TUGAS PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA PERTEMUAN KE 13 NAMA : Jihan Zaelani NIM :1824090023 HARI KULIAH : Selasa, 16.10 - 18.40 NAMA DOSEN : TATIYANI, Dra, MSi. FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA
TUGAS PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
PERTEMUAN KE 13
NAMA : Jihan Zaelani
NIM :1824090023
HARI KULIAH : Selasa, 16.10 - 18.40
NAMA DOSEN : TATIYANI, Dra, MSi.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA
Tugas :
1. Jelaskan keterkaitan antara budaya dan organisasi
2. Jelaskan keterkaitan antara budaya dan perilaku abnormal
3. Jelaskan keterkaitan antara budaya dan konseling
Jawaban
1) Pengertian budaya organisasi
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut beberapa
ahli :
a. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391),
budaya organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan
oleh organisasi dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu
sendiri.
b. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263),
budaya organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi
berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada
bagian-bagian organisasi.
c. Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi
bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
d. Menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yan
diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah,
membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan
mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada
anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam
mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
e. Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi merupakan
sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan
cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan budaya organisasi dalam penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang
dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara
bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.
f. Menurut Mangkunegara, (2005:113), budaya organisasi adalah seperangkat
asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam
organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya
untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Dari beberapa pengertian dari ahli diatas maka dapat dikatakan bahawa
budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh
para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi
lainnya. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang
dijunjung tinggi oleh organisasi.
Budaya organisasi juga berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami
karakteristik budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah
karyawan menyukai karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu
sikap deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif.
2. Pentingnya budaya organisasi
Pemahaman budaya organisasi sebagai kesepakatan bersama
mengenai nilai-nilai yang mengikat semua individu dalam sebuah
organisasi seharusnya Menentukan batas-batas normatif perilaku
angoota organisasi. Secara spesifik, peranan budaya organisasi adalah
membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi, menciptakan
jatidiri anggota organisasi, menciptakan keterikatan emosional antara
organisasi dan karyawan yang terlibat di dalamnya, membantu
menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial dan menemukan
pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang
terbentuk dalam keseharian. Dengan demikian budaya organisasi
berpengaruh kuat terhadap perilaku para anggotanya.
Sembilan karakteristik yang menggambarkan esensi budaya organisasi,
menurut Dharma, 2004 :
Identitas anggota, dimana karyawan lebih mengidentifikasi
organisasi secara menyeluruh.
Penekanaan kelompok, dimana aktivitas tugas lebih diorganisir
untuk seluruh kelompok dari pada individu.
Fokus orang, dimana keputusan manajemen memperhatikan
dampak luaran yang dihasilkan oleh karyawan dalam organisasi.
Penyatuan unit, dimana unit-unit dalam organisasi didorong agar
berfungsi dengan cara yang terkoordinasi atau bebas.
Pengendalian, dimana peraturan, regulasi dan pengendalian
langsung digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan
karyawan.
Toleransi resiko, dimana pekerja didorong untuk agresif, kreatif,
inovatif dan mau mengambil resiko.
Kriteria ganjaran, dimana ganjaran seperti peringatan,
pembayaran dan promosi lebih dialokasikan menurut kinerja
karyawan dari pada senioritas, favoritisme atau faktor non-kinerja
lainnya;
Toleransi konflik, dimana karyawan didorong dan diarahkan untuk
menunjukkan konflik dan kritik secara terbuka.
Orientasi sarana tujuan, dimana manajemen lebih terfokus pada
hasil atau luaran dari pada teknik dan proses yang digunakan
untuk mencapai luaran tersebut.
Fokus pada sistem terbuka, dimana organisasi memonitor dan
merespons perubahan dalam lingkungan eksternal.
Karateristik diatas memberikan gambaran mengenai budaya yang
dianut. hal ini menjadi landasan untuk menyamakan pemahaman bahwa
anggota organisasi merasa memiliki organisasinya dan mendorong
anggota organisasi agar berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma
yang dianut organisasi dan hal tersebut tentu saja dapat memberikan
manfaat bagi organisasi.
Selain memberikan manfaat bagi organisasi, pentingnya budaya
organisasi juga terlihat dari fungsi-fungsi budaya organisasi itu sendiri,
berikut beberapa fungsi dari budaya organisasi menurut beberapa ahli
sebagai berikut :
Menurut Robbins (1996 : 294)
1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi
dan yang lain.
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota
organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih
luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan
organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk
dilakukan oleh karyawan.
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang
memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Ndraha (1997 : 21)
1. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat
2. Sebagai pengikat suatu masyarakat
3. Sebagai sumber
4. Sebagai kekuatan penggerak
5. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah
6. Sebagai pola perilaku
7. Sebagai warisan
8. Sebagai pengganti formalisasi
9. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan
10. Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan negara
sehingga terbentuk nation – state
Tika (2006:14)
1. Sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi maupun
kelompok lain. Batas pembeda ini karena adanya identitas tertentu yang
dimiliki oleh suatu organisasi atau kelompok yang tidak dimiliki
organisasi atau kelompok lain.
2. Sebagai perekat bagi anggota organisasi dalam suatu organisasi. Hal
ini merupakan bagian dari komitmen kolektif dari anggota organisasi.
Mereka bangga sebagai seorang pegawai suatu organisasi atau
perusahaan. Para pegawai mempunyai rasa memiliki, partisipasi, dan
memiliki rasa tanggung jawab atas kemajuan perusahaannya.
3. Mempromosikan stabilitas sistem sosial. Hal ini tergambarkan dimana
lingkungan kerja dirasakan positif, mendukung, dankonflik serta
perubahan diatur secara efektif.
4. Sebagai mekanisme dalam memandu dan membentuk sikap serta
perilaku anggota-anggota organisasi. Dengan dilebarkannya mekanisme
kontrol, didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim-tim dan diberi
kuasanya anggota organisasi oleh organisasi, makna bersama yang
diberikan oleh suatu budaya yang kuat memastikan bahwa semua orang
diarahkan kearah yang sama.
5. Sebagai integrator. Budaya organisasi dapat dijadikan integrator
karena adanya sub-sub budaya baru. Kondisi seperti ini biasanya dialami
oleh adanya perusahaan-perusahaan besar dimana setiap unit terdapat
sub budaya baru.
6. Membentuk perilaku bagi anggota-anggota organisasi. Fungsi ini
dimaksudkan agar anggota-anggota organisasi dapat memahami
bagaimana mencapai suatu tujuan organisasi.
7. Sebagai saran untuk menyelesaikan masalah-masalah pokok
organisasi. Budaya organisasi diharapkan dapat mengatasi masalah
adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan masalah integrasi internal.
8. Sebagai acuan dalam menyusun perencanaan pemasaran,
segmentasi pasar, penentuan positioning yang akan dikuasai
perusahaan tersebut.
9. Sebagai alat komunikasi. Budaya organisasi dapat berfungsi sebagai
alat komunikasi antara atasan dan bawahan atau sebaliknya, serta antar
anggota organisasi. Budaya sebagai alat komunikasi tercermin pada
aspek-aspek komunikasi yang mencakup kata-kata, segala sesuatu
yang bersifat material dan perilaku.
10. Sebagai penghambat berinovasi. Budaya organisasi dapat juga
menjadi penghambat dalam berinovasi. Hal ini terjadi apabila budaya
organisasi tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang menyangkut
lingkungan eksternal dan integrasi internal.
Dari beberapa fungsi budaya organisasi yang dikemukakan oleh
beberapa ahli diatas maka dapat dikatakan bahwa budaya organisasi
memiliki sejumlah fungsi yang dapat menjadi landasan betapa
pentingnya budaya organisasi sebagai berikut.
1. Batas Budaya berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, budaya
menciptakan perbedaan atau yang membuat unik suatu organisasi dan
membedakannya dengan organisasi lainnya.
2. Identitas Budaya memuat rasa identitas suatu organisasi.
3. Komitmen Budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu
yang lebih besar daripada kepentingan individu.
4. Stabilitas Budaya meningkatkan stabilitas sistem sosial karena budaya
adalah perekat sosial yang membantu menyatukan organisasi dengan
cara menyediakan standar mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan
dilakukan karyawan.
3. Tipe-tipe budaya organisasi
Harrison dalam (Haynes, 1980: 120), mengklasifikasikan empat (4) tipe
budaya yang dominan di dalam suatu organisasi yaitu:
power culture,
role culture,
task culture, dan
person culture,
Teori tersebut terus berkembang, sehingga pengklasifikasian budaya
organisasi mengalami perubahan menjadi
power orientation,
role orientation,
achievement orientation, dan
support orientation.
Harrison mengemukakan, pada saat orang-orang berkumpul di dalam
suatu organisasi, mereka akan membentuk persepsi terhadap budaya
organisasi dimana mereka berada sesuai dengan apa yang dilihat dan
dirasakannya.
Masih menurut Harrison, suatu budaya organisasi dikatakan berorientasi
kepada kekuasaan (power orientation) bila anggota organisasi
ditumbuhkan motivasinya melalui imbalan dan hukuman, dan adanya
pengawasan yang ketat seorang pimpinan terhadap bawahannya.
Menurut Sonnenfeld dari Universitas Emory (Robbins, 1996 :290-291),
ada empat tipe budaya organisasi:
1. Akademi Perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas,
memberi mereka pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan
mereka dalam suatu fungsi yang khusus. Perusahaan lebih menyukai
karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam menghadapi dan
memecahkan suatu masalah.
2. Kelab Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi
tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat
menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Perusahaan juga menyukai
karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi serta
mengutamakan kerja sama tim.
3. Tim Bisbol Perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan
inovator, perusahaan juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh
karyawan, perusahaan juga lebih menyukai karyawan yang agresif.
Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala
usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan insentif finansial
yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat
berprestasi.
4. Benteng Perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang
sudah baik. Menurut Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat
dengan rapi dikategorikan dalam salah satu dari empat kategori karena
merek memiliki suatu paduan budaya atau karena perusahaan berada
dalam masa peralihan.
Tipe Budaya menurut Stephen Robbins (2006)
Networked culture adalah anggota sebagai teman/keluarga.
Budaya ini ditandai tingkat sosiabilitas atau kesenangan bergaul
tinggi dan tingkat solidaritas rendah
Mercenary culture adalah organisasi fokus pada tujuan. Tingkat
sosiabilitas rendah dan tingkat solidaritas tinggi
Fragmented culture adalah organisasi yang dibuat oleh para
individualis (low sociability, low on solidarity)
Communal culture adalah organisasi menilai baik persahabatan
dan kinerja (high on sociability, high on solidarity)
4. Dampak Budaya Organisasi
Kesinambungan organisasi sangat tergantung pada budaya yang
dimiliki, budaya organisasi dapat dapat memberikan dampak sebagai
daya saing andalan organisasi
dalam menjawab tantangan dan perubahan. Budaya organisasi pun
dapat berfungsi sebagai rantai pengikat dalam proses menyamakan
persepsi atau arah pandang anggota terhadap suatu permasalahan,
sehingga akan menjadi satu
kekuatan dalam pencapaian tujuan organisasi.
Beberapa dampak budaya organisasi dalam (Sikuyagora 2010) yaitu:
1. Budaya organisasi membentuk perilaku staf dengan mendorong
pencampuran core values dan perilaku yang diinginkan sehingga
memungkinkan organisasi bekerja dengan lebih efisien dan efektif
meningkatkan konsistensi, menyelesaikan konflik dan memfasilitasi
koordinasi dan kontrol.
2. Budaya organisasi membatasi peran yang membedakan antara
organisasi yang satu dengan organisasi lain karena setiap organisasi
mempunyai peran yang berbeda, sehingga perlu memiliki akar budaya
yang kuat dalam sistem dan kegiatan yang ada di dalamnya,
3. Menimbulkan rasa memiliki identitas bagi anggota; dengan budaya
yang kuat anggota organisasi akan merasa memiliki identitas yang
merupakan ciri khas organisasinya,
4.Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepenting
an individu, Menjaga stabilitas organisasi; komponen-
komponen organisasi yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang
sama akan membuat kondisi internal organisasi relatif stabil.
Keempat manfaat tersebut menunjukkan bahwa budaya dapat
membentuk perilaku dan tindakan karyawan dalam menjalankan
aktivitasnya. Oleh karena itu, nilai-nilai yang ada dalam organisasi perlu
ditanamkan sejak dini pada diri setiap anggota.
2) Penelitian lintas-budaya selama bertahun-tahun memberikan banyak bukti bahwa perilaku
abnormal atau psikopatologi memiliki kedua aspek universal dan budaya khusus. Berikut
perbandingan beberapa karakteristik abnormalitas psikologis dengan latar kultur yang
berbeda.
Schizofrenia Depresi Somatisasi
Definisi: Distorsi realitas, penarikan dari interaksi sosial, disorganisasi persepsi, pikiran, dan
emosi. Gejala: kehilangan insight, halusinasi verbal dan auditory, dan ideas of reference
(WHO,1977).
Prevalensi:
1,1% di AS Karakteristik:
– Fisik (gangguan tidur/nafsu makan)
– Perubahan motivasi
( apati, bosan)
– Perubahan emosi& perilaku:
(sedih, putus asa, hilang energi). Definisi:
Gejala fisik sebagai ekspresi ketegangan psikis.
Gejala:
– Low Back Pain
– Gangguan Saluran Cerna
Perbedaan (International Pilot Study of Schizofrenia, WHO):
1. Di negara maju (AS, Inggris, Uni Sovyet):
– Gejala utama penarikan diri, dan pasif
– Penderita lebih lambat sembuh
– Jarang dapat bekerja kembali
(dukungan keluarga)
2. Di negara berkembang ( India, Nigeria,Colombia ):
-Gejala utama kehilangan insight, dan halusinasi auditori
– Penderita lebih cepat sembuh
– Lebih cepat bekerja kembali
(pengaruh faktor budaya seperti:dukungan keluarga dan komunitas)
Wanita lebih sering terkena dibanding pria (2x lipat) tanpa melihat perbedaan ras, etnis,
sosialekonomi, dan budaya.
Prevalensi:
Kore Utara 3,3%, Lebanon 4,9 %, Iran 6,2%, dan 12,6 persen di New Zealand. Masyarakat
komunal (Cina, Jepang, Hispanik, Arab) lebih banyak penderita dibanding masyarakat
individualistic (barat).
Expressed Emotion (komunikasi keluarga dengn ciri permusuhan, penuh kritik, dan
keterlibatan berlebih):
– Di negara Barat : resiko makin meningkat dg tingginya EE
– Di Malaysia: EE tidak berpengaruh
Penelitian WHO, 1983:
Gejala sama di beberapa negara (Kanada, Swiss, Iran, dan Jepang): sedih, kehilangan
kegembiraan, cemas, kehilangan energi, kehilangan minat, ketegangan, kehilangan
konsentrasi, ide insufisiensi, ide bunuh diri) Perbedaan:
Perbedaan fisafat,
Barat : dikotomi mind-body
Timur (Cina, Jepang):
Filsafat keseimbangan holistik pikiran dan tubuh.
Psikiater AS lebih mudah memberikan diagnosis schizofren dibanding Inggris (Leff, 1977)
(bias rasial)
Rasio penderita schizofrenia:
– Afro Amerika: Hispanik: White= 4:3:1 (AS)
– Afro-Caribbean> White
(Inggris)
Variasi luas ekspresi:
– Barat: kesepian dan isolasi (kultur individualistic)
– Kultur komunal (somatic)
– Nigeria: sedikit gejala perasaan ekstrim tak berharga dan rasa bersalah.
– Hopi Indian: cemas, sakit, dan patah hati
– Cina :
Gejala somatic (nyeri kepala)
– Uganda:
Bersifat kognitif (berpikir terlalu banyak) dibanding emosi
3. SINDROM TERIKAT BUDAYA (CULTURE-BOUND SYNDROME)
Meski studi lintas budaya menyatakan karakteristik schizofrenia dan depresi bersifat
universal atau etik, beberapa studi etnografi melaporkan adanya sindrom terikat budaya
(culture-bound syndrome) yang mendukung relativisme budaya dalam kaitan dengan definisi
abnormalitas. Dengan menggunakan pendekatan emik (culture-specific) para antropolog dan
psikiatris telah mengidentifikasi beberapa bentuk unik gangguan psikologis. Pola gangguan
tidak sesuai dengan kriteria diagnostik gangguan psikologi dalam klasifikasi Barat.
Beberapa sindrom terikat budaya antara lain dalam DSM-IV (Matsumoto&Juang, 2008;
Sue&Sue, 2003):
a. Sinbyong (spirit-sickness) di Korea, yang terjadi ketika seorang wanita dipercaya direkrut
roh untuk menjadi shaman (seorang penyembuh/dukun).
b. Amok, teridentifikasi di beberapa negara (Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Tahiland).
Gangguan ini ditandai dengan marah tiba-tiba dan agresi membunuh. Hal ini diduga
disebabkan oleh stres, kurang tidur, dan konsumsi alkohol (dan terutama pada laki-laki.
c. Anoreksi Nervosa
Awalnya teridentifikasi di Barat tetapi kemudia berkembang di negara dunia ketiga seperti
Hong Kong, Korea, Singapura, dan Cina (Sue&Sue, 2003) meski kriteria khusus mungkin
sedikit berbeda antara kelompok-kelompok budaya yang berbeda. Gangguan ini ditandai
dengan citra tubuh yang terdistorsi, takut menjadi gemuk, dan hilangnya berat badan yang
cepat akibat menahan dari makan makanan atau memuntahkankan makanan dengan sengaja
(bulimia). Kemungkinan penyebab yaitu penekanan pada budaya kurus sebagai ideal untuk
wanita, mengecilnya peran gender, dan ketakutan seseorang berada di luar kendali atau
mengambil tanggung jawab orang dewasa.
d. Ataque de nerviosa (Amerika Latin).
Gejala meliputi gemetar, berteriak tak terkendali, menangis kuat, panas di dada naik ke
kepala, dan pusing.
e. Zar (imigran Etiopia di Israel)
Zar adalah kondisi kesadaran yang berubah akibat pengaruh roh Zar, dengan gejala gerakan
tak disadarai, bisu dan tak bergerak/mutism, atau bahasa yang tidak dimengerti.
f. Whakama (suku Maori, New Zealand)
Adalah rasa malu, rendah diri, tidak mampu, ragu, malu, kesopanan yang berlebihan, dan
penarikan diri (Sachdev, 1990).
g. Sinking Heart (budaya Punjabi)
Berupa sensasi fisik di jantung atau dada, diduga disebabkan oleh panas yang berlebihan,
kelelahan, cemas, atau kegagalan sosial.
h. Avanga (budaya Tonga)
Berupa gangguan hubungan, dengan gejala spesifik, persahabatan imajiner yang penuh
semangat dengan roh/arwah tunggal.
i. Susto (India dari dataran tinggi Andes)
Ditandai dengan depresi dan sikap apatis yang mencerminkan “hilangnya jiwa”.
Di Indonesia, culture-bound sindrom disebut sebagai fenomena dan sindrom yang yang
berkaitan dengan faktor sosial budaya (PPDGJ III, 1985).
Beberapa fenomena dan sindrom yang telah dikenal dalam masyarakat Indonesia, secara
garis besar dibagi dalam dua golongan besar:
• Yang tidak digolongkan sebagai gangguan jiwa karena tidak memenuhi definisi gangguan
jiwa, misalnya keadaan kemasukan roh/kesurupan yang merupakan bagian upacara
keagamaan atau tradisi setempat.
• Yang tergolong sebagai gangguan jiwa karena memenuhi kriteria gangguan jiwa, dibagi
dua kelompok:
1. Fenomena atau sindrom yang merupakan gejala atau nama lain dari gangguan jiwa
spesifik’
Contoh:
• Kesurupan/kemasukan
Suatu keadaan perubahan kesadaran dengan tanda-tanda disosiatif, yang dapat dikategorikan
kepribadian ganda atau gangguan disosiatif tidak khas. Kondisi ini dapat dianggap serangan
akut gangguan psikotik misalnya gangguan schizofreniform dengan perubahan kesadaran.
• Babainan.
Fenomena di Bali, dengan perubahan kesadaran, tingkah laku agitatif, mendadak, disertai
kebingungan, halusinasi, dan gejolak emosi. Kondisi ini sering dianggap kemasukan roh.
Kondisi ini dapat dikategorikan gangguan disosiatif.
• Koro
Ketakutan mendadak menghilangnya alat kelamin disertai keadaan panik, umumnya pada
laki-laki (bertaraf waham). Dapat dianggap gejala gangguan psikotik schizophrenia atau
gangguan schizophreniform.
• Kena Guna-Guna
Keyakinan bertaraf waham bahwa dirinya dikuasai kekuatan adikuasa atau gaib, yang
baisanya berniat jahat terhadap kesehatan atau kehidupannya. Seringkali merupakan suatu
waham aneh atau dikendalikan (delision of being controlled) yang dapat dikategorikan dalam
diagnostik A dari kelompok schizophrenia.
2. Fenomena atau sindrom yang merupakan gangguan jiwa spesifik
• Latah
Reaksi terkejut yang terjadi berulangkali dan menetap, berupa penggunaan kata-kata atau
kalimat (biasanya kata kotor yang berkaitan dengan alat kelamin laki-laki (koprolalia) secara
berulang dan beruntun, dan terjadi tanpa pengendalian. Kondisi ini dapat disertai perbuatan
atau gejala meniru gerakan orang lain atau menjalankan instruksi tertentu secara automatic
tanpa pengendalian. Berlangsung minimal 6 bula, disertai penderitaan mendalam akan
kondisinya. Diagnosis banding gangguan kepribadian histrionic (histerik).
• Amuk
Suatu episode tunggal dari kegagalan menekan impuls, yang mengakibatkan suatu tindak
kekerasan yang ditujukan keluar sehingga mengakibatkan malapetaka bagi orang lain,
sebelumnya tak dijumpai tanda impuls atau agresivitas umum. Derajat agresivitas sangat
hebat dibandingkan dengan stressor sebagai faktor pencetus. Tidak disebabkan skizofrenia,
gangguan kepribadian antisosial, gangguan tingkah laku, atau gangguan eksplosif intermiten.
Dijumpai di negara lainnya dengan nama “krisis katatimik”.
Hal penting dari mempelajari sindrom terikat-budaya, adalah bahwa perlu untuk
mempertimbangkan nilai-nilai budaya, kepercayaan, praktik, dan situasi sosial dalam
menentukan apakah seseorang mengalami gangguan atau tidak (perilaku abnormal).
4. PENILAIAN (ASSESMENT) PERILAKU ABNORMAL
Penilaian atau assesment perilaku abnormal meliputi identifikasi dan gambaran gejala
individu dalam konteks yang lebih luas dari fungsi keseluruhan nya, riwayat hidup, dan
lingkungan (Carson et al., 1988). Alat dan metode penilaian harus peka terhadap budaya dan
pengaruh lingkungan lain yang mempengaruhi perilaku dan fungsi. Saat ini dari data
kepustakaan mengenai teknik standar penilaian menunjukkan bahwa mungkin ada masalah
bias atau ketidakpekaan ketika tes psikologis dan metode yang dikembangkan dalam satu
konteks budaya digunakan untuk menilai perilaku dalam konteks budaya yang berbeda.
Dalam menilai/assesment perilaku abnormal, psikolog berusaha untuk mengklasifikasikan
perilaku abnormal ke dalam kategori diagnosis yang reliabel dan valid. Karena budaya
memberi pengaruh pada definisi perilaku abnormal, isu-isu lintas-budaya muncul terkait
keandalan dan validitas diagnosis, dan bahkan kategori diagnostik yang digunakan. Jika
semua perilaku abnormal sepenuhnya etik dalam ekspresi mereka dan presentasi-yaitu
sepenuhnya sama di seluruh kebudayaan-kemudian menciptakan kategori diagnostik yang
handal dan valid, hal ini tidak menjadi masalah. Namun, sebagaimana individu berbeda
dalam ekspresi abnormalitas, kebudayaan juga bervariasi; dan beberapa sindrom terikat-
budaya memang terbatas hanya dalam satu atau beberapa kebudayaan.
Salah satu sistem yang paling banyak digunakan saat ini adalah klasifikasi American
Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistic Manual Mental Disorders (DSM). DSM,
pertama kali diterbitkan pada tahun 1952, telah mengalami beberapa revisi besar dan
sekarang dalam edisi keempat (DSM-IV-TR). Beberapa perubahan dalam DSM III-IV
merupakan tanggapan atas kritik oleh psikiater lintas-budaya. Sejumlah besar gangguan yang
dijelaskan dalam manual berbeda atau sama sekali tidak ada dalam masyarakat dan budaya di
luar dunia Barat. Sebanyak 80% penduduk dunia tidak termasuk dalam lingkup budaya
Barat.
Untuk mengatasi kritik-kritik ini, beberapa modifikasi dibuat untuk DSM-IV-TR untuk
meningkatkan sensitivitas budaya: (1) memasukkan informasi bagaimana manifestasi klinis
dari gangguan dapat bervariasi menurut latar budaya; (2) memasukkan 25 sindrom budaya-
terikat dalam lampiran; dan (3) menambahkan panduan penilaian mendalam tentang latar
belakang budaya individu, termasuk ekspresi budaya dari gangguan individu, faktor budaya
yang berhubungan dengan fungsi psikososial dalam konteks tertentu budaya individu , dan
perbedaan budaya antara klinisi dan individu
Klasifikasi lainnya adalah sistem klasifikasi The International Classification of Diseases, 10
th editions (ICD-10) yang disusun WHO. Sayangnya, ulasan terhadap ICD-10 (misalnya oleh
Alarcon, 1995) menunjukkan bahwa ICD-10 gagal mengenali pentingnya budaya dalam
mempengaruhi ekspresi dan presentasi gangguan/penyakit. Untuk mengatasi masalah
kurangnya pertimbangan budaya dalam penilaian gangguan mental, diciptakan sistem
diagnostik lokal. Salah satunya The Chinese Classification of Mental Disorders (CCMD),
sangat dipengaruhi oleh DSM-IV dan ICD-10 namun memiliki fitur-budaya spesifik yang
tidak ada dalam sistem internasional. Edisi terbaru, yang CCMD-3, direvisi tahun 2001.
Manual ini memasukkan gangguan yang khas budaya Cina dan tidak memasukkan gangguan
yang tidak relevan (sepertisibling-rivalry akibat kebijakan satu-anak). Pada pertengahan
1980-an, tiga psikiater Afrika mengembangkan sebuah buku pegangan bagi para praktisi
Afrika Utara (Douki, Moussaoui, & Kaca, 1987). Indonesia mengembangkan panduan
diagnosis gangguan mental yaitu Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ), yang saat ini telah mencapai edisi ketiga. Didalamnya dimasukkan culture-bound
syndrome yaitu fenomena dan sindrom yang yang berkaitan dengan faktor sosial budaya.
Masalah dalam penilaian ditemukan dalam mempelajari skizofrenia dan depresi dalam
berbagai budaya yang menggambarkan keterbatasan metode penilaian tradisional. Dalam
survei di Yoruba di Nigeria, diagnosis skizofrenia, menunjukkan bias etnosentris, sehingga
harus memasukkan gejala budaya spesifik seperti rasa ” kepala yang membesar dan daging
angsa”. Demikian juga instrument untuk mengukur gangguan depresi mungkin juga
kehilangan ekspresi budaya penting dari gangguan di Afrika dan Indian, karena gagal untuk
menangkap suasana hati dysphoric pendek tapi akut yang kadang-kadang dilaporkan oleh
Hopi Indian. Child Behavior Checklist (CBCL; Achenbach, 2001) yang digunakan untuk
menilai masalah emosi dan perilaku anak-anak di berbagai bagian dunia, termasuk Thailand,
Kenya, Amerika Serikat, Cina, dan Israel menemukan bahwa anak-anak Amerika cenderung
menunjukkan perilaku kurang terkendali (“perilaku eksternalisasi” seperti bertindak diluar
batas dan agresi) yang lebih tinggi daripada perilaku overcontrolled (” perilaku internalisasi”
sepertitaku dan somatisasi) dibandingkan dengan anak-anak dari budaya lain, khususnya
kolektivistik. Namun, sebuah studi pada orangtua American Indian (Dakota / Lakota) untuk
menilai akseptabilitas dan kelayakan penggunaan CBCL dalam budaya mereka menemukan
bahwa beberapa pertanyaan yang sulit untuk dijawab orangtua, karena tidak
memperhitungkan budaya nilai-nilai atau tradisi, dan karena orang tua percaya bahwa
tanggapan mereka akan disalahartikan oleh anggota dari budaya yang dominan, yang tidak
memiliki pemahaman yang baik tentang budaya Dakotan / budaya Lakotan (Oesterheld,
1997).
Beberapa peneliti menyarankan pentingnya menguji sistem penyembuhan adat atau
indigenous healing system, untuk budaya tertentu. Penilaian terhadap sistem penyembuhan
adat seharusnya dapat meningkatkan perencanaan strategi pengobatan, salah satu tujuan
utama dari penilaian tradisional (Carson et al., 1988).
Penelitian lain menemukan bahwa latar belakang budaya terapis dan klien dapat
berkontribusi dengan persepsi dan penilaian kesehatan mental. Penelitian oleh Li-Repac
(1980) mengevaluasi peran budaya dalam pendekatan diagnostik terapis. Dalam studi ini,
klien laki-laki Cina-Amerika dan Eropa-Amerika diwawancarai dan direkam, kemudian
dinilai oleh terapis laki-laki Cina-Amerika dan Eropa-Amerika pada tingkat fungsi
psikologis. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh interaksi antara latar belakang budaya
terapis dan klien pada penilaian para terapis terhadap klien. Klien Cina-Amerika dinilai
sebagai canggung, bingung, dan gugup oleh terapis Amerika Eropa, namun klien yang sama
dinilai sebagai beradaptasi, yang jujur, dan ramah oleh terapis Cina-Amerika. Sebaliknya,
klien Amerika Eropa dinilai sebagai tulus dan mudah bergaul dengan terapis Amerika Eropa,
tapi agresif dan memberontak oleh terapis Cina-Amerika. Selain itu, klien Cina-Amerika
dinilai lebih tertekan dan kurang sosialisasi oleh terapis Amerika-Eropa, dan klien Amerika
Eropa dinilai lebih sangat-terganggu oleh terapis Cina Amerika.
Dua kesalahan yang sering dijumpai dalam penilaian abnormalitas yaitu overpatologi dan
underpatologi. Overpathologizing terjadi bila terapis kurang memahami latar belakang
budaya klien, sehingga memberikan penilaian perilaku patologis untuk perilaku yang
merupakan variasi normal dalam budaya individu tersebut, sedangkan underpathologizing
terjadi ketika seorang terapis tanpa pandang bulu menjelaskan perilaku klien sebagai terikat-
budaya, misalnya menghubungkan perilaku menarik diri dan ekspresi emosi datar sebagai
gaya komunikasi budaya yang normal padahal sebenarnya perilaku ini mungkin merupakan
gejala depresi.
3) Istilah budaya berasal dari kata “budaya”yanag berarti “pikiran, akal, budi,adat itiadat, sesuyi
yang sudah menjadi kebiasaan, sehingga sukar untuk diubah”. Kebudayaan itu sendiri berarti
“hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kesenian, kepercayaan dan
adat istiadat” ( kamus besar bahasa Indonesia, 1998:149). Menurut Koetjaraningrat (1997: 94)
menjelaskan budaya dapt dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia yang diperoleh dari hasil belajar dalam kehidupa masyarakat, yang dijadikan
milik manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu, tingkah laku individu sebgai anggota
masyarakat terkaib dengan budaya yang diwujudkan dalam berbagai pranata. Pranata tersebut
berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkahlaku manusia untuk memenuhi
kebutuhanya.
Manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh. Pengaruh
budaya terhadap kepribadian individu akan terlihat pada perilaku yang ditampilkan. Bagaimana
hubungan manusia dengan kebudayaan sebenarnya banyak dikaji dan dianalisis oleh ilmu
antropologi. Sedangkan bagaimana individu berperilaku akan banyak disoroti dari sudut tinjauan
psikologi. Manusia adalah miniatur kebudayaannya. Oleh karena itu, tingkah laku manusia perlu
dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang individu itu sendiri, melainkan juga dari sudut pandang
budayanya, outside dan within him (Kneller, 1978). Manusia adalah produk dan sekaligus pencipta
aktif suatu kelompok sosial, organisasi, budaya dan masyarakat. Sebagai produk, manusia
memiliki ciri-ciri dan tingkah laku yang dipelajari dari konteks sosialnya. Sebaliknya sebagai
pencipta yang aktif manusia juga memberikan kontribusinya kepada perkembangan budayanya
(Ritzer, Kammeyer, dan Yetman, 1979).
Pelayanan konseling hakikatnya merupakan proses pemberian bantuan dengan penerapkan
prinsip-prinsip psikologi. Secara praktis dalam kegiatan konseling akan terjadi hubungan antara
satu dengan individu lainnya (konselor dengan klien). Dalam hal ini individu tersebut berasal dari
lingkungan yang berbeda dan memiliki budayanya masing-masing. Oleh karena itu dalam proses
konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur budaya.
Keragaman budaya dapat menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan
komunikasi. Etnosetrisme mengacu pada adanya perasaan superior pada diri individu karena
kebudayaan atau cara hidupnya yang dianutnya dianggap lebih baik. Sedangkan bahasa adalah
simbol verbal dan nonverbal yang memungkinkan manusia untuk mengkomunikasikan apa yang
dirasakannya dan dipikirkannya. Apabila terjadi perbedaan dalam menginterpretasikan simbol-
simbol verbal dan nonverbal diantara dua orang atau lebih yang sedang berkomunikasi, maka akan
timbul persoalan.
Lebih jelas Clemon E. Vontres mengemukakan bahwa jika konselor dan klien merasakan
persamaan budaya meskipun sebenarnya secara budaya mereka berbeda maka interaksi tersebut
tidak boleh dinamakan konseling lintas budaya. Sebaliknya jika konselor dan klien secara budaya
sama tetapi masing-masing mereka merasa berbeda budaya maka interaksinya dapat dinamakan
lintas budaya.
Jadi dalam konseling lintas budaya, yang menjadi standar adalah interaksi yang terjadi dalam
hubungan konseling dan bagaimana interaksi dirasakan serta dihayati oleh konselor dan klien. Jika
dalam interaksi itu dirasakan adanya perbedaan-perbedaan secara budaya maka interaksi tersebut
dinamakan konseling lintas budaya. Dengan demikian dalam konseling lintas budaya perbedaan
antara konselor dan klien bukan hanya terletak pada adanya perbedaan bangsa saja, tetapi juga
mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas.