KONJUNGTIVITIS
Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva yang ditandai oleh
dilatasi vaskular, infiltrasi selular dan eksudasi, atau Radang
pada selaput lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola
mata.Konjungtivitis di bedakan menjadi akut dan kronis yang
disebabkan oleh mikro-organisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia),
alergi, iritasi bahan-bahan kimia.
AnatomiKonjungtiva merupakan lapisan terluar dari mata yang
terdiri dari membran mukosa tipis yang melapisi kelopak mata,
kemudian melengkung melapisi permukaan bola mata dan berakhir pada
daerah transparan pada mata
yaitu kornea. Secara anatomi, konjungtiva dibagi atas 2 bagian
yaitu konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbaris. Namun, secara
letak areanya, konjungtiva ibagi menjadi 6 area yaitu area
marginal, tarsal, orbital, forniks, bulbar dan limbal. Konjungtiva
bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan
mukokutan) dan dengan epitel kornea pada limbus.Pada konjungtiva
palpebra, terdapat dua lapisan epithelium dan menebal secara
bertahap dari forniks ke limbus dengan membentuk epithelium
berlapis tanpa keratinisasi pada daerah marginal kornea.
Konjungtiva palpebralis terdiri dari epitel berlapis tanpa
keratinisasi yang lebih tipis. Dibawah epitel tersebut terdapat
lapisan adenoid yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang
terdiri dari leukosit. Konjungtiva palpebralis melekat kuat pada
tarsus, sedangkan bagian bulbar bergerak secara bebas pada sklera
kecuali yang dekat pada daerah kornea.Berikut adalah gambaran
anatomi dari konjungtiva .
Gambar 2.5. Anatomi Konjungtiva
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior
dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan
bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikut i pola
arterinya membentuk jaringjaring vaskuler konjungtiva yang banyak
sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan
superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh
limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik)
nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat
nyeri. Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata,
menyediakan kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka
dan melindungi mata, dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang
berupa barier epitel, akt ivitas lakrimasi, dan menyuplai darah.
Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa ekanisme imunologis
seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa
tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA Pada konjungtiva terdapat
beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup besar yaitu 1.
Penghasil musin
a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak
ditemukan pada daerah inferonasal.
b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari
konjungtiva tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari
konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus.2. Kelenjar
asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause
dan kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah
substansi propria.Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari
mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi
dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan
bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan
merupakan medium yang baik. EtiologiKonjungtiva bisa mengalami
peradangan akibat:
Infeksi olah virus atau bakteri
Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar
ultraviolet dari las listrik atau sinar matahari.
KlasifikasiKonjungtivitis, terdiri dari:1. Konjungtivitis bakterial
Akut2. Konjungtivitis virus Akut3. Konjungtivitis alergi 4.
Konjungtivitis Neonatorum5. Konjungtivitis iritasi atau kimia
Konjungtivitis Bakterial Akut
DefinisiPeradangan pada konjungtiva yang disebabkan Oleh
Streptokokus, Corynebacterium diptherica, Pseudomonas, neisseria,
dan hemophilus.
Terdapat dua bentuk konjungtivitis bacterial: akut (dan subakut)
dan menahun. Penyebab konjungtivitis bakteri paling sering adalah
Staphylococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus. Konjungtivitis
bacterial akut dapat sembuh sendiri bila disebabkan mikroorganisme
seperti Haemophilus influenza. Lamanya penyakit dapat mencapai 2
minggu jika tidak diobati dengan memadai. Konjungtivitis akut dapat
menjadi menahun. Pengobatan dengan salah satu dari sekian
antibacterial yang tersedia biasanya mengenai keadaan ini dalam
beberapa hari. Konjungtivitis purulen yang disebabkan Neisseria
gonorroeae atau Neisseria meningitides dapat menimbulkan komplikasi
berat bila tidak diobati secara dini, Diagnosis
Hiperemi Konjungtiva
Edema kelopak dengan kornea yang jernih
Kemosis : pembengkakan konjungtiva Mukopurulen atau
PurulenPemeriksaan
Pemeriksaan tajam penglihatan
Pemeriksaan segmen anterior bola mata
Sediaan langsung (swab konjungtiva untuk pewarnaan garam) untuk
mengindentifikasi bakteri, jamur dan sitologinya. Infeksi biasanya
mulai pada satu mata dan menular ke sebelah oleh tangan. Infeksi
dapat menyebar ke orang lain melalui bahan yang dapat menyebarkan
kuman seperti seprei, kain, dll.Pemeriksaan Laboratorium
Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bacterial, organism dapat
diketahui dengan pemeriksaan mikroskopik terhadap kerokan
konjungtiva yang dipulas dengan pulasan Gram atau Giemsa;
pemeriksaan ini mengungkapkan banyak neutrofil
polimorfonuklear.Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik
dan biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika
penyakit itu purulen, bermembran atau berpseudomembran. Studi
sensitivitas antibiotika juga baik, namun sebaiknya harus dimulai
terapi antibiotika empiric. Bila hasil sensitifitas antibiotika
telah ada, tetapi antibiotika spesifik dapat diteruskan.
TerapiPrinsip terapi dengan obat topical spectrum luas. Pada 24 jam
pertama obat diteteskan tiap 2 jam kemudian pada hari berikutnya
diberikan 4 kali sehari selama 1 minggu. Pada malam harinya
diberikan salep mata untuk mencegah belekan di pagi hari dan
mempercepat penyembuhan Terapi spesifik terhadap konjungtivitis
bacterial tergantung temuan agen mikrobiologiknya. Sambil menunggu
hasil laboratorium, dokter dapat mulai dengan terapi topical
antimikroba. Pada setiap konjungtivitis purulen, harus dipilih
antibiotika yang cocok untuk mengobati infeksi N gonorroeae, dan N
meningitides. Terapi topical dan sistemik harus segera dilkasanakan
setelah materi untuk pemeriksaan laboratorium telah diperoleh. Pada
konjungtivitis purulen dan mukopurulen akut, saccus konjungtiva
harus dibilas dengan larutan garam agar dapat menghilangkan secret
konjungtiva. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, pasien dan
keluarga diminta memperhatikan secara khusus hygiene perorangan.
Perjalanan dan Prognosis
Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri,
infeksi dapat berlangsung selama 10-14 hari; jika diobati dengan
memadai, 1-3 hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus (yang dapat
berlanjut menjadi blefarokonjungtivitis dan memasuki tahap mnehun)
dan konjungtivitis gonokokus (yang bila tidak diobati dapat
berakibat perforasi kornea dan endoftalmitis). Karena konjungtiva
dapat menjadi gerbang masuk bagi meningokokus ke dalam darah dan
meninges, hasil akhir konjungtivitis meningokokus adalah septicemia
dan meningitis. Konjungtivitis bacterial menahun mungkin tidak
dapat sembuh sendiri dan menjadi masalah pengobatan yang
menyulitkan. Pencegahan
Konjungtivitis mudah menular, karena itu sebelum dan
sesudahmembersihkan atau mengoleskan obat, penderita harus mencuci
tangannya bersih-bersih.
Usahakan untuk tidak menyentuh mata yang sehat sesudah menangani
mata yang sakit.
Jangan menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan penghuni
rumah lainnya.Konjungtivitis Gonore
Merupakan radang konjungtiva akut dan hebat disertai dengan
sekret purulen. Gonokok merupakan kuman yang sangat patogen,
virulen dan bersifat invasif, sehingga reaksi radang terhadap kuman
ini sangat berat.
Infeksi pada neonatus terjadi pada saat berada pada jalan
kelahiran, sedang pada bayi penyakit ini ditularkan oleh ibu yang
menderita penyakit tersebut.
Gejala
Konjungtiva yang kaku, dan sakit saat perabaan
Kelopak mata membengkak dan kaku sehingga sukar di buka.
Terdapat pseudomembran pada konjungtiva tarsal superior,
sedangkan konjungtiva bulbi merah.
Pada stadium supuratif terdapat sekret yang kental.
Pemeriksan dan diagnosis
Pemeriksaan sekret dan pewarnaan metilen blu dimana dapat
terlihat diplokok di dalam sel leukosit.
Pengobatan
Penisilin Salep dn Suntikan pada bayi diberikan 50.000 U/kgBB
selama & hari. konjungtivitis Angular
Konjungtivitis Angular terutama didapatkan di daerah kantus
interpalpebra. Disebabkan oleh Basil Moraxella Axenfeld. Gejala
Ekskoriasi kulit di sekitar daerah meradang
Sekret mukopurulen
Pasien sering mengedip
PengobatanTetrasiklin dan basitrasinKonjungtivitis
mukopurulenKonjungtivitis mukopurulen merupakan konjungtivitis
dengan gejala umum konjungtivitis kiataral mukoid yang disebabkan
oleh Staphylococcus atau basil Koch Weeks.Gejala
Hiperemi konjungtiva
Sekret berlendir yang mengakibatkan kedua kelopak mata melekat
terutama saat bangun pagi.Konjungtivitis VirusKonjungtivitis
Folikuler Virus Akuta). Demam Faringokonjungtival Tanda dan
gejala
Demam Faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3-40 C, sakit
tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau dua mata.
Folikuler sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan pada
mukosa faring. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dan
kadang-kadang sedikit kekeruhan daerah subepitel. Yang khas adalah
limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri tekan).
Laboratorium
Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh adenovirus
tipe 3 dan kadang kadang oleh tipe 4 dan 7. Virus itu dapat
dibiakkan dalam sel HeLa dan ditetapkan oleh tes netralisasi.
Dengan berkembangnya penyakit, virus ini dapat juga didiagnosis
secara serologic dengan meningkatnya titer antibody penetral virus.
Diagnosis klinis adalah hal mudah dan jelas lebih praktis.Kerokan
konjungtiva terutama mengandung sel mononuclear, dan tak ada
bakteri yang tumbuh pada biakan. Keadaan ini lebih sering pada
anak-anak daripada orang dewasa dan sukar menular di kolam renang
berchlor.Terapi
Tidak ada pengobatan spesifik. Konjungtivitisnya sembuh sendiri,
umumnya dalam sekitar 10 hari. b). Keratokonjungtivitis
EpidemikaTanda dan gejala
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering
pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Pada
awalnya pasien merasa ada infeksi dengan nyeri sedang dan berair
mata, kemudian diikuti dalam 5-14 hari oleh fotofobia, keratitis
epitel, dan kekeruhan subepitel bulat. Sensai kornea normal. Nodus
preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema palpebra, kemosis,
dan hyperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan
perdarahan konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk
pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau pembentukan
symblepharon. Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu.
Kekeruhan subepitel terutama terdapat di pusat kornea, bukan di
tepian, dan menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa
meninggalkan parut. Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa
terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin
terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit
tenggorokan, otitis media, dan diare. Laboratorium
Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8,
19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus
ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes
netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang
mononuclear primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat
banyak neutrofil. Penyebaran
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering
terjadi melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata
yang kurang steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi.
Larutan mata, terutama anestetika topical, mungkin terkontaminasi
saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva
atau silia. Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang
menjadi sumber penyebaran. Pencegahan
Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan dengan
memakai penetes steril pribadi atau memakai tetes mata dengan
kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di antara pemeriksaan
dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang menyentuh mata
khususnya tonometer juga suatu keharusan. Tonometer aplanasi harus
dibersihkan dengan alcohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan
air steril dan dikeringkan dengan hati-hati. Terapi
Sekarang ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin
akan mengurangi beberapa gejala. kortikosteroid selama
konjungtivitis akut dapat memperpanjang keterlibatan kornea
sehingga harus dihindari. Agen antibakteri harus diberikan jika
terjadi superinfeksi bacterial. c). Konjungtivitis Virus Herpes
Simpleks Tanda dan gejala
Konjungtivitis virus herpes simplex biasanya merupakan penyakit
anak kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang ditandai pelebaran
pembuluh darah unilateral, iritasi, bertahi mata mukoid, sakit, dan
fotofobia ringan. Pada kornea tampak lesi-lesi epithelial
tersendiri yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau
ulkus-ulkus epithelial yang bercabang banyak (dendritik).
Konjungtivitisnya folikuler. Vesikel herpes kadang-kadang muncul di
palpebra dan tepian palpebra, disertai edema hebat pada palpebra.
Khas terdapat sebuah nodus preaurikuler yang terasa nyeri jika
ditekan. Laboratorium
Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau dalam biakan. Jika
konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama mononuclear,
namun jika pseudomembran, reaksinya terutama polimorfonuklear
akibat kemotaksis dari tempat nekrosis. Inklusi intranuklear tampak
dalam sel konjungtiva dan kornea, jika dipakai fiksasi Bouin dan
pulasan Papanicolaou, tetapi tidak terlihat dengan pulasan Giemsa.
Ditemukannya sel sel epithelial raksasa multinuclear mempunyai
nilai diagnostic.Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah
aplikator berujung kain kering di atas konjungtiva dan memindahkan
sel-sel terinfeksi ke jaringan biakan. Terapi
Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau pada
orang dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu terapi.
Namun, antivirus local maupun sistemik harus diberikan untuk
mencegah terkenanya kornea. Untuk ulkus kornea mungkin diperlukan
debridemen kornea dengan hati-hati yakni dengan mengusap ulkus
dengan kain kering, meneteskan obat antivirus, dan menutupkan mata
selama 24 jam. Antivirus topical sendiri harus diberikan 7 10 hari:
trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun atau salep vida rabine
lima kali sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam
sewaktu bangun dan 1 tetes setiap 2 jam di waktu malam. Keratitis
herpes dapat pula diobati dengan salep acyclovir 3% lima kali
sehari selama 10 hari atau dengan acyclovir oral, 400 mg lima kali
sehari selama 7 hari.Untuk ulkus kornea, debridmen kornea dapat
dilakukan. Lebih jarang adalah pemakaian vidarabine atau
idoxuridine. Antivirus topical harus dipakai 7-10 hari. Penggunaan
kortikosteroid dikontraindikasikan, karena makin memperburuk
infeksi herpes simplex dan mengkonversi penyakit dari proses sembuh
sendiri yang singkat menjadi infeksi yang sangat panjang dan berat.
d). Konjungtivitis Hemoragika Akut Epidemiologi
Semua benua dan kebanyakan pulau di dunia pernah mengalami
epidemic besar konjungtivitis konjungtivitis hemoregika akut ini.
Pertama kali diketahui di Ghana dalam tahun 1969. Konjungtivitis
ini disebabkan oleh coxackie virus A24. Masa inkubasi virus ini
pendek (8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari). Tanda dan
Gejala
Mata terasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak
mengeluarkan air mata, merah, edema palpebra, dan hemoragi
subkonjungtival. Kadang-kadang terjadi kemosis. Hemoragi
subkonjungtiva umumnya difus, namun dapat berupa bintik-bintik pada
awalnya, dimulai di konjungtiva bulbi superior dan menyebar ke
bawah. Kebanyaka pasien mengalami limfadenopati preaurikuler,
folikel konjungtiva, dan keratitis epithelial. Uveitis anterior
pernah dilaporkan, demam, malaise, mialgia, umum pada 25% kasus.
Penyebaran
Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang dan
oleh fomite seperti sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan
air. Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari
Terapi
Tidak ada pengobatan yang pasti. 2.6 Konjungtivitis Imunologik
(Alergik)Reaksi Hipersensitivitas Humoral Langsung
2.7 Konjungtivitis Atopik Tanda dan gejala
Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan fotofobia.
Tepian palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti
susu. Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak
berkembang seperti pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih
sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan papilla raksasa
pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus superior.
Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut
penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulangkali.
Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan
vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan
bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan. Biasanya ada riwayat
alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada pasien atau
keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopic
sejak bayi. Parut pada lipatan-lipatan fleksura lipat siku dan
pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti
dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopic berlangsung
berlarut-larut dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti
keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif
bila pasien telah berusia 50 tahun. Laboratorium
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak
yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal. Terapi
Atihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x sehari),
astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg waktu
tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat
antiradang non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan
iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini.
Pada kasus berat, plasmaferesis merupakan terapi tambahan. Pada
kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan
transplantasi kornea untuk mengembalikan ketajaman penglihatannya.
2.8 Konjungtivitis Iatrogenik Pemberian Obat TopikalKonjungtivitis
folikular toksik atau konjungtivitis non-spesifik infiltrate, yang
diikuti pembentukan parut, sering kali terjadi akibat pemberian
lama dipivefrin, miotika, idoxuridine, neomycin, dan obat-obat lain
yang disiapkan dalam bahanpengawet atau vehikel toksik atau yang
menimbulakan iritasi. Perak nitrat yang diteteskan ke dalam saccus
conjingtiva saat lahir sering menjadi penyebab konjungtivitis kimia
ringan. Jika produksi air mata berkurang akibat iritasi yang
kontinyu, konjungtiva kemudian akan cedera karena tidak ada
pengenceran terhadap agen yang merusak saat diteteskan kedalam
saccus conjungtivae. Kerokan konjungtiva sering mengandung sel-sel
epitel berkeratin, beberapa neutrofil polimorfonuklear, dan
sesekali ada sel berbentuk aneh. Pengobatan terdiri atas
menghentikan agen penyebab dan memakai tetesan yang lembut atau
lunak, atau sama sekali tanpa tetesan. Sering reaksi konjungtiva
menetap sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya setelah
penyebabnya dihilangkan. 2.7.2 Konjungtivitis Vernalissuatu
inflamasi mata bagian luar yang bersifat musiman dan dianggap
sebagai suatu alergi. Konjungtiva banyak sekali mengandung sel dari
sistem kekebalan (mast sel) yang melepaskan senyawa kimia
(mediator) dalam merespon terhadap berbagai rangsangan (seperti
serbuk sari atau debu tungau) . Mediator ini menyebabkan radang
pada mata, yang mungkin sebentar atau bertahan lama. Sekitar 20%
dari orang memiliki tingkat mata merah alergi.Diagnosis
Ditemukan adanya tanda-tanda radang konjungtiva Ditemukan adanya
giant papil pada konjungtiva palpebra superior
Ditemukan adanya tantras dot pada limbus kornea
Kadang disertai shield ulcer
Bersifat kumat-kumatan
Gejal danTanda :
Mata merah (biasanya rekuren)
Kadang disertai rasa gatal yang hebat
Adanya riwayat alergi
Adanya hipertrofi papil difus pada konjungtiva tersal terutama
superior
Adanya penebalan limbus dengan tantras dot
Discharge mukoid dan menjadi mukopurulen apabila terdapat
infeksi sekunder
Terapi
Kasus ringan : terapi edukasi (menghindari allergen, kompres
dingin, ruangan sejuk, lubrikasi, salep mata), pemberian
antihistamin (topical levokabastin, emestadine), vasokonstriktor
(phenileprine, tetrahidrolozine), mast cell stabilizer (cromolin
sodium 4% alomide)
Kasus sedang-berat : mast cell stabilizer (cromolin sodium 4%
alomide), antiinflamasi steroid topika (ketorolac 0,5%),
kortikosteroid topical atau agen modulator siklosporin. Pada pasien
denga sheld ulcer bias diberikan sikloplegik yang agresif (atropine
1%, homatropin 5%, atau skopolamin 0,25%) dan antibiotic
topikalDapat diberikan antihistamin sistemik.2.7.3 Konjungtivitis
Pekerjaan oleh Bahan Kimia dan IritansAsam, alkali, asap, angin,
dan hamper setiap substansi iritan yangmasuk ke saccus conjungtiva
dapat menimbulkan konjungtivitis. Beberapa iritan umum adalah
pupuk, sabun, deodorant, spray rambut, tembakau, bahan-bahan
make-up, dan berbagai asam dan alkali. Di daerah tertentu,asbut
(campuran asap dan kabut) menjadi penyebab utama konjungtivitis
kimia ringan. Iritan spesifik dalam asbut belum dapat ditetapkan
secara positif, dan pengobatannya non-spesifik. Tidak ada efek pada
mata yang permanen, namun mata yang terkena seringkali merah dan
terasa mengganggu secara menahun. Pada luka karena asam, asam itu
mengubah sifat protein jaringan dan efek langsung. Alkali tidak
mengubah sifat protein dan cenderung cepat menyusup kedalam
jaringan dan menetap di dalam jaringan konjungtiva. Disini mereka
terus menerus merusak selama berjam-jam atau berhari-hari lamanya,
tergantung konsentrasi molar alkali tersebut dan jumlah yang masuk.
Perlekatan antara konjungtiva bulbi dan palpebra dan leokoma kornea
lebih besar kemungkinan terjadi jika agen penyebabnya adalah
alkali. Pada kejadian manapun, gejala utama luka bahan kimia adalah
sakit, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.
Riwayat kejadian pemicu biasanya dapat diungkapkan. Pembilasan
segera dan menyeluruh saccus conjungtivae dengan air atau larutan
garam sangat penting, dan setiap materi padat harus disingkirkan
secara mekanik. Jangan memakai antidotum kimiawi. Tindakan
simtomatik umum adalah kompres dingin selama 20 menit setiap jam,
teteskan atropine 1% dua kali sehari, dan beri analgetika sistemik
bila perlu. Konjungtivitis bacterial dapat diobati dengan agen
antibakteri yang cocok. Parut kornea mungkin memerlukan
transplantasi kornea, dan symblepharon mungkin memerlukan bedah
plastic terhadap konjungtiva. Luka bakar berat pada kojungtiva dan
kornea prognosisnya buruk meskipun dibedah. Namun jika pengobatan
memadai dimulai segera, parut yang terbentuk akan minim dan
prognosisnya lebih baik. PTERIGIUMI. DEFENISI
Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada
mata yang patogenesisnya masih belum jelas.Pterigium (L. Pterygion
= sayap) adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan
fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang muncul pada
konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea
antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman.Pterigium pertama
kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata pertama
di dunia 1000 tahun sebelum masehi.Pterigium dapat bervariasi
bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular
besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak topografi
kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik
kornea. Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi
degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor,
seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat
rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup berdampingan
dengan lesi premalignan sekunder.Banyak literatur melaporkan
faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi penyebab
terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV), radang mata kronis,
efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki
kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.II. EPIDEMIOLOGI DAN
INSIDENS Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak
bagiandunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara
0,3%-29%. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap
paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi
geografis dalam peri-khatulistiwa garis lintang 370 utara dan
selatan khatulistiwa 'sabuk pterigium'.
Hal yang jarang terjadi untuk seseorang menderita pterigium
sebelum usia 20 tahun. Pasien lebih dari dari 40 tahun memiliki
prevalensi tertinggi untuk terjadinya pterigium, sementara pasien
berusia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insiden tertinggi
terjadinya pterigium.Hal yang berbeda dengan beberapa studi dimana
pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.III. ANATOMI
KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi
permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata.
Nama konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran
mukosa ini karena fakta bahwa ia menhubungkan bola mata dengan
kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan
membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang
terbuka di depan fisura palpebral.Konjungtiva dapat dibagi menjadi
3 bagian (Gam. 1): Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi
permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus.
Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal,
tarsal, orbital.Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak
mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur
dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona
transisi antara kulit dan konjungtiva lebuih tepatnya. Konjungtiva
tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini
melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak
mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva
orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.Konjungtiva
bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada
limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel
kornea.bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan
episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm
dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebutkonjungtiva
limbal.Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva
palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva
fornix ini melekat secaralonggar dengan struktur dibawahnya yaitu
fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.
Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix
dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut
berkontraksi.Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga
lapisan yaitu epitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa. 1.
Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada
masing-masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut:
Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat.
Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial
terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari
sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis
epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan
tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari
sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5
sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan
terdiri dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana
terdapat limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di
forniks. Lapisan ini tidak ditemukan ketika bayi lahir tapi akan
berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan
bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi
folikuler.3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat
kolagen dan serat elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan
adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini
sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari
konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di
daerah konjungtiva bulbar.Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar,
yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar lakrimalis aksesoris.
Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang
terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva
tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal).
Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi
kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari:
Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival
forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah
forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas
tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).
Gambar 1. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris,
konjungtiva forniks, konjungtiva palpebralis.
Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva
Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna
merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas
bebas lateralnya berbentuk cekung. Korunkula adalah massa kecil,
oval, merah muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada
kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan
ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar
keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.
Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber
yakni arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal
kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior (Gam. 2). Konjungtiva
palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari arkade
arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar
diperdarahi oleh dua set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva
posterior yang merupakan cabang dari arteri kelopak mata, dan
arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri
ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior
membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan
membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam
vena pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan
bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva
tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem
ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi
medial bermuara ke limfonodus submandibular. Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif
sedikit.IV. ETIOLOGIEtiologi pterigium sepenuhnya diketahui. Tetapi
penyakit ini lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh
karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah pengaruh efek
berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar
matahari(sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu.
Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai
faktor etiologi mungkin.
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk
limbal pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi
limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan
yangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV
tipeB menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam
patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa
gen p53 dan human papillomavirus dapat juga terlibat dalam
patogenesis pterigium.V. KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya
pembuluh darah episklera, yaitu: 1. Berdasarkan tipenya pterigium
dibagi atas 3:
Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus
atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas 4mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus
rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata serta kebutaan.
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium
yaitu:
Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan
dan tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas
pada limbus kornea.
Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak
kelihatan dan menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.
Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil,
vaskularisasi yang jelas
Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi
2 yaitu:
Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa
infiltrate di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari
pterigium)
Pterigium regresif:tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya
menjadi bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium
dan harus diperiksa dengan slitlamppterigium dibagi 3 yaitu:
T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas.
VI. PATOFISIOLOGI Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis
memainkan peran utama, patogenesis pterigium belum sepenuhnya
dipahami. Infeksi virus, mekanisme imunologi, remodeling matriks
ekstraseluler, faktor pertumbuhan, sitokin, antiapoptotic
mekanisme, dan faktor angiogenik berbagai semuanya telah terlibat
dalam pathogenesis.Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi
kolagen dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi
epitel.Radiasi sinar UV dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti
gen supresor tumor p53, sehingga berakibat pada terekspresinya gen
ini secara abnormal pada epitel pterigium. Temuan ini menunjukkan
bahwa pterigium bukan hanya lesi degeneratif, tetapi bisa menjadi
manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks
metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada
pinggir pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses inflamasi,
tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri pterigium,
serta perusakan lapisan Bowman dan invasi pterigium ke dalam
kornea.Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor tumor TP53
di sel basal limbal dan fibroblast elastic gene di epitel limbal
(gambar 3). Karen kerusakan pada program apoptosis p53 oleh sinar
UV, mutasi juga terjadi pada gen lainnya. Hal ini menyebabkan
multistep perkembangan pterigium dan tumor sel limbal oleh ekspresi
p53 pada sel epitel limbal.
Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga
menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF- melalui jalur
p53-Rb-TGF-. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting
TGF-. Banyaknya sekresi TGF- oleh sel pterigium dapat menjelaskan
macam-macam perubahan jaringan dan ekspresi MMP yang terjadi pada
pterigium. Pertama, sel pterigium (sel epitel basal limbal)
menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP, yang
menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom. Awalnya, sel
pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju
ke adjacent dan limbal corneal, limbus, dan membrane konjungtiva.
Karena produksi TGF- oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan
pada daerah di atas, dan tidak ada massa tumor yang nampak tapi
sebagai tumor yang tidak kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan
pada seluruh sel basal limbus berkembang dan semua hemidesmosom
lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke kornea diikuti oleh
epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP dan
berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea.
Sebagai tambahan, TGF- yang diproduksi oleh sel pterigium
menyebabkan peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam
lapisan epitel dan stroma. Kemudian, sekelompok fibroblast normal
berkumpul dibawah invasive epitel limbus di depan tepi yang rusak
dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur TGF--bFGF untuk
memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam penghancuran
lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi
fibroblast untuk bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast
yang memproduksi MMP 1 dan juga berperan dalam penghancuran membran
bowman.Semua proses di atas dapat dilihat pada gambar. 4.
Gambar 3. Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya
pterigium
Gambar 4. Patogenesis invasif pterigium Tseng dkk juga
berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada daerah yang
kekurangan limbal stem cell. Limbal stem cell adalah sumber
regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell,
terjadi conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari
defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membrane mbuhan jaringan
fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu
banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem
cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di
daerah interpalpebra.
Gambar 5. A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh
karena sinar UV memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central
kornea. B. defisiensi limbal stem cell menyebabkan
conjungtivalization kornea dari segala arah Patogenesis pterigium
bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti sejumlah besar
limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan di
substantia propria spesimen pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa
mekanisme imunologi, mungkin dari tipe hipersensitivitas 1, 3 dan 4
dapat berkontribusi pada patogenesis pterigium.VII. GAMBARAN
KLINISPterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan
pekerjaan di luar rumah. Ptrygium mungkin terjadi unilateral atau
bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva
yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat
terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada
epitel kornea anterior disebut garis Stocker. Pterigium terdiri
dari tiga bagian Apeks (bagian apikal pada kornea), Collum (bagian
limbal), dan Corpus (bagian scleral) membentang antara limbus dan
yang canthus2Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya
menginvasi bagian tengah kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada
kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang
menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara
perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan
mengalami penglihatan ganda atau diplopia.
Gambar 6. PterigiumVIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu
perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat
banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar
matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwyat trauma
sebelumnya.
Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler
pada permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yangb avaskuler dan
flat. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan
berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium
pada daerah temporal.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium. IX.
PENATALAKSANAANKarena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas
lingkungan, penanganan pterigium asimptomatik atau dengan iritasi
ringan dapat diobati dengan kacamata sinar UV-blockking dan salep
mata. Anjurkan pasien untuk menghindari daerah berasap atau berdebu
sebisa mungkin. Pengobatan pterigium yang meradang atau iritasi
dengan topikal dekongestan atau kombinasi antihistamin dan atau
kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari.Bedah eksisi adalah
satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat diindikasikan
untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan yang
mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah
pupil, tunggu sampai melintasi di sisi lain), (3) diplopia karena
gangguan di gerakan okular.
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan
pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.Berbagai teknik
bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium.1. Bare
sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat
rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva
relative kecil.3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L
disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya
penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar
luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva
yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya
diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai
dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi
dengan bahan perekat jaringan.
Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni
sekitar 30-50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara
berikut:1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi
2. Post poerasi beta iradiasi
3. Conjungtival autograft
4. Limbal and limbalconjunctival transplantation5. Amniotic
membrane transplantation6. Cultivated conjunctival
transplantation7. Lamellar keratoplasty8. Fibrin glueX. DIAGNOSIS
BANDING
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium.
Pseudopterigiumadalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada
kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar
dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka
bakar akibat zat kimia pada mata.Selain itu pterigium juga
didiagnosis banding dengan pingekulum yang merupakan lesi kuning
keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau temporal
limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karenairitasi maupun
karena air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan
terapi tetpi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid
topikal.
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia,
distorsi penurunan visus dan skar pada konjungtiva , kornea dan
otot rektus medial. Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi,
diplopia dan terbentuknya jaringan parut. Retina detachment,
perdarahan vitreous dan perforasi bola mata meskipun jarang
terjadi.
Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat
meliputi: Scleral dan / atau kornea yang menipis atau ektasia dapat
muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan.
Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.Komplikasi yang
paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi
sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat
rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan
autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion
pada saat eksisi.Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari
jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat
terjadi.XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakn pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post
operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi
ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transpalantasi
membrane amnion.PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA
A. Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya
pembuluh darah konjungtiva.Darah terdapat di antara konjungtiva dan
sklera. Sehingga mata akan mendadak terlihat merah dan biasanya
mengkhawatirkan bagi pasien.
Gambar 3. Perdarahan subkonjungtiva B. Sinonim
Beberapa istilah lain untuk perdarahan subkonjungtiva
adalah:
1. bleeding in the eye2. eye injury3. ruptured blood vessels4.
blood in the eye5. bleeding under the conjunctiva6. bloodshot eye
7. pinkeyeC. Epidemiologi
Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua
kelompok umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai
dengan pertambahan umur.Penelitian epidemiologi di Kongo rata rata
usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30.7
tahun.Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral
(90%).
Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan
hubungan yang jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%).
Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka
terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14.3%). Kondisi lainnya namun
jarang adalah muntah, bersin, malaria, penyakit sickle cell dan
melahirkan.
Pada kasus melahirkan, telah dilakukan penelitian oleh oleh
Stolp W dkk pada 354 pasien postpartum dengan perdarahan
subkonjungtiva. Bahwa kehamilan dan proses persalinan dapat
mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva.
D. Manifestasi klinis perdarahan subkonjungtiva
Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan
dengan perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian
sklera.
Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan
subkonjungtiva pada permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama
kali, akan terasa tidak nyaman, terasa ada yang mengganjal dan
penuh di mata.
Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang
(tipis) atau merah tua (tebal). Tidak ada tanda peradangan,
kalaupun adanya biasanya peradangan yang ringan. Perdarahan akan
terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian akan
berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi.
E. Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yangmelapisi bagian
putih dari bola mata (sklera) danbagian dalam kelopak mata.
Konjungtiva merupakanlapisan pelindung terluar dari bola mata.
Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlahbesar pembuluh
darah yang halus. Pembuluh-pembuluhdarah ini umumnya tidak terlihat
secara kasat matakecuali bila mata mengalami peradangan.
Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dandindingnya
mudah pecah sehingga mengakibatkanterjadinya perdarahan
subkonjungtiva. Perdarahansubkonjungtiva tampak berupa bercak
berwarna merahterang di sclera.
Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat
menyebar secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan
menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas yang
sama dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih
rendah lebih sering terkena daripada bagian atas. Pendarahan
berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan kekhawatiran,
meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi
trauma mata terkait, ketajaman visual tidak berubah karena
perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai
rasa sakit. Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai
perdarahan yang datar, berwarna merah, di bawah konjungtiva dan
dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan kemotik kantung
darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata.
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat
trauma, ataupun infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh
darah konjungtiva atau episclera yang bermuara ke ruang
subkonjungtiva.
.Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi
secara tiba tiba (spontan). Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh
menurunnya fungsi endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah
pecah. Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh
adalah umur, hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik,
anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan.
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi
unilateral. Namun pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral
atau kambuh kembali; untuk kasus seperti ini kemungkinan diskrasia
darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan terlebih dahulu.
2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami
trauma di mata langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala
daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang kadang menutupi
perforasi jaringan bola mata yang terjadi.
F. Etiologi
1. Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di
Universitas Ferara Itali mengenai kaitan genetik polimorfisme
faktor XIII Val34Leu dengan terjadinya perrdarahan subkonjungtiva
didapatkan kesimpulan baik homozigot maupun heterozigot faktor XIII
Val34Leu merupakan faktor predisposisi dari perdarahan
subkonjungtiva spontan, alel Leu34 diturunkan secara genetik
sebagai faktor resiko perdarahan subkonjungtiva terutama pada kasus
yang sering mengalami kekambuhan.Mutasi pada faktor XIII Val34Leu
mungkin sangat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
episode perdarahan subkonjungtiva. 2. Manuver Valsalva (seperti
batuk, tegang, muntah muntah, bersin)
3. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan
retrobulbar atau ruptur bola mata)
4. Hipertensi5. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada
pasien usia muda tanpa adanya riwayat trauma atau infeksi),
termasuk penyakit hati atau hematologik, diabetes, SLE, parasit dan
defisisensi vitamin C.
6. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan
vitamin A dan D yang telah mempunyai hubungan dengan terjadinya
perdarahan subkonjungtiva, penggunaan warfarin.
7. Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat
insisi pada konjungtiva.
8. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan
subkonjungtiva, termasuk septikemia meningokok, demam scarlet,
demam tifoid, kolera, riketsia, malaria, dan virus (influenza,
smallpox, measles, yellow fever, sandfly fever).
9. Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat
emboli dari patahan tulang panjang, kompresi dada, angiografi
jantung, operasi bedah jantung.
10. Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan
subkonjungtiva yang diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah
konjungtivakhalasis dan pinguecula. 11. Konjungtivokhalasis
merupakan salah satu faktor resiko yang memainkan peranan penting
pada patomekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva.
G. Diagnosis dan pemeriksaan
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat
dapat membantu penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika
ditemukan adanya trauma, trauma dari bola mata atau orbita harus
disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi
untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut
biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi
arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan.
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata
proparacaine (topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka
mata karena sakit; dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat
atau terdapat fotofobia.
Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada
perdarahan subkonjungtiva traumatik. Salah satu studi mengenai
perdarahan subkonjungtiva traumatik dan hubungannya dengan luka /
injuri lainnya oleh Lima dan Morales di rumah sakit Juarez Meksiko
tahun 1996 2000 menyimpulkan bahwa sejumlah pasien dengan
perdarahan subkonjungtiva disertai dengan trauma lainnya (selain
pada konjungtiva), ketajaman visus < 6/6 meningkat dengan adanya
kerusakan pada selain konjungtiva. Maka dari itu pemeriksaan
ketajaman visus merupakan hal yang wajib pada setiap trauma di mata
sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa ada trauma
organ mata lainnya.
Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada
defek pupil, bila perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp.
Curigai ruptur bola mata jika perdarahan subkonjungtiva terjadi
penuh pada 360. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan
subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu
pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung
darah lengkap dengan jumlah trombosit. H. Diagnosis banding 1.
Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada
klinisnya yaitu mata merah.
2. Konjungtivitis hemoragik akut
3. Sarcoma kaposi
I. Penatalaksanaan
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan.
Pengobatan dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres
dingin. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam
1- 2 minggu tanpa diobati. Pada bentuk-bentuk berat yang
menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan dari
konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata
buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian
terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya.Tetapi untuk mencegah
perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter memberikan vasacon
(vasokonstriktor) dan multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi
ringan dan mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko
perdarahan berulang.Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk
ke spesialis mata jika ditemukan kondisi berikut ini :1. Nyeri yang
berhubungan dengan perdarahan.
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau
kesulitan untuk melihat)
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan
4. Riwayat hipertensi
5. Riwayat trauma pada mata.
J. Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh
dalam waktu 1 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang
terjadi. Namun adanya perdarahan subkonjungtiva harus segera
dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemui berbagai hal seperti
yang telah disebutkan diatas. Pada perdarahan subkonjungtiva yang
sifatnya menetap atau berulang (kambuhan) harus dipikirkan keadaan
lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D dan Mick A mengenai
perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalami kekambuhan
didapatkan kesimpulan bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetap
merupakan gejala awal dari limfoma adneksa okuler. K. Prognosis
Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah
baik. Karena sifatnya yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh.
Namun untuk keadaan tertentu seperti sering mengalami kekambuhan,
persisten atau disertai gangguan pandangan maka dianjurkan untuk
dievaluasi lebih lanjut lagi.ABRASI KORNEAA. Definisi
Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan kelainan kornea mulai
dari erosi kornea sampai laserasi kornea. Bilamana lesi terletak
dibagian sentral, lebih-lebih bila mengakibatkan pengurangan
ketajaman penglihatan. Benda asing dan abrasi di kornea menyebabkan
nteri dan iritasi yang dapat dirasakan sewaktu mata dan kelopak
digerakkan. Pada trauma tumpul mata, kornea diperiksa untuk mencari
apakah terdapat kehilangan lapisan epitel (abrasi), laserasi dan
benda asing. Abrasi kornea merupakan terkikisnya lapisan kornea
(epitel) oleh karena trauma pada bagian superfisial mata. Abrasi
kornea umumnya sembuh dengan cepat dan harus diterapi dengan salep
antibiotik dan pelindung mata.Ada 2 kategori pada abrasi kornea
yaitu abrasi superfisial, hanya sebatas lapisan epitel saja dan
arbrasi profunda, abrasi yang terjadi hingga pada membran descemen
tanpa disertai ruptur pada membran tersebut. Abrasi dapat
diakibatkan oleh karena benda asing, lensa kontak, pengusap pipi
untuk make-up, ranting kayu dan tertusuknya mata oleh jari.B.
Anatomi
Dinding bola mata bagian depan ialah kornea yang merupakan
jaringan yang jernih dan bening, bentuknya dan bening, bentuknya
hampir sebagai lingkaran dan sedikit lebih lebar pada arah
transversal (12mm) dibanding arah vertikal. Kornea disisipkan ke
sklera di limbus. Kornea dewasa rata-rata mempunyai ketebalan
0,54mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi dan diameternya sekitar
11,5 mm. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai 5 lapisan
yang berbeda-beda.Dimulai dari lapisan epitel, membran Bowman,
stroma, membran descemen dan lapisan endotel.
C. Diagnosis
Pada abrasi kornea, diagnosa dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis dan pemeriksaan oftamologi yang tepat. Pada anamnesis
yang didapatkan adanya riwayat trauma tumpul dengan gejala-gejala
seperti rasa nyeri pada mata, fotopobia, rasa mengganjal,
blefarospasme, pengeluaran air mata berlebihan dan visus yang
menurun. Pada pemeriksaan slit lamp adanya defek yang terjadi pada
lapisan epitel bersamaan dengan adanya edema kornea. Pada kasus
berat, dengan edema yang berat harus diperhatikan pada lapisan
membran descemen juga. Dengan tes fluoresensi, daerah defek/abrasi
dapat dilihat pada daerah yang berwarna hijau. Misalnya pada gambar
berikut :
Tampak lima lapisan kornea
D. Penatalaksanaan
Abrasi kornea umumnya sembuh dengan cepat dan harus diterapi
dengan salep antibiotik dan pelindung mata. Dilatasi pupil dengan
siklopentolat 1% dapat membantu menghilangkan nteri yang disebabkan
oleh spasme otot siliar. Kornea memiliki kemampuan untuk
menyembuhkan diri sendiri, dimana pengobatan bertujuan untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut. Jika abrasi yang terjadi ringan,
maka terapi yang diberikan hanyalah lumbrikasi pada mata yang sakit
dan kemudian dilakukan follow-up untuk hari berikutnya. Penyembuhan
ini dapat berlangsung selama 2 hari ataupun dalam waktu seminggu.
Bagaimanapun untuk menghindari infeksi, pemberian antibiotik
dianjurkan. Namun tak lepas dari pengobatan, seorang dokter harus
tetap melakukan follow up utnuk meyakinkan bahwa tidak terjdi
inefeksi nantinya.
Sebagai langkah awal, diberikan pengobatan yang berisifat
siklopegi seperti atropine 1% pada kasus yang berat, hematropine 5%
pada kasus sedang dan cyclopentolate 1% untuk pasien dengan abrasi
yang ringan. Anjuran selanjutnya yaitu pada obat topical antibiotic
yang terdiri dari polytrim, gentamycin dan tombramycin. Selain itu,
pasien dianjurkan untuk istirahat total (bed-rest) diharapkan tidak
adanya pergerakkan pasien secara aktif. Apabila pasien merasa
nyeri, diberikan pengobatan topical nonsteroid anti inflamasi
(Voltaren, Acular atau Ocufen).E. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi apabila penyembuhan epitel tidak terjadi
secara baik atau minimal sehingga kerusakan lapisan kornea bisa
terjadi hingga pada daerah membrane descemen. Dengan keadaan
seperti itu, maka akan terjadi pelepasan pada lapisan kornea hingga
terjadi Recurrent Corneal Erosions (RCE) dalam beberapa bulan atau
hingga beberapa tahun.F. Prognosis
Pada pengobatan topical umumnya dengan prognosis yang baik.
Penyembuhan pada lapisan kornea ini dapat terjadi dalam beberapa
hari. Pada abrasi yang terjadi agak dalam dapat terjadi penyembuhan
dengan jaringan sikatriks berupa nebula, makula ataupun leukoma
kornea.Meskipun abrasio kecil mungkin tidak memerlukan pengobatan
khusus, abrasio yang lebih besar biasanya diobati selama beberapa
hari dengan antibiotik topikal untuk mencegah infeksi dan
kadang-kadang cycloplegic topikal untuk mengurangi nyeri dan
meningkatkan kenyamanan. Sebuah studi besar tunggal oleh John W
Raja, et al;. Menunjukkan bahwa hanya 0,7% dari abrasio kornea
benar-benar menjadi terinfeksi tanpa tetes antibiotik,
mempertanyakan perlunya praktik seperti cycloplegic juga dapat
mengurangi peradangan sekunder iris dikenal. sebagai suatu iritis
[kutipan diperlukan]. Sebuah tinjauan 2000 namun tidak menemukan
bukti yang baik untuk mendukung penggunaan cycloplegics /
mydriatics .Hal ini sering percaya bahwa mata bantalan digunakan
dalam "patch tekanan" dapat meningkatkan kenyamanan dan
meningkatkan penyembuhan dengan mencegah berulang. kelopak mata
berkedip yang dapat menyebabkan distruption fisik lebih lanjut ke
kornea. studi Terkendali memiliki namun tidak didukung pernyataan
ini.