SEDIMEN BIOGENIK SEBAGAI INDIKATOR PERUBAHAN EKOSISTEM
Ketika wisatawan menginjak hampara pasir kecoklatan di
kawasanwisata pantai, sesungguhnya merekasedang menginjak sedimen
dari sisasisa organisme yang disebut partikelbiogenik. Partikelini
berasal dari organism\hewan atau tumbuhan lautyang telah mati,
seperti tulang, gigi,an cangkang mikroorganisme.
SedimenForaminifera, misalnya, dapatdijadikan bioindikator
perubahan ekosistem,karena mempunyai sensitivitam yang tinggi
terhadapperubahanlingkungan, siklus hidupnya
pendek,keanekaragamannya tinggi, dan memerlukanpersyaratan hidup
yang spesifik.Salah satu sumber sedimen adalah sisa-sisa
organismeyang disebut partik biogenik.Partikel ini berasaldari
organisme hewan atau tumbuhan laut yangtelah mati, seperti tulang,
gigi, dan cangkang mikroorganisme.Komponen biogenik dapat
ditemukandi antara partikel non-biogenik dengan jumlah
yangbervariasi. Partikel biogenik dapat mendominasi,jumlahnya
antara 10-53% dari dasar perairan, sehinggadikenal sebagai lumpur
globigerina (globigerinaooze) yang terdiri dari anggota
foraminifera darigenera Globigerina dan Globorotalia. Pada
lumpur(ooze) ini terdapat lebih dari 6000
cangkangforaminiferayangberukuran 200 dalam 1 gram sedimen,dan
ditemukan pada kedalaman 600 m. (Corens,1939, dalam Boltovkoy dan
Wright, 1976). Selain ituada juga pteropod ooze yang didominasi
oleh anggotaMoluska atau Radiolarian ooze yang didominasi
olehradiolaria, yang ditemukan di perairan yang banyakmengandung
silika.Istilah sedimen biogenik dapat digunakan apabila terdiridari
minimal 30% sisa-sisa cangkang organism laut, dan umumnya menutupi
62% lantai laut dalam.Mineral lempung merupakan partikel
non-biogeniklain yang menutupi dasar laut-dalam ini.Banyak tumbuhan
dan hewan yang berkontribusidalam pembentukan sedimen laut, namun
hanyakelompok yang berdinding gampingan dan silikaanyang secara
meyakinkan menghasilkan sedimen biogenikdi laut dalam. Sedimen ini
berasal dari sisa-sisacangkang hewan dan bagian mikroskopis,
seperti Coccolithophoridsdari tanaman dan foraminifera,
ostracodadari dunia hewan mikroskopis. Saat organismeersebut mati,
zat organiknya bercampur dengan karbondioksidadan air yang dapat
menambah kandungankomposisi air laut, sementara sisa
cangkangnyatenggelam dan terendapkan di dasar laut.Tidak semua
organisme dapat terawetkan dan terendapkandi dasar laut sebagai
bagian atau komponendari sedimen. Hanya sisa-sisa organisme yang
mempunyaidinding cangkang tertentu dapat ditemukandi antara
partikel sedimen baik yang berukuran makroskopisseperti tulang,
gigi, maupun berukuran mikroskopis.lmu yang mempelajari sisa-sisa
mikroorganisme disebut mikropaleontologi.Berggren (1978) membagi
sisa-sisa bagian mikroorganismeyang terawetkan dalam sedimen dasar
lautitu menjadi: Kelompok berdinding gampingan (calcareous
microfossils): foraminifera, ostracoda, nannoplangton gampingan,
pteropoda, calpionelida, alga gampingan dan briozoa. Kelompok
berdinding silikaan (siliceous microfossils): radiolarian diatom
laut silikoflagelata. Kelompok berdinding fosfatis (phosphatic
mikrofo - ssils) seperti conodonta. Kelompok berdinding organik
(organic walled microfossils): dinoflagelata, spora dan pollen
dalam lingkungan laut, kitinosoa.Uraian dalam buku ini penekanannya
lebih pada organism tertentu, sedangkan kelompok lain diuraikan
secara sepintas dari hasil penelusuran pustaka. Foraminifera
Cangkang Foraminifera merupakan partikel biogenikpaling banyak
ditemukan di antara partikel nonbiogenik,seperti mineral, fragmen
batuan dan lainlain.Kumpulan partikel dari spesies tertentu dapat
membentuk hamparan pantai berpasir putih yangindah. Sebagai contoh,
Amphistegina spp. merupakananggota dari foraminifera yang menghiasi
pantaipantaidi Hawaii sejak 1500 tahun yang lalu (Resig,2004).
Sedangkan di Indonesia, Barbin (1987 dalamRenema, 2003), menemukan
anggota foraminiferaShlumbergerella floresiana menghiasi pantai
tarKesumaSari. Kemudian Adisaputra (1998) meneliti sebarannyadi
sekitar Pulau Bali sampai Pulau Lombok.Di pesisir selatan Pulau
Jawa didominasi oleh kum-36\37 pulan phaerogypsina globulus yang
memberikanwarna putih kecoklatan di pantai rekreasi sekitarPrigi,
Trenggalek, Jawa Timur (Gambar 4.1).Untuk mengetahui lebih jelas
tempat hidup foraminiferayang terakumulasi di pesisir tersebut,
selanjutnya Renema (2003) meneliti kehidupan foraminiferadi
lingkungan terumbu karang di sekitar Sanur, Padang Bai, Tulamben
dan Nusa Penida dengan caramenyelam. Ditemukan 19 spesies
foraminifera bentikyang hidup berasosiasi dengan alga, koral dan
rumput laut dari Enhallus sp.dan Halophilus sp. Yang dikaitkan
dengan parameter oseanografis dan iklim.Habitat Shlumbergerella
yang banyak ditemukan di Pantai Kuta adalah pada terumbu bagian
atas di kedalamankurang dari 12 m.Di laut dalam seperti Laut Banda,
foraminifera plangtonik mendominasi sedimen dasar laut
dankelimpahannya dapat mencapai 90% dibandingkan foraminifera
bentik di kedalaman lebih dari 1000 m. (Van Marle dkk., 1987).
Sebelum tenggelam dan terendapkan di dasar laut, foraminifera
plangtonik\ hidup dalam kolom air dari permukaan sampai kedalaman
1000 m (Boersma 1978).
Kumpulan foraminifera plangtonik yang membentuk sedimen biogenic
di Laut Timor. Menurut Be dan Tolderlund (1971, dalam Boltovkoy dan
Wright, 1976), ada tiga kelompok oraminifera plangtonik dalam kolom
air, yaitu: Penghuni air permukaan, umumnya dicirikan dengan
spesies dari Globigerinoides yang dihiasi duri seperti G. rubber,
G. Sacculifer). Penghuni perairan menengah pada kedalaman antara
50-100 m. dicirikan dengan kehadiran spesies tanpa hiasan duri,
misalnya Pulleniatina obliquelocu lata. Penghuni laut dalam yang
hidup di zona eufotik, namun pada saat dewasa akan hidup di
edalaman sekitar 100 m. Ada 12 spesies dari Globorotalia, seperti
Globorotalia pachyderma.Secara horizontal, foraminifera plangtonik
di perairan hangat ditemukan sepuluh kali lebih besar dibandingkan
dengan di perairan dingin. Foraminifera plangtonik umumnya hanya
ditemukan di laut normal, dan tidak dijumpai di perairan sekitar
pantai yang mendapat pasokan air tawar melalui sungai (Boltovkoy
dan Wright,1976). Sebagai contoh, pada sampel sedimen di LautTimor
saat Ekspedisi VITAL 2005, ditemukan kumpulan foraminifera
plangtonik yang sangat melimpah dalamjumlah lebih dari 80% (Gambar
4.2.).Tentang foraminifera, Pringgoprawiro dan Kapid(2001)
menjelaskan secara lengkap, baik biologinya,taksonomi, ekologi dan
sebarannya dalam kurun waktu geologi, serta manfaatnya untuk
rekonstruksi lingkunganpengendapan dan penentuan umur
batuan.Foraminifera merupakan anggota Protista yang sangat melimpah
di lingkungan perairan, mulai dari air payau sampai laut dalam.
Bentuk cangkangnya sangat bervariasi, mulai dari bentuk yang
sederhana, bulat, lonjong panjang sampai berduri-duri. Foraminifera
dapat hidup mulai dari perairan payau sampai laut dalam yang
masing- masing lingkungan dihuni kumpulan spesies tertentu. 38 39
Aktivitas kehidupan dan sebaran foraminifera bentik dipengaruhi
oleh faktor abiotik dan biotik dari lingkungan tempat hidupnya,
seperti salinitas, suhu, substrat, kedalaman, nutrisi, kandungan
organik dalam sedimen, kekeruhan, gelombang dan arus, serta
faktor-faktorekologi lainnya. Kemampuan beradaptasi
sangatmempengaruhi kehidupan foraminifera bentik untukdapat
berproduksi dan bertahan di habitatnya, mulaidari perairan dangkal
sampai laut dangkal.Di perairan laut dangkal, terutama pada
ekosistemterumbu karang, foraminifera bentik merupakan salahsatu
kontributor penting dalam pembentukan hamparanterumbu karang
setelah alga gampingan (Boersma,1978). Antara foraminifera bentik
dan terumbukarang terjadi simbiose mutualistis. Foraminifera
merupakan organisme yang sangat melimpah di lingkungan terumbu
karang, untuk memproduksi material biogeniksebagai bahan pembentuk
kerangka karang (Molengraaff, 1928 dan Wells, 1957, dalam Tomascik
dkk.,1997). Foraminifera merekat pada rumput laut, alga dan fragmen
koral di Pulau Pari, Teluk Jakarta, penciri utama lingkungan
terumbu didominasi oleh Calcarina (Rositasari, 1990). Di paparan
Spermonde, Sulawesi Selatan,foraminifera membentuk 40-80% sedimen
dasar laut (Renema, 2002). Selain terumbu karang, foraminifera juga
mendiami lingkungan payau, yang umumnya berhutan mangrove,
sedimennya berbutir halus, banyak mengandung sisasisa tanaman
salinitas rendah dan jumlah spesiesnya tidak bervariasi. Trochamina
inflata, Miliammina fusca dan Jadammina polystoma merupakan spesies
yang umum ditemukan di sekitar hutan mangrove. Lingkungan laguna
juga cukup menarik bagi kehidupan foraminifera tertentu karena
adanya pengaruh daratan dan lautan dalam perairan itu.
Karakterisitik organismenya dengan keanekaragaman yang rendah,
dicirikan dengan spesies dari genera Rotalia, Ammonia,
Elphidium,Ammobaculites, Reophax Textularia Haplo
Beberapa spesies foraminifera yang ditemukan di berbagai lokasi
perairan di Indonesia, seperti penghuni lingkungan terumbu karang,
estuari,pantai pariwisata, laut dangkal, laut dalam, dan lain-lain
phragmoides, dan lain-lain. Jumlah individunya jugarendah, dan
tidak ditemukan foraminifera plangtonik.Di paparan bagian dalam
yang merupakan perairanlaut dangkal, dicirikan dengan fauna
berukuran kecil,dan jumlah spesiesnya sedikit. Ada yang berdinding
pasiran, butiran sedimennya agak kasar, bersih, danpasirnya
terpilah bagus, berisi fragmen cangkang berbentuk bulat.Sedimen di
paparan bagian tengah terdiri lempunglanau, pasirnya terpilah
buruk, ditemukan glukonit dengan jumlah yang melimpah. Spesies
foraminiferaumumnya mempunyai ornamentasi kuat, berukuran besar,
berbentuk robus, sedikit ditemukan spesies dominan, namun jumlah
individunya tinggi. Bentuknya berdinding pasiran dengan morfologi
cangkang yang lebih rumit.Paparan bagian luar dicirikan dengan
sedimen berbutir halus, jumlah spesiesnya tinggi, dan
ornamentasinyakuat. Foraminifera plangtonik di kawasan ini
mencapai50%.Hasil studi van Marle (1988) di Paparan Sahul sampai
Laut Banda, diperoleh kumpulan spesies foraminiferabentik yang
mencirikan suatu kisaran kedalaman sebagai berikut: Biofasies
paparan luar pada kedalaman 60-150m. berkaitan dengan zona fotik
dan air permukaan,didominasi oleh Amphistegina lessonii,Operculina
ammonoides, Heterolepa dutempleidan berbagai anggota
Miliolina.Biofasies batial bagian atas pada kedalaman150- 400 m.
menggambarkan kondisi afotik. Airpermukaan bagian dalam didominasi
oleh Bolivinarobusta, Heterolepa mediocris, Hanzawaianipponica dan
Lenticulina spp.Biofasies batial bagian tengah pada
kedalaman400-1500 m. mewakili perairan menengah, dengankandungan
oksigen imum,didominasiForaminifera telah terbukti sebagai
bioindikator perubahan suatu ekosistem, karena mempunyai
sensitivitas yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, siklus
hidupnya pendek, keanekaragamannya tinggi, dan
memerlukanpersyaratan hidup yang spesifik. Dari uraian diatas
diperoleh gambaran bahwa setiap lingkungan perairandicirikan oleh
kumpulan spesies foraminifera tertentu.Gambar 4.3. memperlihatkan
beberapa spesies foraminifera dari berbagai perairan
Indonesia.Ostracoda Seperti halnya foraminifera, ostracoda
merupakan anggota Crustacea, udang-udangan, yang sebagian besar
cangkangnya terbuat dari kalsium karbonat dan beberapa unsur kimia
lain, seperti magnesium, strontium,dan lain-lain. Dalam sedimen
laut hasil cucian (washed residue), di antara partikel sedimen akan
ditemukancangkang ostracoda yang umumnya berbentuk bulat, onjong
seperti kulit kacang tanah dengan ukuran ratarata 1 mm.,terdiri
dari setangkup cangkang (carapace) atau terpisah (valve). Permukaan
cangkangnya dari polos tanpa hiasan, berornamentasi lemah sampai
sangat kuat. Cangkang tersebut merupakan bagian pelindung tubuh
ostracoda yang lunak. Dari cangkang ini dapatdiperoleh berbagai
informasi kondisi lingkungan pada saat hidupnya, seperti salinitas,
suhu, habitat, dan lainlain. Menurut Colin dan Lethiers (1988),
ostracoda mempunyaiarti penting dalam analisis dan interpretasi
Geologi setelah foraminifera, terutama pada saat tidak ditemu- oleh
Bolivina robusta Cassidulina carinata, Gavelinopsis lobatulus dan
Sphaeroidina bulloides.Biofasies batial bagian bawah pada kedalaman
1500-2120 m. berkaitan dengan perairan dalam Indonesia, didominasi
oleh Pullenia bulloides dan spesies kosmopolitan lain sebagai
indikator laut dalam, seperti Episominela exigoa Laticarinina
pauperata, Oridorsalis umbonatius dan Planulina wuellerstorfi kan
foraminifera plangtonik. Ostracoda mempunyai persyarataorganisme
yang dapat menjadi fosil, yaitu cangkangnya yang terbuat dari unsur
gampingan, berukuranmikro, dan dapat dijumpai di berbagai
lingkungan perairan,dan banyak terawetkan dalam batuan
sepanjangwaktu geologi, mulai dari Kambrium hingga saat ini Pada
saat hidup, ostracoda dapat baraktivitas secaramerayap di permukaan
dasar suatu perairan (Gambar4.4.), sedikit tenggelam dalam sedimen
atau melayanglayang dalam kolom air sebagai bagian dari hewan
plangton.Setelah mati, cangkang ostracoda umumnya terpisah antara
cangkang sebelah kiri dan kanan, kemudianterendapkan dalam sedimen,
bersatu dengan partikel lainseperti foraminifera, butir-butir
pasir, sisa-sisa tanaman,fragmen moluska, fragmen batuan, dan
lain-lain (Gambar4.4.).Kehidupan ostracoda dipengaruhi oleh banyak
factor\ekologi, namun yang terpenting adalah salinitas, suhu,jenis
sedimen, dan kedalaman (Pokorny, 1984).Ada tiga komunitas ostracoda
yang dapat dibedakan berdasarkansalinitas, yaitu: Ostracoda saat
hidup danberaktivitas diatas partikel pasir
.(http://w3.gre.ac.uk/schools/nri/earth/ostracod/introduction.htm)Komunitas
air tawar (< 0,5%0) menempati danau,goa, sungai, kolam. Selain
itu dapat juga ditemukan di estuarium, laguna, dan laut tetapi.
Jumlahnya akan Cangkang ostracoda (O) di antara partikel lain
sepertiforaminifera (F), fragmen batuan (FB) dan moluska (M) dan
lainlai.langsung berkurang pada salinitas di atas 3%0.
Padahabitat air tawar, keanekaragaman ostracoda rendahmenjadi
hanya satu atau dua spesies, tetapi jumlah individunya tinggi.
Selain itu, ostracoda betina jumlahnyasekitar dua kali dari jumlah
ostracoda jantan.Komunitas air payau (0,5-30%0.)
keanekaragamannyalebih sedikit dibandingkan dengan ostracoda air
tawar maupun laut, terutamapada salinitas antara 3-10%0). Contoh
penghuni air payau antar lain: Cytheromorpha,
Leptocythere,Cytherideinae, Macrodentin dan Cypridea.Komunitas air
laut (30-40%0), ostracoda ditemukandi periaran dangkal dengan
jumlah sangatmelimpah dan beranekaragam, seperti:
Carinocythereis,Hemicytherura, Mutilus, Callistocythere. Tentang
biologi, ekologi, taksonomi dan aplikasi ostracoda dalam dunia ilmu
pengetahuan telah diuraikan secara rinci oleh Dewi dan Kapid
(2004). Juga diuraikan bagaimana cara mendapatkan spesimen
ostracoda,baik dalam bentuk fosil maupun dalam keadaan hidup.Secara
umum, ostracoda dapat dikenali sebagai setangkupcangkang atau valve
yang disebut carapace untukmelindungi bagian tubuhnya yang lunak.
Ukuran cangkangrata-rata 1 mm., umumnya berbentuk lonjong
danmempunyai permukaan dari rata sampai kasar dengan segala
variasinya. Namun, beberapa ostracoda laut yang hidup saat ini
dapat mencapai ukuran 25 mm., sedangkan fosil Paleozoikum terbesar
yang pernah ditemukanberukuran 80 mm (Pokorny, 1984).Ostracoda
mendiami berbagai perairan, mulai air tawar sampai air asin dengan
diversitas dan kelimpahan yang bervariasi. Ostracoda juga ditemukan
di berbagai lingkungan,antara lain di: Komunitas air laut
bersalinitas tinggi (> 40%0.), terdiridari campuran antara
ostracoda air payau dan laut. Mata air, seperti Cypridopsis
okeechobe. Endapan gambut, misalnya Scottia danau air tawar dan air
asin. Kolam penampung air hujan dan air pompa darigoa. Kolam ikan,
seperti: Candona arcuta, Candona fabeformis, Eucypris weberi,
Eucypris deorata, ditemukan dalam sebuah kolam di Kebun Raya Bogor
(Klie,1932 dalam Hanai dkk., 1980). Persawahan, seperti:
Hungorocypris asymetricus sebagai spesies endemik berukuran besar
(3 mm.) ditemukan di sawah dekat Danau Tempe, Sulawesi (Victor dan
Fernando, 1981; dalam Dewidan Kapid, 2004). Sampah organik yang
lembab. Beberapa spesies ostracoda yang di temukan di berbagai
lokasi diperairan Indonesia. Dari uraian di atas diperoleh gambaran
bahwa ostracodadapat ditemukan di berbagai media perairan dan media
lain yang mengandung air atau lembab.Lingkungan terumbu karang
umumnya dihuni oleh sekelompok spesies ostracoda yang termasuk
dalam subfamili Bairdiinae, seperti genera Bairddopilata,
Triebelina, Neonesidea, Paranesidea, danMydionobairdia. Kenampakan
morfologi cangkang genera tersebut mudah dikenali, karena
berbentukmendekati trapesium, dengan sudut membulat. Keterdapatan
kumpulan spesies dari subfamili tersebut dalam jumlah melimpah,
dapat memberi indikasibahwa terumbu karang itu dalam kondisi sangat
bagus.Gambar 4.6. memperlihatkan beberapa spesimenostracoda yang
ditemukan di perairan Indonesia.
PteropodaPteropoda yang dikenal sebagai kupu-kupu laut ini
merupakan anggota moluska laut atau kerangkerangan dari Kelas
Gastropoda yang hidup secara plangtonis. Organisme ini umumnya
hidup di lautan dengan salinitas normal, dan melayang-layang dalam
kolom air dari permukaan sampai kedalaman 500 m.Cangkangnya
mengandung mineral aragonit yangmenyebabkan mudah terlarut. Inilah
yang membuat pteropoda berbeda dari foraminifera dan ostracodayang
terbuat dari mineral kalsit. Dengan keadaanseperti itu, maka
sebaran pteropoda terbatas padakedalaman 700 sampai 3000 m., namun,
masih juga tergantung pada berbagai jenis cekungan, sirkulasi dan
suhu air laut, serta kecepatan sedimenasi darisedimen biogenik atau
sedimen klastik (Herman,1978).Keterdapatan pteropoda di antara
partikel biogeniklain mudah dikenali karena berbentuk seperti
keongyang dikenal di darat atau corong, namun berukurankurang dari
5 mm. Walaupun dapat dilihat tanpamikroskop, namun untuk memastikan
nama spesiesatau genusnya tetap diperlukan mikroskop 4.7.
memperlihatkan salah satu contoh pteropoda yang ditemukan di antara
spesimen foraminifera plangtonik di Laut Timor.Radiolaria
Radiolaria berasal dari bahasa latin radiolus, artinya sinar kecil
(little ray), dan merupakan anggota dari Filum Protozoa yang hanya
ditemukan di perairan laut. Radiolaria berdinding silikaan, rapuh
dan tidak mempunyai kamar, 100 (0,01 mm), hidup dalam kolom air
sebagai plangton. Kenampakan radiolaria sangat kecil dibandingkan
dengan foraminifera, ostracoda dan pteropoda. Namun mudah dikenali
karena bentuknya yang khas, seperti rangkaian atau jaring-jaring
tipis yang teratur, berwarna transparan seperti bersinar. Ukuran
sangat kecil dan harus, menggunakan mikroskop Gambar 4.7. Spesimen
pteropoda di Laut Timor
dengan perbesaran cukup tinggi. Radiolaria yang berbentuk
simetri radial dikelompokkan kedalam Spumellarians (Gambar 4.8.),
dan diwakili bentuk spongidiscids (S). Selain itu ada kelompok
Nasselarians mempunyai bentuk seperti helm dan diwakili oleh bentuk
Pterocorythids (P). Menurut Kling (1978), radiolaria memegang
peranan penting dalam siklus silika dalam samudera. Hal ini
berkaitan dengan suatu perairan dimana produksi kalsium karbonat
hilang dan pelarutan material ini mencapai puncaknya. Setelah mati,
radiolaria akan mengendap dan erkubur dalam sedimen dasar laut.
Jumlah radiolaria maksimum yang menutupi lantai samudera dapat
mencapai 60-70% (siliceous ooze) dari sedimen dengan kecepatan
sedimentasi 1 m per1 juta tahun. Radiolarian ooze umumnya ditemukan
di daerah ekuator sekitar Samudera Pasifik.Lain-lain Selain
partikel biogenik, masih banyak partikel lain seperti spikula
(Gambar 4.9), cangkang moluska, briozoa, alga gampingan,
nannoplangton gampingan (Gambar 4.10), spora, polen dan lain-lain.
Namun tidak dapat diuraikan secara rinci karena beberapam di antara
sisa organisme tersebut harus dipersiapkan dengan metode berbeda
seperti sayatan tipis dan harus menggunakan mikroskop petrografi,
bahkan Scanning Electron Microscope.
Gambar 4.8. Kumpulan Radiolaria yang ditemukan di Laut Timor
Gambar 4.9. Spikula dari hewan sponge di Kangean Utara.
Gambar 4.10. Nannoplangton gampingan (Emiliania huxleyi). Foto
dari Scanning Electron Microscope oleh Saskia Kars (Auliaherliaty,
2007).
KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN
KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDAStudi batuan sedimen
bertujuan untuk mengetahui proses deposit sedimen yang meliputi
ransport sedimen dan proses deposisi sedimen baik secara horisontal
maupun vertikal. Untuk melakukan diskripsi sedimen ada empat hal
yang perlu di amati yaitu warna, struktur, tekstur dan komposisi
dari sedimen tersebut. Menurut definisi Raymond (1995), Batuan
Sedimen didefinisikan sebagai batuan yang merupakan hasil dari
akumulasi dan solidifikasi sedimen, yakni material yang terangkut
baik oleh media air maupun oleh angin. Sedangkan menurut BENT et al
(2001), Sedimen adalah partikel hasil dari pelapukan batuan,
material biologi, endapan kimia, debu, material sisa tumbuhan dan
daun. Selain faktor diatas hal yang sangat berperan dalam
pengendapan sedimen adalah arus dan bentuk dasar dari perairan
tersebut. Arus yang deras akan mengendapkan butiran edimen yang
kasar dan arus yang lemah akan mengendapakan sedimen berbutir
halus. Sedangkan bentuk dasar perairan akan berpengaruh terhadap
letak sedimen. Pada dasar perairan yang berbentuk lereng umumnya
bagian atas akan terisi oleh sedimen berbutir halus dan bagian
bawah akan terisi oleh sedimen berbutir kasar karena pengaruh gaya
gravitasi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui distribusi sedimen di perairan Selat Sunda dan
menentukan kandungan suspensinya. Selanjutnya dari kedua besaran
tersebut ditinjau keterkaitannya dengan aktivitas vulkanik di
perairan Selat Sunda.
Dari hasil analisa TSS (Total Suspended Solid) yang digambarkan
dalam bentuk peta tematik, terlihat bahwa Perairan Selat Sunda
mempunyai pola sebaran suspensi yang cukup seragam di permukaan.
Suspensi sebesar 25 gr/l merupakan nilai terbesar yang ditemui
disekitar titik engamatan (stasiun) 6. Hal ini mengindikasikan
pengaruh vulkanik yang cukup besar dari Gunung Krakatau, karena
posisi stasiun 6 cukup dekat dengan Gunung Krakatau. Sedangkan
suspensi di dasar perairan mengindikasikan adanya pengaruh daratan
yang cukup besar. Suspensi sebesar 19 gr/l merupakan nilai terbesar
yang dapat ditemui di stasiun 7.
Harga suspensi stasiun 2 juga memperlihatkan harga yang cukup
tinggi yaitu sekitar 14 gr/l , yang mengindikasikan pengaruh
daratan yang cukup besar. Hal ini didukung dengan data istribusi
salinitas yang memperlihatkan nilai yang cukup kecil.
Pada stasiun 7 (Teluk Miskam) pergerakan arus tidak terlalu kuat
dengan kondisi arus yang melemah sehingga terjadi proses
pengendapan sedimen lempung dengan sedikit lanau. Secara umum
terlihat bahwa TSS pada stasiun ini menunjukkan nilai yang tinggi
dibandingkan dengan stasiun lain, kecuali pada stasiun no 6 yang
TSS juga tinggi. Ada pola yang menunjukkan bahwa pada wilayah ini
lebih banyak dipengaruhi oleh daratan dan adanya aliran Ciliman dan
Cibungur yang cukup besar yang mengalir ke arah utara. Pengamatan
tak langsung selama kapal berlayar menunjukkan arus yang agak
tenang. Hal ini juga mengakibatkan material sedimen terakumulasi
pada wilayah ini. Asumsinya bila dipengaruhi oleh daratan, maka
sedimen yang ada dan diendapkan jauh ke utara, maka makin utara
dari teluk ini, butiran endapan akan semakin halus. Pada teluk
Miskam yang terlindung dan kecepatan arus yang lemah akan
mengakibatkan muatan sedimen yang melayang ini akan mengumpul dan
mengendap di dasar perairan. Dari tabel prosentase kandungan
sedimen diperoleh bahwa Perairan Selat Sunda terdiri dari : lanau
lumpuran, pasir, kerikil pasiran, lumpur lanauan, lanau pasiran,
lumpur, lumpur pasiran dan pasir lumpuran. Sebaran lumpur dapat
terlihat jelas pada stasiun 6 yang mengindikasikan pengaruh
aktivitas vulkanik Krakatau.
Karakteristik Perairan Selat Sunda memperlihatkan bahwa adanya
pengaruh yang kuat dari aktivitas vulkanik Krakatau. Hal ini
diperlihatkan dari data kandungan suspensi yang mempunyai nilai
yang cukup besar disekitar stasiun 6 dibandingkan dengan stasiun
pengamatan yang lain, yaitu sebesar 25 gr/l. Pada stasiun 7 (Teluk
Miskam) pengaruh kuat dari daratan terlihat dengan nilai kandungan
suspensi yang cukup besar dibanding stasiun lain. Analisa kandungan
suspensi memperlihatkan kandungan suspensi sebesar 19 gr/l. Hal ini
dipengaruhi oleh masukkan dari sungai Ciliman dan Cibungur serta
pola arus yang mengalir sepanjang Teluk. Data distribusi salinitas
mengindikasikan Perairan Selat Sunda mendapat pengaruh kuat dari
daratan, yang ditunjukkan dengan harga salinitas yang rendah di
stasiun 2.