UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI METABOLIT SEKUNDER ISOLAT ACTINOMYCETES PG 3 DARI RHIZOSFER Centella asiatica ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF SECONDARY METABOLIC ISOLATED ACTINOMYCETES PG 3 FROM RHIZOSPHERE Centella asiatica SUMI N111 14 033 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI METABOLIT SEKUNDER ISOLAT ACTINOMYCETES PG 3 DARI
RHIZOSFER Centella asiatica
ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF SECONDARY METABOLIC ISOLATED ACTINOMYCETES PG 3
Jiraya, yang telah mendukung, memberi semangat dan berbagi saran
selama penelitian.
6. Saudaraku Farmasi UNHAS angkatan 2014 (Hios14min) khususnya Eka,
Nul, Roha, Ammi, Esta, Ulling, Nuwa, Hae, Dianabulat atas segala
bantuannya selama ini. Serta warga KEMAFAR-UH yang selalu memberi
semangat dalam perjalanan penulis di Farmasi UNHAS.
viii
7. Semua pihak yang terlibat, yang tidak sempat tersebut namanya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi terciptanya suatu karya yang lebih bermutu. Akhirnya,
semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di masa yang akan datang.
Makassar, 4 Mei 2018
Penulis
ix
ABSTRAK
SUMI. Uji Aktivitas Antibakteri Metabolit Sekunder Isolat Actinomycetes PG 3 Dari Rhizosfer Centella asiatica (dibimbing oleh Herlina rante, Natsir Djide)
Actinomycetes merupakan salah satu kelompok mikroorganisme
penghasil antibiotik paling banyak. Actinomycetes menjadi penting dalam
bidang kesehatan dan industri farmasi karena kemampuannya dalam
memproduksi metabolit sekunder untuk pengobatan, khususnya antibakteri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas metabolit sekunder isolat
Actinomycetes PG 3 yang berasal dari Rhizosfer Centella asiatica yang dapat
menghasilkan senyawa antibakteri. Isolat Actinomycetes PG 3 yang diperoleh
difermentasi selama 17 hari yang kemudian diekstraksi menggunakan Etil
asetat (1/1) dan biomassa dimaserasi dengan metanol. Ekstrak Etil asetat,
Ekstrak Metanol dan Ekstrak Air yang diperoleh dilakukan uji aktivitas
antibakteri dengan metode difusi agar terhadap bakteri S.aureus dan E.coli.
Ekstrak Etil asetat yang memiliki aktivitas paling besar, selanjutnya di
Kromatografi lapis tipis dan bioautografi menggunakan Fase diam silika gel
GF254 dan Fase gerak Kloroform : Etil asetat (3:1). Identifikasi isolat
Actinomycetes PG 3 dilakukan secara mikroskopik. Berdasarkan hasil
penelitian diperoleh bahwa isolat PG 3 diduga sebagai Actinomycetes yang
termasuk dalam genus Streptomyces sp spora rantai panjang dengan tipe
spora spiral tertutup, yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri E.coli
dan S.aureus dengan aktivitas kuat. Hasil KLT bioautografi Ekstrak Etil asetat
terhadap S.aureus menunjukkan zona hambat masing-masing pada Rf 0,05;
0,62; 0,76 dan 0,95 yang diduga merupakan senyawa golongan Polifenol,
Flavanoid dan Terpenoid.
Kata Kunci: Actinomycetes, kromatografi lapis tipis, bioautografi, antibakteri.
x
ABSTRACT
SUMI. Antibacterial Activity Test Of Secondary Metabolic isolated Actinomycetes PG 3 From Rhizosphere Centella asiatica (supervised by Herlina Rante, M. Natsir Djide) Actinomycetes is the richest microorganisms in the production of antibiotics. Actinomycetes plays an important role in medical and pharmaceutical industry because of its capability to produce secondary metabolite for therapeutics use, especially antibacaterial. The aim of this study was to know the potential of isolated Actinomycetes PG 3 From Rhizosfer Centella asiatica which known of antibacterial compound. Isolated Actinomycetes PG 3 were fermented for 17 consecutive days then extracted by ethyl acetate with 1:1 ratio and biomass were macerated by methanol. The antibacterial activity of ethyl acetate extract, methanol extract, and water extract were assessed by agar diffusion method againts S.aureus and E.coli. Ethyl acetate Extract shown to have the most antibacterial activity, then thin-layer chromatography and bioautography were performed by silica gel GF254 stationary phase and mobile phase chloroform : ethyl acetate (6:2). Isolate identification of Actinomycetes PG 3 was conducted based on microscopis characteristic. The results showed isolated PG 3 were predicted as Actinomycetes and in Classification of long chained spore with cyclic spore type of Streptomyces sp genus, that can potentially inhibit E.coli and S.aureus growth activities the most. Thin-layer chromatography and bioautography resulted ethyl acetate extract shown inhibition zone to S.aureus individually Rf 0,05 ; 0,62 ; 0,95 and were assumed as polyphenol, flavonoid and terpenoid compound. Keywords : Actinomycetes, thin-layer chromatography, bioautography,
antibacterial
xi
DAFTAR ISI
Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH vi
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xviii
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1 Latar Belakang 1
I.2 Rumusan Masalah 3
I.3 Tujuan Penelitian 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
II.1 Actinomycetes 4
II.1.1 Karakteristik dan Lingkungan Actinomycetes 4
II.1.2 Klasifikasi Actinomycetes 8
II.1.3 Metabolit Sekunder Actinomycetes 9
II.2 Rhizosfer 10
II.3 Antimikroba 11
II.4 Metabolit Mikroba 14
II.5 Pertumbuhan Mikroorganisme 16
xii
II.6 Fermentasi 18
II.7 Metode Pengujian Antimikroba 20
II.7.1 Metode difusi 20
II.7.1 Metode dilusi 23
II.8 Uraian Mikroba 24
II.8.1 Escherichia coli 24
II.8.2 Staphylococcus aureus 24
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN 26
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan 26
III.1.1 Alat 26
III.1.2 Bahan 26
III.2 Metode Kerja 27
III.2.1 Sterilisasi Alat 27
III.2.2 Pembuatan Medium 27
III.2.3 Penyiapan Isolat Actinomycetes 28
III.2.3.1 Peremajaan isolat 28
III.2.3.2 Fermentasi Isolat Actinomycetes 28
III.2.3.3 Ekstraksi 28
III.2.4 Penyiapan bakteri Uji 29
III.2.4.1 Peremajaan Bakteri 29
III.2.4.2 Pembuatan Suspensi Bakteri Uji 29
III.2.5 Pengamatan Morfologi Mikroba 29
III.2.6 Uji Aktivitas Antibakteri 30
xiii
III.2.7 KLT- Bioautografi 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 32
IV.1 Hasil Peremajaan 32
IV.2 Fermentasi dan Ekstraksi 33
IV.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak 35
IV.4 KLT-Bioautografi 38
IV.5 Identifikasi Actinomycetes 42
BAB V PENUTUP 45
V.1 Kesimpulan 45
V.2 Saran 45
DAFTAR PUSTAKA 46
LAMPIRAN 50
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Hasil Pengukuran rata-rata diameter zona hambat metabolit sekunder Actinomycetes terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli 35
2. Hasil Uji Skrinning Fitokimia 52
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Penampakan Isolat Actinomycetes pada media agar 5
2. Koloni Actinomycetes tumbuh pada agar yang menunjukkan miselium substrat dan miselium udara 6
3. Isolat Actinomycetes PG 3 yang diinkubasi 10 hari 32
4. Kurva penentuan fase stasioner berdasarkan lama fermentasi (hari) terhadap Diameter zona hambatan (mm) 34
5. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes terhadap bakteri uji pada kadar 2 mg 36
6. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes terhadap bakteri uji pada kadar 4 mg 36
7. Hasil Uji KLT Bioautografi pada bakteri Staphylococcus aureus 39
8. Identifikasi Golongan senyawa 42
9. Hasil Uji Mikroskopis Isolat PG 3 dengan perbesaran 1000x 43
10. A. Jenis struktur spora pada Streptomyces, B. Produksi spora Rantai Panjang 43
11. Hasil Fermentasi selama 17 hari 53
12. A. Ekstrak Etil asetat; B. Ekstrak Air; C. Ekstrak Metanol 53
13. Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri A. Staphylococcus aureus B. Escherichia coli 53
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Skema kerja 50
2. Komposisi Medium 51
3. Tabel 52
4. Dokumentasi gambar 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi merupakan salah satu permasalahan dalam bidang
kesehatan yang dari waktu ke waktu terus berkembang (Rahayu, 2010).
Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka
kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di negara berkembang
termasuk Indonesia (Darmadi, 2008). Berdasarkan data World Health
Organization (2015), penyebab kematian tertinggi didunia setelah penyakit
jantung koroner dan stroke adalah infeksi. Pengobatan yang sering
digunakan untuk mengobati infeksi tersebut adalah penggunaan antibiotik,
tetapi sekarang telah banyak mikroorganisme yang mengalami resistensi
terhadap antibiotik (Rahayu, 2010). Oleh karena itu diperlukan galur-galur
antibiotik untuk menemukan antibiotik baru dan lebih sensitif terhadap
mikroba patogen yang resisten (Sulistiani dan Narwanti, 2015).
Mikroba penghasil antibiotik meliputi golongan Bakteri, Actinomycetes,
Jamur dan beberapa mikroba lainnya (Kumalasari dkk, 2012; Adriani dan
Febriwanti, 2013). Salah satu sumber potensial molekul antibiotik baru adalah
Actinomycetes. Secara histori, Actinomycetes menghasilkan jumlah kelas
antibiotik terbanyak seperti tetrasiklin, aminoglikosida, sefalosporin dan
2
makrolida. Sekitar 70% antibiotik dihasilkan oleh Actinomycetes, 20% Fungi
dan 10% oleh Bakteri (Kumalasari dkk, 2012; Adriani dan Febriwanti, 2013).
Actinomycetes adalah organisme prokariotik yang termasuk bakteri gram
positif, hidup bebas, saprofit, terdistribusi secara luas di tanah, air, dan
membentuk kolonisasi pada jaringan tanaman atau endofit, juga penghasil
berbagai senyawa aktif dari hasil metabolisme sekunder. Karakteristik
morfologi dari prokariot ini menyerupai fungi karena memiliki hifa atau filamen
namun tidak bersekat, namun mikroba ini termasuk dalam golongan bakteri
karena bersifat prokariot dan memiliki kandungan peptidoglikan pada dinding
selnya (Fatmawati dkk, 2014). Actinomycetes memiliki distribusi pertumbuhan
yang luas. Sumber actinomycetes dapat dijumpai dalam air, pertumbuhan
yang berupa filamen di dalam tanah, koloni di permukaan akar maupun di
Rhizosfer (Fatmawati dkk, 2014).
Rhizosfer merupakan bagian tanah disekitar akar. Pada tanah di
daerah Rhizosfer memiliki jumlah bakteri, jamur, dan actinomycetes yang
lebih banyak dibandingkan tanpa Rhizosfer (Mukamto, 2015). Akar Tanaman
mempunyai kemampuan mengeluarkan eksudat, seperti halnya pada
tumbuhan lainnya. Hasil eksudasi akar tersebut kemudian menyebar ke
tanah Rhizosfer rumput. Hasil eksudasi merupakan
sumber makanan atausumber kehidupan untuk mikroflora tanah, termasuk
mikroorganisme. Akibatnya disekitar perakaran rumput dapat ditemukan
banyak mikroorganisme. Sehingga populasi mikroorganisme pada Rhizosfer
3
jauh lebih tinggi dibandingkan bagian tanah lainnya (Rahayu, 2006).
Beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi Actinomycetes dari Rhizosfer
yang berpotensi sebagai penghasil antibiotik salah satunya Fatmawati,
(2014) telah melakukan penelitian mengenai aktivitas antibakteri
Actinomycetes dari Rhizosfer Tanaman Solanaceae yang mampu
menghambat pertumbuhan S.aureus, B.subtilis dan E.coli. Rante, dkk (2017)
telah melakukan isolasi Actinomycetes dari Rhizosfer Centella asiatica dan
salah satu isolat yang diperoleh diberi kode PG 3 yang belum diketahui
aktivitas antibakterinya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini.
I.2 Rumusan Masalah
Apakah metabolit sekunder isolat Actinomycetes PG 3 dari Rhizosfer
Centella asiatica memiliki aktivitas sebagai penghasil antibakteri?
I.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui aktivitas antibakteri metabolit sekunder isolat
Actinomycetes PG 3 dari Rhizosfer Centella asiatica.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Actinomycetes
II.1.1 Karakteristik dan Lingkungan Actinomycetes
Actinomycetes adalah kelompok bakteri gram positif dengan kadar
guanin dan sitosin tinggi dalam DNA-nya, yang terdapat di terestrial atau
perairan. Meskipun actinomycetes adalah uniseluler seperti bakteri, tidak
memiliki dinding sel yang berbeda, tetapi dapat menghasilkan miselium yang
nonseptate dan lebih ramping. Actinomycetes dapat dijumpai pada tanah, air
tawar dan laut. Actinomycetes mempunyai peran penting dalam penguraian
bahan organik, seperti selulosa dan kitin, melengkapi nutrisi dalam tanah,
dan merupakan bagian penting dari pembentukan humus. Koloni
actinomycetes menunjukkan konsistensi seperti tepung dan menempel kuat
pada permukaan agar (Dhanasekaran and Jiang, 2016).
Actinomycetes menghasilkan berbagai metabolit sekunder dengan
kepentingan farmakologis dan perdagangan yang tinggi. Dengan penemuan
actinomycin, sejumlah antibiotik telah ditemukan dari Actinomycetes,
terutama dari genus Streptomyces. Actinomycetes tersebar luas di tanah
dengan sensitivitas tinggi terhadap asam dan pH rendah. Actinomycetes
memiliki sejumlah fungsi penting, termasuk dalam degradasi
Sedangkan Locci dan sharples (1984) mengatakan bahwa karakteristik
miselium aerial lain dari Streptomyces adalah pigmentasi yang dapat memiliki
warna dari putih atau abu-abu sampai ke kuning, orange, lavender, biru, dan
hijau, sehingga sering disebut sebagai ”colour wheel”.
IV.2 Fermentasi dan Ekstraksi
Isolat yang telah diremajakan kemudian dilakukan fermentasi untuk
memperoleh senyawa metabolit sekundernya. Fermentasi dilakukan dengan
menggunakan isolat murni yang telah diremajakan selama 10 hari. Dalam
penelitian ini, fermentasi dilakukan dengan menggunakan media
pertumbuhan Starch Nitrate Broth (SNB). Media pertumbuhan yang baik
merupakan media yang mampu menyediakan sumber karbon dan mineral-
mineral lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan maupun aktivitasnya (Todar
K, 2009). Penelitian ini menggunakan media SNB karena mempunyai
kandungan karbon dan mineral. Sumber karbon media SNB berasal dari
soluble starch yang mengandung sejumlah C yang beragam dari pati dan
gliserol. Sumber nitrogen anorganik berasal dari KNO3, mineral-mineral yang
berasal dari magnesium, natrium, besi, kalium yang merupakan komposisi
dari media SNB (Ali A, 2009). Lama fermentasi didasarkan pada aktivitas dari
cairan Fermentasi terhadap bakteri uji. Hasil peneletian cairan fermentasi
menunjukkan pada hari ke 17 aktivitas yang besar terhadap bakteri uji
sehingga dianggap telah mencapai fase stasioner. Fase stasioner merupakan
34
fase dimana jumlah sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan
jumlah sel yang mati (Djide dan Sartini, 2008). Aktivitas pertumbuhan pada
hari ke 17 dapat dilihat pada kurva penentuan fase stasioner (Gambar 4).
Gambar 4. Kurva penentuan fase stasioner berdasarkan lama fermentasi (hari)
terhadap diameter zona hambatan (mm).
Selanjutnya hasil fermentasi hari ke 17 disaring, sehingga terpisah
antara biomasssa dan supernatan. Biomassa yang diperoleh diekstraksi
menggunakan metanol dengan metode maserasi sedangkan supernatant
diekstraksi menggunakan etil asetat (1:1) yang diulang sebanyak 2 kali. Etil
asetat digunakan karena merupakan pelarut yang semi polar, memiliki
toksisitas rendah dan tidak bercampur dengan air. Selain itu, etil asetat sering
digunakan sebagai pelarut karena etil asetat dapat menyari lebih banyak
senyawa-senyawa metabolit sekunder yang dapat memberikan aktivitas
antibakteri (Sulistyani dan Akbar, 2014). Pada tahap ekstraksi, cairan
fermentasi : Etil asetat akan digojog, sehingga terbentuk 2 lapisan yaitu
lapisan etil asetat dan lapisan air. Kemudian ekstrak yang diperoleh diuapkan
0
2
4
6
8
10
12
14
0 5 10 15 20 25
Dia
mete
r Z
on
a H
am
ba
tan
(m
m)
Lama Fermentasi (Hari)
35
dan ditimbang. Dari hasil medium produksi diperoleh bobot ekstrak etil asetat
sebanya 76 mg, ekstrak air sebanyak 3450 mg sedangkan ekstrak metanol
sebanyak 133 mg dari 1000 mL medium fermentasi. Ekstrak yang diperoleh
tergolong sedikit dikarenakan tidak dilakukannya optimasi media yang
digunakan untuk medium fermentasi. Optimasi medium fermentasi dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh media sebagai sumber nutrisi
untuk pertumbuhan isolat.
IV.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Ekstrak yang diperoleh kemudian dilakukan uji aktivitas antibakteri
dengan metode difusi agar dengan menggunakan paper disk berbentuk bulat
dengan diameter 6 mm dan memiliki ketebalan 0,5 mm. Metode difusi agar
memiliki beberapa kelebihan yaitu sederhana untuk dilakukan dan dapat
digunakan untuk melihat sensitivitas berbagai jenis mikroba terhadap
antibakteri pada konsentrasi tertentu (Zainuddin, 2006). Hasil pengujian
dapat dilihat pada tabel 1
Tabel 1. Hasil Pengukuran rata-rata diameter zona hambat metabolit sekunder Actinomycetes terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus Escherichia coli
Kadar Ekstrak dalam paper
disk
Ekstrak Daya hambat (mm)
E.coli S.aureus
2 mg Etil asetat 8.36 8.81
Metanol 9.13 8.71
Air 7.6 7.63
4 mg Etil asetat 10.8 12.01
36
Metanol 9.7 9.03
Air 7.75 7.89
Kontrol positif Amoxicillin 22.6 20.3
Gambar 5. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes
terhadap bakteri uji Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dengan kadar 2 mg
0
5
10
15
20
25
Etil asetat Metanol Air Amoxicillin
Zon
a h
amab
at (
mm
)
Kadar 2 mg
E.coli
S.aureus
0
5
10
15
20
25
Etil asetat Metanol Air Amoxicillin
Zon
a h
amb
at (
mm
)
Kadar 4 mg
E.coli
S.aureus
37
Gambar 6. Hasil uji aktivitas antibakteri dari metabolit sekunder Actinomycetes
terhadap bakteri uji Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dengan kadar 4 mg
Aktivitas antibakteri dari Ekstrak til asetat, Ekstrak metanol dan Ekstrak
air menunjukkan adanya diameter hambatan terhadap bakteri uji
Staphylococcus aureus (gram positif) dan Escherichia coli (gram negatif)
pada kadar 2 mg dan 4 mg yang dapat di kategorikan sebagai antibakteri
spektrum luas karena mampu menghambat bakteri gram positif maupun
bakteri gram negatif.
Menurut Davis dan Stout (1971), kriteria kekuatan daya antibakteri
sebagai berikut: diameter zona hambat 5 mm atau kurang dikategorikan
lemah, zona hambat 5-10 mm dikategorikan sedang, zona hambat 10-20
mm dikategorikan kuat dan zona hambat 20 mm atau lebih dikategorikan
sangat kuat (Sulistyani, 2006). Berdasarkan kriteria tersebut, pada kadar 2
mg Ekstrak etil asetat, Ekstrak metanol dan Ekstrak air memiliki aktivitas
antibakteri sedang (5-10 mm) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli sedangkan pada kadar 4 mg ekstrak etil asetat memiliki
aktivitas antibakteri yang kuat (10-20 mm) terhadap bakteri Staphylococcus
dan Escherichia coli, Ekstrak methanol dan Ekstrak air memiliki aktivitas
antibakteri yang sedang terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli.
Aktivitas penghambatan ekstrak etil asetat lebih besar dibandingkan
dengan Ekstrak metanol dan Ekstrak air, hal ini terlihat jelas pada kadar 4 mg
38
(Tabel 1) yang ditandai dengan terbentuknya diameter zona hambat ekstrak
etil asetat yang lebih besar dibandingkan ekstrak methanol dan ekstrak Air.
Perbedaan zona hambat yang terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan
struktur dinding sel antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.
IV.4 Uji KLT-Bioautografi
Ekstrak aktif yang diperoleh dari uji aktivitas antibakteri kemudian di
KLT-bioautografi. Pada pengujian KLT-bioautografi dilakukan metode
bioautografi kontak karena lebih mudah, sederhana dan paling umum
digunakan. Selain itu, dengan bioautografi kontak diperoleh proses
perpindahan senyawa aktif ke dalam medium agar yang dapat menghasilkan
zona hambatan lebih besar. Dibandingkan dengan metode bioautografi
langsung dimana penyebaran bakteri pada lempeng sering tidak merata dan
kemungkinan terjadinya kontaminasi lebih besar, begitu pula dengan
bioautografi pencelupan dimana zona hambatnya agar sukar diamati (Djide
dan Sartini, 2009).
Hasil pengujian KLT-Bioautografi menunjukkan bahwa spot dengan
nilai Rf 0,05; 0,62; 0,76 dan 0,95 (Gambar 7) memiliki aktivitas antibakteri.
Zona bening pada spot tersebut terbentuk karena pertumbuhan bakteri oleh
noda aktif yang merupakan komponen kimia yang bersifat antibakteri, yang
telah berdifusi dari kromatografi ke medium agar.
39
Gambar 7. Hasil uji KLT bioautografi pada bakteri Staphylococcus aureus
Analisis golongan senyawa dalam ekstrak etil asetat menggunakan
KLT dengan melihat warna bercak yang timbul setelah diberi pereaksi
semprot. Pereaksi semprot yang digunakan yaitu AlCl3, Vanilin-H2SO4,
Anisaldehid-H2SO4 dan FeCl3. Deteksi senyawa flavonoid dengan
menggunakan pereaksi AlCl3. Menurut Markham (1988) adanya flavonoid
dapat ditunjukkan dengan adanya pemadaman bercak di bawah sinar UV
254 nm dan dengan pereaksi semprot AlCl3 akan terbentuk warna kuning.
Hal ini menunjukkan adanya senyawa yang mengandung paling sedikit 2
ikatan rangkap terkonjugasi atau adanya cincin aromatik (Kumalasari, 2011).
Ekstrak etil asetat memiliki kandungan senyawa flavonoid setelah diberi
pereaksi AlCl3 kemudian diamati di bawah UV 366 nm menunjukan
fluoresensi warna kuning pada Rf 0,05 dan 0,28 (Tabel 2 dan Gambar 8 E).
Rf = 0,76 (Polifenol)
Rf = 0,62 (Terpenoid)
Rf = 0,05 (Flavanoid)
Rf = 0,95 (Terpenoid)
40
Pereaksi semprot Anisaldehid asam sulfat digunakan untuk
mendeteksi senyawa golongan Terpenoid. Menurut Stahl (1985) deteksi
Terpenoid dilakukan dengan sinar UV 254 nm dan pereaksi semprot yaitu
anisaldehid-asam sulfat. Bila terdapat senyawa terpen maka nampak bercak
berwarna violet, biru, merah, abu-abu atu hijau. Perubahan tersebut
disebabkan anisaldehid sulfat dapat mengubah ikatan C-C pada terpenoid
menjadi ikatan rangkap C=C sehingga ikatan rangkap terkonjugasi menjadi
lebih panjang (Maryati, 2004). Setelah KLT disemprot pereaksi dan diamati
dibawah sinar tampak menunjukan adanya bercak warna Hijau, Ungu dan
Abu-abu pada Rf 0,31; 0,34; 0,47; 0,62; 0,8 dan 0,9 (Tabel 2 dan Gambar 8
D). Ekstrak Etil asetat positif mengandung senyawa terpenoid. Pereaksi
vanilin-H2SO4 digunakan untuk mendeteksi senyawa golongan saponin.
Setelah plat KLT disemprot vanillin-H2SO4 dan diamati di sinar tampak,
tampak bercak berwarna kuning coklat pada Rf 0,71 (Tabel 2 dan Gambar 8
G) sedangkan Menurut wagner (1996) Deteksi senyawa saponin
menunjukkan bercak warna biru dan biru-ungu pada sinar tampak setelah
diberi pereaksi semprot vanillin-H2SO4 sehingga pada ekstrak etil asetat tidak
mengandung saponin (Kumalasari, 2011). Pereaksi FeCl3 dapat
mengidentifikasi adanya senyawa polifenol/tannin. Menurut Robinson (1995)
Bercak yang muncul setelah disemprot dengan menggunakan FeCl3
menunjukkan warna biru kehijauan, ungu, coklat atau hitam yang kuat
dengan berlatar belakang kuning pada sinar tampak. Ini terjadi akibat reaksi
41
pembentukan kompleks antara gugus OH dari fenol dengan Fe pada
pereaksi semprot FeCl3 (Kumalasari, 2011). Dari hasil identifikasi polifenol
menggunakan KLT, terdapat bercak dengan nilai Rf pada 0,76 menunjukkan
warna ungu (Tabel 2 dan Gambar 8 F).
Berdasarkan hasil skrining fitokimia dengan Analisis KLT, dapat
disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki kandungan kimia golongan
Polifenol, flavonoid, dan terpenoid. Senyawa - senyawa ini diduga
memberikan kontribusi dalam aktivitas antimikroba. Hal ini bisa dijelaskan
bahwa secara umum flavonoid merupakan senyawa polifenol. Polifenol
sebagai agen antibakteri berfungsi sebagai toksin dalam protoplasma,
menembus dan merusak dinding sel serta mengendapkan protein sel bakteri.
Polifenol dapat menyebabkan kerusakan pada sel bakteri, menginaktifkan
enzim, denaturasi protein, dan menyebabkan kebocoran sel (Kumalasari,
2011). Selain flavonoid dan polifenol, kandungan terpenoid Ekstrak Etil
Asetat juga memberikan kontribusi sebagai antibakteri diduga melibatkan
kerusakan membrane oleh senyawa lipofilik. Terpenoid dapat bereaksi
dengan porin pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan
polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya porin, mengurangi
permeabilitas dinding sel bakteri sehingga sel bakteri kekurangan nutrisi yang
menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Bobbarala,2012)
42
Gambar 8. Identifikasi golongan senyawa A. Deteksi UV 254 nm; B. Deteksi UV 366 nm; C. Deteksi dengan H2SO4; D.; E. Deteksi dengan reagen Anisaldehid (+); E. Deteksi
dengan Reagen AlCl3(+); F. Deteksi dengan reagen FeCl3 (+) ; G. Deteksi dengan reagen Vanilin Asam sulfat (-)
IV.5 Identifikasi Actinomycetes
Identifikasi Actinomycetes PG 3 dilakukan secara mikroskopik.
Pengamatan mikroskopik dilakukan dengan metode slide culture. Metode ini
dilakukan karena sederhana dan tidak merusak miselia dari Actinomycetes.
Dalam pengamatan digunakan perbesaran mikroskop 1000x (okuler 10x dan
objektif 100x).
A
B
C
D
E
G
F
D
G
F
E
43
Gambar 9. Hasil uji mikroskopis isolat PG 3 dengan perbesaran 1000x
Gambar 10. A. Jenis Struktur spora pada Streptomyces (Dhanasekaran dan Jiang, 2016)
B. Produksi spora rantai panjang. Streptomyces: (A) tipe Rectiflexibiles, (B) tipe Retinaculiaperti, (C) Tipe Spira, (D) Tipe
Fatmawati, U., Santosa, S., Rinanto, Y. 2014 . Antibacterial Activity of
Actinomycetes Isolated from SolanaceaePlants Rhizosphere. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret. Jurnal Farmasi Indonesia. 11. (1) : 54-68
Ganiswara, G.S. 1995. Farmakologi Dan Terapi Edisi 4. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Harmita. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati ed.3 EGC : Jakarta. Hal.1-4 Kee. J.L., Hayes, E.R.1996. Farmakologi, Proses Pendekatan Keperawatan.
EGC. Jakarta. Hal 324 Kumalasari, A., Faturrahman, N., Nur, M. 2012. Potensi actinomycetes
sebagai sumber senyawabioaktif antibiotik dari kawasan karstbantimurung, sulawesi selatan. Fakultas MIPA UNY. 2 (1)
Kumalasari, E., Sulistyani, N. 2011. Antifungal Activity Of Ethanol Extract Of
Binahong Stem (Anredera Cordifolia (Tenore) Steen) Against Candida Albicans And The Phytochemical Screening. Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Kefarmasian. 1 (2) : 51-62
Luckner, M. 1990. Secondary Metabolism In Plants And Animals. Third
edition. Berling: Springer Verlag. Locci, R., Sharples, G.P. 1983. Morphology. di dalam: Goodfellow M.,
Mordarski M, Williams ST. 1984. The biology of the actinomycetes. London: Academic Press.
Maryati, Erindah W. 2004. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Tamarindus Indica L.
Dengan Metode Brine Shrimps Lethality Test. Fakultas Farmasi UMS Surakarta. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. 5(1): 125-130
Mukamto. 2015. Isolation and Characterization of Phosphate Solubizing
Bacteria Bacillus sp.from the Rhizosphere of Leguminosae Plants. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Surabaya. 3 (2) : 62-67
Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi farmasi. Erlangga Medical series. Jakara. Hal
188-191 Prescott, Harley, Klein. 2002. Microbiology. Fifth Edition. New York: The
McGraw−Hill Companies.
48
Rahayu, T. 2010. Potential of antibiotiks isolates rare actinomycetesof the mount merapi volcanic material eruption in 2010. Seminar nasional X Pendidikan Biologi FKIP UNS, Prodi Pendidikan Biologi FKIP UMS, Surakarta.
Rahayu, T. 2006. The Potency Of Isolate Antibiotik Of Rhizosfer Bacteria
Rante, H., Wahyono., Murti, B.Y., Alam, G. 2010. Purifikasi dan karakterisasi
senyawa antibakteri dari actinomycetes asosiasi spons terhadap
bakteri patogen resisten. Fakultas Farmasi, Universitas
Hasanuddin. Makassar. Majalah Farmasi Indonesia. 21. (3) : 158 –
165.
Rante, H., Yuianty, R., Usmar. 2017. Laporan Akhir Penelitian Unggulan
Perguruan Tinggi: Determinasi Fungsi Metabolit Sekunder
Actinomycetes Rizosfer Tanaman Obat Sebagai Kandidat
Senyawa Antimultidrug Resistances Bacteria Serta Karakterisasi
Molekular Gen Penciri Spesies Terseleksi. Fakultas Farmasi,
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Richards, B.N. 1974. Introduction to the Soil Ecosystem. Longman Inc. New York.
Shabrina, Bani, A. 2012. Pengenalan Mikroba: Pengamatan Bakteri, Jamur, dan
Yeast. Shahat, A.S., Abouwarda, A., El-wafa, W.M.A. 2011. Production of anti-
candida Albicans by Egyptian Streptomyces Isoltes in international journal of microbiological research.
Sulistyani, N., Narwanti, I. 2015. TLC-Bioautography Profile of Ethyl Acetate
Extract of 5 Bacteria Isolated from Ficus carica L Rhizosphere. Faculty of Pharmacy, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia. International Journal of Public Health Science. 4. (2) : 81-87
Sulistyani, N., Akbar, N.A. 2014. Aktivitas Isolat Actinomycetes dari Rumput
Laut (Eucheuma cottonii) sebagai Penghasil Antibiotik terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 12 (1) : 1-9
49
Sulistiyani, Tri R., 2006, Isolasi dan Karakterisasi Antibiotik dari Isolat Aktinomisetes Tanah Pulau Timor Bagian Barat (NTT), Skripsi, Faculty of Math and Sains, Bogor Farming Institute, Bogor.
Solecka, J., Zejko, J., Postek, M. 2012. A Biologically active secondary
metabolites from actinomycees .Central European journal pf biology.
Todar, K. 2009. Nutrition and growth of bacteria in Todar’s online Textbook of
bacteriology, Wisconsin: University Wincosin-Madison Deartement of bacteriology.
Torssell, K.B.G. 1997. Natural Product Chemistry; A mechanistic, biosynthetic
and ecological approach. Swedish: Apotekarsocieteten-Swedish Pharmaceutical Press.
Waluyo, L. 2005. Mikrobiologi Lingkungan. Universitas Muhammadiyah Malang press. Malang. Hal 298
World Health Organization. 2015. Top 10 cause of death worldwide [online].
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/, diakses 9 oktober 2017
Yuan, G., Lin, H., Wang, C., Hong, K., Liu, Y., Li, J. 2011. 1H and 13C
assignments of two new macrocyclic lactones isolated from Streptomyces sp. 211726 and revised assignments of azalomycins F3a, F4a and F5a. Magn. Reson. Chem. MRC. (49) : 30–37
Zainuddin, E.n. 2006. Chemical and Biological Investigations of Selected
Cyanobacteria (Blue-green Algae). PhD Thesis. University Greifswald