-
PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA
DAN IMPLIKATUR DALAM ACARA DEBAT TV ONE
SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
oleh:
Rully Pratistya
1111013000069
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
-
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN IMPLIKATURDALAM ACARA DEBATTV
ONE SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIADI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk
Memenuhi
P ersyaratan Mempero leh Gelar S arj ana Pendidikan
Oleh
RULLY PRATISTYA
NIM: 1111013000069
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
JURUSAN PENDIDIKAI{ BAHASA DAN SASTRA INDONESIAFAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA2015
NrP. 19840409 201 101 1 015
-
LBMBAR PENGESAIIAN UJIAN MUNAQ OSAH
Skripsi bedudul "Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur
dalam
Acara Debat TY One serta Implikasinya terhadap Pembelajaran
Bahasa Indonesia
di SMA" disusun oleh Rully Pratistya, NIM 111013000069, diajukan
kepadaFakultas IImu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatulah
Jakarta dan telah
dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasah pada tarrggal 15 Oktober
2015 di
hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak
memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan
Sastra
Indonesia.
Jakart4 20 Oktober 2015
Panitian Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) TanggalL3t
Makvqn Qubuki. M.frum. ,.{.lg.Li*,s-NiP. 19800305 200901 1
015
Sekretaris Panitia (Sekretaris JurusailItod$ glZ ,
Dona Aii Karunia Putra" M.A ..(.\?...1*tsNrP. 19840409201101 1
015
Penguji IDr. Nuryani. M.A..
NIP. 19820628 2009t2 2 003
Penguji IIDr. EIvi Susanti. M.Pd.NrP. 19680801 200801 2 016
a$,?''
rclof zots
-
KEII'EHTERIAH AGAI'IAUIH JAKARTAFITK,4. k tt.w * # cipt,d t54,2
ffirana
FORM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKF089Tgl- Terbit : 1 Maret 2010No.
Revisi: : 01iHal 'U1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama :RullYPratistYaTempat/Tgl.Lahir : Bandung, 22 Mei 1992
NIM : 1111013000069Jurusan I Prodi : Pendidikan Bahasa dan
Sastra IndonesiaJudul Skripsi : *Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan
Implikatur
dalam Acara DebatTY One serta Implikasinya
terhadap Pembelajarau Bahas* Indonesia di SMII.
ksflr Pemhimhing : Duru,qii Kanmia Putra" tt{'A
dengan ini menyatakan bahwa skripai yang $a-va buat benar-benar
hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas *pa yang saya
tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syatatmenempuh
wisuda.
RuttyPmtistyaNrM- IIlt$t3ffi0069
Jakarta" 28 Oktofuer 201 5
-
ABSTRAK
RULLY PRATISTYA,1111013000069,“ Pelanggaran Prinsip Kerja
Sama
dan Implikatur dalam Acara Debat TV One serta Implikasinya
terhadap
Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa
dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Dona Aji Karunia
Putra, M.A.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk
pelanggaran
prinsip kerja sama yang terdapat dalam acara Debat TV One dengan
judul Adu
Aksi KPK−Polri. Penelitian ini pun mendeskripsikan implikatur
yang terkandung
dalam pelanggaran prinsip kerja sama tersebut serta fungsi dari
implikatur itu.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori prinsip
kerja sama
dan implikatur yang dikemukakan oleh H.P. Grice. Prinsip kerja
sama dan
implikatur merupakan bagian dari ilmu pragmatik. Percakapan
sebagai objek
penelitian dalam penelitian ini, maka penelitian ini bersifat
penelitian kualitatif.
Desain penelitian yang digunakan yaitu deskriptif dengan
menjelaskan secara apa
adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi selama percakapan
disesuaikan dengan
sasaran dan tujuan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa maksim yang sering dilanggar
dalam
format debat TV One yaitu maksim kuantitas dengan jumlah tujuh
pelanggaran.
Urutan kedua ditempati oleh maksim relevansi dengan jumlah tiga
pelanggaran.
Berikutnya, yaitu maksim cara dengan jumlah dua pelanggaran.
Maksim di urutan
terakhir yaitu maksim kualitas dengan jumlah satu pelanggaran.
Penelitian ini pun
menemukan adanya pelanggaran maksim gabungan, yaitu pelanggaran
maksim
cara dan maksim kualitas serta pelanggaran maksim kuantitas dan
maksim cara.
Masing-masing pelanggaran tersebut berjumlah satu. Jumlah
keseluruhan
pelanggaran maksim yaitu lima belas.
Adapun fungsi implikatur yang paling banyak muncul yaitu
untuk
menyatakan, dengan jumlah enam tuturan. Posisi kedua ditempati
oleh fungsi
implikatur untuk menyarankan dengan jumlah lima tuturan.
Berikutnya, yaitu
fungsi implikatur untuk menegaskan dengan jumlah tiga tuturan.
Terakhir, yaitu
fungsi implikatur untuk menyindir dengan jumlah satu
tuturan.
Debat dapat digunakan sebagai metode pembelajaran, pada
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan maupun pada Kurikulum 2013 di tingkat
SMA
khususnya kelas X. Melalui hasil penelitian ini, guru dapat
menjelaskan cara
membangun komunikasi yang efektif dan santun dalam debat. Guru
dapat juga
menjelaskan kesalahan-kesalahan yang tidak boleh dilakukan dalam
debat. Peserta
didik pun menjadikan hasil penelitian ini sebagai referensi dan
pembelajaran
dalam mengembangkan keterampilan berbicara, khususnya debat.
Kata Kunci : Pelanggaran, Prinsip Kerja Sama, Implikatur, Debat
TV
One, Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA
-
ABSTRACT
RULLY PRATISTYA, 1111013000069,” Violation of the Cooperative
Principle
and Implicature in a Debate TV One and its Implication in
Learning
Indonesian Language in Senior High School”. Department of
Education
Indonesian Language and Literature, Faculty of Education and
Teaching
Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.
Supervisor: Dona
Aji Karunia Putra, M.A.
This research to describe forms violation of the cooperative
principle in a
Debate TV One with the tittle “Adu Aksi KPK−Polri”. In addition,
this research
also describes implicatures contained in violation of the
cooperative principle as
well as the function of implicature it.
The theory used in this research is the theory of the
cooperative principle
and implicature suggested by H.P. Grice. The cooperative
principle and
implicature is part of the pragmatics. Conversation as an object
in this research,
accordingly this research is qualitative research. The design of
this research is
descriptive to explain what the events that occurred during a
conversation aligned
with the goals and objectives of research.
The result showed that maxim is often violated in a debate
format TV One
is maxim of quantity with seven violated. The second sequence is
occupied by
maxim of relevance with three violated. Furthermore, maxim of
manner with two
violated. The latter is maxim of quality with one violated. In
this research found
also the combination maxims violation that is the violated maxim
of manner and
maxim of quality and then the violated maxim of quantity and
maxim of manner.
Each of these violations amounted one violated.
As for the function implicature often in this research is
purpose to declare
with amount is six utterances. The second position is purpose to
recommend with
amount is five utterances. Furthermore, the function of
implicature is purpose to
emphasize with amount is three utterances. The last, is purpose
to quip with
amount is one utterances.
The research result can be used in the learning Indonesian
language
Senior High School, especially in the first class of Senior High
School. Debate
can be used as a learning method, in the KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan
Pendidikan) or in Kurikulum 2013. Through this research, the
teacher can
explain how to build manners an effective communications and
polite in debate.
Then, The teacher can explain the mistakes that should not be
done in the debate.
The students also make this research result as a reference and
learning in
developing speaking skills, especially the debate.
Keywords: Violation, Cooperative Principle, Implicature, Debate
TV One,
Learning Indonesian Language in Senior High School
-
i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT karena
atas
sifat rahman dan rahim-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “
Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur dalam Acara Debat
TV One serta
Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”.
Selawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Baginda Nabi
Muhammad SAW,
dan kesejahteraan serta keberkahan semoga selalu menaungi
keluarga Beliau, para
sahabatnya, dan para umatnya yang selalu berharap syafa’at
darinya.
Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah
memberikan bantuan berupa bimbingan, saran, materi, doa serta
motivasi dari
proses hingga terselesaikannya skripsi ini. Adapun pihak-pihak
tersebut yaitu:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas
Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa
dan Sastra Indonesia
3. Dona Aji Karunia Putra, M.A., selaku Sekretaris Jurusan
Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan juga selaku Dosen Pembimbing
Skripsi. Terima kasih atas kesabaran Bapak dalam membimbing
saya.
Terima kasih atas ilmu dan saran-saran yang diberikan.
4. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Dosen Penasehat Akademik. Terima
kasih
atas waktu yang selalu diluangkan kepada penulis untuk
berkonsultasi
permasalahan dan kegiatan perkuliahan.
5. Kepada segenap Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
dan
Dosen FITK yang telah memberikan ilmunya sehingga ilmu
tersebut
dapat turut serta dalam membantu pembuatan skripsi ini.
6. Kedua orang tua penulis, yaitu Endang Sukendar, MM. dan
Kokom
Komariyah, BA., yang selalu mencurahkan kasih sayangnya dan
mendoakan penulis tiada henti.
-
ii
7. Kedua kakak penulis, yaitu Rendy Prasetya Supandar, SE. dan
Riza
Primajaya Sutandar, ST., yang banyak memberi bantuan materi
dan
memberi motivasi untuk menyelesaikan studi tepat waktu dan
atau
secepatnya.
8. Sahabat terbaik penulis, yaitu Muhammad Fikri Firdaus yang
banyak
membantu dalam pengeditan skripsi serta selalu memotivasi
penulis
untuk segera menyelesaikan studi S1 agar dapat menjadi anak
band
kembali dan pensiun dini menjadi guru (kemungkinan bisa
kembali
jadi guru lagi kalau gagal jadi anak band).
9. Kepada Devi Aristiyani dan Pratiwi, terima kasih banyak
atas
pinjaman buku-buku pragmatik dan metode penelitian sehingga
penulis tidak kesusahan dalam menyelesaikan Bab 2 dan Bab 3.
10. Kepada teman-teman yang istimewa bagi penulis, yaitu Ustad
Fauzi,
Daeng Sofyan, Bang Aris, Wenti Frisca Septiani Putri terima
kasih
telah menjadi teman yang selalu ada untuk penulis
menyampaikan
keluh kesah selama menyusun skripsi ini.
Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal kebaikan dan
memberikan
balasan kebaikan pula atas bantuan yang diberikan kepada
penulis. Aaamiin
allahumma aamiin. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
digunakan dan
bermanfaat.
Jakarta, 07 Oktober 2015
Rully Pratistya
-
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
...........................................................................
i
DAFTAR ISI
..........................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
.............................................................. 1 B.
Identifikasi Masalah
....................................................................
6 C. Pembatasan Masalah
...................................................................
6
D. Rumusan Masalah
.......................................................................
7
E. Tujuan Penelitian
........................................................................
7
F. Manfaat Penelitian
......................................................................
7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pragmatik
....................................................................................
9
B. Situasi Tutur
................................................................................
15
C. Prinsip Kerja Sama
......................................................................
19
D. Implikatur
....................................................................................
23
E. Implikatur Percakapan
................................................................
25
F. Pembelajaran Keterampilan Berbicara Tingkat
SMA................. 34
G. Debat
...........................................................................................
38
H. Penelitian yang Relevan
..............................................................
46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian
.........................................................................
48
B. Desain Penelitian
.........................................................................
48
C. Prosedur Pengumpulan Data
....................................................... 49
D. Teknik Analisis Data
...................................................................
49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur
........................ 52
1. Pelanggaran Maksim
Kuantitas............................................. 55
2. Pelanggaran Maksim kualitas
............................................... 63
3. Pelanggaran Maksim Relevansi
............................................ 65
4. Pelanggaran Maksim Cara
.................................................... 69
5. Pelanggaran Maksim Cara dan Kualitas
............................... 73
6. Pelanggaran Maksim Kuantitas dan Cara
............................. 75
-
iv
B. Fungsi Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
..................................... 80
1. Menyatakan
...........................................................................
80
2. Menyarankan
.........................................................................
86
3.
Menegaskan...........................................................................
92
4. Menyindir
..............................................................................
95
C. Implikasi Acara Debat TV One dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMA
.......................................................................
98
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
.....................................................................................
101
B. Saran
............................................................................................
102
DAFTAR PUSTAKA
.............................................................................
104
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : RPP
Lampiran 2 : Transkripsi Percakapan Debat TV One “ Adu Aksi
KPK−Polri”
Lampiran 3 : Kartu Data Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kegiatan interaksi dengan media bahasa merupakan kegiatan
yang
mutlak dilakukan oleh manusia. Dengan adanya interaksi dengan
media
bahasa, setiap individu dapat menyampaikan perasaan dan sesuatu
yang
diinginkannya. Komunikasi yang dibangun oleh seorang individu
harus
bisa dipahami oleh lawan bicaranya atau petuturnya karena hal
tersebut
merupakan syarat sukses tersampaikannya perasaan atau hal yang
ingin
individu tersebut sampaikan.
Begitupun sebaliknya petutur ketika kemudian balik memberi
tanggapan (berarti dalam posisi ini menjadi penutur) haruslah
dimengerti
dan dipahami atau sifatnya mengakomodasi tujuan dari komunikasi
yang
terlebih dahulu dibangun oleh kawan bicaranya. Inilah yang
kemudian
dinamakan cooperative principle atau dalam bahasa Indonesianya
Prinsip
Kerja Sama yang dikemukakan oleh seorang filsuf dan juga linguis
yaitu
H. Paul Grice.
H. Paul Grice mengemukakan gagasan prinsip kerja sama dan
implikatur pertama kali pada saat mengisi kuliah umum di
Universitas
Harvard pada tahun 1967. Kemudian, gagasannya tersebut
dimasukkan
bersama dengan tulisan para penulis lainnya dalam satu buku.
Buku
antologi tersebut diberi judul Syntax and Semantics, Volume 3 :
Speech
Acts dengan Peter Cole dan Jerry L. Morgan sebagai editor pada
buku
tersebut.
Menurut Grice, komunikasi akan berjalan sesuai harapan jika
para
partisipan dalam komunikasi tersebut mematuhi empat prinsip
atau
maksim yang dicetuskannya. Empat maksim tersebut yaitu
maksim
kualitas, kuantitas, hubungan, dan pelaksanaan. Secara singkat
dari empat
maksim tersebut, Grice menuntut setiap partisipan untuk;
memberikan
kontribusi seperti yang diperlukan, pada saat yang
diperlukan,
-
2
berdasarkan tujuan yang disepakati atau arah pergantian
percakapan
yang anda terlibat di dalamnya.
Prinsip kerja sama juga dibutuhkan dalam debat karena debat
juga
merupakan salah satu bentuk interaksi komunikasi. Pada awalnya
debat
merupakan wahana adu argumentasi antara dua kelompok yang
memiliki
perspektif berbeda dalam sebuah tema atau topik. Debat pada
awalnya
berasal dari lingkup parlemen. Pihak pemerintah akan berhadapan
dengan
pihak oposisi (pihak yang berseberangan dengan pemerintah)
untuk
membahas suatu tema atau topik. Pihak pemerintah berada di
pihak
afirmatif atau selaku pihak yang mendukung tema atau topik
tersebut.
Berbanding terbalik dengan kondisi tersebut, pihak oposisi
berada di pihak
yang negatif terhadap tema atau topik tersebut.
Debat tidak hanya ada di parlemen, melainkan juga digunakan
di
kampus dan di sekolah (umumnya sekolah menengah atas dan
sekolah
menengah pertama). Format debat bisa beragam, misalnya debat
yang ada
di parlemen memiliki format debat yang berbeda-beda. Format
tersebut
yaitu; Australasian Parliamentary System, British Parliamentary
System
dan Asia Parliamentary System. Selain format debat di parlemen,
ada juga
format debat Karl Popper dan World Schools.
Selain itu, debat juga sering dijadikan sebuah acara untuk
membahas suatu topik atau tema yang sedang menjadi sorotan
utama
publik. Salah satunya yaitu acara Debat di salah satu TV swasta
yaitu di
TV One. Acara Debat TV One berlangsung dan tayang setiap hari
Senin
dimulai pukul 19.00 WIB sampai dengan pukul 20.00 WIB.
Awalnya,
acara Debat TV One dipimpin oleh dua pembawa acara yang
masing-
masing pembawa acara berada di salah satu pihak yang berdebat.
Kini
acara Debat TV One hanya dipandu oleh satu orang pembawa acara
yang
juga bertindak sebagai moderator.
Acara Debat TV One diikuti oleh dua tim atau dua kelompok
yang
masing-masing tim terdiri dari dua orang. Sama halnya dengan
debat pada
umumnya tentu kedua tim ini memiliki posisi yang
berseberangan
-
3
terhadap tema atau topik yang diajukan. Kedua tim yang
berseberangan
dan berhadapan ini nantinya akan mengungkapkan argumennya
masing-
masing terhadap tema atau topik yang diajukan tersebut.
Moderator
bertugas memimpin dan mengatur jalannya debat.
Pada debat di TV One tidak ada batasan waktu yang diberikan
oleh
seorang moderator kepada setiap pembicara dalam tim untuk
menyampaikan argumentasinya ketika menjawab pertanyaan.
Moderator
pun terkadang memotong pembicaraan di tengah jalan dengan
memberikan pertanyaan sebagai tanggapan/penegas dari informasi
yang
sudah disampaikan oleh pembicara. Sanggahan pun seringkali
dilakukan
ketika tim lawan sedang dalam posisi bicara (diberikan hak oleh
moderator
untuk menyampaikan argumentasi) sehingga membuat moderator
harus
menghentikan pihak tersebut dan mempersilakan kembali pihak
yang
sedang diberikan hak untuk menyampaikan argumentasi
melanjutkan
argumentasinya. Hal itu dilakukan hingga salah satu tim
dapat
meruntuhkan argumen lawannya serta lebih meyakinkan dan
mempengaruhi penonton dengan argumen yang dibangunnya
terhadap
tema atau topik yang diajukan tersebut.
Lantas timbul pertanyaan, bagaimana kemudian prinsip kerja
sama
yang dicetuskan oleh H. Paul Grice dijalankan oleh para individu
tersebut
di dalam arena perdebatan. Sejatinya di dalam praktik
berkomunikasi tidak
sepenuhnya prinsip kerja sama itu dipatuhi. Partisipan dalam
sebuah
interaksi komunikasi terkadang melanggar ketetapan prinsip kerja
sama
tersebut. Melanggar sebuah prinsip kerja sama bukanlah hal yang
tidak
boleh dilakukan dikarenakan prinsip kerja sama sifatnya aturan
atau
pedoman.
Pada hakikatnya setiap tuturan menghasilkan implikatur atau
dapat
mengimplikasikan tuturan lain begitupun halnya dengan
pelanggaran
prinsip kerja sama yang dapat menghasilkan implikatur atau
dapat
mengimplikasikan tuturan lain. Ada alasan yang membuat
seorang
partisipan melanggar ketetapan prinsip kerja sama. Alasan-alasan
tersebut
-
4
di antaranya terkait aspek etika atau kesopanan, tidak ingin
menyampaikan
maksudnya secara terang-terangan, dan ingin menyindir secara
halus.
Salah satu tema yang dibahas dalam acara Debat TV One yaitu
berkenaan dengan KPK dan Polri. Pada pertengahan hingga
menjelang
akhir Januari semua perhatian masyarakat tertuju kepada KPK dan
Polri.
Pada awalnya hanya soal penetapan tersangka calon Kapolri yaitu
Budi
Gunawan oleh KPK hingga kemudian asumsi berkembang terjadi
kisruh
atau meminjam istilah Presiden terjadi “gesekan” di kedua
institusi ini
setelah ditetapkannya salah satu Komisioner KPK yaitu
Bambang
Widjojanto menjadi tersangka oleh Bareskrim Polri.
Budi Gunawan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK terkait
“dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama
menjabat
Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia
Polri
periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian”.1 Pada
kasus
lainnya, Bambang Widjojanto ditetapkan tersangka oleh Bareskrim
Polri
terkait dugaan memengaruhi saksi dalam memberikan keterangan
tidak
benar dalam sidang perkara sengketa Pilkada Kotawaringin Barat
di
Mahkamah Konstitusi.
Beranjak dari situlah kemudian peneliti tergerak untuk
melakukan
penelitian terhadap acara Debat dengan tema tersebut. Dalam
penelitian
kali ini peneliti mengambil edisi yang pertama atau judul yang
pertama
(tema tentang KPK dan Polri) yaitu Adu Aksi KPK−Polri yang
berlangsung dan tayang pada hari Senin, 26 Januari 2015.
Alasannya yaitu
sebagai dasar pengetahuan terhadap sesuatu yang terjadi antara
KPK dan
Polri sehingga diharapkan ini menjadi fondasi awal pengetahuan
bagi
peneliti serta pembaca yang terjadi antara KPK dan Polri.
Peneliti tergerak ingin mengetahui kepatuhan para narasumber
tersebut terhadap prinsip kerja sama. Jika terjadi pelanggaran
prinsip kerja
sama maka apa implikatur atau hal yang diimplikasikan dalam
1 RYO dkk, “Presiden Pertimbangkan KPK” , Surat Kabar Harian
Kompas, 14 Januari,
2015, Hlm. 1 dan Hlm. 15 kol 5-7
-
5
pelanggaran tersebut. Tentunya ini akan dapat menambah
informasi
sehingga mengetahui lebih dalam hal-hal yang terjadi dalam
arena
perdebatan tersebut khususnya tentang yang terjadi antara KPK
dan Polri,
suatu hal yang menjadi perhatian masyarakat luas. Disertakan
pula fungsi
implikatur dari pelanggaran prinsip kerja sama yang dilakukan.
Pada
akhirnya akan dapat diketahui maksim yang sering dilanggar
oleh
partisipan dalam interaksi komunikasi debat khususnya model
debat TV
One, fungsi implikatur yang paling banyak digunakan serta
kesalahan-
kesalahan yang terdapat dalam interaksi komunikasi debat
tersebut.
Hal ini (penelitian) nantinya turut serta dapat dimanfaatkan
dalam
bidang pendidikan, khusunya dalam pembelajaran bahasa dan
sastra
Indonesia di SMA. Debat merupakan sarana yang baik bagi peserta
didik
untuk menumbuhkembangkan kemampuannya, tidak hanya dari
aspek
retorikanya atau kemampuan berbicaranya melainkan juga melatih
daya
analisa berpikirnya ; logis, sistematis, dan kritis. Debat
bisa
diimplementasikan baik pada Kurikulum 2013 maupun pada KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
Pada Kurikulum 2013 khususnya pada materi pelajaran kelas X
SMA ada materi tentang teks eksposisi yang menuntut peserta
didik
mampu membuat teks eksposisi dengan struktur teks eksposisi
yaitu ;
pernyataan pendapat (tesis)^argumentasi^penegasan ulang
pendapat.
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terdapat juga pada
materi
pelajaran kelas X SMA yaitu materi tentang paragraf
argumentatif.
Jadi ketika metode debat dipakai sebagai metode pembelajaran
maka peserta didik tidak hanya sekadar mampu membuat teks
eksposisi
atau paragraf argumentasi secara tulisan melainkan mampu
mengemukakan pendapat dan argumentasi yang ditulisnya itu
serta
mempertanggungjawabkan dan meyakinkan bahwa pendapat dan
argumentasinya itulah yang paling logis dan ideal. Mengingat
suatu
permasalahan yang terjadi atau yang ada dalam realitas kehidupan
tidak
-
6
mungkin peserta didik seragam dan serempak, pasti di dalamnya
terdapat
perbedaan pendapat dan pandangan.
Dari acara Debat TV One inilah peserta didik dapat melihat
dan
belajar cara membangun sebuah argumentasi terhadap sebuah
pandangan
yang diyakini. Selain hal tersebut peserta didik juga dapat
belajar cara
berkomunikasi yang efektif dan santun. Peserta didik juga dapat
belajar
dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh partisipan dalam
debat yang
tentunya akan dapat merugikan diri sendiri maupun teman
kelompok
dalam suatu debat yang akan dilakukan oleh peserta didik
nantinya.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah-masalah
dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut:
1. Adanya bentuk-bentuk pematuhan prinsip kerja sama dalam
tuturan
para partisipan Debat TV One
2. Adanya bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam
tuturan
para partisipan Debat TV One
3. Adanya Implikatur yang terkandung dalam bentuk-bentuk
pelanggaran
prinsip kerja sama dalam tuturan para partisipan Debat TV
One
4. Adanya implikatur konvensional, implikatur skala, dan hedges
atau
pembatas dalam tuturan para partisipan Debat TV One
5. Adanya fungsi implikatur dalam bentuk-bentuk pelanggaran
prinsip
kerja sama dalam tuturan para partisipan Debat TV One
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka dilakukan
pembatasan masalah sesuai dengan apa yang menjadi sasaran awal
peneliti
dan keinginan peneliti. Penelitian ini difokuskan pada
bentuk-bentuk
pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Debat TV One beserta
dengan
implikatur yang terkandung dalam pelanggaran prinsip kerja sama
tersebut
serta fungsinya.
-
7
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka dilakukan
perumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama
dan
implikaturnya dalam acara Debat TV One?
2. Apa fungsi implikatur dalam acara Debat TV One?
3. Bagaimana implikasi hasil penelitian ini terhadap
pembelajaran
Bahasa Indonesia di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari
penelitian
ini yaitu:
1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama
dan
implikaturnya dalam acara Debat TV One
2. Mendeskripsikan fungsi implikatur dalam pelanggaran prinsip
kerja
sama dalam acara Debat TV One
3. Mendeskripsikan implikasi hasil penelitian ini terhadap
pembelajaran
bahasa Indonesia di SMA
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat-manfaat dalam penelitian ini baik secara
teoritis
maupun secara praktis yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
terhadap
bidang linguistik khususnya dan pembelajaran bahasa di SMA.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai
kalangan di
antaranya :
a. Pembaca
Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang
bentuk-bentuk
pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Debat TV One
serta
implikatur yang dikandungnya dan juga fungsi implikatur
tersebut.
-
8
b. Guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
menjelaskan
bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara
Debat
TV One serta implikatur yang dikandungnya dan juga fungsi
implikatur tersebut. Dalam hal tersebut, bisa disertakan
penjelasan
cara membangun sebuah komunikasi yang efektif dan santun
serta
menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
partisipan
debat sebagai pelajaran untuk peserta didik.
c. Peserta didik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
siswa
dalam mempelajari cara membangun sebuah komunikasi yang
efektif dan santun dalam sebuah debat. Peserta didik pun
dapat
mempelajari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
partisipan
debat yang dapat merugikan diri sendiri maupun teman
kelompok
dalam debat. Peserta didik dapat mempraktikannya ketika
terlibat
atau mengikuti lomba debat.
-
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pragmatik
Pragmatik merupakan salah satu cabang dari ilmu linguistik.
Kunjana Rahardi menyebutkan bahwa “cabang-cabang ilmu di
dalam
entitas linguistik itu secara berturut-turut dapat disebutkan
sebagai berikut:
(1) fonologi, (2) morfologi, (3) sintaksis, (4) semantik, (5)
pragmatik”.1
Pragmatik merupakan cabang ilmu yang paling muda di antara
cabang
ilmu yang lainnya sehingga “ilmu pragmatik sering dikatakan
sebagai
young science”.2
Nuri Nuraidah dalam bukunya menyatakan bahwa “pragmatik
telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika
sejak
1970-an”.3 Lebih lanjut Nuri Nuraidah menjelaskan bahwa “seorang
tokoh
bernama Morris dianggap sebagai peletak dasar lewat
pandangannya
tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga
cabang:
sintaksis, semantik, dan pragmatik”.4 Morris atau yang lebih
lengkapnya
Charles Morris “mendasarkan pemikirannya pada gagasan
filsuf-filsuf
pendahulunya, seperti Charles Sanders Pierce dan John Locke
yang
banyak menggeluti ilmu tanda dan ilmu lambang semasa hidupnya.
Ilmu
tanda dan ilmu lambang yang mereka pelajari itu dinamakan
semiotika
(semiotics)”.5 Dengan kata lain, pragmatik lahir dari tangan
Charles
Morris, ia mengembangkan pemikiran para filsuf-filsuf
pendahulunya
dengan membagi ilmu tanda (semiotika) tersebut yang salah
satunya yaitu
pragmatik.
1 R. Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik, (Jakarta : Erlangga,
2009), hlm. 20.
2 R. Kunjana Rahardi, Pragmatik (Kesantunan Imperatif Bahasa
Indonesia), (Jakarta :
Erlangga, 2006), hlm. 47. 3 Nuri Nuraidah, Wacana Politik
Pemilihan Presiden di Indonesia,(Yogyakarta: Smart
Writing, 2014), hlm.27. 4 Ibid.
5 Rahardi. loc.cit.
-
10
Hal tersebut akhirnya membuat adanya pembagian atau dikotomi
dalam dunia linguistik. Meskipun demikian dikotomi tersebut
tidak
menyebabkan pertelingkahan. Keduanya justru saling melengkapi.
Leech
mengungkapkan pendapatnya bahwa “tata bahasa (sistem bahasa
yang
abstrak-formal) dan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan
bahasa)
merupakan ranah-ranah yang saling melengkapi dalam linguistik”.6
Lebih
lanjut Leech menyatakan bahwa “fonologi, sintaksis, dan
semantik
merupakan bagian dari tata bahasa atau gramatika, sedangkan
pragmatik
itu merupakan bagian dari penggunaan tata bahasa (language
use)”.7 Pada
akhirnya dikenal istilah kompetensi dan performansi.
Tata bahasa merupakan aspek kompetensi sedangkan pragmatik
merupakan aspek performansi. Hamid Hasan Lubis menjelaskan
bahwa
“kompetensi adalah pengetahuan kita tentang sesuatu bahasa yang
ada
dalam pikiran kita, sedangkan performansi adalah implikasi
dari
pengetahuan kita itu yang berbagai-bagai ragamnya dan berbeda
antar
pribadi”.8 Jadi dengan kata lain kompetensi berkaitan dengan
pengetahuan
ilmu tata bahasa dalam hal ini fonologi, sintaksis, dan kemudian
semantik
yang tersimpan dalam memori, sedangkan performansi lebih kepada
aspek
kemampuan diri dalam mengaplikasikan atau
mengimplementasikan
kompetensi yang ada tersebut di dalam wujud praktik
berkomunikasi atau
di dalam penggunaan bahasa. Verhaar menyebut pragmatik
sebagai
ekstralinguistik.9
Kridalaksana dalam Fatimah Djajasudarma menerangkan tentang
etimologi pragmatik yaitu :
Kata Pragmatika sendiri berasal dari bahasa Jerman
yang diusulkan oleh seorang filsuf
Jerman Immanuel Kant. PRAGMATISCH dari
6 Geoffrey Leech, Prinsip-prinsip Pragmatik terj. M.D.D Oka,
(Jakarta : UI- Press, 1993)
hlm. 6 7 Rahardi. loc. cit.
8 A. Hamid Hasan Lubis, Analisis Wacana Pragmatik, ( Bandung :
Angkasa, 2011), hlm.
21 9 J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta :
Gadjah Mada University
Press, 1996), hlm. 14
-
11
(bahasa Latin) bermakna „pandai
berdagang‟ atau di dalam bahasa Yunani PRAGMATIKOS
dari artinya „perbuatan‟ dan
„berbuat‟.10
Berdasarkan pengertian di atas, arti dari kata „berbuat‟ dan
„perbuatan‟ mengacu kepada penggunaan bahasa oleh seseorang
individu.
Merujuk lagi kepada pengertian „pandai berdagang‟ dengan arti
lainnya
bahwa bagaimana bahasa itu diaksikan, diekspresikan dan atau
digunakan
oleh seorang individu. Bahasa diaksikan, diekspresikan, dan
atau
digunakan oleh seorang individu tentu ini mengandung hakikat
pragmatik
itu sendiri yaitu performansi.
John I Saeed dalam bukunya yang berjudul Semantics
menyatakan
bahwa “ in this view semantics is concerned with sentence
meaning and
pragmatics with speaker meaning”.11
Kurang lebih terjemahannya yaitu
bahwa semantik berpusat pada arti kalimat sedangkan pragmatik
berpusat
kepada arti pembicara.
Cruse menyatakan definisi pragmatik sebagai berikut:
pragmatik berkaitan dengan aspek-aspek informasi yang
disampaikan melalui bahasa yang tidak dikodekan, oleh
konvensi yang diterima secara umum, dalam linguistik
yang digunakan. Namun juga muncul secara alamiah dan
tergantung makna-makna yang dikodekan secara
konvensional dalam konteks.12
Jacob L. Mey masih dalam Nuri Nuraidah menjelaskan pragmatik
yaitu “sebagai ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian dan
penggunaan
bahasa, yang ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam
masyarakat
dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan
melatar-belakanginya”.13
Levinson sendiri secara singkat menyatakan bahwa “pragmatik
sebagai
studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan
konteksnya”.14
George Yule lebih jelas dan lebih luas lagi dalam mendefinisikan
atau
10
T. Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik, (Bandung : PT.
Refika Aditama,
2012), hlm. 71 11
John I Saeed, Semantics (Second Edition), (United Kingdom :
Blackwell Publishing Ltd,
2003), hlm. 18 12
Nuraidah, op. cit, hlm. 21 13
Ibid 14
Rahardi. loc .cit
-
12
memaknai pragmatik. Menurutnya pragmatik itu: (1) pragmatics is
the
study of speaker meaning ; (2) pragmatics is the study of
contextual
meaning ; (3) pragmatics is the study of how more gets
communicated
than is said ; dan (4) pragmatics is the study of the expression
of relative
distance.15
Dengan kata lain bahwa: (1) pragmatik yaitu ilmu tentang
arti/maksud pembicara; (2) pragmatik yaitu ilmu tentang arti
berdasarkan
konteksnya; (3) pragmatik yaitu ilmu tentang maksud atau arti
lain yang
didapatkan dari apa yang dituturkan/diujarkan; serta (4)
pragmatik yaitu
ilmu tentang ekspresi yang muncul oleh pengguna bahasa
didasarkan oleh
jarak sosial.
Dari berbagai penjelasan di atas maka pragmatik sebuah
subdisiplin ilmu dari linguistik yang mengkaji makna sama halnya
dengan
semantik. Hal yang membedakannya yaitu pragmatik bersifat
performansi
yaitu ketika sebuah bahasa sudah diaktualisasikan menjadi
tuturan dan
menafsirkan makna tuturan tersebut tidak bisa hanya berdasar
dari apa
yang dituturkan saja melainkan harus melibatkan konteks.
Konteks
merupakan titik sentral dari pragmatik.
B. Situasi Tutur
Berdasarkan uraian sebelumnya, konteks merupakan titik
sentral
dari pragmatik. Dilihat dari berbagai pendefinisian yang
diberikan oleh
sejumlah pakar mengenai pragmatik. Berdasarkan
pendefinisiannya
Levinson menyebut dengan istilah konteks. George Yule pun sama
yaitu
menyebut konteks. Jacob L. Mey dalam hal ini menyebut konteks
situasi
ujar. Pada bukunya Louise Cummings menyebut konteks. Hampir
mirip
dengan Jacob L.Mey, Leech menyebut situasi ujar sedangkan
Wijana
dalam bukunya menyebutnya dengan situasi tutur meski Wijana
mengutip
dari apa yang dinyatakan oleh Leech berkenaan dengan situasi
ujar.
Mulyana dalam bukunya menyatakan bahwa “konteks ialah
situasi
atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap
sebagai
15
George Yule, Pragmatics, (United Kingdom : Oxford University
Press, 2000), hlm. 1
-
13
sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala
sesuatu yang
berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti,
maksud,
maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang
melatarbelakangi peristiwa tuturan itu”.16
Ada empat jenis konteks yang dijelaskan oleh Fatimah
Djajasudarma dalam bukunya. Konteks yang pertama yaitu konteks
fisik.
Konteks fisik yaitu tempat terjadinya konversasi (tindak ujar).
Konteks
yang kedua yaitu konteks linguistik yang maksudnya yaitu tuturan
yang
dipertimbangkan sebelumnya. Hal yang ketiga yaitu konteks
epistemik
adalah latar belakang pengetahuan baik pembicara maupun kawan
bicara
(hubungan speaker-hearer). Terakhir atau konteks sosial yaitu
hubungan
sosial yang ada (setting) antara penyapa-pesapa.17
Jadi dalam penjelasan Mulyana konteks itu melihat tujuan
komunikasi seseorang dengan seseorang lainnya dengan
melibatkan
latar/situasi di mana terjadinya interaksi komunikasi tersebut.
Lebih
ditambahkan lagi oleh Fatimah Djajasudarma yaitu dengan melihat
juga
relasi sosial di antara penutur dan petutur serta latar belakang
pengetahuan
di antara keduanya.
Leech memasukkan konteks ke dalam salah satu bagian dari
aspek-aspek ujar. Aspek-aspek situasi ujar menurut Leech yaitu
sebagai
berikut: (1) yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa);
(2)
konteks sebuah tuturan; (3) tujuan sebuah tuturan; (4) tuturan
sebagai
bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar; (5) tuturan sebagai
produk
tindak verbal.18
Penyapa atau yang disapa tentu maksudnya yaitu penutur
dengan
petutur. Untuk konteks sendiri, Leech memasukkan pendapatnya.
Konteks
dalam pengertian Leech bukanlah sebagai gambaran fisik atau
sosial
sebuah tuturan melainkan Leech menganggap bahwa konteks itu
sebagai
16
Mulyana, Kajian Wacana : Teori, Metode, dan Aplikasi
Prinsip-prinsip Analisis Wacana,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 21 17
Djajasudarma, op.cit., hlm. 76 18
Leech, op. cit., hlm. 19-20
-
14
latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur
dan
petutur. Tujuan sebuah tuturan merupakan apa yang diharapkan
oleh
penutur dengan mengadakan interaksi komunikasi dengan petutur.
Adanya
interaksi komunikasi berarti tentu ada tuturan atau tindak ujar
dan tindak
tutur itu biasanya menghasilkan tuturan menurut Leech “untuk
mengacu
pada produk linguistik tindakan tersebut”.
Leech tidak memasukkan waktu dan tempat dalam unsur-unsur
situasi ujar yang dicetusnya melainkan waktu dan tempat sebagai
salah
satu unsur yang wajib dipertimbangkan juga. Leech menyatakan
“kita
dapat menyusun konsep SITUASI UJAR yang mencakup semua unsur
ini,
dan mungkin juga unsur-unsur lain seperti waktu dan tempat
ketika
tuturan dihasilkan”.19
Untuk itu dapat ditarik sebuah simpulan bahwa tidak menjadi
suatu
masalah yang besar jika mempergunakan istilah konteks atau
situasi
ujar/tutur. Hal yang terpenting di dalamnya yaitu melibatkan
tempat atau
situasi serta waktu berlangsungnya proses komunikasi tersebut,
siapa
penutur dan petutur di dalam proses komunikasi tersebut dan
kemudian
relasi sosial keduanya. Perlu dipertimbangkan juga latar
belakang
pengetahuan antara penutur dan petutur tersebut dan tujuan
dari
diadakannya komunikasi tersebut. Hal-hal inilah yang kemudian
dapat
menarik makna dari sebuah tuturan yang melibatkan atau menjadi
wilayah
dari pragmatik. Untuk lebih memahaminya, perhatikan contoh
berikut ini:
(1) Rudi : “Aduh San, notebook-nya sudah mau mati nih”.
Ihsan : “Oh iya sebentar, saya ambil charger-nya dulu”.
Berdasarkan contoh di atas jika berdasarkan tuturan yang
tampak,
Rudi tidak meminta Ihsan untuk mengambilkan charger, tetapi
Ihsan
dengan bergegas ingin mengambil charger yang dimaksud. Untuk
menjawab kasus ini maka dilihat situasi tutur atau konteks
keberlangsungan ujaran tersebut. Rudi dan Ihsan pada saat itu
sedang
berada di kantin kampus dan Rudi sedang mengerjakan tugas
kuliah
19
Ibid, hlm. 21-22
-
15
manajemen bisnis dengan meminjam notebook milik Ihsan. Rudi
hanya
memiliki sisa waktu 45 menit untuk mengerjakan tugas itu
dikarenakan
setelah itu merupakan waktu atau sudah saatnya jam mata
kuliah
manajemen bisnis. Berdasarkan hal itu Ihsan mengetahui bahwa
tuturan
Rudi tersebut tidak semata hanya bersifat informasi, tetapi
juga
memintanya untuk mengambil charger notebook miliknya. Rudi
pun
mengetahui bahwa Ihsan akan mengerti tujuan pembicaraannya
berdasarkan situasi atau konteks yang ada. Inilah yang kemudian
bisa
dikatakan adanya latar belakang pengetahuan yang sama-sama
dimiliki
oleh penutur maupun petutur.
Bisa dilihat juga rumusan Dell Hymes yang disingkat SPEAKING
yang dapat juga dipakai untuk menentukan makna sebuah tuturan
melalui
kajian pragmatik. Dell Hymes dalam Mulyana menyatakannya
sebagai
berikut:
S : setting and scene, yaitu latar dan suasana. Latar
(setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat
dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene
adalah latar psikis yang lebih mengacu pada
suasana psikologis yang menyertai peristiwa
tuturan.
P :participants, peserta tuturan, yaitu orang-orang
yang terlibat dalam percakapan, baik langsung
maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan
dengan partisipan, seperti usia, pendidikan, latar
sosial, dsb, juga menjadi perhatian.
E :ends, hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu
pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur
(ends as outcomes), dan tujuan akhir pembicaraan
itu sendiri (ends in view goals).
A :act sequences, pesan/amanat, terdiri dari bentuk
pesan (message form) dan isi pesan (message
content). Dalam kajian pragmatik, bentuk pesan
meliputi; lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
K :key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat
dalam melakukan percakapan. Semangat
-
16
percakapan antara lain, misalnya: serius, santai,
akrab.
I :instrumentalities, atau sarana, yaitu sarana
percakapan. maksudnya dengan media apa
percakapan tersebut disampaikan, misalnya: dengan
cara lisan, tertulis, surat, radio, dsb.
N :norms, atau norma, menunjuk pada norma atau
aturan yang membatasi percakapan. Misalnya, apa
yang boleh dibicarakan dan tidak, bagaimana cara
membicarakannya: halus, kasar, terbuka, jorok, dan
sebagainya.
G :genres, atau jenis, yaitu jenis atau bentuk wacana.
Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacana yang
disampaikan, misalnya: wacana telepon, wacana
koran, wacana puisi, ceramah, dan sebagainya.20
Berkaitan dengan rumus SPEAKING di atas, Preston
mengungkapkan pendapatnya. Adapun pendapatnya sebagai
berikut:
unsur-unsur sosiolinguistik penentu percakapan di atas,
merupakan penjabaran dari konteks nonlinguistik, yang
terdiri dari: (1) konteks dialektikal, yang meliputi
partisipan
dan jenis wacana, (2) konteks diatipik, yaitu latar, hasil,
dan
amanat, dan (3) konteks realisasi, yakni sarana (saluran),
norma, dan cara berkomunikasi.21
Jadi dengan kata lain meskipun konsep SPEAKING yang
diungkapkan oleh Dell Hymes ini diperuntukkan sebagai
unsur-unsur
sosiolinguistik namun hakikat keberadaannya dapat digunakan
dalam
kajian pragmatik untuk menentukan makna. Konsep SPEAKING
hakikatnya sama dengan konteks nonlinguistik. Menentukan
sebuah
makna di dalam pragmatik, tidak hanya berdasarkan aspek
linguistiknya
saja melainkan juga aspek nonlinguistiknya.
Berikut diberikan sebuah contoh bahwa konsep SPEAKING dapat
menentukan sebuah makna dalam sebuah percakapan:
A: “ Rina itu orangnya baik tidak sih?”
B: “Oh iya, Rina itu baik sekali”
20
Mulyana, op. cit., hlm. 23-24 21
Ibid, hlm. 24
-
17
Tuturan B yang tampak,mempunyai makna bahwa Rina merupakan
orang yang baik sekali. Hal tersebut bukanlah makna sebenarnya
dari
maksud tuturan B. Nada dan sikap yang ditunjukkan oleh penutur B
dalam
mengungkapkan tuturannya seperti orang yang sedang menyindir.
Jadi,
maksud sebenarnya penutur B yaitu Rina bukanlah orang yang
baik.
Berdasarkan hal tersebut, nada dan sikap dapat menentukan sebuah
makna
tuturan.
C. Prinsip Kerja Sama
Sebelumnya sudah disinggung bahwa prinsip kerja sama
merupakan buah pemikiran dari Herbert Paul Grice yang
disampaikan
pertama kali pada kuliah umum di Universitas Harvard yaitu pada
tahun
1967. Leech dalam Asim Gunarwan membagi pragmatik ke dalam
dua
cabang yaitu pragmatik interpersonal dan pragmatik
tekstual.22
Leech
membagi pragmatik ke dalam dua cabang tidak lepas dari
pembagian
fungsi bahasa menurut Halliday. Dua fungsi bahasa yang ada yaitu
fungsi
interpersonal dan fungsi tekstual. Fungsi interpersonal
“berkaitan dengan
pengungkapan sikap penutur serta pengaruhnya pada sikap dan
perilaku
petutur”. Fungsi tekstual “berhubungan dengan cara-cara
membangun
teks, baik lisan maupun tulis”.23
Prinsip kerja sama merupakan bagian dari
pragmatik interpersonal.
Elizabeth Black dalam bukunya menjelaskan alasan atau dasar
dari
Grice membentuk prinsip kerja sama yaitu “he considers,
underlies
successful verbal communication”.24
Jadi kurang lebih artinya yaitu Grice
membentuk prinsip kerja sama sebagai dasar untuk suksesnya
interaksi
komunikasi yang terjalin. Lebih lanjut Elizabeth Black
menjelaskan
rumusan dari prinsip kerja sama sehingga interaksi komunikasi
yang
22
Asim Gunarwan, Pragmatik (Teori dan Kajian Nusantara), (Jakarta
: Universitas Atma
Jaya, 2007), hlm. 162 23
Ibid, hlm. 161-162 24
Elizabeth Black, Pragmatic Stylistics, ( United Kingdom :
Edinburgh University Press,
2009), hlm. 23
-
18
terjalin berjalan sukses. Rumusan tersebut yaitu “ The
co-operative
principle states: Make your conversational contribution such as
is
required, as the stage at which it occurs, by the accepted
purpose or
direction of the talk exchange in which you are engaged”.25
Rumusan
tersebut bermakna “berikanlah kontribusi anda dalam percakapan
sesuai
dengan kebutuhan, pada tingkat di mana percakapan tersebut
berlangsung,
sesuai dengan maksud dan tujuan di mana anda terlibat”.26
Berdasarkan rumusan tersebut terbentuklah empat maksim
sebagai
pelaksana terwujudnya rumusan prinsip kerja sama. Keempat
maksim
tersebut yaitu “maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim
kualitas
(maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan
maksim
pelaksanaan (maxim of manner).27
Adapun penjelasan hakikat dari keempat maksim tersebut yaitu
sebagai berikut:
Kuantitas : Berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu:
1. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang
dibutuhkan.
2. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan.
Kualitas : Usahakan agar sumbangan informasi anda
benar, yaitu:
1. Jangan mengatakan suatu yang Anda yakini bahwa itu tidak
benar.
2. Jangan mengatakan suatu yang bukti kebenarannya kurang
meyakinkan.
Hubungan : Usahakan agar perkataan Anda ada
relevansinya.
Cara : Usahakan agar mudah dimengerti, yaitu:
1. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar.
2. Hindarilah ketaksaan
25
Ibid 26
F.X Nadar, Pragmatik&Penelitian Pragmatik, ( Yogyakarta :
Graha Ilmu, 2009), hlm.
24 27
I. Dewa Putu Wijana, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta : Andi ,
1996), hlm. 46
-
19
3. Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang
panjang
lebar dan bertele-tele).
4. Usahakan agar Anda berbicara dengan teratur.28
Berdasarkan uraian di atas, maksim kuantitas erat kaitannya
dengan muatan jumlah dalam hal ini berkaitan dengan
informasi,
sampaikanlah informasi sesuai dengan yang dibutuhkan dalam
percakapan
atau yang dibutuhkan oleh petutur. Wijana dalam bukunya
memberikan
contoh dari maksim kuantitas, yaitu: “(a) Tetangga saya hamil ;
(b)
Tetangga saya yang perempuan hamil”.29
Menurut Wijana, “ujaran (a) di
samping lebih ringkas, juga tidak menyimpangkan nilai kebenaran
(truth
value). Setiap orang tentu tahu bahwa hanya orang-orang
wanitalah yang
mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam
tuturan
(b) sifatnya berlebih-lebihan”. Dengan kata lain, Wijana
ingin
menyampaikan bahwa tuturan (b) bersifat tidak kooperatif atau
melanggar
maksim kuantitas karena informasi yang diberikan terlalu
berlebihan dan
tidak dibutuhkan oleh petutur. Perhatikan kembali contoh yang
diberikan
oleh Wijana dalam bukunya:
(108) + siapa namamu
- Ani
+ Rumahmu di mana?
- Klaten, tepatnya di Pedan + Sudah bekerja?
- Belum masih mencari-cari (109) + Siapa namamu?
- Ani, rumah saya di Klaten, tepatnya di Pedan. Saya belum
bekerja. Sekarang saya masih mencari pekerjaan. Saya
anak bungsu dari lima bersaudara. Saya pernah kuliah di
UGM, tetapi karena tidak ada biaya, saya berhenti
kuliah.30
Berdasarkan contoh di atas, tuturan (108) bersifat kooperatif
dan
mematuhi maksim kuantitas. Berbeda halnya dengan tuturan (109)
yang
28
Leech, Op.Cit., hlm. 11-12 29
Wijana. loc. cit. 30
Ibid, hlm. 47
-
20
tidak bersifat kooperatif dan melanggar maksim kuantitas.
Tuturan (108)
menjawab sesuai dengan informasi yang dibutuhkan oleh lawan
tuturnya
atau kawan bicaranya. Sementara tuturan (109) memberi informasi
jauh
lebih banyak dari yang dibutuhkan oleh lawan tuturnya atau
kawan
bicaranya.
Maksim yang kedua yaitu maksim kualitas, berhubungan dengan
aspek kebenaran tuturan. Jangan bertutur jika tuturan
tersebut
mengandung kebohongan atau kebenarannya tidak dapat dibuktikan.
Hal
tersebut dapat merugikan petutur karena pada dasarnya petutur
berharap
mendapat informasi yang benar atau yang dibutuhkan
mengandung
kebenaran. Contohnya sebagai berikut :
A : “Apa Ibu Kota India sekarang?”
B : “New Delhi”
berdasarkan contoh di atas, penutur B telah mematuhi prinsip
kerja sama
maksim kualitas dengan memberikan informasi yang benar.
Louise Cummings dalam bukunya memberikan contoh sifat
kooperatif atau pematuhan terhadap maksim kualitas lainnya,
yaitu: “The
students have passed all their examination. (para siswa telah
lulus semua
ujian mereka).”31
Menurut Louise Cummings penutur ujaran tersebut meyakini apa
yang dikatakannya itu benar bahwa para siswa telah lulus semua
ujian
mereka.
Maksim ketiga yaitu maksim relevan berharap adanya
kesinambungan atau keterhubungan antara tuturan yang satu
dengan
tuturan yang lainnya antara tuturan penutur dengan tuturan
petutur.
Contohnya sebagai berikut:
A : “Mah, lihat buku catatan kerja papah tidak?”
B : “Mamah sudah simpan di tas kerja papah.”
31
Louise Cummings, Pragmatik (Sebuah Perspektif Multidisipliner),
Terj. dari Pragmatics A Multidisciplinary Perspective oleh Eti
Setiawati dkk, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.
17
-
21
bandingkan dengan contoh di bawah ini:
A : “ Acara Debat TV One dimulai jam berapa sih?”
B : “ Novel saya kalau sudah baca, letakkan di tempat semula
dong!”
Penutur B bersikap tidak kooperatif atau melanggar maksim
relevansi dikarenakan tuturannya tidak mengakomodasi dari
yang
dibutuhkan oleh lawan tuturnya yaitu penutur A. Penutur B
mungkin kesal
dengan penutur A akibat penutur A meminjam novel penutur B
tetapi
tidak meletakkan kembali di tempat semulanya. Meskipun demikian,
jika
tidak ingin dinyatakan melanggar maksim relevansi maka penutur
B
seharusnya mengakomodasi terlebih dahulu dari yang dibutuhkan
oleh
penutur A. Setelah itu, penutur B mengungkapkan kekesalannya
terhadap
penutur A.
Maksim terakhir yaitu maksim cara yang berkaitan dengan
persoalan bahwa tuturan yang disampaikan harus jelas dan
dapat
dimengerti sehingga tidak membuat kesalahpahaman bagi lawan
tutur.
Contohnya sebagai berikut:
A : “Bisa ambilkan saya sambal yang ada di dekatmu?”
B : “Oh, baik.”
Adapun contoh yang diberikan oleh Louise Cummings dalam
bukunya, yaitu “she dusted the shelves and washed the walls.
(Dia
membersihkan debu pada rak-rak itu dan membersihkan dinding-
dindingnya dengan air.).”32
Berdasarkan tuturan di atas, penutur bersikap kooperatif
dengan
menjelaskan secara teratur atau sistematis dalam menceritakan
peristiwa-
peristiwa yang penutur tersebut lihat.
Untuk lebih jelasnya Grice memberikan analogi dari maksim-
maksim prinsip kerja sama ini, yatu :
32
Ibid
-
22
1. Quantity. If you are assisting me to mend a car, I expect
your contribution to be neither more not
less than is required; if, for example, at a
particular stage I need four screws, I expect you
to hand me four, rather than two or six.
2. Quality. I expect your contributions to be genuine and not
spurious. If I need sugar as an
ingredient in the cake you are assisting me to
make, I do not expect you to hand me salt; if I
need a spoon, I do not expect a trick spoon
made of rubber.
3. Relation. I expect a partner‟s contribution to be appropriate
to immediate needs at each stage of
the transaction; if I am mixing ingredients for a
cake, I do not expect to be handed a good book,
or even an oven cloth (thought this might be an
appropriate contribution at a later stage).
4. Manner. I expect a partner to make it clear what contribution
he is making, and to execute his
performance with reasonable dispatch.33
Wijana dalam bukunya memberikan terjemahan dari analogi
maksim-maksim prinsip kerja sama yang dicetuskan oleh Grice ini,
yaitu:
1. Maksim Kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobil,
saya mengharapkan
kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang
dari apa yang saya butuhkan. Misalnya, jika
pada tahap tertentu saya membutuhkan empat
obeng, saya mengharapkan anda mengambilkan
saya empat bukannya dua atau enam.
2. Maksim Kualitas. Saya mengharapkan kontribusi anda
sungguh-sungguh, bukanlah
sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula
sebagai bahan adonan kue, saya tidak
mengharapkan anda memberi saya garam. Jika
saya membutuhkan sendok, saya tidak
mengharapkan anda mengambilkan sendok-
sendokan, atau sendok karet.
3. Maksim Relevansi. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja
saya sesuai dengan apa
yang saya butuhkan pada setiap tahapan
transaksi. Jika saya mencampur bahan-bahan
adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan
33
H.P. Grice, “Logic and Conversation”, dalam Cole et al, Syntax
and Semantics 3: Speech
arts, 2015, p. 47, (http://www.ucl.ac.uk)
-
23
buku yang bagus, atau bahkan kain oven
walaupun benda yang terakhir ini saya butuhkan
pada tahap berikutnya.
4. Maksim Cara. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami
kontribusi yang harus
dilakukannya, dan melaksanakannya secara
rasional.34
D. Implikatur
Selain prinsip kerja sama, implikatur juga buah dari
pemikiran
Grice. J Meibauer menjelaskan hakikat implikatur dalam pemikiran
Grice
sebagai berikut:
In Grice‟s approach, both „what is implicated‟ and
„what is said‟ are part of speaker meaning. „What is
said‟ is that part of meaning that is determined by
truth-conditional semantics, while „what is
implicated‟ is that part of meaning that cannot be
captured by truth conditions and therefore belong to
pragmatics.35
dengan kata lain (jika diterjemahkan) dalam pendekatan Grice,
ada yang
diistilahkan dengan „apa yang terimplikasi‟ dan „apa yang
dikatakan‟ yang
keduanya merupakan bagian dari makna pembicara. „ Apa yang
dikatakan‟
merupakan bagian dari arti kondisi kebenaran secara semantik,
sedangkan
„apa yang terimplikasi‟ merupakan bagian dari arti yang bukan
dari
kondisi kebenaran (secara semantik) dan ini merupakan bagian
dari
pragmatik.
Mey dalam FX Nadar menyatakan bahwa “implikatur
“implicature” berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata
bendanya
adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin
plicare yang
34
Wijana, Op.Cit., hlm. 52-53 35
J. Meibauer, “ Implicature”, dalam Jacob L. Mey (ed.), Concise
Encyclopedia of
Pragmatics (Second Edition), (United Kingdom : Elsevier Ltd.,
2009), hlm. 365
-
24
berarti to fold “melipat” sehingga untuk mengerti apa yang
dilipat atau
disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara
membukanya”.36
Berdasarkan penjelasan di atas, implikatur dihasilkan atau
produk
dari sebuah tuturan atau „apa yang dikatakan‟ dan untuk
mengetahui
implikatur dari sebuah tuturan maka seseorang harus
„membukanya‟.
Untuk membuka, tentunya melibatkan konteks. Bisa merujuk
kembali
kepada contoh yang sudah diberikan sebelumnya yaitu contoh kasus
Rudi
dan Ihsan. Berikut kembali disajikan contoh kasusnya:
Rudi : “ Aduh San, notebook-nya sudah mau mati nih.”
Ihsan : “Oh iya sebentar, saya ambil charger-nya dulu.”
Dalam kasus di atas, jika memakai rumus Grice “apa yang
dikatakan” maka yang dikatakan Rudi hanyalah sebuah informasi
yang
memberitahukan bahwa sebuah notebook sudah mau mati. Ketika
melihat
atau melibatkan konteksnya maka sebenarnya ada yang “disimpan”
atau
“dilipat” oleh Rudi melalui tuturannya tersebut atau dengan kata
lain “apa
yang diimplikasikan” oleh Rudi dalam tuturan tersebut. Ihsan
pun
„membuka‟ apa yang „disimpan‟ atau „dilipat‟ oleh Rudi
dengan
melibatkan konteks. Seperti yang dinyatakan oleh Leech dalam FX
Nadar
sebagai berikut:
interpreting an utterance is ultimately a matter of
guesswork, or (to use a more dignified term) hypothesis
formation (“menginterpretasikan suatu tuturan sebenarnya
merupakan usaha-usaha untuk menduga, yang dalam
bahasa lain yang lebih terhormat merupakan suatu
pembentukan hipotesa”).37
Lebih lanjut Nadar menjelaskan bahwa “menduga “guessing”
tergantung pada konteks, yang mencakup permasalahan, peserta
pertuturan
dan latar belakang penutur dan lawan tuturnya”38
.
36
Nadar, Op.Cit., hlm. 60 37
Ibid 38
Ibid
-
25
Jadi bisa disimpulkan implikatur merupakan bagian dan ada
dalam
setiap tuturan yang maujud serta untuk mengetahuinya dengan
jalan
melibatkan konteks tuturan tersebut.
E. Implikatur Percakapan
Implikatur terbagi ke dalam dua jenis. Levinson dalam
Meibauer
menunjukkan tipologi makna pembicara dari Grice yaitu sebagai
berikut:
speaker meaning
what is said what is implicated
conventionally conversationally
generalized (GCI) particularized (PCI)39
Adapun bagan di atas jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia yaitu sebagai berikut:
maksud Pembicara
apa yang dikatakan apa yang diimplikasi
konvensional konversasi
umum khusus
Berdasarkan bagan di atas “apa yang diimplikasi” dari ujaran
atau
implikatur dari ujaran terbagi menjadi dua yaitu implikatur
konvensional
39
Mey. loc. cit.
-
26
dan implikatur percakapan (konversasi). Penelitian ini tidak
akan meneliti
implikatur konvensional melainkan hanya membahas implikatur
percakapan, tetapi tetap dijelaskan mengenai pengertian
implikatur
konvensional sebagai penjelas perbedaan dari implikatur
percakapan.
Implikatur konvensional merupakan implikatur yang “secara
konvensional terkait dengan butir-butir leksikal tertentu
yang
menghasilkannya, meskipun secara kondisional tidak benar.”40
Lebih
jelasnya George Yule menjelaskan bahwa “conventional
implicatures are
associated with specific words and result in additional conveyed
meanings
when those words are used”.41
Jadi bisa dikatakan bahwa implikatur
konvensional merupakan implikatur yang muncul disebabkan
penggunaan
kata leksikal tertentu sehingga dalam penggunaannya
menyebabkan
makna tambahan.
Contohnya sebagai berikut :
A : “Nanti pada datang ya Bapak-bapak ke acara pernikahan
anak
saya bahkan katanya Pak Menteri pun siap datang.”
Penggunaan kata „bahkan‟ dalam ujaran di atas
mengimplikasikan
bahwa tidak sembarang orang bisa mengundang menteri dalam
acara
pernikahan maka jika seorang menteri datang bisa dikatakan
bahwa
pernikahan tersebut sangat berarti.
Berbeda halnya dengan implikatur percakapan yang ada akibat
timbal balik percakapan. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa
implikatur percakapan dibagi menjadi dua yaitu generalized
conversationally implicature atau dalam bahasa Indonesianya
yaitu
implikatur percakapan umum dan yang kedua particularized
conversationally implicature atau implikatur percakapan khusus.
Menurut
Yule, implikatur percakapan umum yaitu “when no special
knowledge is
40
Louise Cummings, Pragmatik (Sebuah Perspektif Multidisipliner),
Terj. dari Pragmatics,
A Multidisciplinary Perspective oleh Eti Setiawati dkk, (
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007),
hlm.20 41
Yule, Op.Cit., hlm. 45
-
27
required in the context to calculate the additional conveyed
meaning”.42
Jadi dengan kata lain sesuatu disebut implikatur percakapan umum
ketika
kita tidak membutuhkan pengetahuan yang khusus dalam
mengetahui
makna tambahan. Yule pun memberikan contohnya sebagai
berikut:
Doobie : “Did you invite Bella and Cathy?”
Mary : “I invited Bella”43
(Doobie : “Apakah kamu mengundang Bella dan Cathy?”
Mary : “ Saya mengundang Bella”)
Dari contoh di atas bisa diketahui kemudian bahwa implikatur
dalam tuturan Mary yaitu Cathy tidak turut serta diundang oleh
Mary.
Untuk Implikatur percakapan khusus dijelaskan oleh Yule
sebagai
berikut:
However, most of the time, our conversations take place in
very specific contexs in which locally recognized inferences
are assumed. Such inferences are required to work out the
conveyed meanings which result from particularized
conversational implicatures.44
Dengan kata lain, implikatur percakapan khusus berada dalam
konteks yang khusus menghasilkan sebuah inferensi yang
kemudian
inferensi tersebut menjadi hasil untuk mengetahui makna tambahan
dalam
tuturan yang maujud. Perhatikan contoh Yule berikut ini :
Rick : “Hey, coming to the wild party tonight?”
Tom : “My parents are visiting.”
(Rick : “ Hei, bisakah datang ke acara pesta nanti malam?”
Tom : “Orangtuaku datang berkunjung”)
42
Ibid, hlm. 41 43
Ibid, hlm. 40 44
Ibid, hlm. 42
-
28
berikut penjelasan Yule mengenai contoh di atas :
In order to make Tom‟s response relevant; Rick has to draw
on some assumed that one college student in this setting
expects another to have. Tom will be spending than evening
with his parents, and time spent with parents is quiet
(consequently +> Tom not at party).45
Berdasarkan contoh di atas, Rick haruslah berkeyakinan bahwa
Tom tetap bersifat kooperatif meski memang dalam jawaban
yang
sederhana untuk mematuhi maksim relevansi jawabannya antara yes
atau
no. Untuk itulah kemudian Rick harus mendayagunakan
pengetahuannya
serta mempergunakan konteksnya sehingga implikatur yang
dihasilkan
dalam tuturan Tom yaitu Tom secara tidak langsung menyatakan no.
Ini
berdasarkan asumsi yang diperoleh dari pengetahuan dan konteks
bahwa
Tom merupakan seorang mahasiswa ketika orangtuanya berkunjung
maka
kemudian Tom akan lebih menghabiskan malamnya bersama
orangtuanya.
Berbeda halnya dengan contoh sebelumnya yaitu antara Doobie
dan Mary yang tidak membutuhkan konteks yang khusus, ketika
Doobie
menanyakan “Did you invite Bella and Cathy?” maka Mary menjawab
“I
invited Bella”, maka implikatur yang muncul yaitu Cathy tidak
diundang
oleh Bella. Yule lebih lanjut menyatakan bahwa implikatur
percakapan
khusus merupakan yang disebut “implikatur”, berikut
pernyataannya: “
because they are by far the most common, particularized
conversational
implicatures are typically just called implicatures”.46
Terjemahan
pernyataan Yule tersebut yaitu mereka (implikatur percakapan
khusus)
yang paling umum (sering ditemukan dalam interaksi komunikasi)
untuk
itu implikatur percakapan khusus merupakan tipikal dari
implikatur.
Sesuai uraian sebelumnya bahwa jika memegang teguh maksim
relevansi maka Tom seharusnya menjawab yes atau no tetapi
Tom
melakukan penyimpangan. Hal itu tidak membuatnya bisa
dikatakan
45
Ibid,hlm. 43 46
Ibid
-
29
sepenuhnya tidak kooperatif karena implikatur buah dari
tuturannya
menghasilkan sesuatu yang relevan terhadap yang dibutuhkan oleh
Rick.
Hal semacam di atas sering terjadi, prinsip kerja sama
dengan
maksimnya sering dilanggar. Meskipun demikian, hal tersebut
bukanlah
hal yang haram untuk dilakukan. Prinsip kerja sama yang
dicetuskan oleh
Grice bukanlah sebagai bentuk baku layaknya sebuah
konstitutif-jika
meminjam istilah yang dipakai oleh Leech- yang menjadi sifat
tata bahasa.
Prinsip atau maksim merupakan kaidah atau rambu-rambu dalam
praktik
berkomunikasi atau jika meminjam istilah yang dipakai oleh Leech
yaitu
yang bersifat mengatur atau regulatif.47
Untuk itu terkadang prinsip kerja sama melalui keempat
maksimnya sering dilanggar dengan masing-masing bentuk
pelanggaran. J
Meibauer mengutip dari Grice dan Levinson menggambarkan
contoh
bentuk pelanggaran terhadap setiap maksim serta kemudian
menuangkannya ke dalam sebuah tabel, yaitu sebagai berikut:
(1) War is war. +> „There is nothing one can do about it
(2) Some men were drunk.+> „Not all of them were drunk.”
(3a) He is a fine friend. +> „He is not a fine friend.”
(3b) You are the cream in my coffee.+>„You are my best
friend
(4) There is life on Mars. +> „Speaker believes that there
is
Life on Mars‟
(5) Speaker A : I‟m out of petrol.
Speaker B : There is a garage round the corner.
+> „The garage is open.‟‟
(6) Speaker A : Look, that old sprinter over there!
Speaker B : Nice weather today, isn‟t it?. +> „No
Comment‟
(7) She produced a series of noises that resembled
“ Si, mi chiamano Mimi”. +> „ Her singing
47
Leech, Op.Cit., hlm. 12
-
30
was a complete
disaster‟
(8) Anna went to the shop and bought jeans.
+> „ She bought the jeans‟
Table 1 Typical cases of Implicature
Maxims Exploitation Observation
Quantity Tautology (1) Scalar Implicature (2)
Quality Irony, Metaphor, Belief Implicature
Sarcasm (3) in assertions (4)
Relevance Implicatures due to Bridging (6)
Thematic switch (5)
Manner Implicatures due to Conjuction
obscurity, etc. (7) buttressing (8) 48
Adapun tabel di atas jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, yaitu sebagai berikut:
(1) Perang adalah perang.+>’Tidak ada yang bisa dilakukan
tentang hal itu
(2) Beberapa pria yang mabuk.+>’Tidak semua dari mereka
mabuk
(3a) Dia (laki-laki) adalah teman yang baik. +>‟ Dia
(laki-laki)
bukan teman yang baik.”
(3b) Kamu itu seperti krim dalam kopi saya.+>‟ Kamu
merupakan teman terbaik saya.”
(4) Ada kehidupan di Mars.+>‟ Pembicara percaya bahwa
ada kehidupan di Mars.”
(5) Pembicara A : Saya kehabisan bensin.
Pembicara B : Ada sebuah garasi di tikungan.
48
Mey, op. cit.,hlm. 366
-
31
+> „Garasi itu buka (bisa dipakai).”
(6) Pembicara A : Lihat, atlet pelari yang sudah tua itu
berada di sana!
Pembicara B : Cuaca hari ini bagus, bukan begitu?
+> „Tidak menanggapi‟
(7) Dia (perempuan) menghasilkan serangkaian suara yang
menyerupai “ Si, mi chiamano Mimi”. +>‟ Nyanyian
perempuan itu seperti bencana yang dahsyat‟
(8) Anna pergi ke toko dan membeli celana jeans.
+> ‘ Perempuan itu membeli celana jeans‟
Tabel 1 Tipikal Kasus Implikatur
Maksim Eksploitasi Observasi
Kuantitas Pengulangan (1) Implikatur berskala (2)
yang tak berguna
Kualitas Ironi, Metafora, Percaya pada implikatur
Sarkasme (3) yang terkandung
dalam pernyataan (4)
Relevansi Implikatur (5) Menjembatani (6)
karena beralih
tematik
Cara Implikatur dari Menunjang kata
ketidakjelasan (7) sambung (8)
Pada tabel di atas tertulis exploitation atau dalam bahasa
Indonesianya eksploitasi. Memang ada yang menyebutkannya
mengeksploitasi maksim-termasuk dalam hal ini Louise Cummings-,
ada
yang juga menyebutkan pelanggaran terhadap prinsip kerja sama
seperti
halnya Wijana. Grice sendiri dalam artikelnya menyebutkan dengan
istilah
flouting atau mencemoohkan.
Selain contoh Tom dan Rick maka contoh no (5) pun
sebagaimana
yang dituliskan di atas merupakan jenis pelanggaran terhadap
maksim
-
32
relevansi atau sifatnya mengeksploitasi dari maksim relevansi.
Implikatur
diperoleh dari akibat peralihan tetapi masih menyangkut tema
pembicaraan (tematik). Contoh kasus Tom dan Rick, ketika
Rick
mengundang Tom, kemudian Tom malah menginformasikan Ayahnya
yang akan berkunjung nanti malam. Meskipun terjadi peralihan,
peralihan
ini masih menyangkut tema pembicaraan, dilihat dari implikatur
yang
diperoleh kemudian yaitu saya tidak bisa datang.
Pada kasus maksim cara, eksploitasi atau pelanggaran
terhadap
maksim ini dilakukan dengan cara membuat tuturan yang taksa,
tidak
jelas, dan bisa membuat lawan tutur kebingungan. Dari situlah
kemudian
muncul implikatur yang disebabkan dari ketaksaan atau
ketidakjelasan.
Selain contoh di atas, Wijana dalam bukunya memberikan contoh
sebagai
berikut:
(+) Let‟s stop and get something to eat
( - ) Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S49
( (+) Ayo berhenti dan cari makan
( - ) Oke, tapi jangan M-C-D-O-N-A-L-D-S)
Pada contoh di atas menurut Wijana “tokoh (-) menjawab
ajakan
(+) secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu persatu
kata
McDonalds. Penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak
menginginkan
anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui
maksudnya”. 50
Dari penyimpangan ini kemudian diperoleh implikatur kata
McDonalds
yang sebenarnya ingin dituturkan oleh tokoh (-). Jika merujuk ke
contoh
Grice dan Levinson yang dikutip oleh J Meibeur, pada contoh
kasus
maksim cara maka sebenarnya maksud penutur ingin menyatakan
bahwa
suara perempuan itu ketika menyanyi seperti bencana yang
dahsyat. Ini
hasil dari implikatur tuturannya yang menyatakan bahwa suara
perempuan
itu menyerupai “Si, mi chiamano Mimi”.
49
Wijana, op. cit., hlm. 51 50
Ibid
-
33
Maksim kualitas sering dieksploitasi dengan menghubungkannya
melalui gaya bahasa yang digunakan yaitu ironi, metafor, dan
sarkasme.
Lebih dari itu, Grice dalam artikelnya menyebutkan juga meiosis
dan
hiperbol sebagai bagian dari pencemoohan-jika meminjam istilah
Grice-
terhadap maksim kualitas.51
Pada contoh di atas, pelanggaran terhadap
maksim kualitas ditunjukkan dengan contoh tuturan “He is a fine
friend”.
Yang sebenarnya maksud dari tuturannya atau implikaturnya yaitu
“He is
not a fine friend”. Mengingat prinsip dasar dari maksim kualitas
yaitu
“jangan mengatakan sesuatu yang anda tidak yakini kebenarannya”
tetapi
penutur melakukan pelanggaran tersebut untuk menyampaikan
maksudnya
dengan memanfaatkan gaya bahasa ironi.
Hal yang sama juga dicontohkan oleh Louise Cummings dalam
bukunya, yaitu sebagai berikut :
The players were lions on the pitch
( Pemain-pemain itu laksana singa-singa di atas puncak)52
Menurut Louise Cummings “penutur telah sengaja melanggar
maksim kualitas dengan tujuan untuk mencapai efek komunikasi
tertentu”.53
Pemain itu bukan singa melainkan pemain itu diasosiasikan
seperti singa. Ini seperti sebuah metafor yang dihasilkan oleh
penutur.
Implikaturnya kemudian pemain-pemain itu diibaratkan seperti
singa yang
bisa dikatakan bahwa singa itu buas, kuat, dan cepat.
Pelanggaran terhadap maksim kuantitas yaitu „tautologi‟.
Jika
menilik KBBI maka tautologi merupakan pengulangan yang tidak
berguna. Seperti halnya contoh di atas yaitu “war is war”
yang
implikasinya menyerupai ujaran maujudnya sehingga penjelasan di
atas
“there is nothing one can do about it”. Grice pun menyatakan
bahwa
tautologi bersifat uninformative atau tidak bersifat informatif
dan tidak
bisa tidak dikatakan melanggar maksim kuantitas. Grice pun
51
Cole et al, op. cit., hlm. 53 52
Cummings, op. cit., hlm. 18 53
Ibid, hlm. 19
-
34
menambahkan kecuali ada maksud yang ingin disampaikan dari
ujaran
tersebut maka ini membutuhkan tautologi yang khusus.54
Untuk itu prinsip kerja sama terkadang dilanggar oleh
partisipan
dengan sebuah alasan tertentu. Pelanggaran prinsip kerja sama
tersebut
mengandung implikatur di dalamnya atau ada hal yang
diimplikasikan
dalam pelanggarannya. Dalam hal ini semua tuturan juga
mempunyai/dapat mengimplikasikan sesuatu, beranjak dari
pemikiran
Louise Cummings. Implikatur yang terkandung dalam pelanggaran
prinsip
kerja sama mempunyai fungsi yang erat kaitannya dengan alasan
seorang
partisipan dalam melakukan pelanggaran prinsip kerja sama.
F. Pembelajaran Keterampilan Berbicara Tingkat SMA
Keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan
berbahasa yang wajib dimiliki oleh peserta didik. Nida dan
Harris dalam
Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa “Keterampilan
berbahasa
mempunyai empat komponen, yaitu keterampilan menyimak
(listening
skill), keterampilan berbicara (speaking skill), keterampilan
membaca
(reading skill), dan kemampuan menulis (writing skill).”55
Dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, standar kompetensi yang
harus
dimiliki oleh peserta didik di tingkat SMA mencakup keempat
komponen
keterampilan berbahasa yaitu peserta didik mampu
“menunjukkan
keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam
bahasa
Indonesia dan Inggris.”56
Berbeda dengan Kurikulum 2013, pembelajaran
tidak berdasarkan kepada pembagian keempat komponen
keterampilan
berbahasa. Pada Kurikulum 2013 pembelajaran berdasarkan kepada
teks
dan keempat komponen keterampilan berbahasa tersebut
diintegrasikan
masuk ke dalamnya. Berikut pernyataan dari Muhammad Nuh
selaku
54
Cole et al, op. cit., hlm. 52 55
Henry Guntur Tarigan, Berbicara (Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa), (Bandung :
Penerbit Angkasa, 2008), hlm. 1 56
Tuszie Widhiyanti, KTSP : Berdasarkan Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan,
2015, (http://www.file.upi.edu)
-
35
penggagas kurikulum 2013 dan ketika itu menjabat sebagai
menteri
pendidikan:
Sebagai bagian dari Kurikulum 2013 yang menekankan
pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan
dan keterampilan, kemampuan berbahasa yang dituntut
tersebut dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan:
dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang jenis,
kaidah dan konteks suatu teks, dilanjutkan dengan
keterampilan menyajikan suatu teks tulis dan lisan baik
terencana maupun spontan, dan bermuara pada
pembentukan sikap kesantunan dan kejelian berbahasa serta
sikap penghargan terhadap Bahasa Indonesia sebagai
warisan budaya bangsa.57
Berdasarkan pendapat Muhammad Nuh di atas, hal yang dituntut
dalam kurikulum 2013 yaitu aspek sikap, pengetahuan, dan
keterampilan.
Peserta didik dituntut untuk mengetahui berbagai jenis teks yang
ada
disertakan dengan kaidah dan konteks teks tersebut. Kemudian
peserta
didik diharapkan dapat menyajikan berbagai teks tersebut secara
tulis
maupun secara lisan. Dalam hal tersebut, secara lisan berarti
sama halnya
dengan melihat kompetensi keterampilan berbicara.
Imber dan Klingler mencetuskan gagasan kurikulum nasional
keterampilan berbahasa yang terdiri atas delapan unit dasar.
Adapun
delapan unit dasar tersebut yaitu sebagai berikut:
8. Aneka Pemahaman
7. Mengomentari, menanya(i), memperbaiki (membetulkan,
membenarkan), melaporkan,
menganalisis.
6. Mengingatkan, menyarankan, menganjurkan, meyakinkan,
menegaskan, memaksakan.
5. Mengkritik, memperingatkan, menghina, menuduh (menyalahkan),
mengancam.
4. Memberi pujian, mengucapkan selamat merayu (menyanjung),
membanggakan (menyombongkan
diri).
57
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Guru : Bahasa
Indonesia (Ekspresi diri
dan Akademik) kelas X,2015, hlm. Iii,
(http://www.bse.kemdikbud.go.id)
-
36
3. Menghindarkan (mengelakkan), membelokkan percakapan
(mengalihkan arah pembicaraan),
menyangkal (mengingkari).
2. Menyetujui, membantah, menyatakan simpati (mengucapkan
belasungkawa), menentang
(memperdebatkan), mendamaikan (menentramkan)
1. Aneka Kesalahpahaman.58
Salah satu unit dasar keterampilan berbahasa yang ada dalam
kurikulum nasional yaitu menentang atau memperdebatkan. Henry
Guntur
Tarigan dalam bukunya menjelaskan betapa pentingnya berdebat
diajarkan
di dalam kegiatan pembelajaran. Adapun pendapat Henry Guntur
Tarigan
tersebut sebagai berikut:
para guru memang wajar mendidik para siswa berpikir
logis; yang benar harus dibenarkan, yang salah harus
disalahkan. Dalam hal ini penalaranlah yang diutamakan.
Walaupun suatu pendapat muncul dari teman karib, tetapi
apabila pendapatnya itu tidak masuk akal, harus ditentang
atau didebat demi kebenaran. Begitu pula sebaliknya,
pendapat yang logis, walaupun dikemukakan oleh orang
yang tidak kita senangi, haruslah diterima karena memang
masuk akal. Berdebat, berbantah tentang sesuatu hal
dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan
pendapat atau pendirian, berguna untuk mendidik para
siswa berpikir logis, dapat memilih mana yang benar dan
mana yang salah.59
Pendapat Henry Guntur Tarigan tersebut bisa
diimplementasikan
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan maupun dalam
Kurikulum
2013 khususnya untuk pembelajaran keterampilan berbicara.
Standar
kompetensi untuk keterampilan berbicara dalam Kurikulum
Tingkat
Satuan Pendidikan yaitu salah satunya peserta didik
mengungkapkan
komentar terhadap informasi dari berbagai sumber. Kompetensi
dasar dari
standar kompetensi tersebut yaitu: (1) memberikan kritik
terhadap
informasi dari media cetak dan atau elektronik; (2)
memberikan
58
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik, (Bandung : PT.
Angkasa, 2009), hlm. 136 59
Ibid, hlm. 141
-
37
persetujuan/dukungan terhadap artikel yang terdapat dalam media
cetak
dan atau elektronik.60
Memberikan kritik berarti tidak setuju dengan isi informasi
atau
berita sedangkan memberikan persetujuan berarti ikut
mengafirmasi isi
informasi atau berita. Hal tersebut tentu sama dengan hakikat
debat yang
mempertemukan pihak yang setuju dengan pihak yang tidak setuju
atau
kontra. Guru dapat menggunakan metode debat dalam pembelajaran
untuk
kompetensi dasar tersebut. Dalam implementasinya, guru mempunyai
dua
pilihan yaitu: (1) memulai dari kompetensi dasar yang pertama
dilanjutkan
kompetensi dasar yang kedua dan terakhir melakukan evaluasi
dengan
menggunakan metode debat dalam pembelajaran; (2) menggabun