PERSIAPAN PRE ANESTESI
Persiapan praanestesi meliputi:1. Mengumpulkan data
2. Menentukan masalah yang ada pada pasien sesuai data
3. Meramalkan kemungkinan penyulit yang akan terjadi
4. Melakukan persiapan untuk mencegah penyulit yang akan
terjadi
5. Menentukan status fisik pasien
6. Menentukan tindakan anestesiAnamnesis
riwayat anestesi dan operasi sebelumnya.
riwayat penyakit sistemik (diabetes melitus, hipertensi,
kardiovaskuler, TB, asma)
pemakaian obat tertentu, seperti antidiabetik, antikoagulan,
kortikosteroid, antihipertensi secara teratur. Dua obat terakhir
harus diteruskan selama operasi dan anestesi, sedangkan obat yang
lain harus dimodifikasi.
riwayat diet (kapan makan atau minum terakhir. jelaskan perlunya
puasa sebelum operasi)
kebiasaan-kebiasaan pasien (perokok berat, pemakai alkohol atau
obat-obatan)
Riwayat penyakit keluargaPemeriksaan Fisik
Berpatokan pada B6:
1. Breath
keadaan jalan nafas, bentuk pipi dan dagu, mulut dan gigi, lidah
dan tonsil. Apakah jalan nafas mudah tersumbat? Apakah intubasi
akan sulit? Apakah pasien ompong atau menggunakan gigi palsu atau
mempunyai rahang yang kecil yang akan mempersulit laringoskopi?
Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan leher? Apakah ada
pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas
bagian atas?
Tentukan pula frekuensi nafas, tipe napas apakah cuping hidung,
abdominal atau torakal, apakah terdapat nafas dengan bantuan otot
pernapasan (retraksi kosta). Nilai pula keberadaan ronki, wheezing,
dan suara nafas tambahan (stridor).
2. Blood
Tekanan nadi, pengisian nadi, tekanan darah, perfusi perifer.
Nilai syok atau perdarahan. Lakukan pemeriksaan jantung
3. Brain
GCS. adakah kelumpuhan saraf atau kelainan neurologist.
Tanda-tanda TIK
4. Bladder
produksi urin. pemeriksaan faal ginjal
5. Bowel
Pembesaran hepar. Bising usus dan peristaltik usus. cairan bebas
dalam perut atau massa abdominal?
6. Bone
kaku kuduk atau patah tulang? Periksa bentuk leher dan tubuh.
klainan tulang belakang?
Pemeriksaan Laboratorium Dan Radiologia. Pemeriksaan standar
yaitu darah rutin (kadar hemoglobin, leukosit, bleeding time,
clothing time atau APTT & PPT)
b. Pemeriksaan kadar gula darah puasa
c. Liver function test
d. Renal function teste. Pemeriksaan foto toraks
f. Pemeriksaan pelengkap atas indikasi seperti gula darah 2 jam
post prandial, pemeriksaan EKG untuk pasien > 40 tahun
g. Pada operasi besar dan mungkin bermasalah periksa pula kadar
albumin, globulin, elektrolit darah, CT scan, faal paru, dan faal
hemostasis.
Persiapan Penyulit yang Akan TerjadiPenyakit Kardiovaskular
Resiko serius ( Terapi oksigen dan pemantauan EKG harus
diteruskan sampai pasca operasi.
Zat anestesi membuat jantung sensitive terhadap kerja
katekolamin yang dilepaskan. Selanjutnya dapat terjadi kemunduran
hemodinamik dan dapat terjadi aritmia, takikardi ventricular sampai
fibrilasi ventricular.
Pada pasien dengan gagal jantung perfusi organ menjadi buruk.
Ambilan gas dan uap ihalasi terhalangi.
Pada pasien hipertensi, terapi antihipertensi harus diteruskan
sepanjang operasi. Bahaya hipertensi balik dengan resiko gangguan
kardiovaskular setelah penghentian obat jauh lebih berat
diandingkan dengan resiko karena meneruskan terapi. Penyakit
Pernafasan
Penyakit saluran nafas dan paru-paru mempengaruhi oksigenasi,
eliminasi karbondioksida, ambilan gas-gas inhalasi dan meningkatkan
insidens infeksi pascaoperasi.
Bronkospasme berat yang mengancam jiwa kadang-kadang timbul pada
pasien asma atau pecandu nikotin.
Penundaan operasi elektif pada pasien yang menderita infeksi
saluran nafas atas karena efek obat sedative dan atropine, dan
penurunan respons imunologi yang terjadi karena anestesi umum dapat
meningkatkan resiko infeksi dada pascaoperasi
Diabetes Mellitus
Hampir semua obat anestesi bersifat meningkatkan glukosa darah.
Penderita diabetes yang tidak stabil seharusnya tidak dianestesi
untuk pembedahan elektif, kecuali jika kondisi bedah itu sendiri
merupakan penyebab ketidakstabilan tersebut.
Penyakit Hati
Metabolisme obat-obatan anestesi akan terganggu akibat adanya
gagal hati. Obat-obatan analgesic dan sedative juga menjadi
memiliki masa kerja yang panjang karena metabolisme oleh otak juga
berubah karena penyakit hati.
Anestesi pada pasien ikterus mempunyai dua resiko nyata. Pertama
adalah perdarahan akibat kekurangan protrombin. Resiko yang kedua
adalah gagal ginjal akibat bilirubin yang berakumulasi pada tubulus
renalis.
Persiapan Sebelum PembedahanSecara umum, persiapan pembedahan
antara lain :1. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang
NGT. Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6
jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak
puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
2. Pengosongan kandung kemih.2. Informed consent (Surat izin
operasi dan anestesi).3. Pemeriksaan fisik ulang4. Pelepasan
kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.5.
Premedikasi secara intramuskular - 1 jam menjelang operasi atau
secara intravena jika diberikan beberapa menit sebelum
operasi.Persiapan sarana (alat dan obat)
Persiapan ini meliputi persiapan obat-obat anestesia, obat
pendukung anestesia dan obat resusiatasi.
Adapun peralatan yang disiapkan adalah :
- mesin anestesi
- set intubasi termasuk bag and mask (ambubag)
- alat pemantau tanda vital
- alat/bahan untuk antisepsis (kalau menggunakan anestesi
regional)
- alat-alat penunjang :
o alat pengisap (suction)
o sandaran infus
o sandaran tangan
o bantal
o tali pengikat tangan
o anesthesia pin screen / boug
o dll
SARANA OBAT meliputi :
- obat anestesi :
o obat premedikasi
o obat induksi
o obat anestesi volatil / abar
- obat resusitasi
- obat penunjang anestesi :
o pelumpuh otot
o anti dot
o hemostatika
o obat lain sesuai dengan jenis operasi.
PERSIAPAN PASIEN
Persiapan pasien dapat dilakukan mulai di ruang perawatan
(bangsal), dari rumah pasien ataupun dari ruang penerimaan pasien
di kamar operasi. Bergantung dengan berat ringannya tindakan
pembedahan yang akan dijalankan serta kondisi pasien.
Pasien dengan operasi elektif sebaiknya telah diperiksa dan
dipersiapkan oleh petugas anestesi pada H-2 hari pelaksanaan
pembedahan. Sedangkan pasien operasi darurat, persiapannya lebih
singkat lagi. Mungkin beberapa jam sebelum dilaksanakan
pembedahan.
Pasien dianamnesa tentang penyakit yang dia derita, penyakit
penyerta, penyakit herediter, pengobatan yang sedang dia jalani,
riwayat alergi, kebiasaan hidup (olahraga, merokok, minum alkohol
dll). Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (laboratorium dan radiologi).
Perlu pula dianamnesa riwayat pembedahan, pembiusan serta
komplikasi yang dialami pasien. Berapa lama dia menjalani
perawatan. Misal, pasien yang pernah menjalani operasi pengangkatan
nevus tapi pasca operasinya dirawat di ruang rawat intensif (ICU),
maka petugas anestesi harus waspada. Pasien ini memiliki masalah
yang serius.PERSIAPAN PEMBEDAHANSecara umum, persiapan pembedahan
antara lain :1. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang
NGT.2. Pengosongan kandung kemih.3. Informed consent (Surat izin
operasi dan anestesi).4. Pemeriksaan fisik ulang5. Pelepasan
kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
6. Premedikasi secara intramuskular - 1 jam menjelang operasi
atau secara intravena jika diberikan beberapa menit sebelum
operasi.
Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6
jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak
puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
Persiapan operasi harus optimal dan sempurna walaupun waktu yang
tersedia amat sempit. Keberhasilan anestesi sangat ditentukan oleh
kunjungan pra anestesi.KUNJUNGAN PRA ANESTESI
Kunjungan (visite) pra anestesi bertujuan :
1. Mengetahui riwayat penyakit bedah dan penyakit penyerta,
riwayat penyakit sekarang dan penyakit dahulu.
2. Mengenal dan menjalin hubungan dengan pasien.
3. Menyiapkan fisik dan mental pasien secara umum (optimalisasi
keadaan umum).4. Merencanakan obat dan teknik anestesi yang
sesuai.
5. Merancang perawatan pasca anestesi.6. Memprediksi komplikasi
yang mungkin terjadi.7. Memperhitungkan bahaya dan komplikasi.8.
Menentukan status ASA pasien.Secara umum, tujuan kunjungan pra
anestesi adalah menekan mobiditas dan mortalitas.ANAMNESISDalam
anamnesis, dilakukan :1. Identifikasi pasien2. Riwayat penyakit,
riwayat penggunaan obat, riwayat alergi.3. Riwayat anestesi dan
pembedahan yang lalu.Beberapa hal yang perlu diperoleh dari
anamnesis adalah sebagai berikut9:
1. Riwayat penyakit yang akan dioperasi saat ini
Ahli anestesiologi harus mempelajari gejala yang dikeluhkan
akibat penyakit yang akan dilakukan operasi saat ini, berbagai
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, diagnosis, terapi
berikut responsnya.
2. Penyakit penyerta
Penyakit penyerta ini dapat menjadi penyulit dalam tindakan
anestesi dan bedah. Hal ini perlu dievaluasi dalam suatu pendekatan
sistem organ yang sistematis dengan penekanan pada
perubahan-perubahan terkini dari gejala, tanda dan terapinya.
3. Riwayat pengobatan
Adanya terapi pada penyakit penyerta ataupun penyakit operasi
saat ini perlu diketahui macam obat, dosis dan jadwalnya. Keputusan
dalam melanjutkan terapi ini selama masa pra bedah bergantung pada
derajat keparahan penyakitnya, konsekuensi yang mungkin terjadi
dari penghentian terapi, waktu paruh obat, dan interaksinya dengan
obat anestesi.
4. Reaksi obat dan alergi
Sangat penting untuk mendapatkan informasi obat yang
mengakibatkan alergi, serta gambaran reaksi alergi yang dialami
pasien.
5. Riwayat anestesi
Data tindakan anestesi yang lalu perlu ditinjau untuk memperoleh
informasi berupa:
Respons terhadap premedikasi sedasi/analgetik dan obat
anestesi
Tindakan ventilasi, laringoskopi, akses vascular, monitoring
invasif serta tindakan lainnya beserta kesulitan yang terjadi
Komplikasi periopertif seperti cedera gigi, mual dan muntah,
ketidakstabilan kardiopulmonal, kejadian infark miokardial,
hipertermia maligna perawatan intensif pasca bedah dan lama bangun
dan ekstubasi
6. Riwayat keluarga
Riwayat kejadian atau komplikasi perioperatif perlu ditanyakan
pada keluarga, terutama dengan hipertermia maligna
7. Tinjauan berdasarkan sistem organ
a. Kardiovaskular
Komplikasi kardiovaskular merupakan penyebab tersering kejadian
morbiditas selama periode perioperatif. Perlu ditanyakan adanya
nyeri dada (intensitas, durasi, faktor presipitasi, gejala yang
berhubungan, faktor yang mengurangi nyeri). Selain itu perlu
ditanyakan tentang dispnea deffort yang berhubungan dengan gagal
jantung
b. Sistem pernapasan
Pada asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), atau penyakit
saluran napas lainnya perlu ditanyakan tentang sesak, eksaserbasi
terkini, terapi, dan penggunaan steroid atau oksigen, perawatan dan
intubasi.
c. Hematologi
Perlu ditentukan riwayat dan penyebab anemia, gejala yang
berhubungan, serta terapi (terutama transfusi), serta riwayat
pasien ataupun keluarga pasien dengan kelainan perdarahan atau
hiperkoagulasi. Operasi yang luas perlu dipertimbangkan perdarahan
yang banyak dan kondisi komorbid pasien akan berdampak pada
oksigenasi, seperti penyakit pulmonal, serebrovaskular dan
kardiovaskular.
d. Sistem saraf
Pada pasien dengan penyakit neurologis (seperti stroke, kelainan
kejang, multipel sklerosis), riwayat detail perlu difokuskan pada
kejadian terkini, eksaserbasi, defisit neurologis, dan kontrol
terapi.
e. Hati
Pasien dengan penyakit hati yang berat akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas perioperatif. Adanya ensefalopati,
koagulaopati, asites, volume overload perlu diketahui dan perlu
ditindaklanjuti dengan pemeriksaan penunjang.
f. Ginjal
Pasien dengan disfungsi ginjal memiliki banyak komorbid, umumnya
berhubungan dengan vaskulopati, seperti hipertensi, penyakit
kardiovaskular, dan gangguan elektrolit. Perlu ditanyakan tentang
riwayat terapi hipertensi, dialisis berikut kontrol terapinya.
g. Muskuloskeletal
Deformitas dapat menimbulkan masalah jalan napas dan manajemen
anestesi regional. Inflamasi kronis perlu diperhatikan pada pasien
artritis rematoid, systemic lupus erythematosus (SLE), scleroderma,
di mana sering menimbulkan disfungsi multiorgan.
h. Endokrin
Diabetes dan penyakit tiroid merupakan endokrinopati yang
tersering. Diabetes dengan neuropati otonom dapat menimbulkan
silent ischemia intraoperatif9. Selain terapi berikut kontrolnya,
perlu ditanyakan pada pasien diabetes tentang disfungsi multiorgan
yang terjadi: insufisiensi renal, stroke, neuropati perifer, dan
penyakit kardiovaskular.
8. Kebiasaan sehari-hari
Perlu diketahui kebiasaan merokok ataupun konsumsi alkohol dan
obat terlarang. Anjuran berhenti merokok dalam 2 4 minggu sebelum
operasi elektif dapat menurunkan hipereaktivitas jalan nafas dan
komplikasi pulmonal perioperatif.Ketika pasien menyatakan alergi
terhadap suatu obat/zat, maka petugas anestesi perlu mengkonfirmasi
apakah kejadian tersebut betul-betul alergi ataukah hanya rasa
tidak enak setelah penggunaan obat tersebut.Alergi perlu diwaspadai
karena alergi dapat menimbulkan bahaya besar seperti syok
anafilaktik dan edema angioneurotik.Narkotika dan psikotropika
(terutama sedatif) saat ini sudah sering disalahgunakan oleh
masyarakat awam. Hal ini perlu diwaspadai oleh petugas anestesi.
Oleh karena itu, dalam anamnesis, petugas harus mampu memperoleh
keterangan yang jujur dari pasien.Pada pasien dengan operasi
darurat, mungkin di Instalasi Gawat Darurat dia telah mendapatkan
narkotika dan sedatif, namun petugas di IGD terlupa menuliskan di
buku rekam medis pasien. Agar tidak terjadi pemberian yang tumpang
tindih, sebaiknya petugas anestesi juga menanyakan hal tersebut
kepada petugas IGD.PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik pada prinsipnya dilakukan terhadap organ dan
bagian tubuh seperti :
1. Keadaan umum : berat badan, tinggi badan, tanda-tanda
vital.
2. Status gizi : obesitas, kaheksia3. Status psikis4. Sistemik
:a. Kepala leher : i. Mulut : bentuk lidah, derajat Mallampatiii.
Gigi geligi : gigi palsu, gigi goyahiii. Mandibula : bentuk
mandibula.iv. Hidung : tes patensi lubang hidung, obstruksi.v.
Leher : bentuk leher (kesan : pendek / kaku), penyakit di leher
(sikatrik, struma, tumor) yang akan menyulitkan intubasi.vi.
Asesori : lensa kontak.b. Toraks (Jantung dan paru) : tanda-tanda
penyakit pernapasan dan sirkulasi.c. Abdomen : sirosis, kembungd.
Ekstremitas : melihat bentuk vena, tanda-tanda edema.e. Tulang
belakang /vertebra : jika akan dilakukan anestesi subarakhonoid
ataupun epidural. Apakah ada skoliosis, athrosis, infeksi kulit di
punggung ?f. Sistem persarafan.Abdomen yang kembung bisa disebabkan
oleh udara atau cairan (sirosis). Kembung pada bayi akan berakibat
fatal karena bayi akan kesulitan untuk bernapas. Sehingga perlu
penatalaksanaan pra bedah terhadap bayi yang kembung.
Jantung harus diperiksa secara teliti, apakah terdapat penyakit
jantung ? Jika ada, apakah masih dalam fase kompensasi atau
dekompensasi ? Jantung yang dalam fase kompensasi, masih relatif
aman untuk dianestesi.
Penentuan fungsi kapasitas kardiopulmonal sangat berguna dalam
evaluasi pra bedah dan prediksi dampak serta komplikasi
perioperatif. Alat ukur yang dapat digunakan antara lain The Duke
Activity Status Index, serta pengukuran aktivitas fisik dengan
Metabolic equivalent (MET) yang menunjukkan volume oksigen yang
dikonsumsi selama aktivitas tertentu. Beberapa studi membuktikan
bahwa ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas fisik menengah (4-5
METS) menunjukkan adanya komplikasi perioperatif.Tabel 2 Metabolic
Equivalents (METS) dari kapasitas fungsional1,12METLevel aktivitas
fungsional
1Makan, bekerja depan computer, ganti pakaian
2Jalan menuruni tangga, memasak
3Berjalan 1 2 blok
4Berkebun
5Jalan menaiki tangga 1 lantai, menari, bersepeda santai
6Bermain golf, Playing golf, membawa club
7Bermain tenis (tunggal)
8Menaiki tangga dengan cepat, jogging
9Lompat tali, bersepeda sedang
10Berenang dengan cepat, berlari
11Bermain ski, bermain basket 1 lapangan penuh
12Berlari dengan cepat jarak menengah sampai jauh
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu faktor yang
berhubungan dengan berkembangnya penyakit kronis seperti penyakit
jantung, kanker, dan diabetes, dan dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB (kg) / TB2 (m2)
BB: berat badan
TB: tinggi badanTabel 3 Interpretasi Nilai IMTNilai IMTStatus
Berat Badan
< 18,5Underweight
18,5 24,9Normal
25,0 29,9Overweight
( 30Obese
Pemeriksaan Jalan Napas
Di bawah ini beberapa komponen pemeriksaan jalan nafas.
Tabel 4 Komponen Pemeriksaan Jalan Nafas Preoperatif
PemeriksaanHasil yang mungkin menyulitkan
Panjang gigi insisi atasRelatif panjang
Hubungan gigi insisi maksila dan mandibula waktu mulut
terkatupOverbite (gigi insisi maksila lebih anterior terhadap gigi
insisi mandibula)
Hubungan gigi insisi maksila dan mandibula waktu mulut
terbukaGigi insisi mandibula lebih anterior terhadap gigi insisi
maksila
Jarak inter insisiKurang dari 3 cm
Penglihatan uvulaTidak terlihat ketika lidah dikeluarkan pada
posisi duduk (Malampati score lebih dari II)
Bentuk palatumSangat melengkung atau sangat sempit
Compliance dari ruang mandibulaKaku, keras, terdapat massa
Jarak thyromentalKurang dari lebar 3 jari tangan
Panjang leherPendek
Kekakuan leherKaku
Pergerakan kepala dan leherUjung dagu tidak dapat menyentuh dada
serta leher tidak dapat diekstensikan
Tabel di atas memperlihatkan hasil pemeriksaan dari jalan nafas
yang memperkirakan adanya kesulitan intubasi. Keputusan dalam
memeriksa beberapa ataupun keseluruhan komponen jalan nafas yang
tertera pada tabel di atas bergantung pada konteks klinis dan
keputusan pemeriksa itu sendiri. Tabel tersebut tidak bermaksud
untuk membuat daftar yang panjang dan membuat rumit pemeriksaan
jalan nafas. Urutan dari tabel ini mengikuti urutan pemeriksaan
yang biasa dilakukan dalam tindakan laringoskopi.
Pemeriksaan Tanda Vital
Tekanan darah bila memungkinkan perlu diperiksa pada kedua
lengan dan perbedaan antara keduanya dicatat (perbedaan bermakna
secara tidak langsung memperlihatkan adanya penyakit pada Aorta
torakal atau cabang-cabang besarnya). Hipotensi ortostatik perlu
dicurigai adanya hipovolemia.
Pemeriksaan nadi pada saat istirahat perlu diperhatikan ritme,
kecukupan isi nadi (menunjukkan perfusi) dan frekuensi. Pemberian
obat (-blocker dapat menyebabkan nadi menjadi lebih lambat. Nadi
yang lebih cepat dapat terjadi pada keadaan demam, regurgitasi
aorta, ataupun sepsis. Pada dehidrasi, selain nadi lebih cepat,
juga disertai nadi yang lemah.
Pernapasan perlu dinilai frekuensi, pola dan kedalaman
napas.
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Pemeriksaan ini terutama ditujukan untuk penilaian jalan napas,
seperti telah dibahas sebelumnya. Hal lain yang perlu diperhatikan,
yaitu adanya gigi yang goyang atau tanggal, gigi palsu, kawat gigi,
dan lain-lain. Deviasi trakhea, massa servikal, dan distensi vena
jugularis, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pemeriksaan ToraksAuskultasi jantung dapat ditemukan adanya
murmur, irama gallop, ataupun pericardial rub. Adanya murmur, perlu
diperhatikan penyebab lain selain jantung, seperti anemia, penyakit
tiroid, serta kehamilan. Pada pemeriksaan paru perlu diperhatikan
adanya kerja napas, penggunaan otot respirasi asesorius, wheezing,
ronkhi, rales, dan menurunnya bunyi napas.
Pemeriksaan Abdomen dan Punggung
Adanya massa, distensi dan asites perlu dipikirkan pengaruhnya
terhadap pernapasan, serta risiko regurgitasi. Pada punggung perlu
diperhatikan adanya deformitas dan tanda infeksi.
Pemeriksaan Ekstremitas
Diperhatikan adanya clubbing, sianosis, infeksi kutan, terutama
bila tempat tersebut direncanakan untuk kanulasi vascular ataupun
blokade saraf regional.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang terdiri dari periksaan laboratorium dan
radiologi. Pemeriksaan laboratorium terbagi menjadi pemeriksaan
rutin dan khusus.
Data laboratorium yang harus diketahui diantaranya :
- hemoglobin (minimal 8% untuk bedah elektif)- leukosit- hitung
jenis- golongan darah- clotting time dan bleeding time- Atas
indikasi dilakukan skrining : HBSAg - Jika usia > 40 tahun,
perlu diperiksa elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum,
kreatinin.- Urinalisis : tes reduksi, tes sedimenSedangkan
pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan lainnya yang diperlukan
diantaranya foto toraks, EKG pada pasien berusia > 40 tahun atau
bila ada sangkaan penyakit jantung, Echokardiografi (wajib pada
penderita jantung), dan tes faal paru (spirometri).Jika diperlukan,
pasien dikonsulkan ke bagian lain (penyakit dalam, jantung, dll)
untuk memperoleh gambaran kondisi pasien secara lebih spesifik.
Konsultasi bukan untuk meminta kesimpulan / keputusan apakah pasien
ini boleh dianestesi atau tidak. Keputusan akhir tetap beradaa di
tangan anestetis.
Setelah kondisi pasien diketahui, anestetis kemudian dapat
meramalkan prognosa pasien serta merencakan teknik dan obat
anestesi yang akan digunakan.Penggunaan pemeriksaan penunjang ini
berkembang pada 2 masalah utama: pemilihan tes apa yang dilakukan
dalam pra bedah, dan apa yang harus dilakukan bila tidak terduga
hasil tes tersebut abnormal. Pemeriksaan laboratorium yang
berlebihan tersebut akan meningkatkan biaya, menambah waktu untuk
konsultasi dan tindak lanjut, serta penundaan jadwal operasi,
kecemasan dan bahkan terapi yang tidak tepat. Oleh karena itu,
pemeriksaan laboratorium pra bedah yang dilakukan adalah yang akan
menimbulkan risiko perioperatif bila hasil tes tersebut abnormal
dan akan menurunkan risiko perioperatif bila hasil abnormal
tersebut dikoreksi.
Menurut ASA, pemeriksaan penunjang pra operasi sebaiknya tidak
dilakukan secara rutin. Pemeriksaan itu haruslah diminta,
dibutuhkan, dan dilakukan pada kondisi selektif untuk optimalisasi
manajemen perioperatif. Pada tabel berikut disebutkan jenis
pemeriksaan atas indikasi.
Tabel 5 Pemeriksaan Penunjang Preoperatif atas Indikasi
Jenis PemeriksaanIndikasi
Hematologi lengkap (Complete Blood Count)Kelainan hematologi,
koagulopati, neonatus, stroke, keganasan, kemoterapi, penyakit
malabsorbsi/nutrisi buruk, operasi dengan perdarahan banyak,
trauma, riwayat terapi steroid dan antikoagulan
Koagulasi (PT, APTT, INR)Koagulopati, riwayat terapi
antikoagulan, penyakit hati, alkoholik, malnutrisi
Elektrolit (Na, K, Ca, Cl, Mg)Penyakit ginjal, kelainan
endokrin, kelainan serebrovaskular, malnutrisi, pemberian digoksin,
diuretika, atau steroid, operasi risiko tinggi
Glukosa darahDiabetes, morbid obese, penyakit serebrovaskuler,
penyakit endokrin, pemberian steroid, umur ( 75 tahun
Tes Fungsi HatiHepatitis, ikterus, sirosis, penyakit bilier,
kelainan perdarahan, malnutrisi
Tes Fungsi GinjalDiabetes, hipertensi, penyakit jantung,
dehidrasi, gagal jantung, edema perifer, asites, gangguan berkemih,
riwayat transplantasi ginjal, umur ( 75 tahun
UrinalisisInfeksi saluran kemih
Analisis Gas Darah (AGD)Hipoksia (pulse oximetry < 91%),
penyakit paru berat, gagal jantung, kelainan musculoskeletal yang
berdampak pada ventilasi
Foto toraksKelainan kardiovaskular dan pulmonal, massa
mediastinum, deviasi trakhea, riwayat infeksi pernapasan, perokok
berat, keganasan, umur ( 75 tahun
Elektrokardiogram (EKG)Penyakit jantung koroner, gangguan
keseimbangan elektrolit, gagal jantung, penyakit serebrovaskular,
pemberian digoxin
Tes Fungsi ParuPenyakit paru berat,operasi reseksi paru
Prognosa dibuat berdasarkan kriteria yang dikeluarkan ASA
(American Society of Anesthesiologist).
ASA 1 ; tanpa ada penyakit sistemik
ASA 2 ; kelainan sistemik ringan sampai sedang. Misalnya
apendisitis akut tanpa komplikasi
ASA 3 ; kelainan sistemik berat, ketergantungan pada obat-obat,
aktivitas terbatas. Misal ileus
ASA 4; kelainan sistemik berat yang mengancam nyawa, sangat
tergantung dengan obat-obat, aktivitas sangat terbatas.
ASA 5; dioperasi ataupun tidak, dalam 24 jam akan mati juga.
Tanda-tandanya : nadi tidak teraba, pasien ruptur aneurisma
aorta.
Pasien usia 60 tahun, pasien obesitas tergolong kategori ASA
2.
Teknik dan obat yang akan digunakan, disesuaikan dengan kondisi
pasien, termasuk kondisi ekonomi.
Apakah nanti pasien diberi anestesi umum ataukah anestesi
regional ? Jika memakai anestesi umum, teknik apa yang digunakan ?
Intravena, Inhalasi atau campuran ? Apakah nanti pasien dipasang
sungkup (facemask), Laryngeal Mask Airway, Intubasi endotrakeal ?
Apakah nanti napasnya dikendalikan ataukan di-spontan-kan ? dst.
Sebelum melakukan prosedur anestesia, penting sekali memberikan
informasi tentang risiko anestesi, kepada pasien atau
penanggungjawab pasien. Risiko tindakan harus disampaikan ke pihak
yang bertanggung jawab atas diri pasien, yakni pihak yang
memberikan persetujuan dan menandatangani surat izin operasi /
surat izin anestesi.Obat- obat yang,dipakai untuk premedikasi
antara lain:1. Sulfas atropin 0,25 mg : AntikolinergiAtropin dapat
mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk
mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun
tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah
melemaskan tonus otot polos organ - organ dan menurunkan spasme
gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah
timbulnya laringospame yang berkaitan dengan anestesi umum. Setelah
penggunaan obat ini dalam dosis terapeutik ada perasaan kering
dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya
obat ini tidak digunakan untuk anestesi regional, atau lokal.
Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan suhu diatas
normal dan pada penderita dengan penyakit jantung khursusnya
fibrilasi aurikuler.
Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25mg
dan 0,50mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau
intravena dengan dosis 0,5 - 1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB
untuk anak-ariak.
2. MidazolamMidazolam adalah oabat induksi tidur jangka pendek
untuk premedikasi induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan
dengan diazepam, midazolam
bekerja cepat karera transformasi metabolitnya cepat dan lama
kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organik
otak atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus
ditentukan secara hati-hati. Efek timbul dalam 2 menit setelah
penyuntikan.
Dosis premedikasi dewasa 0,07- 0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan
umur
dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg, pada orang tuaa dan
pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB. Efek sampingnya terjadi
perubahan tekanan darah
ar teri, denyut nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit. 3.
Ondansentrone 4 mg
Suatu antagonis reseptor serotonin 5 - HT 3 selektif. Baik
untuk
pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping
berupa impotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis
dewasa 2-4 mg.PENILAIAN DAN STRATIFIKASI RISIKO
Penilaian risiko yang paling umum digunakan yaitu status fisik
ASA, seperti tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel 1 Klasifikasi Status Fisik ASA (American Society of
Anesthesiologists)
P1Pasien sehat tanpa penyakit organik, biokimia ataupun
psikiatrik
P2Pasien dengan penyakit sistemik ringan, seperti asma ringan
atau hipertensi terkontrol. Tidak ada pengaruh yang bermakna pada
aktivitas sehari-hari.
Tidak mempengaruhi tindakan anestesi dan operasi
P3Penyakit sistemik berat atau secara bermakna membatasi
aktivitas sehari-hari, seperti gagal ginjal, dalam terapi
hemodialisis, atau gagal jantung derajat 2.
Cukup mempengaruhi tindakan anestesi dan operasi
P4Penyakit berat yang mengancam nyawa atau membutuhkan terapi
intensif, seperti infark miokardial akut, gagal nafas yang
membutuhkan ventilasi mekanik.
Sangat mempengaruhi tindakan anestesi dan operasi
P5Pasien hampir meninggal yang mungkin akan meninggal dalam 24
jam dengan atau tanpa tindakan operasi
P6Donor organ pada mati otak
E ditambahkan pada status di atas (P1-P5) menunjukkan operasi
emergensi
Disadur dari American Society of Anesthesiologists. ASA physical
status classification system. www.asahq.orgSistem klasifikasi ini
diterapkan dalam mengukur risiko yang berhubungan dengan tindakan
anestesi dan operasi, yang juga berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas.5,7 Beberapa studi memperlihatkan adanya hubungan antara
Status Fisik ASA dengan perawatan intensif pascabedah, perawatan
yang lebih lama pada beberapa tindakan operasi, serta dampak
kardiopulmonal yang merugikan. Tidak ada korelasi antara status
fisik ASA dengan pembatalan, perawatan pasca bedah yang tidak
direncanakan pada pasien rawat jalan1,4.
VISITE PRA BEDAH
Anamnesis dan pemeriksaan klinis, yang menunjuk pada pemeriksaan
klinis, dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis
banding. Sebuah studi menunjukkan bahwa 56% dari diagnosis yang
tepat dibuat berdasarkan anamnesis, dan meningkat menjadi 73%
dengan pemeriksaan fisik. Dari data yang diperoleh dalam 2 dekade,
terdapat 60-70% tes laboratorium sebelum operasi yang sebenarnya
tidak diperlukan. Kemampuan dalam melakukan pemeriksaan klinis
berasal dari pengenalan pola yang dipelajari dengan melihat pasien
dan mendengarkan riwayat penyakitnya. Identitas pasien pun perlu
dicatat dengan lengkap.
MANAJEMEN PRA BEDAH DAN PREMEDIKASI
Manajemen kondisi komorbid dan intervensi dalam menurunkan
risiko sama pentingnya dengan identifikasi dan menegakkan
diagnosis. Koordinasi dan komunikasi yang baik antara ahli
anestesilogi, ahli bedah, dan konsultan lain sangatlah penting.
Selain itu juga diperlukan suatu sistem yang seragam dan metode
yang konsisten dalam penilaian dan manajemen pra bedah.
Penatalaksanaan anestesi pra bedah dimulai dengan persiapan
psikologis dan, bila diperlukan, premedikasi.
Puasa Pra Bedah
Puasa pra bedah dimaksudkan untuk menekan risiko regurgitasi dan
aspirasi4. Dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik perlu dinilai
adanya penyakit refluks gastrointestinal, gejala disfagia, atau
kelainan motilitas gastrointestinal, potensi kesulitan manajemen
jalan napas, serta kelainan metabolik yang dapat meningkatkan
risiko regurgitasi dan aspirasi paru.American Society of
Anesthesiologists merekomendasikan puasa pra bedah pada pasien
sehat berdasarkan jenis makanan seperti tertera dalam tabel
berikut.
Tabel 6 Pedoman Puasa Sebelum Operasi Elektif
Jenis Asupan MakananPeriode puasa minimum
Cairan jernih*2 jam
ASI4 jam
Susu formula6 jam
Susu non-ASI6 jam
Makanan ringan6 jam
*contoh cairan jernih termasuk air minum, jus tanpa ampas,
minuman berkarbonasi, teh jernih, dan kopi hitam
Pedoman tersebut dapat diterapkan pada semua umur pasien sehat
dan bukan wanita hamil. Pedoman ini tidak menjamin pengosongan
gaster yang sempurna. Medikasi pra bedah yang rutin berupa
obat-obatan yang memblokade sekresi asam lambung, antasida,
antiemetik pada orang yang tidak mempunyai risiko aspirasi, tidak
direkomendasikan. Pemberian antikolinergik dalam menurunkan risiko
aspirasi tidak direkomendasikan.
Instruksi Medikasi
Beberapa pengobatan sebaiknya terus dilanjutkan pada hari
operasi karena mempunyai efek yang menguntungkan, sementara yang
lainnya malah membahayakan atau menjadi kontraindikasi, seperti
tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel 7 Pedoman Instruksi Medikasi Pra Bedah
Obat-obatan yang dilanjutkan pada hari operasi
Antidepresan, antianxietas, obat-obatan psikiatrik
Obat antihipertensi selain ACE-Inhibitor, Angiotensin
antagonis
Obat antikejang
Obat asma
Pil kontrasepsi
Obat-obatan kardiak (seperti digoxin)
Diuretik, hanya triamteren dan hidroklorotiazid (HCT)
Obat-obatan refluks dan heartburnInsulin semua intermediate,
kombinasi, dan
Analgetik opioid
Tetes mata
Obat golongan statin
Steroid oral ataupun inhalasi
Obat terapi tiroid
COX-2 inhibitor
Obat-obatan yang dihentikan 7 hari sebelum operasi
Aspirin, kecuali pasien untuk operasi vaskular dan katarak
Clopidogrel, kecuali pasien untuk operasi vaskular dan
katarak
Obat herbal dan suplemen non vitamin
Terapi pengganti hormone
Obat-obatan yang dihentikan 4 hari sebelum operasi
Warfarin, kecuali pasien untuk operasi vaskular dan katarak
tanpa blokade bulbar
Obat-obatan yang dihentikan 48 jam sebelum operasi
Obat antiinflamasi non- steroid (NSAID)
Obat-obatan yang dihentikan 24 jam sebelum operasi
Obat disfungsi ereksi
Obat yang dihentikan pada hari operasi
Diuretik selain triamteren dan hidroklorotiazid (HCT)
Insulin regular
Suplemen besi
Obat antidiabetik oral
Obat topical
Vitamin
Premedikasi
Perlu dipahami bahwa tidak ada obat ataupun kombinasi obat yang
ideal untuk persiapan pra bedah. Dalam memilih obat yang tepat
untuk premedikasi, perlu dipertimbangkan kondisi fisik dan psikis
dari pasien, status fisik, dan umur. Prosedur operasi, durasinya,
operasi elektif ataupun emergensi, juga merupakan faktor penting.
Ahli anestesiologi harus mengetahui berat badan, respons sebelumnya
terhadap obat depresan, termasuk efek samping dan alergi.
Tujuan premedikasi antara lain:
1. Meringankan kecemasan
2. Sedasi
3. Amnesia
4. Analgesia
5. Mengurangi sekresi jalan napas
6. Mencegah respons refleks otonom
7. Menurunkan volume cairan lambung dan meningkatkan pH
8. Antiemetik
9. Menurunkan kebutuhan obat anestesi
10. Melancarkan induksi anestesi
11. Profilaksis dalam mengatasi reaksi alergi
Tujuan premedikasi tersebut bisa multipel dan harus disesuaikan
dengan kebutuhan pasien. Beberapa sasaran, seperti meringankan
kecemasan dan sedasi, dapat diterapkan pada hampir setiap pasien,
sementara profilaksis alergi hanya dibutuhkan pada beberpa kasus
saja.
Waktu dan rute pemberian premedikasi juga penting. Sebagai
aturan umum, obat per oral diberikan 60 90 menit sebelum kedatangan
di kamar operasi. Obat intravena mempunyai efek yang cepat,
sementara obat intramuscular seharusnya diberikan minimal 20 menit
sebelum pasien tiba di kamar operasi.Tabel 8 Obat-obatan
Premedikasi yang umum digunakan
Nama ObatRute pemberianDosis
LorazepamOral, IV0,54 mg
MidazolamIV1,02,5 mg, titrasi
FentanylIV25100 g, titrasi
MorphineIV1.02,5 mg, titrasi
MeperidineIV1025 mg, titrasi
CimetidineOral, IV150300 mg
RanitidineOral50200 mg
MetoclopramideIV510 mg
AtropineIV0,30,4 mg
GlycopyrrolateIV0,10,2 mg
ScopolamineIV0,10,4 mg
DAFTAR PUSTAKACraig R. Charless, 2006. Modern Pharmacology.
University California at San Fransisco.
Gunawan Gan Sulistia,et all,2007. Farmakologi dan Terapi. Gaya
Baru : Jakarta.Heinz Lullman,Mohr Klaus,Ziegler, et all. 2000.Color
Atlasof Pharmacology. Thieme :
Stuttgart,Germany.
Ikatan Apoteker Indonesia, 2010. ISO Indonesia. PT. ISFI :
Jakarta Barat
Kaball , 2006. Goodman & Gillmans The pharmacological Basic
of the Therapeutic.
Blackwell Publising Company : New York.
Mangku Gde, Senaphati Agung, 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi.
PT.Macanan jaya cemerlang : Jakarta BaratNeal J. Michael, 202.
Medical Pharmacology at a Glance. Blackwell Publising Company
: Victoria, Australia.