3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Aspergillus flavus Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti, ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff 1978). Sistem klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA. Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang digunakan (Abbas 2005). Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu beradaptasi pada a w (water activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila dibandingkan dengan Penicillium (Hocking 2006). Genus ini, sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia (Hocking 2006; Pitt 2006). Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1. Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang tinggi (Scheidegger dan Payne 2003). Sifat morfologis Aspergillus Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar (Hedayati et al. 2007)
19
Embed
Uji potensi isolat lokal Aspergillus flavus sebagai penghasil … · peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspergillus flavus
Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang
yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti,
ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff 1978). Sistem
klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan
evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA.
Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat
menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang
digunakan (Abbas 2005). Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu
beradaptasi pada aw (water activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila
dibandingkan dengan Penicillium (Hocking 2006). Genus ini, sekalipun memerlukan waktu
yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu
memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia
(Hocking 2006; Pitt 2006). Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat
ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat
anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim
dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada
media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1.
Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan
peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun
binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi
mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika
kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara
yang tinggi dan suhu yang tinggi (Scheidegger dan Payne 2003). Sifat morfologis Aspergillus
Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar (Hedayati et al. 2007)
4
flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki
sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk
rantai berwarna hijau, coklat atau hitam (Smith dan Pateman 1977). Ruiqian et al. (2004)
menyatakan bahwa tampilan mikroskopis Aspergillus flavus memiliki konidiofor yang panjang
(400-800 µm) dan relatif kasar, bentuk kepala konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan
bentuk bola, hifa berseptum, dan koloni kompak (Gambar 2). Koloni dari Aspergillus flavus
umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari (Ruiqian et al.
2004). Kapang ini memiliki warna permulaan kuning yang akan berubah menjadi kuning
kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat keemasan atau tidak berwarna, sedangkan
koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007).
Keberagaman ceruk ekologi yang dicakup oleh Aspergillus sub-genus Aspergillus bagian Flavi
(grup Aspergillus flavus) dipadukan dengan kemampuan beberapa spesiesnya untuk
memproduksi aflatoksin menjadikan grup Aspergillus flavus sebagai grup yang paling banyak
dipelajari hingga saat ini.
Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus (Hedayati et al. 2007)
Aspergillus flavus tersebar luas di dunia. Hal ini disebabkan oleh produksi konidia yang
dapat tersebar melalui udara (airborne) dengan mudah maupun melalui serangga. Komposisi
atmosfir juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kapang dengan kelembaban
sebagai variabel yang paling penting (Hedayati et al. 2007). Tingkat penyebaran Aspergillus
flavus yang tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang
keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam
mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman (Bhatnagar 2000).
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang
sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya
untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi (Abbas 2005). Kedua spesies
tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus flavus yang
5
mengkontaminasi produk agrikultur (Yu et al. 2002). Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe
toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus sp. umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C
dengan suhu optimum berkisar 35-38°C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum
80% (aw minimum=0.80) dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw
minimum pembentukan aflatoksin=0.83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora
adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%. Kenaikan suhu, pH, dan persyaratan
lingkungan lainnya akan menyebabkan aw minimum bertambah tinggi (Makfoeld 1993).
Tampilan mikroskopis Aspergillus flavus dapat dilihat lebih jelas melalui mikroskop tiga dimensi
(Gambar 3).
Vujanovic et al. (2001) berpendapat bahwa Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal
pada aw 0.86 dan 0.96. Sauer (1986) menyatakan bahwa Aspergillus flavus tidak akan tumbuh
pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di bawah 16%. Aw minimum yang
dibutuhkan Aspergillus flavus untuk tumbuh adalah 0.80 (Richard et al. 1982). Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia, mulai
dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan angioinvasion.
Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi granulomatous sinusitis
kronis, keratitis, cutaneous aspergillosis, infeksi luka, dan osteomyelitis yang mengikuti trauma
dan inokulasi (Hedayati et al. 2007). Semntara itu, Aspergillus flavus cenderung lebih
mematikan dan tahan terhadap antifungi dibandingkan hampir semua spesies Aspergillus yang
laiinya (Hedayati et al. 2007). Selain itu, kapang tersebut juga mengkontaminasi berbagai
produk pertanian di lapangan, tempat penyimpanan, maupun pabrik pengolahan sehingga
meningkatkan potensi bahaya dari Aspergillus flavus (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007).
Hedayati (2007) menyatakan bahwa penyebaran Aspergillus flavus yang merata sangat
dipengaruhi oleh iklim dan faktor geografis Pertumbuhan Aspergillus flavus dipengaruhi oleh
lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan
Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus (Reddy et al. 2010)
6
magnesium) dan unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum). Faktor lain yang
juga berpengaruh antara lain cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain.
Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30˚C dengan Rh ≥
95% (Onions et al. 1981). Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O2 dan
N2 akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan
oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan kadar O2 minimum
1% untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah
penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.
B. Aflatoksin
Aflatoksin merupakan sekelompok toksin yang memiliki struktur molekul yang mirip
(Ruiqian et al. 2004). Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus
ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal
dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu (Yu et al.
2002). Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung
kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak
mengungkapkan keberadaan sejenis kapang (Goldbatt 1969; Ruiqian et al. 2004). Toksin
tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut.
Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat
menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies
dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen
maupun selama penyimpanan (Yu et al. 2004; Yusrini 2005). Aflatoksin memiliki karakteristik
seperti dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Aflatoksina
Aflatoksin Rumus Molekul Berat Molekul Titik leleh (0C)
Salt) (Davis et al. 1966; Maggon et al. 1969; Reddy et al. 1971; Saxena et al. 1988; Nazari
2010). Media sintetis kompleks umumnya mengalami modifikasi dalam komposisinya untuk
mempelajari aspek korelasi antara komposisi media dan pertumbuhan mikroba yang dibiakan
serta menemukan komposisi medium yang paling tepat untuk suatu jenis mikroba tertentu yang
ditumbuhkan.
Pemilihan media untuk kultivasi strain Aspergillus flavus lokal yang digunakan akan
mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin yang dihasilkan. Berbagai media
sintetis maupun semisintetis menunjukkan adanya produksi aflatoksin yang tinggi terutama
media YES (Yeast Extract Sucrose) dan GAN (Glucose Ammonium Nitrate) (Davis et al. 1966;
Reddy et al. 1971).
16
Davis et al. (1966) melaporkan tentang adanya produksi aflatoksin B1 dan G1 yang
tinggi pada medium YES (Yeast Extract Sucrose) yang mengandung 20% sukrosa dan 2%
ekstrak yeast.. Hasil percobaan Davis et al. (1966) dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah.
Tabel 7. Produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus pada medium YESa
Periode Inkubasi
(hari)
Kandungan Aflatoksin (ppb)*
Berat miselia
kering (g/100
mL)
B1 G1
2 0,9 1000 1000
3 2,1 4000 10000
5 3,8 20000 53000
7 3,5 20000 53000
12 4,2 20000 53000
15 3,8 18000 48000
18 4,1 16000 42000 asumber: Davis et al. (1966)
Sementara itu, Maggon et al. (1969) melakukan penelitian produksi aflatoksin pada
beberapa strain Aspergillus flavus menggunaan medium GAN. Medium GAN (Glucose
Ammonium Nitrate) merupakan medium stasioner sintetis yang mampu menunjukkan hasil
produksi aflatoksin yang tinggi pada beberapa strain Aspergillus flavus (Brian et al. 1961).
Meskipun demikian medium GAN memberikan hasil yang rendah pada beberapa strain tertentu
(Maggon et al. 1969). Hasil percobaan Moggan et al. (1969) dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Produksia aflatoksin Bb pada medium GANc
Strain
Kandungan Aflatoksin (ppb)*
Medium GAN Medium GAN+ 2%
medium groundnut
DU/KR 79 A 8300 18100
DU/KR 79 C 9300 21300
DU/KR 79 D 15100 28700
DU/KR 79 E 1300 0
DU/KR 79 F 0 6800
DU/KR 79 G 10900 15000
DU/KR 79 K 0 500 aProduksi aflatoksin merupakan nilai rata-rata dari dua set percobaan yang diukur setelah inkubasi selama 7 hari dengan suhu 25˚C (pH awal=7,00) bNilai aflatoksin merupakan nilai total dari aflatoksin B1 dan B2
17
cSumber: Moggan et al. (1969)
Nazari (2010) menyatakan bahwa banyak media sintentis telah tersedia secara
komersial termasuk media yang telah ditambahkan komponen khusus sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan mikroba yang diinginkan atau menghambat pertumbuhan mikroba
kompetitor
Media sintetis yang umum digunakan untuk pertumbuhan fungi seperti PDB juga
menunjukkan hasil positif dalam memproduksi aflatoksin meskipun jumlahnya pada umumnya
tidak tinggi (Reddy et al. 1971; Kusumaningtyas 2007). Media sintetis kompleks dan media
dengan ekstrak crude telah direkomendasikan untuk produksi aflatoksin dalam jumlah tinggi dari
Aspergillus (Reddy et al. 1971). Meskipun media sintetis dapat menunjukkan produksi aflatoksin
yang tinggi pada suatu strain, perubahan strain maupun komposisi media dapat secara signifikan
berpengaruh terhadap produksi aflatoksin.
D. Analisis Aflatoksin
a. ELISA
Berbagai teknik analisis seperti HPLC (High Performance Liquid
Chromatography), GC (Gas Chromatography), dan TLC (Thin Layer Chromatography)
secara umum tersedia untuk analisis aflatoksin (Sekhon et al. 1996). Meskipun demikian
metode analisis diatas dinilai kurang efisien dan cukup mahal karena membutuhkan clean
up sampel yang ekstensif dan instrumen yang mahal sehingga tidak cocok untuk keperluan
seleksi yang membutuhkan metode yang cepat dan peralatan sederhana sehingga bisa
dilakukan dengan cepat di lapangan (Sekhon et al. 1996; Rachmawati 2005). Metode
ELISA sudah menjadi metode seleksi umum yang diakui sebagai metode kuantitatif
dikarenakan memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi dengan preparasi sampel
minimal, prosedur kerja yang cepat, dan mampu menseleksi sampel dalam jumlah banyak
(Patey et al. 1992; Sekhon et al. 1996; Wilson 2000; Zahn et al. 2009). Meskipun
demikian, metode ELISA memiliki kelemahan yaitu adanya reaksi silang dengan
komponen lain yang memiliki struktur molekul yang mirip (Wilson 2000).
ELISA adalah suatu teknik deteksi yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara
antigen dan antibodi. Metode ini, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
dengan enzim sebagai indikator (Burgess 1995). Prinsip dasar analisis ELISA ialah
terjadinya kompetisi antara standar AFB1 atau sampel dengan enzim konjugat untuk
berikatan dengan antibodi affinitas tinggi yang teradsorpsi secara pasif pada plat mikro.
Enzim konjugat yang tidak berikatan dengan antibodi yang terlapis pada plat mikro akan
tercuci dan enzim yang mengikat antibodi pada plat mikro akan bereaksi dengan substrat
dan memberikan warna hijau kebiruan (Burgess 1995; Rachmawati 2005; Weck dan
Vanputte, 2006). Semakin tinggi AFB1 pada sampel atau standar, semakin sedikit enzim
konjugat yang berikatan dengan antibodi, maka warna yang terbentuk akan semakin pudar
(Stanker et al. 1995). Reaksi dihentikan dengan penambahan larutan penghenti dan
intensitas warna yang terbentuk diamati. Hasil analisis ditentukan secara kualitatif dengan
pandangan mata atau kuantitatif dengan membaca optical density (OD) pada ELISA-reader
(Burgess 1995). ELISA–Kit Aflavet menunjukkan respon antibodi spesifik terhadap
AFB
reak
lang
tahu
kit A
Pene
mem
spes
(AF
sam
ELI
deka
kebu
b. TL
B1, namun ma
ksi silang den
gsung dapat dil
Uji ELISA
un 1977 dengan
Aflavet dengan
elitian Veterin
miliki keuntun
sifisitas tinggi,
FB1 100%, AF
mpel (duplo) sek
SA untuk anal
ade terakhir k
utuhan analisis
C
asih terjadi se
ngan AFG1 ti
lihat pada Gam
Gambar 7
A untuk aflatok
n nilai sensitiv
n nilai sensitivi
ner (Balitvet)
ngan antara la
reprodusibel,
FB2 0,9%, AFG
kaligus atau 80
lisis aflatoksin
karena prosed
s disertai spesif
edikit reaksi s
idak begitu ny
mbar 7.
7. Format ELIS
ksin B1 pertam
vitas sebesar 4
itas 0,3 ng/mL
akan digunaka
ain waktu an
kisaran analisi
G1 3,1%, dan
0 sampel secar
n dan metabolit
durnya yang
fisitas dan sens
ilang dengan
yata. Secara
SA kompetitif l
ma kali dilaku
ng/mL sampel
sampel yang d
an dalam pene
nalisis yang c
is 0,3-30 ppb,
n AFG2 1,6%)
ra simplo (Rac
t lainnya terlah
sederhana dan
sitivitas yang ti
AFB2 dan AF
sederhana pr
langsung
ukan oleh Chu
l (Sekhon et al
dikembangkan
elitian ini. EL
cepat dengan
reaksi silang y
, dan mampu
chmawati et al.
h berkembang
n mudah bera
inggi (Lee et a
FG2, sedangk
rinsip kompet
u dan Ueno pa
l. 1996). ELISA
oleh Balai Bes
LISA kit Aflav
sensitivitas d
yang cukup ke
menganalisis
. 2004). Meto
pesat dalam d
adaptasi deng
al. 2004).
18
kan
tisi
ada
A-
sar
vet
dan
cil
40
ode
dua
gan
19
Kromatografi didefinisikan sebagai metode analisis dimana sebuah fase gerak
bergerak melewati fase stasioner sehingga campuran senyawa dapat dipisahkan dalam
komponen-komponennya. Penggunaan istilah TLC (Thin Layer Chromatografy) dimulai
oleh E. Stahl pada tahun 1956 yang berarti proses pemisahan secara kromatografis dimana
fase stasioner yang tersusun atas lempeng tipis yang dilapisi solid absorbent setebal kira-
kira 0,25 mm diaplikasikan pada fase gerak yang berupa cairan (Fried and Sherma 1999;
Hahn-Deinstrop 2007).
Prinsip dasar TLC adalah penempatan sampel uji pada fase stasioner yang berupa
lempeng tipis dan sampel akan bergerak sampai batas tertentu dengan bantuan fase gerak
karena adanya gaya kapiler. Selama perjalanan dari titik spotting hingga batas perambatan
akan terjadi pemisahan campuran senyawa uji karena adanya perbedaan sifat antara
senyawa-senyawa tersebut ketika berinteraksi dengan fase stasioner. Metode TLC umum
digunakan dalam berbagai analisis termasuk analisis aflatoksin karena metode ini
menggunakan pelarut dalam jumlah sedikit, waktu pengembangan yang singkat, fase gerak
dapat dengan mudah diganti, dan mampu menganalisis sampel secara simultan.
Sejak penemuan aflatoksin pada tahun 1961, metode TLC telah menjadi metode
pilihan untuk menganalisis aflatoksin maupun toksin lainnya. Meskipun aplikasinya dalam
publikasi akhir-akhir ini semakin menurun, metode TLC masih digunakan secara rutin dan
ekstensif di seluruh dunia.
Analisis aflatoksin menggunakan TLC dapat dilakukan secara kuantitatif dengan
menggunakan metode perbandingan dengan standar (Jones 1972). Aflatoksin merupakan
senyawa yang dapat berpendar sehingga intensitas fluoresensi sampel pada lempeng TLC
dapat diamati di bawah UV-reader pada panjang gelombang tertentu. Analisis dilakukan
dengan membandingkan intensitas fluoresensi sampel dengan sederetan fluresensi standar
dari berbagai konsentrasi dengan batas kesalahan 10-20%.
Metode TLC merupakan metode kromatografi yang lebih sederhana, ekonomis, dan
memiliki peralatan yang kurang canggih dibandingkan metode kromatografi lainnya,
namun banyaknya waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan serta keterbatasan dalam tingkat
akurasi membatasi penggunaannya dalam ranah penelitian (Lee et al. 2004; Ruiqian et al.
2004). Meskipun demikian metode TLC masih sering digunakan terutama apabila sampel
yang dianalisis bisa merusak kolom pada LC (Liquid Chromatography) atau GC (Gas
Chromatograhy), sampel bersifat non-volatil atau memiliki volatilitas yang rendah, dan
sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan dan cost-effective dalam
periode waktu yang terbatas (Hahn-Deinstrop 2007).
c. HPLC
HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan salah satu metode
analisis yang paling sering digunakan. HPLC menggunakan fase gerak cair untuk
memisahkan komponen-komponen dalam campuran dengan fase stasioner yang bisa berupa
cairan maupun padatan. Komponen-komponen tersebut dilarutkan dalam pelarut dan
kemudian dialirkan dengan tekanan tinggi melewati kolom kromatografi. Fase stasioner
didefinisikan sebagai material yang terimobilisasi dalam kolom. Interaksi antara larutan
sampel dengan fase gerak dan fase stasioner bisa dimanipulasi melalui beragam pilihan
20
pelarut maupun fase stasioner. Hal tersebut menjadikan metode HPLC sebagai metode
dengan kegunaan yang luas dalam analisis.
HPLC pada dasarnya merupakan sebuah proses adsorpsi yang dinamis (Skoog et al.
2007). Molekul analit yang bergerak melewati packing bead yang berongga akan
berinteraksi dengan titik-titik adsorpsi permukaan. Interaksi yang terjadi umumnya
ditentukan oleh jenis HPLC. Pada HPLC Reversed Phase (RP) interaksi terjadi secara
hidrofobik. Pada HPLC Normal Phase interaksi dominan terjadi secara polar dalam bentuk
interaksi dipol-dipol dimana molekul polar akan tertahan pada fase stasioner sedangkan
molekul yang non-polar akan terbawa oleh fase gerak. Sementara itu, HPLC dengan
pertukaran ion akan terjadi interaksi ionik. Semua jenis interaksi diatas bersifat kompetitif.
Molekul analit akan berkompetisi dengan molekul eluen pada titik-titik adsoprsi.
HPLC Reversed Phase (RP) merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam
analisis mencakup hampir 90% dari semua aplikasi kromatografi. Metode HPLC
membutuhkan prosedur clean up yang ekstensif dan proses derivatisasi untuk
meningkatkan sensitivitas deteksi serta tenaga kerja terlatih untuk mengoperasikannya (Lee
et al. 2004).
Metode HPLC memiliki beberapa keunggulan antara lain mampu menangani
senyawa yang stabilitasnya terhadap suhu terbatas, mampu memisahkan senyawa yang
serupa dengan resolusi yang baik, waktu yang diperlukan untuk pemisahan relatif singkat,
hasil analisis kuantitatif mampu memberikan presisi yang tinggi dan teknik analisisnya
yang peka. Skema kerja alat HPLC dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Skema kerja alat HPLC.
Reservoir merupakan tempat menghilangkan udara ataupun gas yang terkandung
dalam pelarut untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya resolusi yang buruk dengan
menggunakan bantuan pompa vakum. Sistem pompa juga digunakan untuk mengalirkan
pelarut sebagai fase gerak ke seluruh sistem. Sampel uji dinjeksikan ke dalam kolom
menggunakan injektor berupa katup injeksi. Injeksi dilakukan secara langsung ke dalam
kolom menggunakan syringe untuk memperoleh efisiensi yang tinggi. Kolom merupakan
21
tempat fase stasioner terimobilisasi. Efisiensi kolom akan dipengaruhi oleh besarnya
partikel fase diam. Semakin kecil ukuran fase diam, semakin besar efisiensi kolom. Deteksi
pada alat HPLC dilakukan oleh detektor. Detektor harus memiliki sensitivitas yang tinggi,
bersifat inert untuk jangka konsentrasi tertentu dan dapat mendeteksi eluen tanpa
mempengaruhi resolusi kromatogram. Hasil deteksi kemudian diolah menjadi data
kromatogram dalam rekorder dan disimpan dalam sistem data.
Metode HPLC merupakan salah satu metode analisis aflatoksin yang paling banyak
dilakukan. Metode ini berguna dalam penentuan kemurnian dan perhitungan kandungan
aflatoksin dalam sampel secara kuantitatif, serta mampu mendeterminasi kandungan
aflatoksin dalam sejumlah sampel dengan lebih akurat (Ruiqian et al. 2004).