Top Banner

of 23

UNIMED Undergraduate 22365 11 BAB 2

Feb 29, 2016

Download

Documents

gustiawanichal

teknik sipil
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Tanah Gambut

    Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan

    organic (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik

    penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk

    sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya

    lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah

    cekungan yang drainasenya buruk.

    Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik

    yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses

    dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya

    yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.

    Pembentukan tanah gambut merupakan proses giogenik yaitu pembentukan tanah

    yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses

    pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.

    Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang

    secara perlahan ditumbuni oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman

    yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian

    menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan

    dibawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian

    yang lebih tengan dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan

    gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 2.1a dan 2.1b).

    Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut

    dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi

    daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relative subur (eutrofik) karena

    adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada

    banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut

    tersebut.

  • 6

    Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil

    pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk

    kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 2.1c). Gambut yang

    tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang

    pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah

    kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hamper tidak ada

    pengkayaan mineral.

    Gambar 2.1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah:

    a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah

    b. Pembentukan gambut topogen

    c. Pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen

  • 7

    2.2. Klasifikasi Gambut

    Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai

    Organosol atau Histosol yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan

    berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g/cm3 dengan tebal > 60 cm atau

    lapisan organik dengan BD > 0,1 g/cm3 dengan tebal > 40 cm.

    Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang

    berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi

    pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan

    menjadi:

    Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan

    bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila

    diremas kandungan seratnya 75%

    seratnya masih tersisa.

    Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:

    Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral

    dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur

    biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai

    atau laut.

    Mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan

    mineral dan basa-basa sedang.

    Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral

    dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari

    pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.

  • 8

    Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:

    Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang

    hanya dipengaruhi oleh air hujan.

    Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang

    mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan

    lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut

    ombrogen.

    Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:

    Gambut dangkal (50 100 cm),

    Gambut sedang (100 200 cm),

    Gambut dalam (200 300 cm), dan

    Gambut sangat dalam (> 300 cm)

    Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:

    Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan

    mendapat pengayaan mineral dari air laut

    Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak

    dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan

    Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah

    tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.

    Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan

    oligotrofik. Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di

    daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Tingkat kesuburan gambut

    ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar

    gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatera relatif lebih subur

    dibandingkan dengan gambut di Kalimantan.

  • 9

    2.3. Karakteristik Tanah Gambut

    Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik

    dengan ketebalan > 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral

    pada ketebalan 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik > 50 cm.

    Tanah gambut atau tanah organik dikenal juga sebagai organosol atau histosol.

    Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut dipilah

    menjadi:

    a) Gambut pantai atau pasang surut, yaitu gambut yang dominan dipengaruhi

    oleh pasang surut air laut;

    b) Gambut pedalaman, yaitu gambut yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air

    laut; dan

    c) Gambut peralihan (transisi), yaitu gambut yang terdapat di antara gambut

    pantai dan gambut pedalaman.

    Penggolongan tanah gambut berdasarkan ketebalan bahan organik, tanah

    yang mempunyai ketebalan gambut < 50 cm sebagai tanah bergambut.

    Selanjutnya tanah gambut dibedakan berdasar kedalamannya, yaitu: gambut

    dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100-200 cm), gambut dalam (200-300 cm),

    dan gambut sangat dalam (>300 cm). Tanah-tanah lainnya yang tergolong ke

    dalam tanah yang banyak mengandung bahan organik dan terletak di dataran

    aluvium ialah tanah gley humus yaitu tanah-tanah yang memiliki ketebalan

    gambut < 30 cm dengan kadar karbon antara 15 hingga 30%.

    Berdasarkan tingkat pelapukan, ketebalan lapisan bahan organik, suhu dan

    kelembapan, maka diperkirakan sebagian besar tanah gambut yang ada di

    Indonesia diklasifikasikan sebagai tropohemist atau troposaprist, dan sedikit

    sulfihemist.

    2.3.1. Sifat Fisik

    Sifat fisik tanah gambut yang berpengaruh dalam pemanfaatannya untuk

    pertanian yaitu daya menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan

    gambut (subsiden), mengering tidak balik (irreversible drying), kadar air dan

    berat isi (BD).

  • 10

    Daya menahan beban (bearing capacity)

    Daya menahan beban tanah gambut umumnya sangat rendah, hal ini

    berkaitan dengan berat isi gambut yang rendah. Daya topang terhadap tanaman

    terutama tanaman tahunan tidak kuat sehingga sering dijumpai tanaman kelapa

    sawit, kelapa tumbuh miring (tidak dapat berdiri tegak).

    Penurunan permukaan gambut (subsiden)

    Lahan gambut dengan bertambahnya waktu semakin habis, hal ini akibat

    adanya penurunan permukaan gambut (subsiden). Penyebab terjadinya subsiden

    antara lain proses dekomposisi, dehidrasi yaitu penyusutan volume gambut karena

    didrainase. Penyusutan gambut sangat tergantung kematangan/tingkat

    dekomposisi gambut dan kedalaman saluran drainase. Gambut fibrist lebih cepat

    mengalami subsiden dibanding saprist. Subsiden gambut bisa mencapai 26

    cm/tahun.

    Mengering tidak balik (irreversible drying)

    Sifat fisik tanah gambut mengering tidak balik yang tidak bisa menyerap

    air bila dibasahi sehingga mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar

    dalam kondisi kering. Sifat kering tidak balik menyebabkan hilangnya fungsi

    kimia gambut sebagai koloid/tempat pertukaran kation, sehingga gambut tersebut

    tidak dapat berfungsi lagi sebagai media tanam. Gambut yang terbakar

    menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut

    yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah

    permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.

    Kadar air dan berat isi (BD)

    Kadar air gambut berkisar 100 1.300% dari berat keringnya yang berarti

    gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dalam kondisi jenuh,

    kadar air tanah gambut dapat mencapai 4503.000% dari bobot keringnya. Oleh

    karena itu gambut merupakan tempat untuk menyimpan air yang efektif.

    Pengaturan permukaan air tanah pada tanah gambut sangat penting dalam

  • 11

    mempertahankan kelembapan gambut. BD gambut umumnya rendah dan

    tergantung tingkat dekomposisi gambut. BD gambut fibrist kurang dari 0,1 g/cm3

    dan gambut saprist berkisar 0,2 g/cm3 bila dibandingkan dengan tanah mineral

    umumnya mempunyai BD 1,2 g/cm3, sehingga kandungan unsur hara tanah

    gambut persatuan volume sangat rendah.

    Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga

    beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan

    beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga

    tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak.

    2.3.2. Sifat Kimia

    Sifat kimia tanah gambut yaitu kemasaman tanah, kapasitas tukar (KTK)

    kation dan basa-basa, fosfor, unsur mikro, komposisi kimia dan asam fenolat

    gambut.

    Kemasaman Tanah

    Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan

    asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat. Bahan organik yang

    telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (COOH)

    dan fenol (C6H4OH) yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat

    sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam

    jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 8595% muatan pada bahan organik

    disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut.

    Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat

    masam dengan pH < 4,0. Hasil penelitian Halim (1987) dan Salampak (1999)

    diperoleh nilai kisaran pH H2O (1:5) tanah gambut pedalaman Berengbengkel

    Kalimantan Tengah sebesar 3,25 hingga 3,75. Sedangkan pH H2O tanah gambut

    dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan lebih tinggi yaitu sebesar 4,14,3.

  • 12

    Kapasitas Tukar Kation dan Basa-basa

    Nilai kapasitas tukar kation tanah gambut umumnya tinggi, hal ini

    disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus

    karboksil dan gugus hidroksil dari fenol. KTK tanah gambut ombrogen di

    Indonesia sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat. Tanah

    gambut di Indonesia, terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi

    vegetasi penyusun gambut yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari

    bahan kayu-kayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa

    lignin yang dalam proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat.

    Kandungan kation basa-basa (Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat

    dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut,

    kandungan abu semakin rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanah

    menjadi lebih masam. Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai

    KTK yang tinggi, sehingga ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Rendahnya

    kandungan basa-basa pada gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses

    pembentukannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan. Kejenuhan basa

    (KB) tanah gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah. Tanah gambut

    pedalaman Bereng bengkel Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari

    10%, demikian juga nilai KB tanah gambut dataran rendah Riau.

    Tabel 2.1 Komposisi Gambut Ombrogen di Indonesia dan Kapasitas

    Tukar Kation

    Komposisi Bobot KTK

    Lignin

    Senyawa humik

    Selulosa

    Hemiselulosa

    Lainnya

    Bahan organik gambut

    %

    64-74

    10-20

    0,2-10

    1-2

  • 13

    Kesuburan alami tanah gambut sangat beragam, tergantung pada beberapa

    faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi; (b) komposisi

    tanaman penyusunan gambut; dan (c) tanah mineral yang berada di bawah lapisan

    tanah gambut. Gambut digolongkan ke dalam tiga tingkat kesuburan yang

    didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O dan kadar abunya, yaitu: (1) gambut

    eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi; (2) gambut mesotrofik dengan

    tingkat kesuburan yang sedang; dan (3) gambut oligotrofik dengan tingkat

    kesuburan yang rendah (Tabel 2.2).

    Tabel 2.2 Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut

    Tingkat

    Kesuburan

    Bobot kering gambut

    P2O5 CaO K2O Abu

    Eutrofik

    Mesotrofik

    Oligotrofik

    >10

    5-10

    0,25

    0,20-0,25

    0,05-0,20

    >4,0

    1-4,0

    0,25-1

    >0,10

    0,10

    0,03-0,1

    Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama

    gambut pedalaman yang terdiri atas gambut tebal dan miskin akan unsur hara,

    digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik. Sedangkan pada gambut pantai pada

    umumnya tergolong ke dalam gambut eutrofik karena adanya pengaruh air pasang

    surut.

    Fosfor

    Unsur fosfor (P) pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk

    P-organik, yang selanjutnya akan mengalami proses mineralisasi menjadi P-

    inorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam

    bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang

  • 14

    telah diidentifikasi terdiri atas inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida,

    dan gula fosfat. Ketiga senyawa pertama bersifat dominan.

    Fraksi P organik diperkirakan mengandung 2,0% P sebagai asam nukleat,

    1,0% sebagai fosfolipid, 35% inositol fosfat dan sisanya belum teridentifikasi. Di

    dalam tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan ester lainnya,

    sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan kadarnya di dalam tanah

    menempati lebih dari setengah P organik atau kira-kira seperempat total P tanah.

    Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam

    yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam keadaan demikian, garam ini

    sukar dirombak oleh mikroorganisme.

    Unsur Mikro

    Pada tanah gambut kandungan unsur mikro umumnya terdapat dalam

    jumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi

    tanaman. Group karboksilat dan fenolat pada tapak reaktif tanah gambut dapat

    membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro, sehingga mengakibatkan

    unsure mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi

    reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya

    yang tidak bermuatan. Kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan bawah

    umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas. Namun dapat juga kandungan

    unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi pencampuran

    dengan bahan tanah mineral yang ada di lapisan bawah gambut tersebut.

    Komposisi Kimia Gambut

    Tanah gambut tebal di Indonesia umumnya mengandung kurang dari 5%

    fraksi inorganik dan sisanya fraksi organik yaitu lebih dari 95%. Fraksi organik

    terdiri senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20%, sebagian besar terdiri atas

    senyawasenyawa non-humat yang meliputi senyawa lignin, selulosa,

    hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, sejumlah kecil protein dan lain-lain.

    Sedangkan senyawa-senyawa humat terdiri atas asam humat, himatomelanat dan

    humin.

  • 15

    Gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh

    bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar

    adalah lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan

    kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa dan protein

    umumnya tidak melebihi 11% (Tabel 2.3).

    Tabel 2.3 Komposisi gambut hutan tropika tipe sangat masam

    Komponen Asal Gambut

    Sumatera Kalimantan

    Komponen gambut

    Larut dalam:

    Eter

    Alkohol

    Air

    Hemiselulosa

    Selulosa

    Lignin

    Protein

    4,67

    4,75

    1,87

    1,95

    10,61

    63,99

    4,41

    2,50

    6,65

    0,87

    1,95

    3,61

    73,67

    3,85

    Asam-asam Fenolat dalam Tanah Gambut

    Dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob akan menghasilkan

    beberapa senyawa dan gas, antara lain adalah metan, hidrogen sulfida, etilen,

    asam asetat, asam butirat, asam laktat, dan asam-asam organik lainnya seperti

    asam-asam fenolat. Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat racun bagi

    tanaman. Tanah-tanah gambut di Indonesia mempunyai kandungan lignin yang

    lebih tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah gambut yang berada di daerah yang

    beriklim sedang. Lignin tersebut akan mengalami proses degradasi menjadi

    senyawa humat, dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-asam

    fenolat.

  • 16

    Beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah adalah

    asam vanilat, p-kumarat, p-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat, gentisat, dan

    asam syringat. Asam-asam fenolat tersebut berpengaruh langsung terhadap proses

    biokimia dan fisiologi tanaman, serta penyediaan hara di dalam tanah. Beberapa

    hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat bersifat fitotoksik bagi

    tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat.

    2.4. Gambut di Kecamatan Lintongnihuta

    Penyebaran gambut di daerah ini cukup luas, sekitar 500 ha dengan

    ketebalan rata-rata 6 m. Berdasarkan data literatur, hasil analisis gambut dari

    daerah ini adalah sebagai berikut :

    Kadar abu 4,99 %

    Kadar air 75,04 %

    Kadar belerang 0,18 %

    Bulk density 0,14 %

    pH 5

    Nilai kalori 4.918 kal/gram

    Karbon padat 27,75 %

    Kandungan kayu 12,20 %

    2.5. Arang

    Masturin (2002), menyatakan arang adalah residu yang berbentuk padatan

    yang mnerupakan sisa dari proses pengkarbonan bahan berkarbon dengan kondisi

    terkendali di dalam ruangan tertutup seperti dapur arang. Arang adalah hasil

    pembakaran bahan yang mengandung karbon yang berbentuk padat dan berpori.

    Sebagian besar porinya masih tertutup oleh hidrogen, ter, dan senyawa organik

    lain yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen, dan sulfur.

    Peristiwa terbentuknya arang dapat terjadi dengan cara memanasi secara

    langsung atau tidak langsung terhadap bahan berkarbon di dalam timbunan, kiln,

    oven, atau di udara terbuka. Untuk menghasilkan arang umumnya bahan baku

    dipanaskan dengan suhu diatas 5000C. Faktor yang berpengaruh terhadap proses

  • 17

    karbonisasi adalah kecepatan pemanasan dan tekanan. Pemanasan yang cepat

    sukar untuk mengamati tahapan karbonisasi yang terjadi dan rendemen arang

    yang dihasilkan lebih rendah. Sedangkan pemakaian tekanan yang tinggi akan

    mampu meningkatkan rendemen arang (Masturin, 2002).

    2.6. Arang Aktif

    Arang aktif adalah arang yang diproses lebih lanjut sedemikian rupa,

    sehingga daya serapnya tinggi dengan kadar karbon dan keaktifan yang bervariasi.

    Arang aktif dapat dibedakan dengan arang berdasarkan sifat pada permukaannya.

    Permukaan pada arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghalangi

    keaktifannya. Sedangkan pada arang aktif, permukaannya telah bebas dari deposit

    hidrokarbon dan mampu melakukan adsorpsi karena permukaannya lebih luas dan

    pori-porinya telah terbuka.

    Arang aktif dapat dibuat dari semua bahan yang mengandung karbon, baik

    organik maupun anorganik seperti tulang, resin, kayu, serbuk gergaji, sekam padi,

    gambut, batu bara, tempurung kelapa dan tempurung biji-bijan.

    2.6.1. Pembuatan arang aktif secara kimia

    Pada proses ini fasa pengarangan dan fasa pengaktifan berlangsung dalam

    satu tahap. Bahan baku direndam dalam larutan pengaktif selama 12 24 jam

    setelah ditiriskan, lalu diarangkan. Dengan adanya pemanasan pada suhu tinggi

    diharapkan aktivator dapat masuk di antara pelat heksagonal dari kristalit arang,

    sehingga dapat menyebabkan terjadinya pengikisan pada permukaan kristalit dan

    membuka permukaan arang yang tertutup sehingga menjadi aktif. Hal ini dapat

    terjadi karena arang aktif dengan strukturnya yang mirip grafit mempunyai lapisan

    karbon heksagonal yang tidak terapatkan karena tiap atom karbon mempunyai

    bilangan koordinasi tiga dan ikatan antar lapisan lemah, sehingga memungkinkan

    terjadinya interkalasi di antara lapisan karbon.

    Pemakaian bahan kimia sebagai bahan pengaktif sering mengakibatkan

    pengotoran pada arang aktif yang dihasilkan. Pada umumnya aktivator

    meninggalkan sisa-sisa berupa oksida yang tidak larut dalam air pada waktu

  • 18

    pencucian, oleh karena itu dalam beberapa proses sering dilakukan pelarutan

    dengan HCl untuk mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel pada

    permukaan arang dan kandungan abu yang terdapat dalam arang aktif. Hasil

    penelitian Botha (1992) yang membuat arang aktif dari batubara, lalu mengekstrak

    arang aktif tersebut dengan HCl 0,5 M menghasilkan arang aktif yang struktur

    mikroporinya lebih lebar.

    2.6.2. Pembuatan arang aktif secara fisika

    Pada proses ini terdapat dua tingkat operasi, yaitu fasa pembentukan pori

    dan fasa pengaktifan. Fasa pembentukan pori terjadi pada saat pengarangan bahan

    baku, yang dilakukan pada suhu 400 6000C. Pengarangan di atas suhu 6000C

    akan menghasilkan arang dengan modifikasi sifat yang sukar diaktifkan,

    sedangkan arang yang dihasilkan pada suhu di bawah 6000C sangat efektif untuk

    diaktivasi tetapi arang ini masih dilapisi oleh senyawa hidrokarbon sehingga

    menutupi pori arang aktif yang terbentuk. Untuk membersihkan permukaan arang

    dari senyawaan ini dapat dilakukan dengan jalan mengalirkan gas pada suhu 800

    1.0000C.

    Reaksi pengaktifan dengan gas seperti H2Odan CO2 reaksinya berjalan

    secara endotermis, sehingga proses aktivasinya kurang efektif. Untuk mengatasi

    hal ini salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memanaskan

    permukaan luar dari unit aktivasinya sehingga distribusi panas merata. Ditinjau

    dari tipe kiln, ada dua cara pembuatan arang aktif yaitu cara kiln tetap dan cara

    rotary kiln.

    a. Kiln Tetap

    Cara ini menggunakan tungku bata tahan api untuk proses aktivasi arang

    menjadi arang aktif. Pemanasan tungku dilakukan dengan bahan kayu atau burner

    gas/solar. Suhu aktivasi berkisar 800-1.0000C. Setelah suhu arang dalam tungku

    mencapai 9000C kemudian dialiri uap air panas dengan laju alir yang disesuaikan

    dengan jumlah produk arang yang diolah dan kualitas arang aktif yang

  • 19

    diharapkan. Lama pemanasan tergantung pada kapasitas tungku dan jenis bahan

    baku, laju alir uap dan suhu uap air.

    Tungku aktivasi dibuat dari bata tahan api dan berbentuk empat persegi

    panjang dengan ukuran panjang 3,6 m ; tinggi 1,60 m dan lebar 2,4 m dan

    tersusun seri. Kapasitas produksi minimum untuk membuat arang aktif dengan

    cara ini adalah 1 ton arang aktif/hari. Walaupun demikian, dalam praktek

    kenyataannya dapat lebih rendah. Ukuran tungku ini dapat diperkecil untuk

    menjamin proses pemerataan panas dan suhu tinggi pada proses aktivasi, sehingga

    kualitasnya dapat lebih seragam dan daya adsorpsinya dapat lebih tinggi.

    Kapasitas steam boiler untuk pembangkit uap dapat disesuaikan dengan kapasitas

    produksi atau untuk steam boiler kapasitas lebih kecil akan memerlukan aktivasi

    lebih lama.

    Rendemen arang aktif terhadap bahan baku arang berkisar antara 30-50%

    dan untuk arang yang berkadar karbon tinggi, rendemennya dapat mencapai 70%.

    Besarnya rendemen dipengaruhi bahan baku, proses pengolahan dan daya

    adsorpsi arang aktif yang akan dihasilkan. Cara pembuatan arang aktif dengan

    kiln tetap ini umumnya dibangun dalam skala industri menengah atau kecil.

    b. Rotary kiln

    Pembuatan arang aktif dengan rotary kiln (kiln berputar) adalah sistem

    kontinyu yang umumnya dilakukan dalam skala besar. Teknologi ini cukup rumit

    dan memerlukan biaya investasi yang relatif cukup besar tetapi cukup efisien

    dalam operasionalnya. Teknologi ini sudah dapat dibuat di dalam negeri. Kiln

    arang untuk proses aktivasi berbentuk tabung yang dilengkapi dengan ulir tetap

    pada selimut dalam tabung. Bahan konstruksi dinding tabung bagian dalam adalah

    bata tahan api dan bagian luar adalah logam untuk penahan. Pemanasan arang

    dalam tabung dilakukan secara langsung dengan burner bersama uap air panas.

    Suhu aktivasi sekitar 900-1.0000C. Lamanya aktivasi sekitar 2 - 4 jam. Ukuran

    kiln tergantung pada kapasitas produksi dan lamanya aktivasi yang diinginkan.

  • 20

    Pembuatan arang aktif dengan cara rotary ini dapat dilakukan dengan

    menggunakan pemanas listrik melalui beberapa elektroda bertegangan tinggi.

    Mekanisme pemanasan adalah memanfaatkan daya hantar listrik pada arang,

    sehingga berfungsi seperti kawat elemen listrik. Cara ini adalah merupakan

    teknologi terbaru, namun kelemahannya adalah untuk mencapai suhu 9000C di

    dalam kiln diperlukan bahan baku arang dengan kadar karbon yang tinggi agar

    sifat daya hantar listriknya maksimal dan tidak terjadi penurunan suhu terutama

    pada waktu dialirkan uap air panas. Kapasitas produksi yang umumnya dimiliki

    oleh industri arang aktif adalah sebesar 1 ton/hari dengan kebutuhan bahan baku

    2,5 kg arang tempurung kelapa berbentuk granular yang dapat menghasilkan 1 kg

    arang aktif dan kebutuhan listrik minimal 12 kW.

    2.7. Briket Arang

    Briket arang adalah arang yang diolah lebih lanjut menjadi bentuk briket

    (penampilan dan kemasan yang lebih menarik) yang dapat digunakan untuk

    keperluan energi sehari-hari. Briket adalah bahan yang berbentuk serbuk yang

    ditambahkan larutan perekat kemudian diproses akhirnya mempunyai bentuk,

    ukuran, dan kerapatan tertentu. Briket digunakan sebagai bahan bakar alternatif.

    Gambar 2.2 Briket

  • 21

    Arang dalam bentuk briket memiliki kelebihan dibandingkan dalam

    bentuk arang, menurut Hendra Capah (2007) keuntungan dari briket arang adalah

    sebagai berikut :

    1. Memperbesar rendemen pada pembuatan arang karena arang yang diperoleh

    dapat dipergunakan dalam pembuatan briket arang.

    2. Bentuknya seragam dan lebih padat atau memperkecil tempat penyimpanan

    dan transportasi.

    3. Kualitas pembakaran lebih baik apabila digunakan tambahan yang sesuai.

    4. Lebih menguntungkan karena pada umunya 40% terdiri dari bahan baku arang

    yang nilainya lebih rendah dari arang.

    Beberapa jenis briket yang biasa dilakukan diantarannya:

    1. Jenis berkarbonisasi. Jenis ini mengalami terlebih dahulu proses dikarbonisasi

    sebelum menjadi briket. Dengan proses karbonisasi zat-zat terbang yang

    terkandung dalam briket bahan dasar tersebut diturunkan serendah mungkin

    sehingga produk akhirnya tidak berbau dan berasap, namun biaya produksi

    menjadi meningkat karena pada bahan dasar tersebut terjadi rendeman sebesar

    50%. Briket ini cocok digunakan untuk keperluan rumah tangga serta lebih

    aman dalam penggunaannya.

    2. Jenis non karbonisasi. Jenis ini tidak mengalami dikarbonisasi sebelum

    diproses menjadi briket dan harganya lebih murah. Karena zat terbangnya

    masih terkandung dalam briket bahan dasarnya maka pada penggunaanya

    lebih baik menggunakan tungku (bukan kompor), sehingga akan

    menghasilkan pembakaran yang sempurna dimana seluruh zat terbang yang

    muncul dari briket akan habis terbakar oleh lidah api dipermukaan tungku.

    Briket ini umumnya digunakan untuk industri kecil (Mulia Arganda, 2007).

    Dalam pemakaian briket arang harus diperhatikan nilai kalor dari briket

    pada tabel 2.4. Demikian juga untuk pengujian briket arang aktif perlu

    diperhatikan beberapa persyaratan yang disajikan dalam tabel 2.5.

  • 22

    Tabel 2.4 Harga-harga Kalor Dari Beberapa Bahan Bakar

    JENIS BAHAN BAKAR NILAI KALORI (kkal/kg)

    Sekam padi 3397

    Kayu campuran 4382

    Sabuk kelapa 4412

    Cangkang kelapa 4636

    Kayu jati 4681

    Kayu karet 4917

    Batubara 4200

    Minyak bakar 10500

    Sumber : Helena (2002)

    Keberadaan briket sebagai salah satu sumber energi pada prinsipnya harus

    memenuhi syarat:

    1. Tidak berasap

    2. Tidak berbau

    3. Dapat dinyalakan dengan cepat

    4. Efisiensi pancaran panasnya tinggi

    5. Cukup kuat selama penanganan dan pengangkutan

    6. Padat dan kompak sehingga mengurangi bahaya pengangkutan dalam

    pengiriman serta tidak memerlukan ruang penyimpanan yang besar

    7. Kadar zat terbang (volatile) tidak kurang dari 3% dan lebih besar dari 20%

    8. Kadar abu dibawah 80% dan memerlukan sedikit perhatian selama

    pembakaran.

  • 23

    Tabel 2.5 Standarisasi Mutu Briket Arang Aktif

    No Jenis penetapan Satuan Inggris USA Japan

    1 Kadar air % 3.6 6,2 6-8

    2 Zat terbang % 16.4 - 15-30

    3 Kadar abu % 8.3 5,9 3-6

    4 Fixed Carbon % 75.3 - 60-80

    5 Nilai kalori kkal/gr 7289 6230 6000-7000

    6 Sulfur % - 0,07 0,06

    Sumber : Helena (2002)

    2.8. Proses Pembuatan Briket Arang

    Briket terhadap sesuatu material merupakan cara untuk mendapatkan

    bentuk dan ukuran yang dikehendaki agar dapat dipergunakan untuk keperluan

    tertentu. Gambut dapat diproses lebih lanjut menjadi briket dengan bentuk,

    ukuran, dan kerapatan tertentu. Untuk mendapatkan briket dapat melalui proses

    penekanan terhadap campuran gambut dan perekat yang kemudian dilakukan

    proses pengeringan terhadap briket tersebut pada temperatur dan waktu tertentu.

    Briket dapat digunakan sebagai bahan bakar setelah dilakukan pencetakan

    menjadi briket berbentuk kubus atau bentuk silinder. Bagian tengah silinder yang

    diberi lubang untuk mempermudah penyalaan briket tersebut pada awal

    pembakaran.

    Secara garis besar briket dapat dibedakan atas dua macam yaitu:

    1. Briket yang memakai bahan pengikat. Hampir semua atau sebagian besar

    briket mempergunakan cara ini.

    2. Briket tanpa memakai bahan pengikat. Cara ini hanya dapat dapat dilakukan

    terhadap material-material tertentu saja. Cara ini dapat dilakukan dengan

    mempergunakan tekanan yang sangat besar.

  • 24

    2.9. Bahan Perekat

    Untuk merekatkan partikel-partikel zat dalam bahan baku pada proses

    pembuatan briket maka diperlukan zat pengikat sehingga dihasilkan briket yang

    kompak. Berdasarkan fungsi dari pengikat dan kualitasnya, pemilihan bahan

    pengikat dapat dibagi sebagai berikut :

    1. Berdasarkan sifat / bahan baku perekatan briket :

    Adapun karakteristik bahan baku perekatan untuk pembuatan briket adalah

    sebagai berikut :

    a. Memiliki gaya kohesi yang baik bila dicampur dengan semikokas atau batu

    bara.

    b. Mudah terbakar dan tidak berasap.

    c. Mudah didapat dalam jumlah banyak dan murah harganya.

    d. Tidak mengeluarkan bau, tidak beracun dan tidak berbahaya.

    2. Berdasarkan jenis

    Jenis bahan baku yang umum dipakai sebagai pengikat untuk pembuatan

    briket, yaitu :

    a. Perekat anorganik

    Pengikat anorganik dapat menjaga ketahanan briket selama proses

    pembakaran sehingga dasar permeabilitas bahan bakar tidak terganggu.

    Pengikat anorganik ini mempunyai kelemahan yaitu adanya tambahan abu

    yang berasal dari bahan pengikat sehingga dapat menghambat pembakaran

    dan menurunkan nilai kalor. Contoh dari pengikat anorganik antara lain

    semen, lempung, natrium silikat.

    b. Perekat organik

    Pengikat organik menghasilkan abu yang relatif sedikit setelah pembakaran

    briket dan umumnya merupakan bahan perekat yang efektif. Contoh dari

    pengikat organik di antaranya kanji, tar, aspal, amilum, molase dan parafin.

  • 25

    1. Clay (lempung)

    Clay atau yang sering disebut lempung atau tanah liat umumnya banyak

    digunakan sebagai bahan perekat briket. Jenis-jenis lempung yang dapat

    dipakai untuk pembuatan briket terdiri dari jenis lempung warna kemerah-

    merahan, kekuning-kuningan dan abu-abu. Perekat jenis ini menyebabkan

    briket membutuhkan waktu yang lama untuk proses pengeringannya dan

    briket menjadi agak sulit menyala ketika dibakar.

    2. Tapioka

    Jenis tapioka beragam kualitasnya tergantung dari proses pembuatannya

    terutama pencampuran airnya dan pada saat dimasak sampai mendidih.

    Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi

    dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan

    puding, sop, pengolahan sosis daging, dan lain-lain.

    3. Getah Karet

    Daya lekat getah karet lebih kuat dibandingkan dengan tanah liat dan

    tapioka. Namun, ongkos produksinya lebih mahal dan agak sulit

    mendapatkannya karena harus membeli. Briket dengan perekat jenis ini

    akan menghasilkan asap tebal berwarna hitan dan beraroma kurang sedap

    bila dibakar.

    4. Getah Pinus

    Keunggulan perekat ini terletak pada daya benturannya yang kuat,

    meskipun dijatuhkan dari tempat yang tinggi briket akan tetap utuh serta

    mudah menyala jika dibakar. Namun asap yang keluar cukup banyak dan

    menyebabkan bau yang agak menusuk hidung.

  • 26

    Tabel 2.6 Daftar Analisa Bahan Perekat

    Jenis

    Tepung

    Air

    (%)

    Abu

    (%)

    Lemak

    (%)

    Protein

    (%)

    Serat

    Kasar

    (%)

    Karbon

    (%)

    Tepung

    Jagung

    10,52 1,27 4,89 8,48 1,04 73,80

    Tepung

    7,58 0,68 4,53 9,89 0,84 76,90

    Tepung

    Terigu

    10,70 0,86 2,0 11,50 0,64 74,20

    Tepung

    Tapioka

    9,84 0,36 1,5 2,21 0,69 85,20

    Tepung

    Sagu

    14,10 0,67 1,03 1,12 0,37 82,70

    2.10. Perekat Tapioka

    Gambar 2.3 Tepung Tapioka

    Perekat tapioka umum digunakan sebagai bahan perekat pada briket arang

    karena banyak terdapat dipasaran dan harganya relatif murah. Perekat ini dalam

    penggunaannya menimbulkan asap yang relatif sedikit dibandingkan bahan

    lainnya.

    Perekat pati dalam bentuk cair sebagai bahan perekat menghasilkan briket

    arang bernilai rendah dalam hal kerapatan, keteguhan tekanan, kadar abu dan zat

    mudah menguap, tetapi akan lebih tinggi dalam hal kadar air, karbon terikat dan

    nilai kalornya apabila dibandingkan dengan briket arang yang menggunakan

    perekat molase.

  • 27

    Tepung bila diproses secara hidrolisa, dinding sel tepung berangsur-angsur

    akan membentuk gelatin karena molase dari tepung mengubah sifat dirinya

    menjadi kolodial dan kemudian terbentuk pasta, sifat ini disebut gelatinasi.

    Terbentuknya gelatinasi untuk tepung kanji memerlukan panas sekitar 60-640C.

    Kadar perekat dalam briket arang tidak boleh terlalu tinggi karena dapat

    mengakibatkan penurunan mutu briket arang yang sering menimbulkan banyak

    asap.

    Tabel 2.7 Komposisi kimia pati

    Komposisi Jumlah (%)

    Air

    Proton

    Lemak

    Abu

    Serat Kasar

    8-9

    0,3-1,0

    0,1-0,4

    0,1-0,8

    81-89