Tugas Wawasan Kemaritiman
OLEH :KELOMPOK 31. SRI AMALIYA (F1A1 14 042)2. SITI ROMLAH(F1A1
14 040)3. SITI SARMINA(F1A1 14 041)4. SRI MULIANI INDRAWATI(F1A1 14
043)5. SULASTRI JAMALUDIN(F1A1 14 044)
JURUSAN MATEMATIKAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAMUNIVERSITAS HALU OLEOKENDARI 2015A. Potensi Kelautan
IndonesiaPosisi Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan
Australia serta diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia
menjadikan wilayah perairan laut Indonesia sebagai perairan
berproduktivitas tinggi dengan daya dukung alam (natural carrying
capacity) yang kuat. Selain itu, letak Indonesia di wilayah tropis
dengan tingkat perubahan suhu lingkungan yang relatif rendah
memungkinkan perkembangan berbagai hayati laut sehingga Indonesia
dipandang dunia sebagai daerah megabiodiversity. Posisi geografis
yang strategis ini menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang
berpotensi besar baik dalam hal ekonomi maupun geo-politik. Sekitar
40% lalu lintas perdagangan barang dan jasa yang diangkut kapal
melintasi perairan Indonesia. Dengan 75% wilayah Indonesia berupa
laut dan wilayah pesisir (coastal zone) dengan kandungan sumberdaya
alam yang kaya dan beragam, maka sektor kelautan merupakan sektor
strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Sekitar 70%
produksi minyak dan gas nasional berasal dari wilayah pesisir dan
lautan (offshore). Sumberdaya hidrokarbon, khususnya minyak dan gas
yang tersedia di 60 titik cekungan masih sangat besar sedangkan
yang sudah dieksploitasi relatif masih sedikit. Minyak, tersedia
86,9 miliar barel, dan baru dicadangkan untuk dieksploitasi 9,1
miliar barel, sedangkan yang sudah diproduksi baru mencapai 0,387
miliar barel. Gas, tersedia 384,7 Trillion Standard Cubic Feet
(TSCF), dan dicadangkan 185,8 TSCF, sedangkan yang sudah diproduksi
hanya 2,95 TSCF (Firmanzah, 2012).Posisi geografis Indonesia yang
memungkinkan Indonesia untuk mendapatkan manfaat ekonomi politik
yang lebih besar tersebut hanya dapat diraih bila Indonesia
memiliki geo-politik, geo-ekonomi dan geo-strategis yang jelas dan
terarah. Agar peran ekonomi kelautan dapat terus dikembangkan untuk
meningkatkan kemakmuran bangsa dan selanjutnya memanfaatkan posisi
geografis yang strategis maka diperlukan sebuah pergeseran
paradigma pembangunan yang lebih memahami jati diri bangsa
Indonesia sebagai bangsa bahari dan negara kepulauan terbesar di
dunia serta memadukan kekuatan ekonomi berbasis darat dan laut
sebagai sinergi kekuatan ekonomi nasional. Perubahan pemikiran
tersebut harus segera dilakukan mengingat perubahan lingkungan
strategis antar bangsa yang sangat cepat sehingga posisi bangsa
Indonesia di percaturan regional maupun global harus didasarkan
kepada endowment yang memiliki daya saing dinamik di masa sekarang
dan mendatang.Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki 18.110 pulau
dengan garis pantai sepanjang 108.000 km. Berdasarkan Konvensi
Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas
wilayah perairan seluas 3,2 juta km2yang terdiri dari perairan
kepulauan seluas 2,9 juta km dan laut teritorial seluas 0,3 juta
km. Selain itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk
memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait
seluas 2,7 juta km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari
garis pangkal). Sebagai negara kepulauan, wilayah maritim merupakan
kawasan strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan
kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover
pengembangan wilayah nasional.Bahkan secara historis menunjukan
bahwa wilayah maritime ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan
masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang
dimilikinya. Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya
kemaritiman bagi pengembangan wilayah secara berkelanjutan dan
menjamin kepentingan umum secara luas (public interest), diperlukan
intervensi kebijakan dan penanganan khusus oleh Pemerintah untuk
pengelolaan wilayah maritim. Hal ini seiring dengan agenda Kabinet
Gotong Royong untuk menormalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat
dasar bagi kehidupan perekonomian rakyat melalui upaya pembangunan
yang didasarkan atas sumber daya setempat (resource-based
development), dimana sumberdaya maritim saat ini didorong
pemanfaatannya sebagai salah satu andalan bagi pemulihan
perekonomian nasional, disamping sumberdaya alam darat. B. Potensi
Indonesia sebagai Negara MaritimIndonesia merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia, dengan wilayah sepanjang 3.000 mil
laut. Batas paling timur di Merauke, di barat Sabang, di utara kep.
Satal, di selatan pulau Rote, yang pada peta di belahan bumi lain
akan setara dengan di timur Baghdad, di barat London, di utara
Jerman, dan di selatan Aljazair. Memiliki panjang garis pantai
95.181 km, kedua terpanjang di dunia. 2/3 dari wilayah Indonesia
adalah laut, seluas 5,8 juta km2 dengan jumlah pulau sebanyak
17.500. Letaknya yang sangat seksi dan strategis, diantara dua
benua, Asia dan Australia, dan dua samudera, Hindia dan Pasifik.
Indonesia adalah negara mega biodiversity. Potensi sumber daya
perikanan tangkap 6,4 juta ton per tahun. Posisi di coral triangle,
dan kaya beragam jenis alga yang dapat tumbuh di surga tropis ini.
Dan masih banyak lagi potensi dari kekayaan mineral di dasar laut,
pengembangan ocean energy dari gelombang laut, pasang surut, panas
laut, dan lain-lain.Dalam data historis Indonesia juga memiliki
sejarah panjang sebagai bangsa bahari yang sangat besar.
Ketangguhan suku Bugis, Bajau, Makassar dan Mandar yang sangat
terkenal. Kehebatan kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan lainnya yang
meluaskan invasi pemerintahannya melalui angkatan laut, dan
memainkan peran yang sangat penting sebagai urat nadi perdagangan
dunia. Kecerdasan luar biasa yang dimiliki para pelaut dalam
membangun kapal kokoh yang dapat mengarungi samudera. Lebih lanjut,
baca buku Penjelajah Bahari, Robert Dick-Read yang sudah
diterjemah, terbitan Mizan. Yang akan membuat mata makin
terbelalak, dan semakin yakin dengan penetrasi kebudayaan tingkat
tinggi yang telah dibawa oleh pelaut ulung kita hingga ke
Madagaskar dan sangat jauh kedalam benua hitam. Sungguh kondisi
geografis historis itu semua merupakan anugerah kekayaan yang tidak
dapat disaingi oleh negara lain! Tetapi rangkaian data yang
menakjubkan itu bagaikan kehilangan ruhnya. Data tersebut
terus-menerus dipakai oleh mahasiswa dalam bab pendahuluan skripsi
dan karya tulisnya, begitu juga dengan para peneliti dan pejabat
dalam pembukaan tiap proposal dan rencana kerjanya. Yang perlu
diingat bahwa fakta tersebut bukanlah data yang tetap dan harus
dilindungi. Dan bukankah beberapa hal memang sudah terdegradasi,
berkurang, bahkan hilang ditelan ingatan.Pembangunan negara meritim
perlu memerhatikan empat fungsi vital laut bagi NKRI. Pertama, laut
sebagai faktor integrasi wilayah nasional. Kedua, sarana
transportasi laut. Ketiga, deposit sumber daya alam. Keempat,
fungsi vital laut bagi pertahanan dan keamanan negara. Keempat
fungsi itu jika diabaikan atau tidak dilaksanakan, akan berpengaruh
terhadap eksistensi NKRI.Maka berdasarkan hal tersebut, konsep
negara maritim secara politik adalah laut sebagai alat pemersatu
bangsa, dan bukan sebaliknya. Negara maritim memiliki kewajiban,
salah satunya dalam hal menyediakan sarana transportasi untuk
masyarakat dan konsep pemerataan dan penguatan ekonomi. Kewajiban
lainnya, memanfaatkan sumber daya alam baik hayati dan non hayati,
secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat secara sustainable
dan berwawasan lingkungan. Dalam wilayah hankam, negara maritim
harus memiliki hukum laut yang tegas mengatur batas-batas wilayah
dan segala hal yang menyangkut penyelenggaraan negara dan
kepentingan nasional. Serta memperkuat armada angkatan laut dan
angkatan udara karena kita berbatasan dengan sembilan negara
tetangga.C. Pembangunan Ekonomi Maritim IndonesiaKawasan Selatan
beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi
pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai
salah satu pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang
telah dikemukakan beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga
mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut antara lain
adalah: Secara sosial, kawasan Selatan dihuni tidak kurang dari 56
juta jiwa atau 27,54% dari total penduduk Indonesia yang bertempat
tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa
wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia
pada masa yang akan datang. Secara ekonomi, kawasan selatan
Indonesia telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDB
nasional sebesar 21 % pada tahun 1998. Selain itu, pada wilayah ini
juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources )
dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum
dikembangkan secara optimal, yakni (i) potensi perikanan yang saat
ini baru sekitar 31- 53,4% dari potensi lestarinya yang
termanfaatkan (ii) Besaran nilai investasi baik PMA dan PMDN yang
masuk, pada bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak
lebih dari 2% dari total investasi di Indonesia. Selanjutnya,
wilayah selatan Indonesia juga kaya akan beberapa sumber daya
pesisir dan lautan yang potensial dikembangkan lebih lanjut
meliputi (a) pertambangan dengan diketahuinya 14 cekungan dari
total 60 cekungan minyak di Indonesia, (b) perikanan dengan potensi
2,1 juta ton/tahun yang tersebar pada 3 wilayah laut dari 9 wilayah
laut nasional; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan
keberadaan Pulau Bali, Pulau Nias, Sukabumi/Pelabuhan Ratu,
Pangandaran, Jogjakarta, Malang, Pulau Komodo, Wetar dan lainnya,
(d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity)
sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan ecotourism. Secara
geofisik, kawasan ini memiliki kerawanan yang tinggi terutama
merupakan daerah aktifitas gunung berapi mulai dari Aceh-Lampung,
Jawa, hingga Laut Banda. Jalur Patahan yang tergores sepanjang
wilayah pulau Sumatera, serta potensi longsor tersebar yang
diakibatkan kemiringan lahan yang cukup tinggi pada kawasan Selatan
Indonesia. (Lihat Peta 2. Rawan Bencana) Secara biofisik, kawasan
selatan termasuk bagian wilayah pesisir yang merupakan pusat
biodiversity laut tropis dunia karena hampir 30 % hutan bakau dan
terumbu karang dunia terdapat di Indonesia. Secara politik dan
hankam, wilayah Selatan merupakan kawasan perbatasan antar-negara
(dengan negara Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini) yang
sensitive dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu kunci dalam
memanfaatkan sumberdaya kelautan yang demikian besar dan memiliki
kharakteristik yang khas tersebut adalah dengan menempatkan
kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan
lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. D. IUU
Fishing IUU Fishing (Illegal, Unreported, Unregulated) secara
harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah,
tidak dilaporkan pada institusi pengelola perikanan yang berwenang,
dan kegiatan perikanan yang belum diatur dalam peraturan yang
ada.1) Illegal FishingYang termasuk sebagai praktek Illegal Fishing
adalah kegiatan penangkapan ikan yang: Dilakukan oleh orang atau
kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu
negara tanpa izin dari negara tersebut, atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat
berlangsungnya kegiatan penangkapan; Bertentangan dengan peraturan
nasional yang berlaku dan/atau peraturan internasional; Dilakukan
oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi
anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi
tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang
diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum
internasional yang berlaku.Kegiatan Illegal Fishing yang umum
terjadi di perairan Indonesia diantaranya; penangkapan ikan tanpa
izin, mengunakan izin palsu, menggunakan alat tangkap yang dilarang
dan penangkapan jenis ikan (spesies) yang tidak sesuai dengan ijin
yang diberikan.Penyebab Illegal Fishing Meningkat dan tingginya
permintaan ikan (DN/LN) Berkurang/Habisnya SDI di negara lain
Lemahnya armada perikanan nasional Izin/dokumen pendukung
dikeluarkan lebih dari satu instansi Lemahnya pengawasan dan
penegakan hukum di laut Lemahnya delik tuntutan dan putusan
pengadilan Belum ada visi yang sama aparat penegak hukum Lemahnya
peraturan perundangan dan ketentuan pidana2) Unreported
FishingUnreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang
dlakukan di area yang menjadi kompetensi institusi pengelolaan
perikanan regional, namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan
secara tidak benar, atau tidak sesuai dengan ketentuan pelaporan
yang telah ditetapkan oleh institusi tersebut.Kegiatan Unreported
Fishing yang umum terjadi di Indonesia diantaranya; penangkapan
ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya atau
pemalsuan data hasil tangkapan, hasil tangkapan ikan yang langsung
dibawa ke negara lain (transhipment di tengah laut)Penyebab
Unreported Fishing Lemahnya peraturan perundangan Belum sempurnanya
sistem pengumpulan data hasil tangkapan/ angkutan ikan Belum ada
kesadaran pengusaha terhadap pentingnya menyampaikan data hasil
tangkapan/angkutan ikan Hasil Tangkapan dan Fishing Ground dianggap
rahasia dan tidak untuk diketahui pihak lain (saingan) Lemahnya
Ketentuan Sanksi dan Pidana Wilayah kepulauan menyebabkan banyak
tempat pendaratan ikan yang sebagian besar tidak termonitor dan
terkontrol Sebagian besar perusahaan yang memiliki armada
penangkapan memiliki pelabuhan / tangkahan tersendiri. Laporan
produksi yang diberikan oleh pengurus perusahaan kepada dinas
terkait cenderung lebih rendah dari sebenarnya. Menurut petugas
retribusi laporan produksi umumnya tidak pernah mencapai 20% dari
produksi yang sebenarnya.3) Unregulated FishingKegiatan penangkapan
ikan disebut sebagai Unregulated Fishing yaitu kegiatan penangkapan
ikan : Pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan
ketentuan pelestarian dan pengelolaannya, atau kegiatan penangkapan
yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggung-jawab
negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumberdaya ikan sesuai
aturan internasional; Pada area yang menjadi kewenangan
institusi/organisasi pengelolaan perikanan regional, yang dilakukan
oleh kapal tanpa kewarganegaraan, atau yang mengibarkan bendera
suatu negara yang bukan anggota organisasi tersebut, dengan cara
yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pelestarian
dan pengelolaan dari organisasi tersebut.Kegiatan Unregulated
Fishing di perairan Indonesia, antara lain disebabkan masih belum
diaturnya mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari seluruh
kegiatan penangkapan ikan yang ada, belum diatur wilayah
perairan-perairan yang diperbolehkan dan dilarang, belum diatur
aktifitas sport fishing; kegiatan-kegiatan penangkapan ikan
menggunakan modifikasi dari alat tangkap ikan yang dilarang.
Penyebab Unregulated Fishing Potensi SDI di perairan Indonesia
masih dianggap memadai dan belum membahayakan Sibuk mengatur yang
ada karena banyak masalah Orientasi jangka pendek Beragamnya
kondisi daerah perairan dan SDI Belum masuknya Indonesia menjadi
anggota organisasi perikanan internasionalIUU Fishing sangat
merugikan negara khususnya pada bagian ekonomi negara. Maka
beberapa negara telah membuat UU untuk mengatasi IUU Fishing ini
termasuk Indonesia yaitu UU No. 31 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 85
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dinyatakan
secara tegas bahwa Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai,
membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat
bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang
tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan
yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan
untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Tetapi terdapat kelemahan
dari UU Perikanan tersebut, yaitu kurang memperhatikan nasib
nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya
laut. Sebab, pada Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004
terdapat celah yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan
luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia.
Khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Maka dari itu
uu no. 31 tahun 2004 Pasal 85 di ubah pada UU No. 45 Tahun 2009
bahwa Setiap orang yang dengan sengaja memiliki,menguasai, membawa,
dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber
daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pada Pasal 29
ayat (1), dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan, hanya boleh dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau
Badan Hukum Indonesia. Selanjutnya pada ayat (2), kecuali terdapat
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang
atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE,
sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia
berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum
intenasional.Selain itu, pemerintah juga harus mempercepat
terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan,
menyelidiki, dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal
fishing dengan tidak melakukan tebang pilih. Bahkan, jika perlu
pemerintah harus berani menghentikan penjarahan kekayaan laut
Indonesia dengan bertindak tegas, seperti penenggelaman kapal
nelayan asing.Praktik IUU Fishing, tidak hanya merugikan secara
ekonomi, dengan nilai trilyunan rupiah yang hilang, tetapi juga
menghancurkan perekonomian nelayan. Selain itu juga menimbulkan
dampak politik terhadap hubungan antar negara yang berdampingan,
melanggar kedaulatan negara dan ancaman terhadap kelestarian sumber
daya hayati laut.
Dampak EkonomiBerdasarkan data dari Organisasi Pangan dan
Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) menyatakan
bahwa kerugian Indonesia akibat IUU Fishing diperkiraan mencapai
Rp. 30 triliun per tahun.[footnoteRef:2]FAO menyatakan bahwa saat
ini stok sumber daya ikan di dunia yang masih memungkinkan untuk
ditingkatkan penangkapanya hanya tinggal 20 persen, sedangkan 55
persen sudah dalam kondisi pemanfaatan penuh dan sisanya 25 persen
terancam kelestariannya. [2: ]
Hal ini diperjelas dengan pernyataan dari Kementerian Kelautan
Perikanan (KKP)[footnoteRef:3] bahwa tingkat kerugian tersebut
sekitar 25 persen dari total potensi perikanan yang dimiliki
Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun. Kondisi perikanan di
dunia ini tidak berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia. Pada
tahun 2003 - 2007, KKP telah melakukan pengawasan dan penangkapan
[3: ]
Dampak PolitikSalah satu pemicu konflik atau ketegangan hubungan
diplomatik diantara negara-negara adalah permasalahan IUU Fishing.
Terutama mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), menimbulkan citra negatif, karena beberapa negara
menganggap kita tidak mampu mengelola sumber daya kelautan dengan
baik. Apalagi menyangkut hubungan bilateral antar negara yang
berdekatan/ bertetangga, yang dilakukan oleh kapal nelayan
tradisional (traditional fishing right), atau kapal-kapal pukat (
trawlers) yang dimiliki oleh setiap negara. Pada beberapa kasus
traditional fishing right, yang sering terjadi adalah di perbatasan
Indonesia Malaysia dan Indonesia Australia. Sebagai upaya untuk
memperkecil ketegangan diantara kedua negara, diperlukan telaah
ulang terhadap perjanjian bilateral terkait dengan hal tersebut.
Selain itu juga melakukan penyuluhan/sosialisasi kepada nelayan
tradisional terkait penangkapan ikan secara legal di wilayah yang
telah diperjanjian (fishing ground). Kegiatan IUU Fishing yang
dilakukan oleh kapal asing banyak menggunakan kapal trawl, terutama
kapal Thailand, Myanmar, Philipina dan Taiwan. Keberadaan kapal
tersebut dapat memicu dan menjadi konflik diantara kedua negara.
Sementara bagi beberapa negara tersebut, sangat rendah keinginan
untuk membuat kerjasama sub regional atau regional untuk
memberantas IUU Fishing. Hal ini didukung dengan kondisi industri
perikanan di negara tetangga yang sangat membutuhkan pasokan ikan,
tanpa memperhatikan dari mana pasokan ikan berasal. Sebagai upaya
untuk memperkecil konflik diantara kedua negara maka dibutuhkan
koordinasi dan saling menghargai kedaulatan negara, terutama
tentang eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan.
Dampak SosialKegiatan IUU Fishing di Perairan Indonesia, menjadi
perhatian dan komitmen Pemerintah untuk mengatasinya. Bagi
Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, sektor
perikanan dan kehutanan menjadi sumber utama bagi ketahanan pangan
di Kawasan tersebut. Eksploitasi secara besar-besaran dan drastis
sebagai upayautama perbaikan ekonomi negara dan kesejahteraan
penduduk menjadi alasan dan penyebab utama berkurangnya secara
drastis sumberdaya perikanan. Dampak sosial muncul dengan rawannya
terjadi konflik/sengketa diantara para nelayan tradisional antar
negara dan pemilik kapal pukat/trawl. Persoalan tersebut akan
menyebabkan timbulnya permasalahan dalam hubungan diantara kedua
negara. Terutama Indonesia Malaysia dan Indonesia Australia.Sebagai
negara dengan sumberdaya hayati perikanan yang melimpah, maka
pabrik pengolahan ikan menjadi sangat penting. Seiring dengan
berkurangnya hasil tangkapan dan kegiatan IUU Fishing, maka secara
tidak langsung akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
karyawan pengolahan pabrik ikan. Pasokan ikan yang berkurang,
menyebabkan beberapa perusahaan tidak beroperasi lagi dan banyak
terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena tidak ada lagi
pasokan bahan baku, seperti di Tual dan Bejina. Hasil penangkapan
ikan oleh kapal-kapal asing atau kapal nelayan Indonesia tersebut
biasanya langsung dibawa keluar Indonesia melalui trans-shipment,
yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 16 tahun 2006, yaitu mewajibkan hasil tangkapan ikan
diturunkan dan diolah di darat. Saat ini banyak kapal ikan
Indonesia yang lebih memilik menjual hasil tangkapannya di wilayah
perairan Indonesia ke pihak luar (misalnya Perusahaan Pengolahan
Ikan di Philipina dan Taiwan) dibanding menyuplai untuk kebutuhan
domestik.
Dampak LIngkungan/EkologiKebijakan Pemerintah terkait dengan
penangkapan ikan harus memenuhi aturan dan kriteria adanya Surat
Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), penetapan zona penangkapan (fishing
ground), jenis tangkapan ikan, jumlah tangkapan yang sesuai dengan
jenis kapal dan wilayah tangkap (total allowable catch), dan alat
tangkapnya. Aturan ini pada dasarnya mempunyai makna filosofis dan
yuridis, agar sumberdaya hayati perikanan dapat terjaga
kelestariannya dan berkelanjutan. Motif ekonomi selalu menjadi
alasan bagi kapal-kapal penangkap ikan untuk melakukan kegiatan
dalam kategori IUU Fishing. Dampak yang muncul adalah kejahatan
pencurian ikan yang berakibat pada rusaknya sumberdaya kelautan dan
perikanan. Alat tangkap yang digunakan dalam bentuk bahan beracun
yang akan merusak terumbu karang (alat tangkap ikan yang tidak
ramah lingkungan), sebagai tempat berpijahnya ikan, akan berakibat
makin sedikitnya populasi ikan dalam suatu perairan tertentu, atau
menangkap menggunakan alat tangkap ikan skala besar (seperti
trawldan Pukat harimau) yang tidak sesuai dengan ketentuan dan
keadaan laut Indonesia secara semena-mena dan eksploitatif,
sehingga menipisnya sumberdaya ikan , hal ini akan mengganggu
keberlanjutan perikanan. Upaya yang dilakukan oleh FAO dengan
adanya aturan tentang Code of Conduct for ResponsibleFisheries
(CCRF) sangat membantu negara-negara yang mengalami permasalahan
IUU Fishing. Implementasi terhadap CCRF dalam RPOA dan IPOA
diharapkan dapat mengurangi kegiatan IUU Fishing di Indonesia.E.
Analisis Ekonomi Kelautan dan Arah Kebijakan Pengembangan Jasa
Kelautan a) Analisis Keragaman Ekonomi Kelautan (Ocean
Economy)Beberapa kajian tentang keragaan ekonomi kelautan telah
dilakukan, dalam uraian berikut ini disajikan deskripsi dan
analisis ekonomi kelautan tersebut:1) Strategi Dasar Pembangunan
Kelautan dan Rencana Aksi Pembangunan Kelautan dilakukan oleh Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB, Bogorbekerjasama
dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Puslitbang
Oseanologi LIPI Tahun 1997/1998Hasil kajian tersebut menghasilkan
pembagian bidang kelautan yang meliputi : (1) sektor perikanan, (2)
sektor pariwisata bahari, (3) sektor pertambangan (4) sektor
industri maritim, (5) sektor angkutan laut, (6) sektor bangunan
kelautan, dan (7) sektor jasa kelautan. Pada kajian ini juga
dihasilkan rumusan tentang arah strategi dan rencana aksi
pembangunan kelautan di Indonesia.2) Kajian Kebutuhan Investasi
Pembangunan Perikanan Dalam Pembangunan Lima Tahun Mendatang
(1999-2003) dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (PKSPL) IPB Bogor bekerjasama dengan Direktorat Jendral
Perikanan, Departemen Pertanian Tahun 1998/1999Kajian ini bertujuan
untuk menganalisis kebutuhan investasi sector perikanan yang
didasarkan pada nilai ICOR dan ILOR. Incremental Capital Output
Ratio (ICOR) merupakan indikator untuk mengukur sejauh mana
efisiensi dari suatu investasi. Makin rendah angka ICOR, maka
investasi yang dilakukan semakin efisien. ICOR dihitung sebagai
rasio investasi terhadap PDB. ICOR merupakan salah satu metoda
untuk menghubungkan pertumbuhan faktor produksi dengan pertumbuhan
ekonomi. ICOR juga menghubungkan besarnya pembentukan modal tetap
domestik bruto dengan pertambahan PDB, yang dapat digunakan untuk
menunjukkan efisiensi suatu perekonomian dalam menggunakan barang
modal. ICOR dapat juga menunjukkan pola kecenderungan penggunaan
metoda produksi (padat karya atau padat modal) dalam suatu
perekonomian. Dalam perencanaan makro, ICOR dapat digunakan untuk
menaksir besarnya kebutuhan modal yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu.Nilai ICOR
berdasarkan kajian tersebut untuk sektor perikanan berkisar antara
2,75-3,95; mengindikasikan bahwa sub sektor ini mempunyai prospek
yang cukup baik bagi investasi yang ditanamkan. Sedangkan ICOR
rata-rata sektor perikanan sebesar 3,55 mengindikasikan bahwa
sektor ini relatif efisien untuk penanaman modal dibandingkan
beberapa sector lainnya. Pada kajian tersebut juga dikaji nilai
ILOR. ILOR (Incremental Labor Output Ratio) yang merupakan
merupakan koefisien yang menghubungkan peningkatan jumlah tenaga
kerja dan output atau produk yang dihasilkan. Dalam kajian
tersebut, maka ouput didekati dari besarnya PDB yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel Input-Output 1995.
Berdasar analisis Tabel I-O didapatkan Nilai Indeks ILOR berkisar
7-9 dan hal tersebut menujukkan bahwa sektor perikanan merupakan
sektor yang cukup menyerap tenaga kerja dalam meningkatkan
produksinya.3) Kajian Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan Dalam
Pembangunan Nasional dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan (PKSPL) IPB Bogor bekerjasama dengan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Oseanologi (Puslitbang Oseanologi) LIPI Tahun
2000Pada kajian tersebut difokuskan kepada pendekatan terhadap
produksi yang didasarkan pada permintaan pasar terhadap komoditas
dari bidang kelautan. Adanya permintaan pasar ini merangsang
terjadinya pemanfaatan potensi sumberdaya. Pemanfaatan sumberdaya
tersebut, didasarkan pada dua hal pokok, yaitu potensi sumberdaya
yang masih besar, serta ketersediaan faktor-faktor produksi. Proses
pemanfaatan ini menghasilkan produksi, untuk memenuhi permintaan
pasar tersebut. Besarnya produksi bidang kelautan secara
keseluruhan, merupakan Produk Domestik Bruto sektor kelautan.
Kajian tersebut juga merekomendasikan bahwa terdapat tiga hal yang
harus dilakukan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi
secara nasional melalui ekonomi kelautan, yaitu: Memperbesar dan
memperluas diversifikasi sector-sektor kelautan. Memperbanyak
investasi dengan memberikan dorongan/stimulus pada sektor- sektor
yang mempunyai ICOR yang relatif rendah (perikanan, pariwisata).
Meningkatkan efisiensi yang mencakup alokasi usaha yang optimum
berdasarkan jenis usaha, lokasi dan compatibility antar sektor
kelautan. 4) Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan kerjasama Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan (PKSPL) IPB Bogor dengan Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Tahun 2004Kajian tersebut pada intinya ditujukan untuk
menyusun strategi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan
dan perikanan yang mengintegrasikan pendekatan kelestarian untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang dapat digunakan sebagai acuan
bagi penyusunan kebijakan operasional dan perencanaan bagi para
stakeholders dan pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan.b)
Arah Kebijakan Pengembangan Jasa Kelautan Pengembangan jasa
kelautan mempunyai daya tarik yang luar biasa. Artinya jasa
kelautan bisa menghela sektor - sektor kelautan untuk menciptakan
pertumbuhan dan pusat-pusat perekonomian baru. Dampak selanjutnya
adalah mendorong masuknya investasi dan secara tidak langsung
mendorong penciptaan lapangan kerja. Namun demikian untuk
menentukan arah pengembangan jasa kelautan hendaklah mengacu pada
suatu kebijakan kelautan (Ocean Policy). Ocean policy sebagai
payung besar kebijakan nasional, dibangun oleh pendekatan
kelembagaan yang kajiannya mencakup dua domain dalam suatu sistem
pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif. Dalam konteks ini,
kebijakan kelautan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi-politik
yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama pada semua tingkatan
institusi eksekutif yang mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun
sektor pembangunan. Sedangkan, pada level legislatif, yang perlu
diupayakan adalah menciptakan instrumen kelembagaan (peraturan
perundang-undangan), mulai dari level pusat hingga daerah untuk
mendukung pelaksanaan policy itu. (Kusumastanto, 2003).Dalam
pengembangan jasa kelautan hendaknya juga diarahkan untuk meraih
empat tujuan secara seimbang, yakni: (1) pertumbuhan ekonomi tinggi
secara berkelanjutan dengan jasa kelautan sebagai salah satu
penggerak utama (prime mover); (2) peningkatan kesejahteraan
seluruh pelaku usaha, khususnya para pemangku kepentingan yang
terkait jasa kelautan; (3) terpeliharanya kelestarian lingkungan
dan sumberdaya kelautan; dan (4) menjadikan jasa kelautan sebagai
salah satu modal bagi pembangunan kelautan nasional Sehingga ada
benang merah yang dapat terlihat antara ocean policy dan
pengelolaan sumberdaya kelautan dengan jasa kelautan sebagai
penggerak bagi pertumbuhan sektor kelautan seperti terlihat pada
Gambar 1 di bawah ini.
F. Tantangan Pembangunan ke Depan Tantangan pembangunan
Indonesia ke depan sangat berat dan berbeda dengan yang sebelumnya.
Paling tidak ada 4 (empat) tantangan yang dihadapi Indonesia,
yaitu: (i) otonomi daerah, (ii) pergeseran orientasi pembangunan
sebagai negara maritim, (iii) ancaman dan sekaligus peluang
globalisasi, serta (iv) kondisi objektif akibat krisis ekonomi.
Pertama, Undang-undang No. 22 tahun 1999 secara tegas meletakkan
otonomi daerah di daerah kabupaten/kota. Hal ini berarti telah
terjadi penguatan yang nyata dan legal terhadap kabupaten/kota
dalam menetapkan arah dan target pembangunannya sendiri. Di satu
sisi, penguatan ini sangat penting karena secara langsung
permasalahaan yang dirasakan masyarakat di kabupaten/kota langsung
diupayakan diselesaikan melalui mekanisme yang ada di
kabupaten/kota tersebut. Tetapi di sisi lain, otonomi ini justru
menciptakan ego daerah yang lebih besar dan bahkan telah
menciptakan konflik antar daerah yang bertetangga dan ancaman
terhadap kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. \ Kedua,
reorientasi pembangunan Indonesia ke depan adalah keunggulan
sebagai negara maritim. Wilayah kelautan dan pesisir beserta
sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pembangunan
ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar
ekonomi nasional. Ketiga, ancaman dan peluang dari globalisasi
ekonomi terhadap Indonesia yang terutama diindikasikan dengan
hilangnya batas-batas negara dalam suatu proses ekonomi global.
Proses ekonomi global cenderung melibatkan banyak negara sesuai
dengan keunggulan kompetitifnya seperti sumberdaya manusia,
sumberdaya buatan/infrastruktur, penguasaan teknologi, inovasi
proses produksi dan produk, kebijakan pemerintah, keamanan,
ketersediaan modal, jaringan bisnis global, kemampuan dalam
pemasaran dan distribusi global. Keempat, kondisi objektif akibat
krisis ekonomi (jatuhnya kinerja makro ekonomi menjadi 13% dan kurs
rupiah yang terkontraksi sebesar 5-6 kali lipat) dan multi dimensi
yang dialami Indonesia telah menyebabkan tingginya angka penduduk
miskin menjadi 49,5 juta atau 24,2% dari total penduduk Indonesia
pada tahun 1997/1998 dan mulai membaik pada tahun 1999 menjadi
23,4% atau 47,97 juta jiwa. Di sisi lain, krisis ekonomi ini
menjadi pemacu krisis multidimensi, seperti krisis sosial, dan
krisis kepercayaan terhadap pemerintah.