1 KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL WARGA NEGARA MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Chandra Darusman S, S.H *) A. LATAR BELAKANG MASALAH Pemerintah dalam hal ini presiden merupakan pelaksanaa kekuasaan eksekutif. Kewenangan dari pemerintah diatur dalam Pasal 4 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewenangan pemerintah maka Presiden melimpahkan sebagian kewenangan kepada pembantunya dalam hal ini yaitu Menteri Negara. Salah satu wujud dari penerapan equality before the law bahwa setiap kepentingan warga dilindungi dan diatur dalam peraturan perundang- undangan nasional. Kementerian Negara yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam melindungi hak warga salah satunya adalah Kementerian Negara Hukum dan HAM. Hak yang wajib dilindungi oleh pemerintah atas rakyatnya adalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI). HKI hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia. HKI memang menjadikan karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektual manusia yang harus dilindungi. Kemampuan intelektual manusia dihasilkan oleh manusia melalui daya, rasa, dan karsanya yang diwujudkan dengan karya-karya intelektual. 1 *) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan Sekretaris Umum Lembaga Analisis Qanun, Hukum dan Perundang- undangan (La-QUHP) Aceh 1 Djumhana dan R. Djubaedilah IV, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan Prakteknya di Indonesia), Cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 2
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL WARGA NEGARA MENURUT
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Chandra Darusman S, S.H*)
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pemerintah dalam hal ini presiden merupakan pelaksanaa kekuasaan
eksekutif. Kewenangan dari pemerintah diatur dalam Pasal 4 UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara.
Dalam menjalankan kewenangan pemerintah maka Presiden melimpahkan
sebagian kewenangan kepada pembantunya dalam hal ini yaitu Menteri
Negara.
Salah satu wujud dari penerapan equality before the law bahwa setiap
kepentingan warga dilindungi dan diatur dalam peraturan perundang-
undangan nasional. Kementerian Negara yang menjadi perpanjangan tangan
pemerintah dalam melindungi hak warga salah satunya adalah Kementerian
Negara Hukum dan HAM.
Hak yang wajib dilindungi oleh pemerintah atas rakyatnya adalah Hak
Kekayaan Intelektual (HKI). HKI hak atas kekayaan yang timbul atau lahir
dari kemampuan intelektual manusia. HKI memang menjadikan karya-karya
yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektual manusia yang
harus dilindungi. Kemampuan intelektual manusia dihasilkan oleh manusia
melalui daya, rasa, dan karsanya yang diwujudkan dengan karya-karya
intelektual.1
*) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh dan Sekretaris Umum Lembaga Analisis Qanun, Hukum dan Perundang-
undangan (La-QUHP) Aceh
1Djumhana dan R. Djubaedilah IV, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan Prakteknya di
Indonesia), Cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 2
2
Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar
manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.
HKI juga merupakan sesuatu yang given dan inheren dalam sebuah
masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana. Keberadaannya
senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu
pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau tidak mau
bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI.2
Kekayaan atau aset berupa karya-karya yang dihasilkan dari
pemikiran atau kecerdasan manusia mempunyai nilai atau manfaat ekonomi
bagi kehidupan manusia sehingga dapat dianggap juga sebagai aset
komersial. Karya-karya yang dilahirkan atau dihasilkan atas kemampuan
intelektual manusia baik melalui curahan tenaga, pikiran dan daya cipta, rasa
serta karsanya sudah sewajarnya diamankan dengan menumbuhkembangkan
sistem perlindungan hukum atas kekayaan tersebut yang dikenal sebagai
sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
HKI merupakan cara melindungi kekayaan intelektual dengan
menggunakan instrumen-instrumen hukum yang ada, yakni Hak Cipta, Paten,
Merek dan Indikasi Geografis, Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu dan Perlindungan Varietas Tanaman.
Guna menghindari berbagai macam pelanggaran atas hak cipta,
khususnya dalam hal hak cipta film maka berdasarkan ketentuan yang berlaku
setidaknya didaftarkan kepada lembaga yang berwenang, sehingga
memperoleh status hukum yang jelas. Lembaga yang berwenang dan ditunjuk
oleh pemerintah sebagai tempat pendaftaran hak cipta adalah Kementrian
Hukum dan HAM.
2 Ibid.
3
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas maka
permasalahan yang akan dibahas yaitu:
1. Apakah perlindungan oleh pemerintah terkait perlindungan HKI?
2. Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa HKI di luar
pengadilan?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan dari pembahasan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan perlindungan oleh pemerintah
terkait perlindungan HKI.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan proses penyelesaian sengketa
HKI di luar pengadilan
D. METODE PEMBAHASAN
Metode pembahasan yang digunakan dalam pembahasan ini yaitu
metode penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan menggunakan data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan
hukum tersier.
E. KAJIAN YURIDIS KEBERADAAN HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA
1) PERSPEKTIF TEORITIS
a. Teori Kewenangan
Kewenangan merupakan salah satu aspek penting dalam ilmu
hukum tata pemeritahan (bestuursrecht). Secara sederhana, keweangan
4
dapat kita artikan sebagai “hak yang bersifat khusus yang diberikan
kepada apartur Negara untuk memaksakan kehendaknya”. Pemaksaan
disini merupakan hak yang melekat secara otomatis (ex-officio) bagi
aparatur pemerintahan dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya.3
Terdapat 2 jenis kategori kewenangan dalam ilmu tata
pemerintahan, antara lain ; Pertama, Kewenangan yang bersifat atributif
(original), yaitu kewenangan aparatur pemerintahan yang bersifat
permanen yang langsung diberikan atau diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan; dan Kedua, Kewenangan non atributif (non
original), yaitu kewenangan aparatur pemerintahan yang diperoleh dari
pelimpahan wewenang, yang terdiri dari 2 bentuk, yakni baik pelimpahan
wewenang dalam bentuk mandat, maupun pelimpahan wewenang dalam
bentuk delegasi. Mandat dan delegasi merupakan dua kategori
pelimpahan wewenang yang berbeda. Jika mandat hanya merupakan
pelimpahan dari sebahagian dari wewenang, maka delegasi merupakan
pelimpahan wewenang secara keseluruhan. Mandat dalam ilmu tata
pemerintahan biasanya disimbolkan dengan kode untuk beliau (u.b.),
sedangkan delegasi biasanya disimbolkan dengan kode atas nama (a.n.).
Akan tetapi, dalam menjalankan kewenangan dari aparatur
pemerintah, terdapat pembatasan-pembatasan yang diperlukan agar di
dalam menjalankan kewenangannya tersebut, aparatur pemerintah tidak
menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya (abuse
of power). Untuk itu, diperlukan suatu kategori atau bentuk pengetahuan
terhadap kategori, kapan sebuah kewenangan dianggap tidak sah atau
tidak berjalan sebagaimana ketentuan yang ada.4
Secara umum, kewenangan aparatur pemerintahan dianggap tidak
sah ketika :
1. Ratione Material, yakni kewenangan aparatur pemerintahan yang
tidak sah dikarenakan substansi kewenangannya;
2. Ratione Loccus, yakni ketidakwenangan seorang aparatur
pemerintahan dikarenakan wilayah hukumnya;
3 Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busro, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1989, hal. 22 4 Ibid
5
3. Ratione Temporis, ketidakwenangan seorang aparatur
pemerintahan dikarenakan lewat waktu, atau yang pada umumnya
sering kita istilahkan daluarsa.
Dalam ranah Hukum Tata Pemerintahan (bestuursrecht), terdapat
tiga teori kebatalan (nietig theory), yakni batal mutlak, batal demi hukum
dan dapat dibatalkan. Ketiga teori ini memiliki perbedaan berdasarkan 2
(dua) aspek, yaitu ; Pertama, berdasarkan akibat hukum yang muncul,
yaitu akibat-akibat hukum yang mengikuti jika terjadi pembatalan. Hal
tersebut merupakan konsekuensi logis yang muncul dan tidak dapat
dihindari akibat pembatalan tersebut. Kedua, Pejabat yang berhak
membatalkan, yaitu mengenai kewenangan pembatalan, dalam arti siapa
pejabat yang berhak untuk melakukan proses pembatalan tersebut.5
Untuk lebih memudahkan kita dalam mengidentifikasi pejabat
siapa saja yang memiliki hak untuk membatalkan, maka kita membagi
pejabat dalam bentuk yang sangat sederhana, yakni pejabat yudikatif,
eksekutif dan legislatif.
Untuk lebih jelasnya, berikut perbandingan dari ketiga teori
kebatalan tersebut ;
1. Batal Mutlak (absolute nietig). Secara prinsip, batal mutlak
berakibat semua perbuatan yang pernah dilakukan, dianggap tidak
pernah ada. Dalam konteks ini, perbuatan yang dinyatakan tidak
pernah ada tersebut, berlaku prinsip fiction theory atau semua
orang atau subjek hukum dianggap tahu hukum. Dalam hal batal
mutlak ini, yang berhak menyatakan batal atau tidak murni
merupakan monopoli kewenangan yudikatif.
2. Batal Demi Hukum (nietig van recht wege). Konsekuensi dari
terjadinya proses batal demi hukum berakibat terhadap dua hal
utama, yaitu ; pertama, perbuatan yang sudah dilakukan, dianggap
tidak ada atau tidak sah secara hukum, dan kedua, perbuatan yang
telah dilakukan, sebahagian dianggap sah, dan sebahagian lagi
dianggap tidak sah. Dalam hal batal demi hukum ini, pejabat yang
5 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 32
6
berhak menyatakan batal atau tidak adalah pihak yudikatif dan
eksekutif.
3. Dapat Dibatalkan (vernietig baar). Dalam hal ini, dapat
dibatalkan memiliki konsekuensi hukum dimana keseluruhan dari
perbuatan hukum yang pernah dilakukan sebelumnya, tetap
dianggap sah. Artinya, keseluruhan perbuatan di masa lampau
tetap menjadi suatu tindakan hukum yang tidak dapat dibatalkan
atau tetap berlaku pada masa itu. Adapun pejabat yang berhak
membatalakan adalah pihak yudikatif, eksekutif dan legislatif.
Untuk lebih melihat secara jelas mengenai keabsahan perbuatan
hukum, maka terdapat 2 (dua) kategori syarat penting yang perlu kita
ketahui, yaitu ; Pertama, Syarat Mutlak, yaitu syarat yang harus ada
dalam suatu perbuatan hukum. Tanpa keberadaan syarat ini, maka
perbuatan hukum tidak akan mungkin lahir atau eksis; dan Kedua, Syarat
Relatif, yaitu syarat yang menjadi penunjang atau pelengkap dalam suatu
perbuatan hukum. Syarat relatif ini tidak harus ada pada saat perbuatan
hukm lahir, akan tetapi dapat disusulkan dikemudian hari.
Dalam hal syarat mutlak tidak terpenuhi, maka konsekuensi
hukum yang dapat diambil adalah batal mutlak (absolute nietig) dan atau
batal demi hukum (nietig van recht wege). Sedangkan jika syarat relatif
yang tidak terpenuhi, maka konsekuensi hukum yang mengikutinya
adalah pembatalan dalam kategori bisa dibatalkan (vernietig baar).
Demikianlah akibat-akibat hukum atau konsekuensi yuridis
terhadap perbuatan aparatur pemerinahan yang tidak absah secara
hukum. Satu hal yang perlu kita pahami bersama, bahwa setiap perbuatan
aparatur pemerintahan, baik dalam menjalankan tanggung jawab untuk
menjalankan roda pemerintahan maupun dalam melayani masrakatnya,
harus mengutamakan asas keadilan dan kemanfaatan daripada kepastian
hukum. Sebagaimana apa yang diutarakan oleh Imanuel Kant, bahwa,
“filosofi hukum itu dapat diibaratkan dua sisi mata uang. Sisi kanan
adalah sisi kebenaran (rechtmatig) dan sisi kiri merupakan sisi keadilan
7
dan kemanfaatan (doelmatig). Namun ketika kedua sisi ini pecah dan
berbeda jalan, maka kita harus mendahulukan sisi keadilan dan
kemanfatannya".
b. Teori Delegasi dan Mandat
Kewenangan pemerintah secara umum dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis seperti kewenangan konstitusi atau kewenangan
asli dan pokok, kewenangan atribusi yang diperoleh dari delegasi
kekuasaan lain khususnya legislatif, serta kewenangan delegasi dan
mandat. Diantara ketiga jenis kewenangan tadi, kewenangan
pemerintahan yang tertuang dalam konstitusi serta kewenangan atribusi
paling banyak mendapat sorotan sebagai kewenangan yang selama ini
(era Orde Baru) banyak terjadi penyimpangan. Penjelasan yang lebih
terinci dari masing-masing jenis kewenangan diatas dapat diuraikan
sebagai berikut.
1. Kewenangan Konstitusi (wewenang asli atau pokok)
Dilihat dari sejarah ketatanegaraan, kewenangan pemerintah
(baca: presiden) telah ditetapkan sebelum lahirnya lembaga
pemerintah itu sendiri. Oleh karena itu, pada saat pembentukannya,
pemerintah langsung memiliki kewenangan yang secara organik
telah melekat pada dirinya, yakni kewenangan yang diberikan oleh
konstitusi. Itulah sebabnya, kewenangan ini dapat dinamakan
sebagai kewenangan konstitusi.
Dalam hukum dasar negara Indonesia yakni UUD 1945,
kekuasaan presiden dibagi menjadi 2 (dua) yakni sebagai kepala
negara dan sebagai kepala pemerintahan. Dalam hubungan ini, MTI
berpandangan bahwa kekuasaan presiden sebagai kepala negara
hanya kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas, yang
merupakan suatu kekuasaan di samping kekuasaan utamanya sebagai
kepala pemerintahan. Dengan kata lain, meskipun secara umum hak
8
sebagai kepala negara bersifat istimewa dan mutlak (prerogatif),
namun dalam konteks negara demokrasi dan negara hukum modern
hal ini tidak dibenarkan lagi, dan harus ditempatkan dalam kerangka
kontrol lembaga negara lain. Atas dasar pandangan seperti ini, maka
kewenangan kepala negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 10 –
15 UUD 1945 tetap harus melewati mekanisme tertentu, baik yang
bersifat pemberitahuan, pertimbangan maupun persetujuan lembaga
tertentu (terutama DPR dan MA).
Sementara mengenai kewenangan sebagai kepala
pemerintahan, MTI berpendapat bahwa kekuasaan pemerintahan
sama artinya dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan
kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit
pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga
legislatif. alasan bahwa perkembangan kehidupan kenegaraan di
masa mendatang membutuhkan rasionalisasi kekuasaan yang
didasarkan pada kebutuhan pertanggungjawaban (accountability)
yang kongkret dan jelas. Itulah sebabnya, kekuasaan pemerintahan
tidak lagi didefinisikan sebagai kekuasaan yang abstrak dan
menyerahkan penentuan definisi abstrak tersebut pada satu lembaga
saja yakni presiden.
Pola pikir seperti ini mengandung makna bahwa meskipun
pemerintah berhak membuat dan menjalankan peraturan perundang-
undangan sebagaimana ditetapkan dalam konstitusi, namun harus
memperhatikan batas-batas tertentu sehingga tidak mengarah pada
terjadinya penggunaan kewenangan yang berlebihan. Secara lebih
spesifik, MTI berpendapat bahwa kekuasaan pemerintahan ini
terbatas hanya pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan
politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi-fungsi bestuur
(administrasi), politie (keamanan) dan regeling (pengaturan) yang
tidak bertentangan dengan konstitusi.
9
Diantara kewenangan kenegaraan (prerogatif) dan
kewenangan pemerintahan diatas, kewenangan jenis kedua
nampaknya lebih membuka peluang terjadinya penyimpangan.
Beberapa hal yang menyebabkan hal ini adalah: pertama, rumusan
wewenang pemerintahan tidak bersifat limitatif sehingga dapat
mengundang penafsiran yang berbeda dan beragam (multi
interpretation). Kedua, konstitusi tidak menentukan batas-batas
kewenangan dan rambu-rambu yang harus diperhatikan pemerintah
dalam penyusunan sebuah produk hukum eksekutif.Ketiga,
kewenangan pemerintahan lebih banyak yang bersifat pengaturan
(regeling), sedangkan kewenangan kenegaraan relatif bersifat
penetapan (beschikking) seperti pengangkatan duta dan
konsul. Keempat, mekanisme kontrol dari unsur kekuasaan negara
yang lain (trias politika) kurang berjalan optimal.
Untungnya, kewenangan konstitusi seperti yang dimiliki
presiden, tidak dimiliki oleh para kepala daerah. Dengan demikian,
tidak terbuka peluang untuk terjadinya abuse of power terhadap jenis
kewenangan ini pada level daerah. Hal yang harus dicermati
hanyalah kedudukan Kepala Daerah (Gubernur) yang pada satu sisi
merupakan pejabat daerah tertinggi yang dipilih oleh rakyat daerah,
namun disisi lain juga sebagai wakil pemerintah (pusat) yang
mewakili kepentingan strategis nasional.
2. Kewenangan Atribusi (delegasi legislatif)
Kewenangan atribusi adalah kewenangan (baru) eksekutif
yang diperoleh dari atau diberikan oleh lembaga legislatif. Dengan
demikian, wewenang tadi sesungguhnya adalah wewenang yang
melekat pada lembaga legislatif namun untuk implementasinya
kemudian diserahkan kepada eksekutif. Contohnya adalah
kewenangan untuk memungut iuran / pungutan kepada masyarakat.
Pada masa silam ada pembebanan kepada masyarakat yang disebut
10
IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah)] dan Pajak / Iuran TV. Kedua
pungutan ini dikeluarkan oleh eksekutif (Presiden dan Menteri).
Tanpa adanya pernyataan dari peraturan perundang-undangan
bahwa Presiden diberi kewenangan untuk melakukan pemungutan
tadi, maka dapat dikatakan bahwa Presiden telah melakukan
penyalahgunaan wewenang.[
Keputusan Presiden dan Keputusan/Peraturan Menteri
sendiri tidak dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-
undangan, melainkan hanya peraturan kebijaksanaan. Keppres dan
Kepmen/Permen tadi baru menjadi peraturan perundang-
undangan jika sudah ada atribusi dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, yakni UU. Dalam kasus pungutan
iuran TV, misalnya, produk hukum eksekutif (PP, Kepres,
Kepmen) baru menjadi peraturan perundang-undangan apabila
telah ada suatu UU (katakanlah UU No. 32 tahun 2002 tentang
Penyiaran) yang mengatur bahwa “iuran TV (atau iuran lainnya)
diatur lebih lanjut oleh pemerintah”.[5]
Klausul seperti inilah yang
menjadi dasar hukum timbulnya kewenangan atribusi.
Dalam praktek administrasi negara selama ini terdapat
kecenderungan bahwa produk hukum eksekutif tidak memiliki
payung hukum yang kuat. Dengan kata lain, Presiden cenderung
tidak memperhatikan ketentuan peraturan UU, dan menjadi
sewenang-wenang. Prof. Hamid Attamimi (1991) dalam
disertasinya menyebut Keputusan Presiden yang tidak memiliki
payung hukum (atribusi dari UU) tadi sebagai Keppres Mandiri
Non-atribusian. Hal ini masih dapat ditolerir jika Keppres tadi
berisi suatu persoalan yang sangat penting dan mendesak (darurat),
serta dikeluarkan sebagai wujud tanggungjawab Presiden yang
sangat besar. Namun jika jenis Keppres ini terlalu banyak dan
terlalu mudah disusun, maka dapat mengurangi kadar demokrasi di