Perkembangan Hukum Agraria Mengenai Investasi Terhadap
Tanah Ulayat di MinangkabauBAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari
segala tindaktanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan
tempat bagi manusia untukmenjalani dan kelanjutan kehidupannya.
Oleh itu tanah sangat dibutuhkan olehsetiap anggota masyarakat,
sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya,terutama yang
menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah-kaedah yang
mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.Tanah mempunyai
multiple value, maka sebutan tanah air dan tumpah darah
dipergunakan oleh bangsa Indonesia untuk menyebutkan wilayah negara
dengan menggambarkan wilayah yang didominasi tanah, air, dan tanah
yang berdaulat.Arti penting tanah bagi manusia sebagai individu
maupun negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi, secara
konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyatakan bahwa : Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan bumi atau tanah,
maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok Dasar Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan
sebutan UUPA. Tujuan pokok dari UUPA adalah :1. Meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang merupakan
alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara
dan rakyat, terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan
makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.Di dalam Hukum
Adat, tanah merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara
manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan di
atas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan
melanjutkan kehidupannya.
Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan
mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman
orang-orang haluspelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah
dimana meresap daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan
karenanya tergantung dari padanya. Menurut van vollehoven didalam
bukunya Boedi harsono menyebutkan dengan istilah beschikkingrecht
yang tidak bisa disalin kedalam bahasa indonesia, UUPA memakai hak
ulayat, sebenarnya untuk hak tersebut hukum adat tidak memberikan
nama. Nama yang ada menunjukan kepada tanah yang merupakan wilayah
lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. Ulayat artinya
wilayah. Dalam bukunya Ter Haar, Beginselen en stelsel van het adat
recht banyak daerah ang mempunyai nama untuk lingkungan wilayah
itu, misalnya tanah wilayah sebagai kepunyaan pertuanan-ambon),
sebagai tempat memberi makan (panyampeto-kalimantan), sebagai
daerah yang dibatasi (pewatasan-kalimantan, prabumian-bali,
wewengkon-jawa) atau sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain
(totobuan-Bolaang mongondaow), akhirnya dijumpai istilah-istilah
lainnya Orluk(Angkola), Limpo(Sulawesi Selatan), Payar(Bali),
Paer(Lombok), Ulayat(Minangkabau).Tanah Ulayat adalah bidang tanah
yang diatasnya terdapat Hak Ulayat dari suatu masyarakat hukum
tertentu. Mengenai keberadaan tanah ulayat masyarakat hokum adat
yang masih ada, dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah
dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila
memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam
daftar tanah. Pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan
sebagainya, memerlukan hak guna usaha atau hak pakai. Ini dilakukan
oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk
jangka waktu tertentu sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau
sesudah tanah itu tidak digunakan atau telantar, hak guna usaha
atau hak pakai yang bersangkutan dihapus. Penggunaan selanjutnya
dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat
yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu
masih ada sesuai ketentuan. Selain itu Tanah ulayat merupakan tanah
kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan
ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan
masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan
dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Disinilah sifat
religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat
bersama dengan tanah ulayatnya ini.
Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh
kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat,
misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah
untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada
intinya adalah demi keperluan bersama. Setelah kita mengetahui apa
itu hak dan tanah ulayat maka dari itu cirri-ciri pokok hak ulayat
adalah hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya
yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar diwiliyah
kekuasaannya.Diskusi tentang tanah ulayat merupakan kegiatan yang
selalu menarik baik bagi kalangan praktisi maupun akademisi, karena
keberadaannya terkait dengan banyak kepentingan. Oleh karena itu,
sosok dari tanah ulayat itu sendiri mulai dari konsep, pengaturan
sampai kepada implementasi kebijakan pemerintah, senantiasa
menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat. Bahkan, sebagian
besar dari persoalan tersebut telah menimbulkan konflik di tengah
masyarakat. Tidak sedikit lagi nyawa yang dikorban oleh masyarakat
untuk mempertahankan hak atas tanah disebut dengan tanah ulayat. Di
Sumatera Barat dan Padang khususnya tanah ulayat dengan
kompleksitas permasalahannya juga menjadi isu sentral yang terkait
dengan sengketa tanah adat. Pada umumnya perkara tanah yang masuk
ke pengadilan negeri adalah sengketa yang terkait dengan tanah adat
. Sehingga dapat disimpulkan mekanisme penyelesaian sengketa tanah
adat tidak lagi sepenuhnya bisa dijalankan oleh Hukum adat dengan
fusngionarisnya . Apakah peristiwa ini mengindikasikan bahwa hukum
adat dengan segala perangkat pelaksananya sudah tidak lagi
berfungsi atau tidak lagi dihormati oleh masyarakat? Mungkin tidak
banyak di antara pemuka adat dan masyarakatnya mengakui pernyataan
tersebut. Kalau kita tanyakan kepada mereka apakah hukum adat
(Minangkabau) masih efektif? Mungkin sebagian besar dari mereka
akan menjawab bahwa hukum adat itu masih efektif.Namun kenyataanya
pernyataan tersebut berkontradiksi dengan keadaan sebenarnya dan
dijadikan tameng atas kegagalan kaum adat. Dengan persoalan diatas
maka terlihatlah urgensi dari perlindungan hukum terhadap Tanah
Ulayat untuk menyelesaikan sengketa tanah pusako antar suku ataupun
dengan pihak luar. B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keberadaan tanah Ulayat di Minangkabau?2. Bagaimana
pengaturan hukum Agraria tentang penanaman modal terhadap tanah
ulayat di Minangkabau?3. Bagaimana penyelesaian konflik investor
dan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat mengacu pada hukum
agraria dan peraturan lainnya?C. Maksud dan Tujuan1. Untuk
mengetahui fungsi keberadaan tanah ulayat diminang Kabau.2. Untuk
mengetahui pengaturan hokum Agraria tentang penanaman modal
terhadap tanah Ulayat di Minangkabau.
3. Untuk mengetahui penyelesaian konflik investor dan masyarakat
hukum adat terhadap tanah ulayat mengacu pada hukum agraria dan
peraturan lainnyaBAB II
PEMBAHASANII.1 Tanah Ulayat Merupakan Asset NagariTanah ulayat
merupakan sumber daya dan asset nagari yang penting di Sumatera
Barat. Tanah ulayat memiliki nilai ekonomi yang merupakan sumber
kehidupan bagi masyarakat nagari, didalamnya terkandung berbagai
potensi sumber daya alam yang mulai dari kulit bumi yang digunakan
untuk kegiatan-kegiatan pertanian, hasil hutan dan sampai kedalaman
tanah dalam bentuk tanah dan bebatuan sebagai bahan baku industri.
Kulit bumi atau tanah merupakan asset masyarakat yang selalu
dijaga, dipelihara dan dimanfaatkan secara subsistem dalam
kelangsungan kehidupannya. Disamping itu ditanah ulayat juga
melekat nilai-nilai sosial sebagai ikatan, kesatuan sistem
kepemilikan dan pengelolaan bersama masyarakat adat terhadap tanah,
yang diyakini sebagai suatu titipan Tuhan yang harus dijaga dan
dipelihara secara baik. Bagi masyarakat nagari pada awalnya tanah
ulayat merupakan sumber kehidupan dalam rangka pemenuhan kehidupan,
tanah digunakan untuk menghasilkan padi,sayur-sayuran, buah-buahan
namun kemudian dengan perkembangan perdagangan daerah dan
internasional kemudian tanah mulai ditanami dengan tanaman industri
seperti karet, kasiavera, kelapa sawit, kopi dan lain-lain sehingga
tanah semakin banyak dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat sendiri
dan para pendatang termasuk para penanam modal.
Penggunaan tanah yang semakin meningkat secara ekonomi akan
meningkatkan pendapatan yang diterima oleh masyarakat, perluasan
kesempatan kerja dan peningkatan produktivitas masyarakat. Namun
disisi lain karena berdatangannya orang ke Nagari kepemilikan dan
penguna tanah setiap periode mengalami perubahan sehingga terjadi
perubahan status kepemilikan bersama ke kepemilikan pribadi, suku
lain, negara dan para investor sehingga menimbulkan suatu persoalan
ditengah masyarakat nagari.Kajian Muchtar (1983) tentang
pengelolaan tradisional tanah ulayat di Sumatera Barat diketahui,
tanah ulayat sebagian besar diusahakan secara pribadi dan sebagian
ada juga yang diolah oleh suku lain dalam nagari dengan sistem bagi
hasil dalam bentuk sasiah, sapaduo sepatiga dan lain-lain. Pola
pengelolaan ini bagi masyarakat nagari hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari (subsisten), namun belum bisa memenuhi
kebutuhan untuk menabung dan investasi sebagai harapan dan tatangan
kebutuhan ekonomi masa datang.
II.2 Dasar Pengaturan Hak Ulayat terhadap Investasi dan Konflik
Tanah UlayatSebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUD 1945 tidak
menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak
terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA,
bahwa Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi. Mengenai bumi diatur
dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa
seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia
dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di
Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai
suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA,
dasar hak menguasai dari Negara hanya permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum.Menyinggung mengenai tanah, Indonesia wilayahnya
terdiri dari beribu-ribu pulau yang sebagian masyarakat masih
menguasai hak atas tanah yang pemilikannya didasarkan atas hukum
adatnya. Menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan sebagai
berikut: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Hal
ini berarti bahwa negara masih mengakui hak atas tanah yang
dikuasai berdasarkan hukum adatnya selama masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Adatnya yang berarti
kebiasaan masyarakat setempat, jika kebiasaan tersebut disertakan
suatu sanksi maka disebut dengan hokum adat. Hukum Adat adalah
aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan
orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka
dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka
dikatakan adat). Sebagai bandingan dapat dikemukakan pendapat dari
Ter Haar Bzn, yang menyatakan bahwa, hukum adat adalah Keseluruhan
aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris
hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai
pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya serta merta dan
ditaati dengan sepenuh hati. Demikian pendapat Ter Haar tentang
pengertian Hukum Adat ialah adat yang diputuskan oleh para
petugas-petugas hukum adat, yang berbeda dengan van Vollenhoven
dimana hukum adat itu adalah adat yang seharusnya berlaku dalam
masyarakat. Soepomo memberikan definisi tentang hukum adat sebagai
hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif
(unstatutory law) meliputi peraturanperaturan hidup yang meskipun
tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh
rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasannya peraturan-peraturan
tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Sedangkan Soekanto dalam bukunya Meninjau Hukum Adat Indonesia
mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak
dikitabkan tidak dikodifisir dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi
jadi mempunyai akibat hukum. Apabila ditelaah pendapat-pendapat
yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat
mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat
peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang
Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Untuk mengakomodir persoalan yang berkaitan dengan tanah ulayat
di Sumatera Barat, sebelumnya sudah lahir Peraturan Daerah (Perda)
No. 6 Tahun 2008, tentang Tanah Ulayat dan Pengaturannya (TUP).
Sangat jelas kiranya bahwa tujuan dari perda ini, sebagaimana
diatur dalam pasal 4, yaitu Untuk tetap melindungi keberadaan tanah
ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari
tanah termaksuk sumber daya alam, untuk kelangsungan hidup dan
kehidupannya secara turun-menurun dan tidak terputus antar
masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan.Namun ada
yang menjadi persoalan dalam perda ini, sesuai yang tertuang dalam
pasal 11 yaitu Apabila perjanjian penyerahan hak penguasaaan dan
atau hak milik untuk penguasaan dan pengelolaan tanah yang
diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 berakhir, maka
status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk
semula. Sehingga pasal tersebut multi tafsir. Setidaknya ada dua
pengertian, Pertama, setelah masa pemanfaatan berakhir maka tanah
tersebut berstatus sebagai tanah Negara sesuai dengan UUPA dan
Kedua, setelah pemenpataan berakhir maka tanah tersebut berstatus
sebagai hak ulayat (pemulihan hak ulyat).Dengan lahirnya Pergub No.
21 Tahun 2012 maka sangat jelas memperkuat Perda No. 6 Tahun 2008
tersebut. Karena dalam Pergub ini mempertegas kembali mekanisme
penggunaan tanah ulayat oleh pihak ketiga serta mekanisme pemulihan
setelah habis masa izin penggunaanya. Bahkan dalam Pergub ini
mencoba berusaha mengakomodir keberagaman disetiap nagari, bahwa
pemanfaatan tanah ulayat mesti harus disesuaikan dengan hukum adat
yang ada di masing-masing nagari. Kalau dimaknai sesunggugnya
Pergub ini berusaha untuk melindungi tanah ulayat, sehingga
eksistensinya tetap terjaga seiring makin kompeleksnya pergulatan
modernisasi dan investasi.
Disadari atau tidak, disetujui atau tidak, kehidupan bernegara
modern seperti yang juga dialami oleh Indonesia, terutama sejak
kemerdekaan, mengakibatkan terjadinya interaksi antara masyarakat
dengan instansi luar baik formal maupun informal. Dalam kehidupan
sosial dunia hari ini, jarang sekali atau bahkan tidak satu pun
institusi, kelompok masyarakat atau apapun namanya yang betul-betul
otonom dari pengaruh kelompok atau institusi lain, jadi semuanya
akan menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan interaksi
sosial. Oleh karena itu, Hukum Adat kita mengajarkan, bahwa adat
itu dinamis dan fleksibel. Tidak semuanya nilai adat tersebut yang
merupakan adat nan sabana adat, tetapi juga ada nilai-nilai yang
tergolong ke dalam adat nan teradat dan adat istiadat. Dalam
konteks yang lebih luas, Sally Folk Moore, salah seorang antropolog
terkenal, menyebut fenomena seperti ini dengan semi-autonomous
social field. Oleh karena itu Tanah Adat yang dimiliki secara
komunal termasuk dalam dinamika adat istiadat terutama penggunaanya
sebagai alat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Kota Padang.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan penduduk nasional
mendorong pemerintah untuk melakukan usaha-usaha sebagai upaya
untuk meningkatkan output nasional, sehingga penggunaan tanah untuk
usaha-usaha bisnis modern semakin meningkat. Khusus di Kota Padang
tanah yang masih belum terpakai merupakan tanah milik Hak Ulayat
yang dimiliki oleh Nagari/suku/kaum yang dikenal dengan Pusako
Tinggi yang pengelolaannya tidak boleh dijual/gadaikan kepada pihak
lain.
Dalam prinsip adat Minangkabau, tanah ulayat tidak boleh dijual
belikan, akan tetapi tanah ulayat tersebut dapat digadaikan. Di
Minangkabau tidak ada orang yang mau dan dapat menjual hartanya
seperti : tanah, sawah, ladang atau rumah, karena selain harta
tersebut merupakan milik bersama, hukum adatpun tidak
membenarkannya. Pameo mereka mengatakan : dijua tak dimakan bali,
digadai tak dimakan sando (dijual tak dimakan beli, digadai tak
dimakan sandera).Apabila harta pusaka itu akan dipindah tangankan
untuk mengatasi kesulitan, tanah tersebut hanya dapat digadaikan
atau disandokan sebagai jaminan pinjaman. Sando ada tiga jenisnya
yakni, sando atau sandaro yakni menggadaikan harta yang akan
ditebus sewaktu-waktu, sekurang-kurangnya setelah sekali panen.
Sando kudo yaitu menggadaikan harta yang tidak mungkin ditebus lagi
karena telah beberapa kali dipadalam (diperdalam) yakni uang gadai
diminta tambah sehingga kalau hendak ditebus harganya terlalu
tinggi. Sando agung yaitu merungguhkan harta untuk selamanya. Hanya
karena empat alasan pegang gadai dapat dilakukan. Itupun harus atas
kesepakatan warga kaum, keempat alasan tersebut adalah sebagai
berikut : Pertama, maik tabujua diateh rumah (mayat terbujur diatas
rumah). Apabila terjadi musibah, meminggalnya salah satu anggota
keluarga.Disaat ahli waris tidak memiliki uang untuk
menyelengarakannya, maka tanah ulayat tersebut dapat digadaikan
guna menyelenggarakan upacara tersebut. Begitu juga menurut Navis ,
upacara kematian seorang anggota kaum yang dihormati harus sama
agungnya dengan upacara perkawinan atau penobatan penghulu. Upacara
berlangsung bertahap-tahap seperti, pada waktu tiga hari, tujuh
hari, tiga kali tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari dan
akhirnya tiga kali seratus hari. Setiap upacara senantiasa
mengadakan kenduri makan minum.
Kedua, mambangkik batang tarandam, (membangkit batang terendam),
dimaksudkan melakukan upacara managakkan gala pusako (mendirikan
gelar pusaka) yaitu mendirikan penghulu baru, memakai gelar
kebesaran yang telah lama tidak dipakai,atau menggantikan penghulu
yang tidak dapat berfungsi lagi, karena mengundurkan diri atau
meninggal.
Ketiga, gadih gadang indak balaki (gadis dewasa belum bersuami),
tanah dapat digadaikan ketika ada gadis yang telah cukup umur
tetapi belum mendapatkan suami. Uang dari penggadaian tanah
tersebut digunakan untuk mencari dan menjemput calon suami anak
gadis tersebut, juga membiayai persiapan dan pelaksanaan perkawinan
seorang gadis yang biasanya mahal karena perjamuan yang
berlarut-larut. Keempat, rumah gadang katirisan (rumah gadang sudah
bocor) Tanah digadaikan untuk keperluan membiayai perbaikan rumah
gadang yang telah rusak, dimana rumah gadang termasuk simbol
kebesaran sebuah kaum di Minangkabau.Syarat pegang gadai sangat
berat bagi pihak yang menggadaikan. Nilai harga gadaian hampir
seperti harga jual, sehingga akan sulit menebusnya kembali. Dan
selama tergadai, hasil atau sebagian hasil dari harta pusaka itu
tidak diperoleh lagi. Olah karena itu, kalau tidak oleh alasan yang
berat yang akan dapat memberi malu kerabat, maka pegang gadai tidak
akan pernah dapat dilakukan.
Dengan adanya prinsip adat tersebut maka sebenarnya tanah-tanah
adat di Minang Kabau ini berpenghuni dan tidak bisa dimiliki oleh
orang lain.Namun Persoalan ini kemudian bisa dipecahkan dengan
konsep kemitraan. Konsep ini memberikan pengakuan atas hak ulayat
nagari bagi masyarakat tempatan dan memberikan kesempatan kepada
pemilik modal (Investor) melakukan bisnis dalam usaha-usaha yang
memiliki keuntungan yang menjanjikan.UU Pokok Agraria sesungguhnya
telah mengatur dan memberikan pengakuan atas hak ulayat masyarakat
adat, maka semestinya memang dalam pengelolaan yang melibatkan
pihak luar harus memperhatikan eksistensi ini sebagai bagian dari
upaya untuk penerapan sistem perundang-undangan agraria,
penghormatan pemerintah atas hak ulayat diwujudkan dengan
model-model kemitraan antara pemilik modal (investor) dengan
masyarakat.
Salah satu pola kemitraan itu adalah model kerjasama PIR-BUN di
daerah Pasaman (Pola inti rakyat untuk perkebunan) yang
dikembangkan awal tahun 1970 hingga awal tahun 1990, pola ini
merupakan fasilitasi kredit bank dunia dan lembaga donor asing
lainnya dalam bentuk pinjaman terhadap pengembangan sektor
perkebunan besar di Indonesia. Pengembangan perkebunan besar ini
dikembangkan dalam bentuk pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat
(PIR) antara BUMN (PT Perkebunan Persero) dan swasta dengan
melibatkan masyarakat (plasma) yang kemudian pemerintah
memfasilitasi pembentukan kelompok ekonomi masyarakat dalam bentuk
Koperasi Pertanian (KUD), dan keswadayaan masyarakat
(Perorangan).Pola kemitraan dan pengelolaan melalui pola
plasma-inti ini disatu sisi memberikan kontribusi yang positif
terhadap perekonomian nasional. Pada periode pembentukan itu,
sektor perkebunan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional dan mengalami kemajuan yang pesat hal didukung
oleh program perkebunan besar swasta nasional (PBSN) yang disubsidi
oleh pemerintah (khudhori:2004). Dengan mlihat pola kemitraan
diatas kota pada dapat mencobanya dengan menerapkan sistem mitra
yang disesuaikan dengan potensi lokal.Pemerintah Kota Padang harus
membuat kebijakan mengenai Investasi yang win-win solution ,tidak
melanggar Hukum Adat dan Agraria dan menguntungkan untuk Kota
Bengkuang ini.
II.3 Penyelesaian Konflik Investor Dan Masyarakat Hukum Adat
Terhadap Tanah Ulayat Mengacu Pada Hukum Agraria Dan Peraturan
LainnyaSecara umum perusahaan berpandangan bahwa akar dari klaim
masyarakat adat dimulai dengan ketidakjelasan kebijakan pemerintah.
Situasi ketidak jelasan ini menjadi bahan bakar konflik yang
dipantik oleh kecemburuan sosial yang timbul dari perkembangan
Pendidikan masyarakat adat yang rendah, cendrung menjadikan mereka
korban dari pemberian ganti rugi yang tidak tepat sasaran, sehingga
menyebabkan perusahaan harus memberikan ganti rugi berkali-kali.
Lahan yang di klaim sebagai tanah ulayat tidak memiliki batas-batas
yang jelas. Pada beberapa kasus, masyarakat adat menuntut
disebabkan karena kesepakatan tidak tercapai di internal mengenai
keberadaan perusahaan perkebunan. Terdapat juga indikasi kuat,
beberapa tokoh-tokoh di masyarakat menggunakan dan mengelolala
konflik sedemikian rupa sehingga menjadi sumber penghasilan
mereka.Ketika konflik telah menjadi konflik yang manifes anatara
perusahaan dengan masyarakat adat dan ketika konflik itu
diselesaikan dengan jalan negosiasi, terdapat beberapa penyebab
kenapa negosiasi tersebut mengalami hambatan. Persoalan mendasar
adalah adanya perbedaan persepsi dan sudut pandang serta harapan
tentang keberadaan perusahaan di tempat masyarakat adat berada.
Sebagian besar dari masyarakat adat memulai negosiasi dengan
pikiran bahwa perusahaan tidak diperlukan didaerah mereka dan
perusahaan yang ada harus pergi.
Dalam negosiasi tentang tanah ulayat, beberapa masalah pokok
yang dihadapi adalah data-data lahan tidak akurat dan tidak ada
pemilikan yang jelas berdasarkan hukum yang ada diatas tanah ulayat
itu. Perwakilan masyarakat yang melakukan negosiasi juga tidak
representative. Sulit sekali mencari perwakilan masyarakat yang
betul-betul didukung oleh masyarakat adat yang akan melakukan
negosiasi. Akibatnya meskipun telah ada hasil negosiasi, tuntutan
masyarakat terus berlangsung, bahkan tidak ada kepastian bahwa
hasil negosiasi ini akan mengikat sampai pada generasi selanjutnya.
Selain itu, kemauan masyarakat yang diajukan kepada perusahaan juga
berubah-ubah. Situasi ini diperkeruh oleh keterlibatan
kelompok-kelompok lain diluar masyarakat adapt seperti Organisasi
Pemuda dan pihak-pihak lain yang menjadi provokator. Apalagi,
aturan main yang ada, tidak menyediakan tatacara yang baik untuk
melakukan negosiasi dengan masyarakat adat. Selanjutnya Negosiasi
dilakukan dengan melibatkan, Pemda, Aparat Desa, Muspida, BPN,
Aparat Keamanan, Tokoh Adat/Tokoh masyarakat, Tim P3D, NGO dan
Formal Leader. Peran pemerintah dalam negosiasi ini sangat minim.
Dalam berbagai kasus, pemerintah hanya melakukan pembentukan Tim
Penyelesaian Konflik, kemudian melakukan kunjungan-kunjungan
kelokasi konflik dan setelah itu tim tidak menghasilkan
penyelesaian konflik tersebut. Kerap kali pembentukan tim
penyelesaian konflik ini diikuti dengan sejumlah biaya, baik resmi
atau tidak resmi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.
Selama ini, untuk menentukan tokoh-tokoh masyarakat adat yang
akan diajak bernegosiasi, perusahaan melihat orang-orang yang
1)Menggunakan orang berpengaruh di lokasi
2)Tokoh yang pro dan kontra di dekati
3)Status wakil yang jelas berdasarkan surat penunjukan dari
keluarga
4)Mengerti hukum
Namun tetap saja Negosiasi tidak berjalan dengan lancar .Hal ini
dikarenakan ketidakjelasan status hukum dan batas-batas fisik tanah
ulayat. Perusahaan memandang, ketidak jelasan ini merupakan
tanggung jawab pemerintah kota. Semestinya sebelum investasi
diundang memasuki wilayah mereka, pemerintah telah memperjelas
status tanah ulayat dan masyarakat adat. Bahkan sebaiknya, dalam
tata ruang wilayah, dalam peta-peta wilayah atau peta pertanahan
yang dikeluarkan oleh pemda atau BPN, dicantumkan lokasi tanah
ulayat tersebut. Sehingga pengusaha dapat merencanakan investasi
menjadi lebih baik dengan mempertimbangkan keberadaan masyarakat
adapt dan tanah adapt yang telah diakui oleh pemerintah
tersebut.
Beberapa masalah yang terjadi diatas merupakan gambaran hambatan
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di kota padang dari Aspek
Tanah Ulayat.Kita menyadari betapa pentingnya arti tanah bagi kaum
Minang Kabau dengan segala memori yang indah dan kekuatan adat
istiadat di masa dulu yang dijadikan simbol terhadap warisan nenek
moyang .Namun dengan dinamika zaman terjadilah perubahan yang
menghendaki Tanah harus di kembangkan menjadi titan dalam
mengembangkan perekonomian Nagari atau yang telah berubah menjadi
kota.Pengembangan Industri dan pertumbuhan penduduk memerlukan
lahan yang dijadikan tempat bernaung.Segala konflik yang terjadi
sebenarnya adalah terletak pada pemahaman dan cara pandang yang
berbeda sehingga tidak dapat diselesaiakan oleh Investor dan
Pemilik Tanah.Diperlukan Ulil Amri (Wali Kota dan Wali Kota) yang
disegani untuk mendudukan secara bersama-sama, hal apa yang dapat
kita putuskan agar mendapatkan keuntungan bersama.Didalam mengambil
keputusan pemerintah Kota Padang harus memperhatikan Aspek-aspek
kepastian hukum baik hukum positif maupun hukum Adat.Dengan adanya
konsolidasi bersama untuk dapat menarik minat Investor ke kota
padang dari aspek Tanah maka nantinya kota Padang sebagai kota
wisata dan metropolitan akan terwujud dengan keluhuran budi para
pemimpin dan ketaatan Masyarakatnya.
BAB IIIPENUTUPI. KesimpulanTanah ulayat merupakan sumber daya
dan asset nagari yang penting di Sumatera Barat. Tanah ulayat
memiliki nilai ekonomi yang merupakan sumber kehidupan bagi
masyarakat nagari, didalamnya terkandung berbagai potensi sumber
daya alam yang mulai dari kulit bumi yang digunakan untuk
kegiatan-kegiatan pertanian, hasil hutan dan sampai kedalaman tanah
dalam bentuk tanah dan bebatuan sebagai bahan baku industri. Pada
dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui,
akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat
tertentu, yaitu: eksistensi dan mengenai pelaksananya. Oleh karena
itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada.
Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada
lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu
seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak
atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan
masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang
oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas
yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Lahirnya Perda No.6 tahun 2008 tidak hanya semata ditujukan
untuk melindungi eksistensi tanah ulayat di sumatera Barat, namun
juga hadir untuk kepentingan investasi dan pembangunan . Untuk itu,
melalui Pasal 3 ayat (2), Perda No. 6 tahun 2008 membuka ruang bagi
dimanfaatkannya tanah ulayat oleh pihak lain dengan kaedah adat
diisi limbago dituang melalui musyawarah mufakat .Secara eksplisit,
Perda No.6 tahun 2008 menyatakan bahwa pemanfaatan tanah ulayat
untuk kepentingan Badan Hukum dan perorangan dapat dilakukan
berdasarkan surat perjanjian pengusahaan dan pengelolaan tanah
ulayat dalam jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan modal,
bagi hasil dan/atau bentuk lain yang disepakati . Kemudian, Perda
No. 6 tahun 2008 juga memungkinkan investor memanfaatkan tanah
ulayat dengan mengikutsertakan penguasa dan pemilik tanah ulayat
sebagai pemegang saham, bagi hasil dan dengan cara lain dalam
jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian . Apabila
perjanjian penyerahan hak penguasan dan/atau hak milik untuk
pengusahaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan berakhir, maka
status pengusahaan dan/atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk
semula .II. SARANMekanisme pendaftaran tanah ulayat yang diatur
oleh Perda No.6 tahun 2008 berimplikasi terhadap berubahnya status
hukum tanah ulayat. Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan asas
utama tanah ulayat sebagaimana diusung oleh Pasal 2 ayat (1) Perda
No.6 tahun 2008, yaitu jua ndak dimakan bali, gadai ndak makan
sando . Hal ini merupakan kerugian besar bagi keberlangsungan tanah
ulayat di Sumatera Barat. Di samping itu, pengaturan pemanfaatan
maupun pendaftaran tanah ulayat tersebut, ditenggarai dapat pula
memicu konflik antara Pemerintah Nagari dengan KAN. Dalam Perda
Provinsi No.2 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari dinyatakan
bahwa tanah ulayat nagari merupakan harta kekayaan nagari.
Pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan harta kekayaan nagari
dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari berdasarkan peraturan nagari .
Lebih lanjut, Pasal 17 ayat (2) menyebutkan, sebelum peraturan
nagari untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan harta kekayaan
nagari ditetapkan, Pemerintah Nagari melakukan
konsultasi/koordinasi dengan KAN. Jadi yang bertindak mengatur dan
mengelola tanah ulayat nagari adalah Pemerintah Nagari, sedangkan
KAN merupakan mitra dari Pemerintah Nagari, yaitu sebatas lembaga
konsultasi/koordinasi. Berbeda dengan Perda No. 2 tahun 2007, Perda
No.6 tahun 2008 menyatakan bahwa penguasa dan pemilik tanah ulayat
nagari adalah Ninik Mamak KAN . Pengaturan dari dua Perda ini
saling tabrak dan bertolak belakang. Dalam rangka menjamin
eksistensi tanah ulayat, pemetaan tanah ulayat merupakan
keniscayaan. Penentuan batas-batas tanah ulayat tidak cukup hanya
berdasarkan peta ingatan dari penguasa-penguasa adat. Perlu
kejelasan siapa pemilik/penguasa tanah ulayat beserta dengan
batas-batas yang melingkupinya. Ketidakjelasan tersebut, cenderung
akan menjadi sumber konflik dan menjadi bom waktu yang siap meledak
di kemudian hari. Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan dalam
memetakan tanah ulayat. Pertama, tetap menempuh mekanisme
sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No. 5
tahun 1999. Kedua, mendaftarkan tanah ulayat kepada kepada Kantor
Pertanahan dengan cara membukukan bidang tanah ulayat dalam daftar
tanah sesuai dengan mekanisme pendaftaran tanah negara sebagaimana
diatur oleh Pasal 9 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997. Mengenai dua
tawaran solusi ini, Penulis lebih cenderung memilih tawaran yang
kedua. Karena, prosedurnya tidak rumit dan tidak memerlukan biaya
yang besar.. Banyak tulisan yang menggambarkan tentang seluk-beluk
konflik terkait dengan tanah terutama tanah ulayat, di antaranya
lihat Fauzi, Noer (Ed), Pembangunan Berbuah Sengketa, Kumpulan
Kasus-kasus Sengketa Pertanahan Sepanjang Orde Baru, Yayasan
Sintesa da Serikat Petani Sumatera Utara, Medan, 1998, Lounela, Anu
dan Zakaria, Yando (Ed), Berebut Tanah, Beberapa kajian
berperspektif kampus dan kampung, Kerjasama Insist, Jurnal
Antropologi Indonesia UI, Karsa, Yogyakarta, 2002, Bachriadi,
Dianto, Anton Lucas, Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan
Cimacan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, Araf, Al.,
dan Awan P., Perebutan Kuasa Tanah, Lappera Pustaka Utama,
Yogyakarta, 2002. dalam makalah Kurniawarman,Eksistensi tanah
ulayat
. HYPERLINK "http://www.bunghatta/FH/tanah"
www.Bunghatta/FH/tanah ulayat.com
. Sakali aie gadang sakali tapian baranjak, namun tapian di tapi
aie juo. Bahkan ajaran agama juga menuntun kita dengan pandangan
yang dinamis seperti itu. Allah SWT menciptakan manusia
berpasang-pasangan agar mereka saling berhubungan satu sama lain.
Dalam konteks interaksi sosial dan hubungan hukum antara manusia
yang satu dengan lainnya, Al Quran juga menyatakan bahwa Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Jadi fitrah manusia
memang hidup sebagai makhluk sosial yang senantiasa menjalin
hubungan kerjasama dengan orang atau kelompok manusia lainnya.
dalam makalah kurniawarman, eksistensi tanah ulayat
. Obviously complete autonomy and complete domination are rare,
if they exist at all in the world today, and semi-autonomy of
various kinds and degrees is an ordinary circumstance. Since the
law of sovereign states is hierarchical in form, no social field
within a modern policy could be absolutely autonomous from a legal
point of view. Lihat lebih jauh Moore, Sally Folk, Law as a
process, An anthropological approach, Routledge and Kegan Paul,
London, 1983, hal. 78.
23