Peran Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Dan Arah Perkembangan Psikologi: “An Unfinished Journey” I. PENDAHULUAN Perjalanan yang tak kenal henti, an unfinished journey, kisah antara filsafat, filsafat ilmu dengan psikologi dalam menemukan dan menggali kebenaran atau kenyataan dalam ranah kehidupan manusia dengan overview suatu ilmu, filsafat sebagai induk, dan filsafat ilmu sebagai cabang dan psikologi sub cabang perkembangan filsafat ilmu. Titik awal perjalanan dimulai ketika filsafat diharapkan tidak lagi hanya berbicara tekstual dalam perkembangannya, konstektualisasi terhadap kondisi faktual saat ini penting untuk menjadi poin filsafat dengan filsafat ilmu sebagai cabangnya memposisikan diri sebagai ilmu kritis dalam perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, agar tidak terjadi seperti yang dilukiskan Mohandas K. Gandhi “science without humanity.” Filsafat ilmu yang oleh beberapa pakar disebut ilmu tentang ilmu, tidak sekedar melihat ilmu pengetahuan dari sisi ontologi, epistemologi, dan aksiologinya, melainkan bagaimana ilmu tersebut dapat memberikan makna atau heuristik serta menyangkut unsur etik dalam mengawal perkembangan ilmu tersebut agar berada di jalur yang
Kontribusi Filsafat ilmu dalam perkembangan psikologi, dari perkembangan beberapa mahzab psikologi dan perkembangan psikologi yang dilandasi berdasar filsafat ilmu, dalam hal ini psikologi islam.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Peran Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Dan Arah Perkembangan Psikologi:
“An Unfinished Journey”
I. PENDAHULUAN
Perjalanan yang tak kenal henti, an unfinished journey, kisah antara filsafat,
filsafat ilmu dengan psikologi dalam menemukan dan menggali kebenaran atau
kenyataan dalam ranah kehidupan manusia dengan overview suatu ilmu, filsafat
sebagai induk, dan filsafat ilmu sebagai cabang dan psikologi sub cabang
perkembangan filsafat ilmu. Titik awal perjalanan dimulai ketika filsafat diharapkan
tidak lagi hanya berbicara tekstual dalam perkembangannya, konstektualisasi
terhadap kondisi faktual saat ini penting untuk menjadi poin filsafat dengan filsafat
ilmu sebagai cabangnya memposisikan diri sebagai ilmu kritis dalam perkembangan
ilmu pengetahuan saat ini, agar tidak terjadi seperti yang dilukiskan Mohandas K.
Gandhi “science without humanity.”
Filsafat ilmu yang oleh beberapa pakar disebut ilmu tentang ilmu, tidak
sekedar melihat ilmu pengetahuan dari sisi ontologi, epistemologi, dan aksiologinya,
melainkan bagaimana ilmu tersebut dapat memberikan makna atau heuristik serta
menyangkut unsur etik dalam mengawal perkembangan ilmu tersebut agar berada di
jalur yang seharusnya, yakni ilmu yang mencerahkan, ilmu itu adalah cahaya.
Psikologi sebagai cabang ilmu dengan objeknya manusia, mengkaji manusia
dari sisi perilaku dan proses mental. Perkembangan psikologi akhir-akhir ini begitu
pesatnya, kemunculan psikologi evolusioner, psikologi indiegienous, maupun
psikologi nusantara, sebagai indikasi betapa psikologi tidak lagi melihat sosok
manusia sebagai individu semata melainkan telah menyentuh area budaya lokal
dalam bidang kajiannya. Namun, perkembangan tersebut berakibat kini psikologi
sebagai ilmu yang terpisah-pisah / terfragmentasi, berpendapat manusia dari satu sisi
semata, terpisah-pisah dari lingkungan, peran masa lampau, teknologi, harapan, dan
penggeneralisasian hasil penelitian.
Filsafat sebagai cara pandang dalam melihat, filsafat ilmu sebagai kerangka
terhadap keberadaan dan perkembangan perlu untuk di aplikasikan sebagaimana
filsafat ilmu tidak lagi berperan dalam mengkategorisasikan ilmu dengan tiga pilar
eksistensinya, melainkan bagaimana filsafat ilmu diharapkan lebih untuk bersifat
partisipatif dan emansipatoris terhadap kehidupan psikologi.
II. Sejarah: Filsafat, Filsafat Ilmu Sampai Psikologi
Pentingnya sejarah dalam melihat konteks suatu bahasan rasanya perlu untuk
menjadi perhatian, karena dengan sejarah akan terlihat akar dari sesuatu, seperti
pengaruh-pengaruh para filsuf di zaman modern sebagai peletak dasar dalam
penelitian-penelitian psikologi yang dilakukan dan masih menjadi pegangan sampai
hari ini, dan kali ini saya akan membahas sejarah filsafat, filsafat ilmu sampai
psikologi yang saya peroleh selama perkuliahan 1.
1. Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari
Mitos ke Logos
Zaman ini (VI SM – VI M) perkembangan ilmu pengetahuan berawal dari
kepercayaan yang sifatnya kosmogoni dan theogoni, dimana peran dewa sangat
menonjol pada masa mitos ini. Barulah pada era logos muncul keberanian dari para
pemikir pada masa itu dengan mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk
(arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu atau semesta alam
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air”
merupakan arché, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM) berpendapat “udara” yang
merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Kausalitas inilah yang menjadi fondasi
awal psikologi dalam perkembagannya hingga psikologi modern, baik secara
metodologik maupun ontologi psikologi yang terdapat unsur kausalitas dalam
mempelajari manusia.
Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan
logika. Meskipun arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif
dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian
melalui observasi maupun eksperimen dalam kenyataan, tetapi prosedur berpikir
untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional
1 Koento Wibisono, S. Diktat kuliah : Sejarah Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Seni Suatu Tinjauan Dari Perspektif Filsafat. Yogyakarta: Magister Sains Universitas Gadjah Mada.
itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia
pada masa yang dikenal sebagai pra Socrates ini.
Zaman keemasan dari filsafat Yunani Kuno, dicapai pada masa Sokrates (±
470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Filsafat Plato
dikenal dengan ajarannya ‘ideal’ bahwa kenyataan itu tidak lain adalah bayangan
dari suatu dunia yang disebut olehnya “ide”, sesuatu yang abadi dan nyata. Dunia
“ide” itulah yang abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu
yang senantiasa berubah. Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak
hal sering tidak setuju atau bahkan berlawanan dengan apa yang dia ajarkan dari
gurunya. Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana
yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan atau benda-benda
itu sendiri. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi: etika, politik, metafisika,
ilmu pasti dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak
menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
2. Perkembangan Pemikiran Zaman Pertengahan
Era ini berlangsung pada abad VI – XIV M, dimana di tandainya dengan
pudarnya kekuasaan Romawi, dan sebelumnya pasca Aristoteles pun ajaran filsafat
mulai kembali ke hal-hal yang sifatnya mistis yang di ajarkan oleh Stoa dan Epicuri.
Filsafat pada abad ini dikuasai dengan pemikiran keagamaan (Kristiani) dengan
tokoh besar filsafatnya yaitu Agustinus dengan aliran Patristik, dan Thomas Aquinas
dengan Skolastik. Pada masa ini dapat dikatakan era filsafat yang sebelumnya
berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk dogma agama. Terlihat pada kejadian
yang menimpa Copernicus, dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas gereja,
ketika mengemukakan temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa
adalah matahari (Heleosentrisme). Teori ini dianggap oleh otoritas gereja
bertentangan dengan teori geosentrisme (bumi sebagai pusat peredaran benda-benda
angkasa) dan dianggap menjatuhkan kewibawaan gereja.
Hal lain yang menjadi peristiwa penting pada masa ini adalah kejayaan Islam
atau Golden Ages of Islam di abad VII – XIII M, Pemikiran-pemikiran Ariestoteles
kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Islam, terutama melalui Avicena (Ibnu
Sina, 980-1037), Averroes (Ibnu Rushd, 1126-1198), Omar Khayam (1043-1132),
dan Al Khawarizmi yang menyusun buku aljabar di tahun 825.
3. Zaman Modern: Lahir dan Berkembangnya
Tradisi Ilmu Pengetahuan
Era Modern ini (abad XIV – XIX M), perkembangan ilmu pengetahuan
kembali ke jalur yang seharusnya (antroposentris), yaitu munculnya kesadaran untuk
berfikir dan berbuat secara baru, dengan empat elemen yang menyusunnya:
a.Subjektivitas yang relektif, sebagai pengakuan atas kekuatan rasional dalam
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan.
b. Subjektivitas yang kritis, sebagai bentuk kebebasan berpikir.
c.Kesadaran historis, adanya optimistik terhadap masa depan.
d. Universalisme, ketiga elemen di atas bersifat normatif.
Zaman modern ini muncul gerakan-gerakan yang fundamental bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di Barat saat itu, lewat gerakan Renaissance
(rebirth, renascimento) dengan semboyan “liberasasi, emansipasi, dan otonomi diri”.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah reformasi,
Renaissance, pemikiran manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah
perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau
Aufklaerung Para empirikus besar Inggris antara lain J. Locke (1632-1704), G.
Berkeley (1684-1753) dan D. Hume (1711-1776). Di Perancis JJ. Rousseau (1712-
1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804).
Pada tahap ini, peran beberapa filsuf dalam menanamkan pada metodologi
penelitian psikologi seperti Francis Bacon (1561-1626) dengan metode observasi,
eksperimentasi, dan komparasi, serta Auguste Comte (1798-1857) yang
berkontribusi besar terhadap ilmu-ilmu sosial pada masa itu serta Comte pulalah
yang dikenal ‘Bapak Sosiologi’ muncul klasifikasi ilmu pengetahuan dengan
matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu. Zaman modern adalah zaman
keemasannya ilmu pengetahuan .
4. Zaman Kontemporer
Pada abad ini (XX - ... M) ilmu pengetahuan berkembang secara
evolusiioner; teknologi nano, nuklir, bioteknologi sampai kloning, memunculkan dua
sisi yang berbeda, sebagai harapan dan di sisi lain memunculkan ketakutan serta
kecemasan.
Zaman kontemporer dinyatakan sebagai “abad kematian yang direncanakan”
dan akhir dari suatu perjalanan pengetahuan umat manusia.Peperangan dimana-
mana, kelaparan, masalah lingkungan hidup, dan kesenjangan sosial mulai tumbuh
subur di zaman kontemporer ini. Permasalahan-permasalahan tersebut di sinyalir
karena ilmu pengetahuan semakin jauh dari unsur eti, moral, dan agama sebagai
falsafak ilmu pengetahuan yang mencerahkan.
III. Filsafat Ilmu
Di zaman modern ilmu berkembang dan menemukan kebenarannya masing-
masing. Perlunya seperangkat cara agar perbedaan-perbedaan tersebut dapat
terintegrasi, lahirlah filsafat pengetahuan dengan tugas memberikan klarifikasi
terhadap kebenaran ilmiah dari perkembangan ilmu, karena masing-masing cabang
ilmu menggunakan sumber, sarana, dan metodologi yang berbeda. Perkembangan
ilmu pengetahuan senantiasa berlanjut terus-menerus, sehingga flsafat pengetahuan
yang bertugas dalam pengklarifikasian tersebut merasa membutuhkan sesuatu yang
lebih tinggi, kemudian lahirlah filsafat ilmu atau Philosophy of Science.
Filsafat ilmu sampai tahun sembilan puluhan telah berkembang begitu pesat
sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang sangat luas dan mendalam. Begitu
luasnya bidang cakupan filsafat ilmu ditambah lagi definisinya yang bermacam-
ragam telah membuat pemahaman orang menjadi sangat beragam pula. The Liang
Gie memberikan daftar yang cukup panjang mengenai berbagai pandangan ini dalam
bukunya 2. Dari beraneka ragam pandangan tersebut, pandangan John Loose
tampaknya bisa diterima sebagai mewakili seluruh keanekaragaman tersebut.
Menurutnya, berbagai pandangan tentang filsafat ilmu itu pada dasarnya dapat
digolongkan ke dalam empat kelompok besar. Keempatnya adalah sebagai berikut:
2 The Liang Gie dalam bukunya Pengantar Filsafat Ilmu, hal 65 – 74.
1. Filsafat ilmu yang berusaha menyusun pandangan-pandangan dunia yang
sesuai atau berdasarkan teori-teori ilmiah yang penting.
2. Filsafat ilmu yang berusaha memaparkan praanggapan dan kecenderungan
para ilmuwan (misalnya, praanggapan bahwa alam semesta mempunyai
keteraturan).
3. Filsafat ilmu sebagai suatu cabang pengetahuan yang menganalisis dan
menerangkan konsep dan teori dari ilmu.
4. Filsafat ilmu sebagai pengetahuan kritis derajat kedua yang menelaah ilmu
sebagai sasarannya. Di sini, menurut Loose, pengetahuan manusia terbagi dalam
tiga tingkatan yang berbeda. Tingkat pertama adalah Tingkat O. Ini adalah
pengetahuan tentang fakta-fakta. Tingkat selanjutnya adalah Tingkat 1. Di sini
fakta-fakta yang ditemukan dalam Tingkat O dijelaskan dan yang
menjelaskannya adalah Ilmu. Tingkat terakhir adalah Tingkat 2. Di sini cara Ilmu
menjelaskan fakta-fakta itu dianalisis. Di tingkat inilah filsafat ilmu beroperasi.
Filasfat ilmu sebagaimana halnya dengan bidang-bidang ilmu lainnya, juga
memiliki objek material dan objek formal. Objek material atau pokok bahasan pada
filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah
disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga dapat dipertanggug
jawabkan di depan umum. Hal ini lah yang membedakan pengetahuan di sebut
sebagai ilmu atau tidak, karena tidak semua pengetahuan dapat dikategorisasikan
sebagai ilmu apabila tidak melalui sistematisasi prosedur ilmiah. Sedang objek
formalnya, merupakan hakikat atau esensi ilmu pengetahuan; apa hakikat ilmu itu
sesungguhnya? bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? problem-problem
inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu:
landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi 3.
Ketiga landasan tersebut merupakan pilar penyangga eksistensi ilmu 4 dimana
pengertian masing-masing sebagai berikut:
1. Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, pertanyaan mengenai hakikat
kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah mengenai apa
3 Pembahasan objek material dan objek formal pada filsafat imu ini terdapat dalam bukunya Mustansyir dan Munir, Filsafat Ilmu. 4 Koento Wibisono, S. Diktat kuliah : Sejarah Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Seni Suatu Tinjauan Dari Perspektif Filsafat. Hal. 14 – 15.
dan bagaimana yang “Ada” itu. Faham idealisme, spiritualisme, dualisme,
pluralisme, dan agnotisisme merupakan faham ontologik yang menentukan
pendapat bahkan keyakinan pada individu mengenai apa, bagaimana, dan dimana
(yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicari.
2. Epistemologi ilmu, meliputi: sumber, sarana, dan tata-cara menggunakan
sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan yang ilmiah. Perbedaan mengenai
pilihan landasan ontologik berpengaruh dalam penentuan sarana yang akan
dipilih. Sarana-sarana tersebut adalah akal, budi, pengalaman, intuisi, atau
kombinasi akl-budi, yang lebih dikenal dalam istilah epistemologi sebagai