UJI KANDUNGAN VITAMIN B 12 PADA TEMPE KEDELAI MENGGUNAKAN INOKULUM Saccharomyces cerevisiae DAN Klebsiella sp. SELAMA FERMENTASI (Skripsi) Oleh PENI PUJI ASTUTI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018
UJI KANDUNGAN VITAMIN B12 PADA TEMPE KEDELAIMENGGUNAKAN INOKULUM Saccharomyces cerevisiae DAN
Klebsiella sp. SELAMA FERMENTASI
(Skripsi)
Oleh
PENI PUJI ASTUTI
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
ABSTRAK
UJI KANDUNGAN VITAMIN B12 PADA TEMPE KEDELAIMENGGUNAKAN INOKULUM Saccharomyces cerevisiae DAN
Klebsiella sp. SELAMA FERMENTASI
Oleh
PENI PUJI ASTUTI
Tempe adalah salah satu produk hasil fermentasi dari kedelai oleh kapang Rhizopus
oligosporus. Tempe juga adalah pangan dengan kandungan vitamin B12 dan satu-
satunya pangan dari tanaman sebagai sumber vitamin. Dinding sel Saccharomyces
cerevisiae mangandung betaglukan yang juga berfungsi sebagai antimikroba dan
mampu meningkatkan kandungan vitamin B12 pada tempe. Terjadi peningkatan kadar
vitamin B12 yang diproduksi oleh bakteri kontaminan Citrobacter freundii dan
Klebsiella pneumonia selama fermentasi tempe. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh masing-masing penambahan S. cerevisiae dan Klebsiella sp.
terhadap kandungan vitamin B12 pada tempe kedelai dan mengetahui pengaruh
penambahan campuran S. cerevisiae dan Klebsiella sp. terhadap kandungan vitamin
B12 pada tempe kedelai. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif dan
ditampilkan dalam bentuk tabel. Penelitian ini dirancang dengan 5 perlakuan yaitu
(I1) Kedelai + R. oligosporus. (I2) Kedelai + R. oligosporus + S. cerevisiae. (I3)
Kedelai + R. oligosporus + S. cerevisiae + Klebsiella sp. (I4) Kedelai + R.
oligosporus + Klebsiella sp. (I5) Kedelai + Klebsiella sp. Setiap perlakuan dilakukan
pengulangan sebanyak 4 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan
vitamin B12 tertinggi terdapat pada kedelai yang diinokulasi dengan campuran R.
oligosporus dan S. cerevisiae, yaitu sebesar 252 µg/100 g, sedangkan kandungan
vitamin B12 terendah terdapat pada kedelai yang diinokulasikan dengan campuran R.
oligosporus dan Klebsiella sp., yaitu sebesar 65 µg/100 g. Kedelai yang diinokulasi
dengan R. oligosporus, campuran R. oligosporus, S. cerevisiae, dan Klebsiella sp.,
serta Klebsiella sp. menghasilkan tempe dengan kandungan vitamin B12 berturut-turut
sebesar 230 µg/100 g, 131 µg/100 g, dan 77 µg/100 g. Penelitian ini menunjukkan
bahwa Klebsiella sp. bukan merupakan bakteri penghasil vitamin B12 pada tempe dan
penambahan S. cerevisiae mempengaruhi peningkatan kandungan vitamin B12 pada
tempe.
Kata kunci: Kedelai, Saccharomyces cerevisiae, Klebsiella sp., Vitamin B12
ABSTRACT
TEST OF VITAMIN B12 CONTENT IN SOYBEAN TEMPEH USINGINOCULUM Saccharomyces cerevisiae ANDKlebsiella sp. DURING FERMENTATION
By
PENI PUJI ASTUTI
Tempeh is one of the fermented soybeans product by the mold of Rhizopus
oligosporus. Tempeh is an extraordinary food because it contain vitamin B12 which is
the only vitamin absent from plant-derived food sources. Saccharomyces cerevisiae
cell wall contains betaglukan which also functions as an antimicrobial. While it was
found that modified tempeh with addition of S. cerevisiae produce high vitamin B12,
there was an increase levels of vitamin B12 produced by contaminant bacteria
Citrobacter freundii and Klebsiella pneumonia during tempeh fermentation. This
study aimed to determine the effect of addition of S. cerevisiae and Klebsiella sp. on
the content of vitamin B12 in soybean tempeh and to find out the effect of addition
coinoculated of S. cerevisiae and Klebsiella sp. content on vitamin B12 in soybean
tempeh. The data obtained were analyzed descriptively and displayed in table. This
study was arranged in 5 treatments, there were (I1) cooked soybean + R. oligosporus
(I2) cooked soybean + R. oligosporus + S. cerevisiae (I3) cooked soybean + R.
oligosporus + S. cerevisiae + Klebsiella sp. (I4) cooked soybean + R. oligosporus +
Klebsiella sp. (I5) cooked soybean + Klebsiella sp. The experiment was done in four
replications. The results showed that the highest of vitamin B12 was produced in
soybean fermentation coinoculated with R. oligosporus and S. cerevisiae, which was
252 µg/100 g. On the other hand, soybean fermentations coinoculated with R.
oligosporus and Klebsiella sp. produced the lowest vitamin B12, which was 65 µg/100
g. Cooked soybeans inoculated with R. oligosporus, cook soybean coinoculated with
R. oligosporus, S. cerevisiae, and Klebsiella sp., and cooked soybean coinoculated
with Klebsiella sp. produced tempeh with vitamin B12 content of 230 µg/100 g, 131
µg/100 g, and 77 µg/100 g, respectively. The conclusion was that Klebsiella sp. may
be not a vitamin B12 producing bacterium in tempeh; and the addition of S. cerevisiae
in soybean fermentation contributed to the increase of vitamin B12 in tempeh.
Key words: Soybeans, Saccharomyces cerevisiae, Klebsiella sp., Vitamin of B12
UJI KANDUNGAN VITAMIN B12 PADA TEMPE KEDELAIMENGGUNAKAN INOKULUM Saccharomyces cerevisiae DAN
Klebsiella sp. SELAMA FERMENTASI
OlehPENI PUJI ASTUTI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
Pada
Jurusan Teknologi Hasil PertanianFakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semuli Raya pada 27 Juli 1996, sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara, dari pasangan Alm. Bapak Slamet Subagio dan Ibu Lestari Budi
Rahayu. Penulis memiliki seorang kakak bernama Eria Sulistiani dan adik
bernama Asy Syifa Farhatunnisa.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Semuli Raya
pada tahun 2008, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP
IT Bustanul Ulum dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun yang sama, penulis
melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Abung Semuli dan lulus
pada tahun 2014. Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada tahun 2014 melalui jalur
tes tertulis Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Pada bulan Januari sampai dengan Februari 2017, penulis melaksanakan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) di Desa Joharan, Kecamatan Putra Rumbia, Kabupaten
Lampung Tengah dengan tema “Pemberdayaan Kampung Berbasis Informasi dan
Teknologi”. Pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2017, penulis melaksanakan
Praktik Umum (PU) di Desa Sinar Banten Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung
Tengah dan menyelesaikan laporan PU yang berjudul “Mempelajari Proses
x
Analisis Mutu Produk Crude Palm Oil (CPO) di PTPN VII Unit Bekri Lampung
Tengah”.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Asisten Dosen mata kuliah
Uji Sensori tahun ajaran 2016/2017, mata kuliah Biologi Umum tahun ajaran
2017/2018, dan mata kuliah Mikrobiologi Hasil Pertanian tahun ajaran
2017/2018.
SANWANCANA
Puji syukur Penulis panjatkan atas kasih sayang dan pertolongan Allah SWT,
karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Uji Kandungan Vitamin B12 pada Tempe Kedelai menggunakan
Inokulum Saccharomyces cerevisiae dan Klebsiella sp. selama Fermentasi”.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan,
dan dorongan baik itu langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si., selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
3. Ibu Dr. Dra. Maria Erna Kustyawati, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing
Akademik sekaligus sebagai Dosen Pembimbing satu skripsi, terimakasih atas
izin penelitian yang diberikan, arahan, saran, bantuan, motivasi, dan
bimbingan yang telah diberikan selama menjalani perkuliahaan dan selama
proses penelitian hingga penyelesaian skripsi Penulis.
4. Bapak Dr. Ir. Subeki, M.Si., M.Sc. selaku Dosen Pembimbing dua skripsi
atas saran, motivasi, dan bimbingan dalam proses penelitian dan penyelesaian
skripsi Penulis.
xii
5. Ibu Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si., selaku Dosen Pembahas atas saran, bimbingan,
dan evaluasinya terhadap karya skripsi Penulis.
6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar, staff administrasi dan laboratorium di
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
7. Ibu Lestari Budi Rahayu tercinta, Bapak Slamet Subagio (Alm), Mbak Eria,
dan Adek Syifa atas ridho, doa, serta dukungan baik materi dan moral,
sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Sahabat-sahabat ”Ummu Sulaim 11”, “Team”, “Golden Ranger”, “THP
2014”, teruntuk Evi Septia Ningsih yang telah menemani selama 4 tahun
perkuliahan, Lita Nurhayati yang telah memberikan motivasi dan nasihat,
Anang Ismarama yang telah membantu proses penelitian dan pengerjaan
skripsi, dan M. Iqbal Saputra yang telah mendukung saya selama ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dalam keridhoan-
Nya dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Aamiin.
Bandar Lampung, 12 November 2018
Penulis,
Peni Puji Astuti
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xv
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 11.1. Latar Belakang ............................................................................. 11.2. Tujuan Penelitian ......................................................................... 31.3. Kerangka Pemikiran...................................................................... 31.4. Hipotesis……................................................................................ 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 72.1. Kacang Kedelai ............................................................................ 72.2. Tempe…………………. ............................................................. 9
2.2.1. Syarat Mutu Tempe............................................................ 132.2.2. Mikrobiologi Tempe .......................................................... 14
2.3. Sianokonalamin............................................................................ 18
III. BAHAN DAN METODE………………………………………...… 213.1. Tempat dan Waktu Penelitian...................................................... 213.2. Bahan dan Alat ........................................................................... 213.3. Metode Penelitian ....................................................................... 223.4. Pelaksanaan Penelitian ............................................................... 22
3.4.1. Persiapan Pembuatan Biakan Klebsiella sp. ...................... 223.4.1.1. Pembuatan Media NA (Nutrient Agar)........................... 223.4.1.2. Pembiakan Klebsiella sp. ................................................ 233.4.2. Persiapan Pembuatan Biakan Rhizopus oligosporus ........ 243.4.2.1. Pembuatan Media PDA (Potato Dextrose Agar)............ 243.4.2.2. Pembiakan R. oligosporus .............................................. 253.4.3. Persiapan Pembuatan Biakan Saccharomyces cerevisiae.. 263.4.3.1. Pembuatan Media MEA (Malt Extract Agar)................. 263.4.3.2. Pembiakan S. cerevisiae.................................................. 273.4.3. Pembuatan Tempe Kedelai ................................................ 28
3.5. Pengamatan .................................................................................. 303.5.1. Total Mikroba ................................................................... 303.5.2. Waktu Generasi ................................................................. 313.5.3. Kandungan Vitamin B12 .................................................... 32
xvii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 344.1. Karakterisitik Fisik Tempe ........................................................ 344.2. Pertumbuhan Bakteri, R. oligosporus dan S. cerevisiae selama
Fermentasi Tempe ..................................................................... 364.3. Waktu Generasi ......................................................................... 394.4. Kandungan vitamin B12 ............................................................ 41
V. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 455.1. Kesimpulan ................................................................................ 455.2. Saran ......................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 46
LAMPIRAN ...............................................................................................50
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kandungan gizi kacang kedelai dalam 100 g bahan……………. ....... 8
2. Kandungan gizi tempe dalam 100 g bahan .......................................... 11
3. Spesifikasi standar mutu tempe kedelai ............................................... 13
4. Karakterisitik fisik tempe pada kedelai yang diinokulasikan denganberbagai inokulum selama fermentasi.................................................. 34
5. Jumlah sel bakteri, R. oligosporus, S. cerevisiae pada kedelai yangdiinokulasikan dengan berbagai inokulum selama fermentasi(CFU/mL)……………………………................................................. 37
6. Waktu generasi sel bakteri, R. oligosporus, dan S. cerevisiae padakedelai selama fermentasi .................................................................... 40
7. Kandungan vitamin B12 pada tempe hasil inokulasi berbagaiinokulum……… .................................................................................. 42
8. Jumlah total sel bakteri selama fermentasi kedelai yangdiinokulasikan dengan berbagai inokulum............................................ 50
9. Jumlah total sel R. oligosporus selama fermentasi kedelai yangdiinokulasikan dengan berbagai inokulum............................................ 51
10. Jumlah total sel S. cerevisiae selama fermentasi kedelai yangdiinokulasikan dengan berbagai inokulum............................................ 52
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Struktur kimia cyanocobalamin .......................................................... 19
2. Diagram alir proses pembiakan Klebsiella sp...................................... 24
3. Diagram alir proses pembiakan R. oligosporus ................................... 26
4. Diagram alir proses pembiakan S. cerevisiae ..................................... 28
5. Proses pembuatan tempe...................................................................... 29
6. Diagram alir analisis total mikroba...................................................... 31
7. Diagram alir analisis vitamin B12……………………………............. 33
8. Kedelai hasil inokulasi berbagai jenis inokulum: R. oligosporus (a),R. oligosporus dan S. cerevisiae (b), R. oligosporus, S. cerevisiaedan Klebsiella sp., (c) R. oligosporus dan Klebsiella sp. (d)Klebsiella sp. (e) .................................................................................. 36
9. Klebsiella sp. hasil peremajaan (a), R. oligosporus hasil peremajaan(b), S. cerevisiae hasil peremajaan (c), hasil pemanenan Klebsiella sp.(d), hasil pemanenan R. oligosporus (e), hasil pemanenanS. cerevisiae (f)............................................................ ........................ 53
10. Penampakan sel Klebsiella sp. (a), penampakan spora Rhizopusoligosporus (b), penampakan sel Saccharomyces cerevisiae(c) dengan perbesaran 40x menggunakan hemasitometer................... 54
11. Penampakan tempe (a), proses penggeringan tempe (b), tepungtempe dengan penambahan R. oligosporus (c), tepung tempetempe dengan penambahan campuran R. oligosporus danS. cerevisiae (d), tepung tempe dengan penambahan campuranR. oligosporus dan S. cerevisiae dan Klebsiella sp. (e), tepungtempe dengan penambahan campuran R. oligosporus danKlebsiella sp. (f), tepung tempe dengan penambahanKlebsiella sp. (g)……………………………….......... ........................ 55
xv
12. Tepung tempe yang telah ditambahkan 20 mL bufer fosfat(pH 2,6) (a), larutan tepung tempe dalam tabung sentrifuge (b),sentrifugasi larutan tepung tempe dengan kecepatan 4000 rpmselama 10 menit (c) .................................................. ........................... 56
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan bahan pangan jenis kacang-
kacangan yang dapat digunakan sebagai sumber protein, lemak, vitamin, mineral,
dan serat. Menurut Frias et al. (2008) dalam Kustyawati (2014), protein tempe
tersedia dalam bentuk protein terlarut dan asam-asam amino seperti isoleusin,
lisin, dan leusin terdapat dalam jumlah besar dan merupakan hasil hidrolisa
protein kedelai oleh Rhizopus oligosporus selama fermentasi. Kacang kedelai
memiliki senyawa anti gizi seperti antitripsin, hemaglutinin, asam fitat, dan
oligosakarida penyebab flatulensi. Menurut Deliani (2008), melalui fermentasi
akan terjadi peningkatan kualitas nutrisi, protein akan dirombak menjadi asam-
asam amino dan antinutrisi akan berkurang selama fermentasi.
Tempe adalah salah satu hasil fermentasi kedelai oleh kapang R. oligosporus.
Tempe merupakan produk pangan fungsional yang mempunyai ciri-ciri berwarna
putih, tekstur kompak, dan sliceable atau bisa diiris. Tempe memiliki berbagai
sifat unggul seperti mengandung lemak jenuh dan kadar vitamin B kompleks yang
tinggi, yaitu tiamin, riboflavin, asam pantotenat, niasin, pirodoksin, asam folat dan
sianokobalamin (Kustyawati, 2014). Cara pembuatan tempe pada dasarnya
meliputi tahapan sortasi dan pembersihan biji, hidrasi atau fermentasi asam,
2
penghilangan kulit, perebusan, penirisan, pendinginan, inokulasi dengan ragi
tempe, pengemasan, inkubasi dan pemanenan.
Fermentasi tempe terbagi menjadi dua fase, fase pertama telah terjadi sejak proses
perendaman kedelai sedangkan fase kedua terjadi saat penambahan inokulum.
Menurut Kustyawati (2014), fermentasi tempe pada tahap perendaman kacang
kedelai terjadi akibat adanya bakteri kontaminan. Kontaminan tersebut diduga
berasal dari bakteri jenis Klebsiella pneumonia dan Citrobacter freundii yang
berperan dalam peningkatan kadar vitamin tempe (Chamlagain et al., 2017). Fase
kedua proses fermentasi terjadi akibat penambahan ragi R. oligosporus, yang
menyebabkan terjadinya aktivitas enzimatik, terbentuknya miselium, dan
penetrasi ke dalam biji kedelai sehingga tempe menjadi kompak dan padat.
Tempe dihasilkan dari proses fermentasi dengan bantuan mikroba R. oligosporus,
namun dalam pembuatan tempe dapat juga ditambahkan ragi Saccharomyces
boulardii dan Klebsiella sp. karena diduga dapat meningkatkan kandungan
vitamin B12 pada tempe. Menurut WHO (2008) dalam Chamlagain et al. (2017),
kekurangan vitamin B12 dan asam folat merupakan salah satu permasalahan
kesehatan di dunia. Vitamin B12 sangat diperlukan dalam fungsi otak dan sistem
saraf, serta dalam pembentukan darah.
Saccharomyces boulardii merupakan khamir yang tergolong jenis Saccharomyces
cerevisiae, memiliki koloni yang dapat tumbuh pesat dalam waktu 3 hari,
memiliki kemampuan menghidrolisis karbohidrat dan tidak mampu
memanfaatkan nitrat. Kelebihan penggunaan S. cerevisiae sebagai inokulum yaitu
mampu mensintesis glukosa tanpa adanya oksigen. Menurut Ambarwati (2017)
3
dalam Pratiwi (2018), dinding sel S. cerevisiae mangandung betaglukan yang juga
berfungsi sebagai antimikroba. Selain itu, penambahan S. cerevisae akan
meningkatkan kandungan vitamin B12 pada tempe.
Menurut Chamlagain et al. (2017), pada fermentasi tempe terdapat dua bakteri
yang mempunyai kemampuan mensintesis vitamin B12. Kedua bakteri tersebut
adalah C. freundii dan K. pneumonia. Apabila Klebsiella sp. ditambahkan pada
proses pembuatan tempe, maka diduga kandungan vitamin B12 dapat meningkat
dengan optimum. Penambahan Klebsiella sp. yang dikombinasikan khamir S.
cerevisiae sebagai inokulum dalam pembuatan tempe diharapkan dapat
menghasilkan tempe dengan kadar vitamin B12 yang lebih tinggi dari tempe yang
hanya diinokulasi dengan R. oligosporus.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh masing-masing penambahan S. cerevisiae dan
Klebsiella sp. terhadap kandungan vitamin B12 pada tempe kedelai.
2. Mengetahui pengaruh penambahan campuran S. cerevisiae dan Klebsiella sp
terhadap kandungan vitamin B12 pada tempe kedelai.
1.3. Kerangka Pemikiran
Tempe merupakan pangan fungsional karena kandungan non-nutrisi seperti
senyawa antioksidan, mineral dan vitamin yang ada didalamnya. Selain
meningkatkan mutu gizi, fermentasi kedelai menjadi tempe juga mengubah aroma
kedelai yang berbau langu menjadi aroma khas tempe. Terdapat beberapa jenis
4
mikroorganisme pada tempe, diantaranya Rhizopus oligosporus, Bacillus subtilis,
Klebsiella pneumonia, dan Citrobacter freundii. Mikroorganisme tersebut
memiliki peran yang berbeda-beda selama fermentasi tempe. Jamur yang berperan
dalam proses fermentasi tempe adalah R. oligosporus. Beberapa sifat penting dari
R. oligosporus antara lain memiliki aktivitas enzimatik, kemampuan
menghasilkan antibiotik, biosintesa vitamin B, membutuhkan sumber karbon dan
nitrogen, perkecambahan spora, dan penetrasi miselia jamur tempe ke dalam
jaringan biji kedelai (Kasmidjo, 1990), sehingga tempe memiliki sifat kompak.
Kustyawati (2009) melaporkan bahwa kedelai dengan penambahan R. oligosporus
memiliki kadar vitamin B12 yang lebih tinggi dibanding kedelai tanpa
penambahan R. oligosporus. Jenis vitamin yang terkandung dalam tempe antara
lain vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin),
vitamin B6 (piridoksin), vitamin B9 (asam folat) dan B12 (sianokobalamin).
Vitamin ini tidak diproduksi oleh kapang tempe, tetapi oleh bakteri kontaminan
seperti K. pneumoniae dan C. freundii (Keuth dan Bisping (1994), Watanabe et al.
(2013) dalam Chamlagain et al., 2017).
Pembuatan tempe dengan menambahkan Saccharomyces boulardii telah
dilakukan oleh Kustyawati (2009), menghasilkan tempe dengan peningkatan
vitamin B12 dan asam folat yang signifikan. Tempe ini mempunyai tekstur
kompak, diselimuti oleh miselium berwarna putih, dan mudah diiris. Inokulasi
dengan yeast tertentu dan R. oligosporus dalam fermentasi kedelai menghasilkan
tempe dengan aroma tertentu yang dapat menutupi aroma kedelai pada tempe
umumnya. Yiannikouris et al. (2006) dalam Kusumaningtyas (2006) juga
5
melaporkan bahwa β-D-glucans pada dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat
aflatoksin yang diproduksi oleh A. flavus.
Fermentasi tempe adalah perubahan kimia pada kedelai yang disebabkan oleh
aktivitas enzim lipoksidase. Bahan pangan umumnya merupakan medium yang
baik untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme (Buckle et al., 2007).
Dalam proses fermentasi tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah keping
biji kedelai yang telah direbus, dengan inokulum kapang R. oligosporus, R.
oryzae, R. stolonifer (dapat kombinasi dua spesies atau tiga-tiganya), dan
lingkungan pendukung yaitu suhu 30oC, pH awal 6,8 serta kelembaban nisbi 70-
80%. Menurut Kustyawati (2014), mikrobia di dalam tempe berperan dalam
proses fermentasi, menentukan kualitas gizi, fungsionalitas, maupun
kesegarannya.
Penambahan R. oligosporus, S. cerevisiae, dan Klebsiella sp. diharapkan mampu
memberikan efek terhadap peningkatan kadar vitamin B12 pada tempe. Interaksi
pertumbuhan kapang, khamir, dan bakteri selama fermentasi akan diamati. Bila
ketiganya mampu tumbuh dan berinteraksi dengan mikroflora lain selama
fermentasi, maka kemungkinan kapang mempunyai peran dalam peningkatan
mutu tempe, karena tempe akan kompak, khamir berperan dalam meningkatkan
kualitas nutrisi dan flavor tempe, dan bakteri dapat meningkatkan kandungan
vitamin B12 pada tempe. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui peningkatan vitamin B12 akibat interaksi ketiganya pada tempe selama
fermentasi.
6
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian sebagai berikut:
1. Penambahan S. cerevisiae dan Klebsiella sp. masing-masing berpengaruh
terhadap kadar vitamin B12 pada tempe kedelai.
2. Penambahan campuran S. cerevisiae dan Klebsiella sp. berpengaruh terhadap
kadar vitamin B12 pada tempe kedelai.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kacang Kedelai
Tanaman kedelai termasuk famili Leguminosae (kacang-kacangan), genus
Glycine dan spesies max, sehingga dalam bahasa latinnya disebut Glycine max,
sedangkan dalam bahasa Inggris disebut soybean. Tanaman kedelai (Glycine max
(L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman palawija yang digolongkan ke dalam
famili Leguminoceae, sub famili Papilionoideae (Suprapto, 1997). Kacang kedelai
mengandung komponen gizi dan non-gizi didalamnya, diantaranya kandungan
protein, isoflavon, dan senyawa antigizi seperti oligosakarida.
Kedelai merupakan salah-satu jenis kacang-kacangan yang dapat digunakan
sebagai sumber protein, lemak, vitamin, mineral dan serat. Kacang kedelai
mengandung sumber protein nabati yang kadar proteinnya tinggi yaitu sebesar
35% bahkan pada varietas unggul dapat mencapai 40-44%. Selain itu juga
mengandung asam lemak essensial, vitamin dan mineral yang cukup. Disamping
protein, kacang kedelai mempunyai nilai hayati yang tinggi setelah diolah, karena
kandungan susunan asam aminonya mendekati susunan asam amino pada protein
hewani (Koswara, 1992). Kandungan gizi kacang kedelai dapat dilihat pada Tabel
1.
8
Tabel 1. Kandungan gizi kacang kedelai dalam 100 g bahan
Unsur Gizi Kadar
Energi (Kal) 442
Air (g) 7,5
Protein (g) 34,9
Lemak (g) 38,1
Karbohidrat (g) 34,8
Mineral (g) 4,7
Kalsium (mg) 227
Fosfor (mg) 585
Zat besi (mg) 8
Vitamin A (mcg) 33
Vitamin B (mcg) 1,07
Sumber: Suprapti (2003)
Kedelai merupakan sumber gizi yang sangat penting. Komposisi gizi kedelai
bervariasi tergantung varietas yang dikembangkan dan juga warna kulit maupun
kotiledonnya. Kandungan protein dalam kedelai kuning bervariasi antara 31-48%
sedangkan kandungan lemaknya bervariasi antara 11-21%. Antosianin kulit
kedelai mampu menghambat oksidasi LDL kolesterol yang merupakan awal
terbentuknya plak dalam pembuluh darah yang akan memicu berkembangnya
penyakit tekanan darah tinggi dan berkembangnya penyakit jantung koroer
(Astuti, 2000).
Menurut Santoso (2009), senyawa-senyawa yang dapat menyebabkan off-flavor
pada produk olahan kedelai antara lain adalah antitripsin, hemaglutinin, asam fitat
dan oligosakarida penyebab flatulensi (timbulnya gas dalam perut sehingga perut
menjadi kembung). Senyawa-senyawa penyebab off-flavor tersebut juga
merupakan senyawa antigizi pada kedelai, sehingga akan menghambat
9
penyerapan gizi lainnya dalam tubuh. Senyawa-senyawa tersebut harus
dihilangkan atau dinonaktifkan dari produk olahan, misalnya tempe, dan proses
untuk menghilangkan senyawa-senyawa pengganggu ini tidak sulit (Koswara,
1992). Senyawa glikosida lain yang menyebabkan off-flavor pada kedelai adalah
isoflavon dan gugus aglikonya.
Antitripsin adalah suatu jenis protein yang menghambat kerja enzim tripsin di
dalam tubuh. Aktivitas antitripsin dalam kedelai dapat dihilangkan dengan cara
perendaman yang diikuti pemanasan berupa perebusan, pengukusan atau dengan
menggunakan autoklaf. Hemaglutinin atau disebut juga lektin banyak terdapat
dalam kacang-kacangan atau tanaman lain, dan jika diberikan kepada hewan
percobaan dapat menyebabkan penggumpalan sel darah merah. Penggumpalan ini
biasanya terjadi dalam usus halus, sehingga penyerapan zat-zat gizi terganggu
yang menyebabkan pertumbuhan terhambat. Asam fitat termasuk ke dalam
senyawa anti gizi karena dapat mengikat elemen mineral terutama seng, kalsium,
magnesium dan besi sehingga secara biologis akan mengurangi ketersediaan
mineral-mineral yang ada di dalam tubuh. Oligosakarida yang mengandung ikatan
alfa-galaktosida berhubungan dengan timbulnya flatulensi, yaitu menumpuknya
gas-gas dalam perut. tiga senyawa oligosakarida yang menyebabkan flatulensi,
yaitu raffinosa, stakiosa dan verbaskosa.
2.2. Tempe
Tempe merupakan sumber protein nabati yang mempunyai nilai gizi yang tinggi
daripada bahan dasarnya yaitu kacang kedelai. Tempe mengandung berbagai
unsur yang bermanfaat, seperti protein, lemak, hidrat arang, serat, vitamin, enzim,
10
daidzein, genestein serta komponen antibakteri dan zat antioksidan yang
berkhasiat sebagai obat, diantaranya genestein, daidzein, fitosterol, asam fitat,
asam fenolat, lesitin dan inhibitor protease. Isoflavon antioksidan dalam tempe
yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal
bebas. Selain itu,isoflavon juga dapat menurunkan kolesterol LDL dan menaikkan
kolesterol HDL dibandingkan dengan pemberian kasein (Cahyadi, 2006).
Tempe salah satu produk fermentasi kedelai tradisional yang cukup terkenal,
dengan menggunakan jamur R. oligosporus. Tempe memiliki penampakan
berwarna putih yang disebabkan oleh miselia kapang yang menghubungkan biji-
biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang kompak. Kapang yang tumbuh pada
kedelai akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks pada kedelai menjadi
senyawa-senyawa sederhana yang lebih mudah dicerna oleh manusia (Syarief,
1999). Tempe dibuat dengan cara fermentasi, yaitu dengan menumbuhkan kapang
Rhizopus oryzae pada kedelai matang yang telah dilepaskan kulitnya. Inkubasi /
fermentasi dilakukan pada suhu 25o-37oC selama 36-48 jam. Selama inkubasi
terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-komponen
dalam biji kedelai. Persyaratan tempat yang digunakan untuk inkubasi kedelai
adalah kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan
pertumbuhan jamur (Hidayat et al., 2006).
Tempe mulai terbentuk ditandai dengan pertumbuhan kapang yang hampir tetap
dan tekstur yang lebih kompak. Jika proses fermentasi terlalu lama, menyebabkan
terjadinya kenaikan jumlah bakteri, jumlah asam lemak bebas pertumbuhan jamur
juga menurun dan menyebabkan degradasi protein lanjut sehingga terbentuk
11
amoniak. Akibatnya, tempe yang dihasilkan mengalami proses pembusukan dan
aromanya menjadi tidak enak. Hal ini terjadi karena senyawa yang dipecah dalam
proses fermentasi adalah karbohidrat (Winarno, 1980).
Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak banyak
berubah dibanding kedelai. Namun, karena adanya enzim pencernaan yang
dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe
menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam
kedelai (Yudana, 2003). Kandungan gizi tempe dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi tempe dalam 100 g bahan
Kandungan gizi Jumlah
Kalori (Kal) 149
Protein (g) 18,3
Lemak (g) 4
Karbohidrat (g) 12,7
Kalsium (mg) 129
Besi (mg) 10
Vitamin A (SI) 50
Vitamin B (SI) 0,17
Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004)
Proses pembuatan tempe pada umumnya meliputi 2 tahap yaitu, tahap perlakuan
pendahuluan dan tahap fermentasi. Proses dasar pembuatan tempe meliputi
perebusan, perendaman, pengupasan kulit, pencucian, pengukusan, penambahan
inokulum/peragian, pengemasan, dan pemeraman. Biji kedelai dipilih atau
dibersihkan dari kotoran, dicuci dengan air bersih, dimasukkan ke dalam panci
berisi air dan direbus selama 30 menit. Biji yang direbus kemudian direndam
selama ± 24 jam dalam air rebusan. Kedelai ditiriskan dan dicuci dengan air untuk
12
mengupas kulitnya dengan cara diremas-remas hingga didapatkan keping-keping
kedelai. Kedelai dicuci, lalu direbus lagi selama 20 menit. Biji kedelai rebus
ditiriskan dan dicampur dengan ragi. Adonan dibungkus dengan daun pisang atau
plastik yang dilubangi dengan jarak 1-2 cm, untuk memberikan udara supaya
jamur yang tumbuh berwarna putih. Pemeraman dilakukan selama 2 hari
(Cahyadi, 2006).
Kapang tempe bersifat aerob obligat membutuhkan oksigen untuk
pertumbuhannya sehingga apabila dalam proses fermentasi itu kurang oksigen,
maka pertumbuhan kapang akan terhambat dan proses fermentasinya pun tidak
berjalan lancar. Oleh karena itu, pada pembungkus tempe biasanya dilakukan
penusukan dengan lidi yang bertujuan agar oksigen dapat masuk dalam bahan
tempe. Sebaliknya, jika dalam proses fermentasinya kelebihan oksigen, dapat
menyebabkan proses metabolismenya terlalu cepat, sehingga suhu naik dan
pertumbuhan kapang terhambat (Kusharyanto dan Budiyanto, 1995).
2.2.1. Syarat mutu tempe
Menurut Kasmidjo (1990) tempe yang baik harus memenuhi syarat mutu secara
fisik dan kimiawi. Tempe dikatakan memiliki mutu fisik jika tempe memenuhi
ciri-ciri tertentu, meliputi warna, tekstur, aroma dan rasa. Warna tempe putih,
disebabkan adanya miselia kapang yang tumbuh pada permukaan biji kedelai.
Tempe yang baik mempunyai bentuk kompak yang terikat oleh miselium
sehingga terlihat berwarna putih dan bila diiris terlihat keping kedelainya (Lestari,
2005). Pembentukan aroma dan rasa khas pada tempe disebabkan terjadinya
13
degradasi komponen-komponen dalam tempe selama berlangsungnya proses
fermentasi.
Tempe dengan kualitas baik mempunyai ciri-ciri berwarna putih bersih yang
merata pada permukaan, memiliki struktur yang homogen dan kompak, serta
berasa, berbau dan beraroma khas tempe. Tempe dengan kualitas buruk ditandai
dengan permukaan yang basah, struktur tidak kompak, adanya bercak-bercak
hitam, adanya bau amoniak dan alkohol (Astawan, 2004). Spesifikasi standar
mutu tempe kedelai berdasarkan SNI. 01-3144-2009, disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesifikasi standar mutu tempe kedelai
Kriteria uji Satuan Persyaratan
Keadaan
Bau - normal, khas
Warna - Normal
Rasa - Normal
Kadar air (b/b) % Maks. 65
Kadar abu (b/b) % Maks.1,5
Kadar lemak (b/b) % Maks. 10
Kadar protein (Nx6,5) (b/b) % Maks. 16
Kadar serat kasar (b/b) % Maks. 2,5
Cemaran logam
Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,2
Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,25
Timah (Sn) mg/kg Maks.40
Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,03
Cemaran arsen mg/kg Maks. 0,25
Cemaran mikrobia
Bakteri coliform APM/g Maks. 10
Salmonella sp. - Negative/ 25g
Sumber : SNI. 01-3144-1992 BSN (2009)
14
2.2.2. Mikrobiologi Tempe
Kapang utama yang berperan dalam proses fermentasi adalah kapang jenis
Rhizopus, yaitu Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Pertumbuhan massa
miselium kapang selama proses fermentasi merupakan faktor penting dalam
proses pembuatan tempe (Nout dan Kiers, 2005). Akan tetapi proses fermentasi
dapat terganggu oleh adanya bakteri patogen dan pembusuk sehingga
menyebabkan penyimpangan pada mutu bahkan memengaruhi keamanan produk
akhir. Emilia (2015) dan Barus et al. (2008) telah mendeteksi adanya Bacillus
subtilis, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas putida selama perendaman
tempe. Penelitian tersebut juga menemukan sejumlah besar bakteri pembentuk
spora dan proteolitik pada tempe segar yang diproduksi dengan metode satu kali
perebusan.
1. Rhizopus oligosporus
Inokulum tempe merupakan kumpulan spora kapang yang memegang
peranan penting dalam pembuatan tempe karena dapat mempengaruhi mutu
yang dihasilkan. Jenis kapang yang memegang peranan utama dalam
pembuatan tempe adalah R. oligosporus (Koswara, 1992). Ciri-ciri spesifik
Rhizopus adalah sebagai berikut: Hifa nonseptat, mempunyai stolon dan
rhizoid yang warnanya gelap jika sudah tua, sporangiospora tumbuh pada
noda dimana terbentuk juga rhizoid, sporangia biasanya besar dan berwarna
hitam, kolumela agak bulat dan apofisis berbentuk seperti cangkir, tidak
mempunyai sporangiola, membentuk hifa vegetatif yang melakukan penetrasi
pada substrat, dan hifa fertil yang memproduksi sporangia pada ujung
15
sporangiofor, pertumbuhannya cepat, membentuk miselium seperti kapas
(Fardiaz, 1992).
2. Klebsiella pneumonia
Klebsiella merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek,
memiliki ukuran 0,5-1,5 x 1,2 μ . Bakteri ini memiliki kapsul, tetapi tidak
membentuk spora. Klebsiella tidak mampu bergerak karena tidak memiliki
flagel tetapi mampu memfermentasikan karbohidrat membentuk asam dan
gas. Spesies Klebsiella menunjukan pertumbuhan mucoid, kapsul
polisakarida yang besar dan tidak motil. Sifat biakan atau kultur dari
Klebsiella sp. tersebut pada media EMBA dan Mac Conkey koloni menjadi
merah. Kemudian pada media padat tumbuh koloni mucoid (24 jam). Mudah
dibiakan di media sederhana (bouillon agar) dengan koloni putih keabuan dan
permukaan mengkilap.
3. Bacillus Subtilis
Bacillus sp. merupakan bakteri berbentuk batang, tergolong bakteri gram
positif, motil, menghasilkan spora yang biasanya resisten pada panas, bersifat
aerob (beberapa spesies bersifat anaerob fakultatif), katalase positif, dan
oksidasi bervariasi. Menurut Claus dan Barkeley (1986) genus Bacillus
mempunyai sifat fisiologis yang menarik karena tiap-tiap jenis mempunyai
kemampuan yang berbeda-beda, diantaranya: (1) mampu mengdegradasi
senyawa organik seperti protein, pati, selulosa, hidrokarbon dan agar, (2)
mampu menghasilkan antibiotik; (3) berperan dalam nitrifikasi dan
16
dentrifikasi; (4) pengikat nitrogen; (7) bersifat khemolitotrof, aerob atau
fakutatif anaerob, asidofilik, psikoprifilik, atau thermofilik.
4. Citrobacter freundii
Citrobacter adalah genus dari gram-negatif, bakteri coliform ini termasuk
dalam keluarga Enterobacteriaceae, mereka termasuk dalam kelompok
pathogen obligat, ini berarti mereka tidak dapat menyelesaikan siklus hidup
mereka tanpa host lain. C. amalonaticus, C. koseri, dan C. freundii dapat
menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Spesies Citrobacter
dibedakan oleh kemampuan mereka untuk mengubah triptofan untuk indole,
memfermentasi laktosa, dan penggunaan malonat
5. Bakteri Asam Laktat
Bakteri Asam Laktat (BAL) yaitu kelompok bakteri gram positif, katalase
negatif yang dapat memproduksi asam laktat dengan cara memfermentasi
karbohidrat, selnya berbentuk kokus, tersusun berpasangan atau berbentuk
rantai, tidak bergerak, tidak berspora, anaerob fakultatif, bersifat non motil
dan mesofil (Ray, 2004). Bakteri Asam Laktat yang menghasilkan dua
molekul asam laktat dari fermentasi glukosa termasuk didalam kelompok
bakteri asam laktat bersifat homofermentatif, sedangkan Bakteri Asam Laktat
yang menghasilkan satu molekul asam laktat dan satu molekul etanol serta
satu molekul karbon dioksida dikenal dalam kelompok Bakteri asam laktat
bersifat heterofermentatif (Reddy et al., 2008). Bakteri Asam Laktat
menghasilkan antibakteri berupa asam organik, bakteriosin, metabolit primer,
17
hidrogen peroksida, diasetil, karbondioksida, asetaldehid dan menurunkan pH
lingkungannya dengan mengeksresikan senyawa yang mampu menghambat
bakteri pathogen. Beberapa bakteri asam laktat yang memproduksi
bakteriosin dan mempunyai aktivitas hambat besar terhadap pertumbuhan
beberapa bakteri pathogen adalah Lactobacillus, Lactococcus, Streptococcus,
Leuconostoc, Pediococcus, Bifidobacterium, dan Propionibacterium terdapat
di dalam saluran pencernaan (Usmiati, 2012).
6. Sacharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae merupakan cendawan berupa khamir (yeast) sejati
tergolong eukariot mempunyai potensi kemampuan yang tinggi sebagai
imunostimulan, dan bagian yang bermanfaat tersebut adalah dinding selnya
(Dwijoseputro, 2010). Sel yang masih muda dinding selnya tipis dan lentur,
sedangkan yang tua dinding selnya tebal dan kaku. Dibawah dinding sel
terdapat membran berfsifat permiabel selektif. S. cerevisiae secara morfologi
hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau
bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Dinding sel khamir terdiri atas
kitin. Berkembang biak dengan membelah diri melalui budding cell.
Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah
nutrien yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Selama fermentasi S. cerevisiae
membutuhkan glukosa dengan adanya oksigen, sehingga dalam reaksinya
akan menghasilkan karbondioksida, etanol dan air (Dwijoseputro, 2010).
18
2.3. Sianokobalamin
Sianobalamin disebut juga vitamin B12 merupakan senyawa berbentuk kristal,
berwarna merah, dan secara kimia merupakan vitamin yang paling kompleks
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995). Vitamin B12
(sianokobalamin) merupakan satu-satunya kelompok senyawa alam yang
mengandung unsur Co dengan struktur yang mirip derivat porfirin alam lain.
Molekulnya terdiri atas bagian-bagian cincin porfirin dengan satu atom Co, basa
dimetilbenzimidazol, ribosa dan asam fosfat. Umumnya senyawa dalam kelompok
ini dinamakan kobalamin; penambahan gugus -CN ada kobalamin menghasilkan
sianokobalamin, sedangkan penambahan gugus-OH menghasilkan zat yang
dinamakan Hidroksokobalamin (Murray et al., 2006).
Cyanocobalamin merupakan serbuk hablur atau amorf berwarna merah sampai
merah tua. Bentuk anhidratnya mempunyai sifat yang sangat higroskopis. Jika
terpapar pada udara dapat menyerap air lebih kurang 12%. Cyanocobalamin harus
disimpan dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya. Pada suhu kamar,
cyanocobalamin paling stabil pada pH 4,5-5,0 (Connors et al., 1992).
Cyanocobalamin agak sukar larut dalam air, larut dalam etanol dan tidak larut
dalam aseton, kloroform dan eter (Depkes RI,1995). Cyanocobalamin mempunyai
rumus molekul C36H88CoN14O14 dengan struktur yang ditunjukkan pada Gambar
1.
19
Gambar 1. Struktur kimia cyanocobalamin
Menurut Crueger & Crueger (1989) dalam Kasanah dan Pratiwi (2002),
menyatakan bahwa sianokobalamin dapat dihasilkan dari 3 macam proses yaitu :
isolasi dari jaringan hewan, sintesis kimia dan fermentasi mikrobia penghasilnya.
Isolasi dari jaringan hewan sukar untuk dilakukan dan menghasilkan produk
dalam jumlah rendah. Sintesis kimia membutuhkan 70 langkah reaksi sehingga
sangat tidak efisien. Fermentasi merupakan cara yang paling menguntungkan
karena menghasilkan produk dalam jumlah besar dan proses isolasinya mudah
dilakukan.
Vitamin B12, disebut juga kobalamin, adalah sebuah vitamin larut air yang
berperan penting dalam berfungsi normalnya otak dan sistem saraf, serta dalam
pembentukan darah. Vitamin ini merupakan salah satu dari delapan vitamin B.
Umumnya, vitamin ini terlibat dalam metabolisme setiap sel dalam tubuh,
terutama pengaruhnya pada sintesis dan regulasi DNA, serta pada sintesis asam
lemak dan produksi energi. Vitamin B12 ada dalam beberapa bentuk, semuanya
20
mengandung kobal dan disebut “cobalamin”, oleh karena itu vitamin B12 biasa
disebut cyanocobalamin. Methylcobalamin dan 5-deoxyadenosylcobalamin adalah
bentuk vitamin B12 yang aktif dalam metabolisme manusia. Cyanocabalamin dan
hydroxycobalamin digunakan secara farmakologis terutama digunakan untuk
fortifikasi (Lawrence, 2015).
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan UPT
Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi Universitas Lampung, pada
bulan April 2018 sampai dengan Juli 2018.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian adalah kacang kedelai impor
merk USA No. 1 yang diperoleh dari sentra penjualan kedelai di Bandar
Lampung. Bahan pembantu yang digunakan adalah kultur murni kapang
R.oligosporus dan yeast S. cerevisiae yang diperoleh dari Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi, UGM. Kultur murni bakteri Klebsiella sp. yang diperoleh dari
Pusat Penelitian Biologi LIPI. Media agar produksi Oxoid meliputi Potato
Dextrose Agar (PDA) untuk pengujian kapang, Malt Extract Agar (MEA) untuk
pengujian khamir, dan NA (Nutrient Agar) untuk pengujian bakteri.
Oksitetrasiklin 0,1 %, aquadest, alkohol 70%, garam fisiologis 0,85%, alumunium
foil, dan kapas. Buffer fosfat (pH 2,6) untuk analisis kimia. Bahan pendukung
lainnya adalah plastik pembungkus tempe berbahan LDPE (Low Density Poly
Ethylen) dengan ukuran 10x15 cm.
22
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, Erlenmeyer,
tabung reaksi, gelas ukur, oven, autoclave, pengaduk, pipet tetes, pipet ukur,
jarum ose, bunsen, mikropipet, pipet tip, dry glaski, hotplate, inkubator,
haemacytometer, refrigerator, neraca analitik, vortex, autoklaf, centrifuge,
kompor, panci, baskom, loyang, tampah, saringan bambu dan para-para,. Alat-alat
yang digunakan untuk analisis kimia antara lain HPLC (High Performance Liquid
Chromatography), tabung sentrifuge, sentrifuge, ultrasonik (with heater), dan
kertas whatman.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dirancang dengan 5 perlakuan yaitu (I1) Kedelai + R. oligosporus.
(I2) Kedelai + R. oligosporus + S. cerevisiae. (I3) Kedelai + R. oligosporus + S.
cerevisiae + Klebsiella sp. (I4) Kedelai + R. oligosporus + Klebsiella sp. (I5)
Kedelai + Klebsiella sp. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali.
Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk
tabel.
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Persiapan Pembuatan Biakan Klebsiella sp.
3.4.1.1. Pembuatan media NA (Nutrient Agar)
Sebanyak 2,8 g media NA dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan
100 mL aquades. Larutan tersebut selanjutnya dihomogenisasi dengan batang
pengaduk dan dipanaskan menggunakan hotplate. Erlenmeyer berisi larutan
23
media ditutup dengan sumbat dan alumunium foil, kemudian disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Larutan media yang
telah steril dituang ke dalam cawan petri sebanyak 15-20 mL dan didiamkan
hingga memadat.
3.4.1.2. Pembiakan Klebsiella sp.
Klebsiella sp. dalam bentuk agar miring diambil satu ose, dan digoreskan pada
permukaan media NA yang sudah memadat menggunakan jarum ose. Cawan yang
telah digores oleh kultur murni Klebsiella sp., diinkubasi pada suhu 28o selama
24-48 jam. Spora yang telah tumbuh dalam cawan ditambahkan aquades steril
sebanyak 10-15 mL dan dilakukan pengambilan secara perlahan menggunakan
batang dry galski. Suspensi Klebsiella sp. yang telah diperoleh, dimasukkan ke
dalam tabung sentrifuge ukuran 50 mL. Tabung sentrifuge selanjutnya
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan
kultur murni dan supernatan. Supernatan pada tabung sentrifuge dibuang dan
didapatkan pellet kultur murni Klebsiella sp. Proses pembiakan Klebsiella sp.
disajikan pada Gambar 2.
24
Gambar 2. Diagram alir proses pembiakan Klebsiella sp.
3.4.2. Persiapan Pembuatan Biakan Rhizopus oligosporus
3.4.2.1. Pembuatan media PDA (Potato Dextrose Agar)
Sebanyak 3,9 g media PDA dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan
100 mL aquades. Larutan tersebut selanjutnya dihomogenisasi dengan batang
pengaduk dan dipanaskan menggunakan hotplate. Erlenmeyer berisi larutan
media ditutup dengan sumbat dan alumunium foil, kemudian disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Larutan media yang
Supernatan
Pellet Klebsiella sp.
Aquades sterilsebanyak5-10 mL
Penggoresan kultur murni Klebsiella sp. pada permukaanmedia PDA dengan jarum ose
Sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit
Inkubasi selama 24-48 jam pada suhu 28o C
Pengambilan sel Klebsiella sp. secara perlahanmenggunakan batang dry galski
Penuangan suspensi Klebsiella sp. ke dalam tabung sentrifugeukuran 50 mL
Klebsiella sp.dalam bentukagar cawan
Pemisahan Klebsiella sp. dengan suspensi
Media NA
25
telah steril dituang ke dalam cawan petri sebanyak 15-20 mL dan didiamkan
hingga memadat.
3.4.2.2. Pembiakan R. oligosporus
R. oligosporus dalam bentuk agar miring diambil satu ose, dan digoreskan pada
permukaan media PDA yang sudah memadat menggunakan jarum ose. Cawan
yang telah digores oleh kultur murni R. oligosporus, diinkubasi pada suhu 30-35o
selama 5-7 hari. Spora yang telah tumbuh dalam cawan ditambahkan aquades
steril sebanyak 10-15 mL dan dilakukan pengambilan secara perlahan
menggunakan batang dry galski. Suspensi R. oligosporus yang telah diperoleh,
dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge ukuran 50 mL. Tabung sentrifuge
selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk
memisahkan kultur murni dan supernatan. Supernatan pada tabung sentrifuge
dibuang dan didapatkan pellet kultur murni R. oligosporus. Proses pembiakan R.
oligosporus disajikan pada Gambar 3.
26
Gambar 3. Diagram alir proses pembiakan R. oligosporus
3.4.3. Persiapan Pembuatan Biakan Saccharomyces cerevisiae
3.4.3.1. Pembuatan media MEA (Malt Extract Agar)
Sebanyak 4,8 g media MEA dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan
100 mL aquades. Larutan tersebut selanjutnya dihomogenisasi dengan batang
pengaduk dan dipanaskan menggunakan hotplate. Erlenmeyer berisi larutan
media ditutup dengan sumbat dan alumunium foil, kemudian disterilisasi
menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Larutan media yang
Supernatan
Pellet R. oligosporus
Aquades sterilsebanyak5-10 mL
Penggoresan kultur murni R. oligosporus pada permukaanmedia PDA dengan jarum ose
Sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit
Inkubasi selama 5-7 hari pada suhu 30-35o C
Pengambilan spora R. oligosporus secara perlahanmenggunakan batang dry galski
Penuangan suspensi R. oligosporus ke dalam tabung sentrifugeukuran 50 mL
R. oligosporusdalam bentukagar miring
Pemisahan R. oligosporus dengan suspensi
Media PDA
27
telah steril dituang ke dalam cawan petri sebanyak 15-20 mL dan didiamkan
hingga memadat.
3.4.3.2. Pembiakan S. cerevisiae
S. cerevisiae dalam bentuk agar miring diambil satu ose, dan digoreskan pada
permukaan media MEA yang sudah memadat menggunakan jarum ose. Cawan
yang telah digores oleh kultur murni S. cerevisiae, diinkubasi pada suhu 28o
selama 24-48 jam. Spora yang telah tumbuh dalam cawan ditambahkan aquades
steril sebanyak 10-15 mL dan dilakukan pengambilan secara perlahan
menggunakan batang dry galski. Suspensi S. cerevisiae yang telah diperoleh,
dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge ukuran 50 mL. Tabung sentrifuge
selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk
memisahkan kultur murni dan supernatan. Supernatan pada tabung sentrifuge
dibuang dan didapatkan pellet kultur murni S. cerevisiae. Proses pembiakan S.
cerevisiae disajikan pada Gambar 4.
28
Gambar 4. Diagram alir proses pembiakan S. cerevisiae
3.4.3. Pembuatan Tempe Kedelai
Proses pembuatan tempe mengacu pada metode Kustyawati (2009) dengan
beberapa tahapan proses sebagai berikut: 100 g kacang kedelai dicuci dan
direndam dalam air bersih selama semalam dalam suhu ruang. Kacang kedelai
selanjutnya dihilangkan kulit arinya secara manual dan direbus dalam air bersih
selama 30 menit dengan perbandingan 1:3 (kedelai:air). Selanjutnya kacang
kedelai ditiriskan dan diangin-anginkan sampai suhu ruang dan siap diinokulasi
dengan biakan tertentu. Kacang kedelai yang telah diinokulasi dikemas dengan
Supernatan
Pellet S. cerevisiae
Aquades sterilsebanyak5-10 mL
Penggoresan kultur murni S. cerevisiae pada permukaanmedia PDA dengan jarum ose
Sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit
Inkubasi selama 24-48 jam pada suhu 28o C
Pengambilan sel S. cerevisiae secara perlahan menggunakanbatang dry galski
Penuangan suspensi S. cerevisiae ke dalam tabung sentrifuge ukuran50 mL
S. cerevisiaedalam bentukagar miring
Pemisahan S. cerevisiae dengan suspensi
Media MEA
29
kemasan plastik untuk tujuan aerasi dan diinkubasi pada suhu 3±2 oC selama 48
jam. Proses pembuatan tempe disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Proses pembuatan tempe (Kustyawati, 2009)
1 g R.oligosporus
+ 1 g S.cerevisiae
1 g R.oligosporus
+ 3 g S.cerevisiae +
1 gKlebsiella
sp.
1 g R.oligosporus
1 g R.oligosporus
+ 1 gKlebsiella
sp.
1 gKlebsiella
sp.
100 g Kedelai
Pencucian dan perendaman suhu ruang (24 jam)
Penghilangan kulit ari
Perebusan dengan perbandingan 1:3 (kedelai:air) selama 30 menit
Penirisan pada suhu ruang
Inokulasi
Pengemasan dengan plastik PE yang telah dilubangi
Penyimpanan dalam inkubator (T= 30±2 oC, t= 48 jam)
Kulit ari
Tempe
Air
Air
30
3.5. Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan terhadap tempe meliputi total mikroba pada tempe
selama fermentasi yaitu Klebsiella sp., R. oligosporus, dan S. cerevisiae, waktu
generasi bakteri, R. oligosporus, dan S. cerevisiae, serta kandungan vitamin B12
pada setiap perlakuan.
3.5.1. Total mikroba
Tempe yang dihasilkan dianalisis dengan menggunakan metode Kustyawati
(2009), terhadap total jumlah bakteri, yeast dan kapang dianalisis pada lama
fermentasi 36 jam dengan menumbuhkan biakan pada media yang sesuai. Sampel
diambil dari setiap tempe tersebut dan dibuat seri pengenceran dari 10 1sampai
10-10 secara duplo. Pertumbuhan mikroorganisme selama fermentasi kedelai
meliputi unit pembentuk koloni (CFU) dari bakteri, yeast, dan kapang dilakukan
selama fermentasi kedelai.
Sebanyak 15 g sampel dicampur dengan 135 ml 0,1% peptone water,
dihomogenkan selama 5 menit, selanjutnya dibuat seri pengenceran sampai
konsentrasi tertentu. Kemudian diambil satu ml dari pengenceran tertentu dan
dilakukan penanaman mikroorganisme dengan metode cawan tebar permukaan
(surface plate count) pada media agar padat yang sesuai. Inkubasi dilakukan pada
suhu 32oC untuk menumbuhkan bakteri dan kapang, dan 30oC untuk
menumbuhkan yeast, selama 24 48 jam.Proses analisis analisis total mikroba
disajikan pada Gambar 6.
31
Gambar 6. Diagram alir analisis total mikroba (Kustyawati, 2009)
3.5.2. Waktu Generasi
Waktu generasi bakteri, R. oligosporus, dan S. cerevisiae pada tempe selama
fermentasi dihitung dengan menggunakan rumus (Ni’matuzahroh, 2010) dalam
Setiawati et al. (2014):
G = t3.32 (Log Nt − Log No)Keterangan:
G = Waktu generasi
T = Interval waktu antara pengukuran jumlah sel awal (No) dan jumlah sel
pada titik tertentu (Nt)
No = Populasi bakteri awal
Nt = Populasi bakteri setelah waktu tertentu
3,32 = Faktor konversi
15 g tempe
Pencampuran dengan 0,1% pepton water
Homogenisasi selama 5 menit
Pembuatan seri pengenceran 10-10 secara duplo
Penanaman mikroorganisme dengan metode cawan tebarpermukaan pada media yang sesuai
Perhitungan mikroba dengan TPC
0,1%peptonwater
32
3.5.3. Kandungan vitamin B12
Pengujian kandungan vitamin B12 dilakukan berdasarkan metode Lawrence
(2015) yang telah dimodifikasi. Sebanyak 0,5 g tepung tempe ditimbang dan
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer ukuran 100 ml. Sebanyak 20 ml buffer fosfat
(pH = 2,6) dimasukkan ke dalam Erlenmeyer tersebut. Larutan tersebut
disonifikasi menggunakan ultrasonik (with heater) selama 30 menit. Larutan
ditambahkan aquapure sampai volume sampel menjadi 25 ml. Kemudian sampel
disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipipet
menggunakan syiringe (yang dilengkapi dengan filter holder) kurang lebih
sebanyak 2 ml. Filter holder berdiameter 13 mm pori 0,2 mm dipasang kertas
saring lalu supernatan disaring dan ditampung pada botol vial. Sampel sebanyak
10 µL diinjeksikan ke alat HPLC. Diagram alir proses analisis vitamin B12
disajikan pada Gambar 7.
33
Gambar 7. Diagram alir analisis vitamin B12
Penyaringan supernatant dan penuangan pada botol vial
0,5 g tempe
Pemasukan 20 mL buffer fosfat (pH 2,6) ke dalamErlenmeyer
Sonifikasi menggunakan ultrasonik (with heater) selama 30 menit
Penambahan aquapure sampai 25 mL kemudian dimasukkanke dalam tabung sentrifuge
Sentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit
20 mL buferfosfat (pH
2,6)
Aquapure
Supernatan
Injeksi pada HPLC
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Tempe dengan penambahan S. cerevisiae menghasilkan kandungan vitamin
B12 yang lebih tinggi dibanding tempe dengan penambahan Klebsiella sp.
Kandungan vitamin B12 pada tempe dengan penambahan S. cerevisiae yaitu
sebesar 252 µg/100 g, sedangkan kandungan vitamin B12 pada tempe dengan
penambahan Klebsiella sp. yaitu sebesar 65 µg/100 g. Klebsiella sp. bukan
merupakan bakteri penghasil vitamin B12.
2. Tempe dengan penambahan campuran S. cerevisiae dan Klebsiella sp.
menghasilkan kandungan vitamin B12 yaitu sebesar 131 µg/100 g.
5.2. Saran
Perlu dilakukan perhatian lebih pada saat menumbuhkan dan menghitung sel
Klebsiella sp. Hal ini karena Klebsiella sp. bersifat anaerobik fakultatif sehingga
perlu kehati-hatian dalam proses pembiakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, G. A. 2017. Pengaruh Konsentrasi Penambahan Saccharomycescerevisiae terhadap Perubahan Kandungan Kimia pada Tempe. (Skripsi).Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Astawan, M. 2004. Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan. TigaSerangkai. Solo.
Astuti, M., Andreanyta, Fabien, Dalais, Wahlq, and Mark. 2000. Tempe, ANutritious and Healthy Food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr. 9(4):322–325.
Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI Syarat Mutu Tempe Kedelai 01-3144-1992. Jakarta.
Buckle, K.A., R.A. Edward., G.H. Fleet., dan Wootton. 2007. Ilmu Pangan. Edisike-4. Terjemahan: Hari Purnomo dan Adiono. UI-Press. Jakarta.
Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Bandung.
Chamlagain, B., T. A. Sugito., P. Deptula., E. Minnamari., S. Kariluoto., P.Varmanen., and V. Piironen. 2017. In Situ Production of Active VitaminB12 in Cereal Matrices using Propionibacterium freudenreichii. FoodScience and Nutrition. 6(1): 67–76.
Claus, D. and R. C. W. Berkeley. 1986. Genus Bacillus Cohn 1872, 174. InSneath,. P. H. A., (ed.) Bergey's manual of systematic bacteriology.International Journal of Systematic Bacteriology. 10(2):1105-1140.
Connors, K. A., G. L. Amidon., dan V. J. Stella. 1992. Stabilitas Kimiawi SediaanFarmasi, Edisi II, Terjemahan Didik Gunawan. IKIP Semarang Press.Semarang.
Deliani. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Protein, Lemak,Komposisi, Asam Lemak, dan Asam Fitat pada Pembuatan Tempe. (Tesis).Program Studi Ilmu Kimia Universitas Sumatra Utara.
Denter, J. and B. Bisping. 1994. Formation of B-Vitamins by Bacteria during TheSoaking Process of Soybeans for Tempe Fermentation. InternationalJournal of Food Microbiology. 22(1): 23-31.
47
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmacope Indonesia. Edisi IV.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 2004. Daftar Komposisi BahanMakanan. Binatara Aksara. Jakarta.
Dwidjoseputro. 2010. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.
Emilia, Q. 2015. Perilaku Bacillus cereus selama Fermentasi Tempe yangdiperkaya dengan Bakteri Asam Laktat. (Skripsi). Departemen Ilmu danTeknologi Pangan FTP IPB. Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fauziah, P.N., N. Jetty., dan Chrysanti. 2013. Pengaruh Laju Pertumbuhan danWaktu Generasi terhadap Penghambatan Pertumbuhan Koloni KlebsiellaPneumoniae Strain Atcc 700603, Ct1538 dan S941 oleh LactobacillusBulgaricus KS1 dalam Soyghurt. E-Jurnal STIKes Jenderal Achmad Yani.
Hardianto., A. Muhibuddin., dan A. W. Sektiono. 2018. Optimalisasi Fosfat untukMeningkatkan Pertumbuhan Kerapatan Populasi dan KemampuanAntagonis Saccharomyces cerevisiae terhadap Fusarium sp. Jurnal Sainsdan Teknologi. 10(2): 28-41.
Hidayat, N., M.C. Padaga., dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. PenerbitAndi. Jogjakarta.
Hutagaol, R. P. dan Niken. 2012. Validasi Metode Penetapan KadarCyanocobalamin secara Spektrofotometri Visibel Double Beam. E-JurnalFMIPA Universitas Nusa Bangsa. 2(1): 24–34.
Kasanah, N., dan S.U.T. Pratiwi. 2002. Induksi Kobalt terhadap BiosintesisSianokobalamin oleh Streptomyces olivaceus IFO 3409. Majalah FarmasiIndonesia. 13(3): 118-122.
Kasmidjo. 1990. Tempe Mikrobiologi dan Kimia Pengolahan sertaPemanfaatannya. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu.Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Kusharyanto dan A. Budiyanto. 1995. Upaya Pengembangan Produk Tempe.dalam Industri Pangan. Yogyakarta.
Kustyawati, M. E. 2009. Kajian Peran Yeast dalam Pembuatan Tempe. JurnalAgritech. 29 (2): 64-70.
48
Kustyawati, M. E. 2014. Pengawetan Tempe menggunakan Teknologi KarbonDioksida Bertekanan Tinggi. (Disertasi). Program Studi Ilmu-IlmuPertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Indralaya.
Kusumaningtyas, E. 2006. Isolat Lokal Saccharomyces cerevisiae sebagaiBiokompetitor Aspergillus flavus. Journal of International Toxicology andV. 11 (4): 324-330.
Lawrance, P. 2015.Vitamin B12 - A Review of Analytical Methods for use InFood. Government Chemist Programme Report.
Lestari, E. 2005. Pengaruh Penambahan Bekatul Sebagai Bahan Pengisi Tempeterhadap Kadar Protein Tempe Kedelai. (Skripsi). UniversitasMuhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Murray, R. K., D. K. Granner., P. A. Mayes., dan V. W. Rodwell. 2006. BiokimiaHarper. Edisi 25. Jakarta.
Nout, M. J. R. and J. L. Kiers. 2005. Tempe Fermentation, Innovation, AndFunctionality: Update Into The Third Millenium. Journal of AppliedMicrobiology. 98: 789-805.
Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology. Third Edition. CRC Press. NewYork.
Reddy, G., M. D. Altaf., B. J. Naveena., M. Venkateshwar., and E.V. Kumar.2008. Amylolytic Bacterial Lactic Acid Fermentation, A Review.Biotechnology Advances. 26:22–34.
Santoso. 2009. Susu dan Yoghurt Kedelai. Laboratorium Kimia Pangan. FapertaUWG.
Setiawati, M.R., S. Pujawati., H. Diyan., dan I. Zahra. 2014. KarakteristikPertumbuhan dan Waktu Generasi Isolat Azotobacter sp. dan BakteriEndofitik Asal Ekosistem Lahan Sawah. Jurnal Agroekotek. 6(1): 12 – 20.
Steinkraus, K.H. 1983. Handbook Of Indegenous Fermented Foods, MarcellDekker, Inc. New York.
Suprapti, L. 2003. Teknologi Pengolahan Pangan: Pembuatan Tempe. Kanisius.Yogyakarta.
Suprapto. 1997. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Syarief, R. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Universitas Katolik Widya Mandala.Surabaya.
49
Tarina, N. T. I., dan S. A. F. Kusuma. 2017. Deteksi Bakteri Klebsiellapneumonia. E-Jurnal Farmaka Suplemen. 15(2): 119-126.
Usmiati, S. 2012. Daging Tahan Simpan dengan Bakteriosin. Warta Penelitiandan Pengembangan Pertanian. 34(2): 12-14.
Utari, D. M., Rimbawan, R. Hadi., Muhilal, dan Purwantyastuti. 2010. PengaruhPengolahan Kedelai menjadi Tempe dan Pemasakan Tempe Terhadap KadarIsoflavon. Jurnal Penel Gizi Makan. 33(2): 148-153.
Winarno, F.G., S. Fardiaz., dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yudana. 2003. Tempe Makanan Seumur Hidup. Semarang Metro. Semarang.