks pidato dan dapat mengambil pelajaran
dalam mempersiapkannya.
1. 8 Sistematika Penyajian
Skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang
berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan,
hipotesis penelitian, metode yang digunakan, manfaat penelitian, dan
sistematika penelitian. Bab 2 akan membahas kerangka teori yang
melandasi penelitian. Bab 3 adalah analisis teks pidato SBY di Harvard
University, Boston dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana
Kritis (AWK). Analisis mencakup dua tahapan. Pertama, analisis teks
pidato secara tekstual menggunakan pendekatan TSR untuk mengetahui
struktur wacana dan retorika yang dibangun secara umum. Kemudian data
dianalisis menggunakan pendekatan AWK dengan menganalisis peristiwa
komunikatif dan praktik wacana yang ada di dalamnya. Setelah melalui
analisis tekstual, data akan dianalisis dengan melihat aspek-aspek
kontekstual dan sosiokulturalnya. Kemudian, pada bab 4, akan dibahas
mengenai temuan dari analisis pada bab 3, juga keputusan terhadap
hipotesis. Terakhir, kesimpulan dan saran akan disampaikan pada bab 5.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
13
Universitas Indonesia
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan diuraikan pendekatan yang digunakan peneliti dalam
menganalisis data penelitian. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough yang didasari teori wacana
Foucault. Di samping itu, penulis akan menggunakan teori fungsi wacana Roman
Jakobson dan pendapat-pendapat lain, seperti Zaimar dan Harahap (2009) dan
Johnstone (2002) yang berkaitan dengan fungsi wacana untuk memperkaya
pembahasan dalam penelitian ini. Sebagai teori pendukung lain, penulis akan
menggunakan Teori Struktur Retorika (TSR) dan teori benturan peradaban.
Sebelumnya, penulis akan menguraikan wacana dan analisis wacana berdasarkan
pendapat para ahli.
2. 1 Wacana
Di samping pengertian wacana dari beberapa ahli pada bab
sebelumnya, beragam definisi wacana dikemukakan oleh ahli-ahli lainnya.
Beberapa definisi wacana dari para ahli telah dirangkum secara rapi dan
padat oleh Baker dan Ellece (2011: 30-31) sebagai berikut:
a. Brown dan Yule (1983) memberikan definisi wacana dalam
bentuk paling umum. Mereka mengartikan wacana sebagai
‘language in use’ dalam keseharian.
b. Stubbs (1983) mengajukan definisi lain dari wacana, yaitu
‘language above the sentence or above the clause’. Stubbs juga
membedakan wacana dengan teks. Menurutnya, wacana bersifat
interaktif, sedangkan teks tidak interaktif atau monolog.
c. Foucault (1972) mengaitkan wacana dengan ideologi dan
mengartikannya sebagai ‘practices which systematically form
the objects of which they speak’
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
14
Universitas Indonesia
d. Burr (1995) mengembangkan pengertian wacana yang diajukan
oleh Foucault sebagai berikut:
a set of meanings, metaphors, representations, images, stories,
statements and so on that in some way together produce a
particular version of events . . . Surrounding any one object, event,
person etc., there may be a variety of different discourses, each
with a different story to tell about the world, a different way of
representing it to the world. (Burr, 1995: 48 dalam Baker dan
Ellece, 2011: 31)
Selain para ahli yang telah dikutip oleh Baker dan Ellece, beberapa
ahli lain juga memiliki definisi sendiri tentang wacana, antara lain:
a. Yuwono (2005) mendefiniskan wacana sebagai “kesatuan makna
(semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa.”
b. Johnstone (2002) menganggap wacana sebagai sebuah contoh
realisasi komunikasi. Wacana juga diartikan oleh Johnstone
sebagai sumber pengetahuan umum tentang bahasa sekaligus
akibat-akibat yang dihasilkannya.
c. Zaimar dan Harahap (2009) memberikan definisi lain mengenai
wacana, yaitu satuan bahasa komunikatif yang sedang
menjalankan fungsinya, bersifat otonom, memiliki pesan yang
jelas, dan pemahamannya didukung oleh konteks situasinya.
d. Gee (2005) merumuskan wacana sebagai “bahasa +
pelengkapnya”. Pelengkap yang dimaksud oleh Gee di sini
adalah semua aspek yang terkait dengan bahasa itu, seperti nilai,
kepercayaan, simbol, tempat, interaksi, waktu, dan identitas.
e. Jorgensen dan Philips (2002) mendefinisikan wacana sebagai “a
particular way of talking about and understanding the world (or
an aspect of the world).”
Dari berbagai definisi wacana tersebut, empat hal yang mendasar
membuat sebuah aktivitas berbahasa tergolong dalam sebuah wacana
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
15
Universitas Indonesia
adalah komunikasi, ide, bahasa atau simbol, dan konteks. Oleh karena itu,
wacana menjadi kesatuan bahasa yang lebih besar dari sebuah struktur
kalimat maupun paragraf karena sifatnya yang terikat pada faktor-faktor
eksternal tetapi tidak terikat pada batasan struktur.
2. 2 Analisis Wacana versus Analisis Wacana Kritis
Baik analisis wacana maupun Analisis Wacana Kritis (AWK)
merupakan pendekatan untuk menelaah sebuah teks. Akan tetapi, masing-
masing pendekatan memiliki cakupan, paradigma, dan tujuan tersendiri.
2. 2. 1 Analisis Wacana
Awalnya, analisis wacana secara sederhana didefinisikan sebagai
studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. (Eriyanto, 2001). Hikam
(1996) sebagaimana dikutip oleh Eriyanto (2001: 4), membahas paradigma
yang terkandung dalam analisis wacana. Setidaknya ada tiga paradigma
dalam analisis wacana menurut Hikam, yaitu positivisme-empiris,
konstruktivisme, dan pandangan kritis. Pandangan pertama melihat bahasa
sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Penilaian
yang ditekankan oleh pandangan ini adalah kesesuaian dan
ketidaksesuaian suatu wacana dengan kaidah-kaidah semantik dan
sintaksis. Hal ini didasari pemisahan antara gagasan dan realitas dalam
berbahasa sehingga seseorang tidak terdorong untuk mengetahui ideologi-
ideologi yang mendasari suatu wacana atau pernyataan dan tidak terdorong
untuk mengetahui makna-makna tersirat yang mungkin ada di baliknya.
Dalam praktiknya, peneliti, yang menggunakan pendekatan analisis
wacana, menelaah sebuah teks dengan melihat aspek kohesi dan
koherensinya. Tentunya penelitian tersebut didasari oleh pandangan bahwa
wacana yang baik memiliki unsur-unsur yang kohesif dan koheren.
Koherensi atau keutuhan wacana menurut Zaimar dan Harahap (2009: 17)
merupakan
“keterkaitan antara unsur-unsur dunia teks… dan berkat hubungan-
hubungan yang menggarisbawahi tersebut, isi teks dapat dipahami dan
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
16
Universitas Indonesia
relevan.” Sedangkan kohesi atau kepaduan wacana didefinisikan sebagai
keadaan di saat pemahaman suatu unsur dalam teks bergantung pada
unsur lain, sehingga dengan ketidakhadiran hubungan tersebut, teks tidak
dapat dipahami secara menyeluruh. (Halliday dan Hasan, 1976: 4)
Pandangan kedua dalam analisis wacana menurut Hikam adalah
konstruktivisme. Berbeda dari pemikiran pertama yang memisahkan antara
aspek-aspek yang mendasari sebuah wacana dengan wacana itu sendiri,
konstruktivisme menganggap bahasa dan subjeknya sebagai sebuah
kesatuan. Pandangan ini percaya bahwa penggunaan bahasa tidak terlepas
dari alasan-alasan dan gagasan-gagasan yang melatarbelakanginya.
Tentunya alasan dan gagasan tersebut tergantung dari penutur atau
pembuat wacana. Dengan demikian, menurut pemikiran ini, analisis
wacana selayaknya dapat menjabarkan maksud, tujuan, dan makna tertentu
dari sebuah wacana. Pemikiran kedua dapat dikatakan sudah mulai
mengaitkan wacana dengan aspek-aspek sosial, namun belum sedalam
AWK. Pemikiran yang ketiga, yaitu pandangan kritis merupakan
pandangan pada AWK. Oleh karena itu, penjabaran mengenai pemikiran
ini akan diberikan pada subbab selanjutnya.
2. 2. 2 Analisis Wacana Kritis
Analisis Wacana Kritis (AWK) merupakan pendekatan dalam
menganalisis teks dan hubungannya dengan praktik sosio-kultural
(Fairclough, 1995:7). Baker dan Ellece (2011: 26) mendefinisikan AWK
sebagai sebuah pendekatan dalam analisis wacana yang melihat bahasa
sebagai praktik sosial dan fokus pada hubungan ideologi dan kekuasaan
yang diekspresikan melalui bahasa. Bila AWK dihubungkan kembali
dengan pendapat dari Hikam di subbab sebelumnya, maka AWK berkaitan
dengan prinsip pandangan kritis. Fokus telaah AWK tidak terbatas pada
keberadaan aspek kohesi dan koherensi dalam wacana maupun tahap
penafsirannya. Bahasa dalam pandangan AWK tidak lagi menjadi
kesatuan yang dapat dilepaskan dari segala macam aspek yang
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
17
Universitas Indonesia
menggunakannya, melainkan menjadi perwujudan ideologi dan gagasan
untuk mencapai tujuan penutur atau pembuat wacana.
Dalam praktiknya, AWK menggunakan bahasa dalam suatu teks
untuk dianalisis. Akan tetapi, adanya kata ‘kritis’ menunjukkan bahwa
analisis yang diterapkan tidak terbatas pada aspek-aspek kebahasaan,
melainkan juga mengaitkannya dengan konteks. Definisi konteks di sini
yaitu semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi
pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam teks, situasi tempat teks
diproduksi, dan fungsi yang dimaksudkan. Lebih jauh, konteks juga
berkaitan dengan aspek-aspek historis, sosial, budaya, politik, dan
ekonomi yang memengaruhi proses produksi serta penafsiran suatu teks.
Berkaitan dengan konteks, John Fiske1 menyatakan bahwa makna
tidak intrinsik di dalam teks, melainkan diproduksi lewat proses yang aktif
dan dinamis, baik dari sisi pembuat maupun khalayak pembaca. Teks dan
pembaca memiliki andil yang sama dalam mereproduksi pemaknaan.
Hubungan ini kemudian memposisikan seseorang dalam sistem nilai yang
lebih besar di kehidupan bermasyarakat. Pada titik inilah ideologi bekerja
(Eriyanto, 2001: 87).
Fairclough mempertegas hal ini dengan berpendapat bahwa bahasa
adalah bentuk material dari ideologi dan bahasa mengandung ideologi di
dalamnya (Fairclough, 1995:73). Dari pengertian tersebut, dapat dilihat
bahwa tujuan pembuat teks tersirat dalam bahasa. Bukan tidak mungkin,
hal yang disampaikan oleh pembuat teks mengandung ideologi tertentu
yang tidak disadari oleh pembaca. Dengan demikian, AWK bertujuan
untuk mengejawantahkan ideologi yang terkandung dalam suatu teks.
Ideologi dalam konteks ini dapat berupa pandangan, pernyataan sikap, atau
keberpihakan pembuat teks.
1 Seorang pakar media dan Profesor Communication Arts di University of Wisconsin–Madison. Area studinya meliputi budaya populer, budaya massa, dan kajian televisi.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
18
Universitas Indonesia
Pendekatan Fairclough adalah bentuk analisis wacana berorientasi
teks yang menggabungkan tiga tradisi berikut:
1. Analisis tekstual yang terperinci dalam bidang linguistik
(termasuk teori functional grammar Michael Halliday)
2. Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori
Foucault yang tidak menyertakan metodologi untuk analisis
teks spesifik)
3. Analisis mikro-sosiologis (analisis mikro-sosiologis, tradisi
interpretatif dalam ilmu sosiologi, yang memandang kehidupan
sehari-hari merupakan produk dari tingkah laku manusia yang
mengikuti norma-norma dan prosedur yang secara umum
dianggap ”masuk akal”)
Selain model analisis Norman Fairclough, terdapat model AWK
lainnya yang dicetuskan oleh beberapa ahli, seperti Van Dijk serta Wodak
dan Van Leeuwen. Teun van Dijk melihat ideologi pada wacana secara
sosiokognitif, yaitu lebih menekankan pada bagaimana nilai-nilai yang ada
di masyarakat menyebar dan diserap oleh kognisi pembuat teks hingga
akhirnya digunakan untuk memroduksi sebuah teks (Eriyanto, 2001: 222).
Belakangan, kajian Van Dijk lebih fokus pada isu rasisme dan ideologi
(Van Dijk, 1998). Kemudian, model analisis wacana kritis lainnya digagas
oleh Wodak dan Van Leuwen. Dalam model analisisnya, Wodak
mengaitkan wacana dan aspek konteks historis dalam menafsirkan wacana.
Sementara itu, Van Leuweun berfokus pada cara aktor, baik individu
maupun kelompok, ditampilkan dalam sebuah pemberitaan.
Analisis Wacana Kritis memang bersifat subjektif. Akan tetapi,
subjektivitas dapat diminimalisir dengan bukti-bukti linguistik yang ada.
Teori AWK biasa diaplikasikan untuk menganalisis media, tetapi beberapa
poinnya relevan untuk menganalisis retorika. Dalam analisis retorika,
fokus AWK adalah bahasa sebagai praktik kekuasaan. Ada atau tidaknya
relasi kuasa antara penyusun teks, penutur teks, dan audiens. Pidato
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
19
Universitas Indonesia
presiden juga bisa menjadi sarana dalam menampilkan ideologi secara
tersembunyi. Oleh karena itu, penulis memilih Analisis Wacana Kritis
Norman Fairclough untuk melihat praktik dan hubungan kekuasaan antara
pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan wacana. Secara umum,
tahapan analisis Fairclough terbagi dalam dua dimensi besar, yaitu
peristiwa komunikatif dan urutan wacana.
2. 2. 2. 1 Analisis Peristiwa Komunikatif
Dalam model analisis Fairclough, setiap contoh penggunaaan
bahasa adalah peristiwa komunikatif yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu
teks (text) contohnya teks pidato, tulisan, citra visual atau kombinasi
kesemuanya; praktik wacana (discourse practice) yang meliputi produksi
dan konsumsi teks; dan praktik sosiokultural (sociocultural practice).
Selain itu, terdapat juga unsur-unsur lain seperti gambar, warna, dan
bentuk tulisan atau ortografi yang memengaruhi rancangan sebuah teks
tertulis.
Berdasarkan kerangka analisis Fairclough, teks dianalisis dengan
memperhatikan kosakata, semantik, tata kalimat, koherensi, dan
kohesivitas. Analisis linguistik dilakukan dengan melihat tiga unsur yang
terdapat di dalam teks, yaitu identitas sosial, relasi sosial, dan representasi.
Ketiga unsur tersebut didasarkan pada teori Halliday mengenai tiga fungsi
bahasa, yaitu fungsi ideasional (ideational) yang merepresentasikan dunia,
fungsi interpersonal (interpersonal) yang melahirkan relasi sosial, dan
fungsi tekstual (textual) yang mengorganisasikan pesan (Fairclough, 1995:
131; Halliday, 1994: 39). Dimensi teks dalam analisis bahasa juga
memperhatikan beberapa poin, yaitu:
1. Pilihan dan pola kosakata (contohnya kata dan metafora)
2. Tata Bahasa (contohnya penggunaan kalimat aktif dan pasif
dalam laporan pemberitaan; dan penggunaan kata kerja)
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
20
Universitas Indonesia
3. Kohesi (contohnya yaitu konjungsi, penggunaan sinonim dan
antonim) dan struktur teks (contohnya pengambilalihan dalam
interaksi pembicaraan) (Simpson dan Mayr, 2010:54)
Selanjutnya, dimensi kedua adalah praktik wacana (discourse
practice) yang berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Fokus
dari analisis ini adalah proses dari sebuah wacana diproduksi. Tentu saja,
baik pembuat teks, yang memproduksi, dan pembacanya, yang meng-
konsumsi, memiliki nilai-nilai ideologis yang mendasari teks tersebut.
Faktor pembentuk wacana dalam teks dapat berupa latar belakang
pengetahuan, interpretasi, dan konteks. Dalam penelitian retorika, yang
berperan dalam produksi teks adalah penyusun dan pembaca pidato,
sedangkan konsumennya adalah audiens. Terakhir, dimensi ketiga dari
model analisis Fairclough adalah praktik sosiokultural (sociocultural
practice), yaitu melihat pengaruh konteks sosial di luar teks terhadap
wacana. Dalam penelitian kali ini, konteks yang dimaksud dapat berupa
praktik institusi pembuat teks, yaitu Presiden dan para pembantunya, yang
dipengaruhi oleh politik, budaya, dan kondisi sosial masyarakat.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
21
Universitas Indonesia
Model Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough dapat
digambarkan sebagai berikut:
Bagan 2. 1
Model Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Sumber: Language and Power (Fairclough 1989:25)
Kerangka analisis Fairclough di atas merupakan langkah awal
dalam menganalisis bahasa dan kekuasaan pada setiap jenis teks yang
berbeda. Model di atas menggambarkan wacana sebagai teks, baik yang
ditulis maupun di dituturkan, sebagai praktik wacana dan praktik sosial.
Lapisan terluar (layer 3) dari model Fairclough tersebut membedakan
pendekatannya dengan pendekatan yang lain dalam melihat bahasa.
Konteks sosial yang dimaksud tidak hanya meliputi kondisi lokal di mana
orang berkomunikasi, tetapi juga meliputi iklim sosial, kultural, dan
politik. Hal yang perlu digarisbawahi dari model tersebut adalah relasi
kuasa yang berada di dalamnya. Kepentingan, nilai, dan kepercayaan
LAYER 3
Social Conditions of production
Social Conditions of Interpretation Context (situational, institutional, societal)
LAYER 2
Process of production
LLLL
Process of Interpretation Interaction (ideology)
LAYER 1
Text
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
22
Universitas Indonesia
mempertahankan adanya relasi tersebut (Lihat Clark dan Ivanic, 1997:
10—11).
Lapisan kedua (layer 2) pada model tersebut merupakan
interpretasi yang merepresentasikan praktik dan proses produksi, serta
penerimaan bahasa. Lapisan ini terdiri dari praktik penulisan otentik
(‘actual’ literacy practices) tempat pembuat teks berpegang terhadap
gagasan-gagasan yang ditulisnya. Lapisan ini juga menunjukkan adanya
proses kognitif dalam kepala pembuat teks, yaitu keputusannya tentang
bagaimana ia menyampaikan pesan dan menginterpretasi. Ideologi
pembuat teks dapat dilihat pada lapisan kedua karena fokus lapisan ini
adalah bagaimana proses produksi dan konsumsi teks. Bagian sentral
(layer 1) merupakan teks yang merujuk pada bidang sebenarnya dari
bahasa tertulis atau lisan yang muncul secara utuh. Relasi antara layer 1
dan layer 3 yaitu bahwa pembuat teks menghubungkannya dengan praktik
penulisan dan tipe wacana untuk memroduksi teks. Sementara itu, tanda
panah pada model di atas berarti bagaimana teks tersebut dibentuk dan
secara bersamaan membentuk interaksi sosial dan konteks sosial (ibid.).
Dengan demikian, Fairclough tidak hanya mengeksplor teksnya sendiri,
tetapi juga produksi dan interpretasi dalam konteks sosial yang lebih luas
(Simpson dan Mayr, 2010: 53).
2.2.2.2 Analisis Urutan Wacana
Istilah urutan wacana (order of discourse) berasal dari Michel
Foucault (Fairclough 1989:28). Urutan wacana adalah aspek semiotik dari
urutan sosial (social order) (Fairclough, 2001: 124). Fairclough melihat
bahwa ada kaitan antara persitiwa komunikatif dengan urutan wacana.
Keduanya bersifat dialektis. Peristiwa komunikatif tidak hanya
mereproduksi urutan wacana, melainkan mengubahnya melalui
penggunaan bahasa secara kreatif (Philips dan Jorgensen, 2002: 72)
Dalam analisis urutan wacana, Fairclough melihat bahwa ada dua
hal yang perlu diperhatikan, yaitu analisis hubungan pilihan (choice
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
23
Universitas Indonesia
relations) dan analisis hubungan rantai (chain relations). Dua hal ini
memiliki dasar teori systemic functional grammar Halliday. Pilihan rantai
berhubungan dengan struktur kalimat, sedangkan pilihan kelas
berhubungan dengan sistem.
Berkaitan dengan analisis urutan wacana kritis, dalam menganalisis
urutan wacana di tingkat hubungan rantai, akan dilihat hubungan
antarwacana, alasan wacana tersebut diurutkan sedemikian rupa, serta
tujuan wacana tersebut digabungkan. Sementara itu, analisis hubungan
pilihan akan melihat pilihan wacana yang menempati slot. Kemudian,
setelah wacana-wacana tersebut dipilih dan diurutkan secara logis, pada
akhirnya pikiran pembaca teks akan terpengaruh dengan wacana yang
sudah disusun sedemikian rupa.
2. 3 Fungsi Wacana
Fungsi wacana merupakan warisan Roman Jakobson sebagai buah
dari penelitiannya mengenai komunikasi verbal. Dalam bukunya, “Verbal
seakan-akan ada hubungan dalam kombinasi keduanya. (Mutiara, 2010:
19)
Untuk skema relasi Purpose, secara sintaksis serupa dengan skema
relasi Enablement. Walaupun demikian, skema relasi Purpose
menekankan makna keseluruhan yang bertumpu pada kombinasi Nucleus-
satelit. Audiens sasaran melalui skema relasi tersebut diberi ruang untuk
mengolah keseluruhan aspek semantis yang ditampilkan sebagai kesatuan
aksi. Hal ini berbeda dengan ide skema relasi Enablement yang hanya
bertumpu pada Nucleus saja dengan satelit yang dapat meningkatkan
kemungkinan audiens sasaran mewujudkan ide tersebut. Serupa dengan
skema tersebut baik secara semantis maupun sintaksis adalah skema relasi
Motivation. Hanya saja tingkat kemungkinan audiens melakukan ide
dalam Nucleus lebih rendah karena kehadiran satelit hanya sebatas
meningkatkan keinginan audiens sasaran saja untuk melakukan ide
Nucleus saja. Skema relasi Otherwise bentuk kontras dari sinergi sintaksis
skema relasi Condition. Bentuk kontras lainnya hadir dalam skema relasi
Interpretation yang memiliki ciri-ciri semantis skema relasi Circumstance
tetapi merupakan formasi model kedua (Nucleus diikuti satelit). Skema
relasi Evaluation semantis serupa dengan skema relasi Volitional Cause
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
36
Universitas Indonesia
yang kali ini memperlihatkan subjektivitas penilaian penutur melalui
Nucleus-nya. (Mutiara, 2010: 20-21)
2. 4. 3 Nuklearitas
TSR lebih lanjut mengenal fenomena struktur skematis teks baik di
tataran makro maupun mikro bernama Nuklearitas. Menurut Mann dan
Thompson (1987), Skema-skema tersebut membentuk relasi hierarki
asimetrik atau searah yang berpusat pada Nucleus. Rangkaian satelit atau
multi satelit tanpa kehadiran Nucleus bersifat Non-Sequintur atau tidak
memuat presuposisi untuk memenuhi kelogisan bahasa. Rangkaian
demikian tidak dapat berfungsi/sulit dipahami maknanya. Sebaliknya, hal
tersebut tidak berlaku pada rangkaian yang terdiri atas Nucleus tunggal
atau multi Nucleus. Kehadiran Nucleus saja setidaknya mampu
menjelaskan makna dalam pemahaman sederhana. Konsep Nuklearitas
menurut Mann dan Thompson, dapat diidentifikasi kehadirannya dalam
rangkaian teks melalui atau tanpa penanda gramatikal (tanda baca) yang
memisahkan satu klausa dengan klausa yang lain. Matthiesen dan
Thompson (1988) melakukannya dengan mengkaji kompatibilitas struktur
kombinasi hipotaksis atau aspek sintaksis umum antar klausa dalam teks
tersebut dengan logika bahasa audiens sasarannya (Matthiesen dan
Thompson, 1988 dalam Mann dan Thompson, 1993, 269-270).
Dengan memahami adanya fenomena Nuklearitas dalam
operasionalisasi bahasa, analis TSR dapat mengenali anomali yang terjadi
dan cara teks dikomunikasikan dalam rangka membangun memori ide
dengan audiensnya. Variasi posisi Nucleus dan Satelit antar level
tergantung kepentingan dan paradigm penulis dan atau penutur teks.
Sejauh ini TSR melihat Nuklearitas hanya sebagai fenomena-fenomena
dalam rangkaian struktur teks multi Nucleus seperti fenomena struktur
Genre dan fenomena paralelisme. (Mann dan Thompson, 1987: 31-32)
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
37
Universitas Indonesia
2. 4. 4 Klasifikasi Relasi
Sebagaimana karakter berbagai skema relasi TSR telah dijelaskan
sebelumnya, semua skema relasi dapat diklasifikasikan lebih lanjut. Tipe
skema dan fungsi relasional dalam kategorisasi jenis-jenis relasi dalam
TSR secara umum dibagi dalam dua divisi besar. Pembagian ini
dipengaruhi elemen semantik dan pragmatik dari teks agar dapat dipahami
para audiens sesuai agenda penulis dan atau penutur (Van Dijk, 1997
dalam Mann dan Thompson, 1993: 257). Divisi pertama mencakup relasi-
relasi yang berfungsi untuk membentuk keutuhan ide/konsep yang logis
(subject matter) pada pemahaman audiens. Divisi kedua mencakup relasi-
relasi yang berfungsi untuk presentasi (Presentational) dan membangun
afeksi dengan audiens agar mereka bersepakat dengan penulis dan atau
penutur. Kategorisasi labih lanjut dapat dilihat pada bagan berikut
Subject Matter Presentational
Elaboration
Circumstance
Solutionhood
Volitional Cause
Volitional Result
Non-Volitional Cause
Non-Volitional Result
Purpose
Condition
Otherwise
Interpelation
Evaluation
Restatement
Summary
Motivation
(meningkatkan keinginan)
Antithesis
(meningkatkan kesan positif)
Background
(meningkatkan kemampuan)
Enablement
(meningkatkan kemampuan)
Evidence
(menambah keyakinan)
Justify
(meningkatkan pengertian)
Concession
(meningkatkan kesan positif)
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
38
Universitas Indonesia
Sequence
Contrast
Tabel 2. 2
Klasifikasi Skema Relasi Berdasarkan Fungsi Semantik dan Pragmatik
Umumnya jenis skema relasi dalam divisi yang berfungsi semantis
diawali oleh Nucleus dan dilanjutkan oleh satelit, sedangkan untuk divisi
yang berfungsi untuk kepentingan pragmatis terdapat dua modus. Pertama,
diawali Nucleus kemudian satelit, seperti dalam skema relasi Motivation,
Enablement, dan Evidence. Modus yang kedua adalah satelit kemudian
Nucleus seperti dalam skema relasi Antithesis, Background dan Justify.
Lebih lanjut, relasi berbasis aspek semantis sebagian besar menekankan
pada Nucleus sedangkan relasi berbasis aspek pragmatis sebagian besar
menekankan pada satelit. Dari kedua divisi tersebut, sejumlah relasi
menekankan pada kombinasi Nucleus dan satelit seperti Solutionhood,
Circumstance, dan Concession. Aplikasi basis relasi skematis ini
bagaimanapun juga sekali lagi bergantung pada analisis konteks yang
komprehensif dengan mempertimbangkan keseluruhan teks. Demikian,
klasisfikasi ini dapat diaplikasikan secara bervariasi dan tidak mengikat
dalam memformulasikan struktur. (Mann dan Thompson, 2010: 8-9)
2. 4. 5 Aplikasi Skema
Mengacu pada Mann dan Thompson (1987: 6), TSR memiliki
variasi rangkaian skema yang terbagi dalam tiga kategori, yaitu:
1. Rangkaian acak: skema tidak memiliki batasan urutan Nucleus
atau satelit dalam rangkaian teks sehingga aplikasinya variatif.
2. Relasi tambahan: hal ini terjadi dalam skema multi relasi dengan
satu relasi utama.
3. Relasi berulang: relasi skema yang memiliki urutan rangkaian
cukup stabil dan khas untuk diidentifikasi
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
39
Universitas Indonesia
Kehadiran indikator gramatikal secara eksplisit menentukan
proporsi dan aplikasi struktur skema sebuah teks karena dibutuhkan
pemahaman teks secara komprehensif dengan mempertimbangkan posisi
penulis atau penutur sebelum penentuan dilakukan agar tiap rangkaian
skema menjadi unik, koheren, dan utuh untuk dipahami sebagai sebuah
kesatuan struktur teks. (Mutiara, 2010: 23)
2. 4. 6 Teori Struktur Retorika Analisis Berganda
TSR mengakui fenomena ambiguitas tata bahasa yang
memungkinkan adanya perbedaan pemahaman teks dari analis satu dengan
analis lainnya walaupun menggunakan metode sejenis. TSR demikian
menegaskan bahwa hasil analisisnya adalah sebuah penafsiran struktur
deskriptif umum. Dengan melihat cara penentuan skema relasi dalam TSR,
sejumlah kemungkinan interpretasi tidak dapat dihindari. Diferensiasi ini
menjadi semakin kompleks apabila teks tersebut secara alamiah dibangun
dalam struktur yang ambigu. (Mutiara, 2010: 24)
Analisis berganda dapat pula terjadi dikarenakan faktor kesalahan
analis. Di satu sisi, beragam kategorisasi jenis-jenis skema relasi dalam
TSR mempengaruhi kecenderungan untuk melakukan kategorisasi sesuai
kategori yang ada. Terkadang suatu teks memiliki struktur teks yang
mereproduksi sejumlah jenis skema relasi dalam satu rangkaian dan
meningkatkan kompleksitas jenis rangkaian skema dalam TSR. Faktor
lainnya adalah murni kesalahan analisis yang kurang akurat. TSR ini
hampir dapat diaplikasikan pada semua jenis teks yang kita temukan
dalam kehidupan sehari-hari. Panjang atau pendeknya sebuah teks tidak
membatasi aplikasi TSR. Namun, di banyak kesempatan sejauh ini
diterapkan hanya dalam teks monolog. Untuk aplikasi di dalam teks
dialog/percakapan, Mann dan Thompson belum pernah melakukan hal
tersebut dan tidak menjelaskan kemungkinan tersebut lebih lanjut. (Mann
dan Thompson, 1987: 26-29)
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
40
Universitas Indonesia
2. 5 Benturan Peradaban
Seorang analis politik bernama Samuel P. Huntington melalui
essaynya dalam jurnal Foreign Affair berjudul Clash of Civilization (1993)
dan dibukukan dengan judul Clash of Civilization and the Remaking of
World Order (1996) menawarkan sebuah argumen dan prediksi tentang
kondisi yang selama ini terjadi, terutama kondisi geopolitik dan sosial
dunia di abad 21. Dalam pandangannya, konflik yang selama ini terjadi
dan yang berpotensi terjadi dilatarbelakangi tidak lagi oleh kepentingan
kompetisi ideologis atau kepentingan ekonomi, tetapi benturan peradaban
dan identitas budaya satu bangsa dengan bangsa lainnya.
Huntington mengemukakan argumentasinya tentang kondisi
geososiopolitik dunia sebagai konstelasi multipolar yang dibangun oleh
sejumlah peradaban dominan. Perkembangan peradaban bangsa-bangsa di
dunia cenderung ditentukan oleh faktor kesamaan budaya dan pengalaman
historis yang semakin lama semakin menggeser tesis peradaban universal
(Huntington, 1996: 114-118). Dari kebangkitan peradaban budaya bangsa-
bangsa di dunia, China dan komunitas Muslim adalah peradaban yang
paling rentan untuk mengalami benturan peradaban dengan peradaban
Barat karena praktik peradaban Muslim, khususnya Islam di Timur
Tengah, dan China yang menganut nilai-nilai yang antagonistik
(Chomsky, 2003). Nilai-nilai tersebut antara lain terkait hak asasi manusia
(HAM), demokrasi, pemakaian senjata militer, dan imigrasi. Hubungan
masyarakat Barat dan non-Barat memiliki tingkat interaksi intensif yang
baru dimulai di sekitar abad 19. Salah satunya didukung karakter diaspora
masyarakat dari kedua peradaban tersebut. Dalam sejarah
perkembangannya, menurut Huntington, baik peradaban Islam maupun
China memiliki tingkat kerentanan konflik yang tinggi. Masing-masing
memiliki riwayat perang sekterian dan perang saudara selama berabad-
abad. Di samping itu, kedua peradaban ini dahulu memiliki pengaruh
kekuatan Komunisme semasa perang dingin.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
41
Universitas Indonesia
Interaksi antara Peradaban Islam dan Barat seringkali berbenturan
selama berabad-abad (Huntington, 2008). Sepanjang abad ke-9 hingga ke-
15, Peradaban Islam unggul dari Peradaban Kristen. Sebaliknya,
Peradaban Kristen di akhir abad ke-15 kembali unggul. Di abad ke-19,
Peradaban Islam di kawasan Timur Tengah kembali dikolonisasi oleh
sejumlah kerajaan di Eropa. Benturan peradaban antara Islam khususnya
dari komunitas Muslim fundamentalis dan Barat (AS dan Sekutu) secara
kontemporer berkisar isu sekularisme dan teokratis otoritarian. Hal yang
sama melatarbelakangi terorisme dan menyebarkan Islamophobia di AS
dan negara-negara sekutunya pasca serangan 9/11 di tahun 2001 yang
menghasilkan invasi Afghanistan di tahun 2003 dan Iraq di tahun 2005.
Interaksi AS dan Islam di banyak kesempatan berbasis kekerasan
seperti melalui peperangan, terorisme, dan tanpa agenda bersama.
Keduanya mempertahankan identitas kultural dan tegas pada sikap politik
masing-masing. Crockartt (2007) sebagaimana dikutip oleh Huntington
(1993) menilai tanpa hubungan dialogis antara keduanya, peradaban Islam
dan AS senantiasa berbenturan karena komunikasi di antara keduanya
selama ini dan akan terus dibangung melalui budaya kekerasan. Tentunya
hal ini ambivalen dengan karakter kultural peradaban Barat yang
mendukung perlindungan hak asasi manusia sedangkan kepemimpinan
peradaban Barat kontemporer dipegang oleh AS (Huntington, 1993).
Demi menjaga kelangsungan pengaruh peradaban Barat di dunia
dan menghadapi tantangan kebangkitan peradaban bangsa-bangsa non-
Barat, Barat dinilai perlu untuk meredefinisi ulang konteks peradaban di
dunia (Huntington, 1993). Peradaban dunia bukanlah sesuatu yang
universal, tetapi kesatuan peradaban bangsa-bangsa di dunia dengan
keunikannya masing-masing. Relasi antar multi peradaban bergantung
pada kebijakan para pemimpin dalam mengelola keanekaragaman yang
ada. Kebijakan tanpa mempertimbangkan kerja sama multi budaya
memicu instabilitas geopolitik berupa peperangan peradaban global.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
42
Universitas Indonesia
BAB III
ANALISIS
Dalam bab ini penulis ini akan melakukan analisis pada data penelitian
berupa transkrip pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di
Universitas Harvard, Amerika Serikat yang secara resmi dikeluarkan oleh Biro
Publikasi dan Media Kepresidenan Republik Indonesia dan didukung dengan
video yang diunggah oleh VOA Indonesia ke situs youtube.com. Proses analisis
dilakukan dengan menggunakan Teori Struktur Retorika (TSR) dan Analisis
Wacana Kritis (AWK) yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya.
3. 1 Struktur Pidato Susilo Bambang Yudhoyono
Mengingat tidak adanya kaidah resmi yang menentukan cara untuk
mengelompokkan data dalam teks asal yang mencakup aspek yang
membuatnya signifikan dengan data lainnya, penulis memilih untuk
mengelompokkan data berdasarkan episode. Episode adalah istilah yang
digunakan oleh van Dijk (1981) untuk menjabarkan dan mengidentifikasi
unit semantis di tingkat makro dalam sebuah teks (Johnstone, 2002: 78).
Sebuah episode memiliki rangkaian gagasan yang secara internal koheren
dan membentuk sebuah gagasan semantis pada tingkat makro dan dalam
wacana tertulis, permulaan sebuah episode dapat ditandai dengan baris
atau jarak spasi (Johnstone, 2002).
Keseluruhan teks pidato ini terdiri dari 82 episode. Teks ini terdiri
dari bagian pembuka, bagian isi, dan bagian penutup. Pada bagian
pembuka, penutur atau penyusun teks pidato ini menyampaikan apresiasi
atas kesempatan untuk berbicara di Universitas Harvard. Sebelum
menyampaikan agenda utamanya secara lebih serius, penutur memasukkan
beberapa gurauan dalam bagian pembuka untuk mencairkan suasana.
Gurauan yang diujarkan hanya seputar Universitas Harvard. Di samping
itu, penutur juga menyampaikan kejadian yang melatarbelakangi
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
43
Universitas Indonesia
pidatonya di Universitas Harvard dan tujuan serta tema besar dari pidato
tersebut. Terakhir, penutur mengajukan sebuah pendapat dengan
menggunakan istilah “civilizational powerhouse” dan “multi-civilizational
global community” yang dipercaya sebagai salah satu kunci untuk
mencapai keharmonisan peradaban. Bagian pembuka ini disampaikan
dalam teks sebanyak sebelas episode.
Pada bagian isi, teks pidato terdiri dari 59 episode. Isu utama yang
disampaikan secara eksplisit adalah sembilan langkah penting dan
mendesak untuk mencapai keharmonisan antar peradaban. Bagian terakhir,
yaitu penutup, disampaikan sebanyak dua belas episode. Bagian ini berisi
tentang pendapat penutur mengenai peran Amerika dan Indonesia sebagai
rekan dalam menciptakan keharmonisan peradaban serta harapan-harapan
penutur terhadap kondisi dunia di masa depan.
Analisis teks pada data ini mencakup keseluruhan episode karena
sembilan langkah yang diajukan sudah mencakup isu-isu lainnya. Penulis
akan menganalisis lebih jauh retorika yang diwacanakan dalam bagian
pembuka, bagian isi, dan bagian penutup. Walaupun data akan dianalisis
berdasakan bagiannya, penulis akan mencoba untuk melakukan analisis
secara komprehensif agar tidak timbul kesan data tersebut berdiri sendiri-
sendiri. Tahap pertama analisis adalah analisis tekstual. Tahap ini
mencakup analisis struktur retorika, analisis fungsi wacana, dan analisis
pilihan kata, tata kalimat, koherensi, dan kohesi. Tahap kedua adalah
praktik wacana (discourse practice). Pada tahap ini, akan dilihat
kandungan nilai ideologis yang mendasari produksi dan konsumsi teks
tersebut. Pembentuk wacananya dapat berupa latar belakang pengetahuan,
interpretasi, dan konteks. Secara teknis, dari segi praktik wacana, penulis
akan menganalisis strategi retorika SBY berdasarkan tempat dibacakannya
pidato dan reaksi audiens yang terekam dalam video sebagai data
pendukung. Tahap terakhir berupa praktik sosiokultural. Analisis ini akan
melihat pengaruh konteks sosial di luar teks terhadap wacana.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
44
Universitas Indonesia
Bagan di bawah ini merupakan representasi analisis retorika SBY
di Universitas Harvard berdasarkan Analisis Wacana Kritis Norman
Fairclough:
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
45
Universitas Indonesia
LAYER 3
Social conditions of production
Perubahan ideologi dan kebijakan pembangunan Indonesia di era global Perubahan sikap Amerika dan Indonesia terhadap demokrasi Perubahan sikap Amerika pada dunia muslim
Social conditions of interpretation Context (situational, institutional, societal)
LAYER 2 Process of production Produksi teks: kandungan paham multikulturalisme, postmodernisme, pluralisme, dan liberalisme dalam teks Process of interpretation Interaction Konsumsi teks: reaksi audiens yang terekam dalam video
LAYER 1 Text:
Pidato SBY Package:
Hubungan Amerika-Indonesia
Bagan 3.1
Kerangka analisis Retorika SBY berdasarkan model analisis Norman Fairclough
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
46
Universitas Indonesia
Analisis tekstual dapat diaplikasikan terhadap lapisan atau tingkat
pertama. Lapisan selanjutnya, yaitu lapisan kedua akan secara lebih
mendalam dikaji melalui analisis praktik wacana. Terakhir, analisis
sosiokultural akan mencakup lapisan ketiga.
3. 2 Analisis Bagian Pembuka
3. 2. 1 Analisis TSR Bagian Pembuka
Berdasarkan TSR, bagian ini memiliki empat tingkat analisis.
Secara umum, relasi yang terbangun antar episode di bagian pertama ini
memperlihatkan skema relasi Concession. Hal tersebut diindikasikan oleh
episode 1 hingga 6. Rangkaian episode awal tersebut membawa pesan
yang selanjutnya dijabarkan melalui episode 7 hingga 11. Dalam skema
keseluruhan bagian pembuka, episode 1-6 berkedudukan sebagai satelit,
sedangkan episode 7-11 berkedudukan sebagai kesatuan nucleus. Satelit
yang disampaikan dalam konteks ini tidak memberikan penjelasan tentang
nucleus. Tanpa kehadiran episode 1-6, audiens tetap mampu memahami
konteks episode 7-11. Episode 1-6 memiliki peran pragmatis untuk
meningkatkan kesan positif terhadap nucleus, alih-alih memperkuat
pemahaman konseptual dari bagian pembuka pidato. Kesan positif menjadi
penting karena ide yang terdapat dalam nucleus dapat ditolak oleh
audiensnya dan menggagalkan tujuan yang ingin disampaikan melalui
pidato tersebut.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
ber
Ell
sec
sej
the
epi
ked
lon
kei
pen
pen
I h
Kesan
rada pada
lwood, sela
cara keselu
jumlah kalim
e distinguis
isode 2, “I
dua episode
ng time” di
inginan pe
nyusun pid
nyisipan gu
hope you ar
Skem
n positif pe
episode 1,
aku Dekan,
uruhan. Se
mat, antara
hed faculty
am impress
e 2, dan “I
i kalimat ke
enyusun pid
dato. Kesan
urauan-gura
re NOT her
Bagan 3
ma relasi bagi
ertama yang
yaitu den
Profesor Jo
elanjutnya,
a lain “I am
y and stude
sed with the
must admit
etiga episod
dato agar
positif dala
auan di dala
re today as
3.2
ian pembuka
g terlihat d
ngan menye
ohn Thomas
kesan po
m honored to
nts of Harv
e turn-out th
t, I have wa
de kedua. I
audiensnya
am bagian
amnya, anta
an excuse t
Unive
dalam bagi
ebut nama
s, dan meny
ositif ditam
o be here to
vard Univer
his evening
anted to vis
Ini memper
a menerim
pembuka d
ra lain “… f
to skip clas
ersitas Indo
an pembuk
Profesor D
yapa para ha
mpilkan m
oday, to ad
rsity” pada
…” pada ka
sit Harvard
rlihatkan ad
ma maksud
diperkuat de
for the stud
ss.” pada ka
47
onesia
ka ini
David
adirin
elalui
ddress
awal
alimat
for a
danya
baik
engan
dents,
alimat
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
48
Universitas Indonesia
kedua di episode 2, “Don’t take this the wrong way: but I find it
interesting that I did not end-up working for people who went to Harvard;
it’s actually people who went to Harvard who ended-up working for me!”
di kalimat ketiga episode 3, “So now other than being a loyal soldier in the
Indonesian army, he is also another Harvard student working for me!”
pada kalimat kedua di episode 4, dan “I speak today at Harvard, the oldest
and most prestigious University in America. (And please do not tell people
in Princeton and Yale I said this.)” pada kalimat kedua di episode 6.
Kesan positif yang dibangun, terutama dengan menggunakan
gurauan, menjadi pengantar sebelum memasuki agenda yang lebih serius
pada bagian isi yang menyinggung tentang hubungan komunitas Muslim
dengan komunitas non-Muslim dan isu keharmonisan antar peradaban. Di
samping itu, penyampaian gurauan dalam pidato tersebut dapat menjaga
citra Indonesia sebagai bangsa yang ramah dan terbuka.
Skema relasi pada tingkat berikutnya mencakup episode 5-11 yang
menunjukkan skema relasi Background. Skema relasi Background tersebut
memiliki episode 5-6 sebagai satelitnya dan episode 7-11 berfungsi
sebagai nucleus. Rangkaian episode tersebut menjelaskan latar belakang
SBY untuk berpidato di tempat tersebut. Salah satunya sebagai respons
terhadap pidato Obama di Kairo. Bagian ini memang tidak secara
signifikan mempengaruhi pemahaman audiens tentang ide yang akan
disampaikan, namun latar belakang ini memberikan gambaran luas tentang
tema maupun topik yang akan dibicarakan, yaitu keharmonisan antar
peradaban khususnya antar umat beragama dan isu-isu mengenai Islam.
Kemudian, skema relasi yang dibentuk selanjutnya adalah
Elaboration. Pada skema relasi ini, episode 8-11 yang berfungsi sebagai
satelit memperjelas dan mempertegas maksud dari episode 7 yang
berfungsi sebagai nucleus. Menurut penutur atau penyusun pidato, G-20
merupakan contoh nyata dari keharmonisan antar peradaban. Dengan
demikian, secara tersirat penutur atau penyusun pidato menginginkan
keharmonisan antar peradaban yang seperti demikian, yaitu dapat
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
49
Universitas Indonesia
berkomunikasi dengan baik tanpa mempermasalahkan isu-isu ras dan
agama. Pada tingkat terakhir, rangkaian episode 8-10 membentuk skema
relasi Justify. Pada episode 10, yang berfungsi sebagai nucleus, penutur
atau penyusun pidato mengemukakan sebuah gagasan atas peran G-20
dalam mempertahankan kondisi global. Di samping itu, peran episode 8-9
sebagai satelit turut memberikan alasan atau argumen untuk meyakinkan
audiens bahwa gagasan yang dikemukakan tersebut dapat diterima dan
memiliki dasar pemikiran yang jelas. Rangkaian-rangkaian episode
sisanya, yaitu episode 1-4, episode 5-6, episode 7-8, episode 8-9, dan
episode 10-11 tidak memiliki hubungan retorik. Oleh karena itu, skema
relasi yang dibangun hanya sebatas Joint, yaitu memberikan detil kepada
keseluruhan wacana tapi tidak menimbulkan dampak tertentu pada
penerima pesan.
3. 2. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa
Pada tahapan ini, akan dianalisis pilihan-pilihan kata dan frase
yang digunakan oleh penutur dan atau penyusun teks pidato. Karena kata
dan frase memiliki hubungan sintaksis dan semantis, analisis keduanya
akan dilakukan secara bersamaan. Pilihan kata dan frase tersebut tentunya
akan memengaruhi penerimaan audiens terhadap informasi yang telah
disusun. Pilihan-pilihan tersebut mungkin saja mengindikasikan
representasi baik atau buruk, atau malah bersifat netral.
Pada bagian pembuka, penutur atau penyusun pidato cenderung
langsung kepada pokok pembicaraan tanpa banyak berbasa-basi. Dalam
bagian ini pula tidak ditemukan keinginan penutur atau penyusun pidato
menjadikan audiens atau Amerika Serikat sebagai bagian dari Indonesia.
Terkadang, penggunaan kata “we” yang mengikutsertakan audiens dapat
memberikan kesan yang demikian, namun hal ini tidak ditunjukkan pada
bagian pembuka. Di samping itu, ketiadaan pengikutsertaan audiens dalam
ide yang diajukan, menunjukkan sikap penyusun atau penutur pidato dari
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
50
Universitas Indonesia
awal pidato yang memposisikan diri sebagai pembicara dan audiensnya
sebagai pendengar.
Akan tetapi, strategi “politeness” tetap digunakan oleh penutur atau
penyusun pidato tersebut. Politeness, menurut Johnstone (2002),
merupakan strategi seorang penutur untuk membuat nyaman lawan bicara.
Lakoff (1973) membuat tiga “rules of politeness” sebagaimana dikutip
oleh Johnstone (2002) sebagai berikut:
1. Formality (Distance): Do not impose on others; be sufficiently aloof.
2. Hesitancy (Deference): Allow the addressee options about whether
or not to respond and about how to respond.
3. Equality (Camaraderie): Act as if you and the addressee are equal;
make the addressee feel good
Beberapa frase atau kata yang menunjukkan politeness di bagian
ini berupa pujian maupun sanjungan, antara lain penggunaan frase “the
distinguished faculty and students of Harvard University” pada kalimat
pertama episode 2. Kemudian, penutur atau penyusun pidato juga
menggunakan klausa lain yang menunjukkan pujian seperti “fortunate to
study here” dalam kalimat kedua episode 3, “the prestigious Harvard
program” pada kalimat pertama di episode 4. Dengan menggunakan
strategi politeness ini, penutur atau penyusun pidato berusaha
memposisikan audiens dan tuan rumah di tempat yang terhormat walaupun
tidak berusaha menjadikan audiens bagian dari penutur atau penyusun
pidato dan tetap memposisikannya sebagai hubungan “pembicara” dan
“pendengar.”
Untuk memperkuat kesan positif audiens terhadap penutur atau
penyusun pidato, pujian juga ditujukan untuk presiden Amerika Serikat,
Barrack Obama. Hal ini terlihat dari penggunaan frase “a historic speech”
untuk merujuk pada pidato Obama di Kairo. Selain menunjukkan rasa
hormat penutur atau penyusun pidato terhadap Obama dan Amerika,
penggunaan frase tersebut juga menunjukkan sikap Indonesia terhadap
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
51
Universitas Indonesia
pidato Obama, terutama gagasan-gagasan yang diajukan olehnya. Dengan
kata lain, Indonesia bersikap terbuka atas ajakan Obama untuk bekerja
sama dan menjalin hubungan baik antara dunia Islam dan dunia Barat.
Pada pidato ini, sebuah istilah baru juga diajukan, yaitu
“civilizational”. Secara kaidah bahasa, penggunaan istilah tersebut tidaklah
lazim. Akan tetapi, penggunaan istilah itu tentunya memiliki maksud dan
tujuan tersendiri. Secara morfologi, kata “civilizational” berasal dari kata
“civil” yang diberi akhiran (suffix) “-ization” dan “-al”. Akhiran “-ization”
berfungsi untuk membentuk kata benda, sehingga bentuk pertama yang
didapat adalah “civilization”. Arti kata civilization dalam bahasa Indonesia
secara umum diartikan sebagai peradaban. Ketika kata “civilization”
diberikan akhiran “-al” maka kata yang terbentuk merupakan kata sifat.
Kata “civilizational” secara umum dan singkat dapat diartikan “beradab”,
“berhubungan dengan rakyat atau peradaban”, atau “memiliki peradaban”.
Bila arti “civilizational” tidak jauh dari dari pengertian tersebut, maka
penutur atau penyusun pidato melakukan tindakan yang sia-sia atau
melakukan pemborosan dalam menggunakan kata-kata karena penutur
atau penyusun pidato dapat menggunakan kata “civil” atau “civilized”.
Akan tetapi, bila ditilik lebih jauh lagi, maka ada makna yang lebih luas
dari penggunaan kata tersebut.
Pertama, penutur atau penyusun pidato ingin menekankan
pentingnya kekuatan sumber daya manusia atau kekuatan sipil dalam
membangun sebuah negara. Bahkan, kekuatan tersebut dapat digunakan
untuk mencapai keharmonisan dan menjaga hubungan baik antar negara.
Oleh karena itu, kata “civilizational” disandingkan dengan kata
“powerhouse” yang memiliki arti “sebuah kelompok atau sebuah
organisasi yang kuat dan berpengaruh”. Kelompok atau organisasi yang
dimaksud adalah G-20. Dengan demikian, penutur atau penyusun pidato
bermaksud untuk menunjukkan bahwa kekuatan G-20 tidak hanya berasal
dari kekuatan ekonominya, tetapi juga dari kekuatan keberagaman budaya,
penduduknya, dan tentunya peradabannya. Kedua, penggunaan kata
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
52
Universitas Indonesia
“civilizational” memberi kesan bahwa penutur atau penyusun pidato
sedang mengingatikan audiens dan dunia, pada umumnya, bahwa sebagai
bangsa yang beradab tidak sepantasnya hidup berdampingan secara tidak
harmonis. Terakhir, istilah ini dipakai sebagai sinyal bahwa selanjutnya,
isu yang dibicarakan terkait dengan peradaban (civilization).
3. 2. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa
Dalam analisis ini, penulis akan menganalisis hubungan antara
klausa dan kalimat yang membuat beberapa ide di dalam wacana menjadi
saling berkaitan dan menghasilkan sebuah pengertian. Ide dan wacana
tersebut, sebagai kesatuan, tentunya dapat memperlihatkan tujuan atau
maksud penutur dalam menyampaikan pesan. Hal ini dikarenakan penutur
atau penyusun sebuah teks pidato dapat membentuk idealisme di dalam
teks sesuai dengan pandangannya sendiri.
Secara tata bahasa, analisisi di bagian ini terpusat pada kombinasi
klausa dalam kalimat, antar kalimat, dan antar episode. Keberadaan
koherensi, kohensi, dan tanda baca dalam teks juga diperhitungkan dalam
analisis ini. Secara spesifik, koherensi terdiri dari elaborasi (penjelasan),
ekstensi (penambahan), dan hubungan perluasan. Sementara itu, kohesi
terbagi ke dalam dua kategori, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
Bentuk-bentuk kohesi yang termasuk ke dalam kohesi gramatikal menurut
Zaimar dan Harahap (2009) adalah referensi (terbagi menjadi eksofora dan
endofora), substitusi, ellipsis, dan konjungsi. Begitu pula dengan kohesi
leksikal, keduanya memasukkan repetisi, sinonim, hiponim dan hiperonim,
leksem generik, dan isotopi. Akan tetapi, pada bagian analisis ini dan
bagian analisis selanjutnya, tidak semua bentuk kohesi akan disajikan. Hal
ini tergantung pada fenomena-fenomena yang terlihat pada teks. Pada
analisis bagian pembuka, akan dilihat penggunaan koherensi dan kohesi
oleh penutur atau penyusun pidato dalam membentuk idealisme menurut
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
53
Universitas Indonesia
pandangannya sendiri. Penggunaan koherensi dan kohesi secara tersirat
dapat mengungkap ideologi penutur atau penyusun pidato.
Pada bagian ini, strategi campur kode (code mixing) digunakan
untuk memulai pidato. Code mixing atau campur kode menurut Holmes
(2001) adalah perubahan dari satu bahasa ke bahasa lain dalam ujaran
yang sama. Holmes menambahkan, penggunaan campur kode oleh seorang
penutur dapat didasari oleh latar belakang, sikap penutur terhadap bahasa
tertentu, dan keterbatasan bahasa. Kata yang menunjukkan campur kode
adalah “Bismillahirrahmanirrahim” pada kalimat pertama di episode 1
yang artinya “dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.” Kalimat ini biasa digunakan oleh umat Islam untuk memulai
kegiatan, misalnya makan, masuk kendaraan, dan pidato sebagaimana
yang dipraktikkan oleh SBY. Adanya campur kode di bagian awal dapat
menjadi petunjuk bahwa penutur atau penyusun pidato ingin
memperlihatkan identitas diri sebagai seseorang yang memeluk agama
Islam. Selain itu, penggunaan campur kode dapat digunakan sebagai
penegasan bahwa Indonesia merupakan salah satu komunitas Muslim
terbesar di dunia. Tidak adanya campur kode bahasa Arab, terutama yang
berhubungan dengan ritual keagamaan, tidak mengurangi pengetahuan
audiens mengenai Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk
terbanyak yang memeluk agama Islam. Akan tetapi, penggunaan campur
kode di awal tetap penting untuk menunjukkan identitas ke-Islaman
Indonesia.
Penutur atau penyusun pidato menggunakan beberapa sinyal dalam
teks pidato tersebut. Sinyal yang pertama adalah kata “NOT” dalam
kalimat kedua episode 2. Huruf kapital tersebut menjadi tanda bagi
penutur untuk memberi penekanan pada kata tersebut. Hal ini juga
dikarenakan tujuan penyusun pidato untuk menyisipkan humor di awal
pidato. Kemudian, adanya tanda baca berupa tanda seru juga menjadi
sinyal pada bagian pembuka ini. Tanda seru ditemukan pada kalimat
terakhir episode 3 dan 4. Tujuan keduanya tidak jauh berbeda dengan
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
54
Universitas Indonesia
sinyal sebelumnya yaitu untuk memberikan penekanan pada topik atau
kata tertentu. Di samping itu, episode 3 dan 4 juga berfungsi untuk
membangun kesan positif. Oleh karena itu, kedua tanda seru pada episode
tersebut membantu penutur pidato dalam menyampaikan humor kepada
audiens. Selain menjadi penanda penekanan dalam kata atau kalimat, tanda
seru tersebut menjadi penanda bagi penutur untuk berhenti sejenak. Bila
kesan positif yang dibangun sesuai dengan ekspektasi, maka melalui
gurauan tadi, audiens akan memberikan respons, bisa jadi tepuk tangan
atau tawa. Ketika audiens memberikan respons terhadap atmosfer yang
dibangun, seorang penutur disarankan berhenti sejenak agar pesan yang
disampaikan selanjutnya dapat diterima secara optimal.
Pada bagian pembuka ini, penutur atau penyusun pidato terlihat
hanya sekali menggunakan substitusi untuk menyebut G-20, yaitu pada
kalimat terakhir pada episode 8: “The G-20 grouping, comprising some 85
per cent of the world's GNP and 80 per cent of world trade, is not just an
economic powerhouse -- it is also a civilizational powerhouse.”. Dengan
demikian, kata “G-20” mengalami pengulangan atau repetisi. Repetisi
menurut Zaimar dan Harahap (2009) tidak hanya memberi penekanan pada
suatu teks atau gagasan atau memperkuat kohesi teks, tetapi juga
memberikan memberikan konotasi pada gagasan tersebut. Hal ini, dengan
kata lain, menunjukkan keinginan penutur atau penyusun pidato untuk
menonjolkan peran G-20. Tentu saja tindakan penutur atau penyusun
pidato tidak lepas dari isu yang sedang berkembang mengenai G-20.
Sebelum diadakannya pertemuan dan di hari diadakannya pertemuan G-20
di Pittsburgh, terjadi aksi protes dari berbagai kalangan, terutama
kelompok yang tidak setuju dengan praktik kapitalisme dan pasar bebas.
Dengan demikian, secara tidak langsung citra yang kurang baik dari G-20
turut mengurangi citra Indonesia. Oleh karena itu, repetisi yang
ditunjukkan pada bagian pembuka ini menekankan peran dan pentingnya
keberadaan G-20 sebagai wadah pemersatu berbagai negara sekaligus
memperbaiki citra Indonesia sebagai salah satu anggota G-20. Pencitraan
Indonesia melalui G-20 ini bersifat dua arah. Pertama, dukungan Indonesia
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
55
Universitas Indonesia
terhadap G-20 yang erat hubungannya dengan negara-negara kapitalis
mengindikasikan hubungan Indonesia yang condong kepada negara-negara
tersebut. Dengan demikian, Indonesia secara tidak langsung menunjukkan
dukungannya terhadap Amerika. Kedua, penutur atau penyusun pidato
berusaha mengalihkan isu terhadap G-20. Isu yang hangat
diperbincangkan mengenai G-20 adalah isu ekonomi dan geopolitik. Akan
tetapi, penutur atau penyusun pidato menunjukkan sisi lain dari G-20,
yaitu sisi multikultural. Sisi yang menurutnya positif. Hal ini menjadi
strategi untuk mengaajak audiens dan warga dunia untuk mendukung G-20
dengan cara mengesampingkan kekurangannya dan mendahulukan
kelebihannya.
3. 2. 4 Analisis Praktik Wacana
Mengingat teks ini merupakan transkrip pidato, praktik wacana
yang berlangsung cenderung monolog. Akan tetapi, tetap memungkinkan
adanya dialog, yaitu berupa respons dari audiesn. Transkrip resmi dari
presidenri.go.id tidak mencantumkan respons dari audiens. Oleh karena
itu, data dilengkapi oleh rekaman video pidato dari Voice of America
Indonesia. Respons yang terekam dalam video pidato merupakan respons
yang bersifat paralinguistik, yaitu tepukan tangan dan tawa. Secara garis
besar, respons bagian pembuka yang terekam adalah tepukan tangan dan
tawa. Respons tersebut hadir di akhir tuturan tertentu. Jumlah respons
yang terekam pada bagian pembuka adalah dua kali tawa yang diiringi
oleh tepukan tangan dan dua kali tawa tanpa iringan tepukan tangan.
Audiens hanya merespons saat penutur melontarkan gurauannya. Pada
bagian ini, tidak terlihat keinginan penutur atau penyusun pidato untuk
memancing respons dari audiens selain tepuk tangan dan tawa saat
dilontarkannya gurauan. Respons yang ditunjukkan oleh audiens menjadi
indikasi bahwa strategi mencairkan suasana dan membangun kesan positif
oleh penutur atau penyusun pidato berjalan cukup baik.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
56
Universitas Indonesia
3. 2. 5 Analisis Urutan Wacana
Analisis urutan wacana pada bagian pembuka ini dimulai dengan
menjabarkan terlebih dahulu jenis-jenis wacana yang tersurat. Selanjutnya,
dari penjabaran tersebut, hubungan dan koherensi satu wacana dengan
wacana yang lain akan dianalisis.
Pidato diawali dengan wacana pembukaan. Wacana ini berisikan
ucapan salam dan penghormatan yang ditujukan kepada tuan rumah
tempat pidato ini dibacakan dan audiens yang menyaksikan pembacaam
pidato ini. Kemudian, terdapat wacana historis yang menjelaskan sedikit
hubungan antara pidato SBY di Universitas Harvard dengan pidato Obama
di Kairo. Wacana terakhir yang dibangun oleh penutur atau penyusun
pidato pada bagian ini adalah wacana kekuatan. Wacana kekuatan
menjelaskan kekuatan dan peran yang dimiliki G-20 dalam konteks
keharmonisan.
Kehadiran wacana pembukaan di awal pidato dapat dikatakan
sebagai suatu keharusan untuk menunjukkan penghormatan penutur.
Wacana pembukaan dalam konteks pidato ini memperlihatkan bahwa
penghormatan yang disampaikan mencoba menempatkan audiens,
khususnya Amerika, pada tempat yang ideal, walaupun hanya sebatas
audiens. Tanpa kehadiran wacana pembukaan, kesan tidak tulus dan tidak
perduli akan timbul dari penutur. Dampaknya adalah berkurangnya citra
penutur (pemerintahan Indonesia) di hadapan audiensnya dan memicu
penolakan terhadap gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh penutur
Zaimar O. K. S. & Harahap A. B. (2009). Telaah Wacana: Teori dan
penerapannya. Depok: Komodo Books.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
1. Transkripsi Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
Speech
Boston, 30-9-2009
"Towards Harmony Among Civilizations," Speech by SBY At The John F. Kennedy School Of Government, Harvard University
“TOWARDS HARMONY AMONG CIVILIZATIONS” SPEECH BY DR. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AT THE JOHN F. KENNEDY SCHOOL OF GOVERNMENT HARVARD UNIVERSITY BOSTON, 29 September 2009 1<i>Bismillahirrahmanirrahim</i> Professor David Ellwood, Dean of the John F. Kennedy School of Government, Professor John Thomas, Faculty members, Students, Dear friends, 2. I am honored to be here today, to address the distinguished faculty and students of Harvard University. I am impressed with the turn-out this evening, and, for the students, I hope you are NOT here today as an excuse to skip class. (laughter) 3. I must admit, I have wanted to visit Harvard for a long time. Several of my Ministers, successful businessmen and military generals were fortunate to study here. Don’t take this the wrong way : but I find it interesting that I did not end-up working for people who went to Harvard; it’s actually people who went to Harvard who ended-up working for me ! (applause & laughter) 4. I am proud that my son, Captain Agus, was able to join this prestigious Harvard program - I think he is somewhere in this room. So now other than being a loyal soldier in the Indonesian army, he is also another Harvard student working for me ! (laughter) 5. Several months ago, President Barack Obama made a historic speech in Cairo, seeking to redefine relations between America and the Muslim world. As President of the country with the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s largest Muslim population, I would like today to respond to that speech. 6. President Obama delivered his speech at Al Azhar University, one of the oldest and best Universities in the Islamic world. I speak today at Harvard, the oldest and most prestigious University in America. (And please do not tell people in Princeton and Yale I said this..) (applause & laughter) But our objective is the same: to take a hard look at relations between the West and the Islamic worlds, and to chart a new course forward. 7. It is fitting that I come here after the G-20 Summit in Pittsburgh. 8. For to me, the G-20 is one manifestation of the change taking place in global politics. The G-20 grouping, comprising some 85 per cent of the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s GNP and 80 per cent of world trade, is not just an economic powerhouse -- it is also a civilizational powerhouse. 9. The G-20 for the first time accommodates all the major civilizations -- not just Western countries, but also China, South Korea, India, South Africa, and others, including significantly, three countries with large Muslim populations: Saudi Arabia, Turkey, and Indonesia. The G-7, the G-8, or even the
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
United Nations Security Council, does not boast this distinction. The G-20 is representative of a multi-civilizational global community. 10. Perhaps this is why the G-20 has been successful in arresting a global meltdown. The swift and coordinated actions of G-20 economies have started the stabilization of our financial systems and restored confidence, prompting today''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s early signs of modest economic recovery. 11. We are very pleased that at the close of Pittsburgh, the G-20 has been institutionalized, and looks set to be the premier forum for international economic cooperation. This comes not a moment too soon, for the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s civilizations should be properly represented in one defining forum. Civilizations. They at once define us, and divide us. 12. Is harmony between our civilizations truly elusive, so out of reach? can we just not get along? Sixteen years ago, the late Samuel Huntington, a son of this university, published an essay proposing that after the Cold War, civilizations, religions and cultures would become the defining feature of international relations and would constitute the primary cause of conflicts between and within nations. 13. To me, the term “clash of civilizations” itself is counter-productive. If they hear it often enough, some people may think that the world is such and accept it as reality. I don''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''t believe that civilizations are inherently incompatible and prone to conflict when they interact. This is what I saw firsthand at the G20, where nations of diverse cultural backgrounds joined hands to address a common challenge. We spoke different languages through our headphones, but we understood one another. 14. Huntington sought to understand post-Cold-War fault lines and warned us of potential turbulence. This is not a trivial reminder. Civilizational issues are rife in modern politics. As policy-makers, our job is to prevent such prognosis from becoming reality. 15. Indeed, Huntington’s warning has been relevant to Indonesia’s experience. In the roller coaster years following independence, Indonesia has suffered separatist threats, ethnic and religious conflicts, and Islamic insurgencies. 16 But we overcame these challenges. We adapted. And instead of failing, we have thrived. Today we are not a hotbed of communal violence; we are by and large an archipelago of peace. Today we are not at the brink of ''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''Balkanization''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''; we have instead fortified our national identity through three successful, peaceful national elections. 17. Today we are not a victim of past authoritarian, centralized governments, but a model of democracy and decentralization. 18. Today we are not paralyzed by financial crisis but forging ahead with sweeping reforms of our financial and industrial structure. And Indonesia today is a dynamic emerging economy, enjoying one of the highest growth rates in Asia after China and India. 19. Thus, no matter how deep and seemingly divisive the civilizational forces facing Indonesia -- the ethnic differences and religious conflicts -- we overcame them. This is despite the enormous challenges of democracy and development that still confront us. 20. Please do not misunderstand me. I am aware of the painful realities of our world. I am aware of the 4000 years of painful relations between Judaism, Islam and Christianity. 21. I am aware of a traumatic collective memory that is not easy to erase. 22. When dealing with matters of faith, we face basic human emotions that predated modern states. These emotions are complicated, stubborn, and will likely become more problematic as religiosity intensifies worldwide. According to some estimate, Islam will be the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s largest religion by 2025, accounting for some 30 % of the world population, and indeed Islam is currently the fastest growing religion in the United States.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
23. As religiosity increases, so will the politics of identity. And aided by globalization and technology, extremism and radicalism can only grow. As we transition from G8 to G20 and perhaps beyond, mutual exposure between civilizations will become the most intense humanity has ever seen. Perhaps we will even see the emergence of a "global civilization". 24. And democracy has gained immense ground, spreading in the Islamic world, including in Indonesia. There were only a handful of democracies at the turn of the 20th century. At the turn of the 21st century, there are some 89 full democracies. Even the Organization of Islamic Conference has adopted the historic Mecca Charter committing its members to the principles of democracy, human rights and governance. Indeed, more people now live under open pluralist societies, and under religious freedom, than at any other time in history. This trend can have only a positive impact on the global community. 25. It may be naive to expect that the world can be rid of conflict and hatred. But I believe that we can fundamentally change and evolve the way civilizations, religions and cultures interact. 26. This is NOT utopia. It is a pragmatic vision. I have seen it work in Indonesia. I have seen it work in many countries. The question is : can we make it work globally? As Robert F. Kennedy once said, quoting George Bernard Shaw, ‘I dream of things that never were, and ask, why not?” To highlight how I think this can possibly be achieved, let me outline 9 (nine) imperatives to achieve harmony among civilizations. 27. If you ask me “why 9 ?”, well, it is a bit personal, because 9 is always my lucky number. Let me now outline these imperatives. 28. The first imperative is to make the 21st century the century of soft power. Remember : The 20th century was the century of hard power. We saw two World Wars, several major wars and proxy wars, and a long Cold War which risked nuclear holocaust. One estimate suggests that some 180 million people died in the wars and conflicts of the last century. It is no wonder that the 20th century has been called the “age of conflict”. It has been the bloodiest Century in memory. 29. In contrast, the 21st century should and must be the century of soft power. 30. But there exists a large of “soft power deficit” that the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s civilizations must fill. I believe that this ''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''clash of civilizations'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''' is actually a clash of ignorance. We are weakest when we are alone. We are strongest when we join forces with one another. There are many examples of this power of exchange and connectivity. 31. In the 13th century, the Islamic civilization was the most sophisticated in the world because it had an enormous and indiscriminate thirst for knowledge and science, learning from all corners of the world. And this body of scientific knowledge from the Muslim world was later utilized by the Western Renaissance. Civilizations have built on each other''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s knowledge and become enriched by them. 32. We have done the same in Indonesia, where we have built on our exposure to Eastern, Islamic, and Western influences, culminating in the open, pluralistic and tolerant society that we are today. 33. In short : the cross-fertilization of cultures can produce something wonderful, something good. 34. The more we exchange cultures and share ideas, the more we learn from one another, the more we cooperate and spread goodwill, the more we project soft power and place it right at the heart of international relations, the closer we are to world peace. 35. Experience has taught me that soft power is an effective weapon against conflict. Just ask the people of Aceh, Indonesia. 36. For 30 years, Aceh was rife with violence. Successive Indonesian governments opted for a rigid military solution, because a settlement seemed so elusive. When I assumed the Presidency, I pursued a new approach, one defined by goodwill and trust-building. I offered the separatists a win-win formula, promising them peace with dignity. Remarkably, we reached a permanent peace settlement in just 5 short rounds of negotiations. The peace agreement was fully in line with my
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
objective to defend our sovereignty and territorial integrity but in a civilized and democratic way. That was when my faith in soft power multiplied, and why I believe it holds the key to resolving many global problems. 37. The second imperative is to intensify the process of dialogue and outreach that now seems to be proliferating. We have seen many good initiatives. In 2001, the United Nations began the Dialogue among Civilizations. Spain and Turkey later launched the Alliance of Civilizations. The Asia Europe Meeting (ASEM) also took-up Inter-faith Dialogue. Recently, Saudi Arabia convened the Interfaith Conference at the UN. Indonesia and Norway also launched, since 2006, the Global Inter-Media Dialogue in the aftermath of the cartoon crisis. All this represents a fresh approach to link civilizations and religions. 38. We must deepen the quality of these dialogues, so that they produce specific actions that, as UN Secretary-General Ban Ki-moon points out, (and I quote) "change what people see, what they say and ultimately how they act” (end of quote). 39. These initiatives should not always be a meeting of like-minded moderates, although surely this is also important. They should also include disbelievers, for a dialogue should not be a reaffirmation, but an honest attempt to understand the concerns of the other side. The point is to listen, and not just talk. 40. A true dialogue must address age-old grievances and confront false stereotypes, without presumptions and preconditions. Indeed, the best dialogues are often respectful and honest, open-ended and constructive, intense, and solution-oriented. These were the quality of dialogues held in Indonesia between Muslims and Christians in conflict-zones in Poso and Maluku, which culminated in a commitment to peaceful reconciliation. The third imperative is the need to find a solution to burning political conflicts that have driven a wide wedge, specifically between the western and Muslim worlds. 41. Today, some two out of three Muslim countries are in conflict or face a significant threat of conflict. In contrast, only one out of four non-Muslim countries face similar challenges. But despite these very complex conflict situations, Muslims must be able to differentiate between a conflict involving Muslims, and a “war against Islam”. I do not believe that any of the civilizations – Western, Hindu, Sinic, Buddhist, Japanese - are systematically and simplistically engaged in a “war against Islam”. 42. Of all the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s conflicts, none has captured the passion of Muslims more than the plight of the Palestinians. But this is not a religious issue – there are Christians and Jews in Palestine, and Muslims and Christians in Israel. Nonetheless, the establishment of the much-awaited Palestinian state, in the framework of a two-state solution where Palestine and Israel live side by side in peace, would be widely hailed by Muslims worldwide. It would remove a major mental barrier in their perception of the West, especially of the United States. Currently, many Muslims fail to notice the constructive role of the West in producing peace in Bosnia, and in Kosovo, but they would sure notice, and rejoice in, the resolution of the Palestine dilemma. 43. But the Palestinians too have a moral and political responsibility. It is difficult to attain and sustain statehood unless there is unity among the Palestinian factions. In my meeting with Palestinian leaders, I always told them very clearly that Indonesian freedom fighters would have never won the war for independence, if they had not united in spirit. 44. The bottom line is : we desperately need to end the vicious cycle of conflict and violence. 45. The timely withdrawal of Western forces from Iraq and Afghanistan would also alleviate Muslim fears of a Western hegemony. And all these political solutions would help reduce terrorism, as a crime that deviates from the true teaching of Islam as a religion of peace. It would also turn the feelings of fear and humiliation among some Muslims into hope and self-esteem. 46. The fourth imperative is to strengthen the voice of moderation in our communities. 47. By nature, moderates are open-minded, flexible and prone to an inclusive approach through
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
outreach and partnership. In contrast, extremists are driven by xenophobic fear, and bent on confrontation and exclusion. Because both moderation and extremism will grow in the 21st century, we must make sure the moderates are empowered, and take center stage in society. The moderates should no longer be a silent majority. They must speak up and defend their mainstream values in the face of opposition from the louder and more media-genic extremists. In this vein, I find it very encouraging that Western media have unanimously refused to show the very offensive film Fitna by provocative Dutch politician Geert Wilders. This shows the media''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s improved sensitivity towards Islam. 48. The moderates also have to be more proactive and less reactive. And they must show, with reason and results, that being a moderate brings real success, peace and progress. Extremists will always capitalize on hopelessness and desperation. We must present a better alternative. The fifth imperative is multiculturalism and tolerance. The most welcome trend in the 21st century is multiculturalism and tolerance. You can not say this of America and many Western nations several decades ago. But today, racism is in serious decline, apartheid is gone, inter-racial marriages are common, and the market place picks talents without regard for color, religion or ethnicity. Even the family portrait of President Barack Obama reflects this healthy multiculturalism, with his Kenyan and Indonesian roots. 49. We must all work together to ensure that multiculturalism and tolerance become a truly global norm. And when we speak tolerance, it should be more than just to “tolerate” others. Tolerance implies a deeper meaning. Tolerance means a full respect for others, sincerely accepting their differences, and thriving on our mutual diversity. Only this type of tolerance can heal deeply seated hatred and resentment. The sixth imperative is to make globalization work for all. 50. I do not accept the precept that, as a rule, globalization produces winners and losers. Like peace, like development, globalization can be harnessed to make winners for all. Let us be clear on this. There can be no genuine harmony among civilizations as long as the majority of the world’s 1,3 billion Muslims feel left out, marginalized and insecure about their place in the world. They are part of the 2.7 billion people worldwide who live under two dollars a day. 51. These are the sad, hard facts. Out of 57 Muslim populated countries, 25 are classified as low-income countries, 18 lower middle-income, and 14 as upper middle income or high income. And even though 1 out of every 4 people in the world are Muslims, their economies constitute one tenth of the world economy. One in four people in Muslim countries live in extreme poverty. Almost 300 million Muslims aged 15 and above are illiterate. These statistics are, of course, unacceptable. 52. Muslims must take ownership in their destiny. Many Muslims reminisce too much about the glory days of centuries past, when Islam was on top of the world: politically, militarily, scientifically, economically. Muslims today must be convinced that Islam’s best years are ahead of us, not behind us. 53. The 21st Century CAN be the era of the second Islamic renaissance. A confident, empowered and resurgent Muslim world can partner with the West and other civilizations in building sustainable peace and prosperity. But to do this, Muslims must change their mind-set. Like the remarkable 13th century Muslims before them, they must be open-minded, innovative, and take risks. There are inspirational Muslims everywhere: Nobel laureate Muhammad Yunus, Orhan Pamuk, Muhammad Ali, Zidane, Hakeem Olajuwon, Fareed Zakaria and rapper: Akon. Countries like United Arab Emirates and Qatar have shown that with good governance, self esteem and a progressive worldview, they can change their nation’s fortune in one generation. And Indonesia has shown that Islam, modernity and democracy – plus economic growth and national unity - can be a powerful partnership. 54. In short, the world’s citizens, and children of all civilizations, must be equal partners and benefactors of globalization. 55. A recent survey in The Economist found that, for the first time, more than half of the world population can be loosely considered middle-class. If this is true, then we have a reasonable chance to reach “zero poverty” worldwide by the end of this century. With the emerging economic order that is now unfolding, getting from here to there would require intense inter-cultural and inter-
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
religious harmony. This should be the shared goal of all our nations. 56. The seventh imperative is to reform global governance. 57. Earlier, I talked about how the G20 Summit is more representative of today''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s global dynamics. Unfortunately, this is the exception rather than the rule. 58. For example, the UN Security Council today still reflects the power balance of 1945 rather than 2009, with exclusive veto powers reserved for four Western nations and China. It is unfortunate that recent efforts to reform the UN Security Council have not been successful. This situation is unsustainable. The UN Security Council will need to be restructured to keep up with 21st century geopolitical realities. 59. Imperative number eight is education. 60. Politicians often overlook educational opportunities in both our homes and our classrooms. But the answers to the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s problems are there, for it is also there that hatred and prejudice breeds. These are the real battlegrounds for the hearts and minds of future generations. 61. It is at these places that we must turn ignorance into compassion, and intolerance into respect. The foot soldiers here are parents, teachers and community leaders. We must inculcate in our school curriculum the culture of moderation, tolerance, and peace. We must help our children and our students develop a sense of common humanity which allows them to see a world of amity, not a world of enmity. 62. In Indonesia, elementary students are taught about respecting religious traditions. Exam questions ask Muslim students what they should do if their Christian neighbors invite them to celebrate Christmas. We are probably the only country in the world where each religious holidays – Islamic, Catholic, Protestant, Hindu, Buddhist - are designated as national holidays, even though Hindus and Buddhists account only 2.4 per cent of our population. Through education, we have sought to ensure that tolerance and respect for religious freedom becomes part of our trans-generational DNA. 63. Finally, the ninth imperative : global conscience. 64. It is not easy to describe this, but this is what I saw in Aceh during the tsunami tragedy. On 26 December 2004, giant tsunami waves crashed Aceh and Nias, and 200,000 people perished in half an hour. The whole nation was in grief. 65. But in this tragedy, we also found humanity. The whole world wept, and offered helping hands. Americans, Australians, Singaporeans, Chinese, Mexicans, Indians, Turks and other international volunteers worked hand in hand to help the Acehnese. I realized then … there exists a “powerful global conscience”. 66 One would think, that the enormous pain of World War 2 would usher in a new dawn of world peace. That is why the United Nations was formed. But the human race ended up with many more wars. 67 One would think the threat of the nuclear holocaust was enough to trigger nuclear disarmament, but the world saw more countries developing nuclear weapons. The question now is whether climate change would be able to foster a new global conscience. We are still not sure that it will. 68. But a “global conscience” could well help transcend whatever civilization, religious and cultural divides that has faced humanity. 69. So these are my NINE imperatives for harmony among civilizations that I offer to you today. 70. They will require a great deal of hard work. It will take the work of generations and decades. And it will require patience, perseverance, partnership and lots of thinking outside the box.
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
Universitas Indonesia
71. Eighteen years after the end of the Cold War ended, ten years into the 21st Century, we find ourselves at a crucial crossroads. In front of us may be the most progressive century mankind has ever known, a century where, as Fareed Zakaria says, more things will change in the next 10 years than in the past 100 years. 72. It can be the century of possibility and opportunity. 73 President Barack Obama spoke in Cairo of a “new beginning” between America and the Muslim world. Today, I say that we can “REINVENT A NEW WORLD”. 74 It will be a world not of conquest, but of connectivity. It will be a world defined not by a clash of civilizations, but by the confluence of civilizations. It will be a world marked by plenty, not by poverty. And it will be a vast empire of global minds breaking down centuries of civilizational collisions and hostilities. 75 America, with all the economic, social and technological resources at her disposal, has much to contribute to this new world. America’s role in helping to reform the international system, spread prosperity, empower the world’s poor, resolve conflicts, and share knowledge is a critical asset to a transforming world. Now is a golden opportunity for America to inundate the world with her soft power, not hard power. America should not worry about retaining its superpower status. America can help make the world anew -- what could be more powerful and definitive than that? 76 Indonesia too has a significant role to play. We can bridge between the Islamic and the western worlds. We can project the virtue of moderate Islam throughout the Muslim world. We can be the bastion of freedom, tolerance and harmony. We can be a powerful example that Islam, democracy and modernity can go hand in hand. And we will continue to advance Indonesia’s transformation through democracy, development and harmony. 77 This is why Indonesia and America are now evolving a strategic partnership. The world’s second and the third largest democracies. The most powerful Western country and the country with the largest Muslim population. Calibrated for the challenges of the 21st century, this partnership can strengthen regional stability, inter-civilizational unity and world peace. 78. In the final analysis, vast oceans separate our countries but our common search unites. We are both trying to redefine our place in the world. President Obama insists the 21st century can still be the American Century. I am convinced that this could well be Asia''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s Century. 79 Then I thought, why can''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''t it be everybody''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s century? It can be the American Century. It can be the Asian Century. It can be the European Century. It can be the African Century. And it can be the Islamic Century. 80 This can be an amazing century where hope prevails over fear, where brotherhood of man reigns supreme, where human progress conquers ignorance. 81 It can be a Century that not only brings us into a new millennium, but also elevates the bonds of humanity to greater heights. 82 In this Century, no one loses. And everybody wins. <i>Insya Allah!</i> I thank you. (applause)