Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu ISSN 1978 — 3000 Jurnal Sain Peternakan Indonesia (Indonesia Animal Science Journal) JULI — DESEMBER 2011 VOLUME 6, NO. 2 Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer (Diding Latipudin dan Andi Mushawwir) 077 – 082 Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over Feed and Chick Cost (Kususiyah) 083 – 088 Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler (Basyaruddin Zain) 089 – 096 Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan (Meisji L. Sari, Ronny R. Noor, Peni S. Hardjosworo Chairun Nisa) 097 – 102 Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo (Heri D. Putranto) 103 – 114 Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi dengan Kebun Kopi (Rustama Saepudin, Asnath M. Fuah, Luki Abdullah) 115 – 124 Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Daging Sapi (Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani) 125 – 136 Peforma Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas sebagai Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum (Eli Sahara, Sofia Sandi, dan Muhakka) 137 – 142 Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler (Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis) 143 – 150
88
Embed
Universitas Bengkulu - 103.94.125.242103.94.125.242/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzimprotease.pdfPengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E terhadap Performans
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu
I S S N 19 78— 30 00
Jurnal Sain Peternakan Indonesia
(Indonesia Animal Science Journal)
J U L I — D E S E M B E R 2 0 1 1 V O L U M E 6 , N O . 2
Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer (Diding Latipudin dan
Andi Mushawwir) 077 – 082
Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta
Nilai Income Over Feed and Chick Cost (Kususiyah) 083 – 088
Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E
terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler (Basyaruddin Zain) 089 – 096
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan (Meisji L. Sari, Ronny R. Noor, Peni S. Hardjosworo
Chairun Nisa) 097 – 102
Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta
Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo (Heri D. Putranto) 103 – 114
Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi dengan
Kebun Kopi (Rustama Saepudin, Asnath M. Fuah, Luki Abdullah) 115 – 124
Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan
Peraskok chicken is a cross between Bangkok native chicken having good meat production and taste and commercial egg layer having good egg production. An experiment was conducted to evaluate growth performance of Peraskok chicken as a native chicken to provide four-cut chicken and its income over feed and chick cost. The experiment used 45 day old chicken (DOC) which were reared in 3 cages, as replications. As a comparison, 20 DOC of Kampung native chicken were reared in 2 cages, as replications. The rearing was up to chicken body weight reaching 700 g, eligible for four-cut chick. Variables observed included weight growth, day number to reach 700 g, feed consumption, feed conversion, and its income over feed and chick cost. Data were tabulated and discussed descriptively. The results showed that four-cut chick of Peraskok was reached at 10 weeks with the total consumption of 2,699 g per chick, with feed conversion of 3.95, and income over feed and chick cost of Rp. 8,320 per chick. Where as for Kampung chicken, four-cut chick was reached at 12 weeks with the total consumption of 3.392 g per chick, with feed conversion of 4.63, and income over feed and chick cost of Rp. 6,245 per chick. For these results, we conclude that the growth performance of Peraskok is better than thus Kampung chicken, and hence more profitable to culture.
Key words: Growth performance Peraskok Chicken, income over feed and chick cost
ABSTRAK
Ayam Peraskok adalah ayam hasil persilangan antara ayam ras petelur betina dengan ayam buras jantan jenis Ayam Bangkok. Produksi telur ayam ras petelur yang tinggi dan performans perdagingan Ayam Bangkok yang relatif baik disinyalir dapat menyediakan permintaan konsumen akan ayam buras dengan lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performans pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat serta nilai income over feed and chick cost. Sebanyak 45 ekor anak ayam (DOC) Peraskok dipelihara kedalam 3 petak kandang, masing-masing petak kandang berisi 15 ekor sebagai ulangan. Sebagai pembanding digunakan 20 ekor DOC ayam buras jenis Ayam Kampung dan dipelihara ke dalam 2 petak kandang, sehingga masing-masing petak kandang berisi 10 ekor sebagai ulangan. DOC dipelihara sampai umur potong belah empat yaitu ketika berat badan mencapai 700 g. Peubah yang diukur meliputi: pertambahan berat badan, umur potong belah empat, konsumsi ransum, konversi ransum, dan income over feed and chick cost. Data yang diperoleh ditabulasi dan dibahas secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur potong belah empat Ayam Peraskok dicapai pada umur 10 minggu dengan total konsumsi ransum 2.699,20 g per ekor, konversi ransum 3,95, dan income over feed and chick cost sebesar Rp. 8.319,98 per ekor. Umur potong belah empat pada Ayam Kampung dicapai pada umur 12 minggu dengan konsumsi ransum sebesar 3.392 g per ekor, konversi ransum 4,63, dan income over feed and chick cost Rp. 6.245,08 per ekor. Disimpulkan bahwa performans pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat lebih baik dan lebih menguntungkan dibanding ayam buras jenis Ayam Kampung.
Kata kunci : Performans Peraskok, Income Over Feed and Chick Cost
PENDAHULUAN
Permintaan konsumen terhadap
ayam buras (bukan ras) potong belah
empat dirasakan terus meningkat. Hal ini
nampak dari banyaknya restaurant atau
rumah makan penyedia olahan ayam
buras potong belah empat ini. Namun
sangat disayangkan, potensi genetik
pertumbuhan ayam buras yang rendah
ISSN 1978 - 3000
| Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat 84
(Rasyaf, 1995 dan Kingston, 1979)
membuat pertumbuhan ayam buras
lambat sehingga untuk mencapai umur
potong belah empat diperlukan waktu
yang cukup lama. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa untuk
mencapai umur potong belah empat pada
ayam buras membutuhkan waktu 12
minggu atau tiga bulan, sedangkan pada
ayam ras pedaging (ayam broiler) hanya
memerlukan waktu empat minggu.
Sampai saat ini diketahui
masyarakat Indonesia masih
menempatkan daging ayam buras pada
posisi lebih tinggi dibanding daging
ayam ras pedaging, terutama disebabkan
oleh cita rasa ayam buras yang khas dan
lebih enak dibandingkan dengan ayam
ras pedaging (Fujimura et al., 1995).
Kondisi ini terlihat dari kerelaan
konsumen untuk menerima harga daging
dan telur ayam buras yang lebih tinggi
dibandingkan dengan harga daging dan
telur ayam ras. Selain hal tersebut, pada
kondisi tertentu diantara masyarakat
masih ada yang membatasi konsumsi
daging dan telur ayam ras. Sebagai
contoh, ada keyakinan yang melekat di
kalangan masyarakat tertentu bahwa, bila
seseorang menderita suatu penyakit atau
sedang luka sebaiknya daging ayam
yang dikonsumsi adalah daging ayam
buras, bukan daging ayam ras seperti
broiler. Selain hal tersebut juga dijumpai
orang yang alergi terhadap daging ayam
ras pedaging (broiler) atau telur ayam ras
akan tetapi tidak alergi terhadap daging
maupun telur ayam buras.
Melihat penghargaan konsumen
terhadap ayam buras di atas, rendahnya
potensi genetik ayam buras ini perlu
usaha perbaikan melalui persilangan.
Menurut Sheridan (1986) dan Warwick et
al. (1990 ) persilangan adalah salah satu
alternatif untuk membentuk keturunan
yang diharapkan akan memunculkan
efek komplementer yang dapat
meningkatkan produktivitas ternak.
Ayam Peraskok adalah ayam hasil
persilangan antara ayam ras petelur
betina dengan ayam buras Bangkok
jantan. Lebih banyaknya jumlah
produksi telur dan besarnya ukuran telur
ayam ras petelur (Amrullah, 2003,
Sudaryani dan Santoso 2000) serta
besarnya ukuran tubuh ayam buras
Bangkok diharapkan dapat mewujudkan
perkembangan dan pertumbuhan
keturunannya menjadi lebih baik tanpa
mengurangi ciri-ciri yang menjadi
kesukaan konsumen terhadap ayam
buras itu sendiri. Pengamatan sementara
menunjukkan bahwa postur tubuh ayam
persilangan antara ayam ras petelur
betina dengan ayam buras Bangkok
jantan mirip postur tubuh ayam buras.
Bagaimana performans pertumbuhan
serta nilai keuntungannya perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi performans pertumbuhan
Ayam Peraskok sebagai ayam buras
potong belah empat serta nilai income
over feed and chick cost.
MATERI DAN METODE
Sebanyak 45 ekor DOC Peraskok
dipelihara kedalam 3 petak kandang,
masing-masing petak kandang berisi 15
ekor sebagai ulangan. Sebagai
pembanding digunakan 20 ekor DOC
ayam buras jenis Ayam Kampung dan
dipelihara kedalam 2 petak kandang,
masing-masing petak kandang berisi 10
ekor sebagai ulangan. DOC dipelihara
sampai berat badannya mencapai berat
sekitar 700 g. Untuk mencegah terjadinya
penyakit ND dilakukan vaksinasi ND
saat anak ayam berumur 4 hari. Selama 2
minggu pertama anak ayam diberi
ransum konsentrat BR1, selanjutnya
memasuki umur 3 minggu sampai
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 85
mencapai berat potong belah empat,
ayam diberi ransum oplosan, yaitu
ransum yang terdiri dari konsentrat,
jagung giling, dan dedak halus dengan
perbandingan 1:2:1 dengan kandungan
protein sekitar 17 %. Data yang diperoleh
ditabulasi dan dibahas secara deskriptif.
Peubah yang diukur pada penelitian ini
adalah: berat DOC, berat badan
mingguan, pertambahan berat badan,
konsumsi ransum, konversi ransum.
Umur potong belah empat, diketahui
dengan mencatat umur dalam satuan
minggu, saat ayam mencapai berat sekitar
700 g. Income Over Feed And Chick Cost,
dihitung berdasarkan hasil penjualan
ayam saat mencapai umur potong belah
empat dikurangi biaya pakan dan harga
DOC.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berat DOC, Berat Badan Ayam Peraskok
dan Ayam Kampung Sampai Umur
Potong Belah Empat
Rataan berat DOC, berat badan
Ayam Peraskok, dan Ayam Kampung
sampai umur potong belah empat
disajikan pada Tabel 1. Terlihat pada
Tabel 1. bahwa berat DOC Ayam
Peraskok (43,97 g) lebih tinggi dibanding
berat DOC Ayam Kampung (25,75 g).
Lebih tingginya berat DOC Ayam
Peraskok ini dapat dimengerti karena
ukuran telur tetas Ayam Peraskok (63
g/butir) lebih tinggi dibanding ukuran
telur tetas Ayam Kampung ( 38,22
g/butir). Kususiyah (1995) dan
Kaharuddin (1989) melaporkan bahwa,
berat telur tetas berpengaruh terhadap
berat tetas. Selanjutnya pada Tabel 1.
juga ditunjukkan bahwa berat badan
yang dicapai Ayam Peraskok setiap
minggu lebih tinggi dibandingkan Ayam
Kampung. Kondisi ini menyebabkan
capaian umur potong belah empat pada
Ayam Peraskok lebih singkat dibanding
Ayam Kampung. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa umur potong ayam
buras belah empat adalah umur pada saat
berat badan mencapai sekitar 700 g.
Terlihat dari Tabel 1. bahwa capaian berat
badan 700 g pada Ayam Peraskok terjadi
saat umur 10 minggu, sedangkan pada
Ayam Kampung baru dicapai saat umur
12 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa
umur potong Ayam Peraskok lebih
singkat 2 minggu dibanding Ayam
Kampung.
Tabel 1. Rataan berat DOC, berat badan Ayam Peraskok dan Ayam Kampung sampai umur potong
belah empat
Ayam Peraskok Ayam Buras Kampung
Berat telur tetas (g) 63,53 38,22
Berat DOC (g) 43,97 25,75
Berat badan umur 1minggu (g) 72,75 49,79
Berat badan umur 2 minggu (g) 108,96 64,47
Berat badan umur 3 minggu (g) 161,10 86,11
Berat badan umur 4 minggu (g) 199,11 125,00
Berat badan umur 5 minggu (g) 285,07 169,17
Berat badan umur 6 minggu (g) 372,30 233,80
Berat badan umur 7 minggu (g) 438,55 287,50
Berat badan umur 8 minggu (g) 528,70 363,00
Berat badan umur 9 minggu (g) 623,30 449,60
Berat badan umur 10 minggu (g) 728,15 547,00
Berat badan umur 11 minggu (g) - 663,00
Berat badan umur 12 minggu (g) - 728,00
ISSN 1978 - 3000
| Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat 86
Pertambahan Berat Badan, Konsumsi
Ransum, dan Konversi Ransum Ayam
Peraskok dan Ayam Kampung sejak
DOC sampai Umur Potong Belah Empat
Rataan pertambahan berat badan,
konsumsi ransum, serta konversi ransum
sejak DOC sampai umur potong belah
empat Ayam Peraskok dan Ayam
Kampung disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 1. dan Tabel 2.
dapat dilihat bahwa untuk mencapai
berat potong belah empat yaitu selama 10
minggu pemeliharaan, pertambahan
berat badan Ayam Peraskok adalah
684,14 g, sedangkan pertambahan berat
badan Ayam Kampung selama 12
minggu pemeliharaan adalah 702,25 g.
Lebih tingginya pertambahan berat badan
Ayam Kampung untuk mencapai berat
potong belah empat ini disebabkan oleh
lebih rendahnya berat tetas pada ayam
kampung tersebut, sehingga
membutuhkan ransum yang lebih banyak
juga dibanding Ayam Peraskok. Terlihat
pada Tabel 2. konsumsi ransum yang
dibutuhkan untuk mencapai
pertambahan berat badan pada umur
potong belah empat pada Ayam
Peraskok jauh lebih rendah (2699,20 g)
dibanding Ayam Kampung yang
mencapai 3392,00 g. Lebih rendahnya
ransum yang diperlukan Ayam Peraskok
dibanding Ayam Kampung ini
disebabkan karena waktu yang
diperlukan Ayam Peraskok untuk
mencapai umur potong belah empat yaitu
700 g lebih singkat dua minggu
dibanding Ayam Kampung. Selanjutnya
bila dilihat konversi ransumnya,
menunjukkan juga bahwa konversi
ransum Ayam Peraskok lebih rendah
dibandingkan Ayam Kampung. Hal ini
menunjukkan bahwa, Ayam Peraskok
lebih efisien dalam menggunakan ransum
dibanding Ayam Kampung.
Income over Feed and Chick Cost
Perhitungan nilai Income over Feed
and Chick Cost ditampilkan pada Tabel 3.
Nilai income over feed and chick cost Ayam
Tabel 2. Rataan pertambahan berat badan, konsumsi ransum, konversi ransum Ayam Peraskok dan
Ayam Kampung sejak DOC sampai umur potong belah empat
Pertambahan Berat Badan
(Umur)
Konsumsi Ransum Konversi Ransum
Ayam Peraskok 684,14 g (10 minggu) 2699,20 g 3,95
Ayam Kampung 702,25 g (12 minggu) 3392,00 g 4,63
Tabel 3. Perhitungan nilai Income over Feed and Chick Cost Ayam Peraskok dan Ayam Kampung pada
Keterangan : IOFCC = Income Over Feed and Chick Cost
IOFCC = harga jual – (harga DOC + biaya ransum ) per ekor ayam
Harga ransum BR 1 per kg Rp 5.800,00 (diberikan pada umur 1-2 minggu)
Harga ransum oplosan per kg Rp 3.100,00 (diberikan setelah ayam umur 2 minggu)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 87
Peraskok (Rp 8.319,98 per ekor) lebih
tinggi dibanding Ayam Kampung (Rp
6.245,08 per ekor). Hal ini menunjukkan
bahwa keuntungan memelihara Ayam
Peraskok sebagai ayam buras potong
belah empat lebih tinggi dibanding ayam
buras potong jenis Ayam Kampung.
Lebih tingginya nilai keuntungan pada
pemeliharaan Ayam Peraskok ini
disebabkan oleh lebih cepatnya umur
potong belah empat dengan efisiensi
penggunaan ransum yang lebih baik
dibandingkan dengan ayam buras jenis
Ayam Kampung.
SIMPULAN
Performans pertumbuhan Ayam
Peraskok sebagai ayam buras potong
belah empat lebih baik dan lebih
menguntungkan dengan capaian umur
potong belah empat lebih singkat dan
efisiensi penggunaan ransum lebih baik
dibanding ayam buras jenis Ayam
Kampung.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam
Petelur. Lembaga Satu
Gunungbudi. Bogor.
Fujimura, S., S. Kawano, H. Koga, H.
Takeda, M. Kadowiki, and T.
Ishibashi. 1995. Animal Science
Technology. 66 (43-51).
Kaharuddin, D. 1989. Pengaruh bobot
telur tetas terhadap berat tetas,
daya tunas, pertambahan bobot
badan dan angka kematian sampai
umur 4 minggu pada burung
puyuh. Laporan Penelitian
Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Kingston, D.J. 1979. Peranan ayam
berkeliaran di Indonesia. Laporan
Seminar Industri Perunggasan II.
Balai Penelitian Ternak, Ciawi-
Bogor.
Kususiyah. 1995. Hubungan berat telur
dengan berat tetas dan mortalitas
puyuh petelur pada minggu
pertama. Laporan Penelitian
Universitas Bengkulu. Bengkulu..
Rasyaf, M. 1995. Beternak Ayam
Petelur. Penebar Swadaya.
Sheridan, A. K. 1986. Selection for
heterosis from reciprocal cross
population : Estimation of the F1
heterosis and its mode of
inheritance. British Poultry Sci. (27)
541-550
Sudaryani, T. dan H. Santoso. 2000.
Pemeliharaan Ayam Ras Petelur di
Kandang Baterai. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Warwick, E. J., J. M. Astuti, dan W.
Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan
Ternak. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 89
Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan
Vitamin E terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler
The Effect of Katuk (Sauropus androgynus) Leaf Extract – Lemuru Fish and Vitamin E on
Broiler Performance and Meat Quality
Basyaruddin Zain
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jalan Raya W.R. Supratman, Bengkulu
ABSTRACT
This research was conducted to determine the effect of leaf extract katuk, lemuru oil and vitamin E as a substitute for a commercial feed supplement on performance and meat quality of broilers. One hundred and ninety-five broiler chickens distributed into 13 treatment groups as follows: P0: Feed supplement containing a commercial feed (feed dick). P1: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil. P2: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil + 60 mg vit E. P3: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil . P4: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil + 60 mg vit E. P5: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil . P6: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil + 60 mg vit E. P7: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil. P8: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil + 60 mg vit E. P9: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil. P10: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil + 60 mg vit E. P11: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil. P12: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil + 60 mg vit E. Design research used Completely Randomized Design (CRD) with 13 treatments and 3 replications. Each test consisted of five broiler chickens, the number of chickens in the study as many as 195 birds. The data obtained were analyzed according to the design used (Completely Randomized Design) and Test DMRT (Duncan Multiple Range Test) to examine differences in treatment effect. The results showed that the use katuk leaf extract, lemuru oil and vitamin E not differ significantly (P> 0.05) to ration consumption, weight gain and conversion ration of broiler chickens are very real and different (P <0.01) on levels of cholesterol, triglycerides, LDL-cholesterol and HDL-cholesterol in blood serum and different broiler highly significant (P <0.01) on levels of cholesterol, fat and protein content of broiler meat.
Key words: Extract, Lemuru, meat, performance, Sauropus androgynus, vitamin E
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E sebagai pengganti feed suplement komersial terhadap performans dan kualitas daging ayam broiler. Seratus sembilan puluh lima ekor ayam broiler didistribusikan menjadi 13 kelompok perlakuan yaitu: P0: Pakan mengandung feed suplement komersial (pakan kontol). P1: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru. P2: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P3: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru. P4: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P5: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru. P6: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P7: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru. P8: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P9: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru. P10: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P11: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru. P12: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. Rancangan penelitian yang digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam broiler, jumlah ayam dalam penelitian sebanyak 195 ekor. Data yang diperoleh dianalisis sesuai rancangan yang digunakan (Rancangan Acak Lengkap) dan Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk menguji perbedaan pengaruh perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam broiler serta berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar kolesterol, trigliserida, LDL-kolesterol dan HDL-kolesterol dalam serum darah broiler dan berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar kolesterol, lemak dan kadar protein daging broiler.
Kata Kunci: Daging, ekstrak, Katuk, Lemuru, performans, vitamin E
ISSN 1978 - 3000
| Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru 90
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peluang untuk memperbaiki
performans ayam di daerah tropika basah
seperti Indonesia menurut Abbas (1999),
yang utama adalah melalui pendekatan
manipulasi biolingkungan yakni : 1)
Manipulasi iklim mikro melalui
rasionalisasi perkandangan, 2)
Manipulasi biofisiologi melalui
pengaturan a) feed water balance, b)
suplementasi vit C, vit E, vitamin K,
biotin, vitamin B2 (riboflavin), 3)
perbaikan manajemen terutama pada saat
terjadi lonjakan suhu lingkungan dan 4)
perbaikan sosial ekonomi lingkungan
usaha. Biasanya peternak dalam
pemeliharaan ayam broiler memberikan
ransum komersil yang telah memenuhi
standar kebutuhan zat–zat makanan yang
telah ditetapkan dan juga di dalamnya
sudah terkandung bahan pakan
tambahan (feed supelment).
Pemakaian feed supplement
bertujuan untuk memperbaiki pakan dan
memacu pertumbuhan ternak untuk
meningkatkan produksi. Meskipun feed
suplement mampu meningkatkan
produksi namun kualitas daging yang
dihasilkan belum dapat memenuhi
tuntutan konsumen karena daging yang
dihasilkan masih berkadar lemak tinggi.
Oleh karena itu penggunaan feed
suplement alami merupakan alternatif
yang dapat dipakai sebagai pengganti
feed suplement komersial dalam ransum.
Salah satu feed suplement alami yang
dapat digunakan adalah daun katuk
(Sauropus androgynus).
Daun katuk (Sauropus androgynus)
selain sebagai tanaman obat juga
memiliki kandungan gizi yang tinggi
karena mengandung protein, vitamin,
serta mengandung zat anti bakterial
sehingga menjadikan katuk sebagai
tanaman yang sangat bermanfaat (Malik,
1997). Daun katuk (Sauropus androgynus)
dapat meningkatkan efesiensi
metabolisme zat-zat gizi karena kaya
akan mineral dan mengandung 6
senyawa sekunder utama yaitu,
monometyl succinate, cis-2-metyl
cyclopentonal asetat, asam benzoat, asam
fenil malonat, 2-pyrolidion dan metyl
pyroglutamate, β-karotin (Agustal et al,
1997)
Penggunaan ekstrak daun katuk
dalam ransum dapat meningkatkan
efisiensi produksi dan kualitas telur
(Santoso et al, 2002) dan (Subekti, 2003).
Penyusunan ransum pada dasarnya
hanya ditekankan kepada terpenuhinya
kebutuhan energi, protein, vitamin dan
mineral. Asam lemak tak jenuh ganda :
Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA)
jarang menjadi perhatian dalam
penyusunan ransum. Padahal PUFA
dapat menurunkan kolesterol dan
merupakan prekursor dari beberapa zat
yang mempengaruhi sistem imun. Salah
satu bahan pakan yang kaya akan PUFA
dan tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia adalah minyak ikan lemuru.
Fenita (2002) menemukan bahwa
pemberian minyak ikan lemuru mampu
meningkatkan kadar PUFA dalam daging
broiler. Minyak ikan lemuru berpotensi
sebagai sumber PUFA seperti asam lemak
omega-3 dan mengandung asam lemak
linoleat yang dibutuhkan ayam untuk
mengoptimalkan daya tahan tubuhnya.
Namun kelemahan minyak ikan lemuru
dapat meningkatkan bau amis dan asam
lemak di dalamnya mudah teroksidasi
dan juga menurunkan kadar vitamin E
yang pada gilirannya akan menyebabkan
defisiensi vitamin E yang mempengaruhi
fungsi kekebalan tubuh. Untuk mengatasi
defisiensi vitamin E perlu suplementasi
vitamin E. Menurut Chen et al. (1998)
Suplementasi Vitamin E sebanyak 60
mg/kg ransum sangat efektif mencegah
oksidasi PUFA.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 91
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh penggunaan
ekstrak daun katuk minyak ikan lemuru
dan vitamin E sebagai pengganti feed
suplement komersial dalam ransum
terhadap performans dan kualitas daging
ayam broiler
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan bulan
Februari sampai akhir Juli 2009 bertempat
di Kandang dan Laboratorium Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu. Bahan yang
digunakan adalah 195 ekor ayam broiler,
ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru,
vitamin E, dan bahan penyusun ransum
yang terdiri dari jagung kuning, minyak
sawit, bungkil kedelai, tepung ikan,
kalsium karbonat, mineral mix, garam,
dan top mix (sebagai feed suplement
komersial), serta vaksin ND, vitachick
dan desinfektan
Rancangan penelitian yang
digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 13 perlakuan dan
3 ulangan. Ransum penelitian sebanyak
13 perlakuan sebagai berikut :
P0 : Pakan mengandung feed suplement
komersial.
P1 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
1% minyak ikan lemuru.
P2 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
P3 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
2% minyak ikan lemuru.
P4 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
P5 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru.
P6 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
P7 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
1% minyak ikan lemuru.
P8 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
P9 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
2% minyak ikan lemuru.
P10: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
P11: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru.
P12: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
Peubah yang diamati yaitu:
konsumsi ransum, pertambahan berat
badan, konversi ransum, kadar kolesterol,
trigliserida, LDL-kolesterol dan HDL-
kolesterol dalam serum darah broiler
serta kadar kolesterol, lemak dan kadar
protein daging broiler.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rataan konsumsi, pertambahan
berat badan dan konversi ransum selama
penelitian terlihat seperti pada Tabel 1.
Penggunaan ekstrak daun katuk,
minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam
ransum ayam broiler dengan berbagai
perlakuan berbeda tidak nyata (P>0.05)
terhadap konsumsi, pertambahan berat
badan dan konversi ransum
dibandingkan ransum kontrol. Berbeda
tidak nyatanya konsumsi ransum, hal ini
disebabkan karena ransum perlakuann
yang menggunakan ekstrak daun katuk,
minyak ikan lemuru dan vitamin E
mempunyai palatabilitas yang sama
dengan ransum kontrol yang
menggunakan feed suplement komersial.
Palatabilitas ransum mempengaruhi
konsumsi sehingga antara ransum
perlakuan yang menggunakan ekstrak
daun katuk, minyak ikan lemuru dan
vitamin E dengan ransum kontrol yang
memakai feed suplement komersial tidak
mempengaruhi konsumsi ransum ayam
broiler. Selain palatabilitas jika kita lihat
faktor lain yang mempengaruhi konsumsi
ISSN 1978 - 3000
| Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru 92
ransum seperti kandungan nutrisi
terutama energi dan protein ransum,
bentuk ransum, faktor lingkungan,
genetik, kondisi ternak adalah sama.
Menurut Anggorodi (1995) bahwa
konsumsi dipengaruhi oleh faktor
genetik, jenis kelamin, lingkungan, dan
palatabilitas ransum. Murtidjo (1987)
bahwa selera makan ternak dipengaruhi
oleh bentuk, rasa, aroma, serta kondisi
ternak tersebut. Berbeda tidak nyatanya
pertambahan berat badan ayam broiler
karena ransum yang dikonsumsi juga
berbeda tidak nyata sebab pertambahan
berat badan dipengaruhi oleh konsumsi
ransum yang digunakan untuk
pertumbuhan. Jadi antara ransum
perlakuan yang menggunakan ekstrak
daun katuk, minyak ikan lemuru dan
vitamin E dengan ransum kontrol yang
memakai feed suplement komersial,
konsumsi ransumnya juga berbeda tidak
nyata. Sebagaimana yang dinyatakan
Anggorodi (1995), bahwa pertambahan
berat badan dipengaruhi oleh konsumsi
ransum. Rasyaf (2002) menyatakan
bahwa bobot badan unggas dipengaruhi
antara lain oleh kualitas dan kuantitas
ransum yang diberikan. Blakely dan
Blade (1998) menjelaskan bahwa tingkat
konsumsi ransum akan mempengaruhi
laju pertumbuhan dan bobot akhir karena
pembentukan bobot, bentuk dan
komposisi tubuh pada hakekatnya adalah
akumulasi pakan yang dikonsumsi ke
dalam tubuh ternak. Berbeda tidak
nyatanya konversi ransum ayam broiler
disebabkan karena antara ransum
perlakuan yang menggunakan ekstrak
daun katuk, minyak ikan lemuru dan
vitamin E dengan ransum kontrol yang
memakai feed suplement komersial, karena
konsumsi ransum dan pertambahan berat
badan ayam broiler juga berbeda tidak
nyata. Konversi ransum merupakan
perbandingan antara konsumsi ransum
dengan pertambahan berat badan.
Kadar Fraksi Lipid Dalam Serum
Darah pada Tabel 2. Penggunaan ekstrak
daun katuk, minyak ikan lemuru dan
vitamin E dalam ransum ayam broiler
dengan berbagai perlakuan berbeda
sangat nyata (P < 0,01) terhadap kadar
kolesterol, trigliserida, LDL-kolesterol
dan HDL-kolesterol dalam serum darah
broiler.
Ransum perlakuan dapat
menurunkan antara 14,08% sampai
Tabel 1. Rataan konsumsi, pertambahan berat badan dan konversi ransum selama penelitian
Perlakuan Konsumsi
(gram/ekor)
Pertambahan Berat Badan
(gram/ekor)
Konversi
P0 1754,44a 626,67a 2,79a
P1 1716,11a 651,67a 2,63a
P2 1877,78a 706,67a 2,65a
P3 1830,00a 687,78a 2,66a
P4 1760,00a 731,67a 2,41a
P5 1780,00a 668,33a 2,66a
P6 1747,78a 636,11a 2,74a
P7 2023,89a 757,78a 2,67a
P8 1628,89a 593,33a 2,74a
P9 2036,11a 697,78a 2,91a
P10 1760,00a 677,78a 2,60a
P11 1693,89a 630,00a 2,68a
P12 1782,22a 671,11a 2,65a
Keterangan: ns (non signifikan)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 93
51,30% kolesterol dalam serum darah
broiler jika dibandingkan dengan ransum
kontrol. Penurunan kadar kolesterol
dalam serum darah broiler yang
terendah 14,08% terdapat pada ransum
perlakuan P2 (9 g/kg ekstrak daun katuk
(EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg
vit E) dan yang tertinggi 51,30% terdapat
pada ransum perlakuan P12 (18 g/kg
ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak
ikan lemuru + 60 mg vit E).
Ransum perlakuan dapat
menurunkan antara 10,88% sampai
27,64% trigliserida dalam serum darah
broiler jika dibandingkan dengan ransum
kontrol. Penurunan kadar trigliserida
dalam serum darah broiler yang terendah
10,88% terdapat pada ransum perlakuan
P3 (9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2%
minyak ikan lemuru) dan yang tertinggi
27,64% terdapat pada ransum perlakuan
P12 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E).
Ransum perlakuan dapat
menurunkan antara 13,82% sampai
30,31% LDL-kolesterol dalam serum
darah broiler jika dibandingkan dengan
ransum kontrol. Penurunan kadar LDL-
kolesterol dalam serum darah broiler
yang terendah 13,82% terdapat pada
ransum perlakuan P2 (9 g/kg ekstrak
daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan
lemuru + 60 mg vit E) dan yang tertinggi
30,31% terdapat pada ransum perlakuan
P10 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E).
Ransum perlakuan dapat
meningkatkan antara 6,46% sampai
12,22% HDL-kolesterol dalam serum
darah broiler jika dibandingkan dengan
ransum kontrol. Peningkatan kadar HDL-
kolesterol dalam serum darah broiler
yang terendah 6,46% terdapat pada
ransum perlakuan P8 (18 g/kg ekstrak
daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan
lemuru + 60 mg vit E) dan yang tertinggi
12,22% terdapat pada ransum perlakuan
P11 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru).
Penurunan kolesterol, trigliserida
dan LDL-kolesterol dalam serum darah
broiler disebabkan karena zat aktif
flavonoid dalam daun katuk sementara
senyawa yang berperan dalam minyak
Tabel 2. Kadar Fraksi Lipid Dalam Serum Darah
Perlakuan Kolesterol
(mg/100 ml)
Trigiliserida
(mg/100ml)
LDL-k
(mg/100 ml)
HDL-k
(mg/100 ml)
P0 208,37g 139,47f 137,14e 35,90ab
P1 195,41fg 137,40f 131,84e 36,83abc
P2 179,02f 131,23ef 118,18d 37,44abcd
P3 146,89e 125,40de 113,19cd 34,69a
P4 143,45de 114,05bc 100,00ab 40,16d
P5 131,46bcde 111,62abc 102,00abc 37,18abcd
P6 134,77cde 109,92ab 100,75ab 40,16d
P7 125,10bcd 106,14ab 119,40d 38,45bcd
P8 139,43de 116,67bcd 109,70bcd 38,22bcd
P9 117,47abc 122,14cde 104,69abc 38,48bcd
P10 114,23ab 106,71ab 95,57a 38,95bcd
P11 105,43a 106,73ab 95,72a 40,29d
P12 101,46a 100,92a 95,91a 39,61cd
Keterangan: Angka-angka dengan superskrip yang sama pada kolom yang sama
menunjukan berbeda tidak nyata dan angka-angka dengan superskrip yang berbeda pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)
ISSN 1978 - 3000
| Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru 94
lemuru adalah asam lemak tak jenuh
rantai panjang omega-3 (PUFA).
Flavonoid berfungsi menghambat
oksidasi kolesterol LDL. Flavonoid
meningkatkan kadar prostasiklin.
Prostasiklin adalah substansi yang
diproduksi oleh endothelium pembuluh
darah dan menyebabkan vasodilatasi,
menghambat pembentukan platelet darah
(kepingan sel-sel darah) dan gumpalan
darah serta menghambat masuknya
kolesterol LDL (kolesterol jahat) ke
dalam dinding pembuluh darah.
Sebagaimana pendapat Santoso et
al. (2004) bahwa ekstrak daun katuk
dapat menurunkan konsentrasi
kolesterol dan LDL-kolesterol pada ayam
pedaging tapi tidak dapat menaikkan
HDL-kolesterol. Pada penelitian ini
ternyata pemberian ekstrak daun katuk,
minyak lemuru dan vitamin E mampu
meningkatkan kadar HDL kolesterol.
Peningkatan HDL-kolesterol ini
disebabkan karena adanya pemberian
minyak ikan lemuru dalam ransum.
Minyak ikan lemuru mengandung asam
lemak omega 3 yang dapat menurunkan
trigliserida dan meningkatkan HDL-
kolesterol dalam plasma darah.
Sebagaimana hasil penelitian Fenita
(2002) bahwa minyak ikan lemuru
mengandung asam lemak omega 3
berupa EPA dan DHA. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa EDK, minyak
ikan lemuru dan vitamin E berpotensi
untuk menekan resiko terkena penyakit
penyempitan pembuluh darah
(atherosclerosis). Penggunaan EDK,
minyak lemuru dan vitamin E ternyata
cukup efektif untuk menurunkan
konsentrasi kolesterol, LDL-kolesterol
dan trigliserida serta meningkatkan HDL-
kolesterol.
Kadar kolesterol, protein dan lemak
daging dada broiler pada Tabel 3.
Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak
ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum
ayam broiler dengan berbagai perlakuan
berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap
berbeda kadar kolesterol, lemak dan
protein daging broiler dibandingkan
ransum kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa suplementasi EDK dan minyak
lemuru menurunkan kadar kolesterol dan
lemak daging broiler (P<0,01) dan
Tabel 3. Kadar kolesterol, protein dan lemak daging dada broiler
Perlakuan Kolesterol
(mg/100ml)
Protein
(%)
Lemak
(%)
P0 2,21e 18,07a 4,77i
P1 2,10ge 18,70abc 4,55f
P2 2,04ef 18,64abc 4,34g
P3 1,88de 18,922abc 4,23fg
P4 1,79d 18,507ab 4,07ef
P5 1,62c 19,53abc 4,00e
P6 1,51bc 19,66bc 3,86de
P7 1,30a 19,47abc 3,33a
P8 1,37f 19,56abc 3,66cd
P9 1,42ab 19,72bc 3,61bc
P10 1,31a 20,18cd 3,64bcd
P11 1,37ab 21,19d 3,43ab
P12 1,31a 23,22e 3,28a
Keterangan: Angka-angka dengan superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan berbeda
tidak nyata dan angka-angka dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan
berbeda sangat nyata (P < 0,01)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 95
meningkatkan kadar protein daging
broiler. Kecendrungan turunnya kadar
total lipid dan turunnya kadar kolesterol
dalam daging broiler dikarenakan EDK
mengandung metilpiroglutamat
sementara minyak lemuru kaya akan
PUFA terutama omega-3. Kedua senyawa
ini diketahui mempunyai kemampuan
menurunkan deposisi lemak (Fenita,
2005, Santoso, et. al. 2004.). Selain itu daun
katuk juga mengandung flavonoid, tanin
dan alkaloid lainnya dimana senyawa
tersebut bersifat antilipida. Suprayogi
(2000) menemukan bahwa ekstrak etanol
mengandung senyawa tanin, gula, garam
alkoloid dan antrasenoid, steroid
glycoside/triterpenoid, flavonoid,
kumarin, isoquinoline alkoloid dan
anthocyanin. Sementara pada ekstrak air
panas mengandung senyawa tanin,
kumarin, garam alkaloid, glukoside dan
saponin.
SIMPULAN
Penggunaan ekstrak daun katuk,
minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam
ransum tidak berpengaruh terhadap
konsumsi ransum, pertambahan berat
badan dan konversi ransum ayam broiler.
Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak
ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum
dapat menurunkan kadar kolesterol,
trigliserida, LDL-kolesterol dan
menaikkan HDL-kolesterol dalam serum
darah broiler dan juga dapat menurunkan
kadar kolesterol, lemak, dan menaikkan
kadar protein daging broiler.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, M.H. 1999. Pengelolaan Ternak
Unggas. Program Pasca Sarjana
Universitas Andalas Padang.
Agustal, A., M. Haripini dan Chairul.
1997. Analisis kandungan kimia
ekstrak daun katuk (Sauropus
androgynus (L) Merr dengan GCMS.
Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3
(3) ; 31-33.
Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka
Ternak Unggas. Universitas
Indonesia Press, Jakarta
Chen, Y. J., K. S. Son, B. J. Min, J. H. Cho,
O. S. Kwon and I. H. Kim. 1998.
Effects of dietary probiotic on
growth performance, nutrients
digestibility, blood characteristics
and fecal noxious gas content in
growing pigs. Asian-Aust. J. Anim.
Sci. 18:1464-1468
Fenita, Y. 2002. Suplementasi lisin dan
metionin serta minyak lemuru ke
dalam ransum berbasis hidrolisis
bulu ayam terhadap perlemakan
dan pertumbuhan ayam ras
pedaging. Program Pasca Sarjana-
IPB, Bogor.
Malik, A. 1997. Tinjauan fitokimia,
indikasi penggunaan dan
bioaktivitas daun katuk dan buah
trengguli. Warta Tumbuhan Obat
Indonesia. 3 (3): 39-40.
Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Beternak
Ayam Broiler. Kanisius,
Yogyakarta.
Santoso, U., J. Setianto dan T. Suteky.
2002. Pengguanaan Ekstrak Daun
Katuk untuk Meningkatkan
Efisiensi Produksi dan Kualitas
Telur yang Ramah Lingkungan
pada Ayam Petelur. Laporan Hibah
Bersaing Tahun 1, Jakarta.
Santoso, U., Y. Fenita dan W. Piliang.
2004. Penggunaan ekstrak daun
katuk sebagai feed additive untuk
memproduksi meat designer.
Laporan Penelitian Hibah Pekerti.
Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan karkas
ayam lokal yang diberi tepung
daun katuk dalam ransum.
Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 97
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan
Hatching Egg Performance of Pegagan Duck
Meisji L. Sari2), Ronny R. Noor2), Peni S. Hardjosworo2), Chairun Nisa3),
1)Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Ternak Sekolah Pasca Sarjana IPB 2)Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
3)Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Itik Pegagan sebagai itik lokal Sumatera Selatan merupakan salah satu sumber genetik ternak atau kekayaan
hayati lokal Indonesia, yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Sejauh ini data ilmiah mengenai itik
Pegagan sebagai sumber plasma nutfah relatif masih sedikit dibandingkan ternak itik lokal lainnya. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengidentifikasi keragaan telur tetas itik Pegagan.
Penelitian inidiawali dengan mengumpulkan telur tetas itik Pegagan sebanyak 500 butir yang didapat dari
tiga kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Raja, Inderalaya dan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera
Selatan. Telur itik yang dikumpulkan kemudian ditimbang dengan timbangan telur untuk mengetahui bobot
telur (g), kemudian diukur panjang (mm) dan lebar telur (mm) untuk mengetahui indeks telur. Selanjutnya
telur ditetaskan dengan mesin tetas yang sebelumnya dibersihkan dengan lisol 2.5%. Selama proses penetasan
dilakukan pemutaran telur mulai hari ketiga sampai hari ke-25. Pemeriksaan telur (candling) dilakukan tiga
kali yaitu pada hari kelima, ke-13 dan ke-25. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot telur tetas
yang digunakan 65 g, warna kerabang telur itik Pegagan adalah hijau kebiruan, rataan indeks telur itik
Pegagan 75±0,03%. Fertilitas telur itik Pegagan yang dikumpulkan dari peternak itik rendah yaitu sebesar
60%, dengan daya tetas 53% dan bobot tetas sebesar 36,37 ± 3,39 g.
Kata Kunci: telur tetas, penetasan, Itik Pegagan, fertilitas
PENDAHULUAN
Potensi ternak itik di Indonesia
sangat besar terutama sebagi penghasil
daging dan telur. Indonesia dikenal
sebagai salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati yang sangat
kaya. Salah satu dari kekayaan itu adalah
keanekaragaman hewan ternak, termasuk
itik. Populasi itik di Indonesia sebagian
besar dijumpai di pulau Jawa dan
kepulauan Indonesia bagian Barat.
Indonesia memiliki berbagai jenis itik
lokal seperti itik Cirebon, itik Mojosari,
itik Alabio, itik Tegal dan itik Magelang
Usaha pemerintah dalam
menunjang program sub sektor
peternakan yaitu peningkatan produksi
ISSN 1978 - 3000
| Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan 98
ternak dapat dicapai dengan dua cara
yaitu dengan peningkatan populasi
ternak dan peningkatan mutu genetik
ternak. Dalam rangka melestarikan ternak
lokal maka telah banyak dilakukan
bermacam-macam usaha antara lain
dengan inseminasi buatan dan
persilangan-persilangan.
Itik Pegagan sebagai itik lokal
Sumatera Selatan merupakan salah satu
sumber daya genetik ternak atau
kekayaan hayati lokal Indonesia, yang
perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Sejauh ini data ilmiah mengenai itik
Pegagan sebagai sumber plasma nutfah
relatif masih sedikit dibandingkan ternak
itik lokal lainnya. Sehingga perlu
diupayakan pelestarian.
Itik Pegagan berasal dari desa
Kotodaro, Kecamatan Tanjung Raja,
Kabupaten Ogan Ilir (OI), Propinsi
Sumatera Selatan. Populasinya dari
waktu ke waktu relatif semakin menurun,
sehingga sekarang ini populasi itik
tersebut hanya sekitar 10% dari populasi
itik di Sumatera Selatan. Padahal itik
Pegagan sebagai sumber plasma nutfah
belum banyak diungkap sebagaimana
ternak itik lokal lain. Potensi itik Pegagan
mempunyai keunggulan dibandingkan
dengan itik lokal lainnya. Keunggulan
tersebut adalah berat badan rata-rata itik
dewasanya yang dapat mencapai > 2 kg,
serta berat telur rata-ratanya dapat
mencapai > 70 g.
Pengembangan itik Pegagan
tersebut perlu dilakukan melalui program
pemuliaan dengan memperhatikan
karakteristiknya. Program pemuliaan
secara nyata dapat membantu dalam
menghasilkan jenis itik tertentu dengan
sifat-sifat dan tujuan produksi yang
diharapkan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mempelajari dan
mengidentifikasi keragaan telur tetas dan
hasil penetasan telur itik Pegagan yang
pada akhirnya untuk mempopulerkan
dan meningkatkan manfaat itik Pegagan
serta dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam upaya pembudidayaannya.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini akan diawali dengan
mengumpulkan telur tetas itik Pegagan
sebanyak 500 butir yang didapat dari tiga
kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Raja,
Inderalaya dan Pemulutan Kabupaten
Ogan Ilir Sumatera Selatan. Telur itik
yang dikumpulkan kemudian ditimbang
dengan timbangan telur untuk
mengetahui bobot telur (g), kemudian
diukur panjang (mm) dan lebar telur
(mm) untuk mengetahui indeks telur.
Telur kemudian difumigasi dengan
larutan kalium permanganat-formalin.
Larutan terdiri dari 4 g kalium
permanganat dan 5 cc formalin untuk
luasan satu meter kubik selama 15 menit.
Selanjutnya telur ditetaskan dengan
mesin tetas yang sebelumnya dibersihkan
dengan lisol 2.5%.
Selama proses penetasan dilakukan
pemutaran telur mulai hari ketiga sampai
hari ke-25. Pemeriksaan telur (candling)
dilakukan tiga kali yaitu pada hari
kelima, ke-13 dan ke-25. Pemeriksaan
pertama dilakukan untuk mengetahui
fertilitas telur. Pemeriksaan kedua dan
ketiga dilakukan untuk mengeluarkan
telur-telur dengan embrio mati. Mulai
hari ke-25 sampai menetas (umumnya
hari ke-28) telur-telur tidak diputar lagi,
sehingga diketahui dari telur yang mana
itik tersebut berasal. Daya tetas telur
ditentukan berdasarkan perbandingan
jumlah telur yang menetas dan tidak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan
Keragaan telur tetas itik Pegagan
hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 99
Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan bobot
telur tetas yang digunakan 65,32 ±3,81 g.
Rataan bobot telur penelitian ini lebih
tinggi dibandingkan bobot telur itik
Alabio, seperti yang dilaporkan Prasetyo
dan Susanti (2000) yakni 60,21 ± 5,64 g,
dan hampir sama dengan bobot telur
tetas itik Alabio pada penelitian Suryana
(2011) dimana bobot telur tetas yang
digunakan 67,87 ± 3,15 g. Bobot telur
merupakan sifat yang banyak
dipengaruhi oleh factor genetik, umur
induk, posisi telur dalam cluth, musim
dan pakan (Solihat et al. 2003). Perbedaan
ini diduga disebabkan oleh asal telur tetas
yang digunakan sumbernya tidak sama
dan dihasilkan oleh induk yang
mempunyai bobot badan bervariasi. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Applegate
et al. (1998) bahwa bobot telur yang
dihasilkan berkorelasi positif dengan
bobot induk. Bobot telur dipengaruhi
oleh faktor-faktor dewasa kelamin, umur
itik, bangsa, tingkat protein dalam pakan,
cara pemeliharaan, dan temperature
lingkungan (Solihat et al. 2003). Ditinjau
dari aspek pakan, Wahyu (1997)
mengemukakan bahwa penurunan besar
telur dapat disebabkan oleh defisiensi
asam linoleat maupun kandungan zat
anti nutrisi tertentu dalam pakan seperti
nicarbasin dan gossypol. Defisiensi asam
linoleat dalam pakan dapat
mengakibatkan bobot telur yang
dihasilkan rendah sehingga berat embrio
juga rendah (Komarudin et al. 2008).
Karakteristik warna kerabang telur
itik Pegagan adalah hijau kebiruan yang
merupakan ciri khas warna kerabang
telur itik Pegagan. Hasil penelitian sama
dengan warna kerabang telur itik Alabio
dan Mojosari (Suparyanto, 2005).
Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian
unggas air termasuk itik memiliki warna
kerabang hijau kebiruan. Hal ini
disebabkan adanya pengaruh gen yaitu
pigmen yang bertanggung jawab
terhadap warna kerabang menjadi hiijau
kebiruan adalah pigmen biliverdin,
sementara zick chelate dan protoporpirin IX
umumnya ditemukan pada telur yang
berkerabang coklat (Wasburn 1993).
Warna kerabang telur hijau kebiruan
merupakan warna dominan otosomal
yaitu gen G+ dan masih memiliki sifat liar
(Lancaster 1993). Pada itik-itik yang
sudah didomestikasi, warna kerabang
telur dengan itik Bali putih, itik Pekin,
dan itik putih Ukrania memiliki warna
kerabang telur putih yang sepenuhnya
dikontrol oleh gen g (Romanov et al.
1995).
Indeks telur merupakan
perbandingan antara panjang telur dibagi
lebar dikali 100%. Rataan indeks telur itik
Pegagan (75%) termasuk normal. Nilai
indeks telur yang normal adalah 79%,
sehingga nilai indeks yang lebih kecil dari
79% akan memberikan penampilan lebih
panjang dan lebih dari 79%
penampilannnya lebih bulat (Romanoff
dan Romanoff 1963). Indeks telur itik
Pegagan tersebut hampir mirip dengan
indeks telur itik Cihateup asal
Tasikmalaya (80,19%) hasil penelitian
Wulandari (2005). Indeks telur yang
mencerminkan bentuk telur sangat
dipengaruhi oleh genetik dan bangsa
(Romanov et al. 1995), juga proses-proses
yang terjadi selama pembentukan telur
(Larbier & Leclercq 1994).
Tabel 1. Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan
Peubah yang diamati
Jumlah Telur 500
Bobot Telur (g) 65,32 ±3,81
Warna telur Hijau kebiruan
Indeks Telur (%) 75 ± 0,03
ISSN 1978 - 3000
| Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan 100
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan
Hasil penetasan yang meliputi
fertilitas, daya tetas dan bobot tetas itik
Pegagan didapat nilai-nilai seperti Tabel
2.
Fertilitas telur adalah perbandingan
antara telur yang fertil dengan jumlah
total telur yang ditetaskan. Fertilitas telur
itik Pegagan yang dikumpulkan dari
petenak rendah yaitu sebesar 60%.
Rendahnya fertilitas telur karena pada
saat pemeliharaan rasio jantan dan betina
tidak tepat. Berdasarkan informasi dari
peternak pejantan yang dipelihara terlalu
sedikit. Fertilitas telur dalam penelitian
ini lebih rendah dari hasil penelitian yang
dilaporkan Setioko dan Istiana (1999)
yaitu penetasan itik Alabio kontrol dan
terseleksi di Kabupaten Hulu Sungai
Tengah Propinsi Kalimantan Selatan
masing-masing sebesar 73,33% dan 77,4%,
sementara Suryana (2011) pada itik
Alabio fertilitas sebesar 97,3%. Purba et
al. (2005) dan Wobowo et al. (2005)
menyatakan bahwa rataan fertilitas telur
itik di daerah sentra produksi dan
penetasan di Kabupaten Blitar, Jawa
Timur berkisar antara 86,46-90,49%,
sementara Yuwono et al. (2005)
melaporkan bahwa fertilitas telur itik
lainnya selama lima periode penetasan
sebesar 89,31%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi fertilitas telur adalah
rasio jantan dan betina, pakan induk,
umur pejantan yang digunakan dan
umur telur (Srigandono 1997), jumlah
induk yang dikawini oleh satu pejantan
dan umur induk (Solihat et al. 2003).
Daya tetas telur itik Pegagan
sebesar 53%. Daya tetas telur itik Pegagan
masih cukup baik dibandingkan daya
tetas itik Alabio (48,98%) dan itik
Mojosari (40,87%) hasil penelitian
Brahmantiyo et al. (2001). Tinggi
rendahnya daya tetas bergantung pada
kualitas telur tetas, sarana penetas,
ketrampilan pelaksana dan kualitas mesin
tetas (Martojo et al. 1979 dalam Lasmini et
al.1992). Daya tetas juga sangat
dipengaruhi oleh status nutrisi induk.
Menurut Wilson (1997) status nutrisi
induk sangat penting dalam
pembentukan telur, ketersediaan gizi
yang seimbang dibutuhkan bagi
perkembangan embrio yang normal.
Embrio dapat mati jika telur kekurangan,
kelebihan atau ketidakseimbangan nutrisi
yang mempengaruhi daya tetas.
Bobot tetas yang diperoleh pada
penelitian ini adalah 36,37±3,89 g. Bobot
tetas yang dihasilkan dalam penelitian ini
relatif sama dengan hasil yang diperoleh
Suryana dan Tiro (2007) yakni 39,85 ± 0,66
g akan tetapi lebih kecil jika
dibandingkan dengan hasi penelitian
Lasmini et al.(1992) sebesar 42,22 g.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Bobot telur itik Pegagan sebesar 65
gram.
2. Karakteristik warna kerabang telur
itik Pegagan adalah hijau kebiruan
3. Indeks telur itik Pegagan 75±0,03.
4. Fertilitas telur itik Pegagan 60% .
5. Daya tetas telur itik Pegagan 53 %.
6. Bobot tetas itik Pegagan 36,37±3,39.
Tabel 2. Fertilitas, Daya Tetas dan Bobot Tetas Itik Pegagan
Peubah yang diamati
Fertilitas (%) 60
Daya Tetas (%) 53±0,17
Bobot Tetas (g) 36,37±3,89
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 101
DAFTAR PUSTAKA
Applegate, T.J., D. Harper, L. Lilburn.
1998. Effect of hen age composition
and embryo development in
commercial Pekin ducks. Poult Sci
77:16008-1612.
Brahmantiyo, B., L.H. Prsetyo. 2001.
Pengaruh bangsa itik Alabio dan
Mojosari terhadap performan
reproduksi. Prosiding Lokakarya
Unggas Air Sebagai Peluang Usaha
Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001.
Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor bekerjasama
dengan Balai Penelitian Ternak.
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. hlm. 32-34.
Komarudin, Rukmiasih, P.S.
Hardjosworo. 2008. Performa
produksi itik berdasarkan
kelompok bobot tetas kecil, besar
dan campuran. Didalam: Inovasi
teknologi mendukung
pengembangan agribisnis
peternakan ramah lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-
12 Nopember 2008. Pusat penelitian
dan Pengembangan Peternakan.
Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
hlm. 604-610
Lancester, F.M. 1993. Mutations and
major variants in domestic duck. In:
Crawford R.D. 1990. Poultry
Breeding and
Genetics;Depaartement of Animal
and Poultry Science University of
Saskatchewan, Saskatoon,
Canada.pp 381-388
Larbier, M., B. Leclercq. 1994. Nutrition
and Feeding of Poultry. Notthingham
Unniversity Press. INRA. Perancis.
Lasmini, A., R. Abelsami, N.M. Parwati.
1992. Pengaruh cara penetasan
terhadap daya tetas telur itik
Twegal dan Alabio. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Bogor, 18-19 September
2000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Bogor. hlm. 31-34.
Martojo, H. 1979. Peningkatan Mutu
Genetik Ternak. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. Pusat Antar Universitas dan
Bioteknologi, Institut Pertanian
Bogor.
Prasetyo, L.H., T. Susanti. 2000.
Persilangan timbal balik antara
itik Alabio dan Mojosari: Periode
awal bertelur. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner 5(4): 210-214.
Purba, M., L.H. Prasetyo, T. Susanti. 2005.
Produksi dan penetasan telur itik di
daerah sentra produksi kabupaten
Blitar, Jawa Timur. Prosiding
Seminar nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner. Buku II. Bogor, 12-13
September 2005. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan.
Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
hlm. 823-829.
Romanov, M.N., R.P. Veremenyenko, Y.Y.
Bondarenko. 1995. Conservation of
waterfowl germplasm in Ukraine.
In: World’s Poultry Science
Association. Proceeding 10th
European Symposium on
Waterfpowl, March, 26-31 1995.
Halle (Saale) Germany. pp. 401-414.
Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air.
Jogjakarta; Gadjah Mada University
Press.
Romanoff, A.L. and A.J. Roamnoff. 1963.
The Avian Egg. New York: John
Wiley and Sons.
ISSN 1978 - 3000
| Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan 102
Setioko, A.R., Istiana. 1999. Pembibitan
itik Alabio di Kabupaten Hulu
Sungai Tengah. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner.
Jilid I; Bogor,1-2 Desember 1999.
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. hlm. 382-387.
Suparyanto, A. 2005. Peningkatan
produktivitas daging itik
mandalung melalui pembentukan
galur induk.[disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
Suryana. 2011. Karakterisasi Fenotipik
dan Genetik Itik Alabio (Anas
platyrhynchos Borneo) di Kalimantan
Selatan Dalam Rangka Pemanfaatan
dan Pelestarian Secara
Berkelanjutan. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Suryana, B.W. Tiro. 2007. Keragaan
penetasan telur itik Alabio dengan
sistem gabah di Kalimantan Selatan.
Didalam; Percepatan Inovasi
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Mendukung Kemandirian
Masyarakat Kampung di Papua.
Prosiding Seminar Nasional dan
Ekspose. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Papua; Jayapura,
5-6 Juli 2007. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Bogor.hlm 269-277.
Solihat, S., I. Suswoyo, Ismoyowati. 2003.
Kemampuan performan produksi
telur dari berbagai itik lokal. J
Peternakan Tropik 3 (1):27-32.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas.
Jogjakarta; Gadjah Mada University
Press.
Washburn, K.W. 1993. Genetics variation in
egg composition In: Poultry breeding
and genetics. Crawford RD (eds).
Departement of Animal and Poultry
Science. University of
Saskatchewan, Saskatoon. Canada.
pp. 781-804.
Wilson, H.R. 1997. Effecs of maternal
nutrient on hatchability. J Poult Sci
76:143-146.
Wulandari, W.A. 2005. Kajian
karakteristik biologis itik Cihateup
[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Wibowo, B., E. Juarini, Sunarto. 2005.
Analisa ekonomi usaha penetasan
telur itik di Sentra produksi.
Didalam: Merebut peluang
agribisnis melalui pengembangan
usaha kecil dan menegah unggas
air. Prosiding Lokakarya Unggas Air
II. Ciawi 16-17 Nopember 2005.
Kerjasama balai Penelitian Ternak,
Masyarakat Ilmu Perunggasan
Indonesia dan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor.
Yuwono, D.M., Subiharta, A. Hermawan.
2006. Kajian inovasi kelembagaan
pembibitan itik Tegal Unggul
model inti-plasma. Prosiding
Seminar nasional Inovasi Teknologi
dalam mendukung usaha ternak
unggas berdaya saing. Semarang, 4
Agustus 2006. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan
bekerjasana dengan Jurusan Sosial
Ekonomi Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro. Semarang.
hlm. 176-184.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 103
Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk
Serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo
Effect of Katuk Leaves Supplementation on Burgo’s Ovarium and Oviduct Size and Egg
Production Performance
Heri D. Putranto1,2)
1) Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu 2) Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian Unib
Jalan Raya W.R. Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371A
Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuple-
mentasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3=
suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak
daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 111
(Gibson, 2011). Asam benzoat dalam
tubuh dapat dikonversikan menjadi
estradiol-17β benzoat. Estradiol-17β
benzoat berperan untuk meningkatkan
fungsi reproduksi dan merangsang
pertumbuhan folikel (Santoso et al., 2003).
Selanjutnya ditambahkan oleh
Anonimous (2009), vitamin C dan E yang
terkandung dalam pakan terbukti dapat
meningkatkan produksi telur. Secara
umum diketahui bahwa daun katuk kaya
akan zat besi, provitamin A dalam bentuk β-
carotene, vitamin C, minyak sayur, protein
dan mineral lainnya. Dalam 100 gram daun
katuk mengandung 72 kalori, 70 gram air, 4,8
gram protein, 2 gram lemak, 11 gram
karbohidrat, 2,2 gram mineral, 24 mg kalsium,
83 mg fosfor, 2,7 mg besi, 31,11 µg vitamin
D, 0,10 mg vitamin B6 dan 200 mg vitamin C
(Anonimous, 2009).
Walaupun analisis secara statistik
memperlihatkan pengaruh yang tidak
nyata, hasil studi berupa perlakuan
ekstraksi daun katuk ini selaras dengan
hasil penelitian yang dilaporkan oleh
Santoso et al. (2003, 2005) yang
menyebutkan bahwa suplementasi
ekstrak daun katuk pada ayam petelur
berpengaruh sangat positif terhadap
produksi telur baik dalam persen, butir
maupun gram dan juga bahkan dapat
meningkatkan jumlah produksi telur.
Asam benzoat yang terkandung dalam
daun katuk dikonversikan menjadi
estradiol-17β benzoat yang berperan
untuk meningkatkan fungsi reproduksi
dan merangsang pertumbuhan folikel
sehingga ayam dapat menghasilkan
produksi telur yang lebih tinggi dan lebih
efisien. Ditambahkan oleh Agustal et al.
(1997), daun katuk mengandung
beberapa senyawa–senyawa aktif seperti
asam benzoat, asam fenil malonat, 2-
pyrolidinon dan methyl pyroglutamate
yang semuanya dapat berperan dalam
peningkatan produksi dan reproduksi.
SIMPULAN
Walaupun data menunjukkan
bahwa suplementasi ekstrak daun katuk
belum mempengaruhi secara optimal
terhadap seluruh paramater yang diamati
dalam studi ini tetapi terdapat
kecenderungan bahwa ekstrak daun
katuk dengan kandungan berbagai
prekursor dan senyawa aktif didalamnya
mampu memberikan pengaruh yang
positif terhadap ukuran ovarium dan
oviduk serta tampilan produksi telur
ayam Burgo betina.
DAFTAR PUSTAKA
Agustal, A., M. Harapini, dan Chairul.
1997. Katuk leaves extract
(Sauropus androgynus (L) Merr)
chemical analysis by using GCMS.
Warta Tumbuhan Obat 3 (3): 31-33.
Anonimous. 2009. Manfaat Daun Katuk. http://www.departemenkesehatanrepubl
ik indonesia.go.id. 11 November
2010.
Budiasa, M.K., W. Bebas. 2008.
Pregnant mares serum
gonadotrophin meningkatkan dan
mempercepat produksi telur itik Bali
yang lambat bertelur. Jurnal
Veteriner 9 (1): 20-24. Braw-Tal, R., S. Yossefi, S. Pen, D. Schider
dan A. Bar. 2004. Hormonal changes
associated with aging and induced
moulting of domestic hens. British
Poultry Science 45 (6): 204-211.
Despopoulos, A., L. Silbernagi. 1991.
Color Atlas of Physiology 4rd Ed.
Stuttgart, New York: Georg Thieme
Verlag.
Diwyanto, K., S. Iskandar. 1999.
Kampung Chickens: A Key Part of
Indonesia’s Livestock Sector.
Livestock Industries of Indonesia
Prior to the Asian Financial Crisis,
Regional Office for Asia and the
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 112
Pacific, FAO Corporate Document
Repository.
Ganong, W.F. 1993. Review of Medical
Physiology 6th Ed. Prentice-Hall
International Inc. San Fransisco.
Gibson, B. 2011. Studi Penggunaan
Ekstrak Daun KatukTerhadap
Tampilan Organ Reproduksi Ayam
Burgo Betina Untuk Perbaikan
Kualitas Populasi. Pascasarjana
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Universitas Bengkulu.
Bengkulu. Tesis.
Irawan, N. 2003. Pengaruh Pemberian
Daun Katuk (Sauropus androginus
Merr) dengan Berbagai Metode
Ekstraksi Terhadap Kualitas Telur
Ayam Petelur. Jurusan Peternakan,
Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu. Bengkulu. Skripsi.
Nalbandov, A.V. 1990. Reproductive
Physiology of Mammals and Birds.
UI Press, Jakarta, Indonesia.
Nataamijaya, A.G. 2006. Egg production
and quality of kampung chicken fed
rice bran diluted commercial diet
and forages supplement. Journal of
Animal Production (8): 206-210.
National Reseach Council. 1993.
Managing Global Livestock
Resources. Committe on Managing
Global Genetic Resources.
Agricultural Imperatif. National
Academic Press. Washington DC,
USA.
Nesheim, M.C., R.E. Austic dan L.E.
Card.1979. Poultry Production. 12th
ed. Lea and Febiger, Philadelphia,
USA.
Nurmeiliasari. 2003. Burgo chicken
population, distribution and the
interaction with various ecological
factor. Jurnal Raflesia UMB V (2):
52-55.
Putranto, H.D. 2010. The description of
intensively captived sambar deer’s
reproductive behavior. Jurnal Sain
Peternakan Indonesia 5 (2): 129-134.
Putranto, H.D. 2011a. A non-invasive
identification of hormone
metabolites, gonadal event and
reproductive status of captive
female tigers. Biodiversitas Journal
of Biological Diversity 12 (3): 131-
135.
Putranto, H.D. 2011b. Introduction of
indigenous Bengkulu chicken,
population, female production and
reproductive organs description.
Proc.of the 19th J-AREA Annual
Meeting, Himeji City, Japan, p: 9.
Putranto, H.D., S. Kusuda, K. Inagaki, G.
Kumagai, R. Ishii-Tamura, Y. Uziie,
dan O. Doi. 2007a. Ovarian activity
and pregnancy in the Siberian tiger,
Panthera tigris altaica, assessed by
fecal gonadal steroid hormones
analyses. Journal of Veterinary
Medicine Science 69 (5): 569-571.
Putranto, H.D., S. Kusuda, H. Hashikawa,
K. Kimura, H. Naito, dan O. Doi.
2007b. Fecal progestins and
estrogens for endocrine monitoring
of ovarian cycle and pregnancy in
Sumatran orangutan (Pongo abelii).
Jpn Journal of Zoo and Wildlife
Medicine 12 (2): 97-103.
Putranto, H.D., S. Kusuda, T. Ito, M.
Terada, K. Inagaki, dan O. Doi.
2007c. Reproductive cyclicity
based on fecal steroid hormones
and behaviors in Sumatran tigers,
Panthera tigris sumatrae. Jpn Journal
of Zoo and Wildlife Medicine 12 (2):
111-115.
Putranto, H.D., U. Santoso, Y. Fenita, dan
Nurmeliasari. 2009. Kajian
Konservasi: Populasi, Tampilan
Reproduksi dan Potensi
Domestikasi Ayam Burgo Plasma
Nutfah Endemik Bengkulu.
Laporan Hibah Kompetitif
Penelitian Strategis Nasional Batch
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 113
2. Lembaga Penelitian Universitas
Bengkulu, Bengkulu.
Putranto, H.D., U. Santoso, Warnoto, dan
Nurmeliasari. 2010a. Kajian
Konservasi: Populasi, Tampilan
Reproduksi dan Potensi
Domestikasi Ayam Burgo Plasma
Nutfah Endemik Bengkulu.
Laporan Hibah Kompetitif
Penelitian Strategis Nasional
Lanjutan Tahun ke-2. Lembaga
Penelitian Universitas Bengkulu,
Bengkulu.
Putranto, H.D., U. Santoso, Warnoto, Y.
Fenita, dan Nurmeiliasari. 2010b. A
study on population density and
distribution pattern of domesticated
Bengkulu native burgo chicken.
Media Kedokteran Hewan 26 (2):
198-204.
Putranto, H.D., E. Soetrisno,
Nurmeliasari, A. Zueni, dan B.
Gibson. 2010c. Recognition of
seasonal effect on captive Sumatran
sambar deer reproductive cyclicity
and sexual behavior. Biodiversitas
Journal of Biological Diversity 11
(4): 200-203.
Salisbury, G.M. 1985. Fisiologi
Reproduksi dan Inseminasi Buatan
pada Sapi. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Santoso, U., J. Setianto, dan H. Prakoso.
1999. Peningkatan Efisiensi
Pertumbuhan dan Penurunan
Jumlah Salmonella sp. Daging Serta
Akumulasi Lemak Broiler Oleh
Ekstrak Daun Katuk. Laporan
Penelitian. Lembaga Penelitian
Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Santoso, U., J. Setianto, T. Suteky, dan Y.
Fenita. 2003. The Utilization of
Katuk Leaves Extract to Improve
Environmental Friendly Egg
Quality and Production Efficiency.
Laporan Penelitian Hibah Pekerti.
Lembaga Penelitian Universitas
Bengkulu, Bengkulu.
Santoso, U., J. Setianto, dan T. Suteki.
2005. Effect of Sauropus androgynus
extract on egg production and lipid
metabolism in layers. Asian-
Australian Journal of Animal
Science 18 (3): 364-370.
Suprayogi, A. 2000. Studies on the
Biological Effects of Sauropus
androgynus (L) Merr.: Effects on
Milk Production and the
Possibilities of Induced Pulmonary
Disorder in Lactating Sheep.
University Gottingen, Germany.
Dissertation.
Setianto, J. 2009. Ayam Burgo; Ayam
Buras Bengkulu. Kampus IPB
Taman Kencana. IPB Press. Bogor.
Setianto, J., Warnoto, dan Nurmeiliasari.
2009. The phenotypic
characteristic, population and the
ecological factors of Bengkulu’s
burgo chicken. Proc. of
International Seminar the Role and
Application on Livestock
Reproduction and Products;
Bukittinggi, Indonesia, hal: 13-14.
Sonaiya, E.B. 2007. Family poultry, food
security and the impact of HPAI.
Journal of World's Poultry Science
63: 132-138.
Warnoto, 2001. Identifikasi, Fenotif,
Populasi, Habitat Penyebaran dan
Potensi Pengembangan Ayam.
Laporan Penelitian. Lembaga
Penelitian Universitas Bengkulu,
Bengkulu.
Warnoto, dan J. Setianto. 2009. The
characteristic of egg production and
reproduction of various
crossbreeding offspring between
Burgo chicken with nature chicken.
Proc.of International Seminar the
Role and Application on Livestock
Reproduction and Products;
Bukittinggi, Indonesia, hal: 15-16.
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 114
Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas
Telur. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Zueni, A. 2011. The Effect of Katuk
Leaves Extract Supplementation on
Bengkulu Burgo Chicken Sexual
Hormone and Follicles.
Pascasarjana Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Universitas Bengkulu.
Bengkulu. Tesis.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 115
Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi
dengan Kebun Kopi
The Effect of Honeybee-Coffee Plantation Integration on Improving the Honey
Productivity of Apis cerana
Rustama Saepudin1, Asnath M. Fuah2, Luki Abdullah2
1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu 2. Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB. 2 Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB.
ABSTRACT
The study of relationship between the honey productivity and honey bee-coffee plantation integration was
conducted in Kepahiang, the Province of Bengkulu. The objective of this study was to evaluate the application
of Apis cerana-coffee plant integration system on honey production and coffee bean as well.. The experiment
was arranged in a completely randomized design with two treatments and ten replications. The result showed
that honey production was higher by 114% than that outside the plantation. Similar to the honey
productionn, coffee been production at honeybee-coffee plantation integration was significantly higher by
10.55 % than that was unpollinated by Apis cerana.
Key words: cerana, coffee, integration, production
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di Kepahiang, Provinsi Bengkulu dengan tujuan untuk mengevaluasi penerapan
sistem integrasi perkebunan kopi dengan lebah madu Apis cerana terhadap produksi madu dan produksi
kopi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua perlakuan dan 10 ulangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa produksi madu lebih tinggi 114% daripada madu yang dihasilkan di luar
perkebunan kopi. Sejalan dengan produksi madu, produksi kopi juga lebih tinggi 10,55% dari pada produksi
kopi pada kebun yang penyerbukannya tidak dengan Apis cerana.