BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang PermasalahanProses peradilan
di Indonesia dimulai dari suatu tindakan yang disebut penyelidikan,
yaitu serangkaian tindakan penyelidik guna menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang. Penyelidikan oleh penyelidik bertujuan untuk mencari
ada atau tidaknya suatu tidak pidana, apabila penyelidik
menyimpulkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, maka
statusnya akan memasuki tahap penyidikan untuk mencari bukti dan
menemukan tersangkanya. Apabila telah terdapat bukti permulaan yang
cukup,maka penyidik dapat melakukan penangkapan kepada
tersangka.Penangkapan adalah suatu wewenang yang diberikan oleh
undang-undang kepada penyidik untuk menangkap seseorang yang diduga
telah melakukan tindak pidana. Namun, penangkapan tidak dapat
dilakukan secara sembarangan karena penangkapan pada hakekatnya
merupakan pengurangan hak azazi seorang manusia. Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 ayat 20 disebutkan
bahwa, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal ini serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini. Mengenai alasan penangkapan atau
syarat penangkapan tersirat dalam pasal 17 :a) Seorang tersangka
diduga keras melakukan tindakan pidana,b) Dan dugaan yang kuat itu
didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.Pasal ini menunjukan
bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan
sewenang-wenang,tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul
melakukan tindak pidana.[footnoteRef:1] [1: M.Yahya Harahap,
Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,Sinar
Grafika, Jakarta, 2009, Hlm. 158.]
Kendati demikian, aparat penegak hukum adalah manusia biasa,
yang tidak terlepas dari kekeliruan. Penangkapan atau penahanan
yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan
pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban dalam masyarakat,
ternyata seringkali dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah
atau kadang-kadang dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah
atau seringkali dilakukan melampaui batas waktu yang telah
ditentukan, sehingga tersangka atau terdakwa menderita lahir batin
akibat sikap tindak para aparat penegak hukum tersebut. Sudah tentu
ini merupakan pelanggaran terhadap hak azazi
manusia[footnoteRef:2]. Kesalahan dalam proses penangkapan
mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut
tidak segera diperbaiki maka biasa saja kekeliruan tersebut terus
berlangsung pada tahap-tahap selanjutnya. [2: Waluyadi, Pengetahuan
Dasar Hukum Acara Pidana ( Sebuah Catatan Khusus), Cv Mandar Maju,
Bandung, 2009, Hlm 57]
Penyidik polri yang berusaha mendapatkan informasi seringkali
melakukan cara-cara yang tidak manusiawi seperti menyiksa
tersangka, bahkan memaksa tersangka untuk mengakui bahwa tersangka
telah melakukan suatu tindak pidana.Konsekuensi hukum dalam kasus
salah tangkap seharusnya tidak hanya bagi pihak korban yang menjadi
korban salah tangkap saja, namun seharusnya demi memenuhi rasa
keadilan semestinya juga menjadi tanggung jawab dari penyidik.
Tanggung jawab dari penegak hukum dalam hal ini yaitu Kepolisian
Negara Republik Indonesia berdasarkan pada ketentuan peraturan
tentang Kepolisian yaitu Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia. Isi dari undang-undang ini mengatur
mengenai fungsi, tugas dan wewenang dari anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai penegak hukum.Penegakan hukum dan
pelaksanaan hukum di Indonesia sejauh ini dapat dikatakan masih
jauh dari harapan apalagi sempurna. Kelemahan utama sebenarnya
bukan pada sistem hukum atau produk hukum, akan tetapi ada pada
proses penegakan hukum itu sendiri, khususnya mengenai moral
penegakan hukum itu sendiri. Oleh karenanya harapan masyarakat
untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum masih sangat minim dan
terbatas. Penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.[footnoteRef:3] [3:
.M.sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule:Hak Tersangka Sebelum
Pemeriksaan, Pustaka Yustitia, Jakarta, 2010, Hlm. 66.]
KUHAP secara eksplisit telah mencoba memberikan perlindungan
untuk menghindari perlakuan kasar terhadap tersangka atau terdakwa,
sebagaimana terdapat didalam pasal 52 KUHAP dan penjelasannya yang
mengharuskan agar tersangka diperiksa dalam situasi bebas dari rasa
takut atau ketakutan akibat intimidasi dan perlakuan kasar dari
penyidik. Oleh karena itu,wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan
terhadap tersangka atau terdakwa.[footnoteRef:4] [4: Ibid.]
Tersangka yang menjadi korban salah tangkap dapat melakukan
upaya hukum untuk menuntut hak mereka. Tersangka bisa mengajukan
pra peradilan untuk memperoleh ganti rugi dan atau rehabilitasi.
Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya sematamata mengenai akibat
kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, tetapi dapat
juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan
dan penyitaan yang tidak sah secara hukum sesuai dengan penjelasan
pasal 95 ayat (1) KUHAP. Kewenangan penyidik diatur dalam pasal 7
ayat 1 KUHAP, sedangkan untuk kewenangan bertindak menurut
penilaian sendiri (diskresi), dapat dilakukan dalam keadaan :a.
Keadaan yang sangat perlu ;b. Tidak bertantangan dengan
perundang-undangan;c. Tidak bertantangan dengan kode etik profesi
kepolisianUntuk dapat menjalankan fungsi tugas serta wewenang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan baik, maka UU No.2
Tahun 2002 telah mengamanatkan kepada setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia agar memiliki kemampuan profesi. Dalam
hal ini Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengeluarkan
peraturan Kode Etik profesi Polri yang diformulasikan dalam
peraturan Kapolri No.Pol: 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi
Polri[footnoteRef:5]. [5: Sadjijono, Etika profesi Hukum ; Suatu
Telaah Filosofis Terhadap Konsep dan Implementasi Kode Etik Profesi
Polri, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, Hlm, 89.]
Rumusan-rumusan yang ada dalam Kode etik Profesi Polri tersebut
adalah aturan atau norma keharusan dan larangan yang menuntun dan
membimbing bagaimana seharusnya anggota kepolisian berperilaku
dalam memegang dan menjalankan profesi kepolisian, tidak memandang
pangkat, golongan maupun jabatan, sehingga merupakan kewajiban bagi
setiap anggota Polri untuk memenuhinya.[footnoteRef:6] [6:
Ibid.]
Dengan adanya Undang-Undang No.2 Tahun 2002 dan juga Peraturan
Kapolri No.Pol: 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri,
diharapkan anggota Polri bisa memahami serta mengerti apa yang
menjadi fungsi, tugas dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu,
dengan adanya kode Etik ini diharapkan dapat membimbing agar setiap
anggota Polri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai etis yang
terkandung dalam Kode Etik Profesi Polri, sehingga kesalahan
ataupun kelalaian pada saat menjalankan tugas sebagai anggota Polri
bisa diminimalisir. Berdasarkan uraian dan
pertimbangan-pertimbangan di atas, maka penulis tertarik untuk
menulis karya ilmiah dengan judul Pertanggung Jawaban Penyidik
Polri Atas Terjadinya Salah Tangkap.B. Perumusan MasalahDari uraian
latar belakang masalah diatas, dapat di tarik rumusan masalah
sebagai berikut :1. Bagaimana pertanggung jawaban Penyidik Polri
jika terjadi salah tangkap saat menjalankan tugas ?
C. Tujuan PenulisanAdapun tujuan dari penulisan ini adalah :1.
Untuk menganalisa tanggung jawab penyidik Polri jika terjadi salah
tangkap saat menjalankan tugas.
D. Manfaat PenulisanSedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari
penulisan ini adalah :1. Memberikan pemahaman tentang tanggung
jawab penyidik polri jika terjadi salah tangkap saat menjalankan
tugas.2. Sebagai salah satu sumber literatur.
E. Metode PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif yang merupakan salah satu jenis penelitian yang dikenal
umum dalam kajian ilmu hukum.Mengingat penelitian ini menggunakan
pendekatan normatif yang tidak bermaksud untuk menguji hipotesa,
maka titik berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan.
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan prosedur identifikasi dan
inventarisasi hukum positif sebagai suatu kegiatan pendahuluan.
Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan
pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer,
sekunder, dan tertier.Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum
yang mengikat yang terdiri dari : Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Peraturan Kapolri No.7 tahun 2006 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No.1
Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No.8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sedangkan
bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti : literatur yang ada kaitannya
dengan hukum acara pidana dan hukum kepolisian, hasil seminar,
karya ilmiah maupun hasil penelitian, jurnal yang ada kaitannya
dengan permasalahan yang dibahas. Bahan tertier, yakni bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder, yang terdiri dari : Kamus Hukum,maupun buku-buku lain
yang ada kaitannya dengan permasalahan ini.Bahan hukum yang
diperoleh, diinventarisasi dan diidentifikasikan kemudian diolah
dan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan logika berpikir
secara deduksi yaitu hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus.
F. Sistematika Penulisan Secara umum penulisan skripsi ini
terdiri dari empat bab dengan garis-garis besar sebagai berikut
:BAB I. Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan,
perumusan masalah,tujuan dan manfaat penulisan,metode
penulisan,sistematika penulisan.
BAB II. Tinjauan pustaka yang terdiri mengenai pengertian
penyelidikan dan penyidikan,penangkapan dan penahanan serta tujuan
dan asas hukum acara pidana.
BAB III Pembahasan yang berisi mengenai pertanggung jawaban
penyidik Polri jika terjadi salah tangkap dan upaya hukum tersangka
jika terjadi salah tangkap.
BAB IV Penutup yang berisi kesimpulan dan saran penulisan.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penyelidikan Dan Penyidikan1.
PenyelidikanPenyelidikan dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal
dari kata sidik yang mendapat sisipan el menjadi selidik yang
mempunyai makna periksa, teliti atau mengamati. Sedangkan
penyelidikan berarti adalah serangkaian usaha memperoleh informasi
melalui suatu kegiatan mengumpulkan data. Sedangkan KUHAP sendiri
dalam pasal 1 ayat 5 memberikan defenisi penyelidikan sebagai
berikut :Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
dengan cara yang diatur dalam undang-undang ini.Dari penjelasan
diatas, penyelidikan merupakan tahap pertama permulaan penyidikan.
Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan merupakan tindakan
yang berdiri sendiri dari dan terpisah fungsi penyidikan.
Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub
daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan
lain[footnoteRef:7] [7: M.Yahya Harahap,op.cit.,hlm 101]
Penyelidikan ini tujuannya adalah untuk mencari tahu dan
memastikan apakah dalam suatu peristiwa hukum tertentu telah
terjadi suatu tindak pidana atau tidak. Sebab tidak semua peristiwa
hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah suatu tindak
pidana. Suatu peristiwa hukum baru dapat dikatakan sebagai suatu
tindak pidana hanya apabila telah terpenuhi unsur-unsur pidananya.
Apabila unsur-unsur pidananya tidak terpenuhi, maka peristiwa
tersebut dianggap sebagai peristiwa biasa dan tidak mempunyai
implikasi apa-apa.Penyelidikan dilakukan oleh pejabat polisi Negara
Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan suatu tindak penyelidikan. Dan sesuai pasal 4 KUHAP,
penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penyelidikan adalah bentuk
monopoli tunggal dari Kepolisian Republik Indonesia, sebab pejabat
lainnya tidak berhak. Kemanunggalan fungsi dan wewenang
penyelidikan oleh Polri bertujuan untuk :a. Menyederhanakan dan
memberi kepastian kepada masyarakat mengenai siapa yang berhak
melakukan penyelidikan,b. Menghilangkan kesimpangsiuran
penyelidikan oleh aparat penegak hukum sehingga tidak terjadi
kesimpangsiuran,c. Merupakan efisiensi tindakan penyelidikan
ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi
dan juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan
efisien.[footnoteRef:8] [8: Ibid.,hlm 103]
2. PenyidikanPada pasal 1 butir 2 KUHAP tertulis bahwa
:penyidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.Berdasarkan rumusan di atas, tugas utama penyidik
adalah:1. Mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti-bukti
tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi;2.
Menemukan tersangka.[footnoteRef:9] [9: Leden Marpaung,Proses
Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan),Sinar
Grafika,Jakarta,2011,Hlm 11.]
a. Aparat PenyidikIstilah penyidik terkadang digabungkan dengan
kata-kata lain seperti penyidik umum, penyidik pegawai negeri sipil
tertentu, penyidik khusus dan penyidik pembantu. Sehingga kedudukan
dan kepangkatan penyidik perlu diselaraskan dan diseimbangkan.
Istilah penyidik umum adalah pejabat kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan syarat kepangkatan yang diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah, istilah penyidik pegawai negeri sipil
tertentu adalah pegawai negeri sipil sesuai dengan persyaratan
tertentu yang telah dididik dengan kualifikasi penyidik yang diberi
wewenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang tugas dan
fungsinya yang diberikan oleh undang-undang. Istilah penyidik
pembantu adalah pejabat pejabat kepolisian Negara Republik
Indonesia berpangkat tertentu dibawah pangkat penyidik umum dan
pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan polri karena keahlian di
bidang tertentu yang diangkat oleh Kapolri.Pada pasal 6 ayat 1
KUHAP tercantum bahwa penyidik adalah:- Pejabat polisi Negara
Republik Indonesia- Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang- undang.Sedangkan berdasarkan
pasal 1 ayat (10) UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Penyidik adalah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan. Serta penyidik pembantu menurut pasal 1 ayat
(12) UU No.2 Tahun 2002 adalah pejabat kepolisian negara Republik
Indonesia yang diangkat kepala kepolisian negara Republik Indonesia
berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam
melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang. Adapun
syarat kepangkatan dan yang diberi wewenang tertentu dalam
melakukan tugas penyidikan diatur didalam Peraturan Pemerintah
nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yakni: Pasal
2Penyidik adalah :a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia ;
danb. Pejabat Pegawai Negeri SipilPasal 2A (1). Untuk dapat
diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, calon harus
memenuhi persyaratan:a. berpangkat paling rendah Inspektur Dua
Polisi dan b. berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau
yang setara; c. bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat
2 (dua) tahun; d. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan
spesialisasi e. fungsi reserse kriminal; f. sehat jasmani dan
rohani yang dibuktikan dengan surat g. keterangan dokter; dan h.
memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. (2) Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia. (3) Wewenang pengangkatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Pasal 2BDalam hal pada suatu satuan
kerja tidak ada Inspektur Dua Polisi yang berpendidikan paling
rendah sarjana strata satu atau yang setara, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang ditunjuk dapat menunjuk Inspektur Dua Polisi lain
sebagai penyidik. Pasal 2C Dalam hal pada suatu sektor kepolisian
tidak ada penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2A ayat (1), Kepala Sektor Kepolisian yang berpangkat
Bintara di bawah Inspektur Dua Polisi karena jabatannya adalah
penyidik.
Pasal 3 (1) Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a.
Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi; b. Mengikuti dan
lulus pendidikan pengembangan spesialisasi a. Fungsi reserse
kriminal; b. Bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2
(dua) tahunc. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat
d. Keterangan dokter; dan e. Memiliki kemampuan dan integritas
moral yang tinggi. (2) Penyidik pembantu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. (3)
Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 3A(1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS,calon harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :a. Masa kerja sebagai pegawai
negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun;b. Berpangkat paling
rendah Penata Muda/golongan III./a;c. Berpendidikan paling rendah
sarjana hukum atau sarjana lain yang setara;d. Bertugas di bidang
teknis operasional penegakan hukum;e. Sehat jasmani dan rohani yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit
pemerintah;f. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil sedikit
bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;dang. Mengikuti dan
lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan.(2) Persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai huruf f diajukan
kepada Menteri oleh pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang
bersangkutan.(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf g diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
bekerja sama dengan instansi terkait.Dari pengertian berdasarkan
KUHAP dan Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia telah jelas apa maksud dengan penyidik dan dapat
disimpulkan pula bahwa dalam melakukan penyidikan, penyidik dapat
dibantu oleh penyidik pembantu dan penyidik pegawai negeri sipil,
yang dibedakan berdasarkan kepangkatannya sebagai mana yang telah
diatur didalam Peraturan Pemerintah nomor 58 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP adapun tugas dan kewenangannya tetap sama kecuali
tentang penahanan sebagai mana disebutkan pada pasal 11 KUHAP yakni
penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam pasal 7
ayat (1) kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan
pelimpahan wewenang dari penyidik.Khusus pengangkatan pegawai
negeri sipil di lingkungan kepolisian atau pejabat penyidik
pembantu, yang bersangkutan harus mempunyai keahlian atau
kekhususan dalam bidang tertentu. Tanpa syarat tersebut tidak ada
alasan atau urgensi untuk mengangkat mereka menjadi pejabat
penyidik pembantu. Syarat kepangkatan penyidik pembantu, lebih
rendah dari pangkat jabatan penyidik. Berdasarkan hierarki dan
organisatoris, penyidik pembantu diperbantukan kepada pejabat
penyidik, oleh karena itu kepangkatan mereka harus lebih rendah
dari penyidik.Penyidik pembantu tidak harus dari anggota Polri,
tetapi bisa diangkat dari kalangan pegawai sipil Polri, sesuai
dengan keahlian khusus yang mereka miliki dalam bidang tertentu.
Misalnya, ahli kima atau ahli patologi. Kalau pegawai sipil Polri
yang demikian tidak bisa diangkat menjadi penyidik pembantu,
mungkin akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan penyidikan.
Sebab di kalangan anggota Polri sendiri,yang memiliki syarat
kepangkatan dan keahlian tertentu mungkin masih langka. Itu sebab
utama perlu adanya penyidik pembantu dari kalangan pegawai
sipil.Mungkin dapat diterima alasan yang dikemukakan pada buku
pedoman pelaksanaan KUHAP,yang menjelaskan latar belakang urgensi
pengangkatan pejabat penyidik pembantu yang dapat disimpulkan
sebagai berikut :- Disebabkan terbatasnya tenaga Polri yang
berpangkat tertentu sebagai pejabat penyidik. Terutama sektor
kepolisian daerah-daerah terpencil, masih banyak dipangku pejabat
kepolisian yang berpangkat bintara;- Oleh karena itu, seandainya
syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang kurangnya pembantu
letnan dua Polri, sedangkan yang berpangkat demikian belum
mencukupi kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan banyaknya jumlah
sektor Kepolisian, hal seperti ini akan menimbulkan hambatan bagi
pelaksanaan fungsi penyidikan di daerah-daerah,sehingga besar
kemungkinan pelaksanaan fungsi penyidikan tidak berjalan di
daerah-daerah.[footnoteRef:10] [10: Soerjono Soekanto,
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2011, Hlm 45]
Kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam
melakukan tugas penyelidikan :a. Penyidik pegawai negeri sipil
kedudukannya berada di bawah :- Koordinasi penyidik Polri, dan-
Dibawah pengawasan penyidik Polrib. Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri
sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan
(Pasal 107 ayat 1 KUHAP)c. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu
harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak
pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik
pegawai negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan
tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat 2 KUHAP)d.
Apabila penyidik pegawai negeri telah selesai melakukan penyidikan,
hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum,
cara penyerahan kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai
negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat 3 KUHAP
)[footnoteRef:11] [11: M.Yahya Harahap,Op.Cit, Hlm 113]
3. Kewenangan PenyidikKewenangan penyidik sesuai dengan
ketentuan pasal 7 ayat 1 KUHAP yaitu :a. Menerima laporan atau
pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;b. Melakukan
tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;c. Menyuruh berhenti
seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangkad.
Melakukan penangkapan,penahanan,penggeledahan dan penyitaan;e.
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;f. Mengambil sidik jari
dan memotret seseorangg. Memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksih. Mendatangkan orang ahli
yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;i.
Mengadakan penghentian penyidikan;j. Mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.
B. Penangkapan Dan Penahanan1. Penangkapana. Arti
PenangkapanPada pasal 1 ayat 20 dicantumkan :Penangkapan adalah
suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.Dari rumusan
diatas maka penangkapan tersebut terdiri dari unsur-unsur :-
Pengekangan sementara waktu kebebasan- Tersangka atau terdakwa-
Terdapat cukup bukti- Guna kepentingan
penyidikan,penuntutan,peradilan.[footnoteRef:12] [12: Leden
Marpaung, Op.Cit, Hlm 109]
Akan tetapi prinsip utama dalam melakukan penangkapan adalah
tidak boleh dilakukan secara gegabah. Maksudnya, perlu ada terlebih
dahulu dugaan keras, bahwa seseorang memang telah melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup[footnoteRef:13] [13:
YLBHI, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta,2006, Hlm 239]
Jika dihubungkan dengan pasal 17 KUHAP maka pemakaian kata cukup
pada pasal 1 ayat 20 tidak tepat karena pada pasal 17 KUHAP
dirumuskan bukti permulaan yang cukup. Disini yang cukup adalah
bukti permulaan. Pasal 17 KUHAP mencantumkan:Perintah penangkapan
dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.Pada lampiran
keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1983,
bidang penyidikan tercantum antara lain:- Undang undang tidak
memberikan defenisi/pengertian apa itu bukti permulaan. Keseragaman
penafsiran ini perlu guna menghindari terjadinya hal yang tidak
kita inginkan.Sebab bisa terjadi sesuatu hal oleh penyidik dianggap
sebagai bukti permulaan, tetapi oleh hakim praperadilan yang
memeriksa sah tidaknya penangkapan, sesuatu itu bukan/belum
dikategorikan sebagai bukti permulaan apalagi bukti permulaan yang
cukup untuk menduga seseorang bahwa ialah
pelakunya.[footnoteRef:14] [14: Leden Marpaung , Op.cit, Hlm
110]
Syarat lain untuk melakukan penangkapan harus didasarkan untuk
kepentingkan penyelidikan atau penyidikan sebagaimana diatur dalam
pasal 16. Oleh karena penangkapan juga dimaksudkan untuk
kepentingan penyelidikan, mesti tetap ditegakan prinsip harus ada
dugaan keras terhadap tersangka sebagai pelaku tindak pidananya,
serta harus didahului adanya bukti permulaan yang cukup. Juga untuk
diingat supaya alasan untuk kepentingan penyelidikan dan
kepentingan penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud lain
diluar kepentingan penyelidikan dan penyidikan.[footnoteRef:15]
[15: M.Yahya Harahap, Op.cit, Hlm 159]
b. Syarat Melakukan PenangkapanDari isi pasal 17 KUHAP tersebut
dapat kita ketahui bahwa penangkapan tidak bisa dilakukan secara
sewenang-wenang, tapi harus dipenuhi dulu syarat-syarat yang
sifatnya wajib. Hal ini guna untuk menghindari terjadinya salah
tangkap. Oleh karena itu, penangkapan baru bisa dilakukan oleh
penyidik apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :a.
Terdapat seorang tersangka yang telah diduga keras bahwa dialah
yang telah melakukan tindak pidana.b. Adanya dugaan keras atau kuat
ini harus didasarkan pada permulaan bukti yang cukup. Sedangkan apa
yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup telah disebutkan
dalam pasal 17 KUHAP, dan ditambahkan dalam penjelasan pasal
tersebut bahwa perintah penangkapan tidak bisa dilakukan dengan
cara sewenang-wenang tetapi ditujukan kepada mereka yang
betul-betul melakukan tindak pidana.c. Petugas Kepolisian harus
memperlihatkan surat tugas, kecuali dalam hal tertangkap tangan,
penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa
penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti
yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.d.
Petugas Kepolisian harus memberikan surat penangkapan kepada pelaku
atau keluarganya,e. Petugas Kepolisian harus menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan serta ia diperiksa.
2. Penahanan
Pasal 1 ayat 21 KUHAP mencantumkan bahwa Penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik
atau penuntut umum atau hakim,dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.Dalam kamus besar
bahasa Indonesia yang di keluarkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, (penerbit Balai Pustaka), tercakup arti penahanan:
proses, pembuatan, cara menahan, penghambatan. Hakikat daripada
penahanan sebagaimana menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah
penghambatan atas kebebasan seseorang, hal ini memang telah
tercantum dalam pengertian penempatan tersangka/terdakwa di tempat
tertentu[footnoteRef:16] [16: Leden Marpaung.,Op.Cit.,Hlm 117]
Namun, penahanan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa oleh
pejabat yang berwenang dibatasi oleh hak-hak tersangka/terdakwa dan
peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan secara limitatif sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.Tujuan penahanan disebutkan
dalam pasal 20 KUHAP yang menjelaskan :1. Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik
berwenang melakukan penahanan. Mengenai ukuran kepentingan
penyidikan pada dasarnya ditentukan oleh kenyataan keperluan
pemeriksaan penyidikan itu sendiri secara objektif. Tergantung
kepada kebutuhan tingkat upaya penyidik untuk menyelesaikan fungsi
pemeriksaan penyidikan yang tuntas dan sempurna sehingga penyidikan
benar-benar mencapai hasil pemeriksaan yang akan diteruskan kepada
penuntut umum, untuk dipergunakan sebagai dasar pemeriksaan di
depan sidang pengadilan. Berarti, jika pemeriksaan penyidikan sudah
cukup, penahanan tidak diperlukan lagi, kecuali ada alasan lain
untuk tetap menahan tersangka ( Pasal 20 ayat 1 ),2. Penahanan yang
dilakukan oleh penuntut umum, bertujuan untuk kepentingan
penuntutan ( Pasal 2 ayat 2 ),3. Demikian juga penahanan yang
dilakukan oleh peradilan, dimaksud untuk kepentingan pemeriksaan di
sidang pengadilan. Hakim berwenang melakukan penahanan dengan
penetapan yang didasarkan kepada perlu tidaknya penahanan dilakukan
sesuai dengan kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan ( Pasal
20 ayat 3 ).Dari rumusan pasal 20 KUHAP, maka yang berwenang
melakukan penahanan adalah :- Penyidik- Penuntut Umum- Hakim (
Menurut tingkat pemeriksaan )Landasan penahanan meliputi dasar
hukum, keadaan serta syarat-syarat yang memberi kemungkinan
melakukan tindakan penahanan. Antara yang satu dengan yang lain
dari dasar tersebut, saling menopang kepada unsur yang lain.
Sehingga kalau salah satu unsur tidak ada, tindakan penahanan
kurang memenuhi asas legalitas meskipun tidak sampai
didiskualifikasi sebagai tindakan yang tidak sah ( illegal ).
Misalnya yang terpenuhi hanya unsur landasan hukum atau yang sering
dinamakan landasan objektif, tetapi tidak didukung unsur keperluan
atau yang sering disebut unsur subjektif, serta tidak dikuatkan
unsur syarat-syarat yang ditentukan undang-undang, penahanan yang
seperi itu lebih bernuansa kezaliman dan kurang berdimensi
relevansi dan urugensi[footnoteRef:17] [17: R.Subekti, Perlindungan
Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP,PT.Pradnya Paramita, Jakarta,1984,Hlm
33]
Adapun unsur yang menjadi landasan dasar penahanan adalah :a.
Unsur SubjektifDinamakan unsur subjektif karena hanya tergantung
pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah unsur itu ada
atau tidak. Unsur subjektif ini terdapat dalam pasal 21 ayat 1
KUHAP, yaitu :1) Tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan
tindak pidana;2) Berdasarkan bukti yang cukup;3) Dalam hal adanya
keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa
:- Akan melarikan diri- Merusak atau menghilangkan barang bukti-
mengulangi tindak pidana.Untuk itu diharuskan adanya bukti-bukti
yang cukup,berupa laporan polisi ditambah dua alat bukti lainnya,
seperti : Berita acara pemeriksaan tersangka/sanksi, berita acara
ditempat kejadian peristiwa, atau barang bukti yang ada.
b. Unsur YuridisDisebut dasar hukum atau objektif, karena
undang-undang sendiri telah menentukan terhadap pasal-pasal
kejahatan tindak pidana mana penahanan dapat diterapkan.Tidak semua
tindak pidana dapat dilakukan penahanan atas tersangka atau
terdakwa. Undang-undang sendiri telah menentukan baik secara umum
maupun secara terinci, terhadap kejahatan yang bagaimana pelakunya
dapat dikenakan penahanan. Dasar unsur yuridis atau objektif,
ditentukan dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP yang menetapkan penahanan
hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang melakukan
tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam
tindak pidana.a. Yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih.Pidana yang ancaman hukumannya lima tahun ke atas yang
diperkenankan dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa.
Kalau ancaman hukuman yang tercantum dalam pasal tindak pidana yang
dilanggar dibawah lima tahun, secara objektif tersangka atau
terdakwa tidak boleh dikenakan tahanan. Tindak pidana yang
signifikan, ancaman hukumannya lebih dari lima tahun ialah
kejahatan terhadap nyawa orang yang diatur dalam Bab XIX KUHP,
mulai dari pasal 338 dan seterusnya.b. Di samping aturan umum yang
kita sebutkan di atas, penahanan juga dapat dikenakan terhadap
pelaku tindak pidana yang disebut pada pasal KUHAP dan
undang-undang pidana khusus dibawah ini, sekalipun ancaman
hukumannya kurang dari lima tahun. Barangkali alasannya didasarkan
pada pertimbangan pasal-pasal tindak pidana itu dianggap sangat
mempengaruhi kepentingan ketertiban masyarakat pada umumnya, serta
ancaman terhadap keselamatan badan orang pada khususnya. Yang
termasuk dalam kelompok ini :
1) Yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP : pasal 282 ayat 3,
pasal 296, pasal 335 ayat 1, pasal 353 ayat 1, pasal 372, pasal
378, pasal 379 a, pasal 453 ,pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal
480, dan pasal 506.2) Kelompok kedua ini ialah pasal-pasal yang
berasal dari undang-undang tindak pidana khusus:- Pasal 25 dan 26
Rechen ordonantie ( pelanggaran terhadap ordonasi Bea dan
Cukai,terakhir diubah dengan St.tahun 1931 Nomor 471 )- Pasal
1,pasal 2,dan pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi ( UU
No.8 Drt .Tahun 1855 No.8 ).- Pasal 36 ayat 7, pasal 41, pasal 42,
pasal 47, dan pasal 48 UU No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika ( L.N
Tahun 1976 No.37 T.L.N No.3086 ).[footnoteRef:18] [18: M.Yahya
Harahap, Op.Cit, Hlm 165]
Melihat uraian kedua unsur tersebut yang terpenting adalah unsur
objektif, sebab penahanan hanya dapat dilakukan apabila
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP itu
dipenuhi. Sedangkan syarat-syarat terkandung dalam pasal 21 ayat 1
KUHAP biasanya dipergunakan untuk memperkuat syarat yang terkandung
dalam pasal 21 ayat 4, dan dalam hal hal sebagai alasan mengapa
tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan
sampai penahanan itu habis.
C. Tujuan Dan Azas Hukum Acara Pidana
Apabila kita perhatikan secara lebih seksama maka mengenai
tujuan hukum acara pidana ini ditegaskan dalam pedoman pelaksanaan
kitab undang-undang hukum acara pidana yang memberi penjelasan
bahwa:Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran
yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat,
dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang
yang didakwa itu dapat dipersalahkan.Kalau diperbandingkan dengan
pandangan doktrin hukum pidana seperti Simons dan Mr. J.M. van
Bemmelen yang menganggap tujuan hukum acara pidana sebagai
ketentuan hukum yang mencari kebenaran material sehingga kebenaran
formal bukanlah merupakan tujuan dari hukum acara pidana. Maka
berdasarkan konteks ini, pedoman pelaksanaan KUHAP yang menyebutkan
tujuan hukum acara pidana guna mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran material, rasanya kurang sepadan dan selaras
dengan ketentuan hukum acara pidana sebagai bagian dari ketentuan
hukum publik yang mengatur kepentingan umum juga mencari,
mendapatkan serta menemukan kebenaran material, jadi bukanlah untuk
setidak-tidaknya mendekati kebenaran material.Hakikat kebenaran
material yang ingin dicapai oleh hukum acara pidana ini merupakan
manifestasi dari fungsi hukum acara pidana sebagai:a. Mencari dan
menemukan kebenaran.b. Pemberian keputusan oleh Hakim.c.
Pelaksanaan keputusan.Fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini
selaras dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP dapat disimpulkan, sekali
lagi, adalah hakikat kebenaran material sesungguhnya, jadi bukan
mendekati kebenaran material atau terlebih lagi bukan
setidak-tidaknya mendekati kebenaran material.Mengenai Asas-asas
Umum Hukum Acara Pidana dapatlah kita introdusir dalam ketentuan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun
1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapatlah
disebutkan asas-asas umum hukum acara pidana adalah :a. Asas
Praduga Tidak Bersalah (Presumption of innocence) terhadap setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di
depan sidang pengadilan sampai adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);b. Asas
adanya perlakuan sama terhadap diri setiap orang di muka
hukum/hakim dengan tanpa perlakuan yang berbeda;c. Asas adanya
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus
berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi oleh
undang-undang dan hanya menurut cara yang diatur oleh
undang-undang;d. Asas kepada seorang yang ditangkap, ditahan dan
dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
dan atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya atau penerapan
hukum wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat
penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau
kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar maka akan
dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administratif;e.
Peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan;f.
Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan adanya
kehadiranterdakwa;g. Asas Oportunitas dan Dominus Litis dilakukan
oleh Jaksa/Penuntut Umum;h. Asas pemeriksaan sidang pengadilan
dilakukan secara terbuka untuk umum kecuali dalam hal-hal tertentu
yang ditentukan undang-undang dan ancaman batal demi hukum apabila
tidak dilakukan secara demikian;i. Asas bahwa setiap orang yang
tersangkut perkara pidana wajib memperoleh bantuan hukum dan
didampingi oleh penasihat hukum dari tingkat penyidikan sampai
peradilan;j. Asas pemeriksaan hakim di sidang pengadilan secara
langsung dan lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti para
saksi dan terdakwa; dank. Asas pelaksanaan putusan pengadilan oleh
Jaksa/Penuntut Umum dan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan
putusan pengadilan dalam perkara pidana oleh Ketua Pengadilan
Negeri yang bersangkutan.
.
BAB IIIPEMBAHASAN
A. Pertanggung jawaban Penyidik Polri Jika Terjadi Salah
Tangkap
Mengawali pembahasan pertanggung jawaban penyidik polri jika
terjadi salah tangkap, perlu dijelaskan sejarah dan pengertian
polisi. Secara teoritis, pemaknaan terhadap suatu suatu istilah
dapat dipengaruhi oleh konsep cara berpikir, cara pandang dan
pendekatan yang dilakukan serta perkembangan-perkembangan yang
terjadi, baik perkembangan sosial, budaya, bahasa maupun
kebiasaan-kebiasaan dari suatu bangsa dan Negara. Oleh karena itu
pemaknaan istilah polisi pun berkembang pula koheren dengan
pengaruh diatas, sehingga perbedaan makna yang terjadi menjadi
suatu wacana tersendiri.Ditinjau dari segi etnimologis istilah
polisi di beberapa Negara memiliki ketidaksamaan, seperti di Yunani
istilah polisi dengan sebutan politea, di Inggris disebut police,
di Jerman polizie, di Belanda politie, dan di Amerika di sebut
sheriff.Menurut Heri Tahir, Jauh sebelum istilah polisi lahir
sebagai organ kata polisi telah dikenal dalam bahasa Yunani, yakni
politeia. Kata politeia digunakan sebagai title buku pertama Plato,
yakni politeia yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali
sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin
yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung
tinggi.[footnoteRef:19] [19: Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian,
Laksbang Pressindo Yogyakarta,2009, Hlm 2]
Dilihat dari sisi historis, istilah polisi di Indonesia
tampaknya mengikuti dan menggunakan istilah politie di Belanda. Hal
ini sebagai akibat dan pengaruh dari bangunan sistem hukum Belanda
yang banyak dianut di negara Indonesia.Sesuai dengan Kamus Umum
Bahasa Indonesia, bahwa Polisi diartikan :1) Sebagai badan
pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum
(seperti menangkap orang yang melanggar undang-undang dsb.) dan2)
Anggota dari badan pemerintahan tersebut di atas ( pegawai negara
yang bertugas menjaga keamanan,dsb ).[footnoteRef:20] [20: W.J.S.
Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1986, Hlm 763]
Dapat disimpulkan bahwa pemakaian istilah polisi digunakan dalam
hal sebagai berikut :a) Untuk menyebut lingkungan pekerjaan
tertentu (tugas polisi)b) Untuk menyebut badan/organ yang
melaksanakan tugas (organ polisi).c) Untuk menyebut pejabat yang
mengemban tugas (pejabat polisi)d) Untuk menyebut bidang ilmu
pengetahuan yang digunakan dalam tugas kepolisian (ilmu
kepolisian).Berdasarkan pengertian dari Kamus Umum Bahasa Indonesia
tersebut ditegaskan bahwa kepolisian sebagai badan pemerintah yang
diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dengan
demikian arti polisi tetap ditonjolkan sebagai badan atau lembaga
yang harus menjalani fungsi pemerintahan, dan sebagai sebutan
anggota dari lembaga. Pengertian lain sebagaimana yang disebutkan
dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri
yang mengatakan bahwa Kepolisian adalah segala hal ihwal yang
berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.Istilah kepolisian dalam undang-undang Polri
tersebut mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga
polisi. Jika mencermati dari pengertian fungsi polisi sebagaimana
disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang
Polri tersebut fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi
pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada
masyarakat.Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah
yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan
menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian berbicara kepolisian berarti berbicara tentang
fungsi dan lembaga kepolisian. Pemberian makna dari kepolisian ini
dipengaruhi dari konsep fungsi kepolisian yang diembannya dan
dirumuskan dalam tugas dan wewenangnya.Beranjak dari
pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa
istilah polisi dan kepolisian mengandung pengertian yang berbeda.
Istilah polisi adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang
ada dalam negara, dan istilah kepolisian adalah sebagai organ dan
sebagai fungsi. Sebagai organ yakni suatu lembaga yang terorganisir
dan terstruktur dalam organisasi negara, sedangkan sebagai fungsi
yakni tugas dan wewenang serta tanggungjawab lembaga atas kuasa
undang-undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara lain
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
pelindung, pengayom dan pelayanan kepada masyarakat.
1.Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
a. Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik IndonesiaTugas pokok
Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 13
Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri. Tugas pokok Polri
dalam pasal 13 yakni : 1) Memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat;2) Menegakan hukum;dan3) Memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.Di dalam menjalakan
tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, polri
memiliki tanggungjawab terciptanya dan terbinanya suatu kondisi
yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat. Menurut pendapat
Soebroto Brotodiredjo, bahwa keamanan dan ketertiban adalah keadaan
bebas dari kerusakan atau kehancuran yang mengancam keseluruhan
atau perorangan dan memberikan rasa bebas dari ketakutan atau
kekhawatiran, sehingga ada kepastian dan kepastian dari segala
kepentingan atau suatu keadaan yang bebas dari pelanggaran
norma-norma hukum[footnoteRef:21] [21: Soebroto Brotodiredjo dalam
R.Abdussalam, Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri, Dinas Hukum
Polri, Jakarta, 1997, Hlm 22]
Dengan demikian tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat berusaha menjaga dan memelihara akan kondisi
masyarakat terbebas dari rasa ketakutan atau kekhawatiran sehingga
ada kepastian dan rasa jaminan dari segala kepentingan, serta
terbebas dari adanya pelanggaran norma-norma hukum. Usaha yang
dilaksanakan tersebut melalui upaya preventif maupun represif.Jika
kata ketertiban diberi makna terpisah dari kata keamanan akan
mengandung arti suatu kondisi yang teratur atau tertata dengan
tidak ada suatu penyimpangan dari tatanan yang ada. Ketertiban ini
terkait dengan kepatuhan, karena dengan rasa patuh tidak akan
terjadi penyimpangan, dengan tidak ada penyimpangan berarti
tertib.[footnoteRef:22] [22: Herri Tahir, Proses Hukum Yang Adil
dalam Sistem peradilan Pidana di Indonesia, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, 2010 Hlm 96]
Didalam menyelenggarakan tugas memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat tersebut dicapai melalui dua tugas yang
terbagi menjadi 2 ( dua ) yaitu, tugas preventif dan tugas
represif. Tugas dibidang preventif dilaksanakan dengan konsep pola
dan pembinaan dalam wujud pemberian pengayoman perlindungan dan
pelayanan kepada masyarakat, agar masyarakat merasa aman, tertib,
dan tentram tidak terganggu segala aktivitasnya. Oleh karena itu,
langkah preventif adalah usaha mencegah bertemunya niat dan
kesempatan berbuat jahat sehingga tidak terjadi kejahatan atau
kriminalitas.Tugas-tugas dibidang represif adalah mengadakan
penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran sebagaimana yang diatur
menurut ketentuan dalam undang-undang. Tugas represif ini sebagai
tugas kepolisian dalam bidang peradilan atau penegakan hukum yang
dibebankan kepada petugas kepolisian, bahwa petugas-petugas
kepolisian di bebani dengan tanggung jawab khusus untuk memelihara
ketertiban masyarakat dan menangani tindakan-tindakan kejahatan,
baik dalam bentuk tindakan terhadap pelaku kejahatan maupun dalam
bentuk upaya pencegahan kejahatan agar supaya para anggota
masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan
tentram.[footnoteRef:23] [23: Sadjijono,Memahami Hukum Kepolisian
,Op.Cit, Hlm 111]
Kemudian dalam pasal 14 UU No.2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian
Negara Republik Indonesia, di jabarkan secara lebih terperinci
tugas-tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan pada
tiga tugas pokok yang telah disebutkan pada pasal 13 UU No.2 Tahun
2002, yaitu sebagai berikut :a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan,
pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah
sesuai kebutuhan;b. Menyelenggaran segala kegiatan dalam menjamin
keamanan ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;c. Membina
masyarakat untuk meningkatkan parsipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan;d. Turut serta dalam pembinaan hukum
nasional;e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;f.
Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentukbentuk
pengamanan swakarsa;g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya;h. Menyelenggarakan
indentifiksi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium
forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingn tugas
kepolisian;i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda,
masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau
bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia;j. Melayani kepentingan warga
masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau
pihak yang berwenang;k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat
sesuai dengan kepentingan dalam lingkungan tugas kepolisian;
sertal. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, yang dalam pelaksanaannya akan diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
b. Wewenang Kepolisian Negara Republik IndonesiaDalam
melaksanakan tugasnya, Polri diberi wewenang yang diperoleh secara
atribut, yakni wewenang yang dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan,antara lain wewenang kepolisian yang di rumuskan
dalam pasal 30 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945, wewenang kepolisian
yang dirumuskan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri,
dan wewenang yang dirumuskan dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981
tentang KUHAP.Di dalam pembahasan wewenang kepolisian ini hanya di
fokuskan pada wewenang kepolisian yang diperoleh secara atributif,
maksudnya wewenang yang diperoleh dan diatur dalam peraturan
perundang undangan. Wewenang kepolisian yang diperoleh secara
atributif tersebut meliputi wewenang umum dan wewenang khusus.
Wewenang umum sebagaimana dirumuskan dalam pasal 15 ayat 1
Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri,meliputi :a. menerima
laporan dan/atau pengaduan;b. membantu menyelesaikan perselisihan
warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum;c. mencegah
dan menanggulangi tumbuhnya penyakit msyarakat;d. mengawasi aliran
yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa;e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup
kewenangan administratif kepolisian;f. melaksanakan pemeriksaan
khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan;g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;h.
mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang;i. mencari keterangan dan barang bukti;j.
menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;k. mengeluarkan
surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat;l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang
dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta
kegiatan msyarakat;m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk
sementara waktu.
Berkaitan dengan wewenang khusus kepolisian, antara lain
meliputi, pertama: kewenangan sesuai peraturan perundang undangan (
pasal 15 ayat 2 ), dan kedua: wewenang penyelidikan atau penyidikan
proses pidana, di atur dalam pasal 16 ayat 1 Undang-undang No.2
Tahun 2002.1. Wewenang sesuai peraturan perundang undangan :a.
memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya;b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi
kendaraan bermotor;c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan
bermotor;d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;e.
memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha di bidang jasa pengamanan;f. memberikan izin dan malakukan
pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;g.
memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus
dan petugas pengaman swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;h.
melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik
dan memberantas kejahatan internasional;i. melakukan pengawasan
fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah
Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;j. mewakili pemerintah
Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;k.
melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian2. Kewenangan di bidang proses pidana :a. melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;b. melarang
setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan;c. membawa dan menghadapkan orang
kepada penyidik dalam rangka penyidikan;d. menyuruh berhenti orang
yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal
diri;e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;f. memanggil
orang untuk didengan dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;g.
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;h. mengadakan penghentian penyidikan;i.
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;j. mengajukan
permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang
di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak
untuk mencegah atau menangkal orang yng disangka melakukan tindak
pidana;k. memnberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada
penyidik pegawai neri sipil serta menerima hasil penyidikan
penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut
umum; danl. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab, yaitu tindakan penyelidik dan penyidik yang dilaksankan
dengan syarat sebagai berikut; tidak bertentangan dengan suatu
aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
tindakan tersebut dilakukan; harus patut, masuk akal, dan termasuk
dalam lingkungan jabatannya; pertimbangan yang layak berdasarkan
keadaan yang memaksa, dan menghormati hak azasi manusia
2. Menurut Peraturan Kapolri No. Pol: 7 Tahun 2006 tentang Kode
Etik Profesi Kepolisian Republik IndonesiaEtika profesi merupakan
aturan perilaku yang memiliki kekuatan mengikat bagi setiap
pemegang profesi. Konsep dasar etika profesi berorientasi pada
suatu tujuan agar setiap pemegang profesi tetap berada dalam
nilai-nilai professional, bertanggungjawab dan menjujung tinggi
profesi yang dipegangnya. Menurut Liliana Tedjosaputro, hakekat
etika setiap profesi tercermin dari kode etiknya yang berupa suatu
ikatan, suatu aturan ( tata ), atau norma yang harus diindahkan (
kaidah ) yang berisi petunjuk-petunjuk kepada para anggota
organisasinya tentang larangan-larangan, yaitu apa yang tidak boleh
diperbuat atau dilakukan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan
profesinya, tetapi kadang-kadang juga menyangkut perilaku mereka
pada umumnya dalam masyarakat[footnoteRef:24] [24: Sadjijono,Etika
Profesi Hukum ,Op.Cit, Hlm 76]
Guna memaksimalkan dan menjalankan kemampuan profesinya dengan
baik setelah melalui penyelenggaraan pembinaan profesi oleh setiap
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka diperlukan suatu
kode etik profesi kepolisian sebagai pedoman sikap dan perilakunya.
Kode etik profesi kepolisian tersebut diatur di dalam Peraturan
Kapolri No.Pol : 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Kode etik tersebut wajib dipatuhi oleh
setiap angota kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Kode etik profesi kepolisian tersebut terdapat tiga macam pilar
etika profesi yang terdiri atas etika pengabdian yang diatur dalam
bab 1, kemudian etika kelembagaan pada Bab 2, dan etika kenegaraan
dalam Bab 3. Di dalam kode etik tersebut juga diatur mengenai
penegakan kode etik profesi kepolisian tersebutDi dalam Bab 4 guna
menindaklanjuti setiap bentuk pelanggaran kode etik profesi
kepolisian tersebut. Pelanggaran terhadap kode etik profesi polisi
tersebut akan dikenai sanksi yang diputuskan melalui pemeriksaan
dalam sidang oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Sanksi yang dijatuhkan tersebut didasarkan pada tingkat
atau derajat pelanggaran yang dilakukan pelanggar.Peraturan Kapolri
No. Pol :7 Tahun 2006 tentang Kode Etik profesi Kepolisian Negara
republik Indonesia pasal 10 ayat 2, didalamnya telah dinyatakan
bahwa anggota kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugasnya wajib memelihara perilaku terpercaya dengan
:a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah
salahb. Tidak memihakc. Memberikan keterangan yang benar dan tidak
menyesatkand. Bersikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang
perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua
pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud,sehingga
diperoleh kejelasan tentang penyelesaiannyae. Tidak melakukan
pertemuan diluar ruang pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait
dengan perkaraf. Tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan
saksig. Tidak mencari-cari kesalahan masyarakath. Tidak menyebarkan
berita yang dapat meresahkan masyarakati. Tidak mempublikasikan
tata cara, taktik, dan teknik penyidikanj. Tidak boleh menolak
permintaan pertolongan/bantuan dari masyarakat dengan alasan bukan
wilayah hukumnyak. Tidak mengeluarkan ucapan atau isyarat yang
bertujuan untuk mendapatkan imbalan atas pelayanan yang diberikan
kepada masyarakatl. Menunjukan penghargaan dan kerjasama dengan
sesama pejabat negara dalam sistem peradilan pidanam. Tidak
menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja
menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan, dan ketergantungan pada
pihak-pihak yang terkait dengan perkara.
Bentuk-bentuk sanksi yang terdapat dalam Kode Etik Profesi
Kepolisan Negara Republik Indonesia bila melakukan pelanggaran
adalah sebagai berikut :Perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai
perbuatan tercela ;a. Kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara
terbatas ataupun secara langsungb. Kewajiban pelanggar untuk
mengikuti pembinaan ulang profesi; c. Pelanggar dinyatakan tidak
layak lagi untuk menjalankan fungsi kepolisian
a. Bentuk Tanggung Jawab Polri
Menurut Sadjijono, berdasarkan Bab 3 tentang Penegakan Kode Etik
Profesi pasal 11 ayat 2, bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh
polisi dibedakan menjadi 2 yaitu : - Tanggung jawab materiil, yaitu
mengenai sanksi pernyataan maaf secara terbatas dan secara terbuka,
artinya untuk permohonan maaf secara terbatas dilakukan oleh
pelanggar secara langsung baik lisan maupun tulisan kepada pihak
yang dirugikan oleh pelanggar. Sedangkan pernyataan maaf secara
terbuka adalah permintaan maaf dan penyesalan secara tidak langsung
melalui media massa kepada pihak yang telah dirugikan oleh
pelanggar.- Tanggung jawab imateriil yaitu, mengenai sanksi berupa
kewajiban pembinaan ulang di Lembaga Pendidikan Polri yaitu apabila
pelanggar telah terbukti secara sah melanggar Kode Etik Profesi
kepolisian Negara Republik Indonesia sebanyak dua kali atau lebih.
Selain pembinaan ulang, pelanggar yang dikenai sanksi tidak lagi
layak untuk menjalankan profesi kepolisian adalah pelanggar yang
menurut sidang Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia sudah tidak pantas lagi untuk mengemban tugas kepolisian
sebagaimana yang diatur dalam pasal 14, 15 dan 16 UU No.2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dan untuk itu,
berdasarkan saran dan pertimbangan dari ketua sidang Komisi Kode
Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut terhadap
pelanggar dapat dikenai sanksi berupa sanksi administratif
administratif ( mutasi dan penurunan pangkat ), sanksi
pemberhentian dengan hormat, atau sanksi pemberhentian dengan tidak
hormat[footnoteRef:25]. Administratif ( mutasi dan penurunan
pangkat ), sanksi pemberhentian dengan hormat, atau sanksi
pemberhentian dengan tidak hormat[footnoteRef:26]. [25: Ibid, Hlm
106] [26: Ibid, Hlm 106]
Sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat menjadi bentuk
sanksi yang terberat dan hanya mungkin dijatuhkan apabila dalam
pandangan sidang Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia pelanggaran yang dilakukan pelanggar sangat berat dan
mencemarkan kredibilitas Institusi Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Pengaturan lebih lanjut tentang pemberhentian anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam PP No.1 Tahun
2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Di dalam Bab 3, yaitu pasal 11 PP No.1 Tahun 2003,
disebutkan mengenai beberapa alasan pemberhentian dengan tidak
hormat yaitu :1) Karena melakukan tindak pidana2) Karena melakukan
pelanggaran3) Karena meninggalkan tugas atau hal lain.Pemberhentian
dengan tidak hormat karena melakukan pelanggaran lebih dijelaskan
lagi dalam pasal 13 PP No.1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan dengan
tidak hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia karena
melanggar sumpah atau janji anggota Kepolisian,sumpah atau janji
jabatan,dan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pemberhentian dengan tidak hormat seperti yang dimaksud tersebut
dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Negara
Republik Indonesia.[footnoteRef:27] [27: M.Khoidin, Mengenal Figur
polisi Kita,,Laksbang pressindo Yogyakarta,2006 ,Hlm 183]
BAB IVPENUTUP
A. Kesimpulan1. Bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh
penyidik Polri dibedakan menjadi 2 yaitu : Tanggung jawab materiil,
yaitu mengenai sanksi pernyataan maaf secara terbatas dan terbuka,
artinya permohonan maaf secara terbatas dilakukan oleh pelanggar
secara langsung baik lisan maupun tulisan kepada pihak yang
dirugikan oleh pelanggar. Sedangkan pernyataan maaf secara terbuka
adalah permintaan maaf dan penyesalan secara tidak langsung melalui
media massa kepada pihak yang telah dirugikan oleh pelanggar.
Tanggung jawab imateriil yaitu, mengenai sanksi berupa kewajiban
pembinaan ulang di lembaga pendidikan polri yaitu apabila pelanggar
secara terbukti secara sah melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebanyak dua kali atau lebih. Selain
pembinaan ulang, pelanggar yang dikenai sanksi tidak layak untuk
menjalankan profesi kepolisian adalah pelanggar yang menurut sidang
Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah tidak
pantas lagi untuk mengemban tugas kepolisian sebagaimana yang
diatur dalam pasal 14, 15, dan 16 UU No.2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
B. Saran1. Perlu adanya sosialisasi mengenai UU No.2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan juga Peraturan
Kapolri No.Pol : 7 Tahun 2006 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia dikalangan anggota polri sendiri, agar
supaya kesalahan-kesalahan dalam proses penyidikan bisa
diminimalisir dan agar supaya penyidik Polri bisa bersikap lebih
profesional sesuai dengan kode etik dan juga UU No.2 Tahun
2002.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri, Dinas Hukum
Polri, Jakarta, 1997Ahmad,Rival,dkk, Panduan Bantuan Hukum Di
Indonesia, YLBHI, Jakarta, 2006Asmawie, Hanawi, Ganti Rugi Dan
Rehabilitasi Menurut KUHAP, PT.Pradya Paramita, Jakarta ,
1992Harahap,Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Sinar Grafika, Jakarta, 2000.Herri Tahir, Proses Hukum Yang Adil
Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, 2010Khoidin, Mengenal Figur Polisi Kita, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta, 2006.Lubis, Sofyan, Hak Tersangka Sebelum
Pemeriksaan, Pustaka Yustitia, Yogyakarta, 2010.Marpaung, Leiden.,
Proses Penanganan Perkara Pidana ( Penyelidikan Dan Penyidikan ),
Sinar Grafika, Jakarta , 2009Sadjijono, Etika Profesi Hukum ( Suatu
Telaah Filosofis Terhadap Konsep Dan Implementasi Kode Etik Profesi
Polri ) , Laksbang Mediatama,Yogyakarta,2008Sadjijono, Memahami
Hukum Kepolisian, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010Soekanto,
Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011Tim Pengajar , Hukum Acara Pidana,
Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2010
Sumber Perundang-undangan.UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.PP No.Pol : 7 Tahun 2006 Tentang Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik IndonesiaPP No.1 Tahun 2003
Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik
IndonesiaUU No .8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
43