Trombosis Vena DalamPendahuluan:Patogenesis trombosis pada
pembuluh darah (arteri dan vena) dapat diterangkan oleh teori
Virchow (1856), yaitu terdiri dari interaksi antara faktor trauma
pada dinding pembuluh darah (trauma pada endotel), faktor
abnormalitas aliran darah, dan faktor abnormalitas darah (gangguan
keseimbangan fungsi koagulasi dan fungsi fibrinolitik). Semua
faktor tersebut penting pada pembentukan trombosis pada vena,
walaupun sesungguhnya penyebab timbulnya trombosis vena dalam
ditentukan oleh multifaktor. Tidak dapat disangkal bahwa kebanyakan
pembentukan trombus vena berasal dari daerah dimana terdapat
pelambatan aliran darah. Trombus pada vena didasarkan atas aliran
darah vena yang relatif lambat, kaya eritrosit dan fibrin, dengan
sejumlah kecil trombosit, karenanya disebut trombus merah (red
thrombus). Bandingkanlah dengan trombus putih (white thrombus) yang
kaya trombosit yang biasanya terjadi pada lumen pembuluh arteri.
Proses terjadinya trombus diawali pada kantung-kantung katup atau
pada daerah vena yang menderita trauma.Trombosis vena dalam
dijumpai tersering didaerah vena cruris (vena daerah soleus),
kemudian berturut-turut pada V.Femoralis, V Iliaca communis dan
Vena cava inferior. Lebih sering terjadi pada tungkai kiri, yaitu
berhubungan dengan tekanan (kompresi) pada V.Iliaca communis kiri
oleh A. Iliaca communis kanan (disebut sindroma
May-Thurner).Sekitar 80% kasus trombus menetap (tidak mengalami
propagasi atau tidak merambat ke proksimal) pada daerah cruris
(trombosis vena dalam bagian distal) . Sedangkan pada 20% kasus
trombus merambat (propagation) ke V.Poplitea, V.Femoralis, sampai
V.Iliaca (trombosis vena dalam bagian proksimal). Bila tidak
diobati pada 10-20% kasus trombosis proksimal tersebut akan
mengalami emboli paru-paru.Phlegmasia adalah keadaan trombosis vena
iliaka-femoralis yang luas, ditandai pembengkakan (pembengkakan
akibat gangguan aliran vena dan limfe) ekstremitas inferior, dan
stasis pada vena-dalam tersebut dapat menimbulkan gangguan aliran
arteri sehingga terjadi tanda-tanda iskhemia pada kaki. Phlegmasia
alba dolens, adalah keadaan yang lebih ringan , yaitu tidak terjadi
iskhemia, fungsi saraf masih normal. Bila tidak segera ditangani
dapat timbul gangren kaki yang merambat ke proksimal. Phlegmasia
cerulea dolens, adalah keadaan phlegmasia yang lebih berat ,
ditandai ekstremitas berwarna biru, bengkak, petechiae, bullae,
insufisiensi arteri (iskemia), gangguan saraf sensoris dan motoris
pada bagian distal.
Faktor risiko:Usia diatas 40 tahun. Varises tungkaiKehamilan
atau kadar estrogen tinggi. Penyakit mieloproliferatif.Obesitas
atau immobilitas lama. Hiperlipidemi.Penyakit jantung. Diabetes
mellitusKeganasan. Sindroma hemolitik-uremik.Trauma. Purpura
thrombotik-thrombositopeni.Sepsis. Antikoagulan
lupus.Hypercoagulable state. HomosistinuriaPernah trombosis vena
dalam atau emboli paru. Sindroma Cushing.Cryofibrinogenemia Colitis
ulcerativa.Sindroma Behcet.
Pemeriksaan klinis : Pemeriksaan fisik:Pada pemerisaan fisik
sering tidak ditemukan tanda-tanda klinis. Tanda klinis yang
pertama kali muncul adalah nyeri (50% kasus). Pembengkakan terjadi
distal dari letak anatomis oklusi total vena dalam, timbul dalam
beberapa jam setelah oklusi total .Phlegmasia alba dolens: palpasi
denyut arteri kaki dan fungsi saraf sensoris dan motoris masih
normal, ekstremitas bengkak dan berwarna pucat.Phlegmasia cerulea
dolens: ekstremitas bengkak dan berwarna biru, sering dijumpai
petechiae dan bullae, perabaan nadi dan fungsi saraf mungkin masih
normal pada awalnya tetapi akhirnya cenderung menurun dan
menghilang dimulai pada kaki. Bila oklusi vena dalam menetap, akan
terjadi tanda-tanda gangguan aliran darah pada arteri berupa
iskhemia, nekrosis dan gangren. Pemeriksaan radiologis:1. Ascending
venografi (invasif) merupakan gold standard untuk diagnosis
thrombosis vena dalam, walaupun membutuhkan fasilitas peralatan dan
teknik pemeriksaan, dan timbulnya komplikasi (nyeri, ekstravasasi
zat kontras, dan thrombosis). Oleh karena alasan tersebut maka
untuk keperluan diagnosis saat ini berpindah pada penggunaan
peralatan yang non-invasif.2. Impedance plethysmography:Jenis
pemeriksaan ini tergolong non-invasif, indirek, mengukur perubahan
volume tungkai, untuk mengukur thrombus pada popliteal atau arteri
proksimal, bila dibandingkan dengan ascending venografphy, memiliki
spesifisitas 88%, sensitivity 92%, tetapi tidak akurat untuk
mendeteksi bekuan darah dibagian distal tungkai (vena betis).3.
Doppler ultrasonografi:Walaupun teknik gelombang kontinyu
(continuous-wave) ultrasonografi ini merupakan cara termudah,
murah, non-invasif, dan dibandingkan dengan ascending venography
memiliki specificity 88%, sensitivity 83%, tenik ini tidak baik
untuk evaluasi trombosis yang berulang/rekuren karena tidak dapat
membedakan trombosis lama dengan yang baru pada sindroma
postrombotik.4. Duplex scanning: Teknik B-mode ultrasonografi ini
mampu melihat aliran, gerakan katup, adanya bekuan darah/thrombus,
membedakan bekuan lama atau baru, perubahan dinding pada sistim
vena. Duplex scanning , adalah kombinasi dari real-time dan Doppler
ultrasonografi, memiliki angka spesifisitas 86-95%, sensitifitas
88-98% dalam mendeteksi trombosis vena dalam. Walaupun demikian
harus diingat hasil pemeriksaan Dupplex scanning tergantung
operatornya (operator dependent, hasil pemeriksaan seorang operator
ahli dapat berbeda dengan hasil operator ahli lainnya).
Sindroma hiperkoagulabilitas:Kongenital: Didapat:Defisiensi
antitrombin III Sindroma antifosfolipid Defisiensi Protein
C&S.Defisiensi Protein C. Keganasan. Defisiensi antithrombin
III.Defisiensi Protein S. Sepsis. Trauma/trauma panas.Defisiensi
heparin cofactor II. Kehamilan/estrogen. Trauma operasi
besar.Plasminogen abnormal. Diabetes.Fibrinogen abnormal.
Vaskulitides. Homosistinuria. Penyakit
mieloproliferatif.Hiperlipidemia. Heparin-induced thrombocytopenia.
Terapi :Medikal:Heparin:Diberikan 5000-20.000 U (100-200 U/kgbb.)
bolus intravena, diikuti infus intravena secara kontinyu 600-2000 U
heparin per jam selama 4-6 hari. Dosis heparin dipertahankan sesuai
dengan hasil pemeriksaan aPTT (activated thromboplastin time)
minimal 1,5 X harga/nilai kontrol untuk mencegah thromboembolisme
rekuren. Heparin dihentikan setelah prothrombin time minimal 1,5 X
harga/nilai kontrol. Warfarin oral (induksi 10-15mg selama 2-3 hari
sesuai hasil pemeriksaan prothrombin time, kemudian dosis
dipertahankan 2-10mg perhari; pemberian warfarin dimulai pada hari
ke23 pengobatan heparin) dilanjutkan sampai 3-6 bulan lamanya, atau
dapat sebagai alternatif adalah penyuntikkan diri sendiri dengan
heparin 5000 U (1 cc) subkutan sekali sehari selama 3-6 bulan. Bila
cara pengobatan dilakukan dengan cara tersebut maka kemungkinan
trombosis rekuren hanya sekitar kurang dari 5%. Walaupun demikian
terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa lebih dari 80% pasien
trombosis vena dalam yang diobati dengan heparin menderita ulkus
stasis dalam waktu 4 -7 tahun kemudian. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa heparin dapat mengurangi thrombosis rekuren
tetapi tidak dapat mencegah kerusakkan dinding dan katup vena yang
akan menimbulkan morbiditas pada jangka panjang. Komplikasi
pemberian heparin adalah perdarahan dan trombositopeni. Periksalah
jumlah sel trombosit sebelum pemberian heparin. Perdarahan terjadi
bila aPTT (activated partial thromboplastin time) lebih dari 2-3
kali nilai kontrol untuk beberapa jam lamanya, tetapi perdarahan
lebih sering terjadi bila terdapat penyakit yang mendasarinya
seperti uremia, trombositopeni. Pada usia lanjut, terutama
perempuan, mempunyai risiko lebih besar terjadi perdarahan.
Sindroma trombositopeni yang terjadi akibat pemberian heparin,
yaitu disebut Heparin-induced thrombocytopenia syndrome, bila
ditemukan jumlah thrombosit darah 0,3 ; 2)tidak dijumpai gangguan
neropati ;3)ulkus superfisial atau gangren kulit berukuran kecil
yang terbatas pada sebuah jari; 4) tidak dijumpai infeksi jaringan
yang luas dan dalam. Mengingat keterbatasan indikasi tersebut pada
masa kini tindakan simpatektomi lumbal selain sangat selektif, juga
sudah jarang dikerjakan. Belakangan ini teknik simpatektomi atau
blok ganglion saraf simpatik mulai diperkenalkan menggunakan teknik
laparoskopi/endoskopi (minimally invasive surgery) dengan
menggunakan injeksi alkohol absolut. Bandingkanlah tindakan
simpatektomi tersebut dengan pemberian obat vasodilator
Prostaglandin-E1, yang diberikan melalui intravena, yang telah
terbukti menimbulkan vasodilatasi arteri pada jaringan otot dan
kulit yang berlangsung selama 6 bulan (Gruss 1996) bila diberikan
dengan dosis sekali sehari selama tiga minggu berturut-turut.
Setelah pemberian PGE1 intravena, dapat dilanjutkan dengan tablet
Cilostazol selama 3-6 bulan terus menerus untuk mempertahankan
perfusi jaringan yang sudah terjadi, atau diberikan dalam waktu
yang bersamaan dengan Prostaglandin-E1 karena efeknya yang saling
menunjang (sinergis). Protese tungkai bawah dapat digunakan setelah
4 - 8 minggu pasca amputasi setelah luka sembuh, didahului latihan
menggunakan protese, dengan bekerja sama dengan Bagian Rehabilitasi
Medik . Perawatan luka iskemik di ruang rawat-inap: tidak boleh
melakukan pembersihan luka atau nekrotomi, karena akan menimbulkan
nyeri pada waktu dilakukan manipulasi pada luka walaupun telah
diberikan analgetika sebelumnya. Harus diingat bahwa penderita
dengan luka iskemik (klasifikasi Fountaine derajat IV), akan
mengalami kesulitan tidur akibat nyeri yang amat sangat yang akan
dialaminya terus-menerus selama belum ada perbaikan perfusi
jaringan iskemik. Luka iskemik tersebut cukup dilapisi salep
antibakteri yang tidak merangsang (tidak nyeri) dan ditutup dengan
kasa steril. Manipulasi pada luka iskemik akan menimbulkan nyeri
yang traumatis pada penderitanya, sehingga menimbulkan rasa takut
setiap akan mengganti kasa pembalut.
Gangren digiti
Gambar 3.2. Lesi gangren jari ke-2 sampai dengan jari ke-5 pada
kaki kiri seorang penderita penyakit Buerger.
3.4.Tirotoksikosis pada penderita thromboangiitis
obliterans.Beberapa penderita penyakit Buerger di RSU Dr. Hasan
Sadikin ditemukan dengan tanda-tanda tirotoksikosis (pembesaran
kelenjar, kadar TSH yang lebih rendahdari normal, T3 dan T4 yang
meninggi). Penelitian mengenai pengaruh kebiasaan merokok terhadap
fungsi kelenjar tiroid dan prevalensi penyakit tiroid telah
dilakukan pada 2 kelompok kohort, terdiri dari lelaki dan perempuan
di Swedia. Peserta yang diteliti terdiri dari 1555 orang perokok,
1048 orang yang pernah perokok (ex-smokers), 1497 orang bukan
perokok (non-smokers). Hasilnya menunjukkan konsentrasi TSH serum
yang rendah pada kelompok perokok, yang secara statistik nyata
dibandingkan dengan konsentrasi TSH kelompok ex-smoker (p=0,05) dan
non-smoker (p=0,001), tetapi tidak menunjukkan perbedaan nyata pada
nilai konsentrasi T3 serum. Prevalensi non-toxic goitre dan toxic
diffuse goitre meninggi secara nyata (p=0.005) pada kelompok
perokok perempuan dibandingkan kelompok perempuan bukan perokok
(p=0,04). Peneliti menyatakan hipotesanya bahwa peninggian
aktivitas simpatis pada perokok dapat merangsang pembentukkan
tirotoksikosis pada individu yang telah memiliki predisposisi.
Selain itu gangguan imunologik akibat merokok merupakan kemungkinan
lainnya (Ericsson,Lindgrde 1991). Mekanisme kejadian tersebut
secara skematik dapat dilihat pada Bagan 1.1 dibawah ini.
Bagan 3.1:Kebiasaan merokok (khususnya perokok berat)
meningkatkan aktivitas simpatis dan mengganggu sistim immunitas
khususnya pada pasien yang memiliki predisposisi genetik.
Akan muncul Immunoglobulin-G yaitu Long Acting Thyroid
Stimulator (LATS) yang merangsang hiperplasia kelenjar tiroid dan
tirotoksikosis Tirotoksikosis menimbulkan rangsang
simpatis/adrenergik yang selanjutnya akan menimbulkan
vasokonstriksi arteri sehingga memperberat
iskhemia.Rangsangsimpatis . Vasokonstriksi arteri kecil dan medium
akan menimbulkan gangguan perfusi, iskhemia, rest pain , nekrosis,
dan gangren.
Luka iskhemik tersebut menimbulkan gangguan sukar tidur akibat
nyeri (rest pain) sehingga merupakan ketegangan (stress) yang
memperberat gangguan metabolisme tubuh, dan dalam jangka panjang
dapat menurunkan daya tahan tubuh serta memudahkan terjadi infeksi
berat (sepsis).
Tindakan operasi yang dilakukan dalam keadaan struma toksis
dapat menimbulkan serangan krisis tiroid. Mortalitas thyroid crisis
adalah sekitar 10-20% (terutama pada penyakit Graves), tetapi
dengan perawatan yang adekwat mortalitas tirotoksikosis pada saat
ini telah mampu dicegah atau ditekan serendah mungkin. Tanda-tanda
serangan tirotoksikosis: demam tinggi dapat cepat mencapai 39
derajat Celsius, keringat yang banyak, mual-mual dan muntah-muntah,
nyeri perut, delirium, apatis, stupor, coma, dehidrasi, tahikardia,
kegagalan fungsi jantung, hipotensi. Penemuan tanda-tanda krisis
tidak boleh menunggu penegasan dari hasil fungsi tiroid ( Kim
Lyerly, 1990).
Kaki DiabetesPendahuluan:Infeksi pada kaki penderita diabetes
merupakan penyebab morbiditas terpenting yang sering dijumpai di
klinik-klinik umum dan merupakan indikasi untuk rawat-inap, karena
penyembuhan luka tergantung pada perbaikan kadar sakar darahnya.
Kaki adalah bagian tubuh yang tersering terkena trauma (seperti
terantuk benda keras, terinjak benda tajam). Pada penderita
diabetes trauma tersebut dapat disusul terjadinya luka dan
menimbulkan komplikasi infeksi sulit sembuh, sehingga membutuhkan
perawatan yang lama. Infeksi luka pada kaki penderita diabetes
mellitus disebut sebagai kaki diabetes. Hasil penelitian
retrospektif selama setahun (2001) menunjukkan angka jumlah
penderita kaki diabetes yang dirawat inap di RSU Dr.Hasan Sadikin
adalah sebanyak 66 orang atau 44,2% dari seluruh penderita diabetes
mellitus yang dirawat inap (Nurul 2002). Sering luka pada kaki
menjadi sulit sembuh dan bahkan akhirnya harus dilakukan tindakan
operasi memotong (amputasi) bagian dari jari, kaki atau tungkai
penderita, akibat dari kerusakan jaringan yang tidak dapat
diselamatkan dan membahayakan nyawa penderita oleh adanya bakteri
patogen dalam darah (sepsis) yang berasal dari infeksi kaki
diabetes. Penderita diabetes memiliki risiko menderita ulkus yang
terinfeksi jauh lebih tinggi dibandingkan pada penderita
non-diabetes, dan diabetes merupakan penyebab dari 50% kasus
amputasi kaki pada kelompok kasus non-trauma. Lebih dari 2/3 bagian
dari seluruh kasus amputasi disebabkan oleh penyakit kaki diabetes
(LoGerfo,1995).
Ciri diagnosis: Tanda-tanda diabetes mellitus. Infeksi pada
ulkus pada kaki yang sukar sembuh. Tanda-tanda iskhemi dan
neropati.
Patogenesis:Akibat peninggian abnormal kadar gula darah yang
khronik akan terjadi proses non-ensimatik glikosilasi
(non-enzymatic glycosylation atau glycation, yaitu penggabungan
glukosa dengan protein dalam lingkungan kadar glukosa yang tinggi
tanpa bantuan ensim) protein dalam bentuk advanced glycation end
products (AGE). Proses tersebut akan menghasilkan radikal bebas
yang selanjutnya akan menimbulkan dampak pada percepatan
aterosklerosis (makroangiopati) dan mikroangiopati yang merupakan
perubahan-perubahan patologis yang biasa ditemukan pada penderita
penyakit diabetes mellitus yang menimbulkan gangguan fungsi
(disfungsi) sel endotel pembuluh darah (LoGerfo,1995; Bouskela,
Bottino, Tavares 2003). Kecepatan pembentukan radikal bebas sangat
tergantung pada kecepatan terjadinya proses glikosilasi protein.
(Jennings and Belch 2000)Terdapat 3 gejala patologis yang bekerja
saling berinteraksi bersama secara kompleks dan jarang sekali
muncul sendirian, yaitu : (1) neuropati, (2) infeksi, (3) iskhemia.
Penyebab dari iskemia pada kaki diabetik adalah oklusi arteri
akibat gangguan aterosklerosis. Proses terjadinya gangguan
aterosklerosis lebih cepat dan lebih berat pada penderita diabetes
dibandingkan dengan penderita aterosklerosis non-diabetes. Infark
miokardium yang disebabkan aterosklerosis pada arteri Coronaria
merupakan penyebab kematian yang tersering. Gangren pada kaki lebih
sering timbul hampir 100 kali dibandingkan pada populasi penderita
non-diabetes. Dijumpai peningkatan adesi trombosit kepada lapisan
endotel pembuluh arteri, yang mungkin disebabkan oleh peningkatan
sintesa tromboxan-A2 dan penurunan produksi prostasiklin
(prostacycline). Selain bahwa hipertensi, yang sering dijumpai pada
penderita diabetes, merupakan faktor risiko aterosklerosis. Semua
jenis ukuran arteri akan dikenai oleh proses aterosklerosis
tersebut. Lokasi anatomik oklusi arteri pada diabetes menurut hasil
penelitian prospektif dari Strandness dan Conrad adalah biasanya
menyangkut arteri bagian distal dari arteri Poplitea dan arteri
Tibialis. Selain itu hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa
walaupun sering dijumpai oklusi pada arteri Tibialis dan arteri
Peroneus , tetapi lebih jarang dijumpai oklusi arteri pada kaki
terutama arteri dorsalis pedis sebagai outflow (atau disebut distal
run-off , yaitu pembuluh darah yang menerima aliran darah dari
protesa pembuluh) untuk operasi bedah pintas (by pass) .
Hasil-hasil tersebut diperkuat oleh hasil penelitian arteriografi
dari Menzoian pada tahun 1989. Pada penderita diabetes, terutama
yang bukan perokok sering dijumpai arteri Femoralis superfisialis
atau arteri Poplitea yang tidak tersumbat, sehingga arteri tersebut
dapat digunakan sebagai inflow (arteri proksimal) yang mengalirkan
darah ke distal (outflow) melalui pembuluh darah pengganti (graft,
dapat berupa vena Saphena magna atau sejenisnya atau pembuluh darah
buatan) pada tindakan operasi rekonstruksi arteri. Pada percabangan
arteri Tibialis, termasuk pembuluh arteri arkus pedis dan
metatarsal, umumnya dijumpai peningkatan kalsifikasi disekitar
lamina elastika interna, tetapi keadaan ini seringkali tidak
menimbulkan oklusi (LoGerfo,1995).
Mikrosirkulasi:Hasil penelitian prospektif dengan menggunakan
mikroskop elektron, pengukuran tahanan pembuluh kapilar (vascular
resistance), dan pengukuran menggunakan alat pletismograf
(plethysmograph, alat yang dapat mengukur perubahan volume suatu
organ), ternyata tidak dijumpai adanya proses oklusi pada arteriola
atau kapilar. Pengertian adanya oklusi ditingkat mikrosirkulasi
pada penderita diabetes akan berdampak menurunkan usaha untuk
melakukan tindakan rekonstruksi arteri. Mikroangiopati pada
penderita diabetes mellitus adalah adanya penebalan yang difus pada
membrana basalis pembuluh kapilar yang antara lain ditemukan pada
kapilar kulit, kapilar otot skelet, kapilar retina dan kapilar
glomeruli dan medula ginjal. Tetapi penebalan tersebut tidak
menimbulkan penyempitan (stenosis) lumen. Walaupun terjadi
penebalan membrana basalis, kapilar penderita diabetes lebih mudah
mengalami kebocoran albumin plasma, meski tidak terbukti kebocoran
protein plasma tersebut mengakibatkan gangguan nutrisi. Penebalan
membrana basalis tersebut tampak dibawah mikroskop dengan ditandai
oleh penebalan lapisan hialin. Gangguan pengangkutan oksigen
barulah terjadi bila terdapat pertumbuhan hipertrofi lapisan sel
endotel yang akan menimbulkan penyempitan lumen arteri sehingga
menghambat aliran darah ke distal(Crawford dan Cotran 1999).
Neropati:Komplikasi tersering adalah polineropati pada sistim
persarafan otonom dan somatis. Adanya gangguan persarafan otonom
akan menimbulkan aliran darah melalui hubungan langsung antara
arteriola dan venula (arterio-venous shunt atau hubungan pendek
dari arteriola ke venula menyebabkan aliran darah tidak memasuki
kapilar), mengakibatkan gangguan perfusi jaringan menjadi tidak
efisien.Neropati dapat terjadi bersama-sama dengan iskhemi.
Tindakan operasi rekonstruksi arteri yang tersumbat harus dilakukan
untuk memperbaiki perfusi jaringan bagian distal yang mengalami
iskhemi, walaupun mungkin tidak dapat memperbaiki neropati yang
sudah terjadi (kerusakan sel saraf tepi yang permanen), tetapi
dapat membantu memberikan kesembuhan pada jaringan yang iskhemik.
Penyebab kerusakan persarafan tepi diduga disebabkan oleh
penyumbatan (oklusi) vasa vasorum yang mengurus serabut saraf,
sehingga dapat mengganggu saraf sensorik (sensorik lebih dahulu
menderita gangguan) maupun motorik. Pada serabut saraf tepi yang
terganggu akan terjadi keadaan bahwa semakin kearah distal tungkai
semakin berat kerusakannya, yaitu berupa proses demielinisasi
segmental yang terjadi akibat terganggunya metabolisme sel Schwann.
Keadaan tersebut menimbulkan melambatnya kecepatan konduksi pada
saraf. Gangguan neropati yang terjadi biasanya berkembang lambat
dengan diawali gejala kejang otot pada malam hari dan parestesia,
kemudian berlanjut dengan gangguan sensasi getar, gangguan persepsi
perabaan halus dan nyeri, dan akhirnya kehilangan refleks tendon.
Keadaan tersebut akan menimbulkan kelemahan mekanisme pertahanan
tubuh, yaitu menghilangnya reaksi terhadap rangsang nyeri, trauma
tekanan dan trauma minor lainnya. Sehingga karena tubuh tidak
mengenal rangsang dari trauma tersebut akan memudahkan timbulnya
ulkus dan infeksi tanpa disadari penderita. Neropati motorik akan
menimbulkan gangguan fungsi otot-otot intrinsik kaki, selanjutnya
akan melemahkan reaksi terhadap rangsang tekanan pada telapak kaki,
sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan fungsi fleksi metatarsal
(claw position, yaitu akibat dari persendian tulang-tulang kecil
pada kaki yang menjadi kaku dan otot-otot kaki yang mengecil dan
berkerut, sehingga telapak kaki menjadi melengkung) dan fungsi
fleksi dan ekstensi jari kaki menjadi kaku, sehingga memudahkan
timbul ulkus. Pada tingkat lebih lanjut, akan terjadi kegagalan
fungsi sendi antara tulang metatarsalia dan tarsalia, akhirnya
menimbulkan kerusakan tulang pergelangan kaki (ankle) yang terjadi
tanpa luka. Kondisi kaki tersebut dinamai sebagai kaki Charcot
(Charcot osteoarthropathy).
Penemuan klinis:Infeksi jaringan lunak.Bakteri yang berkembang
pada infeksi kaki diabetes sering bersifat polimikrobial. Seperti
yang telah dijelaskan dimuka bahwa trauma yang terjadi tidak
menimbulkan rasa nyeri, karena kehilangan refleks nyeri, reaksi
inflamasi (nyeri, eritema, indurasi, pembengkakan) menjadi tumpul,
akibat proses neropati. Akibat infeksi yang terlambat ditangani
akan menimbulkan kerusakan jaringan yang berat, sehingga sering
harus dilakukan amputasi jari kaki. Kultur bakteri yang berasal
dari cairan nanah pada luka infeksi harus dilakukan disertai
pemeriksaan kepekaan bakteri terhadap antibiotika. Sebelum
dilakukan kultur, antibiotika yang berspektrum luas harus diberikan
sejak awal, dan selanjutnya berdasarkan hasil kultur dan tes
resistensi.
Osteomielitis.Penderita diabetes mellitus terancam infeksi
tulang oleh bakteri yang masuk melalui luka pada kulit atau ulkus.
Infeksi pada tulang dapat diawali oleh infeksi pada permukaan
kartilago sendi yang avaskular atau pada tulang-tulang sesamoid.
Diagnosis osteomielitis dilakukan dengan foto sinar X.
Iskhemi.Nekrosis kulit terjadi akibat penurunan perfusi jaringan
yang bersifat lokal maupun sistemis akibat trauma tekanan (claw
foot) sebagai konsekwensi dari gangguan sensibilitas dan
berkurangnya reaksi aktivitas bakterisidal lekosit terhadap
inflamasi akibat peninggian kadar gula darah, mikrosirkulasi yang
terganggu pada daerah tekanan. Keadaan tersebut memperburuk daya
pertahanan tubuh penderita kaki diabetes. Pada daerah yang tidak
mengalami neropati tekanan oksigen (transcutaneous PO2 diperiksa
dengan cara menempelkan transducer khusus pada permukaan kulit )
pada kapilar kulit lebih tinggi pada penderita diabetes mellitus
dibandingkan dengan penderita non-diabetes.Ulkus yang letaknya
superfisial pada penderita kaki diabetes akan sembuh bila tekanan
O2 kapilar paling sedikit sama dengan orang non-diabetes.
Sebaliknya pada ulkus yang dalam dan mencapai tulang disertai
infeksi, biasanya keadaan mekanisme pertahanan tubuhnya rendah,
membutuhkan perbaikkan perfusi jaringan melalui operasi
rekonstruksi arteri untuk penyembuhannya.
Klasifikasi diagnosis tingkat kedalaman luka pada kaki
diabetes:
Tabel 9.1. Klasifikasi Wagner untuk kaki
diabetes.DerajatLukaAbsesSelulitisosteomielitisgangren
012
345-Permukaan.Dalam: mencapai tendo atau tulang.
DalamDalamGangren---
++ atau + atau ----
+ atau + atau + atau ----
+ atau + atau + atau ----
_Jari kaki.Seluruh kaki.
Terapi:Perfusi jaringan perlu diperbaiki melalui tindakan
operasi rekonstruksi arteri. Seringkali dilakukan operasi bedah
pintas dengan menggunakan vena Saphena magna (berasal dari tungkai
sisi lainnya yang tidak menderita infeksi) yang menghubungkan
antara arteri Femoralis superfisialis (sebagai inflow) ke segmen
arteri Poplitea (berlaku sebagai outflow atau distal run-off), atau
dapat pula ke arteri Tibialis atau ke arteri Dorsum pedis sesuai
dengan data hasil pemeriksaan arteriografi. Perbaikan perfusi
jaringan dapat memperbaiki nyeri menetap pada waktu istirahat (rest
pain), menyembuhkan ulkus superfisialis yang belum kerusakan pada
tulang, sendi atau tendon. Penelitian menunjukkan bahwa hasil bedah
pintas ke arteri dorsalis pedis (femoro-dorsalis pedis by pass)
memiliki angka keberhasilan (patency and limb salvage rate) yang
sama dengan bila disambungkan ke arteri Poplitea atau ke arteri
Tibialis (femoro-poplitea atau femoro-tibialis by pass). Angka
keberhasilan operasi rekonstruksi arteri dan angka mortalitas pada
penderita diabetes adalah sama atau dapat lebih baik dibandingkan
pada penderita non-diabetes.
ORGANISASI SISWA INTRA SEKOLAH
SMU NEGERI 8 BANDUNG
Jalan Solontongan No.3 Buahbatu
No:
23 Juli 2002
Hal: Undangan
Kepada
Yth.
di Tempat
Dengan Hormat,
Sehubungan dengan telah terlaksananya kegiatan Pentas Seni &
Kreasi MULTIDIMENSI 8 pada tanggal 6 April 2002, maka kami panitia
bermaksud untuk mengadakan rapat evaluasi yang akan diadakan pada
:
Hari / Tanggal: Rabu, 24 Juli 2002
Waktu
: 09.00 selesai
Tempat
: R. Media
SMU Negeri 8 Bandung
Kehadiran bapak/ ibu sangat kami harapkan demi kelancaran rapat
ini.
Atas perhatian bapak/ ibu kami ucapkan terimakasih.