PENGARANG PEREMPUAN KALIMANTAN SELATAN
Sastrawan dan pengamat sastra Indonesia, Korrie Layun Rampan,
menilai Kalimantan Selatan sebagai ...gudang sastrawan,
dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan, kini daerah ini
menyimpan sastrawan yang hampir sama jumlahnya dengan sastrawan
asal Jawa Tengah[1]. Asumsi Korrie itu mungkin lebih didasari
banyaknya penulis puisi di Kalimantan Selatan, sebagaimana yang
berkembang sejak Perang Kemerdekaan hingga 1980-an. Yang tidak
diketahui Korrie: sejak sekitar 1980-an di Kalimantan Selatan
bermunculan pengarang cerpen perempuan (maupun laki-laki) yang
menulis di media cetak Banjarmasin dan Jakarta.Akan tetapi, yang
mesti digarisbawahi, berbeda dengan beberapa pengarang perempuan
yang hanya menumpang lahir di Kalimantan Selatan (terutama di
Banjarmasin) dan menjadi pengarang ternama setelah bermukim di luar
kampung halamannya, pengarang yang dimaksud di sini (hingga buku
ini diterbitkan, masih tetap) bermukim di Kalimantan
Selatan.Pengarang perempuan yang tak lagi bermukim di Kalimantan
Selatan itu, antara lain, Farah Hidayati (Jakarta) dan Lan Fang
(Surabaya). Sebelumnya, masih ada sejumlah pengarang perempuan lain
yang, dengan berlalunya waktu, tak tampak lagi publikasi
karyanya.Sejak 1980-an hingga 1990-an, seiring dengan adanya rubrik
sastra diMediaMasyarakat(dikelola mendiang Ajamuddin Tifani)
danDinamika Berita(kini menjadiKalimantan Post, dikelola Kony
Fahran), sejumlah pengarang perempuan muncul dengan sejumlah
cerpen, antara lain Dewi Yuliani. Ia tidak hanya menulis cerpen,
tapi, terutama, puisi.Ketika masih bermukim di Banjarbaru (kemudian
pindah ke Bogor), cerpen-cerpen Katarina Panji malang-melintang
diAnita Cemerlang,GadisdanAneka. Nanny S. adalah cerpenis lain
yang, semasa kuliah di Program Studi PBSID FKIP Unlam Banjarmasin,
cerpennya kerap dipublikasikanAnita Cemerlang.Dengan adanya rubrik
sastra diBanjarmasin Post,Radar BanjarmasindanSerambi Ummah, para
cerpenis mendapat ruang publikasi yang lebih luas. Seperti dapat
dilacak,Banjarmasin Post(1990-an),Radar Banjarmasin(2000-an hingga
kini) danSerambi Ummah(2000-an hingga kini) pernah memuat cerpen S.
Wahyuni, Farida Ariani, Laila Alfisah, Misfah Kh Riwandi, Dewi
Sandan, Dina, Raudah, Era S. Soemarno, Sovina Sofyan dan
lain-lain.Berbeda dengan koran lain,Radar Banjarmasinmenyediakan
rubrikCakrawala Sastra dan Budaya(berisi cerpen, puisi, esai,
resensi buku, agenda budaya) dua halaman penuh setiap hari Minggu.
Rubrik itu telah menjadi semacam lahan persemaian bibit cerpenis
perempuan (maupun laki-laki) Kalimantan Selatan, sekurangnya dalam
sewindu ini.Cerpenis perempuan yang mempublikasikan karyanya
diRadar Banjarmasin, antara lain, Anna Fajar Rona, Dewi Alfianti,
Hudan Nur, Nonon Djazouly, Nailiya Nikmah JFK, Rismiyana, Ratih
Ayuningrum dan Syafiqatul Machmudah.Selain mereka, masih ada
beberapa pengarang perempuan lain yang menulis di koran lain.
Tetapi, setelah sekali dua kali cerpen mereka terbit, kemudian tak
tampak lagi jejaknya.Sembilan cerpen karya sembilan cerpenis
perempuan ini diseleksi dariRadar BanjarmasindanDinamika
Beritadengan pertimbangan subyektif atas tema maupun kualitasnya,
sebab lebih didasari niat mengumpulkan cerpen tersebut dalam
antologi bersama.Selama ini belum ada satu pun antologi cerpen yang
secara khusus menghimpun karya cerpenis perempuan Kalimantan
Selatan. Buku kumpulan cerpen dari seorang (atau beberapa orang)
pengarang laki-laki sudah ada, tapi antologi cerpen pengarang
perempuan, dengan mutu yang relatif teruji (melalui lomba penulisan
maupun pemuatan di koran), belum pernah diterbitkan.Korrie Layun
Rampan telah menyuntingDunia Perempuan, Antologi Cerita
PendekWanita Cerpenis Indonesia(1999). Akibat minimnya publikasi
karya cerpenis perempuan Kalimantan Selatan di rubrik sastra dan
budaya media cetak Jakarta, juga akibat tiadanya jejaring, buku itu
tidak memuat satu pun karya cerpenis perempuanbanua.Dalam
percaturan sastra Indonesia di Kalimantan Selatan pun posisi
cerpenis perempuan seakan terpinggirkan. Keberadaannya antara ada
dan tiada, atau sekadar pelengkap belaka. Lembaga, institusi dan
organisasi berkompeten tidak pernah mengakomodasi keberadaannya,
baik dalam sebuah forum sastra atau memfasilitasi penerbitan
antologi (tunggal atau bersama) mereka.Hegemoni budaya patriarki
tampaknya masih menguasai masyarakat sastra Kalimantan Selatan,
hingga bahkan institusi, lembaga, organisasi sastra dan budaya,
mengabaikan kehadiran mereka. Puluhan antologi sastra (puisi,
cerpen) diterbitkan, tapi sastra Indonesia modern di Kalimantan
Selatan (masih) didominasi (sastrawan) pria; dan (sastrawan) pria
lebih mengutamakan ego dan kebesaran dirinya sendiri saja, tanpa
komitmen membesarkan kaum hawa, tulang rusuknya.Dua orang pengurus
pusat dari dua organisasi sastrawan Indonesia bermukim di
Banjarmasin: Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) dan Komunitas Sastra
Indonesia (KSI). Kedua organisasi itu diketuai oleh redaktur
sastraRepublika, Ahmadun Yosi Herfanda. Alangkah elok seandainya
dua orang pengurus pusat itu mengumpulkan, menyeleksi dan
merekomendasikan puisi dan cerpen karya cerpenis perempuan (maupun
laki-laki) Kalimantan Selatan ke koranbosmereka di Jakarta
itu.Memang, keputusan akhir tetap ada pada Ahmadun (tentang
laik-tidaknya dimuat). Namun, kalau langkah sederhana seperti itu
saja tidak dilakukan, apa manfaat kedudukan mereka (bagi sastra
Indonesia di Kalimantan Selatan) dalam kepengurusan organisasi
sastrawan nasional?LihatlahHorison. Sekali lagi, meskipun keputusan
akhir tetap ada pada redaksi, tapi frekuensi publikasi karya
sastrawan Madura, Banten dan Jawa Barat diHorisontidak terlepas
dari posisi Jamal D. Rahman dan Moh. Wan Anwar sebagai
redaktur.Seperti halnya seni lukis, sastra memang karya individual.
Ia berbeda dengan seni kolektif seperti tari, musik, teater dan
seni multimedia seperti film, yang mensyaratkan kerja sama tim
dalam penggarapan dan pertunjukannya. Dalam mencipta, sastrawan
menciptakan karyanya sendirian. Meskipun berkarya secara
individual, alangkah elok seandainya sastrawan tidak individualis.
Meminjam bahasa agama: beribadah (berkarya) adalah kewajiban
yanghablum minnallah, bermasyarakat (bekerja sama dengan orang
lain, mengayomi,nang tuha dituhaakan,nang anum disayangi)
adalahhablum minannas. Idealnya, dalam diri siapa pun (bukan cuma
sastrawan) keduanya seimbang:hablum minnallah wa hablum
minnanas.Buku ini mustahil terbit tanpa bantuan dan dukungan banyak
pihak (hablumminnanas). Oleh karena itu, ucapan terima kasih saja
tentu tidak cukup, terutama kepada para pengarang yang cerpennya
dimuat dalam antologi ini. Terima kasih pula kepadaRadar
BanjarmasindanDinamika Berita(dalam hal iniKalimantan Post) dan,
terutama, kepada Maman S. Tawie; yang telah memberikan keleluasaan
bagi sayamaudak, maudardanmanggulagaikoleksi kliping dan
dokumentasi sastranya. Segala kelemahan dan kekurangan yang
terdapat dalam buku ini, termasuk subyektifitas dalam pemilihan
cerpen, menjadi tanggung jawab pribadi saya sepenuhnya.
Editor
SUBUH PERTAMA DI MASJIDIL HARAM
Anna Fajar Rona
Pintu Masjidil Haram sudah di depan mata Dargi. Beberapa langkah
lagi pria 28 tahun yang sebenarnya bernama Riduan Ahmad itu bisa
melewati pintu indah tersebut. Ia tentu segera masuk
melakukantawafpertama dalam ibadah haji bersama jutaan umat lain.
Namun sebelum kakinya mencapai pintu, pandangannya tiba-tiba
berkunang-kunang diiringi rasa sakit yang amat sangat pada
perutnya.Dargi tak kuasa lagi melangkah. Tubuhnya terasa digayuti
beban yang amat berat. Rasa nyeri pada perutnya tak kuasa ia tahan.
Ia terduduk di lantai teras Masjidil Haram. Tubuhnya yang berukuran
sedang itu dilangkahi berpuluh-puluh jamaah bertubuh tinggi besar,
ada yang berkulit hitam, ada pula yang wajahnya dipenuhi jambang
dan jenggot.Wajah Dargi pucat, sepertinya tak berdarah lagi. Tak
kuasa bergerak. Ia tersungkur di lantai teras Masjidil Haram yang
untuk pertama kalinya ia injak itu.Rasa sakit pada perutnya tambah
menggila. Seluruh isi perutnya bagai beku. Membatu. Keringat
membanjir. Butirannya bagai biji-biji jagung mengucur dari seluruh
tubuh. Dargi meringis menahan sakit sambil memegangi perut. Ia
mencoba berdiri, tersungkur kembali. Mencoba lagi, tetap tersungkur
lagi. Ia tak mampu menggerakkan keduakakinyauntuk menyangga
tubuhnya sendiri. Rasa sakit yang amat sangat itu terasa menjadi
beban yang sangat berat menindih raganya. Ia merasa tak punya
harapan hidup lantaran hampir seluruh tubuhnya tak dapat ia
gerakkan. Cukup lama ia tersungkur. Menangis di bawah
langkah-langkah kaki para jamaah yang tak peduli dengan
keberadaannya saat itu.Hampir setengah jam ia membiarkan dirinya di
bawah langkah kaki para jamaah. Setelah ia merasa ada sedikit
tenaga untuk merangkak, maka merangkaklah ia. Pandangannya
menyebar, mencari-cari kamar kecil di sekitar depan Masjidil Haram.
Setelah ia yakin di arah kiri depan masjid ada kamar kecil, ke
sanalah ia merangkak dengan sisa-sisa tenaga yang ada.Hampir 20
menit ia baru bisa mencapai tempat buang hajat. Masih dalam keadaan
merangkak sambil menahan sakit yang luar biasa di perut, Dargi
turut antri dengan jamaah lainnya di depan pintu kamar kecil. Ia
sudah tak tahu lagi rombongan jamaah yang tadinya berangkat
bersama-sama dari pemondokan. Dirinya terpisah akibat sakit yang
dideritanya itu.Selama menunggu giliran masuk kamar kecil, keringat
terus mengucur. Kainihramyang ia kenakan sejak turun di Bandara
King Abdul Aziz, Jeddah, sudah basah oleh keringat. Keringat yang
mengucur dari manahan rasa sakit di bagian dalam perut. Segenap
ususnya seperti ditusuk ribuan jarum. Sakit sekali. Menahan rasa
sakit itu, air mata Dargi kembali meleleh.Begitu Dargi mendapat
giliran masuk kamar kecil, berliter-liter air kotor keluar dari
lubang anusnya. Air berwarna hitam dan berbau menyengat itu keluar
deras seperti air kran yang mengucur dalam keadaan normal. Hampir
satu jam ia berada di dalamwcdan selama itu pula air kotor berbau
menyengat tak terhenti melewati lubang anus ke lubang kloset.Untung
saja kainihramnya tak terkena kotoran itu. Sebelum ia jongkok, ia
sempat mengangkatihramtersebut ke atas kepala. Begitu banyak air
kotor ia keluarkan. Dargi sendiri memperkirakan sudah
berember-ember air berbau busuk dari dalam perutnya keluar.Ya
Allah, ampuni hamba. Atas kuasa-Mulah hamba bisa tiba di tempat
suci ini. Untuk itu lindungilah hamba, mudahkanlah hamba dalam
menunaikan perintah-Mu. Sehatkanlah hamba, yaRabbi, ucap
Dargi.Begitu mengucapkan kalimat itu, air kotor berbau busuk yang
keluar dari perutnya tiba-tiba saja terhenti. Rasa sakit dalam
sekejap sirna. Beberapa detik Dargi tercenung.Ia kemudian
membersihkan dirinya. Setelah itu dengan mudah ia dapat berdiri
tegak dan melangkah keluar dari kamar kecil berukuran satu setengah
kali dua meter itu. Sekeluar dari ruangwc, ia menuju ruang wudhu.
Bersuci diri di situ. Selanjutnya dengan ringan ia melangkah menuju
pintu Masjidil Haram. Saat itu persis pukul dua dinihari waktu
Makkah.Sebelum melakukantawafpertama, ia ingat pesan seorang ulama
saat mengikutimanasikhaji di tanah air, bahwa dalam berhaji yang
penting luruskan niat, kemudian perbanyak salat taubat bila
menghadapi masalah di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi atawa
di Arafah dan tempat-tempat lain. Ingat pesan itu, bergegas Dargi
melaksanakan salat taubat tepat di sebelah timur depan Kabah.
***
Bagaimana Dargi yang hanya calo angkutan umum di terminal kota
bisa berhaji. Sementara dirinya dikenal tak lebih sebagai lajang
yang suka menenggak minuman keras sampai mabuk. Bahkan dalam
darahnya sudah bercampur alkohol. Dalam pemeriksaan kesehatan
sebagai syarat berhaji, dokter mengetahui kalau darah Dargi
merupakan darah alkoholis yang selalu ketagihan minuman mengandung
alkohol.Yang namanya kuasa Allah, apa pun bisa terwujud.
Sebagaimana juga Dargi si pemabuk, dengan kuasa Tuhan ia bisa
berangkat haji.Awalnya, di terminal tempat Dargi menjalani hidup
sejak kanak-kanak terdapat sebuah mushala berukuran 7 x 7 meter.
Mushala tersebut hendak digusur oleh pengusaha dengan kekuatan
uangnya. Padahal keberadaan mushala tersebut sangat membantu para
penumpang angkutan maupun warga yang tiap hari beraktivitas di
terminal untuk melaksanakan salat. Juga kerap dijadikan tempat
memperingati Hari-Hari Besar Islam yang dilaksanakan warga terminal
secara sederhana, misalnya memperingati Isra Mikraj, Maulid Nabi
dan lainnya. Bahkan tiap bulan Ramadhan, pengeras suara mushala
yang mengumandangkan azan Magrib dijadikan panduan ketepatan waktu
berbuka puasa warga sekitar terminal. Hingga lebih 9 tahun sudah
mushala terminal yang dibangun atas swadaya itu mendatangkan
manfaat bagi warga.Kini mushala terminal hendak dikuasai pengusaha
bahkan sudah tersiar segera digusur untuk kepentingan bisnis.Kalau
mushala ini digusur, kemana kita mendirikan salat? tanya Ibnu
dengan nada protes. Ibnu adalah salah satu warga yang kerap
menjadikan mushala terminal sebagai tempat salat berjamaah,
terutama Magrib dan Isya, ia sehari-hari membuka kios rokok dan
warung kopi di terminal antarkota dalam provinsi itu.Masjid cukup
jauh dari sini, Kurdi pedagang asongan menimpali.Tak ada cara lain,
kita mesti mencegah penggusuran mushala, kata Hadri.Caranya? sambut
yang lain.Kita datangi DPRD dan pemerintahdaerahsini. Minta agar
pengusaha jangan seenaknya merampas mushala kita, ujar Murad
berpendapat.Kasak-kusuk soal mushala itu juga didengar oleh Dargi,
pemuda setengah preman yang yang dikenal selain suka mabuk juga
bernyali besar berhadapan dengan siapa pun. Merasa turut memiliki
mushala, meski ia tak pernah menggunakan mushala untuk salat selain
untuk tidur-tiduran, pemuda itu tampil sebagai pembela
mushala.Preman-preman yang menjadi kaki tangan pengusaha yang
memiliki modal untuk menggusur mushala untuk memperluas toko serba
ada di terminal, berhadapan dengan Dargi sang pria bernyali besar
itu. Sedikitnya ada 5 preman merasakan kekuatan Dargi dan semuanya
jadikederbila diharuskan melawan Dargi. Pernah terjadi adu fisik
dengan preman peliharaan pengusaha, Dargilah yang menjadi pemenang
meski ia juga mengalami cidera ringan.Atas campur tangan Dargi,
warga terminal jadi memiliki kekuatan untuk mempertahankan mushala.
Bahkan dengan gigih Dargi bersama warga lainnya mempertahankan
pendapat di hadapan anggota DPRD mengenai pentingnya mushala di
terminal supaya tidak dipindahtangankan kepada pengusaha yang di
otaknya hanya mementingkan bisnis.Letak mushala itu strategis.
Persis di tengah-tengah terminal dan sangat gampang dijangkau tiap
orang yang memerlukannya, ujar Dargi kepada anggota DPRD.Saking
gigihnya Dargi mempertahankan mushala, membuat seluruh anggota
dewan bersimpati. Bahkan akhirnya berkat perjuangan Dargi,
pengusaha tak berkutik. Pengusaha melepaskan niatnya untuk memodali
lahan mushala tersebut.Dargi bagai pahlawan mendapat pujian, bukan
saja dari warga terminal juga dari para anggota DPRD. Tak
terkecuali ketua DPRD.Dari rasa simpati terhadap Dargi itulah,
namanya dikenal di lingkungan DPRD daerah itu. Hingga sekitar 3
bulan dan sampai pada musim menjelang pemberangkatan haji, Dargi
jadi buah bibir di lingkungan DPRD.Begitu tiba persiapan
pemberangkatan haji, seperti tahun-tahun sebelumnya, anggota DPRD
secara bergiliran mendapat jatah berangkat haji. Tiap tahun 3
anggota dewan mendapat biaya haji yang disisihkan dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah. Pada pemberangkatan haji tahun itu,
salah satu anggota dewan yang mendapat giliran berangkat
mengundurkan diri. Anggota itu adalah ketua DPRD, alasannya ia
sudah berhaji jauh sebelum menjadi anggota DPRD. Ia memilih mundur
dan memberikan jatahnya kepada masyarakat. Masyarakat yang
dipilihnya adalah Dargi yang ia ketahui dengan gigih mempertahankan
mushala terminal untuk umat.Dari jatah berangkat haji ketua DPRD
itulah, Dargi bisa berangkat haji tanpa keluar uang serupiah pun.
Sejak ia dipanggil dan diserahi ketua dewan jatah berhaji, sejak
itu pula pola hidup Dargi berubah. Setidaknya dalam hari-hari
menunggu keberangkatan haji, Dargi tak lagi menyentuh minuman
keras.Ia pernah menggigil dan meradang menahan ketagihan mereguk
minuman beralkohol. Sekuat kemampuannya, ditahannya keinginan untuk
mereguk minuman keras meski tubuhnya terasa sakit-sakit.Bahkan ia
sempat sakit demam di minggu pertama ia melewati tanpa minuman
keras. Dalam demam, hampir 3 hari Dargi serba merasa tak enak,
bahkan untuk menelan makanan ia tak mampu.Pada minggu kedua
tenggorokannya terasa dililit-lilit ingin dilewati minuman keras.
Keinginan itu begitu keras dan menggodanya. Apalagi di terminal,
rekan-rekan minumnya dulu masih melakukan aktivitas minum tiap
malam usai aktivitas terminal. Dargi terus berjuang menahan
keinginan itu. Ia selalu menjauhi arena rekan-rekannya yang dengan
bebas mereguk berpuluh-puluh botol minuman keras.Meski tubuhnya
terasa sakit-sakit lantaran tak dialiri minuman beralkohol, ia
terus berjuang membunuh rasa ketergantungannya pada minuman.Agar
betul-betul bisa menghindari minuman keras, Dargi lebih rajin
berada di mushala terminal melaksanakan salat 5 waktu. Pelajaran
mengaji yang iakhatamkan waktu masih di sekolah dasar di lingkungan
terminal, kembali ia ulang. Ia masih mampu membaca Quran meski
sudah sekian tahun tak pernah disentuhnya.Tadinya, Dargi tak pernah
lepas dari minuman keras. Tiap malam usai aktivitas terminal ia
akrab dengan yang namanya kencing iblis alias minuman beralkohol
dengan kadar tinggi itu. Dalam semalam, tak jarang berbotol-botol
minuman memabukkan ia tenggak memenuhi rongga perut dan
dadanya.Hampir sepanjang hidup Dargi tinggal di terminal. Ada
alasan yang memaksanya hidup di terminal itu, pertama ia dilahirkan
di lingkungan terminal hingga tumbuh besar dan menamatkan SLTA.
Ketika menjelang ujian SMP, ayahnya yang menjadi sopir di terminal
meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Kehidupan di
terminal itu dilanjutkan oleh ibunya yang menjanda dengan Dargi
sebagai anak tunggal. Di terminal itu pula sang ibu bisa menyambung
hidup dan menjadikan putra yang diberinya panggilan Dargi sangat
akrab dengan lingkungan terminal.Kehidupan terminal itu pula yang
menempa perwatakan Dargi, menempa jiwanya yang selalu berhadapan
dengan kekerasan hidup. Dengan susah payah, ibu Dargi menghidupinya
melalui usaha kios pisang goreng dan jajanan kecil lainnya, hingga
sang bunda mampu menyekolahkan sang anak sampai menamatkan SLTA
dengan harapan si anak kelak bisa menjalani hidup yang lebih baik.
Ternyata, ijazah SLTA yang diperoleh Dargi hanya bisa menjadikannya
calo angkutan umum. Terkadang juga menjadi sopir cadangan alias
pengganti sopir terminal. Karena Dargi dikenal sebagai peminum,
maka Organda setempat tak memberi izin bagi Dargi untuk menjadi
sopir tetap.Meski pola hidup Dargi tak terpisahkan dari minuman
keras, pria itu tak pernah mengganggu ketertiban terminal. Apalagi
sampai merugikan orang lain. Ia juga menghindari judi dan perempuan
penjaja seks komersial yang hampir tiap malam mampir di terminal.
Dua perbuatan maksiat itu memang tak pernah akrab dengan hidup
Dargi, tetapi minuman keras sudah menjadi keharusan bagi Dargi
untuk selalu direguk sampai mabuk sepanjang malam di terminal. Uang
untuk membeli minuman, selain didapat dari patungan teman-temannya,
juga diperoleh dari hasil kerja calo di terminal.Saat usia Dargi
genap 21 tahun, Imah, bunda Dargi yang tak kenal lelah membesarkan
sang putra, berpulang memenuhi panggilanIllahi. Sebelumnya wanita
perkasa di mata Dargi itu terjangkit demam berdarah. Ini akibat
kebersihan selokan terminal tak terpelihara. Namun setelah Imah
menjadi korban, warga terminal jadi sadar untuk menjaga kebersihan
lingkungannya.Sepeninggal bunda, Dargi kian tak memiliki pegangan
hidup. Ia gamang menghadapi hidup. Ia seperti diburu rasa ketakutan
menghadapi kenyataan. Kegamangan itu ia tutup-tutupi dengan caranya
sendiri, minum sampai mabuk hingga untuk sesaat bisa terlupakan
kepahitan hidup.Pernah juga kerabatnya memberi nasihat, namun tak
pernah memberi jalan keluar. Sehingga hanya membuat Dargi merasa
didikte dan itu kian membuat dirinya tenggelam pada dunia yang ia
kiblati, yaitu mabuk hampir tiap malam.
***
Kini si pemabuk Dargi berada di dekat Kabah. Jantungnya berdebar
memandang simbol kemurnian Islam itu. Memandang rumah Tuhan. Lantas
ia terduduk lunglai di sela-sela jamaah lainnya yang juga duduk
memandangi Kabah di luar dari arus jamaah yangtawaf. Tanpa Dargi
sadari air matanya menetes. Ia terbayang wajah bunda yang teduh,
wajah ayah yang tegar. Ia ingat saat ayah membimbingnya salat waktu
usianya baru 7 hingga 9 tahun. Ingat tiap Jumat sang ayah
menyempatkan pergi membawanya salat Jumat ke masjid. Juga ingat
ibunya yang selalu tak kenal lelah mencari nafkah, tak kenal bosan
mengingatkannya waktu kecil untuk datang ke Taman Pendidikan
AlQuran. Ingat sang bunda menyiapkan masakan ketan untuk
merayakankhatamQuran di tempatnya belajar membaca Kitab Suci itu.
Semua kenangan indah itu melintas silih berganti.Ketika
ingatan-ingatan itu memenuhi benaknya, secara tiba-tiba perutnya
kembali terasa melilit, padahaltawafpertama belum lagi ia kerjakan.
Ia baru saja usai mendidikan salat taubat untuk minta ampunan Allah
atas segala kekhilafannya.Hanya dalam waktu beberapa detik rasa
sakit itu tambah menjadi. Dargi buru-buru ke luar dari Masjidil
Haram. Kainihramdi badannya disingsingkannya ketika memasuki kamar
kecil di sebelah utara teras Masjidil Haram. Kembali di dalamwcitu
berliter-liter air kotor mengucur deras keluar melewati lubang
anus. Air berbau menyengat itu keluar dengan sendirinya. Sedikit
pun Dargi tidak mengejan. Air itu seperti dikuras dari dalam
perutnya.Ia sadar betul, kalau saat itu dirinya mendapat teguran
Allah. Ia bisa meyakini kalau air kotor berbau busuk yang keluar
dari dalam perutnya itu adalah kumpulan kencing iblis yang ia
kiblati dan ia anggap sebagai penenang jiwa selama hampir 8 tahun.
Kini kencing iblis itu dikuras dari dalam perutnya. Ia meyakini
pula, pengurasan kencing iblis itu dilakukan atas kuasa Allah di
Tanah Suci Makkah, di saat ia menunaikan haji.Ya Allah, bila ini
cara-Mu untuk membersihkan jiwaku sebelum Engkau izinkan aku
melaksanakantawafmemenuhi panggilan-Mu di rumah suci-Mu, maka aku
sebagai hamba-Mu yang lemah hanya dapat berpasrah sepenuhnya
kepada-Mu. Kuserahkan jiwa ragaku pada kuasa-Mu, ucap
Dargi.Seketika rasa sakit itu lenyap kembali.
***Setelah membersihkan diri dan berwudhu, Dargi kembali salat
taubat. Itu ia lakukan sekitar pukul tiga dinihari menghadap Kabah.
Di rumah Tuhan itu pula ia bersumpah tak akan pernah lagi mengotori
darah dalam dirinya dengan minuman keras.Di hadapan-Mu, ya Allah,
dan di rumah-Mu ini, aku bertekad dan bersumpah dengan sumpah yang
sebenarnya sumpah untuk tak lagi menyentuh yang namanya minuman
keras. Untuk itu, bimbinglah hamba, ya Allah, mudahkan hamba dalam
menyelesaikan ibadah atas panggilan-Mu ini, ucap Dargi usai
melaksanakan salat taubat yang ketiga.Sosok pemuda bertaubat itu
dengan kekuatan fisik yang diberikan Allah dengan ringan
menuntaskan gerakan haji.Tawafpertama dansyaiia selesaikan dengan
tanpa ada lagi penghalang. Gerakan itu Dargi selesaikan persis azan
Subuh berkumandang di Masjidil Haram.Subuh pertama di Masjidil
Haram Dargi tuntaskan dengan segenap doa.
Maret, 2006
NYANYIAN TANPA NYANYIAN
Dewi Alfianti
Ayah, dalam siluet di antara senja, saat itu dia nampak seperti
pohon bambu. Sosoknya yang tinggi semampai menghalangi cahaya
mentari senja masuk melalui jendela rumah. Cuma silau cahaya senja
saja yang menyelinap menerpa mataku. Ayahku seperti pohon bambu,
tinggi namun menenangkan dengan gemerisik daun yang seperti
nyanyian tanpa nyanyian.Senja ini, seperti senja-senja biasanya,
ayah akan berkeliling rumah kami yang rimbun dengan bermacam
tetumbuhan.Almarhumahibu yang membuat pekarangan rumah serimbun
itu. Beliau mengumpulkan tanaman sejak lama sekali, bahkan sebelum
menikah dengan ayah. Hasil ketekunan selama puluhan tahun itu
membuahkan sebuah hutan kecil di pekarangan kami. Seingatku, waktu
kecil, kakak, aku dan adik perempuanku sering main petak umpet di
situ. Bagi tiga orang anak kecil, pekarangan itu menjelma menjadi
hutan rimba. Aku ingat di suatu sore adik menangis kencang karena
tersesat di antara tumbuhan paku, ia tak tahu bagaimana keluar dari
hutan kecil buatan ibu.Ayah, dengan langkah perlahan dalam irama
yang sama, biasanya berjalan-jalan di pekarangan sambil
menggumamkanal-Matsurat, zikir yang dilantunkannya tiap sore dan
pagi juga. Menjelang azan magrib, ayah akan masuk rumah lantas
menuju ruangan tempat biasa kami sholat untuk melanjutkan zikirnya
denganwiridal-Quran. Ketika azan berkumandang, ayah akan memastikan
kami sudah siap bersama-samanya untuk sholat.Ayah, demikianlah.
Dialah wujud kebijaksanaan dalam diri seorang laki-laki. Ayah
menjelma mata air dalam keluarga kami. Tidak pernah mendominasi,
namun dominasinya begitu terasa. Tak ada yang sempurna tanpa
sentuhan ayah, begitu pula saat ibu meninggal lima belas tahun
lalu. Ayah adalah ayah. Tatapan matanya senantiasa membisikkan
sesuatu, seolah dalam keadaan tidak berbicara pun dia selalu ingin
membahasakan sesuatu. Seperti percakapan yang tak
putus-putusnya.Adik perempuanku begitu memujanya. Aku dan kakak
lelakiku, takzim padanya sepanjang umur kami. Aku ingat saat aku
kelas 6 SD dan Kak Fahri, kakak lelakiku itu duduk di bangku SMP.
Saat itu kami bertengkar hebat. Aku menemukan catatan kecil Kak
Fahri yang kutahu akan dipakainya sebagai contekan waktu ujian.
Tentu saja aku tak bisa terima, kami terbiasa memandang bahwa satu
sama lain adalah anak yang cerdas dan tidak akan mau bergantung
pada harta kaum pecundang seperti contekan itu. Saat itu kami
bertengkar hebat. Suasana saat itu begitu gaduh padahal hari sudah
larut malam. Kak Fahri berteriak padaku demikian pula aku. Ibu dan
Nada, adik perempuanku saat itu sedang menginap di rumah sakit
menunggui saudara ibu yang sakit. Malam itu di rumah cuma ada
ayah.Saat pertengkaran mulut itu kian meruncing, tiba-tiba listrik
padam. Kamar kami yang jadi arena pertengkaran mendadak gulita.
Kami terdiam sejenak. Tanpa kami sadari ayah sudah ada di antara
kami. Dipegangnya tanganku dan Kak Fahri. Dibimbingnya kami duduk
dengan bahasa yang begitu lembut dan suara yang renyah.Dia menyuruh
kami tidak berbicara. Lama sekali kami diam sampai aku merasa
kegelapan ini terasa begitu mengganggu. Kegelapan ini menyekat
pandanganku. Amat gelap. Kak Fahri yang tidak menyukai kegelapan
napasnya mulai tidak teratur. Kami merasa takut ditindih kegelapan.
Kecemasan itu mulai melemaskan pikiran. Sampai terlupa kami pada
pertengkaran tadi. Lama sampai ayah berkata agar kami melakukan
kebaikan-kebaikan ketika terang cahaya melingkupi kami sebelum cuma
gelap yang bisa kami rasakan.Tak berapa lama lampu mulai menyala.
Sejak saat itu aku dan Kak Fahri tidak pernah lagi bertengkar,
semenjak itu pula Kak Fahri juga tidak pernah lagi mencontek.
Mendalam makna peristiwa itu buat kami dan ayah semakin menakjubkan
bagi kami. Belakangan, aku dan Kak Fahri tahu bahwa listrik itu
sengaja dipadamkan ayah.Nawa, anak sulungku, sejak selesai sholat
magrib mengurung diri di kamar. Berbeda dengan Najma adiknya yang
begitu bersemangat tiap kali diajak ke rumah ayah, Nawa tidak
menutupi keengganannya untuk berada di rumah ini. Nawa mirip sekali
dengan istriku. Jika kuajak menginap di rumah ayah mereka menjadi
canggung. Seperti tidak terbiasa dengan suasana pinggiran kota yang
tak segempita tempat tinggal kami. Nawa dan istriku adalah sosok
yang dibesarkan kota besar, jiwa mereka alir dalam nuansa kota yang
gemerlap, hedonis, dan modern.Nawa, gadis 13 tahun itu kesal padaku
karena tiba-tiba kuajak ke rumah ayah. Dia seharusnya bersama
teman-temannya jadi panitia pentas seni di sekolahnya, tapi aku dan
istriku berkeras. Akhirnya dia turut serta. Sebagai bentuk
ketidaksukaannya dengan keputusanku, sejak tadi siang sampai malam
ini dia tidak mau berbicara padaku. Ekspresi yang begitu berbeda
dengan Najma. Gadis kecilku ini adalah penggemar berat ayah. Dia
begitu menyukai rumah ini dan dia sangat dekat dengan ayahku. Sejak
duduk di bangku taman kanak-kanak sampai kelas 6 sekolah dasar ini
dia selalu minta dikirim ke rumah ayah tiap kali libur.Dan ayah,
dia mencintai keluargaku. Pandangan sayangnya pada dua cucu
perempuannya begitu kentara. Namun, Nawa seperti telah diajarkan
ibunya untuk bersikap canggung dan formal. Mereka berdua paling
jarang berinteraksi dengan ayah. Tapi tentu saja hal itu tidak
menghalangi ayah untuk tetap membahasakan cinta lewat matanya.Nawa
sakit, Diq? suara ayah merentang di antara kami di meja makan.Oh,
dia sedang merajuklah, yah. Dia lagi sibuk-sibuknya jadi panitia
pentas seni waktu saya suruh ikut ke sini.Mbak emangsukangambek,
kek. Najmadong gaksukangambek, celoteh Najwa menyela percakapan
kami.Ya, Najmanggaksukangambek, tapi suka ribut, sahut ayah sambil
tersenyum pada Najma yang berubah cemberut. Pembicaraan itu kembali
ditujukan padaku, Shiddiq, Shiddiq, kalau Nawa sibuk ya tidak usah
dipaksa ikut ke sini, biasanya juga kamu tidak pernah
memaksanya,kan? Lagipula kamu juga aneh, inikanbukan libur sekolah.
Kenapa anak-anak kamu bawa bepergian, sejauh ini pula ke rumah
ayah. Kenapa?Ayah memandangiku dengan wajah sebijak biasanya, namun
matanya begitu tajam. Istriku mencuri pandang ke arahku demikian
pula aku menatap matanya. Setelah itu kami berempat tak bicara,
kecuali celoteh Najma tentang pengalamannya sore tadi menaiki pohon
rambutan di belakang rumah bersama Sauqi anak tetangga.Di rumah ini
ada empat kamar, awalnya cuma ada tiga. Kamar ayah dan ibu, kamarku
dan Kak Fahri serta kamar Nada adik perempuanku. Namun setelah aku
SMP, ayah memutuskan membuat satu kamar lagi untukku berpisah
dengan Kak Fahri. Sekarang empat kamar itu dua di antaranya kosong,
karena aku dan Kak Fahri sudah tidak tinggal di rumah ini sejak
kami menikah, ayah tinggal bersama Nada dan suaminya. Mereka berdua
sengaja menemani ayah tinggal di rumah ini. Saat ini mereka berdua
malah tidak ada di rumah, Nada menemani suaminya melakukan
penelitian sosial di sebuah desa pesisir pantai. Suaminya adalah
sosiolog. Nada sendiri seorang aktivis LSM antikorupsi. Kali ini
aku dan Shila istriku menempati kamarku yang sekarang beralih
fungsi jadi kamar tamu, sedang Nawa dan Najma tidur di bekas kamar
Kak Fahri.Aku merasa ayah seperti ingin menelanjangi kita,Mas.
Matanya, matanya, matanya seperti menuduh, Shila bicara yang lebih
seperti teriakan yang ditahannya.Cukup, Shil, ayah
tidaktauapa-apa,oke! Kau yang terlalu paranoid. Kau memang selalu
merasa ayah tidak menyukaimu,kan, jadi wajar saja kalau
pandangannya bagimu tak pernah akan terasa bersahabat, sahutku
mencoba menenangkan, tapi suara yang keluar malah tercekat karena
aku merasa disudutkan.Ayahmu memang seperti itu,kan,Mas, pandai
sekali membuat orang merasa tidak enak, canggung dan risih, nada
suara Shila meninggi.Sttt Cukup, kubilang. Kita selalu bertengkar
kalau kita membicarakan ayahku. Kau tahu betul kita perlu untuk ada
di sini. Bersikap baiklah, aku mencoba bersikap sabar namun
sepertinya Shila merasa tertekan dengan semua ini.Nanti kalau ayah
tahu apa yang akan ia katakan,Mas? Keluargamu terlalu mendayu-dayu
memegang prinsip. Keluargamu adalah rombongan orang-orang cerdas
yang menjemukan,Mas. Kalau ayahmu tahu ia bisa sajaDiam! Dia akan
tahu kalau kau berteriak-teriak! Ayahku adalah urusanku. Dan apa
pedulimu. Jika semua sudah membaik kita pergi supaya kau tidak
terus histeris seperti ini. Kau membuatku gila!Malam itu, seperti
beberapa malam sebelumnya, aku dan istriku tidak bisa tidur
nyenyak. Aku merasa kepalaku diisi dengan batu-batu besar.Selepas
subuh, aku tak menemukan ayah di rumah. Selalu begitu memang. Ayah
adalah saudagar sayuran. Di masanya sekarang, beliau cuma
mengontrol pekerjanya yang berjualan di berbagai pasar di kota ini.
Biasanya beliau akan pulang ke rumah menjelang zuhur. Beliau
membawa serta Najma.Isteriku dan Nawa pagi-pagi sekali sudah
memanggil taksi. Shila bilang dia mau mengajak Nawa jalan-jalan
agar Nawa berhenti merajuk. Tentu saja, mereka akan bisa bernapas
lega jika sudah berada di tempat-tempat yang mereka sebut pusat
peradaban,mall. Shila, isteriku yang cantik, kudapatkan dengan
susah payah. Dia adik angkatanku waktu kuliah. Ayahnya seorang
pebisnis yang belakangan mulai surut. Kami berpacaran tiga tahun.
Setelah karirku menanjak ayahnya cepat-cepat memintaku menikahi
anaknya.Keluargaku cukup merasa kaget ketika dia kuperkenalkan. Kak
Fahri yang sudah lebih dulu menikah dengan gadis yang dikenalnya
lewat ustad mengajinya yang satu profesi dengannya, dokter, tak
banyak bicara waktu itu.Almarhumahibu dan Nada yang mengisi udara
kosong dengan percakapan dengan Shila. Dan ayah, dia jelas terlihat
risih melihat calon menantunya, cantik, elegan, berkelas dan
angkuh.Matanya berbicara dengan baik padaku, betapa harapannya aku
menikahi gadis sepertiMbakVina, istri Kak Fahri yang sederhana,
buyar dengan menghadirkan Shila. Tapi beliau juga tahu betul apa
arti cinta, sesuatu yang mengendap dalam hati yang tak bisa dibuang
begitu saja. Sesuatu yang akhirnya membuatnya tetap tak menikah
sepeninggal ibu. Dia tahu itu, itu sebabnya dia diam. Dia tidak
setuju, tapi dia juga tidak menolak.Ketiadaan ayah membuatku
leluasa di rumah ini. Aku putuskan mengecek lagi isi dua koper yang
kubawa dari Jakarta, tempat tinggalku. Membawa-bawa koper itu
membuatku benar-benar tidak merasa tenang. Kubuka koper-koper itu,
kuperiksa ulang isinya. Utuh dan memang harus utuh.Aku sudah akan
menutup koper-koper itu ketika ayah tiba-tiba sudah berdiri di
belakangku. Suaranya kali ini begitu tegas, seperti kemarahan yang
menjelma menjadi kata. Bicara ayah datar, namun menikamku, Kau tahu
kenapa aku menamaimu Shiddiq? Tahukah kau ada begitu banyak harapan
tersimpan dalam nama itu?Tubuhku beku, tak bisa bergerak. Perlahan
ayah duduk di pinggiran ranjang di sisiku. Aku menunduk tak berani
menoleh menatap wajahnya, apalagi matanya. Aku merasa sekelilingku
membatu.Benar dan jujur, kata-kata itu yang menghinggapi aku dan
ibumu saat menamaimu Shiddiq. Nama tetap saja doa. Kami menyelipkan
harapan dalam nama itu. Seperti juga pada Fahri dan Nada. Selalu
ada harapan. Kau tahu benar kalau...Aku bukan Fahri atau Nada, yah.
Mereka tetap bisa menjadi apa yang ayah inginkan meski telah
mengalami berbagai hal dalam hidup mereka. Mereka bisa jadi seperti
apa yang ayah harapkan, saleh, jujur, idealis. Tapi aku... Aku
tidak bisa, ayah. Aku, Shiddiqmu yang kau harapkan seperti Abu
Bakar itu, itu cuma dalam cerita! Tubuhku bergetar.Ayah sebenarnya
sudah tahu. Nada sudah menceritakan tentang kecurigaannya padamu.
Itu sebabnya kau bawa uang tunai itu ke sini. Karena uang itu tidak
mudah terlacak, tidak seperti jika kau minta uang itu ditransfer ke
rekeningmu. Berapa uang dalam koper-koper itu? 1 milyar? 2 milyar?
3 milyar? suara ayah bergetar.Duniaku serasa runtuh. Betapa sulit
bernapas, tubuhku semakin membeku. Ayah seperti kekelaman yang
ingin kuhindari sejauh mungkin. Aku selalu berusaha menjadi anak
ayah yang baik karena buatku ayah begitu luar biasa. Kokoh seperti
beringin, lentur seperti pohon bambu. Dalam tiap pandangan matanya,
senantiasa akan kutemukan sebuah tempat yang nyaman untuk menetap.
Matanya adalah hujan saat terik, matahari saat kelabu. Ayah adalah
ayah, aku selalu ingin membuatnya menyediakan tempat yang nyaman
untukku dalam matanya.Tapi keputusanku untuk kuliah jauh darinya
membawaku pada dunia tanpa ayah yang begitu buas. Mengenalkanku
pada hitam yang tak kusangka bisa sepekat itu. Awalnya adalah
Shila, lalu keinginan untuk menyediakan hidup yang sempurna
untuknya sampai keinginan untuk menikmati dunia sepuasnya mulai
merasukiku. Lalu uang menjadi penting. Teramat penting dan bayangan
ayah semakin kabur...Ayah, sekarang dia mulai mendekatiku, lalu
berdiri di hadapanku. Dia menangis. Ayahku menangis. Aku merasa
hatiku sangat sakit.Ayah mencintaimu, sulit sekali ayah sampaikan
karena selama ini ayah ingin kau bisa membaca rasa cinta itu lewat
perbuatan ayah, bukan apa yang ayah katakan. Shiddiq... Suara ayah
pelan, seperti kehilangan kekuatan, Bukan siapa dirimu yang akan
menunjukkan kedudukanmu, tapi apa yang kau pilih. Kau telah
memilih. Dan kau tahu betul seperti apa risikonya. Shiddiq...
Shiddiq... anak ayah.Perlahan diciumnya keningku, direngkuhnya aku.
Tangisku tak bisa lagi kubendung, meluncur deras bersama airmata
yang juga tak bisa kubendung. Aku seperti Shiddiq puluhan tahun
lalu. Kubenamkan kepalaku di dada ayah yang gemetar. Aku
sesenggukan, tapi aku merasa begitu lega. Ini jadi jauh lebih baik.
Bertahun-tahun aku hidup dalam dunia yang membuatku kerontang.
Hidup dalam ketakutan jika tiba-tiba ayah tahu. Sekarang ayah tahu
dengan cara yang begitu sederhana, memergoki milyaran uang dalam
koper-koper itu. Uang yang diserahkan rekananku sebagai
suap.Sungguh aku merasa begitu lega dalam pelukan ayah. Sudah
puluhan tahun ia tak memelukku begini.Menjelang sore Shila dan Nawa
pulang. Ayah sudah menelepon polisi. Najma terus saja bertanya pada
kakeknya, kenapa kakek dan ayahnya menangis saat ia pulang dari
rumah Sauqi. Semua takkan lagi sama setelah hari ini. Tapi aku
telah mendapatkan lagi apa yang dulu terasa begitu jauh... Aku
lihat mata ayahku bernyanyi, nyanyian tanpa nyanyian.
PASAR
Dewi Yuliani
Suasana Pasar Ahad hari ini hiruk-pikuk. Aku tahu sekali hari
ini banyak yang datang bukan sekadar belanja untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, tapi lebih dari itu. Hari Rabu ini
mendadak orang-orang menjadi pemurah, menjadi orang yang sangat
dermawan.Bayangkan saja, dengan uang seribu lima ratus, orang dapat
menjadi kaya mendadak. Bisa jadi akan menambah jumlah konglomerat
di Indonesia. Itu kalau nasib lagi mujur, kalau tidak? Untuk
sementara mimpi jadi konglomerat pun patut disyukuri.Aku
memperhatikan orang-orang yang berseliweran di depanku. Aku sudah
hafal sekali wajah-wajah siapa saja yang mampir di sini, sekadar
tanya tentang kode buntut.Sebenarnya aku tertawa sendiri. Amat
Tukak jualan kode buntut untuk mereka yang memasang Rabu malam
nanti. Kalau Amat Tukak tahu angka yang akan keluar, kenapa bukan
Amat Tukak sendiri yang membeli secara diam-diam agar ia tidak usah
lagi berpanas-panas jualan buntut di trotoar pasar ini.Pernah suatu
kali aku menanyakan keberadaannya di pasar ini. Katanya, ia sudah
bosan membeli kuponsugih, tidak pernah kena. Lalu ia berinisiatif
untuk jualan kode. Kalau kebetulan angkanya cocok, syukur. Kalau
tidak? Paling-paling lain hari ia sudah tidaknongkrongdi pasar ini
lagi.Waktu itu kami sama-sama tertawa, menertawakan nasib sendiri.
Aku memilih diam dan memperhatikannya berteriak menyebutkan
angka-angka sementara orang-orang yang mengerumuninya memandangi
Amat Tukak dengan terkagum-kagum.Selain Amat Tukak, aku juga tahu
manusia yang ahli dalam keterampilan tangan, bagaimana tekniknya
sehingga orang sama sekali tidak merasakan tangan si copet yang
merogoh saku belakangnya. Tapi aku tak acuh. Biar, mereka juga cari
makan seperti aku, dan aku tidak mau berhadapan dengan gembong
copetnya. Bisa-bisa habis aku dikeroyoknya. Dan itu juga untuk
menjaga stabil dan amannya caraku mencari makan.Aku hampir
terkantuk-kantuk ketika hari semakin panas terik, anginnya
sepoi-sepoi basah. Tetapi, cacing yang ada di ususku tak mau diajak
berdamai. Ia selalu saja menggerogoti perutku. Rupanya ia marah
melihat kantong perutku hanya berisi air putih, selebihnya hanya
angin busuk saja yang tidak bisa keluar karena tidak punya kekuatan
untuk menekan perutku.Kasihan orang itu ya, Bu. Lihat, kaki
kanannya buntung.Hiii... banyak kudisnya, Bu!Aku tersentak kaget
lalu menoleh ke samping kiriku. Kulihat ada nyonya gendut berbaju
merah darah. Aku melirik lehernya yang berlipat, tapi dihiasi
gandulan kalung emas. Aku tidak habis pikir, berani sekali ibu
gendut itu membawa anaknya yang juga diliputi emas di lehernya yang
tidak kalah gendut dan berdagudua. Rupanya kedua anak-beranak itu
kelebihan gizi.Tiba-tiba nyonya gendut tadi melemparkan ratusan
yang sudah kusam dan lusuh di kaleng bekas susu yang sudah
kusiapkan.Bah! Akungedumeldalam hati.Benggolbuat mengerik
punggungku saja tidak sejelek ini. Aku mengira, uang itu sudah lama
terjepit di sudut dompetnya.Copet! Copet! Kurang ajar! sumpah
serapah nyonya itu, kakinya dihentak-hentakkan ke trotoar.
Pantatnya yang sebesar baskom bergoyang-goyang, lucu. Aku
melihatnya seperti badut Ancol yang tengah menari.Rupanya pencopet
itu masih perlu latihan lagi, buktinya ia dengan mudah dapat
ditangkap. Ampun. Ia dipukuli, persis memukuli ikan gabus yang
sering kulihat di pasar ikan. Dahi pencopet itu mengeluarkan darah,
dompet yang dirampasnya tadi dikembalikan lagi pada nyonya gendut
yang masih merengek-rengek persis anak kecil yang kehilangan
permennya.Aku menyumpah-nyumpah dari jauh. Seharusnya sebelum anak
itu beraksi, ia harus rajin bangun pagi untuk latihan lari. Rupanya
ia baru turun lapangan, sehingga kelihatan agak canggung.Udara
semakin panas saja. Aku melirik Ijum yang asyik menidurkan anaknya
di kain sarung yang telah dikaitkannya pada seutas tali rafia, lalu
digantungkannya di atas kayu atap tempatnya berdagang. Suaranya
bagus. Rupanya ia bekas penyanyi dangdut. Seandainya ada pencipta
lagu yang tersesat di pasar ini mungkin ia akan tertarik mendengar
suara Ijum. Aku mengakui, soal tampang Ijum tidak kalah dengan
penyanyi dangdut terkenal. Masalah nama, ia nanti bisa mengganti
namanya menjadi Voni atau Ivon, untuk lebih komersil.Aku hampir
tertidur mendengar suara Ijum, tapi cacing di perutku tak mau diam.
Apalagi ketika suara lagu dangdut menggema mengawani tukang jual
obat mempromosikan produknya, obat kudis dan penyakit kulit
lainnya.Sebenarnya obat itu murah, cuma lima ratus per botol. Aku
pernah beli setengah botol, tapi kudis di leherku masih saja
nakal.Aku hampir menggoyangkan pinggulku ketika mendengar lirik
lagu Basofi Sudirman.Tidak semua laki-laki bersalah padamu... Aku
tahu kalau Basofi sekarang menjadi gubernur Jawa Timur. Jelek-jelek
aku juga baca koran. Jadi, tidak hanya basi di dalam pasar ini, aku
juga tahu kalau di Indonesia masih banyak orang yang melarat.Aku
tahu semuanya bukan melalui koran, tapi aku langsung berkecimpung
dalam kemelaratan itu, bergumul di dalamnya.Dari koran bekas
sebagai alas dudukku, aku juga dapat membaca tentang Amerika dan
produk-produk politiknya. Aku pernah membaca buku filsafat hidup
bahwa diam itu adalah emas. Aku artikan saja sendiri, menurut
status pendidikanku yang rendah, kalau diam itu membuat diriku
lebih aman.Hari ini... aku bersumpah... akan kubuka pintu
dompetmuuu...Tiba-tiba aku mendengar lirik lagu Basofi
berubahreff-nya. Dan aku hafal pemilik suara yang menggelitik itu.
Gurdis! Rupanya ia sudah keluar dari penjara. Pipinya masih benjol,
mungkin di sel pun ia menjadi bulan-bulananbuntat-buntatdi
sana.Gurdis tertawa senang melihat tampangku. Giginya yang agak
kuning tapi tersusun rapi tersembul kelihatan di antara bibirnya
yang hitam.Aku melirik lengan Gurdis yang bertato burung rajawali,
di dada kanannya bergambar naga. Terus terang, aku takut sekali
melihat kehadiran Gurdis kali ini.Sudah makan, Jon? tanya Gurdis
sambil memandangiku tajam. Suasana pasar rasanya tambah panas.
Taksi-taksi kuning hilir-mudik mengangkut penumpang.Aku mengalihkan
pandanganku pada televisi umum yang tengah menyiarkan berita
tentang perang etnis di Bosnia-Herzegovina.Sudah makan, Jon?!
hardik Gurdis.Belum. Kau? tanyaku pelan.Sudah.Pantas saja, perutnya
agak gembul dan aku tambah iri mendengar dengkur kekenyangan cacing
dari perut Gurdis.Lapar? tanya Gurdis agak bodoh.Sampianini
bagaimana? Dari pagi aku belum makan, ya laparlah...Tunggu
sebentar, ya...Tubuh Gurdis yang gendut tapi tinggi itu berlalu
dari hadapanku. Tak berapa lama ia datang lagi dengan sebungkus
nasi. Entah, dari mana ia mendapatkannya. Setahuku, Gurdis raja
copet di pasar ini.Kau curi di mana?Aku beli, jawabnya singkat.Ah,
dusta. Mana ada GurdisJagautiba-tiba jadi makhluk yang manis... Aku
tertawa hambar, tapi membuka juga nasi bungkus yang
dibawakannya.Sumpah, kali ini uang halal, Gurdis membuka dompet
lusuhnya, terlihat olehku lembaran-lembaran ribuan.Uang siapa yang
kau copet,heh? tanyaku penasaran, mulutku penuh oleh nasi kuning
sehingga berhamburan.Aku jadi penjaga rumah Ta Ching, katanya
pelan.Wah,wah... Jadibuldognya, ya?Biar. Aku sudah bosan
keluar-masuk penjara. Besok-besok aku mau beli sepeda motor, jadi
tukang ojek.Ooo..., itu saja seterusnya yang keluar dari
mulutku.Gurdis bertobat, lalu siapa lagi temanku bercakap kalau ia
meninggalkan tempat ini.Percakapan kami terhenti ketika Tibum
datang. Suasana pasar menjadi semrawut. Pedagang-pedagang yang
berseliweran di tengah jalan lari ketakutan. Tukang becak berusaha
menyembunyikan becaknya.AcilIjah jatuh tertelungkup karena kainnya
yang melorot terinjak temannya sendiri ketika mereka mencoba
lari.Gurdis memandangiku dengan sorot mata sedih, lalu menyelinap
di antara lorong pasar yang gelap.Itu orangnya! tiba-tiba Tibum
yang bertubuh gemuk pendek menunjuk ke arahku. Cepat-cepat kutarik
kakiku yang penuh perban yang terbenam di dalam tanah berlubang
yang sudah kusiapkan, lalu mengambil jurus seribu.Penipu!
Buntungnya dusta! Otak busuk!Entah teriakan apalagi, tak sempat
kudengar. Aku tidak peduli dengan teriakan marah mereka. Rupanya
mereka sudah tahu kedokku, yang kadang berubah jadi copet atau
pengemis buntung.Aku tahu tempat yang aman sebagai persembunyian.
Satu bulan atau dua bulan aku tidak pernah jera datang kesini.
Tentu dengan sosok lain.Aku tak peduli teriakan cacing yang geram
karena tidurnya terganggu disebabkan nasi si Gurdis, karena
cacing-cacing ini juga tidak peduli kalau tuannya sudah pucat pasi
dan pontang-panting lari ketakutan.
SOFIA,PERPISAHAN ITU MENGANDUNG DUA ARTI
Hudan Nur
Dulu sekali sebelum kamu pergi. Meninggalkan kota kecil ini, aku
sering mengirimimu puisi-puisi, setiap hari malah. Aku juga sering
membaca puisi-puisi itu di Sabtu sore sambil menunggu waktu malam
yang tidak kalah indahnya. Apapun cuacanya di malam minggu tetaplah
mengasyikkan bagi kita. Kita ke warnet bersama. Makan kacang rebus
di taman air mancur. Atau kamu menonton aktingku di Taman Van Der
Vijl. Kamu juga sering memarahi aku tanpa sebab yang pasti. Kamu
keluarkan umpatan-umpatan yang tidak beralasan ke hadapanku. Tapi
aku hanya diam, aku tidak kuasa membalas umpatan-umpatan itu.
Karena satu dan lain hal.Di hari Minggunya, kita latihan teater
bersama pula. Aku selalu bilang bahwa aktingmu bagus, jika kamu
minta penilaianku. Aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya
ingin kamu senang, aku tidak mau ada kata-kata yang keluar dari
mulutku menyakiti perasaanmu. Kamu perempuan, Sofia, tentunya pula
sensitif. Aku tidak mau kamu tersinggung. Bukankah berbohong demi
kebaikan itu dianjurkan?Kadang, sorenya aku mengantarkanmu
berkunjung ke rumah pamanmu. Lantas aku memboncengmu bersama
kendaraan yang kupinjam dari tetangga sebelah rumahku. Aku
seringngeremmendadak. Dan kamu memukul pundakku, kamu bilang
kamunggaksuka. Tapi aku suka, kapan lagi ada kesempatan berdekapan
tanpa sengaja seperti ini, pikirku.Senin, Selasa, Rabu hingga Sabtu
kita ke sekolah bersama. Kita diajar oleh guru-guru yang sama. Kita
melewati waktu istirahat bersama. Lalu pulang bersama. Kita tak
pernah bosan dalam kebersamaan itu, meskipun kadang-kadang kita
tidak akur.Waktu tiga tahun di bangku SMA terasa sangat singkat,
Sofia. Tiga tahun bersamamu terasa pendek, dibandingkan waktu
pelajaran yang dijalani walau cuma empat puluh lima menit di setiap
mata pelajaran. Aku merasa jenuh jika harus memperhatikan
penjelasan dari guru. Aku lebih suka merangkai kata demi kata, lalu
kukirimkan kepadamu.Pernah suatu kali, aku ketahuan oleh guru, aku
kenaskors. Ia juga menyuruhku membacakan apa yang sudah aku tulis
di podium, tempat pembina upacara memberi amanahnya. Dapat
dibayangkan, bagaimana reaksi adik dan kakak kelas. Mereka
me-huhuiaku. Seharusnya aku malu, tapi karena aku peteater aku
tidak sedikit pun merasakan malu. Justru aku bangga. Malah aku
bermonolog di atasnya.Kamu tidak tahu betapa gelisahnya aku jika
mataku mulai disirepkantuk. Aku takut jika harus memejamkan mataku.
Aku takut kalau-kalau di dalam mimpiku tidak ada dirimu, atau
melihatmu bersama lelaki lain. Aku begitu takut. Segeralah aku
meminum obat penolak kantuk dan kembali merangkai kata ke dalam
puisi. Yang akan kukirimkan kepadamu jika pagi menjelma. Aku lebih
suka menghabiskan waktuku dengan membuat puisi ketimbang belajar
atau mengerjakanpe-er.
***24 Juli 2005Kukirimkan sebuah catatan harianku yang isinya
tentang aku selama dua tahun terakhir. Selepas perpisahan itu.
Bunyinya seperti ini:
Aku sudah susah membuktikan betapa ternilainya senandung sempana
jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.Aku tahu, tapi
kejanggalan akan cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan
bayangan, aku hanya melihat sinar yang kelambaiannya tak nampak.
Pekat pula. Sementara aku baru mempersiapkan diri untuk juga ikut
pada peperangan yang salah satu pemrakarsa serta pengrobohnya,
aku.Sementara aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan
menuding sebagai insan yang naif. Aku betul-betul aku. Hingga aku
kehilangan bentuk, remuk di situ juga. Redamnya utopia di mukaku
adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan senandung jiwa di
bab terakhir.Sungguh aku malu. Maka dengan ini semua aku akan
buktikan, aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita
merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu
memilukan, sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah memaksakan
ribuan hasrat untuk menikam dan ke arah itu lagi. Aku pura-pura
lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu saat akan ada balasan dari
seluruh torehan yang dieja pada sempana-sempana melodi dari jiwa
yang tak berkesudahan.Yang menyetiamu,***Sudah ribuan puisi aku
pintal, Sofia. Kalau dibuat antologi sudah puluhan, hitunganku.
Semuanya aku tulis atas dasar ketidakpahaman jiwaku.Meski aku
katakan tidak, tapi aku tak kuasa. Aku tak mengerti, mengapa semua
cita harus berujung pengorbanan. Kalau aku berpikir lebih jauh,
itulah alasanku bertahan.Aku tahu kita berbeda, Sofia. Aku orang
kebanyakan. Sedang kamu? Apa pun mampu kamu beli. Diriku pun, kalau
kau mau? Tapi, sesiapa pun tahu bahwa perasaan tidak mengenal itu.
Aku tulus, Sofia.***
15 Agustus 2005Aku di sini sedang mengalami musim liburan. Aku
berencana untuk pulang. Tunggu aku ya. Oh... ya! Aku ingin
memperkenalkan kamu dengan seseorang. Aku kangen pada situasi di
sana. Aku ingin membawanya berkeliling di daerah kita. Aku dan dia
sekarang sedang menikmati musim semi. Aku ingin memperpanjang musim
semi itu di sana.***
17 Agustus 2005Aku tidak merasa merdeka. Aku tidak memiliki
kebebasan untuk menautkan hati. Lalu kutuliskan balasan
suratnya:Benarkah, Sofia? Aku akan menunggumu. Ini kegembiraanku
yang menyeluruh. Cepatlah kembali, Sofia...Yang menyetiaimu,
Aku pura-pura turut berbahagia. Melalui suratmu yang kubaca
berkali-kali itu, aku sebenarnya menangis. Tapi aku bisa apa.
Asalkan aku bisa melihat kamu tersenyum, aku rela melakukan apa
saja. Sekalipun mengorbankan perasaanku. Bahkan kalau kamu
menginginkan nyawaku, maka aku akan menyerahkannya.
***
Lima hari aku menunggu kepulanganmu. Selama itu pula aku sibuk
memintal kata menjadi rajutan puisi yang akan aku berikan setibanya
kau di hadapanku. Aku menyibukkan diri memilah kata mana yang pas
untuk seorang kamu, Sofia.Dalam waktu itu, aku terdiam. Melamun.
Aku terkenang masa-masa itu lagi. Di SMA. Aku mengulang kaset
kenangan yang isinya tentang semua tingkahmu. Apa-apamu. Aku
mencoba mengingat akan dirimu, khususnya wajahmu. Aku paling suka
dagumu, terbelah dua. Seperti laba-laba kembar menggantung. Belum
lagi alismu, yang seperti semut berjejer. Kamu begitu indah.Sebagai
peteater, aku juga memiliki paras yang bisa dikatakan... boleh
juga. Namun aku tidak terpengaruh akan kenyataan itu, karena kamu
sering bilang wajahku jelek. Tapi kalau jelek, kenapa kamu mau
berteman sama aku? Kamu diam, jika aku balik menohok macam itu.
Kamu kehilangan kata-kata dan segera saja kamu alihkan dengan
tawaran. Sebuah senyuman.***
Apa kabar kamu? sapamu setelah sekian lama tidak bertemu.Seperti
yang kamu lihat, jawabku sambil mengamati penampilanmu yang jauh
berbeda. Dandananmu sudah berubah. Kamu sudah gunakan pewarna
bibir. Pun pakaian yang kau pakai sudah semakin minim, apalagi rok
mini dan stelantanktopyang membaluti tubuhmu membuatku
pangling.Oh... Ini Dirga, yang mau kuperkenalkan denganmu lewat
suratku tempo hari, sambungmu sambil merengkuh tangan lelaki yang
sejak tadi berdiri di sampingmu.Aku sesenggukan saja menyalami
lelaki yang kau sebut Dirga itu. Aku merasa asing dengan
kehadiranmu. Aku tidak kenal dirimu lagi, Sofia. Tidak hanya
penampilan, tetapi sifatmu. Kamu tidak semanis dulu.Sofia, ini
untukmu.... Kuserahkan puisi-puisi yang sudah kubuat sebelum
kepulanganmu.Terima kasih. Sudah dulu, ya. Aku mau menemani Dirga
jalan-jalan... Lalu, kamu menggandeng lelaki itu menjauh dari
hadapanku. Sekali lagi, aku bisa apa?Aku hanya bisa menelan air
liur. Pahit.
***
Seminggu kemudian engkau datang ke rumahku. Kali ini tidak
bersama lelaki itu. Kamu sendirian.Ada apa, Sofia? tanyaku karena
kulihat air mukanya memancarkan kegelisahan.Aku pamit. Hari ini
seluruh keluargaku akan ikut aku menetap di Jawa... Setelah itu
kamu menyalami tanganku. Aku merasakan hangat. Menyeruakkan seluruh
samudera biruku. Aku tak ingin berpisah denganmu, Sofia. Aku tak
mampu mengucap apa-apa. Karena airmataku yang menetes cukup
mewakili kata apa yang mesti terucap.Aku remuk mendengarnya.
Seandainya aku burung, maka sayapku ini patah karena angin berita
itu. Pun ketika aku hendak memelukmu, kamu menghindarinya. Malah
kamu pergi meninggalkanku dalam tangisan.
***
24 Juli 2006Seperti kemarin aku tetap membuat puisi untukmu,
Sofia. Aku tuliskan kata-kata di selembar kertas berwarna kelabu.
Aku luapkan segala rasaku yang tak pernah sampai. Sebab, aku bisa
apa.Sofia terukir di prasastikusetiap penghujung malamkuyang juga
sempat menghantuijati diriku kemarinsorepun aku mengeluh
padamu;temani aku mengukur jalan-jalanyang akan kulaluiesok
haritapi kau tak pernah menjawab,membuat akusemakin khawatir
akankebungkaman yang kau miliki
Sofia terukir di prasastikupada hatiku yang mulai
merekahsementara, jam berdetak cepatdibelenggujiwaku yang lainlalu
di setiap detiknya, aku hanyamencoba berbagirasa untuk mentasbihi
namamu;Sofia!karena itulah kerjaku adanya
Sofia terukir di prasastikumembukakan beberapa ayatkuyang
ditulismataharikukarena aku hidup bukan untukaku, tetapidemi
dini-petangmudi kancah mendatang
Sofia terukir di prasastikupernah menghadang
sudutkegelisahankuyang kemudian menuaikan aromakharismatik buluh
airmatabunga di persinggahan waktuDuh, Sofiaku yang kian harikian
dekat,sedekat pemisah antara jasaddan ruhnyapeletak degup jembatan
kenangankudi perkosaan zaman
Sofia terukir di prasastikudengan pena asmara iniaku tuliskan
dalamkalimat-kalimat penabuh dendangirama dewabahwa syair penyejuk
kembarakutelah menembustulang-darah serta segala apayang
kumilikiuntuk memahamimu yang kiniterukir di prasastiku;
Sofiaku!
Tapi baik puisi atau pun surat yang kutulis tidak lagi pernah
kukirim kepadamu. Alamatmu sekarang aku tidak tahu dan kamu tidak
pula memberitahunya. Semua surat yang pernah aku kirimkan ke
alamatmu dulu, dikembalikan tukang pos.Aku tidak tahu lagi
bagaimana kamu sekarang. Ada dua arti yang aku simpulkan dari salam
perpisahan setahun lalu. Sampai jumpa atau selamat tinggal.Tanpa
sadar aku menangis, mengingat semuanya. Aku bisa dikatakan lelaki
cengeng, tapi apalah aku. Inilah adanya.Dicari kemana-mana
ternyatapiannya di sini? ItunahSofia menangis,ulunmau ke pasar dulu
menjual sayur!Iya..., jawabku memelas sambil menghapus airmataku.
Sedang puisi yang baru saja kutulis itu aku sobek. Seperti
perasaanku. Lalu kukunci kamar itu dan pergi menghampiri putriku
yang sedang terlelap.Lekat-lekat aku memandangnya. Baru dua minggu
ia menjalani usianya. Aku tercenung, perasaanku mestinya lebih
besar tercurah padanya. Kucium dahinya. Sofia, sayang, jangan
tinggalkan Bapak ya, Nak? Lalu kucium lagi dahinya...
inspired by someoneSofiandi SedarGuntung Payung, 30 Agustus
200505:40 PM
PIANO
Nonon Djazouly
Kudentingkan jari jemariku di atastuts tutspiano
melagukanSymphony 40-nya Mozart. Sementara Zelda istriku mengomel
tak karuan. Suaranya terdengar timbul tenggelam dari balik kamar,
seriring bunyi denting pianoku yang kadang nyaring dan kadang
pelan. Selesai melagukanSymphony 40kulagukan lagiFor Alice-nya
Bethoven. Kali ini tak terdengar lagi omelan Zelda, mungkin ia
sudah tertidur lelap dan bermimpi.Setelah puas main piano, aku
duduk sambil meluruskan pinggang di sofa.Zelda... Selalu saja ia
ribut kalau aku main piano. Kadang aku bingung kenapa ia sepertinya
benci sekali dengan yang namanya piano. Sering ia berkata bunyi
piano itu bising, padahal menurutku suara piano itu sangatlah
romantis. Pernah juga dikatakannya bunyi piano itu mengerikan,
namun kubilang alunan suara piano itu malah memberi kesejukan dan
rasa damai di hati. Tapi Zelda tak pernah mau kalah, ia selalu
mengomel dan mengomel terus kalau aku main piano.Piano ini kubeli
lima bulan lalu, dari sahabatku Wiby. Memang bukan piano baru, tapi
piano lama warisan kakeknya. Aku membelinya karena selain modelnya
yang sudah kuno hingga terkesan antik, juga karena harganya jauh
lebih murah daripada membeli yang baru. Tapi waktu aku membawanya
ke rumah, Zelda membelalakkan matanya. Bang, kenapa kau tak
kompromi dulu denganku kalau mau membeli lemari ikan kering begini?
katanya.Kau tidak menghargai barang antik, Zelda. Piano ini sudah
puluhan tahun umurnya, harusnya Wiby menghargainya mahal, tapi
karena dia sahabatku...Aku tak suka piano! jawabnya ketus sambil
berlari masuk kamar.Esok harinya sepulang kerja, piano yang tadinya
kutaruh di sudut ruangan sudah berpindah tempat ke samping kamar
pembantu. Oh, Zelda, kau benar-benar tak menghargai suamimu. Tapi
biarlah dulu, aku berusaha sabar.Kubuka koleksi lagu-lagu lama yang
kusimpan dalam laci. Habis rapat direksi di kantor tadi cukup
membuatku lelah. Aku ingin bersantai sejenak dengan memainkan
beberapa lagu kesukaanku dulu. Apalagi Zelda sedang pergi arisan,
berarti aku bisa bebas bermain piano sepuasnya.Dua lagu kumainkan,
aku pun tenggelam dalam kenangan masa lalu bersama guru pianoku
yang manis, Deborah. Wanita berdarah Belanda itulah dulu yang
mengajarku main piano sejak aku SD hingga tamat SMA. Usianya
terpaut lebih tua lima tahun dariku. Deborah yang manis tak
segan-segan memukul jari-jari tanganku dengan penggaris jika aku
dilihatnya kurang konsentrasi memainkan lagu.Namun pernah beberapa
kali aku mendapat hadiah ciuman di pipi tatkala permainanku
dianggapnya sempurna. Sayang setelah menikah Deborah diboyong
suaminya ke Belanda. Sejak itu aku hampir tak pernah lagi
menyentuhtuts tutspiano, dan setelah aku menikah piano kesayanganku
diminta oleh Nina adikku yang juga menyenangi musik.Malam hari,
saat kami akan tidur Zelda berkata dengan dengan wajah sedikit
cemberut. Bang, apa kau tak pernah berpikir untuk menjual saja
piano tua yang jelek itu?Zelda, yang namanya jiwa seni itu tak
pernah bisa hilang dalam diri seseorang. Aku menyukai seni musik,
dan piano adalah alat musik yang kusenangi sejak kecil.Aku mengerti
itu, tapi kau juga harusnya bisa mengerti aku. Bunyi piano itu
sungguh tak kusukai, katanya sambil menutup wajahnya dengan
bantal.Aku ingin bertanya sesungguhnya apa yang menyebabkan ia tak
suka mendengar suara piano, tapi kuurungkan karena ia pasti tak
pernah mau menyebutkan alasannya juga seperti yang
sudah-sudah.Duh,Zeldaku, ada apa gerangan dengan
dirimu?Sesungguhnya yang tambah membuatku bingung adalah bahwa
istriku ini seorang perempuan yang juga berjiwa seni. Ia suka
membeli lukisan dan suka memelihara bunga. Di dinding rumah kami
penuh dengan pajangan lukisan, di pekarangan pun penuh dengan
berbagai jenis bunga tanamannya. Dan yang kutahu, sebenarnya Zelda
juga penggemar musik. Namun lucunya, istriku yang penampilannya
selalu anggun ini menyukai jenis musikrock. Koleksi kasetnya sangat
banyak tersimpan dalam lemari khusus yang berkunci. Tapi kini ia
sudah jarang mendengarkan kaset-kaset kesayangannya itu. Hanya
sesekali kalau kami jalan keluar kota, ia mengeluarkan beberapa
kaset itu dan memutarnya dalam mobil. Lagu-laguQueen,Deep
Purple,Beatles. Katanya biar aku yangnyetirtidak mengantuk!Pernah
kutanya, bukankah dalam lagu-lagu kesayangannya itu juga ada suara
piano walau tidak dalam setiap lagu. Jawabnya, bunyi piano dalam
sebuah grupbanditu tenggelam oleh suara alat musik yang lain, jadi
artinya dia hanya tak menyukai suara piano tunggal. Aku membahas
lagi, bukanlah kalau banyak alat musik dimainkan itu lebih berisik
daripada alat musik tunggal? Jawabnya berulang lagi, Aku tidak suka
bunyi piano!Wah,wah,wah...Namun uniknya, semakin Zelda protes maka
semakin pula hatiku selalu ingin bermain piano. Bias-bias rindu
untuk menekantuts tutspiano malah semakin menggebu setiap saat.
Semakin Zelda mengomel, makin keras pula aku menekantutstutspiano.
Pernah suatu ketika, saat aku melangkah menuju piano di samping
kamar pembantu, Zelda masuk kamar lalu kulihat ia menutup kedua
lubang telinganya dengan kapas. Saat aku mulai membuka tutup piano,
ia bergegas pergi ke taman menyiram bunga-bunganya dengan kapas
basah menempel di telinga.Dan sore itu saat pulang kantor kulihat
pemandangan yang sungguh membuat hatiku mulai gusar. Piano
kesayanganku telah ditutup denganlakbanddi sekelilingnya!Malamnya
aku bertandang ke rumah Wiby dan kuceritakan semua tingkah laku
Zelda. Mungkin kau sering memainkan satu lagu berulang-ulang hingga
membuat ia curiga, katanya.Maksudmu?Mungkin ia curiga kalau lagu
itu merupakan lagumemorymu bersama mantan kekasihmu dulu,
jawabnya.Tidak, Wiby. Aku selalu memainkan bermacam lagu, dan
tampaknya masalahnya memang bukan itu.Atau kau mungkin
terlalukemarukmain piano sehingga ia merasa kurang diperhatikan,
dengan kata lain kebersamaan kalian jadi berkurang?Aku tak pernah
lupa waktu. Paling banyak tiga empat lagu kumainkan, aku sudah
puas. Jadi kurasa itu juga bukan alasan.Lalu menurutmu sendiri apa
sebenarnya masalahnya?Justru itulah yang membuatku pusing, dia
hanya sering berkata bunyi piano itu berisik, mengganggu dan
sebagainya. Padahalkanalunan denting piano itu justru menghasilkan
nada-nada yang syahdu, kataku.Wiby menghela napas dalam-dalam tanpa
bersuara apa-apa. Namun saat kuceritakan bahwa Zelda dulu menyukai
lagurock, Wiby mengernyitkan dahi kemudian tertawa terbahak-bahak.
Berarti memang ada sesuatu yang tersembunyi di balik tingkah
istrimu itu, katanya. Kau harus menyelidikinya sendiri, kawan. Baru
kita cari solusinya, sambungnya lagi.Sepanjang jalan ke rumah, aku
berpikir apa mungkin istriku mengalami phobia, phobia terhadap
piano. Kalau mungkin, lalu apa sebabnya?Suatu ketika aku bertandang
ke rumah Amri temanku di SMA dulu yang sekarang berprofesi sebagai
psikiater. Aku lalu menceritakan tentang Zelda kepadanya.
Kaukantahu Zelda itu orangnya anggun, sikapnya tenang. Tapi ketika
mendengar bunyi piano ia langsung berubah panik, gelisah dan
cerewet. Aku benar-benar tak habis mengerti, Amri. Apa mungkin ia
mengalami phobia?Mungkin saja. Jangan dikira orang yang perilakunya
tenang seperti istrimu tak akan pernah mengalami phobia. Karena
phobia bisa menghinggapi siapa saja. Namun banyak orang yang
mengalami phobia selalu menyembunyikannya, bahkan pada orang
terdekat sekalipun...Apa mungkin karena takut dianggap
abnormal?Bisa jadi, bukankah irasional jika seseorang takut melihat
benda semacam piano saja? Takut mendengar suara piano? Ogi...
Setiap orang sebenarnya wajar memiliki rasa takut. Takut berada
dalam kegelapan, takut sendirian dalam rumah, takut terhadap ular
karena ular itu berbisa, takut melihattruckbatubara yangngebutdi
jalan raya. Dan rasa takut itu memang harus dimiliki setiap orang
dalam hidup ini agar kita selalu berhati-hati. Berhati-hati di
jalan raya, berhati-hati terhadap binatang berbisa. Tapi kalau rasa
takut itu berlebihan dan di luar kewajaran sehingga mengganggu
kejiwaannya, apalagi terhadap obyek yang tidak berbahaya sama
sekali, maka berarti ia memang mengalami phobia.Lalu apa yang harus
kuperbuat? Kadang aku merasa tersiksa juga, Amri, tanyaku.Kau harus
bisa memberi pengertian, pengertian yang sangat mendalam karena
phobia bukanlah rasa takut biasa. Lama kelamaan mungkin akan timbul
keinginan melawan dan membunuh rasa takut itu sendiri dari dalam
jiwanya...Aku mengernyitkan alit, sekilas teringat waktu akan
berangkat tadi, Zelda sempat berkata bahwa ia akan menyuruh
pembantu untuk memindahkan piano kesayanganku itu ke ruang
atas.Amri meneruskan, Penyebab phobia itu ada yang hanya sekali
tetapi ekstrim, tapi ada pula yang hanya karena masalah kecil tapi
kontinyu mengganggu perasaannya. Satu contoh ada seseorang yang
phobia terhadap eskalator karena waktu kecil ia pernah menyaksikan
seorang anak yang jatuh dari pagar atas eskalator ke lantai bawah
dan tewas seketika di depan matanya.Lama sekali aku berbincang
dengan Amri. Ternyata begitu banyak orang yang mengalami phobiadi
dunia ini, hanya kadar dan intensitasnya berbeda. Bahkan penyanyi
sekaliber David Bowie pun mengaku mengalami phobia terbang, dan
selalu mengkonsumsi obat penenang jika akan naik pesawat.Di pagi
Minggu saat aku baru pulang mengantar Zelda ke salon, Dino abang
Zelda menyambangiku ke rumah dan kami duduk-duduk di teras. Di
tengah obrolan, Dino menanyakan piano tua yang kubeli dari Wiby.
Kenapa tak kelihatan piano itu, Ogi?Mendengar pertanyaannya, aku
merasa ini mungkin kesempatan bagiku untuk mencari tahu sebab
musabab phobia Zelda terhadap piano. Kembali aku bercerita panjang
lebar seperti yang pernah kusampaikan pada Wiby dan Amri tentang
Zelda. Bahkan beberapa kali ia menyuruhku menjual saja piano yang
dikatakannya seperti lemari ikan kering itu, kataku menutup
cerita.Dino tersenyum. Sudah kuduga, Ogi. Waktu kalian pacaran dulu
Zelda pernah bilang padaku bahwa menurutmu waktu remaja kau suka
main piano. Aku berpikir suatu saat bukan tak mungkin hal ini akan
menjadi problema bagi kalian, walau mungkin tak akan begitu serius,
tapi cukup mengganggu.Mungkin ada kenangan buruk yang berkaitan
dengan piano itu terhadap diri Zelda? tanyaku.Ya, Dino menghela
napas sejenak. Waktu kecil saat kami masih tinggal di daerah Batu
Jawa Timur, tak begitu jauh dari rumah kami ada sebuah bangunan tua
peninggalan Belanda yang sangat angker. Kalau kebetulan kami lewat
di sana Zelda selalu saja ketakutan. Tangannya selalu memeluk erat
tubuhku dan mulutnya komat-kamit membacasurah surahkecil sambil
matanya dipejamkan. Padahal ketika kami lewat tak pernah sekali pun
ada sesuatu yang aneh atau menakutkan keluar dari rumah itu. Satu
kali, pernah aku memaksanya bersama-sama mendekati rumah tua itu.
Dengan langkah terpaksa Zelda mengikutiku mengintip ke dalam rumah
itu dari balik kaca jendela yang agak tinggi. Dari luar kami
melihat ruangan yang tertata rapi. Ada kursi malas, sebuah sofa
yang sangat bagus tapi sudah lusuh, dan sebuah piano tua di sudut
ruangan. Melihat ruangan yang bersih dan rapi itu, aku yakin
sebenarnya dalam rumah itu ada penghuninya. Mungkin saja ada orang
yang ditugaskan oleh pemiliknya untuk merawatnya. Suatu malam
sepulang mengaji, aku kembali memaksa Zelda melewati rumah itu.
Sebenarnya bisa saja lewat jalan lain, tapi aku memang suka
penasaran, aku ingin tahu siapasihpenghuninya. Baru saja berada di
depan rumah itu tiba-tiba kami mendengar alunan bunyi piano yang
semakin lama terdengar semakin nyaring. Sesungguhnya tak ada rasa
takut sedikit pun di hatiku karena kupikir ini justru membuktikan
bahwa di rumah itu ada penghuninya. Tapi Zelda... ia pucat pasi,
terlihat dari pantulan sinar bulan yang menimpa wajahnya. Tangannya
yang memegang tanganku terasa dingin seperti es. Semakin nyaring
suara piano itu, semakin ia tak mampu bersuara apa-apa, dan
beberapa saat kemudian tubuhnya pun lunglai. Aku memboyongnya
pulang ke rumah. Setelah itu seminggu lamanya Zelda sakit. Ia
sering mengigau dan katanya sering bermimpi ada orang Belanda di
rumah tua itu sedang bermain piano sambil tersenyum
kepadanya.Mungkin sejak itu ia jadi takut dan ngeri mendengar suara
piano? tanyaku.Ya, terlebih pada piano tua yang antik bentuknya,
seperti yang kau beli dari Wiby itu. Padahal dulu sudah
berkali-kali kukatakan bahwa ia harus berani memerangi rasa takut
itu, karena sebenarnya rasa takut itu timbul dari khayalannya
sendiri.Aku termangu, berarti Zelda tak mau mengakui ketakutannya
itu padaku karena ia memang menyadari bahwa ketakutannya itu tak
beralasan, namun ia tak mampu menguasai rasa takut yang
diciptakannya sendiri itu.Mas, bagaimana kalau istriku kusuruh
meditasi saja, misalnya ikut latihan yoga. Mungkin itu akan
membantu?Kalau kau hanya menyuruh dia, kurasa dia takkan mau. Kalau
bersama-sama denganmu mungkin dia mau. Semoga berhasil.Dino pamit
pulang.Seminggu sudah aku dan Zelda ikut yoga di rumah seorang
keturunan India. Setelah itu ia kusuruh ikut latihan sendiri.
Kenapa? Karena sewaktu ia berlatih yoga, maka di rumah aku bisa
main piano sepuasnya. Namun sebulan kemudian ia berhenti sendiri,
malas katanya.Habis makan malam aku naik ke lantai atas lalu
kulagukanLove of My Life-nya Freddie Mercury dengan piano tuaku.
Namun di pertengahan lagu, Bang, berisiiik..., teriak Zelda
tiba-tiba sambil mengeraskan suara TV.Wah, rupanya meditasi sebulan
untuknya belum membawa hasil juga!Aku pun pasrah, ikut yoga,
memberi pengertian dengan kata-kata lemah lembut agar ia mampu
menggunakan pikiran sehatnya dalam membebaskan dirinya dari
belenggu rasa takut terhadap sebuah benda yang bernama piano ini
juga tak berhasil. Bahkan kadang sambil marah ia berkata bahwa tak
sedikit pun ia pernah merasa takut pada piano. Lalu cara terakhir
yaitu sesering mungkin kumainkan lagu-lagu kesukaannya dulu,
tampaknya juga tak memberi arti.Kini hampir sebulan sudah aku tak
menyentuh piano. Malam ini kami menonton TV berdua.Bang, kenapa
sekarang aku merasakan kelengangan di dalam rumah kita ini, berkata
Zelda yang membuat konsentrasiku menonton siaran berita jadi
buyar.Lengang? Berarti kau merasa sepi? tanyaku.Ya..., sahutnya
datar.Kalau begitu,gimanakalau kau putar saja kaset lamamu
itu?Zelda cemberut, lalu melirik ke arahku.Ya, sepi karena sudah
tak ada lagi suara piano di rumah ini, aku meneruskan tanpa
memandang wajahnya. Tiba-tiba ia mencengkeram tanganku membuatku
kaget. Ada apa, Zelda?Nggak, aku cuma mengantuk, katanya sambil
menyipitkan matanya, lalu beranjak ke kamar. Beberapa waktu ini ia
kuperhatikan selalu tidur lebih dulu dariku, namun kulihat ia
sering bangun tengah malam dan salattahajud.Pagi sekali saat aku
baru membuka mata, terdengar olehku suara Zelda ribut di dapur.
Tiba-tiba ia masuk kamar dan mengguncang bahuku. Bang, apa benar
kata Sumi kau telah menjual piano tuamu itu?Memang kenapa?Kenapa
kau tak kompromi denganku dulu sebelum menjualnya?Lho,kanaku
membelinya dulu juga tanpa kompromi? Dan bukankah berkali-kali kau
minta aku menjual saja lemari ikan kering itu?Iyasih, tapi...Tapi
apa? Sekilas kulihat ia seperti bingung, diam tak berkata-kata lagi
lalu melangkah pelan ke luar kamar.Habis mandi kuhampiri Zelda yang
duduk sendiri, termenung di ruang tamu.Bang, aku sungguh tak
mengerti, ia berkata pelan.Kenapa?Aku, aku kini merasakan suasana
yang begitu sunyi, bahkan teramat sunyi.O ya.Ya, Bang, kurasa
ternyata rumah ini sekarang demikian sepi dan terasa hampa
tanpa...Tanpa apa, Zelda?Ia diam sejenak, lalu menggigit ujung
kukunya seperti menahan sesuatu yang ingin diucapkan. Mungkinkah
itu karena tiadanya lagi alunan suara pianomu di rumah ini?
bisiknya dengan tatapan syahdu.Aku terdiam, seakan tak percaya pada
pendengaranku sendiri. Sungguh, Zelda?Ya... Aku tak mengerti kenapa
sekarang aku malah merindukan dentingan suara pianomu.Kupandang
wajah istriku, berusaha menemukan apakah ada isyarat canda, namun
yang kulihat hanyalah dua bola mata sendu yang memancarkan
ketulusan.Maafkan aku selama ini...Tak ada yang perlu dimaafkan,
sayang. Asal besok kau izinkan aku meletakkan sebuah piano di sudut
ruang tamu kita,gimana?Zelda mengangguk sambil tersenyum. Aku tak
tahu, apakah upaya terakhirku ataukah perpaduan dari ketiga cara
yang pernah kulakukan itu yang telah menaklukkan traumanya, atau ia
sendiri yang telah berusaha sedemikian rupa untuk membunuh
phobianya tanpa sepengetahuanku, entah dengan cara apa...
Mtp, 071009
EPISODE DURIAN
Nailiya Nikmah JKF
Musim hujan telah tiba. Setelah sekian lama udara panas bercokol
di kota Banjarmasin, kini hawa dingin mulai menyapa. Aku merapatkan
jaket. Sebuah gerak spontan ketika tiba-tiba aku merasa dingin
mulai menyusup ke tulang. Aku mengayuh sepeda agak cepat. Beberapa
pasang mata menatapku, tepatnya menatap sepeda bututku. Aku punya
alasan sendiri kenapa di era serba canggih ini aku masih setia
bersepeda. Tak ada yang tahu alasan itu selain aku. Sudahlah, tak
perlu membicarakan perihal sepeda ini.Aku membaui aspal yang
dibelai hujan sore ini. Ah, tak murni baunya. Ada bau lain yang
mengusik. Bau harum dengan aroma khas yang tak dapat kulukiskan
dengan kata-kata. Otakku langsung menampilkan format buah dengan
banyak duri dan muncullah kata durian. Ya, durian! Sekarang sudah
musim durian lagi. Aku mengayuh sepeda sambil bersenandung
lirih,
aku yang lemah tanpamuaku yang rentan karenacinta yang tlah
hilang darimuyang mampu menyanjungku...[i])Durian... aku bergumam
dalam hati. Durian membuatku teringat pada Iwar. Buah berdaging
lembut dan manis itu nyaris membuatku menceraikan Iwar, istriku
yang putih bersayap. Aku menyebutnya putih bersayap karena ia
seperti bidadari. Sejak pertama melihatnya di resepsi perkawinan
sepupuku, aku sudah jatuh cinta pada Iwar. Tangannya begitu
terampil meracik ketupat. Waktu itu ia kebagian menjagastandketupat
tumis. Senyum tulusnya terpamer indah ketika aku minta diambilkan
sepiring penuh ketupat tumis buatan ibunya itu. Kata Indah, adikku,
semua makanan yang ditata prasmanan itu dibuat olehAcilImah, ibunya
Iwar. Aku yakin di makanan itu ada jejak jari putih Iwar yang
selalu turun tangan membantu pegawai ibunya.Rupanya Iwar pun sudah
terkena panah asmara ketika kami berkenalan di acara itu. Aku masih
ingat Iwar dengan malu-malu menangkupkan kedua tangannya di depan
dada ketika aku akan menjabat tangannya. Namaku Wardani, Kak. Semua
orang memanggilku Iwar, ucapnya bersahabat.Nama yang singkat tetapi
indah di telingaku. Entahlah, mungkin karena si empunya berwajah
indah. Tidak seperti adikku, bernama Indah tapi orangnya tidak
indah.Astaghfirullah,kokjadi menjelekkan adik sendiri? Inilah
cinta. Kalau sudah mata ketutupan cinta, ya begini ini. Adik
sendiri malah jadi tidak jelas keberadaannya. Kupikir tidak hanya
aku yang jadi kacau begini kalau lagi jatuh cinta.Aku pun dengan
lantang menyebut namaku. Namaku Gusti Hermansyah,ortu
sihngasihnyaitu, tapi teman-teman memanggilku Aman..., candaku.
Kulihat ia tersenyum dansubhanallahada lekuk kecil di kedua
pipinya.Kata Indah itu namanya lesung pipi. Aku tak peduli apa
namanya. Tapi yang jelas aku selalu ingin melihat lekuk kecil di
kedua pipinya itu.
darimu kutemukan hidupku...[ii])
Sejak itu semua menjadi aneh. Di kamarku kulihat ada Iwar. Di
meja makan, di ruang tamu, bahkan di kamar mandiku! Di mana-mana
ada Iwar. Bahkan dalam tidurku aku melihat Iwar dengan lekuk kecil
pipinya melambai ke arahku. Ia berbaju pengantin warna putih dan
bersayap! Esoknya aku seperti anak kecil merengek minta dibelikan
mainan baru kepada ibunya. Aku ingin bidadari bersayap itu. Aku
ingin memiliki Iwar. Tidak main-main, aku ingin menikahinya. Maka
seisi rumah kalang-kabut menanggapi permintaanku.Kamu jangan
mengada-ada, Man. Baru dua semester kuliah sudah minta kawin,
komentarAbah.Iya, Man.Lagiankenapa juga harus Iwarbungas[iii])itu
yang kau pilih? Mama tak tahu berapa nantijujuran[iv])yang diminta
keluarganya. Untuk ukuran Iwar dan keluarganya pastilah di atas
harga pasaran, Man, sahut Mama.Harga pasaran apasih, Ma? Memangnya
Aman mau beli barang? Aku melotot.Eh, si Kakak, dikasih
tahunggakmau mendengarkan. Si Iwartuhbanyak kelebihannya. Ibarat
manggatuh kada bapira,kada masam,kada pangar[v]), pokoknyasip,
sahut Indah. Dia anak orang kaya, cantik,sholehah, pintar lagi,
sambungnya.Oya? Tambah semangatnih, tukasku.Semua kepala
menggeleng.Man, janganmenyupanakan[vi])keluarga. Kalau kita
ditolak, mau ditaruh di mana muka kita? usik Mama.Ma, apa salahnya
kita usaha dulu. Lagipula Aman pikir kita tidak terlalu miskin
kalau memang kekayaan yang jadi ukuran mereka. Coba Mama perhatikan
Aman. Aman gagah, penampilan menarik, otak encer, keturunan
baik-baik, punya bisnis kecil-kecilan,
pokoknyangaakmemalukandeh..., promosiku disambut timpukan tisu oleh
Indah.Ada satu yang belum kamu miliki, Man..., lirih Mama.O,ya? Apa
itu? sahutku heran karena merasa aku sudah terlalu sempurna untuk
sekadar melamar Iwar.Iwar itu masih keturunan almarhum Haji Rusdi.
Ulama berpengaruh di Hulu Sungai. Tidak ada keturunan Haji Rusdi
yang tidak alim. Semua pintarngaji,solehdansholehah. Iwar tidak
pantas denganmu, Man. Terlalu jauh..., jawab Mama.Aman juga
bisangaji kok, Ma! Ya...memangsihtartilnya masih belum sempurna.
Tapi Aman janji akan belajarngajilagi supaya bacaannya sebagus
Iwar, harapku.Man...Abahdan Mama tidak melarang kamu berteman
dengan Iwar. Tapi tolong... untuk yang lebih dari itu nanti dulu...
kita belum siap,Abahmenengahi.Aku tidak puas dengan jawabanAbah.
Hari itu aku bolos kuliah. Aku mencari info sebanyak-banyaknya
tentang Iwar. Ternyata selama SD sampai SMA Iwar hidup bersama
neneknya di Amuntai. Lulus SMA baru ia tinggal bersama orangtuanya
yang kaya raya itu. Iwar kuliah di IAIN. Konon suara Iwar sangat
merdu bila sedang mengundangkan ayat-ayat suci.Aku tak peduli
dengan semua itu. Aku hanya peduli pada satu hal, bahwa Iwar adalah
bidadari putih bersayap yang turun ke bumi untukku. Aku harus
segera melamar Iwar. Bukan apa-apa, sejak dulu aku sudah bertekad
tidak akan pacaran dan apabila tertarik atau jatuh hati dengan
seseorang, maka akan langsung kulamar. Aku tidak main-main.
Begini-begini aku sudah sering ikut seminar tentang menikah dini
dan bahayanya pacaran. Buku-buku bertema pernikahan pun sudah
pernah kubaca. Tapi aku tidak menyangka juga akan bertemu
dengansoulmatesecepat itu.Aku tidak berani menemui Iwar. Bukan
karena aku merasa tidak pantas dengannya, bukan pula karena takut
dengan ibunya atau ayahnya. Aku hanya tak sanggup melihat senyum
bulannya yang selalu terbit setiap waktu. Aku ingin memiliki senyum
itu. Ingin meletakkannya di kamarku, menyelipkannya di sakuku,
memformatnya jadiwallpaperdihpku, ah tidak... aku ingin
menempatkannya di hatiku agar tidak ada orang lain yang turut
menikmatinya.Hampir sebulan aku seperti orang sakit. Makan tak
enak, tidur tak nyenyak, biasa... gejala penyakit kasmaran pada
umumnya. Tapi baru pada saat itu aku benar-benar paham bagaimana
rasanya merindu. Aku pun mendadak puitis. Berlembar surat cinta
untuk Iwar teronggok di laci meja belajar, sebagian di tempat
sampah. Bahkan aku pernah kehilangan sebuah surat yang lupa
kusimpan di laci.Anehnya suatu hari aku mendapat titipan surat dari
Iwar melalui Indah. Isinya benar-benar mengagetkanku. Singkat,
jelas, padat, menarik dan perlu!Bila yakin dan percaya pada
ketetapan-Nya, maka bismillah tawakal dan bangunlah dari mimpi
panjang... demikian tulis Iwar. Aku yakin, yakin sekali Iwar akan
menerimaku. Tapi,eit... tunggu dulu, sebelum berlonjak kegirangan
aku menyadari satu hal. Dari mana Iwar tahu aku sedang
bermimpi?Indah seakan bisa membaca isi hatiku. Sambil tersenyum
jahil ia melesat pergi mencari perlindungan Mama. Pasti, pasti
Indah yang mencuri suratku dan menyerahkannya pada Iwar. Aku ingin
menarik rambut panjangnya dengan gemas atau mencubit lengannya
kuat-kuat.Tapi tidak, aku tidak jadi melakukannya. Seharusnya aku
berterima kasih pada Indah. Adikku yang perhatian.MakaAbah, Mama,
aku dan Indah mendatangi rumah Iwar. Prosesnya begitu mudah. Tak
adajujuranyang mahal-mahal, tak ada tawar-menawar, tak ada
persyaratan ini-itu. Yang ada hanya cinta. Cinta di mana-mana.
Jadilah Iwar bidadariku. Hak milik pribadi. Iwar istri yang
sempurna. Pandai membagi waktu antara kuliah dan keluarga.
Hari-hari bersama Iwar menjadi episode indah yang penuh kejutan dan
cinta.
Bagiku...Kaulah cinta sejati[vii])Sampai tragedi itu terjadi...
Baru empat bulan pascapernikahan. Waktu itu musim durian seperti
sekarang. Berlatar senja dan gerimis. Aku baru pulang dari
mengantar orderan spanduk anak Hukum. Bisnis cetak dan sablon yang
kukelola amatiran dapat untung yang lebih dari biasanya. Aku
memutuskan membeli durian tiga biji.Kubayangkan Iwar akan tersenyum
senang melihatku membawa buah mahal itu. Ya... setidaknya setelah
menikah semua jadi barang mewah dan mahal bagi kami. Tak apa
menyenangkan istri sekali-sekali.Lagipula aku sudah kangen ingin
makan durian. Durian adalah adalah buah favoritku. Kelelahanku
langsung pamit setelah kelebat sayap putih Iwar melambai di
khayalku.Assalamualaikum, War... Iwar, lihat aku bawa apa nih
untukmu..., teriakku tak sabar menanti sambutan
hangatnya.Alaikumsalam... Kak, bawa apa? Kulihat Iwar melakukan
gerak penajaman penciuman. Durian tak dapat disembunyikan. Baunya
pasti akan menyapa lebih dulu. Kak Aman bawa... du... rian...?
tanyanya. Kulihat senyum bulannya yang selalu terbit tiba-tiba
enggan hadir. Mukanya memucat.Ada apa, War? Kamu sakit? Kita ke
dokter? Aku cemas sekali. Tak pernah terlintas bagaimana jadinya
kalau bidadariku terkulai lemas tak bertenaga.Iwar menggeleng.
Gugup ia menjawab, Ah, tidak,Iwar tidak sakit.Kecapekansaja
barangkali.Ya sudah, kamu istirahat. Tapi sekarang kita makan
durian dulu, ya? sahutku lega.Maaf, Kak, Iwar ke kamar dulu. Ada
yang mau dikerjakan, pamitnya buru-buru.War! Tolong duriannya
dibukakan, ya! Aku mau mandi! Aku bergegas mengambil handuk.
Rasanya segar sekali. Iwar menyiapkan air hangat untukku mandi. Aku
jadi merasa tersanjung. Keluar dari kamar mandi aku tidak tak
mendapati Iwar di dapur. Padahal aku sudah tak sabar ingin mencomot
durian dan melumatnya. Durianku masih utuh.War! Iwar! agak kesal
aku mencarinya.Di kamar tidak ada, di ruang belajarnya juga tidak
ada. Penasaran aku lari ke depan. Kulihat Iwar duduk di
kursipelataran[viii])kami. Kamungapainke sini? selidikku.Maaf, Kak.
Tadi Iwar agak pusing. Maunyariangin segar.Jawaban Iwar bagai
tamparan keras di pipiku. Entah setan apa yang membisikiku. Bagiku
Iwar menjawab, Maaf, Kak. Iwar sudah bosan di rumah terus. Iwar
ingin beraktivitas di luar.Durian, kenapa belum dibuka juga? kucoba
menyimpan kekesalan.Maaf, Kak, Iwar tidak bisa membukakan
duriannya.... Agak takut ia menjawab.Nanti kuajari. Ayo, ke dapur.
Kamu harus bisa, durian buah kesukaanku. Ayo!Tapi... Iwar tidak
suka durian... Kalimat itu seperti bantahan bagiku.Kalau kamu tidak
terlalu suka, tak apa mencicipi saja. Asyikdong, aku bisa puas
makan duriannya, godaku.Tapi Iwar benar-benar tidak suka, ucapnya
lagi.Ya, sudah, kamu tidak usah ikut makan. Kamu membukakannya,
lalu menemani aku makan durian di dapur, aku nyaris kehilangan
makna sabar.Iwar tidak bisa... Maaf..., matanya berkaca-kaca.
Mungkin ia sudah menangkap kemarahanku.Mau kamu apasih?! Sudah
berani membantah? Aku sudahcapek-capekkerja, kupikir kamu senang
dibelikan durian.Oke! Kamu mungkin sudah bosan makan durian! Di
rumahmu tiga biji durian ini tidak ada harganya,kan! Tapi tolong
hargai aku. Suamimu ini baru kali ini bisa membelikanmu sesuatu.
Maaf, War, aku baru bisa membelikanmu durian,bukan permata. Maaf,
teriakku lantang.Iwar tidak bermaksud seperti itu, Kak... Ia
menangis. Sesungguhnya aku gugup juga melihat butiran kristal
meleleh di pipinya. Aku ingin merengkuhnya. Tapi egoku sedang
berdiri pongah. Sejak kecil Iwar tidak suka makan durian...
Iwar...Sejak kecil, sejak kecil! Itu masa lalu! Sekarang kamu hidup
denganku. Aku suka durian, kamu istriku, seharusnya kamu juga suka
durian. Banyak hal bisa diubah! potongku.Iwar tidak tahan mencium
baunya..., ucapnya sesegukan.O,ya? Jadi seumur hidup aku tidak
boleh lagi makan durian karena kamu tidak tahan mencium baunya?!
Aku melotot seperti kucing jantan siap menerkam kucing jantan
lainnya saat berebut ikan.Iwar menunduk. Kulihat ia berulang kali
menyeka airmatanya. Pasti besok mata indahnya jadi sembab dan tak
bagus. Peduliadul! Aku lagi marah. Marah pada Iwar. Aku memohon
ampun pada-Nya karena saat ini aku merasa menyesal telah menikah
dan memilih hidup bersama Iwar.Bidadariku ternyata memiliki cela.
Ia memiliki sifat pembenci. Celakanya ia membenci sesuatu yang
paling aku suka. Durianku, cintaku. Seumur hidup belum pernah ada
yang melarangku makan durian. Selamanya akan tetap begitu. Tak ada
yang akan bisa mengubahnya, termasuk Iwar. Iwar yang baru hitungan
bulan mendampingiku.Hidup, durian!Kulihat para durian bertepuk
tangan menyambut pidatoku. Apakah ini pertanda aku dan Iwar tidak
cocok? Apa aku harus berpisah saja dengannya? Aku bergidik ngeri
sambil buru-buru men-deletepikiran buruk itu. Iblis, pasti iblis
sedang terkikik kegirangan. Aku tidak sadar sedang melakukan hal
yang kontras dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku tak ingin
Iwar mengubah kesenanganku, tapi aku justru memaksa Iwar mengikuti
kesenanganku.Iwar melesat ke dapur. Aku umpama suara guntur yang
menguntit di belakang kilat. Iwar-lah kilatnya.Ia mengambil pisau
tajam di rak piring. Aku kaget. Kutepis prasangka buruk sambil
menghimpun kekuatan. Iwar dengan tangkas membelah sebiji durian,
mencomot isinya dan memasukkannya ke mulut. Aku ternganga.Tiba-tiba
Iwar berlari lagi. Langkah seribunya hampir menabrakku. Ia ke kamar
mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Aku menggedor-gedor pintu.
Kudengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi. Iwar
muntah-muntah!Aku panik, seperti Jerry tokoh tikus dalam kartun
favorit Indah yang sedang mencari jalan keluar dari kejaran Tom si
kucing. Tapi aku tak secerdik dan selincah Jerry. Aku mematung
sekian menit sampai pintu kamar mandi terbuka.Iwar kuyu. Ia pasti
sudah mengeluarkan separuh isi perutnya. Pasti menyakitkan. Aku
merasa bersalah. Tak ada sepotong kata pun yang keluar dari
mulutnya. Iwar ke kamar. Lagi-lagi aku mengekor. Untuk kesekian
kalinya aku terperangah, Iwar mengganti dasternya dengan gamis
coklat dan memadukannya dengan kerudung putih tulang.Mau ke mana,
War? tanyaku lebih mirip memelas.Dia tetap bisu. Di depan pintu ia
mengambil tangan kananku dan menciumnya. Selamat makan durian, Kak.
Maaf, Iwar pergi dulu.Aku tak dapat mencegahnya. Mukaku tak cukup
tebal untuk sekadar menanyakan kemana tujuannya. Aku yakin, Iwar
masih bidadari yang manis.Supra Fitmerah melaju bersama pemiliknya,
meninggalkan aku dengan sejuta rasa bersalah.Setelah Isya aku
mendapat telepon dari Iwar. Aku lega. Setidaknya kini aku tahu
posisi Iwar. Kak, Iwarnginapdi rumah Mama dulu, ya?
KebetulanAbahdan Indah lagi ke Jakarta. Iwar menemani Mama. Kak
Aman jaga rumah kitaaja. Makan malam sudah ada di meja. Besok
pagi-pagi sekali ada yangngantarnasi kuning buat sarapan.Itulah
Iwar. Ia tak seperti perempuan pada umumnya. Kalaungambeksama
suamingaduke orang tua. Iwar malah pulang ke mertua. Tidak mengadu.
Tapi sekadar menyembunyikan diri dan menyepikan kerumitan yang baru
saja terjadi. Aku menarik napas lega.Malam seperti penjara tanpa
Iwar. Kepelataran, sepi. Ke dapur, sunyi. Ke kamar, nyeri. Aku tak
berselera lagi makan durian. Durian tragedi, siapa yang mau makan?
Aku keluar bersepeda menyusuri jalan bercahaya setelah memberikan
durian-durian tragedi ke tetangga sebelah. Jalan-jalan berhias
petromaks memaksaku mampir.Durian,Mas? tanya pedagang durian.Ya,
aku malas menawar. Aku memakannya sambil lesehan di samping anak
penjualnya. Bocah laki-laki kurus tujuh tahunan itu menatapku tak
berkedip.Mau? Aku tak yakin ia sudah pernah makan durian dagangan
ayahnya. Buktinya ia mengangguk dan cepat mencomot durianku.Bapak
baik sekali. Pasti senang jadi anak Bapak, ucapnya.Ah, kamu
bisaaja. Saya belum punya anak. Aku agak tak biasa dipanggil
Bapak.Kalau begitu, pasti istri Bapak bahagia punya suami sebaik
Bapak, ralatnya. Istri... bahagia...? Aku tersedak. Segera kusudahi
pesta durianku dengan bocah kurus itu.Mau ke mana, Pak?
tahannya.Pulang! Sisanya kamu habiskan saja! Aku segera mengayuh
pedalPhoniexbututku melaju membelah malam yang mulai semakin kelam.
Aku ingin tidur dan bermimpi tentang Iwar.***Sepulang kuliah hari
itu aku tak kemana-mana. Tidak ada niat ke rumah Mama. Nanti
suasana malah kacau. Dipelatarankudapati sebiji durian besar
menggiurkan. Sepucuk surat sengaja diletakkan di bawahnya. Tergesa
kubaca,
Kak, maafkan semua kesalahan Iwar. Durian ini sebagai tanda
perdamaian dari Iwar. Dimakan, ya! Kalau sudah selesai makannya
jangan lupa gosok gigi dan tolong jemput Iwar di rumah Mama. Nanti
malam kita bicarakan baik-baik soal perbedaan selera kita. Tadi
Iwar naik angkot, kunciSupra FitIwar titip di tetangga depan.
Ah, Iwar, tak ada yang perlu dimaafkan. Akulah yang meniup di
atas bara. Iwar masih bidadariku. Bidadari putih bersayap dengan
lekuk kecil di pipi dan senyum bulan yang selalu terbit.Mengingat
senyum Iwar membuat aku mempercepat laju sepedaku. Aku tak takut
pada langit yang mulai gerimis lagi. Aku ingin segera sampai di
rumah. Membuka lembaran album kenangan saat terindah bersama Iwar.
Iwar sekarang pasti sedang tersenyum di atas sana.Besok Mama
mengadakan acarahaulan. Setahun kepergian Iwar. Angkot yang ia
naiki dikemudikan sopir mabuk. Entah bagaimana kejadian persisnya,
yang jelas aku sudah mendapati Iwar sudah tak bernyawa di Rumah
Sakit Islam.Maafkan aku, durian... Sejak kepergian Iwar aku tak
tahan mencium bau durian lagi. Selain itu aku juga tak sanggup
memakaiSupra Fitatau sepeda motor apa pun lagi karena semua itu
hanya mengingatkanku pad