Top Banner
Makalah Pendekatan Keadilan Restoratif dalam penanganan anak pelaku Tindak Pidana dalam rangka mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang edukatif Oleh : Anang Purwono, SH A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan 1
29

Tugas Paper SPP Prof . Muladi MIH UNDIP 2014

Sep 27, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Makalah Pendekatan Keadilan Restoratif dalam penanganan anak pelaku Tindak Pidana dalam rangka mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang edukatifOleh : Anang Purwono, SH

A. Latar Belakang MasalahAnak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional.[footnoteRef:1] [1: Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal. 166]

Saat ini tingginya angka pelaku kejahatan pada kelompok usia anak di bawah 18 tahun membawa dampak bagi semakin besarnya jumlah anak yang akan masuk dalam proses peradilan yang selanjutnya akan menjalani beragam hukuman yang seringkali tidak sesuai dengan perkembangan psiko-sosial anak dan bahkan mengabaikan hak-hak anak. Di sisi lain beragam tindak kejahatan yang dilakukan anak diantaranya dipandang bukan suatu kejahatan murni karena perbuatan yang dilakukan oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu secara mandiri. Dalam banyak kasus, tampak jelas bahwa anak sebagai pelaku kejahatan seringkali juga sekaligus sebagai korban. Anak yang menjadi pelaku kejahatan seringkali menjadi korban lingkungannya korban ketidakberdayaan, dan korban dari sebuah sistem yang mengabaikannya. Karena itu pengadilan bukanlah jalan satu-satunya untuk menangani persoalan anak yang sedang berkonflik atau Anak yang Berhadapan dengan Hukum (selanjutnya disebut ABH).[footnoteRef:2] [2: YLBHI, Keadilan Restoratif bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), Jakarta : sebuah penelitan, 2011]

Beberapa contoh kasus Anak berhadapan dengan hukum (ABH) tapi tidak sampi di hadapkan ke peradilan dan sanksi pidana karena teridnikasi melakukan tindak pidana, diantaranya :1. Kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara. Proses hukum atas AAL pun tampak janggal. Ia didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Selama persidangan tak ada satu saksi pun yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi. Di persidangan Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai barang bukti itu adalah miliknya karena katanya ia memiliki kontak batin dengan sandal itu. Saat hakim meminta mencoba tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar. AAL memang dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada orangtuanya. Namun, majelis hakim memutus AAL bersalah karena mencuri barang milik orang lain.[footnoteRef:3] [3: Kejamnya Keadilan Sandal jepit (Kompas.com), Jumat 6 Januari 2012.]

2. Bocah berinisial RD diduga melakukan kejahatan seksual di Tugu Selatan, Koja, Jakarta Utara. Lima orang bocah sudah mengaku menjadi korban perbuatan RD Lima bocah itu adalah F (10), I (7), N (7), E (8), dan D (7). Dua di antara mereka adalah bocah perempuan, yaitu F dan E. Para orangtua korban melaporkan perbuatan RD ke Polres Metro Jakarta Utara. Sementara karena pelaku yang masih berusia 10 tahun kasus dugaan kejahatan seksual ini dilimpahkan Polres kepada pihak Lembaga Perlindungan Anak. Karena korban dan pelaku masih butuh perlindungan sehingga dilakukan mediasi secara kekeluargaan antara pihak keluarga korban dan keluarga pelaku yang merupakan bagian dari upaya diversi.[footnoteRef:4] [4: Bocah 10 tahun diduga cabuli teman sebaya di tugu Selatan Koja (Megapolitan Kompas.com), Sabtu 7 Juni 2014]

3. Kasus kematian Renggo Khadafi (11), pelajar SD 09 Makasar Jakarta Timur, pelajar kelas V SD ini meninggal di duga karena dianiaya SY (13) yang tidak lain adalah kakak kelas korban.[footnoteRef:5] Kepolisian mempertimbangkan pemberian sanksi kepada SY (13) Karena pertimbangan usia SY, untuk itu kepolisian dalam hal ini mengupayakan diversi untuk mereka (anak-anak di bawah umur) akan dikenai Undang-Undang Perlindungan Anak. Bentuk penyelesaiannya di luar persidangan yang dilakukan dengan pihak terkait seperti Komnas Anak dan KPAI.[footnoteRef:6] [5: Bocah SD dianiaya kakak kelasnya (lipsus Kompas.com), kamis 19 Juni 2014] [6: Upaya Diversi Hukum untuk Sanksi bagi Penganiaya Renggo (Kompas.com), Jumat 9 Mei 2014]

Melihat beberapa contoh kasus bisa dikatakan bahwa penjara hanya tepat untuk orang dewasa yang melakukan kejahatan. Anak tidak tepat masuk penjara karena akan mematikan harapan masa depannya. Ia adalah pribadi otonom yang sedang tumbuh, yang dibutuhkan adalah bantuan dan bimbingan. Peradilan yang tepat untuk pelaku delinkuensi anak adalah model keadilan restoratif yang bersifat memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga harmoni kehidupan tetap terjaga. Hukuman maksimal yang boleh mereka terima adalah pendidikan paksa. Model ini akan sungguh-sungguh terealisasikan apabila peradilan anak menjadi peradilan sistem peradilan tersendiri yang bukan menjadi bagian dari sistem peradilan pidana umum.Saat ini Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana yang kemudian disingkat UU SPPA. Undang-undang ini menggantikan Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak dikarenakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan keutuhan hukum masyarakat. Dimana di dalam UU SPPA ada namanaya pendekatan keadilan restoratif, sebagai suatu bentuk mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anaktanpa harus menjatuhi sanksi pidana. Nantinya ke depan dengan adanya pendekatan keadilan restoratif ini di harapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penanganan kasus anak pelaku tindak pidana. Konsep ini melibatkan semua pihak dalam rangka untuk perbaikan moral anak agar anak tidak lagi mengulangi perbuatannya namun anak tidak merasa menjadi seperti seorang pesakitan sehingga mempengaruhi perkembangan mental anakB. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka yang dirumuskan dan sampaikan dalam makalah ini adalah mengenai seperti apa perlindungan/konsep yang diberikan oleh Hukum melalui pendekatan restorative yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2102 tentang Sistem peradilan pidana anak. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :1. Bagaimana konsep Restorative Justice di dalam penyelesaiannya terhadap anak pelaku tindak pidana ?2. Apakah dengan pendekatan Restorative Justice Sistem Peradilan Pidana Indoesia mampu mewujudkan sebuah sistem pemidanaan bagi anak pelaku tindak pidana ke arah edukatif ?

C. Tujuan Penulisan MakalahSetiap penulisan tentunya memerlukan sumber refrensi, baik yang berupa kasus yang faktual sebagai contoh, tulisan atau pun pendapat para ilmuwan dan para praktisi mengenai teori-teori, pengertian dan jenis-jenisnya. Sehinga dapat tersusun secara komperensif, sistematis dan logis. Tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas pengganti Ujian Akhir Semester Sistem Peradilan Pidana sekaligus bertujuan untuk mengetahui dan memahami konsep pengaturan konsep Restorative Justice dapat diterapkan dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dialkukan oleh anak serta bentuk perwujudannya ke arah eduktaif.Pada dasarnya tugas ini dibuat sebagai wujud dari pertanggung jawaban saya atas tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Sistem Peradilan Pidana sebagai syarat untuk memenuhi aspek penilaian. Disisi lain tugas ini juga ditujukan untuk :1. Memahami konsep Restorative Justice yang dapat diterapkan dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak.2. Untuk mengetahui sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Mengenai konsep Restorative Justice dalam penyelesaian terhadap anak pelaku tindak pidana.1. Pengertian pendekatan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak di undangkan sebagai apresiasi terhadap ratifikasi Convention on the Rights of the Child (1989) yang mengatur prinsip perlindungan hukum khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-undang tersebut mencabut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan keutuhan hukum masyarakat. Undang-undang yang diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku pada tanggal 30 Juli 2014, secara luas mengatur restorative justice atau keadilan restorative yang diartikan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mecari penyelesaian yang adil dan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan.[footnoteRef:7] [7: Muladi, Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana dan Implementasinya dalam Sistem Peradilan Anak, Materi kuliah disampaikan pada S2 Magister Hukum UNDIP, Semarang 20 Desember 2014 hal 1]

Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana yang kemudian di singkat UU SPPA, Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Dalam rangka mewujudkan keadilan restoratif maka Undang undang tersebut mengatur adanya diversi dan mengutamakan pendekatan tindakan terhadap anak yang terbukti bersalah dibanding pemidanaan.Istilah restorative justice di ciptakan oleh seorang psikolog Albert Englash pada tahun 1977, dalam tulisannya tentang ganti rugi atau perampasan (reparation). Keadilan restoratif ini sangat peduli dengan usaha membangun kembali hubungan-hubungan setelah terjadinya tindak pidana, tidak sekedar memperbaiki hubungan antara pelaku dan masyarakat. Keadilan restoratif dikatakan oleh Sarre (2003) sebagai pertanda (hallmark) dari sistem pidana modern.[footnoteRef:8] [8: Umbret Mark S dkk, Restoratif Justice in the 21st Century : A Social Movement Full of Opportunities and Pitfalls, (Marquette Law Reviw, 2009) hal 259-263]

Keadilan restoratif tidak semata-mata menerapkan keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam sistem peradilan pidana yang besrifat permusuhan/perlawanan (adversial system), proses keadilan restoratif mencari sesuatu fasilitas dialog antara segala pihak yang terdampak oleh kejahatan, termasuk korban, pelaku, para pendukungnya, dan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini melibatkan suatu proses dimana semua pihak yang beresiko dalam kejahatan tertentu secara bersama-sama berusaha untuk menyelesaikan secara kolektif bagaimana menangani setelah terjadinya kejahatan dan imlikasinya di masa depan.[footnoteRef:9] Jadi secara hakikatnya keadilan restoratif pada dasrnya merupakan proses damai (peacefully resolved) yang melibatkan, sejauh mungkin, mereka yang memiliki peranan dalam suatu tindak pidana tertentu dan secara kolektif di identifikasikan menderita kerugian, dan sekligus mempunyai kebutuhan, serta kewajiban, dan dengan maksud sedapat mungkin untuk memulihkannya dan meperlakukannya sebaik mungkin.[footnoteRef:10] [9: Braithwaite, John, Rsetorative Justice and Regulation, (New York : Oxford Universit Press, 2002), hal 11 dan 69] [10: Op. Cit, Pendekatan Restorative Justice, materi kuliah S2 UNDIP]

Sesungguhnya telah cukup lama muncul gagasan penerapan restorative justice atau sekarang lazim diterjemahan sebagai keadilan restoratif . Banyak ahli hukum dan aktivis perlindungan anak yang melakukan kajian-kajian keadilan restoratif, tetapi karena belum ada satu Negara pun di dunia yang mempraktekkan secara utuh, ditambah dengan dominannya model non-restoratif maka beberapa pihak menamakan model ini sebagai sesuatu yang baru. Keadilan restoratif merupakan pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana yang mengemuka dalam kurun 30 tahun terakhir ini . Hal ini dikarenakan, keadilan restoratif dalam praktiknya berbeda dengan sistem yang sekarang ada, karena pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Di beberapa Negara maju, keadilan restoratif bukan sekedar wacana para akademisi dan praktisi hukum pidana dan kriminologi. Kemajuan tersebut dipicu oleh ledakan minat di perempat akhir abad yang lalu, yang kemudian menggelombang ke seluruh penjuru dunia.[footnoteRef:11] [11: Menuju restorative justice dalam sistem peradilan anak (artikel www.kpai.go.id) 4 Juni 2014]

Dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana menawarkan sebuah mekanisme yang dinamakan diversi (diversion) yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Proses di luar peradilan pidana ini biasanya berjalan dalam bentuk mediasi. Menurut Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, diversi dapat dilakukan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Diversi dapat dilakukan pada setiap tahap pemeriksaan mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan bahkan persidangan. Upaya diversi ini menurut UU SPPA wajib dilakukan oleh para penegak hukum berdasarkan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang tersebut.

2. Penerapan Restorative Justice Terhadap Anak Sebagai Pelaku KejahatanTerkait Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, permasalahannya adalah Undang-Undang ini tidak langsung berlaku ketika diundangkan. Undang-Undang tersebut baru berlaku dua tahun terhitung sejak tanggal diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012 sehingga baru berlaku pada tanggal 30 Juli 2014. Tidak langsung berlakunya Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberi waktu kepada para penegak hukum, pemerintah dan masyarakat untuk dapat memahami nilai-nilai baru yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut. Kondisi inilah yang menurut penulis membuat beberapa kasus pidana anak terjadi inkonsistensi dalam memberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan pada saat itu. Seperti pada kasus pencurian sendal oleh AAL, pada tahap awal hingga ke persidangan konsep diversi dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah diberlakukan sedangkan pada vonis, hakim tetap mempergunakan pendekatan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang pada saat itu masih berlaku. Penggunaan diversi pada proses awal kasus ini kurang tepat mengingat belum berlakunya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sedangkan Kasus kematian Renggo Khadafi yag dianiaya oleh kakak kelasnya, kasus tersebut tidak sampai ke meja pengadilan dikarenakan di sini kepolisian dalam hal ini juga mengupayakan diversi untuk mereka, dkarenakan pada saat itu perbuatan tindak pidananya dilakukan oleh anak yang dibawah umur dikenakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Bentuk penyelesaiannya di luar persidangan yang dilakukan dengan pihak terkait seperti Komnas Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Melihat kasus AAL dan Rhenggo Khadafi dimana di upayakan keadilan restoratif sementara di situ para penegak hukum masih berpedoman pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak yang undang-undang tersebut pada waktu itu belum mengatur mengeni pendekatan restoratif justice melalui diversi, tentunya perlu diketahui faktor apa saja yang menjadikan terobosan penegak hukum disni dalam hal menggunakan konsep restorative justice itu sendiri, diantaranya :a. Faktor Penegak Hukum Polri sebagai aparat penegak hukum diberikan mandat oleh undangundang untuk menegakkan hukum, disisi lain Polri juga diberi ruang untuk melakukan tindakan diskresi kepolisian berdasarkan penilaiannya sendiri untuk kepentingan umum. Dalam menangani kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku pidana memang diskresi Kepolisian diperlukan untuk menjembatani konsep keadilan restoratif, namun di sisi lain yang menjadi permasalahan adalah tidak semua anggota Polri memiliki kemampuan yang sama di dalam menilai suatu permasalahan.b. Faktor Hukum/Perundang-undanganSebagian peraturan yang berkaitan dengan penanganan terhadap anak yang melakukan tindak pidana sebenarnya sudah ada yang mengarah kepada penerapan konsep keadilan restoratif, namun belum secara komprehensif sehingga tidak membawa perubahan yang cukup baik bagi anak-anak yang tersangkut kasus pidana. Salah satu kelemahan yang terkandung dalam peraturan perundangan anak adalah belum memberikan alternatif mekanisme penerapan keadilan restoratif yang jelas untuk bisa menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum pada waktu ituc. Faktor MasyarakatMasyarakat dapat mempengaruhi penegakkan hukum dimanapun, hal ini dikarenakan penegakkan hukum itu berasal dari keinginan masyarakat dan bertujuan untuk mencari kedamaian di masyarakat. Dalam penerapan konsep restorative justice masyarakat merupakan salah satu pihak yang dapat terlibat langsung dalam merespon suatu tindak pidana disamping korban dan pelaku.d. Faktor Sarana dan PrasaranaPenanganan terhadap kasus anak yang melakukan tindak pidana yang pada saat itu diatur dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang merupakan pengkhususan dari peradilan umum untuk menyelenggarakan pengadilan anak, sehingga dalam prakteknya tidak mencerminkan peradilan yang lengkap bagi anak melainkan hanya mengadili perkara pidana anak, padahal tujuan dari sistem peradilan pidana adalah resosialiasi serta rehabilitasi anak dan kesejahteraan sosial anak.Restorative Justice merupakan reaksi terhadap teori retributif yang berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik yang berorientasi pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dalam teori retributif, sanksi pidana bersumber padea ide mengapa diadakan pemidanaan. Dalam hal ini sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (pengimbalan) yang sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu perbuatan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar, atau seperti dikatakan oleh J. E. Jonkers bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan. Sementara sanksi tindakan bersumber pada ide untuk apa diadakan pemidanaan itu. Jika dalam teori retributif sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah.[footnoteRef:12] [12: Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1984), hal 4]

Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab, keterbukaan, kepercayaan, harapan, penyembuhan, dan inclusivenes dan berdampak terhadap pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana dan praktisi hukum di seluruh dunia dan menjanjikan hal positif ke depan berupa sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat kejahatan dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan serta keadilan restoratif dapat terlaksana apabila fokus perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana, keprihatinan yang sama dan komitmen untuk melibatkan pelaku dan korban, mendorong pelaku untuk bertanggungjawab, kesempatan untuk dialog antara pelaku dan korban, melibatkan masyarakat.[footnoteRef:13] [13: Kesimpulan Seminar Nasional HUT Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke-59 dengan tema Restorative Justice dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta 25 April 2012.]

Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk Restorative Justice yaitu: The three principles that are involved in restorative justice include: there be a restoration to those who have been injured, the offender has an opportunity to be involved in the restoration if they desire and the court systems role is to preserve the public order and the communitys role is to preserve a just peace.[footnoteRef:14] [14: From Wikipedia, the free encyclopedia/http:/en.wikipedia.org/wiki/Restorative_justice diakses pada 26 Januari 2015]

Berdasarkan statement di atas, tiga prinsip dasar Restorative Justice adalah :a. Terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita kerugian akibat kejahatanb. Pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi)c. Pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.Restorative Justice tidak serta merta begitu saja diterapkan, tentunya perlu adanya pedoman dan standar yang dirumuskan pun harus jelas, dalam hal ini melalui responsive regulation berupa produk legislatif, yang mengatur penggunaan proses keadilan restoratif. Asas-asas yang dimuat dalam pedoman tersebut adalah :a. Kondisi kasus yang berkaitan diarahkan masuk dalam proses keadilan restoratifb. Penanganan kasus setelah masuk dalam proses keadilan restoratifc. Kualifikasi, pelatihan dan penilaian terhadap fasilitatord. Administrasi program keadilan restoratife. Standar kompetensi dan rules of conduct yang mengendalikan pelaksanaan keadilan restoratif.[footnoteRef:15] [15: Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Makalah Dalam Focus Group Discussion (FGD) Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Diselenggarakan oleh Puslitbang SHN BPHN, Jakarta, 26 Agustus 2013. Di BPHN Jakarta, hlm 7.]

Pendeketan Restoratif hadir sebagai bentuk teori modern yang berorientasi pada hukum perlindungan sosial yang harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Teori modern menolak konsepsi-konsepsi tentang tindak pidana, penjahat dan pidana serta menolak fiksi-fiksi yuridis dan tekhnik-tekhnik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Atas dasar doktrin ini, teori modern melahirkan apa yang disebut dengan istilah Restorative Justice.

B. Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indoesia sebagai bentuk sistem pemidanaan ke arah edukatif Dalam Artikel 37 Convention on The Rights of The Child huruf d disebutkan bahwa : penangkapan, penahanan dan pidana penjara hanya akan digunakan sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat / pendek. Ini berarti bahwa sebenarnya hukum international pun menganggap bahwa pidana penjara merupakan langkah terakhir yang ditempuh dalam menangani tindak pidana anak. Dan itupun dengan syarat dikenakan dalam jangka waktu tertentu yang sangat singkat.Pada Artikel 40 memuat prinsip-prinsip yang dapat dirinci sebagai berikut :[footnoteRef:16] [16: Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana,(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2005) Hal. 180-181.]

a. Tiap anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar hak pidana berhak diperlakukan dengan cara-cara :

Yang sesuai dengan kemajuan pemahaman anak tentang harkat dan martabatnya. Yang memperkuat penghargaan/penghormatan anak pada hak-hak asasi dan kebebasan orang lain Mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk memajukan/mengembangkan pengintegrasian kembali anak serta mengembangkan harapan anak akan perannya yang konstruktif di masyarakat.

Dari hal tersebut bisa dilihat memperlakuan anak sebagai pelaku tindak pidana tentunya berbeda dengan memperlakukan pelaku tindak pidana dewasa. Hal ini karena dipengaruhi oleh tingkat kematangan anak yang belum sempurna. Sebagai benteng dalam memperlakukan anak di hadapan hukum melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dalam Pasal 64 ayat (2) dicantumkan tentang perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui : 1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak2. Penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini3. Penyediaan saran dan prasarana khusus4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak5. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga7. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Oleh sebab itu diharapkan adanya Restorative Justice dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2002 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bisa menjadi suatu bentuk sistem pemidanaan yang edukatif untuk digunakan sebagai salah bentuk sistem pemidanaan yang ada sekarang ini. Dengan lebih memperhatikan hak-hak dan kewajiban anak, dan memberikan mereka dalam suatu tindakan (treatment) yang dapat memajukan atau mengembangkan pengintegrasian anak agar perannya didalam masyarakat dapat menjadi lebik baik. Treatment tersebut diberikan dengan cara menempatkan mereka pada lembaga-lembaga perawatan atau pembinaan dan bimbingan yang tidak hanya memberikan pendidikan dan latihan kerja, namun lembaga-lembaga kerohanian yang dapat memberikan perbaikan moral dan spiritual, sehingga perbaikan secara mental dapat lebih mudah dilaksanakan.Kedudukan anak yang dihukum dengan diserahkan kepada orang tua, lembaga perawatan atau pembinaan, balai latihan kerja, atau lembaga sosial, tidak dapat disebut sebagai gugurnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut dan atau dihapuskannya hak anak untuk menjalankan hukuman (penjara) dari anak tersebut. Anak-anak mempunyai hak untuk dibina agar dapat menjalankan kewajibannya sebagai warga Negara yang baik sehingga dengan pembinaan yang sedini mungkin dapat mencegah anak-anak melakukan tindak pidana yang lebih jauh.

BAB III PENUTUPKesimpulanSistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif, hal itu dipertegas daalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui pasal 5, selain itu keadilan restoratif disini menawarkan sebuah mekanisme yang dinamakan diversi yang menurut Pasal 1 ayat 7 yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Oleh karena itu peran penegak hukum serta partisipasi masyarakat sangat di harapkan dalam hal mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Anak Indoesia kerah sistem pemidanaan ke arah edukatif, karena pedoman aturannya sudah tidak lagi kaku dalam hal penangananannya. Sehingga masih bisa ditinjau dengan cara memperhatikan latar belakang, kepentingan anak dan dampak psikologis anak jika berhadapan dengan hukum. Dalam menerapkan sanksi pidana yang sifatnya edukatif memang tidaklah mudah, banyak hal yang mungkin menjadi hambatan dalam pelaksanaannya. Pada dasarnya tujuan hukum pidana itu sendiri adalah memberikan sanksi bagi para pelaku tindak pidana yang mempunyai fungsi untuk memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana tersebut, menurut hemat penulis masih ada alternatif lain selain harus menjatuhkan sanksi pidana yang perlu diperhatikan disini, karena perlu juga diperhatikan perlindungan dan kepentingan anak. Hal ini juga termasuk kesejahteraan anak yang tidak boleh diabaikan. Apabila kesejahteraan anak tidak diperhatikan maka akan merugikan anak itu sendiri terutama dalam memperoleh hak-haknya. Hak-hak anak dalam proses peradilan dapat dipahami sebagai suatu perwujudan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2005)

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1984)

Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997)

YLBHI, Keadilan Restoratif bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), (Jakarta : sebuah penelitan, 2011)

ARTIKEL & WEBSITE

Kesimpulan Seminar Nasional HUT Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke-59 dengan tema Restorative Justice dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta 25 April 2012.

Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Makalah Dalam Focus Group Discussion (FGD) Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Diselenggarakan oleh Puslitbang SHN BPHN, Jakarta, 26 Agustus 2013. Di BPHN Jakarta

Muladi, Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana dan Implementasinya dalam Sistem Peradilan Anak, Materi kuliah disampaikan pada S2 Magister Hukum UNDIP, Semarang 20 Desember 2014

http://www.hukumonline.com

http://www://kpai.go.id

1