UJI EFEKTIVITAS Trichoderma spp. DENGAN BEBERAPA EKSTRAK HERBAL TERHADAP PENYAKIT BULAI (Peronosclerospora maydis) PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) Oleh RENY TEJA FEBRIYANI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN MALANG 2020
UJI EFEKTIVITAS Trichoderma spp. DENGAN BEBERAPA EKSTRAK HERBAL TERHADAP PENYAKIT BULAI
(Peronosclerospora maydis) PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)
Oleh RENY TEJA FEBRIYANI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN
MALANG 2020
UJI EFEKTIVITAS Trichoderma spp. DENGAN BEBERAPA EKSTRAK
HERBAL TERHADAP PENYAKIT BULAI (Perenosclerospora maydis)
PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)
Oleh
RENY TEJA FEBRIYANI 155040201111093
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
MINAT HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
MALANG
2020
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam skripsi ini merupakan
hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan komisi pembimbing. Skripsi ini
tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi manapun dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, 30 Desember 2019
Reny Teja Febriyani
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Penelitian : Uji Efektivitas Trichoderma spp. Dengan Beberapa Ekstrak Herbal Terhadap Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis) Pada Tanaman Jagung (Zea mays L.)
Nama Mahasiswa : Reny Teja Febriyani
NIM : 155040201111093
Jurusan : Hama dan Penyakit Tumbuhan
Program Studi : Agroekoteknologi
Disetujui
Tanggal Persetujuan :
Pembimbing Utama,
Dr. Ir. Syamsuddin Djauhari, MS. NIP. 19550522 198103 1 006
Pembimbing Pendamping II,
Antok Wahyu Sektiono, SP., MP. NIP. 201304841014 1 001
Mengetahui
Ketua Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Luqman Qurata Aini, SP., M.Si., Ph.D. NIP. 19720919 199802 1 001
LEMBAR PENGESAHAN
Mengesahkan
MAJELIS PENGUJI
Tanggal Lulus :
Penguji I
Hoerussalam, S.P., M.Sc. NIK. 20600517
Penguji II
Dr. Ir. Syamsuddin Djauhari, MS. NIP. 19550522 198103 1 006
Penguji III
Antok Wahyu Sektiono, S.P., MP. NIP. 201304841014 1 001
Penguji IV
Dr. Ir. Mintarto Martosudiro, MS. NIP. 19590705 198601 1 003
RINGKASAN
RENY TEJA FEBRIYANI. 155040201111093. Uji Efektivitas Trichoderma spp. dengan Beberapa Ekstrak Herbal Terhadap Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis) Pada Tanaman Jagung (Zea mays L.) Di bawah bimbingan Syamsuddin Djauhari sebagai Pembimbing Utama dan Antok Wahyu Sektiono sebagai Pembimbing Pendamping. Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan utama di Indonesia dan sebagai bahan pangan yang mengandung protein, lemak, mineral, dan vitamin. Sebagian masyarakat memanfaatkan jagung untuk makanan pokok sehari-hari karena mengandung karbohidrat dan dapat menggantikan beras. Sehingga kebutuhan dan permintaan jagung dari tahun ke tahun terus meningkat. Namun, di Indonesia terjadi fluktuasi produksi jagung yang dapat disebabkan oleh Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) salah satunya yaitu penyakit Bulai yang disebabkan oleh Peronosclerospora maydis. Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis) berpengaruh terhadap produksi jagung dan dapat menurunkan hasil hingga 90% (Semangun, 2004). Pengendalian yang sering digunakan yaitu menggunakan pestisida berbahan kimia yang dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan maupun kesehatan manusia. Maka dari itu perlunya dilakukan penelitian ini untuk mengendalikan penyakit bulai dengan menggunakan kombinasi antara penggunaan agen hayati yaitu cendawan Trichoderma spp. dan fungisida nabati yang berasal dari tumbuhan seperti seraiwangi, sirih, dan kunyit yang dapat digunakan sebagai alternatif dari penggunaan pestisida sintetis atau bahan kimia. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2019 di PT. BISI International, Tbk Kediri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 11 perlakuan yang terdiri dari perlakuan kontrol (P0), fungsidia sintetik (P1), Trichoderma asperellum + ekstrak seraiwangi (P2), T. asperellum + ekstrak kunyit (P3), T. asperellum + ekstrak sirih (P4), T. koningii + ekstrak seraiwangi (P5), T. koningii + ekstrak kunyit (P6), T. koningii + ekstrak sirih (P7), T. harzianum + ekstrak seraiwangi (P8), T. harzianum + ekstrak kunyit (P9), T. harzianum + ekstrak sirih (P10). Parameter yang diamati meliputi Kejadian Penyakit dan Masa Inkubasi. Apabila hasil analisis data yang diperoleh berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari 11 perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi antara jamur Trichoderma spp. dengan masing-masing ekstrak herbal efektif dalam mengendalikan penyakit bulai yang disebabkan oleh jamur Peronosclerospora maydis karena kemampuan menghambatnya >50%. Terdapat kombinasi terbaik yang diperoleh yaitu pada kombinasi Trichoderma harzianum dengan ekstrak kunyit karena hasil persentase kejadian penyakit yang lebih rendah dibandingkan perlakuan lain yaitu sebanyak sebanyak 2% dan memiliki masa inkubasi yang lebih lama yaitu 16 hari setelah inokulasi (hsi). Sehingga perlakuan kombinasi tersebut mampu digunakan sebagai alternatif dalam penggunaan fungisida sintetis.
SUMMARY
RENY TEJA FEBRIYANI. 155040201111093. Effectiveness of Trichoderma spp. with Several Herbal Extracts Against Downy Mildew (Peronosclerospora maydis) in Corn (Zea mays L.) Supervised by Syamsuddin Djauhari and Antok Wahyu Sektiono. Corn (Zea mays L.) is one of the main food plants in Indonesia and as a food ingredient that contains protein, fat, minerals, and vitamins. Some people use corn for daily staples because it contains carbohydrates and can replace rice. So that the demand for corn from year to year increase. However, in Indonesia there are fluctuations in corn production which can be caused by plant pests one of them is Downy Mildew caused by Peronosclerospora maydis. Downy Mildew (Peronosclerospora maydis) effect on corn production and can reduce yields of up to 90% (Semangun, 2004). Control that is often used is to use chemical pesticides that can have a negative impact on the environment and human health. Therefore this research is needed to control the downy mildew by using a combination of biological agents, namely the fungus Trichoderma spp. and vegetable fungicide derived from plants such as lemon grass, betel, and turmeric which can be used as an alternative to the use of synthetic pesticides or chemicals. This research was conducted in July to October 2019 at PT. BISI International, Tbk Kediri. The method used in this research is Randomized Block Design (RBD) with 11 treatments consisting of (P0) control, Dimetomorf (P1), Trichoderma asperellum + lemon grass extract (P2), T. asperellum + turmeric extract (P3), T. asperellum + betel extract (P4), T. koningii + lemon grass extract (P5), T. koningii + turmeric extract (P6), T. koningii + betel extract (P7), T. harzianum + lemon grass extract (P8), T. harzianum + turmeric extract (P9), T. harzianum + betel extract (P10). The parameters observed include the incidence of disease and incubation period. If the results of the analysis of the data obtained are significantly different, then tested further using advanced test Honestly Significant Difference (HSD) at 5% level. Based on the results obtained from 11 treatments showed that the combination treatment of Trichoderma spp. with each herbal extract effective in controlling downy mildew caused by the fungus Peronosclerospora maydis because of its ability to inhibit > 50%.. There is the best combination obtained in the combination of Trichoderma harzianum with turmeric extract due to the lower percentage of disease compared to other treatments, which is as much as 2% and has a longer incubation period that is 16 days after inoculation. So that the combination treatment can be used as an alternative to the use of synthetic fungicides.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas limpahan
rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Uji Efektivitas Trichoderma spp. Dengan Beberapa Ekstrak Herbal
Terhadap Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis) Pada Tanaman Jagung (Zea
mays L.) ”.Penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan pada semua pihak
diantaranya:
1. Bapak Dr. Ir. Syamsuddin Djauhari, MS. selaku dosen pembimbing skripsi
utama, Bapak Antok Wahyu Sektiono, SP., MP. selaku pembimbing
pendamping dan Bapak Hoerussalam, S.P., M. Sc. selaku dosen
pembimbing lapang dengan kesabaran dan kebijaksanaannya telah
mengarahkan sehingga penelitian ini terselesaikan.
2. Orang tua penulis Bapak Ahmad Ishak dan Ibu Rety Sulistiyo dan keluarga
yang telah memberikan dukungan dan doa.
3. Bapak Luqman Qurata Aini, SP., MP., Ph.D. selaku Ketua Jurusan Hama
dan Penyakit Tumbuhan, seluruh dosen, staff karyawan atas ilmu-ilmu
yang diberikan dan telah membimbing memberikan kritik maupun saran
selama penelitian.
4. Seluruh staff karyawan, asisten laboratorium, dan asisten lapang PT. BISI
International Tbk. Kediri yang turut membantu selama kegiatan penelitian
berlangsung.
5. Semua pihak dan teman-teman yang telah merelakan waktunya untuk
membantu menyelesaikan laporan skripsi.
Penulis berharap semoga penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
bermanfaat bagi semua pihak dalam mengatasi penyakit Bulai khususnya di
daerah-daerah endemik.
Malang, Desember 2019
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sampit, 30 Oktober 1996 sebagai anak pertama dari
dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Sukorejo 1 Kediri
pada tahun 2003-2009, pendidikan menengah pertama di SMPN 5 Kota Kediri
pada tahun 2009-2012, dan pendidikan menengah atas di SMA Katolik Santo
Augustinus Kediri pada tahun 2012-2015. Kemudian, penulis melanjutkan
pendidikan strata 1 (S1) di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN) pada tahun 2015.
Selama penulis menjadi mahasiswa pernah aktif dalam kegiatan organisasi
yaitu sebagai pengurus harian Himpunan Mahasiswa Perlindungan Tanaman
(HIMAPTA) pada tahun 2018. Penulis juga pernah aktif dalam kepanitiaan Pekan
Orientasi Terpadu Keprofesian (PROTEKSI) dan Ekspedisi HPT pada tahun
2018. Serta penulis melaksanakan kegiatan penelitian yang berlangsung selama 8
bulan mulai dari bulan Maret-Oktober 2019 di PT. BISI International Tbk. Kediri.
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .......................................................................................................... I
SUMMARY ............................................................................................................ II
KATA PENGANTAR .......................................................................................... III
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... IV
DAFTAR TABEL ................................................................................................ VII
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... VIII
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... IX
I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2
1.3 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3
1.4 Hipotesis ....................................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 4
2.1 Tanaman Jagung........................................................................................... 4
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Jagung ..................................................................... 4
2.1.2 Morfologi Tanaman Jagung ...................................................................... 4
2.1.3 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung .............................................................. 5
2.2 Penyakit Bulai Jagung .................................................................................. 5
2.3 Jamur Trichoderma spp. .............................................................................. 8
2.3.1 Trichoderma asperellum ......................................................................... 11
2.3.2 Trichoderma koningii .............................................................................. 11
2.3.3 Trichoderma harzianum .......................................................................... 12
2.4 Pestisida Nabati Ekstrak Herbal ................................................................. 12
2.4.1 Seraiwangi (Cymbopogon nardus L.) ..................................................... 13
2.4.2 Kunyit (Curcuma longa L.)..................................................................... 13
2.4.3 Sirih (Piper betle L.) ............................................................................... 14
III. METODE PELAKSANAAN.......................................................................... 17
3.1 Kerangka Konsep ....................................................................................... 17
3.2 Kerangka Operasional ................................................................................ 18
3.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ................................................................ 19
3.4 Alat dan Bahan ............................................................................................ 19
3.5 Metode Penelitian........................................................................................ 19
3.6 Pelaksanaan Penelitian ................................................................................ 20
3.6.1 Uji Kompatibel ......................................................................................... 20
3.6.2 Menyiapkan Perbanyakan Trichoderma Formula Cair ............................ 20
3.6.3 Menyiapkan ekstrak herbal ...................................................................... 21
3.6.4 Menyiapkan Suspensi Konidia Peronosclerospora maydis ..................... 21
3.6.5 Menyiapkan Lahan Uji ............................................................................. 21
3.7 Analisis Data ............................................................................................... 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 24
4.1 Hasil dan Pembahasan................................................................................. 24
4.1.1 Gejala Penyakit Bulai ............................................................................... 25
4.1.2 Efektivitas Kombinasi Trichoderma spp. Dengan Ekstrak Herbal .......... 26
4.1.3 Masa Inkubasi Penyakit ........................................................................... 30
V. KESIMPULAN ................................................................................................ 34
VI.SARAN.............................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... 41
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Kategori ketahanan terhadap serangan penyakit bulai berdasarkan persentase
serangannya ............................................................................................................. 7
2. Rata-Rata Diameter Koloni Trichoderma spp. pada beberapa ekstrak herbal 3
hsi .......................................................................................................................... 24
3. Hasil Pengamatan Kejadian Penyakit Bulai (%) ............................................... 27
4. Hasil Pengamatan Masa Inkubasi Penyakit Bulai ............................................. 31
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1. Morfologi Tanaman Jagung ............................................................................... 5
2. Penyakit Bulai Pada Jagung ............................................................................... 8
3. Morfologi konidia dan Konidiofor Peronosclerospora. .................................... 8
4. Morfologi Trichoderma asperellum ................................................................. 11
5. Trichoderma koningii. ...................................................................................... 12
6. Trichoderma harzianum ................................................................................... 12
7. Denah Percobaan .............................................................................................. 22
8. Gejala Penyakit Bulai Pada Tanaman Jagung .................................................. 26
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Teks
1. Hasil Uji Sinergisme Trichoderma spp. Dengan Ekstrak Herbal .................... 41
2. Tabel Hasil Analisis Uji Sinergisme 2 Hari Setelah Inokulasi (hsi) ................ 43
3. Tabel Hasil Analisis Kejadian Penyakit Bulai ................................................. 43
4. Kegiatan Budidaya Di Lahan ........................................................................... 44
5. Perbanyakan Trichoderma spp. ........................................................................ 45
6. Dokumentasi Tanaman Jagung di Lahan ......................................................... 46
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan utama di
Indonesia dan sebagai bahan pangan yang mengandung protein, lemak, mineral,
dan vitamin. Selain itu jagung juga digunakan sebagai pakan ternak dan bahan
dasar seperti industri minyak jagung dan gula jagung (Dewan Jagung Nasional,
2011). Sebagian masyarakat memanfaatkan jagung untuk makanan pokok sehari-
hari karena mengandung karbohidrat dan dapat menggantikan beras. Sehingga
kebutuhan dan permintaan jagung dari tahun ke tahun terus meningkat.
Menurut Badan Pusat Statistika (2016), bahwa produksi jagung di Indonesia
mulai tahun 2010 sampai 2015 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2010 produksi
jagung 18.327.636 ton, tahun 2011 produksi jagung mengalami penurunan,
sehingga produksinya sebanyak 17.643.250 ton, tahun 2012 mengalami
peningkatan dengan jumlah produksi jagung 19.387.022 ton, tahun 2013
mengalami penurunan, sehingga jumlah produksi jagung 18.511.853 ton.
Sedangkan tahun 2014 dan 2015 produksi jagung mengalami peningkatan
mencapai 19.008.426 ton dan 19.612.435 ton. Terjadinya fluktuasi produksi
jagung tersebut dapat disebabkan oleh Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
salah satunya yaitu penyakit Bulai yang disebabkan oleh Peronosclerospora
maydis. Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis) berpengaruh terhadap
produksi jagung dan dapat menurunkan hasil hingga 90% (Semangun, 2004).
Beberapa daerah di Indonesia yang menjadi sentra produksi jagung nasional
menunjukkan bahwa penyakit bulai sudah menjadi endemik, sehingga dapat
mengancam pertumbuhan dan produksi tanaman jagung. Salah satu daerah yang
terjadi kasus bulai yaitu di Kabupaten Kediri, Kecamatan Langenharjo, Desa
Plemahan dengan intensitas serangan penyakit bulai mencapai 95%
(Burhanuddin, 2010). Namun, pengendalian yang dilakukan untuk menangani
penyakit tersebut masih sering menggunakan pestisida sintetis yang dapat
berdampak buruk bagi lingkungan juga kesehatan manusia. Akumulasi pestisida
yang terlalu tinggi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan,
konsumen, berkurangnya mikroorganisme tanah, dan kerentanan tanaman
(Miftakhun, 2017). Seperti penggunaan pestisida sintetis yang sampai saat ini
2
digunakan yaitu fungisida berbahan aktif metalaksil secara terus menerus dalam
jangka waktu yang lama telah memicu terjadi resistensi pada P. maydis
(Burhanuddin, 2009). Resistensi patogen terhadap fungisida menunjukkan daya
adaptasi patogen yang baik dan jumlahnya akan terus meningkat apabila fungisida
dengan jenis bahan aktif yang sama diaplikasikan secara terus menerus dalam
jangka waktu yang lama (Deising et al., 2008).. Maka dari itu diperlukan
pengendalian guna meminimalisir terjadinya kasus resistensi yaitu dengan
menggabungkan beberapa jenis fungisida dengan cara kerja yang berbeda (Gisi,
1996). Selain itu perlindungan tanaman tidak dapat dilaksanakan hanya dengan
mengandalkan satu tindakan saja, tetapi memerlukan kombinasi tindakan dengan
cara menyesuaikan jenis tanaman dan jenis OPT (Hasanah et. al., 2016).
Adapun alternatif yang dapat digunakan untuk menangani penyakit Bulai
(Peronosclerospora maydis) yaitu menggunakan fungisida nabati yang berasal
dari tumbuhan seperti seraiwangi, sirih, dan kunyit. Fungisida nabati tersebut
selain berasal dari tumbuhan juga dapat mengurangi adanya pencemaran
lingkungan dan tidak membahayakan bagi kesehatan manusia. Selain itu juga
dapat menggunakan jamur antagonis untuk mengendalikan penyakit bulai. Jamur
antagonis merupakan jamur yang dapat menekan atau menghambat pertumbuhan
jamur lain, misalnya seperti jamur Trichoderma spp. Trichoderma spp.
merupakan jamur yang bersifat saprofit dan secara alami menyerang jamur
patogen dan menguntungkan khususnya bagi tanaman jagung (Wahyuno et al.,
2009). Maka dari itu perlunya dilakukan penelitian ini untuk menguji keefektivan
kombinasi jamur Trichoderma spp. dengan fungisida nabati yang berasal dari
tumbuhan seperti seraiwangi, sirih, dan kunyit dalam mengendalikan penyakit
bulai dan diharapkan mampu lebih menekan perkembangan penyakit bulai.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menguji keefektifan kombinasi antara Trichoderma spp. dengan masing-
masing ekstrak herbal dalam mengendalikan penyakit bulai pada jagung.
2. Untuk mengetahui perlakuan kombinasi terbaik dari penggunaan Trichoderma
spp. dengan masing-masing ekstrak herbal dalam menekan kejadian penyakit
bulai pada tanaman jagung.
3
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat memberikan informasi mengenai keefektifan kombinasi antara
Trichoderma spp. dengan beberapa ekstrak herbal dalam mengendalikan penyakit
bulai pada jagung.
2. Dapat memberikan informasi mengenai pengaruh perlakuan yang lebih baik
dari penggunaan Trichoderma spp. dengan masing-masing ekstrak herbal dalam
menekan kejadian penyakit bulai pada tanaman jagung.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang dapat diajukan dari penelitian ini yaitu:
1. Kombinasi antara Trichoderma spp. dengan masing-masing ekstrak herbal
diduga efektif dalam menekan kejadian penyakit bulai
2. Terdapat perlakuan kombinasi terbaik antara Trichoderma spp. dengan ekstrak
herbal dalam menekan kejadian penyakit bulai pada tanaman jagung.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jagung
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Jagung
Klasifikasi tanaman jagung (Zea mays L.) menurut Warisno (2007) yaitu
memiliki Kingdom Plantae, Divisio Spermatophyta, Class Monocotyledonae,
Ordo Poales, Family Poaceae, Genus Zea, dan Species Zea mays L.
2.1.2 Morfologi Tanaman Jagung
Tanaman jagung merupakan tanaman semusim yang memiliki siklus hidup
selama 80-150 hari dan mengalami 2 tahap siklus pertumbuhan yaitu
pertumbuhan secara vegatatif dan pertumbuhan generatif. Tanaman jagung juga
merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian (serelia) dari keluarga
rumput-rumputan (Arianingrum, 2004).
Menurut Kasryno (2002), menyatakan bahwa akar tanaman jagung
merupakan akar serabut yang tumbuh di bagian pangkal batang dan menyebar
luas sebagai akar lateral. Batang jagung tidak bercabang, berbentuk bulat silindris
dan beruas-ruas, dan pada bagian pangkal batang beruas cukup pendek dengan
jumlah sekitar 8-20 ruas. Rata-rata tinggi jagung yaitu antara 1 sampai 3 meter di
atas permukaan tanah. Sedangkan daun tanaman jagung berbentuk pita atau garis
dan jumlah daunnya sekitar 8-48 helai tiap batangnya, tergantung pada jenis atau
varietas yang ditanam. Panjang daun jagung yaitu 30 sampai 45 cm, dan memiliki
lebar antara 5 cm sampai 15 cm (Warisno, 1998).
Setiap tanaman jagung biasanya terdapat bunga jantan dan bunga betina
yang letaknya terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung tanaman,
sedangkan bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Dimana bunga jantan
masak lebih dulu daripada bunga betina. Persarian yang terbaik terjadi pada pagi
hari, jumlah serbuk sari yang ada diperkirakan sekitar 2 sampai 5 juta per
tanaman. Serbuk sari terbentuk selama 7-15 hari. Pada umumnya persarian jagung
dibantu oleh angin (Warisno, 1998).
Buah tanaman jagung terdiri atas tongkol, biji, dan daun pembungkus
(Gambar 1). Biji jagung mempunyai bentuk, warna, dan kandungan endosperm
yang bervariasi, tergantung pada jenisnya. Pada umumnya jagung memiliki
barisan biji yang melilit secara lurus atau berkelok-kelok pada tongkol dan
5
berjumlah antara 8-20 baris biji. Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama yaitu
kulit biji, endosperm dan embrio (Syafruddin dan Fadhly, 2004).
Gambar 1. Morfologi Tanaman Jagung (Syafruddin dan Fadhly, 2004)
2.1.3 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung
Tanaman jagung dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun dataran
tinggi pada lahan sawah atau tegalan dan jagung menghendaki tempat terbuka dan
menyukai cahaya. Suhu optimal untuk tanaman jagung yaitu antara 21-34°C,
sedangkan pH tanah 5,6-7,5 dengan ketinggian antara 1000-1800 m dpl dan
ketinggian optimumnya antara 50-600 m dpl (Murni dan Arif, 2008). Kemudian,
curah hujan yang ideal untuk tanaman jagung pada umumnya yaitu antara 200
sampai dengan 300 mm per bulan atau yang memiliki curah hujan tahunan antara
800 sampai 1200 mm. Tingkat kemasaman tanah (pH) tanah yang optimal untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung berkisar antara 5,6 sampai
dengan 6,2. Saat tanam jagung tidak tergantung pada musim, namun tergantung
pada ketersediaan air yang cukup. Jika pengairannya cukup, penanaman jagung
pada musim kemarau akan memberikan pertumbuhan jagung yang lebih baik.
2.2 Penyakit Bulai Jagung
Penyakit bulai pada jagung disebabkan oleh Peronosclerospora maydis
dan merupakan penyakit penting juga yang menjadi salah satu faktor pembatas
peningkatan kualitas dan kuantitas produksi jagung, khususnya di Indonesia
(Iriany et al., 2003). Adapun taksonomi Peronosclerospora maydis yang
diklasifikasikan yaitu penyakit bulai memiliki Kingdom Chromista, Filum
Stramenopiles, Kelas Oomycetes, Ordo Peronosporales, Family Peronosporaceae,
Genus Peronosclerospora, dan Spesies Peronosclerospora maydis (Kirk, 2018).
6
Peronosclerospora di Indonesia terdapat 3 jenis patogen yaitu P. maydis, P.
sorghi, P. philippinensis (Rustiani et al., 2015). Ciri-ciri morfologi P. Maydis
yaitu memiliki konidiofor bercabang tiga sampai empat kali, berukuran 111-410
µm dan dilengkapi dengan sterigmata berujung konidia. Konidia berdinding tipis
dengan bentuk spherical dan subspherical, berdiameter 12-23 x 25-44 µm. Ciri
morfologi P. Sorghi yaitu konidiofor hyaline berukuran 183-300 µm namun,
jumlah percabangan hanya sebanyak 2 kali. P. sorghi juga memiliki konidia
berdinding tebal dengan ketebalan 1-2 µm, berbentuk spherical, berdiameter 9-10
x 10-11 µm. Sedangkan, sel konidiofornya P. philippinensis yaitu sel hyaline,
menyempit ke arah basal, determinate dengan jumlah percabangan 3 kali,
berukuran 150-300 µm, dan memiliki konidia berbentuk oval berdiameter 11-15 x
15-40 µm (Rustiani et al., 2015). Maka, perbedaan dari ketiga spesies
Peronosclerospora pada jagung tersebut terletak pada bentuk konidianya, jumlah
percabangan konidiofor, serta ukuran konidia dan konidiofornya. Konidia ketiga
spesies diamati tidak mengalami percabangan pada saat berkecambah (Rustiani et
al., 2015).
Selain itu, gejala khas dari penyakit bulai yaitu adanya warna klorotik
memanjang sejajar tulang daun, dengan batang yang jelas dari daun yang masih
sehat berwarna hijau normal. Kemudian, pada saat pagi hari sangat tampak di
permukaan bawah dan atas daun terdapat seperti tepung. Penyakit bulai ini
menyerang tanaman jagung sejak umur muda sekitar (10-15 HST), maka akan
terjadi infeksi yang sistemik dan intensitas serangan berat, sehingga dapat
menyebabkan kegagalan panen. Faktor iklim juga mempengaruhi perkembangan
Peronosclerospora spp. seperti kelembaban dan suhu udara, terutama pada
kelembaban di atas 80% dan suhu 28-30°C serta adanya embun (Matruti et. al.,
2013). Produksi spora Peronosclerospora membutuhkan kelembaban yang tinggi,
setidaknya terdapat lapisan air yang tipis selama 4-5 jam pada permukaan daun
yang terinfeksi. Sedangkan infeksi yang terjadi pada malam hari membutuhkan
suhu berkisar 21-26°C dan jumlah tanaman yang terinfeksi berkolerasi positif
dengan kelembaban dalam waktu yang relatif singkat (Bonde et al., 1982). Gejala
yang muncul tergantung kondisi saat terjadinya infeksi dan perkembangan spora
jamur yang terdapat dalam badan tanaman. Apabila infeksi dapat mencapai
7
gulungan daun, gejala menjadi sistemik, namun jika tidak, gejalanya lokal pada
bagian yang terinfeksi (Budiarti et. al., 2012). Gejala lain yang muncul yaitu
tanaman akan terhambat pertumbuhannya, termasuk pembentukan tongkol,
bahkan sama sekali tongkol jagung tidak terbentuk. Kemudian, daun-daun
menggulung dan terpuntir, bunga jantan berubah menjadi massa daun yang
berlebihan dan daun mengalami sobek-sobek (Semangun, 2004).
Peronosclerospora maydis adalah jamur yang bersifat parasit obligat
sehingga tidak dapat dilakukan uji antagonis dengan jamur endofit secara in vitro.
Parasit obligat adalah organisme yang tidak dapat hidup tanpa memparasit, tetapi
harus mendapatkan makanannya dari organisme hidup lainnya. Penyakit bulai
menyerang tanaman jagung mulai dari fase awal pertumbuhan hingga umur lebih
dari 21 hari setelah tanam (hst). Tanaman jagung yang telah dewasa dan terserang
penyakit tersebut tidak dapat menghasilkan serbuk sari, sehingga tanaman tidak
dapat menghasilkan buah. Sedangkan tanaman yang terinfeksi bulai pada umur
kurang dari 1 bulan tidak mampu meneruskan proses tumbuh dan secara perlahan
akan mati (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Selain itu, jagung memiliki kategori ketahanan varietas/ galur terhadap
serangan penyakit bulai berdasarkan persentase serangannya. Kategorinya seperti
pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Kategori ketahanan terhadap serangan penyakit bulai berdasarkan
persentase serangannya (Talanca, 2009)
Persentase Serangan Kategori Ketahanan
0,0 – 10% Sangat Tahan
>10 – 20% Tahan
>20 – 40% Agak Tahan
>40 – 60 % Rentan
>60 -100% Sangat rentan
Sedangkan siklus penyakit bulai jagung dari tanaman sehat menjadi
tanaman sakit, prosesnya dimulai dari sporulasi atau produksi konidia yang terjadi
pada malam hari antara pukul 24.00-04.00 WIB. Kemudian konidia tersebar oleh
tiupan angin di pagi hari dengan jarak tersebarnya konidia sampai beberapa
8
kilometer. Apabila konidia menempel pada daun jagung muda yang basah maka
dalam waktu 1 jam konidia tersebut akan berkecambah yang kemudian
menginfeksi daun melalui stomata. Organ reproduksi dimulai pada tengah malam
yaitu ditandai dengan munculnya tangkai konidia dari mulut daun, kemudian
tangkai-tangkai konidia tersebut semakin memanjang dan membentuk cabang-
cabang. Kemudian, terbentuk bakal konidia pada masing-masing ujung ranting
konidia, akhirnya tangkai dan bakal konidia semakin membesar sampai mencapai
pertumbuhan maksimal, kemudian menjadi masak dan lepas dari tangkai-tangkai
konidianya (Masdiar et al., 1981).
Gambar 2. Penyakit Bulai Pada Jagung (BPTP Yogyakarta, 2014)
Gambar 3. Morfologi konidia dan Konidiofor Peronosclerospora. (a: P. maydis, b: P. sorghi, c: P. philippinensis) (Rustiani et. al., 2014)
2.3 Jamur Trichoderma spp.
Trichoderma sp. merupakan salah satu mikroorganisme tanah yang bersifat
saprofit dan secara alami menyerang jamur patogen, sehingga menguntungkan
bagi tanaman. Adapun klasifikasi jamur Trichoderma yaitu memiliki Kingdom:
Fungi, Filum: Deuteromycota, Kelas: Deuteromycetes, Sub Kelas:
a b c
9
Deuteromycetidae, Ordo: Moniliales, Famili: Moniliaceae, Genus: Trichoderma,
Spesies: Trichoderma sp. (Harman, 2006). Trichoderma merupakan kapang atau
sejenis jamur yang mampu menghasilkan enzim selulotik. Sedangkan, enzim
selulotik merupakan enzim yang mampu mendegradasi selulosa yang terletak
pada dinding sel tumbuhan. Komponen dinding sel tanaman yaitu terdiri dari
selulosa, sekitar 35-50% selulosa dari berat kering tanaman terkandung pada
dinding sel tanaman tingkat tinggi (Lynd et. al., 2002).
Trichoderma sering dijumpai hampir pada semua jenis tanah dan berbagai
habitat dan jamur ini dapat digunakan sebagai agensia hayati pengendali patogen
tanah. Selain itu. Trichoderma dapat berkembang biak dengan cepat pada daerah
perakaran tanaman (Gusnawaty et al., 2014). Trichoderma spp. selain sebagai
mikroorganisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agens hayati.
Trichoderma spp. merupakan jamur yang mampu memarasit jamur patogen
tanaman dan bersifat antagonis karena kemampuannya untuk membunuh atau
menghambat pertumbuhan jamur lain (Purwantisari, 2009). Kemudian,
Trichoderma spp. juga banyak dimanfaatkan sebagai stimulator pertumbuhan
tanaman pada pengomposan bahan organik yang mampu memberikan efektivitas
yang baik dalam meningkatkan produksi jagung (Afitin dan Darmanti, 2009).
Trichoderma spp. juga dapat berperan sebagai jamur pengurai, pupuk hayati dan
sebagai biokondisioner pada benih (Tran, 2010).
Mekanisme yang dilakukan oleh Trichoderma spp. terhadap patogen yaitu
mikoparasit, antibiosis, serta kompetisi ruang dan nutrisi. Sedangkan mekanisme
yang terjadi oleh aktivitas Trichoderma spp. yaitu kompetitor ruang maupun
nutrisi, antibiosis dengan mengeluarkan etanol yang bersifat racun bagi patogen,
dan sebagai mikoparasit serta mampu menekan aktivitas jamur patogen
(Purwantisari et. Al., 2009). Pada proses kompetisi yang terjadi bisa saja
melibatkan kompetisi ruang maupun nutrisi pada kedua jamur yang saling
berinteraksi menyebabkan pertumbuhan salah satunya akan terdesak disepanjang
tepi koloni dikarenakan adanya hambatan dari koloni Trichoderma spp. yang
lebih cepat tumbuh dibandingkan jamur patogen. Trichoderma juga melakukan
aktivitas biokontrol dengan mekanisme mikoparasit yaitu diawali dengan hifa
Trichoderma melingkar (membelit) hifa patogen dan kemudian melakukan
10
penetrasi terhadap hifa jamur patogen sehingga pada akhirnya jamur patogen
kehilangan sitoplasmanya dan lisis (Howell, 2002). Selain itu juga kelebihan dari
jamur ini karena mudah diisolasi, daya adaptasinya luas, dapat tumbuh cepat pada
berbagai substrat, dan jamur ini juga memiliki kisaran mikroparasitisme yang luas
dan tidak bersifat patogen pada tanaman (Arwiyanto, 2003).
Trichoderma spp. adalah mikroorganisme yang mampu berkembang biak
dan mempertahankan diri dari lingkungan tumbuhnya, mempunyai kapasitas
reproduksi yang tinggi, mempunyai siklus hidup yang pendek, cukup mudah
direproduksi, dan kemungkinan menimbulkan resistensi sangat kecil (Kansrini,
2015). Senyawa antibiotik yang dihasilkan oleh Trichoderma spp. antara lain
yaitu asam harzianic, alamethicins, tricholin, peptaibols, massoilactone, viridin,
gliovirin, glisoprenins, asam heptelidic, trichodermin, dermadin (Kubicek &
Harman, 2002; Benitez et al., 2004; Sundari et al., 2014).
Produksi senyawa antibiotik pada setiap spesies Trichoderma berkolerasi
dengan kemampuan antagonisnya, terdapat produksi jenis antibiotik yang sama
namun memiliki kadar yang berbeda pada beberapa spesies Trichoderma.
Sehingga hal tersebut yang menyebabkan perbedaan daya antagonisme dari
masing-masing spesies Trichoderma spp. Namun, kemampuan masing-masing
jenis Trichoderma spp. berbeda dalam mengendalikan jamur patogen, hal ini
dikarenakan morfologi dan fisiologinya berbeda-beda (Widyastuti, 2006).
Perbedaan tersebut diduga juga karena pengaruh jenis, jumlah dan kualitas dari
antibiotik atau zat lain yang dihasilkan Trichoderma spp. yang dapat menghambat
pertumbuhan patogen (Herliyana et al., 2013).
Efisiensi daya antagonis jamur Trichoderma spp. yang berbeda terhadap
jamur patogen tertentu juga dapat disebabkan oleh kecepatan tumbuh, kadar, dan
macam senyawa kimia, serta enzim yang dihasilkan oleh masing-masing spesies
(Matroudi et al., 2009; Octriana, 2011; Amaria et al., 2013). Senyawa kitinase dan
protease berperan dalam mekanisme mikoparasitisme untuk melakukan hidrolisis
pada dinding sel patogen. Sedangkan jenis Trichoderma spp. yang mampu
digunakan untuk meningkatkan aktivitas sinergistik sebagai antifungal yaitu
Trichoderma harzianum yang memiliki kemampuan untuk menyatukan enzim
yang berbeda (Tronsmo dan Hjeljord, 1998). Mekanisme pengendalian yang
11
bersifat spesifik target dan mampu meningkatkan produksi tanaman, juga menjadi
kelebihan tersendiri bagi Trichoderma spp. (Suanda dan Ratnadi, 2015).
2.3.1 Trichoderma asperellum
Pada saat Trichoderma asperellum ditumbuhkan di media PDA setelah lima
hari muncul koloni berwarna hijau gelap dan miselium berwarna putih. Morfologi
dari miselium kasar dan spora berwarna hijau gelap yang terbentuk di tengah
koloni. T. asperellum mampu menghasilkan enzim yang dapat menyebabkan lisis
pada hifa inangnya dan memiliki sifat mikoparasit yang dapat menghambat
perkembangan patogen (Chet, 1987). Miselium T. asperellum memiliki tingkat
pertumbuhan yang tinggi, kapasitas sporulasi yang tinggi, dan efek penghambatan
yang sangat kuat pada patogen seperti pada penyakit busuk batang jagung. T.
asperellum juga mengeluarkan senyawa kitinase, glukanase, dan protease yang
dapat menghancurkan dinding sel dan berperan dalam mikoparasitisme (Wu Q et
al., 2017).
Gambar 4. Morfologi Trichoderma asperellum (Wu Q, et al., 2017)
2.3.2 Trichoderma koningii
T. koningii memiliki warna koloni yang bervariasi yaitu putih kehijauan
hingga hijau gelap. Memiliki konidiofor bercabang banyak sehingga koloninya
membentuk zona seperti cincin. Pada ujung-ujung konidiofor terdapat 5 fialid dan
terkadang juga tunggal. Fialid berukuran 7.5-12 x 2.5-3.5 μm. Pada ujung fialid
terdapat konidia yang berbentuk ellips dengan ukuran 3.0-4.8 x 1.9-2.8 μm (Rifai
1969).
12
Gambar 5. Trichoderma koningii. (a: konidiofor, b: fialid, c: konidia)
(Gusnawati et al., 2014)
2.3.3 Trichoderma harzianum
T. harzianum memiliki koloni bewarna hijau sampai hijau gelap. Percabangan
konidiofor membentuk sudut siku-siku pada konidiofor utama. Pada ujung
konidiofor terbentuk fialid yang berjumlah satu sampai lima, berbentuk pendek
dengan ujungnya meruncing dibandingkan dengan bagian tengahnya, dan
berukuran 5-7 x 3-3.5 μm. Konidia bulat dengan ukuran 2.8-3.2 x 2.5-2.8 μm
(Rifai 1969). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Trichoderma
harzianum mampu bertahan selama 17 hari setelah diaplikasikan ke tanaman (Efri
et al., 2009).
Gambar 6. Trichoderma harzianum. (a: konidiofor, b: fialid, c: konidia)
(Gusnawati et al., 2014)
2.4 Pestisida Nabati Ekstrak Herbal
Pestisida nabati adalah hasil ekstraksi bagian tertentu tanaman bisa dari
daun, buah, biji, maupun akar yang memiliki senyawa bersifat racun terhadap
a b c
a b c
13
hama dan penyakit tertentu (Achmad Djunaedy, 2009),. Penggunaan fungisida
nabati selain dapat menghambat perkembangan penyakit juga aman bagi
konsumen dan lingkungan, karena mudah terurai dan tidak meninggalkan residu
pada produk pertanian (Sudarmo, 2005). Tumbuhan yang dapat digunakan yaitu
seraiwangi, jahe, dan sirih. Tumbuhan tersebut mengandung senyawa kimia
seperti minyak atsiri yang berfungsi sebagai antibakteri dan antifungi (Kalemba
dan Kunicka, 2003).
2.4.1 Seraiwangi (Cymbopogon nardus L.)
Seraiwangi merupakan salah satu tanaman herbal yang memiliki klasifikasi
yaitu Divisi: Spermatophyta, Sub divisi: Angiospermase, Ordo: Graminales,
Family: Panicodiae, Genus: Cymbopogon, dan Spesies: Cymbopogon nardus L.
Tanaman ini dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit bulai pada tanaman
jagung, karena tanaman ini mengandung bahan aktif yang dapat menghambat dan
merusak sel mikroorganisme. Bahan aktif tersebut yaitu minyak atsiri yang
mengandung senyawa sitronelal yang merupakan senyawa monoterpen dengan
sifat antifungal yang tinggi (Nakahara et al., 2003). Selain itu senyawa terpene
dalam minyak atsiri serai wangi merupakan komponen yang paling dominan dan
efektif sebagai antifungi (Siripornvisal et al., 2009). Minyak atsiri memiliki
kemampuan untuk membunuh menghambat pertumbuhan jamur dan sifatnya
mudah menguap pada suhu ruangan tanpa mengalami dekomposisi (Guenther,
1987). Minyak atsiri ini juga melakukan aktivitas anti jamur dengan cara
menyerang ergosterol pada membran sel jamur sehingga menyebabkan perubahan
permeabilitas membran dan kerusakan membran yang akhirnya molekul-molekul
sel jamur akan keluar sehingga menyebabkan kematian sel (Ridawati dan Santoso,
2011). Pada penelitian yang telah dilakukan hasil menunjukkan bahwa ekstrak
serai wangi mampu menekan keterjadian penyakit bulai hingga 62,98 % pada
dosis 0,5 gram/ L (Rara et al., 2013).
2.4.2 Kunyit (Curcuma longa L.)
Kunyit merupakan salah satu tanaman obat yang dapat digunakan sebagai
zat pewarna dan pengharum makanan. Selain itu juga digunakan sebagai bahan
rempah yang memberi warna kuning. Klasifikasi tanaman kunyit yaitu memiliki
Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Sub-divisio: Angiospermae, Kelas:
14
Monocotyledoneae, Ordo: Zingiberales, Famili: Zingiberaceae, Genus: Curcuma,
Spesies: Curcuma longa L. (Hapsoh dan Rahmawati, 2008). Morfologi akar
kunyit yaitu memiliki bentuk rimpang yang panjang dan bulat dengan diameter 1-
2 cm dan panjangnya 3-6 cm. Tanaman ini dapat tumbuh tunas baru yang akan
menjadi tanaman baru. Memiliki tangkai bunga berambut, bersisik, daun kelopak
berambut dan berbentuk lanset. Sedangkan, kandungan kimia yang terdapat pada
rimpang kunyit adalah kurkumin, minyak atsiri, resin, desmetoksikurkumin,
oleoresin, dan bidesmetoksikurkumin. Kandungan kimia minyak atsiri kunyit
terdiri dari artumeron, α dan β-tumeron, tumerol, α-atlanton, β-kariofilen, linalol,
dan 1,8 sineol. Beberapa grub senyawa kimia utama yang bersifat antimikroba
yaitu fenol dan senyawa turunannya terbukti sebagai antibakteri dengan cara
merusak dinding sel yang mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan
komponen dinding sel pada sel yang tumbuh, mengubah permeabilitas membran
sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran nutrisi dari dalam sel, denaturasi
protein sel, dan menghambat kerja enzim di dalam sel (Pelezar dan Reid,1972).
Selain itu senyawa lain yang terdapat pada kunyit yaitu senyawa flavonoid dan
alkaloid. Senyawa flavonoid mampu merusak dinding sel sehingga menyebabkan
kematian pada sel (Heinrich, 2009). Selain itu senyawa flavonoid juga dapat
menghambat pembentukan protein sehingga menghambat pertumbuhan mikroba
(Sundari et al., 1996). Adapun kandungan senyawa lain seperti tanin yang dapat
merusak membran sel dan dapat merusak pembentukan konidia jamur (Cowan,
1999). Sedangkan senyawa alkaloid pada kunyit mampu mendenaturasi protein
sehingga merusak aktivitas enzim dan menyebabkan kematian pada sel
(Robinson, 1991).
2.4.3 Sirih (Piper betle L.)
Sirih merupakan salah satu jenis tanaman merambat dan bersandar pada
batang pohon lain. Tanaman ini memiliki tinggi sekitar 5-15 meter, memiliki daun
tunggal yang letaknya berseling dengan bentuk bervariasi mulai dari bundar telur
atau bundar telur lonjong, pangkal batang berbentuk jantung atau agak bundar
berlekuk sedikit, ujung daun runcing, pinggir daun rata agak menggulung ke
bawah, panjangnya sekitar 5-18 cm, lebarnya 3-12 cm. Warna daun hijau,
permukaan atasnya rata, mengkilat namun agak licin, memiliki tulang daun yang
15
agak tenggelam, sedangkan permukaan bawahnya agak kasar, kusam, dan
memiliki bau aromatiknya khas (Syamsu et al., 1997). Adapun klasifikasi
tanaman sirih ini yaitu memiliki Kingdom: Plantae, Division: Magnoliophyta,
Kelas: Magnoliopsida, Ordo: Piperales, Family: Piperaceae, Genus: Piper, dan
Spesies: Piper betle linn (Hariana A., 2007).
Sirih merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki sifat sebagai
fungisida dan bakterisida (Putri, 2010). Daun sirih mengandung 4,2% minyak
atsiri. Selain itu sirih mengandung senyawa aromatik seperti hidroksikavikol,
kavikol, dan betlepenol. Senyawa-senyawa aktif tersebut mampu menekan
pertumbuhan jamur patogen dengan cara mengganggu dinding sel atau
menghambat permeabilitas dinding sel sehingga komponen penting seperti protein
keluar dari sel dan sel berangsur-angsur mati (Koul et al., 2008). Pada penelitian
yang telah dilakukan hasil menunjukkan bahwa ekstrak sirih mampu menekan
keterjadian penyakit bulai hingga 41,90 % pada dosis 0,5 gram/ L (Rara et al.,
2013).
2.5 Kombinasi Trichoderma sp. dengan beberapa ekstrak herbal
Kombinasi antara jamur Trichoderma spp. dengan beberapa ekstrak herbal
pada beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil bahwa kedua komponen
tersebut saling bersinergi dalam mengendalikan beberapa penyakit tanaman.
Seperti pengendalian yang dilakukan dengan mengkombinasikan agens hayati
Trichoderma viridae dan B. Subtilis dalam mengendalikan penyakit hawar daun
pada tanaman jagung lebih efektif daripada aplikasi secara tunggal (Sadoma et al.,
2011). Selain itu pengendalian menggunakan kombinasi agens hayati jamur
Trichoderma sp. dengan fungisida nabati ekstrak herbal tanaman kunyit dan jahe
untuk mengendalikan jamur Fusarium Oxysporum pada tanaman cabai
menunjukkan hasil bahwa kedua komponen tersebut dapat menurunkan infeksi
layu fusarium hingga 60,05%. Namun, tetap harus diformulasikan secara tepat
agar jamur tetap hidup dan efektif mengendalikan patogen. Pada percobaan lain
secara in vitro juga menunjukkan bahwa antagonisme campuran jamur
Trichoderma spp. dengan ekstrak kunyit dan daun sirih terhadap jamur Fusarium
f. sp. capsici, tidak hanya disebabkan oleh Trichoderma spp. namun, ekstrak
16
kunyit dan daun sirih juga berperan dalam menghambat pertumbuhan jamur
patogen tersebut (Sudantha, 2010).
2.6 Kelebihan dan Kekurangan Pestisida Nabati
Setiap penggunaan pestisida nabati pasti ada kelebihan dan kekurangan
dalam mengendalikan OPT sasaran. Adapun kelebihan pestisida nabati yaitu
memiliki spektrum pengendalian yang luas, ketersediaan bahan baku di alam yang
melimpah, sehingga pada proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi
yang tinggi. Selain itu karena bahan aktifnya berasal dari alam, maka pestisida
nabati mudah terurai (bio-degradable) sehingga relatif aman bagi kehidupan
(Wiratno, et al., 2008).
Selain memiliki kelebihan, adapun kekurangan penggunaan pestisida
nabati yaitu bahan aktifnya yang mudah terurai sehingga pestisida nabati ini tidak
tahan disimpan dalam jangka waktu yang lama, memiliki daya kerja relatif lambat
sehingga aplikasinya harus sering dilakukan dibanding pestisida sintetis.
Kemudian, pestisida nabati juga memiliki tingkat toksisitas yang rendah, sehingga
tidak langsung mematikan OPT sasaran.
17
III. METODE PELAKSANAAN
3.1 Kerangka Konsep
Jagung merupakan sumber karbohidrat
dan menjadi pangan utama
Mengalami fluktuasi karena
OPT, salah satunya Bulai (P. maydis)
Pengendalian masih menggunakan
pestisida sintetis atau bahan kimia
Agens Hayati Jamur
Trichoderma spp.
ALTERNATIF
Pestisida Nabati ekstrak herbal seraiwangi, kunyit, dan sirih
Kombinasi jamur Trichoderma spp. dan
ekstrak herbal seraiwangi, kunyit, dan
sirih
Untuk menguji keefektivan kombinasi Trichoderma spp.
dengan ekstrak herbal seraiwangi, kunyit, dan sirih.
18
3.2 Kerangka Operasional
Membuat Formula
Trichoderma spp. cair
Membuat Ekstrak Herbal
Membuat Suspensi Konidia
Peronosclerospora maydis
Menyiapkan Lahan Uji
Menanam spreader
Menanam Tanaman Uji
Aplikasi Trichoderma
spp. dan Ekstrak Herbal
Perawatan dan Pengamatan
19
3.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan di PT. BISI International Tbk. yang terletak di Desa
Sumberagung, Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kegiatan
penelitian dimulai pada bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2019.
3.4 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan untuk penelitian yaitu pipet tetes, kertas saring,
beaker glass, oven, blender, saringan, cawan petri, plastik wrapp, korek api, gelas
ukur, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), mikroskop, autoclave, timbangan
analitik, api bunsen, jarum ose, erlenmeyer, haemocytometer, shaker, kamera, dan
alat tulis. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan yaitu media Potato Dextrose
Agar (PDA), Potato Dextrose Broth (PDB), benih jagung varietas BISI-18, gula,
ekstrak seraiwangi, kunyit, sirih, air, alkohol 70%, aquades steril, tissue steril,
plastik tahan panas, karet, kertas label, isolat Trichoderma spp. koleksi PT. BISI
International Tbk.
3.5 Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu menggunakan metode
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 11 perlakuan dan ulangan sebanyak 3
kali ulangan dan dilakukan di PT. BISI International Tbk. Sedangkan
perlakuannya sebagai berikut:
P0 = Kontrol
P1 = Dimetomorf
P2 = Trichoderma asperellum + ekstrak serai wangi
P3 = Trichoderma asperellum + ekstrak kunyit
P4 = Trichoderma asperellum + ekstrak sirih
P5 = Trichoderma koningii + ekstrak serai wangi
P6 = Trichoderma koningii + ekstrak kunyit
P7 = Trichoderma koningii + ekstrak sirih
P8 = Trichoderma harzianum + ekstrak serai wangi
P9 = Trichoderma harzianum + ekstrak kunyit
P10 = Trichoderma harzianum + ekstrak sirih
20
3.6 Pelaksanaan Penelitian
3.6.1 Uji Kompatibel
Uji kompatibel dilakukan untuk mengetahui kompatibilitas antara jamur
Trichoderma spp. dengan beberapa ekstrak herbal yang digunakan untuk
mengendalikan penyakit Bulai. Pengujian dilakukan secara in vitro dengan cara
menumbuhkan Trichoderma spp. media Potato Dextrose Agar (PDA) yang telah
dihomogenkan dengan larutan ekstrak herbal. Dosis yang digunakan untuk
pengujian yaitu 0,5 gram/L pada setiap masing-masing ekstrak herbal. Kemudian,
melakukan pengamatan setiap hari dengan cara mengukur diameter pertumbuhan
jamur Trichoderma spp. pada cawan. Apabila hasilnya jamur Trichoderma spp.
dengan masing-masing ekstrak herbal saling kompatibel maka dapat dilakukan uji
lanjut dalam skala lapang.
3.6.2 Menyiapkan Perbanyakan Trichoderma Formula Cair
Menyiapkan Trichoderma spp. formula cair yaitu terlebih dahulu membuat
media Potato Dextrose Broth (PDB) sebanyak 600 ml yang dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 1 Liter. Kemudian, mensterilkan media PDB menggunakan autoclave
dengan suhu 120°C. Setelah proses sterilisasi selesai, menunggu media PDB
sampai dingin. Lalu, isolat jamur Trichoderma spp. diinokulasikan ke dalam
masing-masing erlenmeyer yang berisi media PDB. Setelah itu, dishaker selama 7
hari dan menghitung kerapatan spora jamur Trichoderma spp. menggunakan alat
haemocytometer sampai diperoleh kerapatan 1 x 106 spora/ ml (Nurahmi et al.,
2012). Sedangkan menurut BBPPTP (2014), rumus perhitungan kerapatan spora
yaitu:
S = X / (L x t x d) x 103
Keterangan:
S: Kerapatan spora
X: Rerata jumlah konidia pada kotak a, b, c dan d
L: Luas kotak hitung
T: Kedalaman bidang hitung
d: Faktor pengenceran
21
3.6.3 Menyiapkan ekstrak herbal
Pembuatan ekstrak herbal seraiwangi, kunyit dan sirih dilakukan dengan
cara mengupas kulit dan mencuci menggunakan air mengalir hingga bersih dari
kotoran. Kemudian, memotong kecil-kecil bagian tanaman tersebut dan
dikeringkan menggunakan oven sampai kering. Selanjutnya masing-masing bahan
dihancurkan atau dihaluskan menggunakan blender dan diayak untuk
mendapatkan tepung yang halus. Lalu, membuat larutan induk fungisida nabati
dengan cara melarutkan masing-masing bahan tanaman seraiwangi, kunyit, dan
sirih, sebanyak 0,5 gram ke dalam 1000 ml air steril dan dihomogenkan dengan
cara dishaker, kemudian disaring untuk mendapatkan ekstraknya.
3.6.4 Menyiapkan Suspensi Konidia Peronosclerospora maydis
Pada pembuatan suspensi konidia P. maydis dilakukan dengan mengambil
tanaman jagung yang telah terinfeksi jamur P. maydis. Kemudian, bagian daun
yang bergejala tersebut diserut menggunakan kuas supaya spora jatuh ke dalam
wadah yang telah berisi air. Setelah itu diinokulasikan pada tanaman percobaan
dengan cara disemprot pada waktu dini hari karena konidia mampu berkembang
dalam kondisi yang lembab. Kerapatan spora P. maydis yang digunakan diperoleh
sebanyak 1,5 x 1010 spora/ ml.
3.6.5 Menyiapkan Lahan Uji
a. Menanam Spreader
Penanaman tanaman ini dilakukan sebagai sumber inokulum jamur
Peronosclerospora maydis sehingga tanaman uji dapat terinfeksi dari tanaman
spreader tersebut. Tanaman jagung yang terinfeksi oleh jamur Peronosclerospora
maydis ditanam mengelilingi tanaman uji selama 2-3 minggu hingga tanaman
terserang penyakit.
b. Menanam Tanaman Uji
Penanaman tanaman uji dilakukan di tengah-tengah tanaman jagung
yang telah terinfeksi penyakit bulai. Benih yang digunakan sebagai tanaman uji
menggunakan varietas BISI-18 dan jarak penanaman jagung yaitu 70 cm x 20 cm.
Percobaan dilakukan menggunakan 11 perlakuan. Setiap perlakuan berjumlah 50
tanaman dan diulang sebanyak 3 kali. Mulai penanaman awal tanaman uji
22
dilakukan pengamatan dengan mengamati daya tumbuh, kejadian penyakit bulai
dan masa inkubasi.
Gambar 7. Denah Percobaan
Keterangan:
: Tanaman Terserang
: Tanaman Uji
c. Aplikasi Trichoderma spp. dan Ekstrak Herbal
Pada pengaplikasian Trichoderma spp. dilakukan dengan kocor
sebanyak 200ml/ tanaman sedangkan ekstrak herbal diaplikasikan dengan cara
disemprot ke permukaan daun jagung dan diaplikasikan selama 5 kali setiap 7 hari
sekali pada umur 7 hari setelah tanam (hst), 14 hst, 21 hst, 28 hst, dan 35 hst.
Trichoderma spp. diaplikasikan dengan cara dikocor supaya langsung dapat
mengenai daerah perakaran tanaman jagung karena dapat memicu aktivitas enzim
peroksida yang berfungsi untuk memperkuat dinding seluler melawan degradasi
enzim yang dihasilkan oleh patogen melalui pembentukan protein struktural di
dinding seluler. Peroksida adalah enzim yang berperan sebagai katalisator pada
proses akhir dari biosintesis lignin dan proses hidrogen peroksida. Sedangkan
pada ekstrak herbal diaplikasikan dengan cara disemprot karena menggunakan
metode ini ketahanan yang dibentuk setelah tanaman terinfeksi oleh patogen.
Kemudian, tanaman yang telah terinfeksi patogen mengaktifkan gen yang dapat
melawan untuk pertahanan tanaman (Pieterse, 2009). Namun, sebelum
Trichoderma spp. diaplikasikan, terlebih dahulu menghitung kerapatan spora
menggunakan Haemocytometer hingga diperoleh kerapatan 1 x 106 spora/ ml.
d. Perawatan dan Pengamatan
Kegiatan perawatan dan pengamatan dilakukan setiap hari untuk
mengetahui munculnya penyakit mulai dari awal penanaman. Perawatan
23
dilakukan dengan membersihkan gulma yang tumbuh di sekitar tanaman uji.
Sedangkan kegiatan pengamatan dilakukan dengan mengamati:
1. Masa inkubasi
Pengamatan masa inkubasi dilakukan pada saat awal penanaman tanaman uji
sampai terserangnya penyakit.
2. Kejadian Penyakit
Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase kejadian penyakit yang
terjadi. Adapun rumus untuk menghitung kejadian penyakit menurut Ginting
(2013), menghitung kejadian penyakit yaitu:
KP =
ே x 100%
Keterangan:
KP : Kejadian Penyakit
n : Jumlah tanaman terserang
N : Jumlah tanaman yang diamati
Selain itu berdasarkan Buku Pedoman Uji Mutu dan Uji Efikasi Lapangan Agens
Pengendali Hayati (APH) 2014, bahwa kriteria efektivitas suatu pestisida yaitu
apabila kemampuan dalam menghambat suatu patogen >50% maka dapat
dikatakan efektif.
3.7 Analisis Data
Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA)
pada taraf nyata 5%. Apabila ada yang berbeda nyata antar perlakuan, maka
dilakukan uji lanjut menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf nyata
yang sama.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Pembahasan
Pada peneltian uji efektivitas kombinasi Trichoderma spp. dengan beberapa
ekstrak herbal terhadap penyakit bulai pada tanaman jagung dilakukan dengan
mengamati beberapa paramater pengamatan yaitu uji kompatibel, persentase
kejadian penyakit dan masa inkubasi sebagai berikut:
4.1.1 Uji Kompatibel
Sebelum dilakukan uji efektivitas, terlebih dahulu dilakukan uji kompatibel
antara Trichoderma spp. dengan ekstrak seraiwangi, kunyit dan sirih. Berdasarkan
hasil pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa Trichoderma spp. saling
kompatibel dengan masing-masing ekstrak seraiwangi, kunyit dan sirih (Tabel 2).
Jamur Trichoderma spp. dapat tumbuh pada media PDA yang telah dilarutkan
dengan ekstrak seraiwangi, kunyit dan sirih pada 2 hari setelah inokulasi (hsi).
Tabel 2. Rata-Rata Diameter Koloni Trichoderma spp. pada beberapa ekstrak
herbal 2 hsi
No Perlakuan Rata-rata diameter
koloni (cm) 2 hsi
1 Trichoderma asperellum + seraiwangi 7.0 bc 2 Trichoderma asperellum + kunyit 6,8 bc 3 Trichoderma asperellum + sirih 6,3 ab 4 Trichoderma koningii + seraiwangi 7,3 c 5 Trichoderma koningii + kunyit 7,3 c 6 Trichoderma koningii + sirih 7,0 bc 7 Trichoderma harzianum + seraiwangi 6,0 ab 8 Trichoderma harzianum + kunyit 6,3 ab 9 Trichoderma harzianum + sirih 5,5 a
10 Trichoderma asperellum tanpa ekstrak 6,3 bc 11 Trichoderma koningii tanpa ekstrak 7,3 c 12 Trichoderma harzianum tanpa ekstrak 6,0 ab
Keterangan: Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey taraf 5%.
Berdasarkan hasil uji sinergisme yang dilakukan dengan menumbuhkan
jamur Trichoderma spp. pada media PDA yang telah dihomogenkan dengan
larutan ekstrak herbal diperoleh hasil bahwa Trichoderma spp. dapat tumbuh pada
25
2 hari setelah inokulasi (hsi) dengan rata-rata diameter yang berbeda. Perlakuan
Trichoderma koningii dengan ekstrak seraiwangi, T. koningii dengan kunyit dan
T. koningii tanpa ekstrak memiliki diameter yang paling tinggi yaitu 7,3 cm
selama 2 hsi. Kemudian, diameter koloni tertinggi ke rendah berturut-turut yaitu
pada perlakuan T. asperellum dengan seraiwangi dan T. koningii dengan sirih
yang memiliki diameter koloni 7 cm. T. asperellum dengan kunyit berdiameter 6,8
cm. Perlakuan T. asperellum dengan sirih, T. harzianum dengan kunyit, T.
asperellum tanpa ekstrak memiliki diameter 6,3 cm. Lalu, perlakuan T. harzianum
dengan seraiwangi dan T. harzianum tanpa ekstrak memiliki diameter 6 cm,
sedangkan perlakuan Trichoderma dengan sirih berdiameter 5,5 cm.
Hasil analisis diperoleh bahwa T. asperellum, T. koningii dan T. harzianum
tanpa ekstrak dengan kombinasi ketiga spesies Trichoderma spp. tersebut dengan
masing-masing ekstrak menunjukkan bahwa jamur Trichoderma spp. tidak
adanya penghambatan yang berarti sehingga Trichoderma spp. mampu tetap
tumbuh. Namun, terdapat beberapa perlakuan yang kecepatan tumbuh
Trichodermanya berbeda seperti T. harzianum dengan sirih kecepatan tumbuh
Trichoderma lebih lambat dibandingkan dengan T. koningii dengan seraiwangi, T.
koningii dengan kunyit dan T. koningii tanpa ekstrak. Diduga hal tersebut terjadi
karena adanya aktifitas penghambatan ekstrak sirih yang dilakukan terhadap T.
harzianum. Namun, pada 7 hsi cendawan Trichoderma spp. mampu tumbuh
memenuhi cawan petri pada masing-masing ekstrak seraiwangi, kunyit dan sirih
karena Trichoderma spp. adalah mikroorganisme yang mampu berkembang biak
dan mempertahankan diri dari lingkungan tumbuhnya (Kansrini, 2015). Sehingga
kombinasi antara Trichoderma spp. dengan ekstrak herbal saling kompatibel.
4.1.2 Gejala Penyakit Bulai
Pada penelitian uji efektivitas kombinasi Trichoderma spp. dengan beberapa
ekstrak herbal perlu dilakukan pengamatan gejala penyakit bulai penyebab
cendawan Peronosclerospora maydis untuk mengetahui persentase jumlah
tanaman yang terserang penyakit dan sebagai sumber inokulum untuk
menginfeksi tanaman. Gejala yang muncul ditandai adanya spora dibagian bawah
permukaan daun, dan muncul garis-garis berwarna putih yang sejalur dengan
tulang daun seperti pada gambar 8. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
26
menyatakan bahwa gejala khas dari penyakit bulai yaitu adanya warna klorotik
memanjang sejajar tulang daun, dengan batang yang jelas dari daun yang masih
sehat berwarna hijau normal (Matruti et. al., 2013). Apabila serangan terjadi pada
tanaman yang masih muda biasanya akan cepat mati karena tidak mampu untuk
melanjutkan pertumbuhannya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan yang
menyatakan bahwa penyakit bulai ini menyerang tanaman jagung sejak umur
muda sekitar (10-15 HST), maka akan terjadi infeksi yang sistemik dan intensitas
serangan berat, sehingga dapat menyebabkan kegagalan panen (Matruti et. al.,
2013). Sedangkan secara mikroskopis bentuk konidia P. maydis yaitu berbentuk
bulat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang menyatakan bahwa konidia P.
maydis berbentuk bulat sperikal-subsperikal (Shaw, 1976).
Gambar 8. Gejala Penyakit Bulai Pada Tanaman Jagung
4.1.3 Efektivitas Kombinasi Trichoderma spp. Dengan Ekstrak Herbal
Kejadian penyakit merupakan banyaknya penyakit yang muncul pada
tanaman jagung yang dihitung dalam bentuk persentase. Berdasarkan pengamatan
uji efektivitas kombinasi antara jamur Trichoderma spp. dengan beberapa ekstrak
herbal untuk mengendalikan jamur Peronosclerospora maydis pada jagung yang
terdiri dari 11 perlakuan diperoleh hasil kejadian penyakit pada tabel 3 sebagai
berikut:
27
Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Trichoderma spp. dengan Ekstrak Herbal Terhadap
Kejadian Penyakit Bulai (%)
Perlakuan Kejadian Penyakit (%)
1 msi 2 msi 3 msi 4 msi
Kontrol 0,0 29,3 35,3 b 44,0 b Dimetomorf 0,0 0,0 3,3 a 3,33 a Trichoderma asperellum+seraiwangi 0,0 0,0 2,0 a 2,67 a Trichoderma asperellum+kunyit 0,0 0,0 2,0 a 3,33 a Trichoderma asperellum+sirih 0,0 2,7 4,0 a 4,67 a Trichoderma koningii+seraiwangi 0,0 0,0 3,3 a 5,0 a Trichoderma koningii+kunyit 0,0 0,0 2,7 a 2,7 a Trichoderma koningii+sirih 0,0 0,7 4,0 a 4,0 a Trichoderma harzianum+seraiwangi 0,0 0,0 3,3 a 3,3 a Trichoderma harzianum+kunyit 0,0 0,0 2,0 a 2,0 a Trichoderma harzianum+sirih 0,0 0,7 2,0 a 2,0 a Keterangan: Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey taraf 5%.
Berdasarkan tabel di atas diperoleh hasil pengamatan 1 minggu setelah
inokulasi (msi) sampai 4 msi menunjukkan hasil bahwa 1 msi tanaman belum
menunjukkan gejala, namun gejala mulai muncul pada 2 msi dan mengalami
kenaikan persentase penyakit pada 3 msi, sedangkan pada 4 msi terdapat beberapa
perlakuan yang mengalami kenaikan namun juga terdapat perlakuan yang tidak
mengalami kenaikan persentase. Maka, pengamatan terakhir pada 4 msi dengan
perlakuan kontrol yang memiliki kejadian penyakit sebesar 44%, perlakuan
berbahan aktif Dimetomorf sebesar 3,33%, perlakuan kombinasi antara
Trichoderma asperellum dengan seraiwangi diperoleh hasil sebesar 2,67%, T.
asperellum dengan kunyit sebesar 3,33%, dan T. asperellum dengan sirih sebesar
4,67%.
Kemudian, perlakuan kombinasi antara Trichoderma koningii dengan
seraiwangi diperoleh hasil kejadian penyakit sebesar 4,7%, T. koningii dengan
kunyit sebanyak 2,7%, dan T. koningii dengan sirih sebanyak 4%. Sedangkan
untuk perlakuan kombinasi antara Trichoderma harzianum dengan seraiwangi
diperoleh hasil kejadian penyakit sebanyak 3,3%, T. harzianum dengan kunyit
sebanyak 2%, dan T. harzianum dengan sirih memiliki kejadian penyakit
sebanyak 2%. Sehingga dapat diketahui perlakuan yang memiliki kejadian
28
penyakit paling tinggi yaitu kontrol, sedangkan perlakuan yang memiliki kejadian
penyakit paling rendah yaitu T. harzianum dengan kunyit dan T. harzianum
dengan sirih.
Berdasarkan data hasil pengamatan kejadian penyakit tersebut perlakuan
yang memiliki persentase kejadian penyakit paling besar yaitu pada kontrol yang
tidak diberi perlakuan sama sekali diberi notasi (b) dan hasilnya sangat berbeda
nyata dengan perlakuan fungisida sintetik berbahan aktif Dimetomorf. Begitu juga
dengan perlakuan kombinasi antara Trichoderma spp. dengan beberapa ekstrak
herbal yang memiliki persentase kejadian penyakitnya rendah yang diberi notasi
(a) juga berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Namun, antar perlakuan
kombinasi Trichoderma spp. dengan masing-masing ekstrak seraiwangi, kunyit
dan sirih tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
Adapun kategori ketahanan tanaman jagung terhadap serangan penyakit
bulai berdasarkan persentase serangannya, apabila persentase serangan 0,0-10%
termasuk kategori sangat tahan, >10—20% kategori tahan, >20-40% kategori
agak tahan, >40-60% kategori rentan, dan >60-100% termasuk dalam kategori
sangat rentan (Talanca, 2009). Maka, jika kejadian penyakit perlakuan kontrol
sebanyak 44%, jika dikategorikan ke dalam ketahanan tanaman termasuk kategori
yang rentan. Hal tersebut menunjukkan bahwa inokulasi yang dilakukan
menggunakan jamur Peronosclerospora maydis mampu menginfeksi penyakit
tersebut ke dalam tanaman sehat. Sehingga perlakuan kontrol dapat dijadikan
sebagai indikator perbandingan dalam membandingkan dengan perlakuan
kombinasi.
Perlakuan kombinasi Trichoderma spp. dengan masing-masing ekstrak
herbal memiliki persentase kejadian penyakit berkisar mulai dari 2-5%, jika
dikategorikan pada ketahanan tanaman maka termasuk ke dalam kategori sangat
tahan. Sehingga perlakuan kombinasi tersebut efektif dan mampu menghambat
pertumbuhan penyakit bulai yang disebabkan oleh jamur Peronosclerospora
maydis pada tanaman jagung. Selain itu penghambatan yang dilakukan oleh
Trichoderma spp. dengan masing-masing ekstrak seraiwangi, kunyit dan sirih
hasilnya >50% maka dapat dikatakan efektif dalam menekan kejadian penyakit
bulai. Sesuai dengan pernyataan yang menyatakan bahwa Trichoderma spp.
29
merupakan jamur yang memiliki kemampuan memarasit cendawan patogen
tanaman dan bersifat antagonis karena kemampuannya untuk membunuh atau
menghambat pertumbuhan jamur lain (Purwantisari, 2009).
Pada perlakuan berbahan aktif dimetomorf dan hasil kejadian penyakitnya
tidak berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi yang lain. Hal ini menunjukkan
juga bahwa kombinasi antara Trichoderma spp. dengan masing-masing ekstrak
herbal mampu digunakan sebagai alternatif dari penggunaan fungisida berbahan
aktif kimia yaitu dimetomorf. Dimetomorf yang digunakan ini memiliki cara kerja
menghambat pembentukan dinding sel diikuti dengan gagalnya sintesis tabung
kecambah (Cohen et al., 1995).
Perlakuan terbaik yang memiliki kejadian penyakit paling rendah yaitu
kombinasi antara T. harzianum dengan ekstrak kunyit dan T. harzianum dengan
ekstrak sirih yang sama-sama memiliki hasil persentase kejadian penyakit sebesar
2%. Diduga hal tersebut dikarenakan perlakuan kombinasi T. harzianum dengan
ekstrak kunyit dan sirih lebih memiliki ketahanan terhadap penyakit bulai
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Sesuai dengan pernyataan yang
menyatakan bahwa jenis Trichoderma spp. yang mampu digunakan untuk
meningkatkan aktivitas sinergistik sebagai antifungal yaitu Trichoderma
harzianum yang memiliki kemampuan untuk menyatukan enzim yang berbeda
(Tronsmo dan Hjeljord, 1998). Sehingga pada pengujian di lapang T. harzianum
lebih mampu bersinergi dengan ekstrak kunyit dan sirih.
Namun, pada perlakuan T. harzianum dengan ekstrak seraiwangi memiliki
persentase kejadian penyakit yang lebih besar dibandingkan dengan kombinasi T.
harzianum dengan ekstrak kunyit dan sirih, hal ini diduga terjadi karena adanya
sedikit penghambatan T. harzianum yang dilakukan oleh ekstrak seraiwangi.
Tetapi hal tersebut tidak menunjukkan hasil yang signifikan dalam menghambat
penyakit bulai. T. harzianum juga menghasilkan etanol sebagai respon dalam
menghambat pertumbuhan jamur patogen (Mumpuni et al., 1998). Begitu juga
dengan perlakuan kombinasi T. koningii dengan ekstrak seraiwangi, hal ini terjadi
sama dengan perlakuan kombinasi T. harzianum dengan ekstrak seraiwangi yang
memiliki hasil persentase kejadian penyakit lebih besar dibandingkan dengan
kombinasi T. koningii dengan ekstrak herbal sirih dan kunyit. Namun, hal tersebut
30
tidak terjadi pada perlakuan kombinasi T. asperellum dengan ekstrak seraiwangi
yang justru memiliki hasil persentase kejadian penyakit paling rendah dibanding
dengan T. asperellum dengan ekstrak kunyit dan sirih. Perbedaan hasil persentase
kejadian penyakit tersebut dapat disebabkan oleh kemampuan masing-masing
jenis Trichoderma spp. yang berbeda dikarenakan perbedaan karakteristik
morfologi dan fisiologinya (Widyastuti, 2006).
Sedangkan ekstrak seraiwangi, kunyit dan sirih sama-sama memiliki sifat
sebagai fungisida nabati. Ekstrak seraiwangi yang memiliki bahan aktif minyak
atsiri dan di dalam minyak atsiri tersebut memiliki senyawa sitronelal yang
merupakan senyawa monoterpen dengan sifat antifungal yang tinggi (Nakahara et
al., 2003). Senyawa lainnya yaitu senyawa terpene dalam minyak atsiri serai
wangi merupakan komponen yang paling dominan dan efektif sebagai antifungi
(Siripornvisal et al., 2009). Ekstrak kunyit memiliki senyawa flavonoid yang
mampu merusak dinding sel sehingga menyebabkan kematian pada sel (Heinrich,
2009). Sedangkan ekstrak sirih mengandung senyawa aromatik seperti
hidroksikavikol, kavikol, dan betlepenol. Senyawa-senyawa aktif tersebut mampu
menekan pertumbuhan jamur patogen dengan cara mengganggu dinding sel atau
menghambat permeabilitas dinding sel sehingga komponen penting seperti protein
keluar dari sel dan sel berangsur-angsur mati (Koul et al., 2008).
4.1.3 Masa Inkubasi Penyakit
Masa inkubasi penyakit merupakan masa dimana penyakit Bulai mulai
menyerang tanaman jagung mulai dari awal tanaman diinokulasi dengan
cendawan Peronosclerospora maydis hingga munculnya penyakit. Berdasarkan
pengamatan diperoleh hasil masa inkubasi dari 11 perlakuan pada tabel 4 sebagai
berikut:
31
Tabel 4. Hasil Pengamatan Masa Inkubasi Penyakit Bulai
No Perlakuan Masa Inkubasi
(hari setelah inokulasi) 1 Kontrol 8 2 Dimetomorf 16 3 Trichoderma asperellum + seraiwangi 16 4 Trichoderma asperellum + kunyit 18 5 Trichoderma asperellum + sirih 8 6 Trichoderma koningii + seraiwangi 16 7 Trichoderma koningii + kunyit 16 8 Trichoderma koningii + sirih 10 9 Trichoderma harzianum + seraiwangi 16 10 Trichoderma harzianum + kunyit 16 11 Trichoderma harzianum + sirih 8
Berdasarkan hasil pengamatan masa inkubasi pada jagung mulai dari awal
tanaman diinokulasi hingga terserang penyakit Bulai diperoleh hasil bahwa
perlakuan kontrol, kombinasi Trichoderma asperellum dengan ekstrak sirih,
kombinasi Trichoderma harzianum dengan ekstrak sirih terserang penyakit
dimulai dari 8 hari setelah inokulasi (hsi). Lalu, perlakuan kombinasi
Trichoderma koningii dengan ekstrak sirih mulai terserang penyakit 10 hsi.
Kemudian, perlakuan Dimetomorf, T. asperellum dengan ekstrak seraiwangi, T.
koningii dengan ekstrak seraiwangi, T. koningii dengan ekstrak kunyit, T.
harzianum dengan ekstrak seraiwangi, dan T. harzianum dengan ekstrak kunyit
mulai terserang penyakit pada 16 hsi, sedangkan untuk perlakuan T. asperellum
dengan ekstrak mulai terserang penyakit pada 18 hsi. Sehingga dapat diketahui
dari 11 perlakuan tersebut bahwa perlakuan yang terserang lebih cepat yaitu pada
perlakuan kontrol, kombinasi T. asperellum dengan ekstrak sirih, kombinasi T.
harzianum dengan ekstrak sirih, sedangkan perlakuan yang paling lambat
terserang penyakit yaitu kombinasi T. asperellum dengan ekstrak kunyit.
Berdasarkan pengamatan terlihat kontrol lebih cepat terserang penyakit
pada 8 hari setelah inokulasi (hsi) dikarenakan tidak adanya perlakuan sama sekali
yang diberikan untuk melindungi tanaman dari serangan penyakit bulai. Namun,
terdapat perlakuan kombinasi antara T. asperellum dengan ekstrak sirih dan
kombinasi antara T. harzianum dengan ekstrak sirih yang juga cepat terserang
32
oleh penyakit bulai 8 hsi. Hal ini diduga dipengaruhi oleh ekstrak herbal sirih
yang memiliki daya hambat rendah dibandingkan dengan ekstrak herbal yang
lainnya terhadap patogen P. maydis. Kemudian, hal tersebut juga diduga terjadi
karena penyebaran inokulum yang tidak merata karena terbawa angin, sehingga
tanaman menerima jumlah sumber inokulum yang tidak sama. Setelah konidia
terbentuk, konidia terlepas dan menyebar ke daerah sekitar dengan bantuan angin
dan konidia juga dapat menginfeksi tanaman jagung yang jaraknya berkisar
hingga 42 m dari tempat asal (Mikoshiba, 1983). Selain itu juga bisa disebabkan
oleh air, air dapat menjadi alat penyebaran spora secara aktif bila air itu digunakan
sebagai media untuk berenang bagi spora-spora. Apabila spora itu menyebar
karena terbawa oleh aliran atau percikan air pada saat inokulasi bisa jadi air
tersebut terkumpul pada tanaman tertentu sehingga memiliki jumlah spora yang
lebih banyak dan menyebabkan tanaman lebih cepat terinfeksi.
Maka dari itu cepat lambatnya P. maydis menginfeksi tanaman juga
dipengaruhi jumlah ketersediaan sumber inokulum. Pada perlakuan kombinasi
antara T. harzianum dengan sirih yang lebih cepat terserang bulai yaitu 8 hsi,
namun memiliki persentase kejadian penyakit yang lebih rendah yaitu 2%
dibandingkan dengan perlakuan lain yang memiliki persentase kejadian penyakit
yang lebih tinggi padahal lebih lambat terserang penyakit bulai, hal tersebut bisa
terjadi karena tanaman memiliki ketahanan yang berbeda-beda. Sesuai dengan
pernyataan yang menyatakan bahwa mekanisme ketahanan tanaman jagung
terhadap konidia berbeda-beda (Salumushabani dan Frederiksen, 1982). Sehingga,
pada saat masa-masa awal tanaman diiinokulasi perlakuan yang lebih cepat
terinfeksi diduga memiliki tingkat ketahanan yang rendah, namun seiring
berjalannya waktu tanaman yang awalnya lebih cepat terinfeksi oleh cendawan
patogen P. maydis justru lebih tahan terhadap patogen tersebut.
Hal ini juga bisa dikarenakan peningkatan aktivitas enzim polifenol
oksidase berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen. Polifenol
oxidase (POX) diketahui berperan dalam pembentukan substansi barier pada
lokasi infeksi patogen dan aktivitas POX pada kultivar tahan menunjukkan 972,3
kali lebih tinggi dibanding jaringan sehat. Maka hal tersebut menunjukkan bahwa
POX berperan dalam induksi ketahanan tanaman terhadap penyakit bulai (Arun et
33
al., 2010; Kumar et al., 2011). Selain itu cepat lambatnya jamur P. maydis
berkembang juga dipengaruhi oleh faktor suhu dan kelembaban lingkungan yang
tidak dapat dikendalikan, karena lahan percobaan yang berada di lahan terbuka.
34
V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan
bahwa perlakuan kombinasi antara jamur Trichoderma spp. dengan masing-
masing ekstrak herbal efektif dalam mengendalikan penyakit bulai yang
disebabkan oleh jamur Peronosclerospora maydis karena kemampuan
menghambatnya >50%. Terdapat kombinasi terbaik yang diperoleh yaitu pada
kombinasi Trichoderma harzianum dengan ekstrak kunyit karena hasil persentase
kejadian penyakit yang lebih rendah dibandingkan perlakuan lain yaitu sebanyak
sebanyak 2% dan memiliki masa inkubasi yang lebih lama yaitu 16 hari setelah
inokulasi (hsi). Sehingga perlakuan kombinasi tersebut mampu digunakan sebagai
alternatif dalam penggunaan fungisida sintetis.
VI. SARAN
Sebaiknya dilakukan penelitian ulang menggunakan perlakuan tunggal
Trichoderma dan masing-masing ekstrak seraiwangi, kunyit dan sirih sebagai
pembanding, serta melakukan monitoring Trichoderma yang mampu terserap oleh
tanaman.
35
DAFTAR PUSTAKA
Djuanaedy, A. 2009. Biopestisida Sebagai Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang Ramah Lingkungan. Jurnal Fakultas Pertanian UNIJOYO.pdf Alsuhendra, R., dan A. I. Santoso. 2011. Pengaruh Penggunaan Edible Coating Terhadap Susut Bobot, Ph, dan Karakteristik Organoleptik Buah Potong Pada Penyajian Hidangan Dessert. Skripsi. Teknik Universitas Negeri Jakarta. Amaria, W., Taufiq, E. dan Harni, R. 2013. Seleksi dan Identifikasi Jamur
Antagonis sebagai Agens Hayati Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus) pada Tanaman Karet. Buletin RISTRI4 (1): 55-64.
Arianingrum, R. 2004. Kandungan Kimia Jagung dan Manfaatnya Bagi Kesehatan. Buletin Harian Kesehatan. Arun K., Mali P. C., and Manga V. K. 2010. Changes of some phenolic
compounds and enzyme activities on infected pearl millet caused by Sclerospora graminicola. Int J Plant Physiol and Biochem. 2(1): 6-10.
Arwiyanto T. 2003. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Bakteri Tembakau. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 3 (1): 54-60. Badan Pusat Statistika (BPS). 2016. Produksi Jagung Menurut Provinsi (ton), 1993-2015. https://www.bps.go.id. Diakses tanggal 30 Oktober 2018. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta. 2014. Pengendalian Penyakit Bulai Pada Jagung. http://yogya.litbang.pertanian.go.id. Diakses tanggal 10 Januari 2019. Balai Besar Perenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya. 2014. Metode Perhitungan Pengembangan Pertanian. 33 (3): 12-13. Benitez, T., Rincon, A.M., Limon, M.C. and Codon, A.C. 2004. Biocontrol
mechanisms of Trichoderma strains. International Michrobiology 7 (4): 249-260.
Bonde M., R., Peterson G., L., Kenneth R., G., Vermeulen H., D., Sumartini and Bustaman M. 1982. Effect Of Temperature On Conidial Germination And Systemic Infection Of Maize by Peronosclerospora species Phytopathology, 82: 104-109. Budiarti SG, Sutoro, Hadiatmi, Purwanti H. 2012. Pembentukan dan Evaluasi Inbrida Jagung Tahan Penyakit Bulai. Prosiding
36
Burhanuddin. 2010. Pengamatan Penyakit di Kabupaten Kediri. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI Komisaris Daerah Sulawesi Selatan. Hlm. 365-369. Calhoun, J. 1979. Predisposition by the environment. In: JG Horsfall and EB
Cowling (eds.). Plant disease, 4th Vol. Academic Press. New York. pp. 75-96.
Chet, I. 1987. Innovative Approaches to Plant Diseases Control. John Wiley and Sons, A Wiley-Interscience Publication, USA. pp. 11-210. Cohen, Y., Baider, A., and Cohen, B. H. 1995. Dimetomorph activity agains
oomycete fungal plant pathogns. The American Phytopathological Society, 85(12), 15000-1506.
Deising, H. B., Reimann, S., and Pascholati, S. F. 2008. Mechanisms and
Significance Of Fungicide Resistance. Braz J Microbiol, 39(2), 286-295. Dewan Jagung Nasional. 2011. Menuju Swasembada Jagung Tahun 2014. Laporan Dewan Jagung Nasional pada Hari Pangan Sedunia ke 31. Tanggal 16 Oktober 2011, Gorontalo. Sulawesi Barat. Efri, Prasetyo, J., dan Suharjo, R. Skrining dan Uji Antagonisme Jamur Trichoderma harzianum Yang Mampu Bertahan Di Filosfer Tanaman Jagung. Ginting, C. 2013. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung 245 hlm. Gisi, U. 1996. Synergistic Interaction Of Fungicides in Mixtures. Phytopathology,
86, 1273-1279. Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri Jilid 1. UI Press. Jakarta Gusnawaty, H.S., Taufik, M., Triana, L., dan Asniah. 2014. Karakterisasi Morfologis Trichoderma spp. Indigenus Sulawesi Tenggara. Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari. Hariana, A. 2007. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 3. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 86-87. Harman, G. E. 2006. Trichoderma sp., including T. harzianum, T. viride, T.
koningii, T. hamatum and other sp. Deuteromycetes, Moniliales (asexual classification system). Available from: http://www.nvsaes.comell.edu/biocontrol/pathogen/trichoderma.html. Diakses pada 16 Januari 2019.
37
Hasanah, U., Ni Made, L. E., dan I Made, S. 2016. Uji Campuran Trichoderma spp. Dengan Ekstrak Fungisida (Kunyit dan Daun Sirih) Terhadap Jamur Fusarium oxysporum f. sp. capsici Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Cabai. Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons, S., 2009. Farmakognosi dan
Fitoterapi.Terjemahan Winny R. Syarief, dkk. EGC: Jakarta. Herliyana E. N., Jamilah, R., Taniwiryono, D. Dan Firmansyah, M. A. 2013. Uji In-vitro Pengendalian Hayati oleh Trichoderma spp. Terhadap Ganoderma yang Menyerang Sengon. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan, IPB. Jurnal Silvikultur Tropika 4 (3): 190-193. Hjeljord, L. and A. Tronsmo, 1998. Trichoderma and Gliocladium in biological control: an overview. Pp. 131-152. In: G.E. Harman and C.P. Kubicek (Eds.), Trichoderma and Gliocladium Vol. 2. Taylor & Francis Ltd., London. Howell C. R. 2002. Mechanisms employed by Trichoderma species in the
biological control of plant diseases the history and evolution of current concept. Plant Disease 87: 1-10.
Iriany, M., R. N. A. Takdir, M. Muzdalifah, M. M. Dahlan, dan Subandi. 2003. Evaluasi Daya Gabung Karakter Ketahanan Tanaman Jagung Terhadap Penyakit Bulai Melalui Persilangan Diallel. Penelitian Tanaman Pangan 22 (3). http://www.pempropsu.go.id/download.php?filename=Daya%20Gabung.pdf danid=KA-01. Diakses tanggal 10 Desember 2018. Kalemba, A. and A. Kunicka. 2003. Antibacterial and Antifungal Properties of Essential Oil. Current Medical Chemistry 10: 813-829. Kansrini, Y. 2015. Uji Berbagai Jenis Media Perbanyakan Terhadap Perkembangan Jamur Beauveria bassiana di Laboratorium. Jurnal Agrica Ekstensia, 9 (1), 34-39. Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia Selama Empat Dekade yang Lalu dan Implikasinya Bagi Indonesia. Badan Litbang: Nasional Agribisnis Jagung. Kirk, P.M. 2018. Species Fungorum (Version Oct 2017). In: Roskov Y., Abucay
L., Orrell T., Nicolson D., Bailly N., Kirk P.M., Bourgoin T., DeWalt R.E., Decock W., De Wever A., Nieukerken E. Van, Zarucchi J., Penev L., eds. (2018). Species 2000 & ITIS Catalogues of Life, 28th March 2018. Digital resource at www.catalogueoflife.org/col. Species 2000: Naturalis, Leiden, the Netherlands. ISSN 2405-8858.
38
Koul, P., S. Walia and G. S. Dhawalia. 2008. Essential Oil as Green Pesticides Potential and Constrains, Current Science. India. Kumar, A., Mali, P.C., and Gajja, L. 2011. Biochemical constituents in
malformed tissue of pearl millet cultivars caused by aggresive pathotype of Sclerospora graminicola causing downy mildew disease. In J Bioche Res and Riv. 1(3): 108-119.
Lynd, L. R., P. J. Weimer, W. H. Van Zyl, and I. S. Pretorius. 2002. Microbial Cellulose Utilization: Fundamentals and Biotechnology. Microbiology and Molecular Biology Reviewsoclecular Biology Reviews, (3). pp. 506-577. Matruti A. E., Kalay A. M., dan Uruilal C. 2013. Serangan Peronosclerospora spp. Pada Tanaman Jagung Di Desa Rumahtiga, Kecamatan Teluk Ambon Baguala Kota Ambon. Agrologia. Vol. 2 (2): 110. Masdiar, b., Bahagiawati, A. H., dan Tantera, D.M. 1981. Proses Sporulasi maydis (Rac) SHAW dan Faktor Luar yang Mempengaruhinya. Kongres Nasional PFI ke VI di Padang. Padang. Mumpuni, A., Sharma, H.S.S., and Brown, A. 1998. Effect of metabolites
produced by Trichoderma harzianum biotypes and agaricus bisporus on their respective growth radii in culture. Applied and Environmental Microbiology 64 (12): 5053-5056.
Miftakhun. 2017. Uji Efektivitas Berbagai Media Selektif Untuk Isolasi Trichoderma spp. Dari Tanah Pada Berbagai Lahan yang Berbeda. Thesis, Universitas Brawijaya. http://repository.ub.ac.id/7089/. Diakses 8 Januari 2019. Mikoshiba, H. 1983. Studies on the control of downy mildew disease of maize in
tropical countries of Asia. Ibaraki: T.A.R.C. Murni, A. M dan Arief, R. W. 2008. Teknologi Budidaya Jagung. Disunting Irawan, B. E. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 17 hlm. Nakahara, K., N. S. Alzoreky, T. Yoshihashi, H. T. T. Nguyen and G. Trakoontivakorn. 2003. Chemical Composition and Antifungal Activity of Essential Oil from Cymbopogon nardus (Citronella Grass). JARQ 37(4): 249-252. Nurahmi, E., U. Abu., E. dan Silvya. 2012. Aplikasi Trichoderma Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Kakao, Tomat, dan Kedelai. Floratek. 7(1): 57-65.
39
Octriana, L. 2011. Potensi Agen Hayati dalam Menghambat Pertumbuhan Phytium sp. secara In Vitro. Buletin Plasma Nutfah 17 (2): 138-142.
Pieterse, C. M. J., Leon-Reyes, A., Van der Ent S., and Van Wees S.C.M. 2009.
Networking by small-molecule hormones in plant immunity. Nature Chemical Biology. 5(5): 308-316.
Purwantisari S. 2009. Isolasi dan Identifikasi Cendawan Indigenous Rhizosfer Tanaman Kentang dari Lahan Pertanian Kentang Organik di Desa Pakis. Magelang, Jurnal BIOMA. ISSN: 11 (2): 45. Rifai M. A. 1969. A revision of the genus Trichoderma. Mycology. Pap. 116:1- 56. Rustiani, U.S., Sinaga, M., S., Hidayat, S.,H., dan Wiyono, S. 2014. Tiga Spesies Peronosclerospora Penyebab Penyakit Bulai Jagung di Indonesia. Jurnal
Berita Biologi. 14(1): 29-37. Semangun, H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 429 hlm. Shaw, C. G. 1976. Interim Reporter on Taxonomy og Graminicolous Downy
Mildews Attacking Maize. Kasetsart Journal 10: 85-88. Sudantha, 2010. Pengendalian Hayati Patogen Tanaman. Mataram University Press. Mataram. Sudarmo, S. 2005. Pestisida Nabati: Pembuatan dan Pemanfaatannya. Yogyakarta: Kanisius, hlm: 4-5. Syafruddin dan Fadhly, A. F. 2004. Budidaya Jagung untuk Produksi Benih. Pelatihan Peningkatan Kemampuan Petugas Produksi Benih Serelia: 14-16. Hidayat, S. S., dan Hutapea, J. R. 1997. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (1). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta. Wahyuno, D., Manohara, D., dan Mulya K. 2009. Peranan bahan organik pada pertumbuhan dan daya antagonisme Trichoderma harzianum dan pengaruhnya terhadap Phytophtora capsici pada tanaman lada. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 7(2): 76-82. Warisno. 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Yogyakarta: Kanisius. Warisno. 2007. Budidaya Jagung Manis Hibrida. Yogyakarta: Kanisius.
40
Widyastuti, S.M., Sumardi, Irfa’i, dan Harjono. 2006. Aktivitas Penghambatan Trichoderma spp. Terformulasi Terhadap Jamur Patogen Tular Tanah Secara In-Vitro. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 8: 27-39. Wu Q., Sun R., Ni M., Yu J., Li Y., Yu C. 2017. Identifikasi Jamur Baru
Trichoderma asperellum GDFS1009 dan Evaluasi Menyeluruh dari Khasiat Biokontrolnya. PloS ONE 12 (6): e0179957.
41
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Uji Sinergisme Trichoderma spp. Dengan Ekstrak Herbal
Trichoderma asperellum + Kunyit
Trichoderma asperellum + Sirih
Trichoderma koningii tanpa ekstrak
Trichoderma koningii + Seraiwangi
Trichoderma asperellum tanpa ekstrak
Trichoderma asperellum + Seraiwangi
42
Trichoderma koningii + Kunyit
Trichoderma koningii +Sirih
Trichoderma harzianum tanpa ekstrak
Trichoderma harzianum + Seraiwangi
Trichoderma harzianum + Kunyit
Trichoderma harzianum + Sirih
43
Lampiran 2. Tabel Hasil Analisis Uji Sinergisme 2 Hari Setelah Inokulasi (hsi)
Sumber db JK KT F-hitung F-tabel
P-value 5 % 1%
Kelompok 2 0,04 0,02 0,13 ns 3,44 5,72 0,877
Perlakuan 11 12,50 1,14 7,23 * * 2,26 3,18 0,000
Galat 22 3,46 0,16 Total 35 16,00 KK = 5,95%
Lampiran 3. Tabel Hasil Analisis Kejadian Penyakit Bulai
1. Kejadian Penyakit Pada 3 Minggu Setelah Inokulasi (msi)
Sumber db JK KT F-hitung F-tabel
P-value 5 % 1%
Kelompok 2 16,91 8,45 3,11 ns 3,49 5,85 0,067
Perlakuan 10 2893,58 289,36 106,33 * * 2,35 3,37 0,000
Galat 20 54,42 2,72 Total 32 2964,91 KK = 28,35%
2. Kejadian Penyakit Pada 4 Minggu Setelah Inokulasi
Sumber db JK KT F-hitung F-tabel
P-value 5 % 1%
Kelompok 2 11,09 5,55 1,48 ns 3,49 5,85 0,251 Perlakuan 10 4546,00 454,60 116,3 * * 2,35 3,37 0,000 Galat 20 74,91 3,75
Total 32 4632,00 KK = 27,65%
44
Lampiran 4. Kegiatan Budidaya Di Lahan
Pengolahan Lahan Pengairan
Aplikasi Trichoderma
spp. metode kocor
Aplikasi ekstrak herbal
metode semprot
Ekstrak herbal Larutan Fungisida Nabati
45
Lampiran 5. Perbanyakan Trichoderma spp.
Mengisi media PDB dengan isolat Trichoderma spp.
Trichoderma spp. ditumbuhkan pada media PDB selama 7 hari
Menyaring spora menggunakan alat vacum
Spora kering Trichoderma
46
Lampiran 6. Dokumentasi Tanaman Jagung di Lahan
Perlakuan Kontrol
Negatif (P0)
Perlakuan Fungisida
Sintetik (P1)
Perlakuan T. asperellum+ekstrak
kunyit (P3)
Perlakuan T. asperellum+ekstrak
seraiwangi (P2)
Perlakuan T. asperellum+ekstrak
sirih (P4)
Perlakuan T. koningii+ekstrak
seraiwangi (P5)