BAB IPENDAHULUAN
A. Latar BelakangKorupsi merupakan salah satu tindak pidana
khusus yang memiliki aturan-aturan hukum pidana yang menyimpang
dari hukum pidana umum. Untuk mengatasi masalah korupsi, pemerintah
telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tindak pidana
korupsi bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi, tetapi juga dapat merugikan keuangan negara. Korupsi
sebagai tindak pidana khusus merupakan masalah yang sangat
mengganggu, menghambat dan mengancam pembangunan nasional karena
korupsi telah mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara serta menghambat pembangunan
nasional.[footnoteRef:2]) Apabila melihat sejarahnya ke belakang,
sejatinya praktek korupsi di negeri ini jauh terjadi sejak era
sebelum kemerdekaan, yaitu adanya pemberian upeti dari pemimpin
daerah atau para kepala desa kepada raja-raja yang berkuasa.
Upeti-upeti tersebut diserahkan untuk menunjukkan adanya ketaatan
antara bawahan kepada pemimpinnya. Juga untuk memberikan
perlindungan dari raja kepada pemimpin di daerah, baik secara fisik
berupa perlindungan hukum maupun nonfisik dalam bentuk pengakuan
kedaulatan. Hal ini kemudian dijadikan sebagai alat legitimasi dan
kebiasaan.[footnoteRef:3]) Menurut Simorangkir dkk, dalam kamus
hukum menyebutkan analisis adalah uraian, kupasan mengenai suatu
soal.[footnoteRef:4]) [2: ) Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LNRI Tahun 1999
Nomor 140; TLN 3874; Konsiderans Menimbang Huruf a ] [3: ) M. Iwan
Satriawan, Relasi Politik dan Korupsi, Lampungpos.com, 2 Juni 2012
dalam
http://www.lampungpost.com/index.php/opini/37362-relasi-politik-dan-korupsi-m-iwan-satriawan-dosen-hukum-tata-negara-universitas-lampung.html,
diunduh 11 September 2012.] [4: ) J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus
Hukum, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
hal.6]
Lambat laun praktek upeti dianggap sebagai sesuatu hal yang
wajar untuk dilaksanakan jika ingin dipermudah masalah
birokrasinya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Jika tidak
dilakukan, akan dianggap sebagai suatu hal yang aneh. Akhirnya,
semua praktek korupsi di negeri ini menjadi sebuah budaya yang
sangat sulit untuk dikurangi, bahkan dihilangkan sama sekali karena
sudah menjadi sebuah budaya.Akhir-akhir ini banyak politisi yang
terjerat kasus hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena
diduga melakukan kejahatan korupsi, mulai dari para kepala daerah,
pengurus partai politik, menteri, hingga anggota legislatif di
Senayan. Salah atunya adalah kasus yang menimpa Angelina Sondakh,
politisi Partai Demokrat yang diduga telah menerima uang suap dari
proyek Wisma Atlet.[footnoteRef:5]) [5: ) Ibid.]
Ketidakberdayaan hukum dihadapan orang kuat, ditambah minimnya
komitmen dari elit pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa
korupsi masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum
tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia
penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari
rakyat.[footnoteRef:6]) [6: ) Amin Rahayu, SS., Sejarah Korupsi di
Indonesia, http://mediakpkkudus.blogspot.com/, diunduh 15 Maret
2015.]
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun
hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Disadari memang upaya
untuk memberantas korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Banyak cara telah dilakukan oleh pemerintah, bahkan upaya
pemberantasan korupsi tersebut telah dilakukan jauh sejak masa
kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanyan 2
(dua) ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur tentang tindak pidana korupsi yang dihasilkan dalam kurun
waktu antara tahun 1960 sampai dengan tahun 1998, yaitu
Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Disamping kedua
peraturan perundang-undangan tersebut, untuk memberantas korupsi
juga telah dikeluarkan TAP MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme. Dengan adanya TAP MPR ini, maka amanat telah
diberikan negara kepada penyelenggara negara untuk memberantas
tindak pidana korupsi.Sejak dikeluarkannya TAP MPR tersebut, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan serangkaian undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU Tipikor). Selain upaya pemberantasan korupsi
yang dilakukan melalui penetapan peraturan perundang-undangan
tersebut di atas upaya lain yang dilakukan adalah dengan penetapan
pembayaran uang pengganti. Ketentuan uang pengganti ini muncul
pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu di dalam Pasal 34 sub c,
sebagai pidana tambahan. Pada penjelasannya disebutkan bahwa tujuan
dari pidana pembayaran uang pengganti adalah untuk mendapatkan
hasil yang maksimal dari usaha pengembalian kerugian negara atau
perekonomian negara. Kemudian undang-undang tersebut diganti dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi pada Pasal 18 huruf b juga mengatur masalah pidana
pengganti yang menyatakan bahwa pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi.Setiap orang yang menjadi terdakwa dalam
kasus tindak pidana korupsi ini selain mendapat pidana kurungan dan
pidana denda juga harus ada uang penggantinya sebagai ganti
kerugian negara atas kekayaan negara yang telah habis dipakai oleh
terdakwa korupsi. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi di
dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor ialah adanya kerugian keuangan
negara/perekonomian negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi
tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara
yang menjeratkan, tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian
negara yang telah dikorupsi. Hasi dari pengembalian kerugian negara
diharapkan mampu mentupi ketidakmampuan negara dalam membiayai
berbagai aspek yang sangat dibutuhkan. Penerapan uang pengganti
dalam perkara korupsi sampai saat ini masih mengalami hambatan
penerapannya. Hal ini dikarenakan masih kurang mendapat perhatian
serius karena masalahnya cukup rumit dan belum sempurnanya
perangkat undang-undang yang mengaturnya. Pada UU Tipikor tersebut
masih terkendala karena kurang lengkapnya pengaturan tata cara
peradilan tindak pidana korupsi dalam hal mengembalikan uang negara
yang dikorupsi. UU Tipikor hanya memuat sekelumit ketentuan
mengenai hukum acara khusus dalam pemberantasan korupsi, di samping
hukum acara yang diatur dalam KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal
26 UU No. 31 tahun 1999.[footnoteRef:7]) [7: ) Michael Barama, Uang
Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Perkara Korupsi, Makalah,
Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2011, hal.2.]
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Assegaf,
persoalan uang pengganti membuat repot, mengingat dalam UU Tipikor
memang tidak diatur uang pengganti yang tidak dapat dibayar
seluruhnya. Bagi Assegaf tidak adil apabila ahli waris terpidana
yang harus bertanggungjawab menanggung untuk uang pengganti.
Menurutnya, perhitungan konvensi lamanya pidana penjara dengan uang
pengganti terpidana korupsi yang masih tertunggak layak dilakukan.
Dengan demikian jika seseorang terpidana korupsi hanya mampu
membayar setengah uang pengganti kerugian negara yang menjadi
kewajibannya, maka setengah uang pengganti dapat dikonvensikan
setengah pidana penjara subsider yang mesti
ditanggung.[footnoteRef:8]) [8: ) Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang
Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing,
2010), hal.25. ]
Indriyanto Seno Aji[footnoteRef:9]) berpendapat bahwa dalam asas
hukum pidana, pembayaran uang pengganti yang tidak maksimal tidak
bisa diganti pidana subsider. Pidana subsider untuk uang pengganti
hanya diberikan bila terpidana tidak mampu membayar sama sekali.
Uang pengganti tersebut dimaksudkan untuk mengganti uang hasil
korupsi yang mungkin saja sudah dinikmati, baik semua maupun
sebagian. Uang yang bisa diselamatkan selanjutnya akan digunakan
untuk kesjahteraan rakyat. [9: ) Indriyanto Seno Aji, Arah
Peradilan Terpadu Indonesia Suatu Tinjauan Pengawasan Aplikatif dan
Praktek Dengan Mencari Format Pengawasan Dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, tanpa tahun), hal.
3.]
Meskipun demikian, hambatan yang ada tidak menyurutkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberantas segala bentuk tindak
pidana korupsi. Salah satu upayanya yaitu KPK menerapkan Pasal 18
UU Tipikor yang umumnya dikenakan pada pelaku yang melanggar Pasal
2 dan 3 UU Tipikor, yaitu yang dapat menyebabkan kerugian keuangan
Negara atau perekonomian Negara. namun pada kasus Angelina Sondakh,
KPK menerapkan Pasal 18 UU Tipikor sebagai terobosan baru untuk
memaksimalkan efek jera. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 18 UU Tipikor
jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Cara seperti ini merupakan langkah
progresif KPK untuk mengatasi kejahatan korupsi yang kategorinya
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).[footnoteRef:10]) [10:
) Anonim, Penggunaan Pasal 18 UU Tipikor Untuk Efek Jera, Sabtu, 8
September 2012,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt504b38e31d30e/penggunaan-pasal-18-uu-tipikor-untuk-efek-jera,
diunduh 9 September 2012.]
Mahkamah Agung (MA) telah memperberat hukuman terpidana kasus
korupsi Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan
Olahraga, Angelina Sondakh, dari empat tahun enam bulan penjara
menjadi 12 tahun penjara.Dalam putusan kasasi yang dikeluarkan MA
baru-baru ini juga menyatakan bahwa Mantan Anggota DPR dari Fraksi
Demokrat diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp12,58 milliar
dan 2,35 dolar Amerika atau sekitar Rp27,4 milliar.Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menilai putusan hakim MA
tersebut telah memberikan rasa keadilan dalam masyarakat. Putusan
seperti itu diharapkan lanjut Abraham dapat memberikan efek jera
terhadap koruptor yang kerap mendapatkan hukuman yang tidak
setimpal.Dia menyatakan putusan MA terhadap Angelina Sondakh sudah
sangat tepat di tengah pusaran pemikiran hukum para penegak hukum
yang masih jauh dari keadilan dan tidak mampu menangkap
kekhawatiran masyarakat terkait upaya pemberantasan korupsi.Abraham
mengungkapkan putusan hakim MA terhadap Angelina Sondakh harus
menjadi tolok ukur bagi hakim-hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap koruptor[footnoteRef:11]. [11: )
http://www.voaindonesia.com/content/putusa-ma-angelina-sondakh-harus-jadi-tolaj-ukur-haki-lain-/1796048.html,
diunduh tanggal 15 maret 2015.]
Kita ingin setiap terdakwa kasus korupsi putusannya bisa
memberikan efek jera sehingga orang berfikir seribu kali untuk
melakukan korupsi . Kita mengapresiasi putusan dari Mahkamah Agung.
Kita mengapresiasi telah memberikan keadilan di dalam masyarakat,
kata Abraham Samad.Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Sahuri
mengungkapkan bahwa putusan kasasi MA terhadap Angelina Sondakh
(Angie), sebagai obat kekecewaan publik terhadap putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang sebelumnya hanya
menjatuhkan pidana empat setengah tahun penjara.Putusan itu telah
mengobati kekecewaan masyarakat pada saat putusan di pengadilan
negeri yang menghukum empat tahun. Dan ini saya rasa putusan yang
terberat yang dikeluarkan Mahkamah Agung terhadap koruptor pasca
putusan terhadap Abdullah Puteh 10 tahun. Setelah itu putusan
terhadap koruptor turun-turun empat tahun, dua tahun, tiga tahun
seperti itu, nah ini barulah 12 tahun, kata Taufiqurrahman
Sahuri.Sementara itu Kuasa Hukum Angelina Sondakh, Teuku Nasrullah
mengatakan Angelina Sondakh sangat terpukul dan sedih atas putusan
Mahkamah Agung tersebut.Nasrullah menilai putusan MA tidak
berperikemanusiaan karena tidak melihat Angelina Sondakh yang
merupakan seorang ibu yang harus meninggalkan 3 orang anak tanpa
ayah.Putusan hakim itu lanjutnya juga tidak melihat fakta-fakta
hukum di persidangan dimana Angelina Sondakh hanyalah perantara
untuk membagikan uang kepada anggota DPR lainnya sebesar Rp12,58
milliar dan menerima imbalan sebesar 2,3 juta dolar AmerikaDalam
putusan kasasi MA, Angelina dinilai aktif meminta dan menerima uang
terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta
Kementerian Pemuda dan Olahraga.Berdasarkan uraian di atas tadi,
maka penulis tertarik ingin mengetahui dan mendalami lebih jauh
mengenai pemidanaan tambahan uang pengganti dalam bentuk penulisan
tesis ini dengan judul: ANALISIS PENERAPAN HUKUMAN UANG PENGGANTI
YANG TERBUKTI MELAKUKAN SUAP PADA KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
ANGELINA SONDAKH (STUDI KASUS PUTUSAN NO.1616 K/PID.SUS/2013).
B. Rumusan MasalahPada penulisan tesis ini, Rumusan masalah yang
dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Apakah penerapan
hukuman uang pengganti terhadap pelaku suap telah sesuai dalam
kasus Angelina Sondakh?2. Apakah uang pengganti dapat dijadikan
sebagai pidana tambahan pada perkara tindak pidana korupsi?
C. Tujuan dan Kegunaan PenelitianTujuan penelitian tentunya
tidak terlepas dari rumusan masalah yang telah dirumuskan
sebelumnya, sehingga tujuan penelitian ini adalah :1. Untuk
mengetahui apakah hukuman pembayaran uang pengganti dapat
diterapkan atau tidak dalam kasus Angelina Sondakh.2. Untuk
mengetahui apakah uang pengganti dapat dijadikan sebagai pidana
tambahan pada perkara tindak pidana korupsi.Adanya suatu penelitian
ini diharapkan memberikan nilai guna bagi bidang ilmu yang
diteliti. Kegunaan yang diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:1. Kegunaan Teoretisa. Memberikan sumbangan
pemikiran di bidang hukum pidana, khususnya mengenai pidana uang
pengganti dalam tindak pidana korupsi dan hasil penelitian ini
diharapkan dapat menambah bahan referensi di bidang karya ilmiah
lainnya.b. Memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai sistem
pemidanaan khususnya pidana tambahan uang pengganti terhadap tindak
pidana korupsi pada kasus Putusan Kasasi NO.1616 K/PID.SUS/2013).
dengan terdakwa Angelina Sondakh.2. Kegunaan Praktisa. Bagi penulis
selaku mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum
pidana, khususnya pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana
korupsi. b. Bagi lembaga kehakiman, karena dijatuhkan tidaknya
pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (b) adalah merupakan kewenangan
hakim/diskresi hakim, maka setidaknya hakim dapat mengambil
terobosan agar uang dari hasil kejahatan korupsi dapat dikembalikan
ke negara untuk kepentingan rakyat.
D. Tinjauan PustakaSoerjono Soekanto mendefinisikan kerangka
konseptual atau tinjauan pustaka adalah kerangka yang menggambarkan
antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti-arti
yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan
diteliti.[footnoteRef:12]) Pengertian lain menyebutkan bahwa
kerangka konseptual merupakan kerangka yang memberikan gambaran
mengenai hubungan antara konsep-konsep yang akan
diteliti.[footnoteRef:13]) Atas dasar pemahaman pengertian tersebut
di atas, maka kerangka konseptual yang dapat penulis kemukakan pada
penulisan tesis adalah sebagai berikut: [12: ) Soerjono Soekanto,
Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), hal .132.]
[13: ) Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan
Tesis Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor
43A-D/FH-UNTAR/VIII/2012, ),.]
Pengertian analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa
(karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang
sebenar-benarnya (sebab-musabab, duduk perkara, dan sebagainya);
penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan
bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti
keseluruhan.[footnoteRef:14]) [14: ) W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.43.]
Pengertian kemungkinan yaitu keadaan yang mungkin; keadaan yang
memungkinkan sesuatu terjadi atau sesuatu yang mungkin
terjadi.[footnoteRef:15]) Pengertian lain dari kemungkinan yaitu
dapat kejadian, tidak mustahil atau juga berarti dapat, boleh
jadi.[footnoteRef:16]) [15: ) Anonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
http://www.kbbi.web.id/ , diunduh 11 November 2012.] [16: )
Darmansyah, Kamus Bahasa Indonesia Dengan Ejaan Yang Disempurnakan,
Cetakan Ke-1, (Jakarta: Batavia Press, 2008), hal. 364.]
Menurut Adami Chazawi, pidana merupakan suatu penderitaan yang
sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau
beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas
perbuatan-perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum
pidana.[footnoteRef:17]) AZ. Abidin dan Andi Hamzah mengemukakan
bahwa pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada
pembuat karena melakukan suatu delik.[footnoteRef:18]) [17: ) Adami
Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cetakan Pertama,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 24.] [18: ) AZ.
Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia,
Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Yasrif Wantampone, 2012),
hal.41.]
Berbagai literatur dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana
hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata
strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian
diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Beberapa yang digunakan untuk menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh
sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delict, dan
perbuatan pidana. Istilah tindak pidana digunakan dalam
Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Rusli
Efendy[footnoteRef:19]) mengemukakan bahwa peristiwa tindak pidana,
yaitu perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana menjelaskan perkataan peristiwa pidana haruslah dijadikan
serta diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu
sama lainnya. Sebab kalau dipakai kata peristiwa saja, hal ini
dapat mempunyai arti yang lain yang umpamanya peristiwa alamiah.
[19: ) Rusli Effendi, Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung, Alumni,
1983), hal.1.]
Menurut J. Bauman sebagaimana dikutip Sudarto, yang mengemukakan
bahwa perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi
rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan
kesalahan. [footnoteRef:20]) Selanjutnya menurut Wiryono
Prodjodikoro sebagaimana dikutip Tongat, menyatakan bahwa tindak
pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
pidana.[footnoteRef:21]) Aliran monistis menerjemahkan
strafbaarfeit ke dalam tindak pidana dengan menyatakan bahwa, suatu
perbuatan yang pada pelakunya dapat dikenakan hukuman dan pelaku
tersebut termasuk subyek tindak pidana. Kemudian Van Hammel
sebagaimana dikutip oleh Andi Zainal Abidin[footnoteRef:22]) yang
berpandangan monistis merumuskan strafbaarfeit bahwa, perbuatan
manusia yang diuraikan oleh undang-undang melawan hukum,
strafwaardig (patut atau dapat bernilai untuk dipidana), dan dapat
dicela karena kesalahan (en dan schould to wijten). [20: )
Soedarto. Hukum Pidana Jilid I A-B. (Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 1975), hal. 31-32.] [21: ) Tongat,
Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan.
(Malang : UMM Press, 2008), hal. 106.] [22: ) Andi Zainal Abidin.
Asas-Asas Hukum Pidana Bagian I. (Ujung Pandang: Lephas, 1987),
hal.250.]
Menurut M.W. Patti Peilohyberbicara mengenai pengertian uang
pengganti dalam tindak pidana korupsi sangatlah sulit
merumuskannya, karena sangat kurang para ahli hukum yang memberi
pengertian tentang uang pengganti, bahkan dalam Undang-Undang Nomor
3 tahun 1971 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memberikan peristilahan
uang pengganti tidak memberikan defenisi yang jelas tentang apa itu
uang pengganti. Dalam Pasal 34 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 dan Pasal 18 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 hanya mengelompokkan uang pengganti ke dalam salah satu pidana
tambahan selain yang dimaksud dalam Pasal 10 sub b KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana). Hubungannya dengan pengertian uang
pengganti. Menurutnya pada prinsipnya pembayaran uang pengganti
berbeda pengertiannya dengan yang dimaksud ganti rugi menurut hukum
perdata. Pembayaran uang pengganti merupakan salah satu jenis
pidana tambahan yang dikenakan pada terpidana tindak pidana korupsi
menyangkut perbuatan korupsi yang telah dilakukannya. Sedangkan
pengertian ganti rugi yang dimaksud dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dihubungkan dengan perbuatan korupsi,
dimana negara yang menderita kerugian, sehingga negara dari sudut
viktimologi adalah juga korban dan yang menyebabkan pelaku korupsi
dituntut untuk memberikan suatu ganti kerugian yang menurut istilah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah uang pengganti.
[footnoteRef:23]) [23: ) M.W. Patti, Antara Tuntutan Jaksa Penuntut
Umum dan Putusan Hakim/Pengadilan Mengenai Pembayaran Uang
PenggantiBagian I, (Ujung Pandang: Dipajaya, 1994), hal.45.]
Kata korupsi berasal dari bahasa latin, corrupti atau corruptus
yang secara harfiah berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata
yang menghina atau memfitnah sebagaimana dibacah dalam The Lexion
Webster Dictionary.[footnoteRef:24]) Dari bahasa latin itu, turun
ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: corruptio, corrupt;
Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie (koruptie). Dari
Bahasa Belanda inilah turun ke Bahasa Indonesia menjadi
korupsi.[footnoteRef:25]) [24: ) Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia
Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984),
hal.7. ] [25: ) Ibid.]
Ditinjau dari sudut bahasa kata korupsi bisa berarti kemrosotan
dari yang semula baik, sehat, dan benar menjadi penyelewengan dan
perbuatan buruk. Kemudian, arti korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata Bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh W.J.S.
Perwadarminta bahwa kata korupsi untuk perbuatan yang busuk,
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya.[footnoteRef:26]) [26: ) W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hal. 871.
]
Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor menyebutkan bahwa
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Aturan tersebut merupakan konsekuensi dari akibat yang ditimbulkan
oleh tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan Negara
atau perekonomian Negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian
keuangan tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk
pembayaran uang pengganti.E. Landasan TeoriPembayaran Uang
Pengganti dalam kasus Tindak Pidana KorupsiDalam rangka melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah telah mengeluarkan
3 (tiga) peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana
korupsi, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Ketiga
peraturan perundang-undangan tersebut mengatur tentang pidana uang
pengganti bagi terdakwa kasus korupsi. Pengaturan pidana uang
pengganti dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa pembayaran uang
pengganti jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan uang yang
dikorupsi. Namun Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut tidak
secara tegas menentukan kapan uang pengganti itu harus dibayarkan,
dan apa sanksinya bila pembayaran tidak dilakukan. Hanya dalam
bagian penjelasan Undang-Undang tersebut disebutkan, apabila
pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi, berlakulah
ketentuan-ketentuan tentang pembayaran denda. Pada saat itu masalah
inilah yang coba diatasi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Ketua
Mahkamah Agung pada tahun 1985. Surat Edaran itu mendorong jaksa
untuk melakukan gugatan perdata apabila eksekusi atas uang
pengganti tidak bisa dilaksanakan karena berbagai hal. Kelemahan
hukum ini telah dikoreksi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kedua
Undang-Undang tersebut, ketentuan mengenai uang pengganti sudah
lebih tegas, yaitu apabila tidak dibayar dalam tempo 1 (satu)
bulan, terhukum segera dieksekusi dengan memasukkannya ke dalam
penjara. Hukuman penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan
hakim, yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana
pokoknya.[footnoteRef:27]) [27: ) Anonim. Uang Pengganti (2):
Eksekusi dan Masalah Tanggung Renteng,
http://hukumonline.com/detail.asp?id=14214&cl=Fokus, diunduh 9
Maret 2013.]
Pasal 17 jo 18 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa:Pasal
17Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 18(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah
:a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari
barang yang menggantikan barang-barang tersebut;b. pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;c. penutupan seluruh atau
sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;d.
pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.(2) Jika terpidana tidak
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya
tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
Ketentuan mengenai pembayaran uang pengganti tidak dikenal dalam
ketentuan mengenai pidana tambahan dalam KUHP. Umumnya pidana yang
dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku yang melakukan tindak pidana di
bidang harta benda adalah pidana penjara atau pidana denda. Pidana
denda ini dianggap sebagai pidana pengganti atas kerugian harta
benda korban yang disebabkan oleh tindak pidana yang dilakukan
terdakwa.[footnoteRef:28]) Dalam undang-undang korupsi selain dapat
dijatuhi pidana penjara dan atau pidana denda, terdakwa juga dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi. Ketika seseorang terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi dan merugikan keuangan Negara
sebesar Rp. 5.000.000.000, orang tersebut dapat dijatuhi pidana
pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 5.000.000.000 di samping
dijatuhi pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000. [28: ) Mahrus Ali,
Op.Cit., hal.64. ]
Dijatuhkan tidaknya pidana tambahan pembayaran uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (b) adalah
merupakan kewenangan hakim/diskresi hakim, bukan merupakan suatu
keharusan dan tidak bersifat imperartif sebagaimana dapat
disimpulkan dari kata dapat dalam Pasal 17 UU Tipikor yang
menentukan selain dapat dijatuhkan pidana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Dengan kata
lain hal tersebut bersifat fakultatif (boleh dikenakan atau
tidak).Meskipun bersifat fakultatif, namun dalam pelaksanannya
masih ada keragu-raguan baik di pihak penuntut umum maupun hakim.
Sering terjadi uang pengganti masih dapat digantikan dengan pidana
penjara (Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor), padahal uang pengganti
tidak sama dengan denda.Hakekat uang pengganti adalah hutang yang
harus dilunasi terpidana kepada negara. Utang tersebut
sewaktu-waktu dapat ditagih melalui gugatan perdata yaitu
seandainya dalam pelaksanaan kali ini jumlah uang barang-barang
yang dimiliki terpidana sudah tidak mencukupi lagi. Kewenangan ini
dilakukan oleh pihak kejaksaan sebagai pengacara negara.Konsep
pidana pembayaran uang pengganti dilatarbelakangi oleh pemikiran
bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi yang seberat-beratnya
agar memiliki efek jera. Mencerna dari undang-undang yang lama
maupun yang baru setiap orang sepatutnya takut untuk melakukan
korups. Bagaimana tidak, begitu seseorang yang masuk dakwaan
korupsi, baik yang melakukan korupsi secara aktif maupun percobaan
melakukan korupsi maka mau tidak mau ia harus berhadapan dengan
sanksi pidana yang berlapis-lapis. Misalnya selain pidana pokok
berupa pidana penjara dan denda, juga diancam dengan pidana
tambahan yang salah satunya berupa hukuman pembayaran uang
pengganti.Pertimbangan lain yang melatarbelakangi munculnya konsep
pidana pembayaran uang pengganti adalah dalam rangka mengembalikan
uang negara yang hilang akibat suatu tindak pidana korupsi. Menurut
UU Tipikor salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya
tindakan yang merugikan keuangan negara. Maka dengan adanya unsur
ini setiap terjadi suatu tindak pidana korupsi pasti akan
menimbulkan kerugian pada keuangan negara.[footnoteRef:29]) [29:
)Anonim, Uang Pengganti (1): Devisa Negara Tanpa Aturan Yang Jelas,
http://hukumonline.com/detail.asp?id=14213&cl=Fokus, diunduh 11
September 2012.]
F. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab
isu hukum yang dihadapi.[footnoteRef:30]) Dalam melakukan
penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum
normatif, yaitu membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu
hukum.[footnoteRef:31]) [30: ) Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 35.] [31:
) Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum. Cetakan Ketiga, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), hal. 24.]
Pada penulisan ini, jenis metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode penelitian hukum normatif.[footnoteRef:32])
Metode penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang
didasarkan pada literatur atau studi dokumen yang diambil dari
bahan-bahan pustaka atau yang dikenal dengan library research.
Bahan dalam penulisan ini terdiri dari 2 (dua) yaitu bahan hukum
dan bahan non hukum. [32: ) Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal.
141.]
Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 (tiga)
macam bahan pustaka yang dipergunakan oleh penulis yakni:1. Bahan
Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam
penelitian ini, bahan hukum perimer yang penulis gunakan yaitu
bahan yang merupakan ketentuan utama seperti Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2. Bahan Hukum
Sekunder, diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi
menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang dapat berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,
meliputi buku-buku, surat kabar, jurnal-jurnal hukum, data dari
internet yang berhubungan dengan penulisan ini.3. Bahan Hukum
Tersier, yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian
atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh
penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia.Bahan-bahan tersebut di
atas disebut juga sebagai bahan hukum, sedangkan bahan non hukum
meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan hasil wawancara
untuk mendukung penelitian hukum normatif. Adapun wawancara
ditujukan kepada praktisi hukum pidana, jaksa dan hakim pengadilan
tindak pidana korupsi.Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa
pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan
informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk
dicari jawabnya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan
di dalam penelitian hukum adalah:[footnoteRef:33]) [33: ) Ibid.,
hal. 93.]
2. Pendekatan undang-undang (statute approach)3. Pendekatan
kasus (case approach)4. Pendekatan historis (historical approach)5.
Pendekatan komparatif (comparative approach)6. Pendekatan
konseptual (conceptual approach)Penelitian yang dilakukan oleh
penulis lebih ditujukan kepada pendekatan undang-undang dan
pendekatan konseptual. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan
menelaah undang-undang yang berkaitan dengan penulisan tesis ini
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani.[footnoteRef:34]) Pendekatan konseptual (conceptual
approach) berarti memahami, menerima, menangkap. Konsep dalam
pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili
kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadangkala
menunjuk pada hal-hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal
yang particular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah
memunculkan, objek-objek yang menarik perhatian dari sudut
pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan
atribut-atribut tertentu. Berkat fungsi tersebut, konsep-konsep
berhasil menggabungkan kata-kata dengan objek tertentu.
Penggabungan itu memungkinkan ditentukannya art kata-kata secara
tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran.[footnoteRef:35])
Pendekatan konseptual ini merujuk pada tindak pidana kasus korupsi
berupa penerimaan suap Angelina Sondakh yang dijunctokan dengan
pembayaran uang pengganti. [34: ) Ibid, hal. 93] [35: ) Jhoni
Ibrohim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. III,
(Malang: Banyumedia Publishing, 2007), hal.306. ]
G. Sistematika PenulisanSistematika penulisan ini diperlukan
agar penelitian dapat dilakukan secara sistematis dan terarah.
Sistematika yang dipergunakan dimaksud untuk memberikan jabaran
singkat mengenai isi dari seluruh penulisan tesis ini. Penelitian
ini disusun secara sistematika dan dibagi menjadi 5 (lima) bab,
yakni sebagai berikut:
BAB IPENDAHULUANPada bab pertama ini menguraikan mengenai latar
belakang, permasalahan, tujuan, dan kegunaan penelitian, kerangka
konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.BAB
IIKERANGKA TEORITISPada bab kedua menguraikan beberapa teori yang
digunakan dalam penulisan tesis ini. Teori-teori tersebut
diantaranya yaitu tentang penuntutan dalam perkara pidana, tindak
pidana, pelaku tindak pidana, penyertaan, hubungan antara tindak
pidana korupsi dan suap, hukum acara pidana korupsi, serta
pembayaran uang penggantiBAB III HASIL PENELITIAN Pada bab ketiga
menguraikan tentang data hasil penelitian yaitu berupa kronologi
kasus suap Angelina Sondakh, Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK
terhadap Angelina Sondakh, dan pendapat narasumber terhadap
penerapan Pasal 18 UU tipikor terdapat Angelina Sondakh.BAB
IVANALISIS Pada bab ini merupakan analisis yang merupakan inti dari
penulisan tesis. Uraian analisis ini untuk menjawab permasalahan
apakah hukuman uang pengganti telah sesuai atau tidak dalam kasus
Angelina Sondakh dan kedudukan uang pengganti sebagai pidana
tambahan pada kasus suap dalam tindak pidana korupsi.BAB
VPENUTUPDalam bab terakhir ini akan ditarik kesimpulan yang
merupakan jawaban atas permasalahan berdasarkan hasil penelitian,
analisis dan saran yang berkaitan dalam penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Abidin. Andi Zainal. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian I.
(Ujung Pandang: Lephas, 1987).
_______. dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Cetakan Pertama. (Jakarta: PT. Yasrif Wantampone,
2012).
Aji, Indriyanto Seno. Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis, dan Korupsi
Perbankan. (Bandung: Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Unpad, 2004).
Ali, Mahrus. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. (Yogyakarta: UII
Press, 2011).
Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Cetakan Ketiga.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011).
Arif, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Cet. I. (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2007).
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cetakan
Pertama. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002).
Ersisa, Harahap. Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Cet.
I. (Bandung: PT. Grafiti 2006).
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan Tesis
Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Peraturan Dekan
FH-Untar Nomor 43A-D/FH-UNTAR/VIII/2012).
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984).
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasaalahan dan penerapan KUHAP,
Jilid I. (Jakarta: Sinar Grafika, 1997).
Ibrohim, Jhoni. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Cet. III. (Malang: Banyumedia Publishing, 2007).
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku
Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Penerbit
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006).
Kholis, Efi Laila. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara
Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010).
Kholiq, Abdul. Hukum Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 2002).
Lamintang. P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1997).
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005).
Muhammad, Rusli. Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2007).
Moeljatno. Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan.
(Jakarta: Bina Aksara, 1983).
Patti, M.W. Antara Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan Putusan
Hakim/Pengadilan Mengenai Pembayaran Uang PenggantiBagian I. (Ujung
Pandang: Dipajaya, 1994).
Saleh, Wantjik. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1971).
Sakijdjo, Aruan dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana Dasar Aturan
Hukum Pidana Kodifikasi, Cetakan Pertama, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990).
Simanjuntak, Osman. Teknik Penerapan Surat Dakwaan, Cetakan
Pertama. (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 1999).
Soedarto. Hukum Pidana Jilid I A-B. (Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 1975).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1986).
Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor: Politea,
1995).
Supramono, Gatot. Surat Dakwaan dan Putusan Hakim Yang Batal
Demi Hukum. (Jakarta Djambatan, 1991).
Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif
Pembaharuan. (Malang : UMM Press, 2008).
Utrecht. Hukum Pidana II, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976).
Wantjik, K. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. (Jakarta: Ghalia,
1983).
Yamin, Muhammad. Tindak Pidana Khusus, Cetakan Pertama.
(Bandung: Pustaka Setia, 2012).
B. Peraturan Perundang-UndanganIndonesia. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
________. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
_______. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 140; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874).
C. Artikel/Makalah/Jurnal/Berita IntenetAnonim. Kronologis Kasus
Korupsi Angelina Sondakh, Jum'at, 29 Juni 2012.
http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/kronologis-kasus-korupsi-angelina-sondakh-1e4b11.
html, diunduh 11 September 2012.
________.http://www.voaindonesia.com/content/putusa-ma-angelinasondakh-harus-jadi-tolaj-ukur-haki-lain-/1796048.html,diunduh
tangal 15 maret 2015 _______. Uang Pengganti (1): Devisa Negara
Tanpa Aturan Yang Jelas,
http://hukumonline.com/detail.asp?id=14213&cl=Fokus, diunduh 15
maret 2015.
Barama, Michael. Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam
Perkara Korupsi. Makalah, Universitas Sam Ratulaangi, Manado,
2011.
Rahayu, SS., Amin. Sejarah Korupsi di Indonesia,
http://mediakpkkudus. blogspot.com/, diunduh 8 September 2012.
Satriawan, M. Iwan. Relasi Politik dan Korupsi, Lampungpos.com,
2 Juni 2012 dalam
http://www.lampungpost.com/index.php/opini/37362-relasi-politik-dan-korupsi-m-iwan-satriawan-dosen-hukum-tata-negara-universitas-lampung.html,
diunduh 11 September 2012.
D. KamusAnonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
http://www.kbbi.web.id/ , diunduh 11 November 2012.
Darmansyah. Kamus Bahasa Indonesia Dengan Ejaan Yang
Disempurnakan, Cetakan Ke-1. (Jakarta: Batavia Press, 2008).
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta:
Balai Pustaka, 1976).
Simorangkir, J.C.T. dkk, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
E. PutusanSalinan Putusan Mahkamah Agung NO.1616
K/PID.SUS/2013
25