-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan dan kelancaran sarana telekomunikasi akan menunjang
pelaksanaan pembangunan berupa penyebaran kebutuhan informasi ke
seluruh
pelosok tanah air, misalnya sektor industri, perdagangan,
pariwisata dan
pendidikan. Dalam lingkungan nasional, telekomunikasi merupakan
sarana
vital negara Indonesia untuk memperlancar kegiatan
pemerintah,
meningkatkan hubungan antar bangsa, mempelancar komunikasi warga
antar
daerah serta memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam rangka
wawasan
nusantara.
Untuk melaksanakan penyelenggaraan telekomunikasi diperlukan
suatu badan pengelola, seperti yang dilakukan oleh PT.
Telekomunikasi
Indonesia (PT. Telkom) yang bergerak dalam bidang pelayanan
jasa
sambungan telekomunikasi. Salah satu layanan PT. Telkom yang
mulai
diluncurkan pada tahun 2006 adalah Telkom Speedy. Telkom
Speedy
merupakan layanan internet access end to end dari PT. Telkom
dengan basis
teknologi Asymetric Digital Subscriber Line (ADSL), yang dapat
menyalurkan
data dan suara secara simultan melalui satu saluran telepon
biasa dengan
kecepatan maksimal 384 kbps yang dijaminkan dari modem sampai
BRAS
(Broadband Remote Access Server) di sisi perangkat Telkom
Speedy. Dengan
slogan Broadband Internet Access for Home and Small Office, maka
Telkom
-
2
Speedy menjadi solusi utama bagi akses broadband koneksi
internet tidak
hanya di kalangan bisnis namun meluas sampai ke rumah-rumah.
Telkom Speedy mulai diluncurkan dengan cakupan layanan
nasional
secara bertahap mulai bulan Mei 2006. Pada awalnya beberapa
daerah yang
sudah dapat dilayani (first package) meliputi, Medan, Pekanbaru,
Padang,
Batam, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Cirebon,
Semarang,
Yogyakarta, dan Solo. Cakupan layanan Telkom Speedy senantiasa
terus
diperluas ke daerah-daerah lainnya di tahun 2010 ini dan
tahun-tahun
berikutnya untuk memenuhi kebutuhan akses broadband yang
telah
meningkat pesat.
Bagi masyarakat yang ingin memanfaatkan jasa telekomunikasi,
khususnya internet dengan provider Telkom Speedy yang
diselenggarakan
oleh PT. Telkom, terlebih dahulu harus mengadakan perjanjian
dengan PT.
Telkom. Perjanjian berlangganan internet Telkom Speedy pada PT.
Telkom
dapat dikonstruksikan sebagai perjanjian untuk melakukan jasa.
Perjanjian
untuk melakukan jasa diatur dalam Pasal 1601 K.U.H.Perdata yang
berbunyi:
Selain persetujuan-persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa
jasa yang
diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh
syarat-syarat yang
diperjanjikan, dan apabila ketentuan-ketentuan yang
syarat-syarat ini tidak
ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan.
Hukum perjanjian menganut azas kebebasan berkontrak, yang
berarti
bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada
seseorang untuk membuat perjanjian, asalkan tidak bertentangan
dengan
-
3
undang-undang, ketertiban umum serta kesusilaan. Asas kebebasan
berkontrak
ini ditafsirkan dari Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata yang
menyatakan,
bahwa: Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
Dalam sebuah perjanjian, masing-masing pihak yaitu, pihak
pengguna
jasa atau pelanggan dan pihak penyelenggara jasa yaitu PT.
Telkom
mempunyai hak dan kewajiban. Pelaksanaan suatu perjanjian yang
telah
disepakati oleh kedua belah pihak tidak selalu sesuai dengan apa
yang
diharapkan. Sebagai pihak penyedia jasa, PT. Telkom sudah
semestinya
memperoleh hak untuk menerima harga pembayaran jasa
telekomunikasi
internet dari pelanggan, tetapi dalam kenyataannya masih banyak
pihak
pelanggan yang sama sekali tidak melakukan pembayaran. Di lain
pihak,
pengguna jasa Telkom Speedy juga ada yang merasa dirugikan,
seperti
pengguna jasa Telkom Speedy tidak memakai melebihi batas
pemakaian
(kuota), namun jumlah tagihan pembayarannya malah meningkat. Hal
ini
dapat saja terjadi karena username dan password pemakaian
diketahui oleh
orang lain akibat kesalahan sendiri atau kelemahan pihak PT.
Telkom dalam
mengantisipasi pengambilan data oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab atau dikarenakan kesalahan instalasi, yaitu
pada waktu
instalasi pertama kali pemasangan Telkom Speedy, pihak pengguna
jasa tidak
diberikan penjelasan secara jelas.
Seperti diketahui bahwa setting instalasi Telkom Speedy ada 2
(dua)
macam, yaitu denga sistem dial-up dan otomatis. Dengan sistem
dial-up ini,
-
4
maka kontrol pemakaian dapat diketahui pihak pengguna jasa,
sedangkan
sistem otomatis tidak dikontrol oleh pengguna jasa, akan tetapi
koneksi
internet otomatis berjalan apabila komputer dan modem
dinyalakan. Sistem
otomatis ini biasanya dipasang apabila digunakan lebih dari 2
(dua) komputer,
karena instalasi pemasangan lebih mudah, dari pada menggunakan
sistem
network connection dengan kabel LAN.
Pembengkakan atau penurunan kualitas pelayanan dapat
terjadi,
apabila kuota yang diberikan telah habis. Pengguna jasa Telkom
Speedy
biasanya menggunakan paket family, yaitu paket kuota sampai
dengan 3 GB
dengan kecepatan maksimal 384 dan kecepatan akan menurun apabila
kuota
yang disediakan telah habis. Permasalahan dapat terjadi apabila
pengguna jasa
Telkom Speedy tidak diberikan penjelasan oleh petugas instalasi
tentang
sistem koneksi yang digunakan Telkom Speedy. Seperti yang
terjadi pada
kasus berikut ini: Seorang pengguna jasa Telkom Speedy
berlangganan paket
family, karena menginginkan agar kedua koputernya dapat
berkoneksi dengan
internet, maka petugas instalasi menyambungkan kedua komputer
milik
pengguna jasa dengan Telkom Speedy. Petugas instalasi yang
bersangkutan
memasang dengan sisten otomatis, akan tetapi dalam proses
instalasi ini, pihak
pengguna jasa tidak diberikan penjelasan tentang kelebihan dan
kekuarngan
sistem dial-up maupun sisten otomatis. Akibatnya pihak pelanggan
Telkom
Speedy merasakan pelayanan yang dijanjikan tidak sesuai, karena
baru
beberapa hari pemakaian, kecepatan yang dijanjikan sudah
menurun, padahal
pihak pelanggan merasa tidak pernah melakukan download sama
sekali.
-
5
Meskipun demikian pihak pelanggan tetap berkewajiban membayar
biaya
secara penuh, sehingga ia merasa dirugikan. Pada kasus yang
lain, ada juga
seorang pengguna jasa Telkom Speedy yang berlangganan paket
Game. Pada
paket game ini, kecepatan yang dijanjikan adalah sampai dengan
768 kbps,
akan tetapi pada kenyataannya kecepatan yang didapat hanya 153
kbps sampai
dengan 384 kbps, padahal biaya yang dibayar tetap sesuai dengan
paket game,
dimana paket game ini lebih mahal dari pada paket family.
Padahal di dalam Pasal 8 ayat (2) huruf 6 Undang-Undang Nomor
8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa:
Pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Di
samping hal
tersebut, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
memberikan
kewajiban kepada pelaku usaha untuk memberikan informasi yang
benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
serta memberi
penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Dikaitkan dengan contoh kasus yang telah diuraikan di atas,
maka
pengguna jasa Telkom Speedy yang dimaksud kurang mendapatkan
perlindungan hukum terhadap konsumen sesuai dengan ketentuan
yang ada
dalam undang-undang, sehingga penulis tertarik untuk melakukan
penelitian
tentang, Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pengguna Jasa
Internet
Telkom Speedy.
-
6
B. Perumusan Masalah
Atas dasar latar belakang tersebut, maka yang menjadi
permasalahan
dalam penulisan skripsi ini adalah:
Bagaimanakah perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna
jasa Telkom Speedy?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui perlindungan hukum konsumen terhadap
pengguna
jasa Telkom Speedy.
D. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Perjanjian
Istilah perjanjian, sebagai terjemahan dari agreement dalam
bahasa
Inggris, atau overeenkomst dalam bahasa Belanda.1 Di samping
itu, ada juga
istilah yang sepadan dengan istilah perjanjian, yaitu istilah
transaksi yang
merupakan terjemahan dari istilah Inggris transaction. Namun
demikian,
istilah perjanjian adalah yang paling modern, paling luas dan
paling lazim
digunakan, termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis.
Perjanjian adalah suatu kesepakatan (promissory agreement) di
antara
2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi,
atau
menghilangkan hubungan hukum. Ada juga yang memberikan
pengertian
1 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, hlm. 9.
-
7
sebagai suatu serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan
ganti rugi
terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum,
pelaksanaan dari
kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus
dilaksanakan.
Pasal 1313 K.U.H.Perdata memberikan definisi perjanjian
adalah:
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut Subekti, perjanjian merupakan terjemahan dari kata
overeenkomst.2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menerjemahkan
istilah
overeenkomst dengan pengertian persetujuan.3 Menurut
Setiawan,
overeenkomst berasal dari kata overeenkomen yang berarti setuju
ataupun
sepakat, karena itulah dipergunakannya istilah persetujuan
untuk
menerjemahkan istilah overeenkomst.4
Berdasarkan rumusan perjanjian yang telah dikemukakan
tersebut,
maka pengertian perjanjian itu mempunyai unsur-unsur yang dapat
diuraikan
sebagai berikut:
a. Ada dua pihak atau lebih
Para pihak yang disebutkan itu adalah subyek pada perjanjian
yang dapat
berupa manusia pribadi atau badan hukum. Untuk dapat membuat
perjanjian tersebut harus mampu atau wenang melakukan
perbuatan
hukum seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
b. Ada kesepakatan diantara para pihak
2 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa Jakarta, 1985, hlm. 1. 3
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perutangan, Sumur Bandung,
Bandung, 1989, hlm. 1. 4 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perjanjian,
Bina Cipta, Jakarta, 1987, hlm. 2.
-
8
Kesepakatan yang dimaksud adalah yang bersifat tetap, artinya
tidak
termasuk tindakan-tindakan pendahuluan untuk mencapai adanya
persetujuan atau kesepakatan. Persetujuan ini dapat diketahui
dari
penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran yang berarti apa
yang
ditawarkan pihak yang satu diterima oleh pihak lainnya.
c. Ada tujuan yang akan dicapai
Tujuan para pihak mengadakan perjanjian adalah agar memenuhi
kebutuhan pihak-pihak, oleh karena itu di dalamnya harus ada
tujuan yang
akan dicapai. Tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban
umum, kesusilan dan tidak dilarang oleh undang-undang.
d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan
Dalam suatu perjanjian, para pihak disamping memperoleh hak
dibebani
pula dengan kewajiban-kewajiban yang berupa suatu prestasi.
Prestasi
merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak
sesuai
persyaratan atau syarat-syarat perjanjian, misalnya penjual
berkewajiban
menyerahkan barang yang telah dijualnya.
Tidak ada kesatuan pendapat mengenai pengertian perjanjian,
namun
apabila diperhatikan dengan sesama, maka pada dasarnya
perjanjian
merupakan suatu hubungan hukum berdasarkan kesepakatan antara
dua pihak
atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan
suatu akibat
hukum tertentu. Kedua belah pihak atau lebih tersebut terikat
karena
-
9
kesepakatan yang mereka lakukan untuk melaksanakan tujuan yang
termaksud
dalam perjanjian yang mereka buat.5
2. Asas-asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian juga terdapat beberapa asas yang
mendasari
berlakunya suatu perjanjian. Untuk lebih jelasnya mengenai asas
hukum yang
dimaksud dalam perjanjian ini, satu persatu dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Asas Konsensualitas
Asas ini berkaitan dengan saat lahirnya suatu perjanjian. Asas
ini
menyatakan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya
kata
sepakat diantara para pihak mengenai unsur-unsur pokoknya.
Soedikno Mertokusumo mengemukakan sebagai berikut: Untuk
adanya perjanjian harus ada dua kehendak yang mencapai kata
sepakat
atau konsensus. Tanpa kata sepakat tidak mungkin ada perjanjian,
tidak
menjadi soal apakah kedua kehendak itu disampaikan secara lisan
atau
tertulis. Bahkan dengan bahasa isyarat atau membisu sekalipun
dapat
terjadi perjanjian asal ada kata sepakat.6
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan peluang kepada
masyarakat untuk menentukan isi perjanjian, bentuk maupun obyek
dari
perjanjian tersebut. Kebebasan berkontrak haruslah
memperhatikan
batasan-batasan tertentu seperti diatur dalam Pasal 1337
K.U.H.Perdata
5 Ibid, hlm. 96. 6 Ibid, hlm. 96.
-
10
yang intinya memberikan batasan yaitu tidak dilarang oleh
undang-
undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum.
Asas kebebasan berkontrak ini juga dapat dianalisis dari
ketentuan
Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata yang menyatakan: Semua
persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang
membuatnya.
c. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian
Pengertian asas kekuatan mengikat perjanjian ini adalah para
pihak
yang telah mengadakan perjanjian tersebut, masing-masing terikat
dengan
ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian yang telah diadakan
tersebut.
Soedikno Mertokusumo mengemukakan sebagai berikut: Para
pihak
haruslah melaksanakan apa yang mereka sepakati sehingga
perjanjian itu
berlaku sebagai undang-undang. Ini berarti bahwa kedua belah
pihak
wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian. Asas kekuatan
mengikat ini
berhubungan dengan akibat perjanjian dan dikenal sebagai Pacta
Sunt
Servanda, sudah selayaknya bahwa sesuatu yang telah disepakati
oleh
kedua belah pihak dipatuhi pula oleh kedua belah pihak.7
d. Asas Kepribadian
Pasal 1315 dan 1340 K.U.H.Perdata mengatur bahwa, pada
dasarnya
suatu perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak yang
mengadakan
perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian suatu
perjanjian,
sedangkan pihak-pihak di sini maksudnya adalah, siapa saja
yang
7 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengatar, Liberty,
Yogyakarta, 1989, hlm. 97.
-
11
tersangkut dalam perjanjian, yaitu kreditur dan debitur.
Terhadap asas
kepribadian tersebut terdapat suatu pengecualian yang disebut
janji guna
pihak ketiga, yaitu bahwa dalam suatu perjanjian dimungkinkan
adanya
hak pihak ketiga yang adanya sejak pihak ketiga itu
menyatakan
kesediaannya menerima prestasi tersebut, seperti diatur dalam
Pasal 1317
K.U.H.Perdata.
Menurut Setiawan, janji untuk pihak ketiga adalah, Janji yang
oleh
para pihak dituangkan dalam suatu perjanjian dimana ditentukan
bahwa
para pihak ketiga akan memperoleh hak atau suatu prestasi.8
e. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik ini merupakan asas yang berkaitan dengan
pelaksanaan perjanjian. Di dalam asas ini ditentukan bahwa
suatu
perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana
yang
diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) K.U.H.Perdata.
Pengertian asas itikad baik di dalam hukum perjanjian
adalah,
bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus berjalan sebagaimana
mestinya,
sesuai dengan ukuran obyektif masyarakat. Hal ini untuk
menjamin
kepastian hukum, sebab dengan adanya pelaksanaan perjanjian
secara baik
dan benar, tidak akan terjadi suatu penyimpangan terhadap
suatu
perjanjian.
8 Setiawan, op.cit., hlm. 35.
-
12
3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 K.U.H.Perdata menyebutkan bahwa untuk sahnya
suatu
perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
c. Adanya hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat tersebut merupakan syarat mutlak di dalam
perjanjian
yang harus dipenuhi oleh para pihak apabila ingin perjanjian
yang dibuatnya
sah. Tidak dipenuhinya keempat syarat tersebut akan berakibat
perjanjian itu
batal atau dapat dibatalkan. Hal ini tergantung pada syarat mana
dari keempat
syarat tersebut yang tidak dipenuhi, karena keempat syarat
tersebut dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Syarat subyektif, adalah syarat yang menyangkut subyek dari
suatu
perjanjian atau syarat yang melekat pada subyek-subyek yang
mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian. Apabila syarat ini
tidak
dipenuhi maka akibat hukumnya perjanjian ini dapat dibatalkan.
Termasuk
syarat subyektif adalah syarat sepakat yang mereka mengikatkan
diri dan
adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
b. Syarat obyektif, adalah suatu syarat yang menyangkut obyek
perjanjian itu
sendiri. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka akibat hukum
dari
perjanjian itu adalah batal demi hukum. Termasuk syarat obyektif
adalah
syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
-
13
Pengertian perjanjian dapat dibatalkan ini adalah perjanjian
yang telah
ada tetap terus berjalan selama belum ada atau tidak diadakan
pembatalan,
pembatalan hanya dapat dilakukan oleh hakim pengadilan atas
permintaan
yang berhak meminta pembatalan, berbeda dengan pengertian batal
demi
hukum. Apabila perjanjian batal demi hukum, maka maksudnya
perjanjian itu
sejak semula dianggap tidak pernah ada, dengan demikian
perjanjian itu
menjadi batal tanpa campur tangan dari hakim.
Adanya perbedaan dapat dibatalkan dan batal demi hukum ini
menurut
Subekti merupakan suatu sistem logis dan dapat dianut di
mana-mana, dan
lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa, Sistem tersebut logis
karena tidak
dipenuhinya syarat subyektif tidak dapat dilihat oleh hakim dan
karenanya
harus diajukan kepadanya oleh yang berkepentingan, sedangkan hal
tidak
dipenuhinya syarat obyektif seketika dapat dilihat oleh
hakim.9
4. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Pendukung dalam suatu perjanjian sekurang-kurangnya harus ada
2
(dua) orang yang disebut subyek perjanjian. Masing-masing orang
menduduki
tempat yang berbeda, satu orang menjadi kreditur yang berhak
atas prestasi
dan orang lainnya sebagai debitur yang wajib memenuhi prestasi.
Pihak-pihak
dalam perjanjian dapat berupa manusia pribadi (persoon) atau
lembaga/badan
hukum (rechtspersoon).
9 Subekti, op.cit., hlm. 26.
-
14
Subyek perjanjian harus mampu dan berwenang melakukan
tindakan
hukum seperti yang ditetapkan oleh undang-undang. Sesuai dengan
teori dan
praktek hukum, yang dapat menjadi kreditur atau debitur adalah
terdiri dari:
a. Individu sebagai person.
1) Manusia tertentu (persoon).
2) Badan Hukum (rechtspersoon).
b. Seseorang sebagai individu atas keadaan atau kedudukan
tertentu
bertindak untuk atau atas nama orang tertentu.
c. Seseorang sebagai individu yang menggantikan kedudukan
debitur
semula, baik atas dasar bentuk perjanjian maupun atas ijin dan
persetujuan
kreditur.
Hak dan kewajiban para pihak adalah merupakan isi dari
perjanjian itu
sendiri. Isi perjanjian didasarkan atas azas kebebasan
berkontrak, yaitu para
pihak bebas untuk menentukannya. Pada hakekatnya hak disatu
pihak adalah
merupakan kewajiban pihak lain, dengan kata lain prestasi yang
merupakan
hak dari kreditur adalah merupakan kewajiban bagi debitur
untuk
memenuhinya. Jadi baik kreditur maupun debitur sama-sama
berorientasi pada
satu hal yaitu prestasi, karena kreditur berhak atas prestasi
dan debitur
berkewajiban untuk memenuhi prestasi atau melaksanakan
prestasi.
5. Wanprestasi dan Overmacht Dalam Perjanjian
Perjanjian yang dibuat dengan sah menimbulkan perikatan atau
hak
dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Dalam suatu
perjanjian ada
kalanya terjadi wanprestasi, yang artinya menurut Soedikno
Mertokusumo,
-
15
adalah: tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam
perikatan,
baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan
yang timbul
karena undang-undang.10
Tidak dipenuhinya kewajiban itu selain karena wanprestasi dapat
juga
karena keadaan memaksa (overmacht), atau peristiwa yang terjadi
diluar
kemampuan debitur, sehingga debitur tidak mempunyai
kesalahan.
Bentuk wanprestasi ada 4 (empat), yaitu:
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur
tidak dapat
memenuhi kewajibannya yang telah disanggupi untuk dipenuhi
dalam
suatu perjanjian.
b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana yang
diperjanjikan.
c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.
Mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi,
perlu
diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan pelaksanaan
pemenuhan
prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu ditentukan
pelaksanaan
pemenuhan prestasi, maka ketentuan Pasal 1238 K.U.H.Perdata
menyatakan
sebagai berikut: Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah,
atau dengan
akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan
sendiri, yaitu bila
perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan
lewatnya
waktu yang ditentukan.
10 Ibid, hlm. 73.
-
16
Alasan kedua tidak dapat dipenuhinya kewajiban adalah
keadaan
memaksa (overmacht), akibatnya ada salah satu pihak yang
dirugikan.
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana tidak dapat
dipenuhinya
prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa yang bukan
karena
kesalahannya. Peristiwa dimana tidak dapat diketahui atau tidak
dapat diduga
akan terjadi pada waktu membuat perjanjian.11
Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa:
a. Tidak dapat dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa
yang
memusnahkan atau membinasakan benda yang menjadi obyek
perjanjian.
b. Tidak dapat dipenuhinya suatu prestasi karena suatu peristiwa
yang
menghalangi perbuatan debitur.
c. Peristiwa yang tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi
pada waktu
membuat perikatan atau perjanjian baik oleh debitur maupun
oleh
kreditur, bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya
debitur.
Sifat keadaan memaksa ada 2 (dua):
a. Overmacht yang bersifat absolute (mutlak) ialah suatu keadaan
dimana
prestasi sama sekali tidak dapat dipenuhi, maka perikatan
tersebut terhenti
sama sekali.
b. Overmacht yang bersifat relatif ialah suatu keadaan dimana
kewajiban
berprestasi terhentikan untuk sementara dan akan timbul lagi
setelah
keadaan memaksa berhenti.
11 Setiawan, op.cit., hlm. 27.
-
17
6. Berakhirnya Perjanjian
Hapusnya perjanjian pada umumnya adalah jika tujuan dari
suatu
perjanjian itu telah tercapai. Dengan demikian isi perjanjian
yang telah mereka
buat bersama itu telah dilaksanakan dengan baik oleh mereka.
Beberapa
macam cara hapusnya perjanjian, yaitu apabila:
a. Masa berlakunya perjanjian yang telah disepakati sudah
terpenuhi.
b. Pada saat masa berlakunya perjanjian belum berakhir para
pihak sepakat
mengakhirinya.
c. Adanya penghentian oleh salah satu pihak dalam perjanjian
dengan
memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku setempat.
d. Waktu berakhirnya suatu perjanjian ditentukan dengan batas
waktu
maksimal oleh undang-undang.
e. Adanya putusan hakim karena adanya tuntutan pengakhiran
perjanjian
dari salah satu pihak.
f. Di dalam undang-undang atau perjanjian itu sendiri ditentukan
bahwa
dengan adanya suatu peristiwa tertentu maka perjanjian akan
berakhir.12
7. Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada
konsumen
dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang
dapat
merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini
masih
12 Ibid, hlm. 106.
-
18
relatif baru, khususnya di Indonesia, sedangkan di negara maju
hal ini mulai
dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya industri dan
teknologi.13
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun-1999
tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan: Perlindungan konsumen adalah
segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan
kepada konsumen.
Berbicara tentang perlindungan konsumen berarti
mempersoalkan
jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen.
Perlindungan
konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan
terhadap
konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan
untuk
mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari
pemakaian barang
dan jasa itu.
Cakupan perlindungan konsumen dalam dua aspeknya itu, dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen
barang
dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati
atau
melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk
persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses
produksi,
proses distribusi, desain produk, dan sebagainya, apakah telah
sesuai
dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen
atau
tidak. Juga, persoalan tentang bagaimana konsumen
mendapatkan
13 Adijaya Yusuf dan John W. Haed, Hukum Ekonomi, ELIPS,
Jakarta, 1998, hlm. 9.
-
19
penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau
mengonsumsi
produk yang tidak sesuai.
b. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen
syarat-syarat
yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan
promosi
dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purna jual,
dan
sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam
memproduksi dan mengedarkan produknya.14
Aspek yang pertama, mencakup persoalan barang atau jasa yang
dihasil-kan dan diperdagangkan, dimasukkan dalam cakupan
tanggung jawab
produk, yaitu tanggung jawab yang dibebankan kepada produsen
karena
barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat di
dalamnya,
sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen, misalnya karena
keracunan
makanan, barang tidak dapat dipakai untuk tujuan yang diinginkan
karena
kualitasnya rendah, barang tidak dapat bertahan lama karena
cepat rusak, dan
sebagainya. Dengan demikian, tanggung jawab produk erat
kaitannya dengan
persoalan ganti kerugian.
Sedangkan yang kedua, mencakup cara konsumen memperoleh
barang
dan atau jasa, yang dikelompokkan dalam cakupan standar kontrak
yang
mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang diberlakukan oleh
produsen
kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan barang
atau
jasa kebutuhannya.
14 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,
PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hal 10.
-
20
Umumnya produsen membuat atau menetapkan syarat-syarat
perjanjian secara sepihak .tanpa memperhatikan dengan
sungguh-sungguh
kepentingan konsumen, sehingga bagi konsumen tidak ada
kemungkinan
untuk mengubah syarat-syarat itu guna mempertahankan
kepentingannya.
Seluruh syarat yang terdapat pada perjanjian, sepenuhnya atas
kehendak pihak
produsen barang atau jasa. Bagi konsumen hanya ada pilihan: mau
atau tidak
mau sama sekali. Vera Bolger menamakannya sebagai take it or
leave it
contract. Artinya, kalau calon konsumen setuju, perjanjian boleh
dibuat; kalau
tidak setuju, silakan pergi.15
E. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data dan pengolahan yang diperlukan dalam
rangka penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian hukum
empiris sebagai berikut:
1. Objek Penelitian
Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Internet
Telkom Speedy.
2. Subjek Penelitian
a. Direksi PT. Telkom Wilayah Yogyakarta.
b. Pihak pengguna jasa Telkom Speedy.
3. Sumber Data
15 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen
Ditinjau Dari Segi Standart
Kontrak (Baku), makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum
Perlindungan Konsumen,
BPHN, Bina Cipta, Jakarta, 1980, hlm. 59-60.
-
21
a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dengan
subyek
penelitian.
b. Data sekunder adalah berupa data yang diperoleh dari
penelitian
kepuatakaan (library research) yang terdiri atas:
a. Bahan hukum primer, dalam hal meliputi: K.U.H.Perdata dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang digunakan sebagai
pelengkap bahan hukum primer, berupa buku-buku, literatur,
dokumen-dokumen, maupun makalah-makalah yang berkaitan
dengan obyek penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara secara
bebas
terpimpin berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah
disiapkan.
5. Metode Pendekatan
Metode yang dilakukan oleh penulis adalah yuridis normatif, yang
mana
dalam melakukan pada objek penelitian lebih menitikberatkan pada
aspek-
aspek yuridis, yang dimana dalam melakukan analisa data-data
yang
diperoleh dari objek penelitian dengan menggunakan asas-asas
hukum,
teori-teori hukum serta ketentuan perundang-undangan.
6. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif
kualitatif, yaitu
menganalisa hasil penelitian dengan menggambarkan hubungan yang
ada
-
22
antara hasil penelitian yang diperoleh tersebut untuk memaparkan
dan
menjelaskan suatu persoalan, sehingga sampai pada suatu
kesimpulan.
F. Kerangka Skripsi
Penulisan skripsi ini terbagi dalam empat bab, yaitu bab I
mengenai
pendahuluan, bab II mengenai hukum perlindungan konsumen, bab
III
mengenai hasil penelitian dan pembahasan, bab IV penutup.
Pada bab I terdiri dari 6 sub bab diantaranya adalah latar
belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
metode
penelitian dan kerangka skripsi.
Pada bab II terdiri dari 5 sub bab, yaitu: hukum
perlindungan
konsumen diuraikan menjadi pengertian hukum perlindungan
konsumen,
kepentingan dan masalah yang dihadapi konsumen, perilaku
konsumen, aspek
hukum perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa.
Pada bab III terdiri dari 5 sub bab, yaitu: hasil penelitian
dan
pembahasan dari perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna
jasa
internet telkom speedy yang meliputi gambaran umum telkom
speedy, syarat
berlangganan telkom speedy, bentuk dan isi perjanjian, hak dan
kewajiban
para pihak, perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna jasa
internet
telkom speedy.
Pada bab IV yaitu penutup, berisi mengenai kesimpulan dan
saran,
dimana kesimpulan dan saran ini diuraikan mengenai hasil akhir
penelitian
yang sudah dilakukan oleh penulis.