20
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Ketergantungan Obat
2.1.1 Pengertian
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa ke-3 (PPDGJ
III) untuk menegakkan diagnosis ketergantungan zat mutlak
diperlukan bukti adanya penggunaan dan kebutuhan yang
terus-menerus. Terdapatnya gejala abstinensi bukan satu-satunya
bukti dan juga tidak selalu ada, misalnya pada penghentian
pemakaian kokain dan ganja (mariyuana). Obat yang diberikan oleh
dokter tidak termasuk dalam pengertian ini, selama penggunaan obat
tersebut berindikasi medis (Maslim, 2001; Maramis dan Maramis,
2009).
Istilah ketergantungan zat mempunyai arti yang lebih luas
daripada istilah ketagihan atau adiksi obat. Ketagihan zat
merupakan suatu keadaan keracunan yang periodik atau menahun.
Ketagihan zat akan merugikan individu itu sendiri dan masyarakat.
Ketagihan zat disebabkan oleh penggunaan suatu zat (asli atau
sintetik) yang berulang-ulang dengan ciri-ciri, yaitu adanya
(Maramis dan Maramis, 2009):
a. Keinginan atau kebutuhan yang luar biasa untuk meneruskan
penggunaan obat itu dan usaha mendapatkannya dengan segala cara
b. Kecenderungan menaikkan dosis
c. Ketergantungan psikologis (emosional) dan kadang-kadang juga
ketergantungan fisik pada zat itu.
2.1.2 Terminologi
Perlu didefinisikan beberapa istilah yang dipakai berhubungan
dengan ketergantungan obat, yaitu (Departemen Kesehatan RI, 2014;
Joewana, 2004; Maramis dan Maramis, 2009):
a. Narkotik menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotik,
didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
tertentu
b. Psikotropika menurut UU No. 5 Tahun 1997 tentang
psikotropika, dapat didefinisikan sebagai zat atau obat, baik
alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat dan menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku
c. Zat psikoaktif merupakan zat yang bekerja pada susunan saraf
pusat secara selektif, sehingga dapat menimbulkan perubahan pada
pikiran, perasaan, perilaku, persepsi, maupun kesadaran
d. Penyalah-manfaatan (misuse) obat merupakan pemakaian obat
berlebihan oleh dokter untuk pasiennya, atau pun oleh orang lain
untuk mengobati diri sendiri
e. Penyalah-gunaan (abuse) obat merupakan pemakaian obat oleh
seseorang yang dipilihnya sendiri bukan untuk tujuan kedokteran
f. Ketergantungan psikologis berarti terdapat kebutuhan untuk
memakai suatu zat berulang-ulang, tanpa mempedulikan akibatnya
g. Kepembiasaan (habituation) berarti tergantung pada suatu zat
tanpa timbulnya gejala-gejala fisik bila zat itu dihentikan
h. Ketagihan atau adiksi berarti tergantung pada suatu obat
dengan gejala-gejala seperti dalam definisi yang ada di atas
i. Ketergantungan fisik menunjuk hanya pada keadaan lepas obat
dengan gejala-gejala fisik
j. Sindrom lepas obat (abstinensi) merupakan gejala-gejala
psikologis atau fisik, yang timbul bila zat yang telah terjadi
ketergantungan padanya, dihentikan. Gejala-gejala itu dinamakan
gejala lepas zat (abstinensi)
k. Toleransi merupakan berkurangnya efek dengan dosis yang sama
sesudah pemakaian berkali-kali, dosis perlu dinaikkan sesudah
beberapa waktu untuk mencapai efek yang dikehendaki.
2.1.3 Istilah Gaul
Para pengguna zat psikoaktif merupakan suatu subkultur yang
biasanya mempunyai bahasa gaul tersendiri. Bahasa gaul ini bisa
berbeda untuk setiap daerah dan senantiasa mengalami perubahan,
artinya yang lama sudah tidak digunakan lagi, sebaliknya muncul
istilah gaul yang baru. Berikut ini beberapa istilah gaul yang umum
dan masih sering terdengar, agar petugas kesehatan lebih mudah
dalam membina pasien (Departemen Kesehatan RI, 2014):
a. Acid: LSD, zat golongan halusinogen
b. Amper: amplop
c. Bokul: beli
d. Cimeng, gele, budha stick : ganja, kanabis
e. Cucau: menggunakan putau dengan cara menyuntik ke dalam
pembuluh a darah balik (intravena)
f. Ekstasi (ectasy), XTC : MDMA
g. Elsid: pelafalan Slank dari LSD
h. Etep: heroin dalam peredaran ilegal, isinya tidak murni
heroin; menurut: menurut Slank, putau/w yang disingkat PT, ditulis
sesuai pelafalan : pelafalan pete, lalu dibaca dari belakang
i. Gau: gram (satuan berat, khusunya putau)
j. Giting, mabok, beler: intoksikasi
k. Insul, spidol: alat suntik, spuit, syringe
l. Linting: ukuran jumlah, untuk ganja
m. Ngedrag: menggunakan putau dengan cara inhalasi asap putau
yang dibakar: dibakar
n. Ngelem: mengkonsumsi inhalansia, seperti lem dan bensin
o. Ngive: menggunakan putau dengan cara menyuntik ke dalam
pembuluh a darah balik (intravena)
p. Ngubas: mengkonsumsi sabu-sabu (metamfetamin)
q. Nyabu: mengkonsumsi sabu-sabu (metamfetamin)
r. Nyepet: menggunakan putau dengan cara menyuntik ke dalam
pembuluh a darah balik (intravena)
s. Pakau/w: singkatan dari pakai putau/w, istilah sedang
mengkonsumsi putau: putau
t. Paket: satuan jumlah putau
u. Parno: paranoid, salah satu gejala intoksikasi
metamfetamin
v. Pedau/w: intoksikasi putau/w
w. Pil anjing, gedek, atau koplo : MDMA, zat golongan
halusinogen
x. PT, pete: menurut Slank, putau/w yang disingkat PT, ditulis
sesuai pelafalan : pelafalan pete, lalu dibaca dari belakang
y. Putau/w: heroin dalam peredaran ilegal, isinya tidak murni
heroin
z. Riv, rivotril: clonazepam, obat golongan benzodiazepine
aa. Sabu-sabu: metamfetamin
ab. Sakau/w: sinkatan dari sakit karena putau/w, sindrom putus
opioid
ac. Seperempi: seperempat (gau)
ad. Setengki: setengah (gau)
ae. Syut: isapan (satu syut = satu isapan)
af. Ubas: metamfetamin, menurut Slank, sabu (dibaca dari
belakang)
2.1.4 Klasifikasi Zat
Dalam PPDGJ III atau ICD 10, zat psikoaktif dapat dikelompokkan
sebagai berikut (Departemen Kesehatan RI, 2014):
a. Alkohol, yaitu semua minuman yang mengandung etanol seperti
bir, wiski, vodka, brem, tuak, saguer, ciu, arak
b. Opioid, termasuk di dalamnya adalah candu, morfin, heroin,
petidin, kodein, metadon
c. Kanabinoid, yaitu ganja atau marihuana, hashish
d. Sedatif dan hipnotik, misalnya nitrazepam, clonazepam,
bromazepam
e. Kokain, yang terdapa dalam daun koka, pasta kokain, bubuk
kokain
f. Stimulan lain, termasuk kafein, metamfetamin, MDMA
g. Halusinogen, misalnya LSD, meskalin, psilosin, psilosibin
h. Tembakau yang mengandung zat psikoaktif nikotin
i. Inhalansia atau bahan pelarut yang mudah menguap, misalnya
minyak cat, lem, aseton.
Menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotik, penggolongan
narkotik dapat dibedakan menjadi 3 golongan, tanpa memperhatikan
struktur molekul maupun khasiat farmakologinya, yaitu (Departemen
Kesehatan RI, 2009; Maramis et al., 2014):
a. Golongan I
Golongan ini dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotik golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium
setelah mendapatkan persetujan menteri atas rekomendasi Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan. Termasuk narkotik golongan I
adalah opium, heroin, kokain, ganja, metakualon, metamfetamin,
amfetamin, MDMA, STP, fensiklidin.
b. Golongan II
Golongan ini berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan dan
digunakan dalam pengobatan sebagai pilihan terakhir. Termasuk dalam
narkotik golongan II adalah morin, petidin, metadon.
c. Golongan III
Golongan ini berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan dan
digunakan dalam terapi. Termasuk narkotik golongan III adalah
kodein, bufrenorfin.
Sedangkan penggolongan psikotropika dapat dibagi menjadi 5
golongan, yaitu (Maramis et al., 2014):
a. Golongan I (Halusinogen)
Golongan ini ditujukan hanya untuk pengetahuan, bukan untuk
terapi. Termasuk psikotropika golongan I adalah MDMA, ekstasi,
LSD.
b. Golongan II (Stimulansia)
Golongan ini dapat digunakan sebagai terapi, tetapi golongan ini
berpotensi kuat menimbulkan ketergantungan. Termasuk psikotropika
golongan II adalah amphetamin, metilpenidat.
c. Golongan III (Sedatif)
Golongan ini dapat digunakan sebagai terapi, golongan ini
berpotensi sedang dalam menimbulkan ketergantungan. Termasuk
psikotropika golongan III adalah phenobarbital.
d. Golongan IV (Antiansietas)
Golongan ini dapat digunakan sebagai terapi, golongan ini
berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan. Termasuk
psikotropika golongan IV adalah diazepam, clobazam, dll.
e. Golongan V
Golongan ini merupakan golongan obat keras. Termasuk
psikotropika golongan V adalah neurleptika, antidepresan,
antimania.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997, psikotropika dibagi dalam empat
golongan saja. Psikotropika jenis neuroleptika, antidepresan,
antimania tidak dicantumkan dalam undang-undang psikotropika.
Psikotropika golongan I dan II, sekarang telah diatur dalam
undang-undang tersendri, yaitu UU No. 35 Tahun 2009 tentang
narkotik (Maramis et al., 2014).
2.1.5 Patofisiologi
a. Anatomi Otak
Manusia cenderung mengulangi pengalaman atau sensasi nikmat atau
yang menyenangkan dan menghindari pengalaman yang tidak
menyenangkan. Bagian otak yang mencatat pengalaman atau sensasi
nikmat atau yang menyenangkan disebut reward system. Reward system
meliputi nucleus accumbens (Nac), ventral tegmental area (VTA),
locus coeruleus (LC), periaqueductal grey (PAG), amygdala, dan
medial forebrain bundle, yang berisi serabut dopaminergik dari Nac
dan VTA ke korteks prafrontal (Departemen Kesehatan RI, 2014).
b. Fisiologi Neurotransmitter dan Reseptor
Stimulus pada otak dijalarkan secara elektrik di dalam sel otak
(neuron) dan secara kimiawi dari satu neuron ke neuron lain pada
celah sinaps dengan perantaraan neurotransmiter. Ada banyak jenis
neurotransmiter, antara lain dopamin, serotonin, epinefrin,
norepinefrin, asetilkolin, endorfin, dan enkefalin. Neurotransmiter
yang berperan paling besar dalam adiksi, khusunya sistem reward,
adalah dopamin, sehingga dopamin sering disebut neurotransmiter
kenikmatan. Selain dopamin, neurotransmiter lain yang berkaitan
dengan rasa nyaman adalah endorfin (morfin endogen), anandamid
(kanabis endogen), dan asetilkolin (nikotin endogen).
Neurotransmiter dan narkotik bekerja di otak melalui reseptor yang
terdapat pada sinaps dan dinding sel saraf (Departemen Kesehatan
RI, 2014).
c. Perubahan Neurobehavioral
Perilaku, perasaan, dan pikiran seseorang dikendalikan sendiri
oleh orang tersebut, terutama pada otaknya. Otak bekerja dibawah
pengaruh neurotransmiter. Neurotransmiter dipengaruhi oleh narkotik
dan zat psikoaktif lainnya. Dengan demikian, narkotik dan zat
psikoaktif lainnya bekerja mempengaruhi otak dalam mengendalikan
perilaku dan bermanifestasi sebagai perubahan perilaku (menjadi
lebih aktif atau lebih lamban), perubahan perasaan (euforia), dan
perubahan proses dan isi pikir, serta persepsi (lebih cepat,
melambat, berwaham, dan berhalusinasi) (Departemen Kesehatan RI,
2014).
Zat psikoaktif, termasuk narkotik, yang dikonsumsi secara
berlebih dapat mengakibatkan overdosis. Penggunaan narkotik yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan toleransi, artinya reseptor
menjadi kurang responsif terhadap narkotik itu sehingga untuk
timbulnya sensasi (euforia) seperti semula diperlukan jumlah yang
lebih banyak (toleransi seluler). Toleransi juga bisa terjadi
karena metabolisme narkotik oleh hati menjadi lebih cepat
(toleransi metabolik). Toleransi dapat dianalogikan seperti orang
yang menerima gaji beberapa kali lipat dan merasa sangat senang
pada mulanya, tetapi setelah beberapa bulan rasa sengan saat
menerima gaji semakin berkurang (Departemen Kesehatan RI,
2014).
Pemakaian zat psikoaktif dalam periode yang lama pada umumnya
akan menekan produksi neurtransmiter kenikmatan terkait otak.
Penghentian atau pengurangan secara drastis pemakaian zat tersebut
tak bisa segera diikuti oleh pemulihan produksi neurotransmiter
kenikmatan terkait. Dengan demikian, otak kehilangan rangsang rasa
nikmat, yang secara klinis akan bermanifestasi sebagai sindrom
putus zat (Departemen Kesehatan RI, 2014).
2.1.6 Faktor Kontribusi
Banyak faktor yang berkontribusi untuk menentukan seseorang
menjadi penderita ketergantungan obat. Faktor-faktor tersebut
meliputi faktor etiologik, faktor konstitusional, faktor peluang,
dan faktor pencetus. Faktor-faktor tersebut bersifat psikologik,
sosial, maupun kultural. Faktor tersebut antara lain (Departemen
Kesehatan RI, 2014):
a. Faktor Etiologik
Terdapat penelitian yang membandingkan angka konkordan antara
kembar monozigot dan kembar dizigot pada pengguna, penyalahguna,
dan ketergantungan kokain. Angka tersebut memperlihatkan perbedaan
yang bermakna. Faktor genetik juga terbukti berperan dalam
terjadinya ketergantungan ganja, psikosimultan (ekstasi,
metamfetamin), dan opioid (Departemen Kesehatan RI, 2014).
b. Faktor Konstitusional
Telah diketahui beberapa sifat yang melekat pada tingkat
individu dan tingkat komunitas yang berkontribusi pada terjadinya
gangguan penggunaan obat. Anak yang berisiko tinggi menderita
ketergantungan obat mempunyai ciri-ciri hiperaktif, tak tekun,
sukar memusatkan perhatian, mudah kecewa dan menjadi agresif, mudah
murung, makan berlebih, merokok usia dini (saat masih SD), sadis
(kepada saudara atau hewan peliharaan), sering berbohong, mencuri,
melanggar peraturan, serta mempunyai tingkat kecerdasan perbatasan.
Remaja yang termasuk kelompok berisiko tinggi mempunyai ciri-ciri
bingung dengan identitas kelaminnya, sedih atau cemas, suka melawan
norma yang berlaku, tidak sabar, menyukai aktivitas berisik, kurang
religius, kurang motivasi belajar, dan kurang berminat pada
kegiatan positif (seperti olahraga dan kesenian) (Departemen
Kesehatan RI, 2014).
Keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan riwayat
penggunaan narkotik atau yang disharmonis, serta keluarga dengan
orang tua yang terlalu mengatur, kurang komunikatif, terlalu
menuntut prestasi, atau terlalu sibuk sehingga kurang perhatian,
berkontribusi pada terjadinya gangguan penggunaan obat. Sekolah
yang tak tertib atau yang tak menegakkan disiplin secara baik juga
berkontribusi pada gangguan penggunaan obat. Masyarakat yang
diwarnai oleh pandangan sinis (negatif) terhadap sistem norma atau
disorganisasi hubungan antar manusia atau dimana hukum kehilangan
wibawa terkait erat dengan penggunaan narkotik (Departemen
Kesehatan RI, 2014).
c. Faktor Peluang
Telah diketahui jika masyarakat atau individu dengan banyak
faktor di atas dan narkotik tak tersedia, atau sukar didapat di
lingkungannya, maka hanya sedikit peluang anggota masyarakat atau
individu tersebut terlibat dalam penggunaan narkotik atau gangguan
penggunaan obat. Sebaliknya, jika masyarakat atau individu dengan
sedikit faktor di atas dan narkotik tersedia banyak di
lingkungannya, maka peluang timbulnya gangguan penggunaan narkotik
atau gangguan penggunaan obat menjadi besar. Sehingga, kemudahan
diperolehnya zat psikoaktif berhubungan dengan peluang timbulnya
gangguan penggunaan zat psikoaktif dan turut berkontribusi selain
faktor-faktor yang sudah disebutkan sebelumnya (Departemen
Kesehatan RI, 2014).
d. Faktor Pencetus
Seseorang dengan faktor genetik dan konstitusional serta
berpeluang untuk memperoleh narkotik belum tentu mempunyai riwayat
penggunaan, terlebih lagi menderita gangguan penggunaan narkotik.
Telah diketahui bahwa seseorang yang menggunakan narkotik mengalami
masalah atau konflik dalam situasi kehidupannya sesaat sebelum
memulai penggunaannya. Masalah atau konflik tersebut sangat
beragam, bersifat psikologik, sosial, maupun kultural, mulai dari
bullying, tuntutan pekerjaan dan gaya hidup, bertengkar dengan
pasangan, sampai dengan pemerkosaan seksual. Masalah-masalah
tersebut dialami oleh semua orang, tetapi tak semua orang mempunyai
riwayat penggunaan narkotik. Hanya mereka yang mempunyai faktor
etiologik, konstitusional, dan peluang yang mempunyai riwayat
penggunaan, bahkan mengalami gangguan penggunaan narkotik
(Departemen Kesehatan RI, 2014).
Hubungan antar semua faktor di atas dapat dianalogikan seperti
menanam jagung, dimana dibutuhkan benih jagung, dan siraman air
untuk mendapatkan pohon jagung. Pohon tersebut tak mungkin tumbuh
dari benih yang tak disirami air, atau dari tanah yang disirami
air. Pohon jagung identik dengan gangguan penggunaan obat, yang
terjadi akibat seseorang dengan kerentanan genetik atau sifat
bawaan di masa kanak (faktor etiologik dan konstitusional, yang
identik dengan benih jagung), yang mendapat tekanan pada suatu
situasi dalam kehidupannya (faktor pencetus, identik dengan siraman
air) (Departemen Kesehatan RI, 2014).
2.1.7 Berbagai Pendekatan Masalah
Masalah ketergantungan obat merupakan masalah yang sangat rumit,
bukan semata-mata masalah kesehatan atau medis, tetapi juga
merupakan masalah moral, hukum, psikologis, sosial, kultural, dan
pendidikan. Dimana, beberapa hal ini terkait antara satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu, dalam masalah ketergantungan obat
terdapat berbagai pendekatan, antara lain (Departemen Kesehatan RI,
2014):
a. Pendekatan Moral
Pendekatan ini berpendapat bahwa adiksi adalah konsekuensi dari
pilihan pribadi seseorang. Pilihan itu merupakan pilihan yang
menimbulkan masalah, walaupun sebenarnya orang itu mampu melakukan
pilihan lain yang tidak menimbulkan masalah. Pendekatan ini dianut
oleh banyak agama dan penegak hukum. Intoksikasi dinilai sebagai
suatu dosa oleh beberapa agama dan konsumsi alkohol dilarang oleh
agama tertentu (Islam, Mormon). Kejahatan yang dilakukan oleh
seorang yang mengalami adiksi adalah dibawah kehendaknya, bukan
karena penyakit.
b. Pendekatan Psikososiokultural
Pendekatan model ini berpendapat bahwa adiksi terjadi karena
faktor eksternal seperti budaya, keluarga, teman, atau karena
faktor psikologik. Model ini tidak sependapat dengan model penyakit
dan menunjukkan bahwa di kalangan Bangsa Tiongkok dan Yahudi,
prevalensi alkoholisme rendah, sebab pada dua kebudayaan tersebut,
konsumsi alkohol dalam jumlah wajar dan tidak dilarang, tetapi
penggunaan berlebih dilarang. Pada kedua kebudayaan tersebut, anak
muda mengkonsumsi alkohol dalam konteks sosial atau seremonial
bersama orang-orang dewasa. Di kalangan orang Amerika keturunan
Irlandia, prevalensi alkoholisme tinggi, karena mengkonsumsi
alkohol dalam jumlah banyak dapat diterima dalam kebudayaan mereka.
30 % anak dari orang tua yang alkoholik juga menjadi alkoholik, dan
hanya 10 % anak dari orang tua yang peminum alkohol dalam jumlah
moderat menjadi alkoholik. Pada keluarga yang ikatan emosionalnya
lemah, keluarga yang kaku, atau keluarga yang terlalu moralistik
akan mengakibatkan keturunannya menjadi alkoholik.
Adiksi terjadi sebagai akibat adanya masalah psikologis yang
mendasarinya, misalnya kecewa, sedih, dan kecemasan. Menurut
pendekatan ini, tidak semua pola penggunaan narkotik termasuk
penyalahgunaan. Experimental user merupakan mereka yang menggunakan
narkotik atau zat psikoaktif lain sekedar untuk memenuhi rasa ingin
tahu saja, yang biasanya dipicu oleh tawaran orang lain, biasanya
kawan. Sebagian besar experimental user berhenti sampai pada
keinginan untuk mencoba saja.
Recreational user merupakan sebagian dari experimental user yang
dikemudian hari menggunakan narkotik atau zat psikoaktif lain
dengan tujuan sosialisasi, tidak beda dengan orang yang menikmati
kopi, merokok, atau minum bir pada saat berkumpul bersama
teman-temannya. Situational user merupakan mereka yang menggunakan
narkotik atau zat psikoaktif lain untuk menghilangkan rasa tidak
nyaman seperti rasa nyeri, kecewa, cemas, dan depresi. Abuser
merupakan mereka yang menggunakan narkotik atau zat psikoaktif lain
secara patologis, paling singkat satu bulan lamanya, sehingga
menimbulkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan. Compulsive
dependent user merupakan mereka yang sudah mengalami
ketergantungan.
c. Pendekatan Penyakit
Model ini pertama kali dikemukakan oleh Jellinek (1960)
berkaitan dengan terjadinya alkoholisme. Pendapat ini didukung
dengan penelitian pada biokimia otak, dimana pada adiksi terjadi
perubahan kimiawi di otak sama seperti pada penyakit kronis lain,
seperti diabetes, asma, dan hipertensi. Model ini berpendapat bahwa
adiksi merupakan penyakit primer, bukan disebabkan karena adanya
gangguan jiwa lain. Pendekatan ini banyak mendapat kritik, antara
lain dikarenakan jumlah sampel dalam penelitian Jellinek sangat
sedikit. Model ini mendatangkan profit dan secara politis berhasil,
karena pendekatan ini meluas kepada masalah lain yang juga dianggap
penyakit seperti eating problem, child abuse, judi, shopping
addiction, ketegangan pramenstruasi, compulsive love affair.
Kelebihan pendekatan model penyakit adalah pendekatan ini
menghilangkan stigma terhadap penderita adiksi, memberi peluang
untuk dilakukan terapi dan rehabilitasi, serta kesempatan terbuka
untuk melakukan penelitian terhadap adiksi. Namun, kelemahan model
penyakit ini adalah bahwa pasien menjadi merasa tidak bertanggung
jawab atas perbuatan kriminal, atau kekerasan terhadap orang lain,
karena perbuatannya diakibatkan karena penyakitnya. Sebaliknya,
bila seorang penderita adiksi tidak mengalami masalah pekerjaan,
keuangan, maupun kriminal, orang ini tidak dianggap seorang
penderita adiksi, sehingga tidak dianjurkan berobat, olah karena
tidak memperlihatkan gejala klasik seorang dengan adiksi.
d. Pendekatan Biopsikososial
Para pakar dalam adiksi ini berpendapat bahwa adiksi adalah
suatu sindroma multivariat. Artinya, adiksi memiliki berbagai macam
pola penggunaan zat psikoaktif yang bersifat disfungsional, yang
dialami oleh orang dengan berbagai tipe kepribadian. Penggunaan ini
menimbulkan berbagai akibat yang berbeda-beda, dengan prognosis
yang berbeda-beda, serta membutuhkan intervensi terapeutik yang
berbeda pula.
2.2 Gangguan Penggunaan Trihexypenidil
2.2.1 Farmakologi Trihexypenidil
a. Bentuk Kimia
Trihexypenidil (THD) adalah senyawa antikolinergik yang bekerja
di sistem saraf pusat, yaitu di ganglia basalis (Gan dan Gan,
2011). THD disebut juga dengan nama benzhexol hydrochloride.
Struktur kimia senyawa ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur kimia trihexypenidil (Sumber: NCBI,
2012)
b. Mekanisme Kerja
THD bekerja secara spesifik pada reseptor muskarinik dengan
menghambat reseptor asetilkolin muskarinik. THD bekerja melalui
neuron dopaminergik dengan beberapa mekanisme, antara lain
meningkatkan pelepasan dopamin dari vesikel presinaptik, menghambat
ambilan kembali dopamin ke dalam terminal saraf presinaptik, atau
menimbulkan efek agonis pada reseptor dopamin pasca sinaps
(Tyaswati, 2006). THD digunakan sebagai salah satu terapi pada
sindrom parkinsonisme. Sindrom ini ditandai oleh rigiditas,
bradikinesia, tremor, dan instabilitas postural yang dapat terjadi
karena berbagai sebab. Sindrom parkinsonisme disebabkan
berkurangnya kadar dopamin pada ganglia basalis otak. Obat golongan
antimuskarinik dapat memulihkan keseimbangan kolinergik dan
dopaminergik pada ganglia basalis. Neuron dopaminergik di
substansia nigra pada kondisi normal menghambat impuls sel
GABAergik di korpus striatum. Fungsi neuron dopaminergik tersebut
hilang pada sindrom parkinsonisme. Hal ini dapat disebabkan karena
penggunaan obat antagonis reseptor dopamin, seperti obat
antipsikotik (Katzung et al., 2013).
c. Farmakodinamik
THD adalah senyawa golongan antimuskarinik yang berefek sentral.
Apabila dibandingkan dengan atropine, THD memiliki kemampuan
antispasmodic setengahnya, efek midriatik sepertiganya, dan efek
kelenjar ludah dan vagus sepersepuluhnya. Senyawa lain yang
menyerupai THD adalah biperiden, sikrimin, dan prosiklidin. Apabila
terjadi toleransi terhadap THD, dapat digunakan ketiga senyawa
tersebut (Gan dan Gan, 2011).
d. Farmakokinetik
Data mengenai farmakokinetik trihexypenidil masih meskipun
penggunaan obat ini dalam klinis telah lama. Data mengenai
farmakokinetik THD pada manusia tidak dipublikasikan dalam beberapa
literatur. Namun, diperkirakan senyawa THD, seperti senyawa
antikolinergik yang lain, di serap dalam saluran cerna dan bersifat
lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak (Lang dan Lees,
2002). Kadar puncak THD tercapai dalam waktu 1-2 jam dengan masa
paruh eliminasi terminal mencapai 10-12 jam. THD memiliki masa
kerja selama 1 sampai dengan 12 jam (Gan dan Gan, 2011).
e. Indikasi Medis
Ada beberapa indikasi medis dalam penggunaan THD, beberapa
diantaranya yaitu (Lumbantobing, 2012; Price dan Wilson, 2005;
Sethuram dan Gedzior, 2014):
1) Terapi gangguan pergerakan akibat medikasi yaitu
parkinsonisme, distonia akut, dan tremor postural
Distonia ditandai dengan kontraksi otot yang terus menerus,
menyebabkan sikap tubuh yang abnormal dan melintir secara
involunter serta gerakan berulang lainnya. Gerakan dapat sangat
nyeri, menyerang seluruh tubuh, kelompok otot, atau otot tunggal.
Tremor adalah gerakan involunter, agak ritmis, merupakan getaran,
yang timbul karena berkontraksinya otot-otot yang berlawanan secara
bergantian. Tremor melibatkan satu atau lebih bagian tubuh. Tremor
sering muncul pada daerah perifer. Tremor pada Parkinson muncul
selama istirahat dan kadang-kadang hilang selama aktivitas.
Sedangkan, tremor akibat defisiensi serebelar adalah tremor
intensional dan meningkat dengan aktivitas yang bertujuan. Sindrom
parkinsonisme ditandai dengan bradikinesia, tremor, rigiditas, dan
instabilitas postural. Gangguan gerakan tersebut terutama
disebabkan oleh defek pada jalur dopaminergik yang menghubungkan
antara substansia nigra dengan korpus striatum.
2) Terapi akatisia akut
Akatisia adalah gangguan pergerakan yang ditandai dengan
perasaan gelisah dan gerakan gaduh gelisah. Perasaan gelisah dapat
meliputi panik, tegang, serta tidak sabar. Sedangkan, gerakan gaduh
gelisah dapat ditandai dengan peningkatan aktivitas motorik.
Akatisia disebabkan oleh obat antipsikotik dengan antagonis
reseptor dopamin.
3) Terapi parkinson idiopatik
f. Sediaan dan Dosis
Trihexypenidil (THD) tersedia dalam bentuk tablet 2 dan 5
miligram (mg) serta bentuk eliksir 2 mg/5 mL. Rentang dosis sebesar
10-20 mg per hari (Gan dan Gan, 2011). THD diberikan 1 sampai 4 mg
diberikan dalam dua sampai tiga kali per hari. Antikolinergik
diberikan selama dua sampai empat minggu dan dicoba dihentikan
untuk mengetahui apakah tubuh masih membutuhkan atau tidak. Setelah
itu, obat dihentikan secara bertahap selama satu minggu (Tyaswati,
2006).
g. Efek Samping
Penggunaan trihexypenidil dapat menimbulkan efek antikolinergik
perifer seperti mulut dan hidung kering, pandangan kabur,
konstipasi, dan retensi urin. Selain efek antikolinergik perifer,
terdapat efek antikolinergik sentral seperti mual, muntah, agitasi,
halusinasi sampai mengeksaserbasi psikosis skizofrenia, kejang,
demam tinggi, dilatasi pupil, dan gangguan kognitif seperti
disorientasi terhadap waktu, orang dan tempat. Stupor dan koma juga
dapat terjadi (Gan dan Gan, 2011).
2.2.2 Sebab-musabab Gangguan Penggunaan Trihexypenidil
Trihexypenidil merupakan golongan obat keras yang mulai
disalahgunakan saat ini. Potensi tersebut berkaitan dengan efek THD
yang bersifat meningkatkan mood ringan (Tyaswati, 2006). Beberapa
laporan mengatakan bahwa obat golongan antikolinergik yang berefek
sentral memiliki efek meningkatkan mood (euforia), walaupun efek
ini tidak selalu terjadi atau apabila terjadi seringkali tidak
terkontrol. Efek halusinogenik yang mungkin ditimbulkan oleh obat
ini sekitar 2 4 % dan pada lansia kejadian tersebut dapat mencapai
19 %. Sedangkan efek eforia biasanya akan tercapai pada dosis
tinggi. Golongan antikolinergik dapat menimbulkan ketergantungan
karena efek anti depresan, eforia, dan stimulansia (Amin dan Hamid,
2013).
2.2.3 Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis perlu diperhatikan beberapa hal,
antara lain (Margono et al., 2004):
a. Sikap mental dokter terhadap pasien harus positif, agar
pasien bisa lebih terbuka, diperlukan kerjasama antara pasien,
keluarga, dan dokter
b. Observasi sikap pasien pada saat diperiksa
c. Anamnesis
Hal-hal yang perlu digali dari autoanamnesis yaitu:
1) Riwayat penyalahgunaan, yaitu:
(a) Apa yang dipakai (kombinasi dengan obat/zat lain)
(b) Kapan mulai dan terakhir menggunakan
(c) Cara penggunaan
(d) Gejala intoksikasi atau putus obat/zat
(e) Alasan penggunaan
(f) Jumlah dan frekuensi penggunaan sehari
2) Riwayat psikososial penderita, yaitu:
(a) Pendidikan/pekerjaan
(b) Hubungan keluarga/sesama teman
(c) Keadaan keluarga
(d) Riwayat kriminal/bunuh diri
(e) Riwayat seksual, sosioekonomu, spiritual
(f) Kepribadian premorbid
d. Pemeriksaan fisik dan psikiatrik
e. Pemeriksaan laboratorium, yaitu:
1) Toksikologi
2) LFT
3) HIV/AIDS
4) Lain-lain sesuai kebutuhan
5) Psikotest, MMPI
f. Komorbiditas
1) Psikiatrik, yaitu skizofrenia, gangguan bipoler, retardasi
mental, gangguan kepribadian tingkah laku
2) Non psikiatrik, yaitu hipertiroidisme, tumor otak, dll.
2.2.4 Diagnosis Banding
Skizofrenia, gangguan mental organik, gangguan waham organik,
gangguan halusinasi organik (Margono et al., 2004).
2.2.5 Penatalaksanaan
Perlu dilakukan penatalaksanaan secara holistik
(multidimensional), terpadu, dan berkesinambungan, sehingga
diharapkan hasil yang optimal. Perlu dilakaukan diagnosis yang
tepat dan lengkap untuk menunjang keberasilan terapi (Margono et
al., 2004). Kontrol terapi yang digunakan pada pasien adalah
hipertermia. Terapi dimulai dengan menghentikan segera semua obat
antikolinergik. Inhibitor antikolinesterase, physostigmine, dapat
diberikan pada kasus sindroma intoksikasi antikolinergik, kecuali
pada kasus intoksikasi akibat antidepresan trisiklik.
Benzodiazepine dapat diberikan untuk mengobati agitasi (Tyaswati,
2006). Selain itu, perlu dilakukan rehabilitasi, proses ini
bertujuan agar pasien tidak menyalahgunakan THD lagi, agar kondisi
psikologik dan fisik kembali normal. Rehabilitasi dapat dilakukan
di pusat rehabilitasi atau pun berobat jalan. Proses rehabilitasi
meliputi farmakoterapi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
psikoterapi (psikoterapi individual, psikoterapi kelompok, seperti
sharing, dan terapi perilaku, seperti CRA atau community
reinforcement approach) dan pendampingan spiritual. Pasien juga
memerlukan resosialisasi sejak awal, oleh karena tempat dan
lingkungan sosial yang lama sering merupakan stimulasi yang
menyebabkan pasien menggunakan kembali, pasien perlu membina
lingkungan sosial yang baru (Margono et al., 2004).
2.2.6 Prognosis
Prognosis ketergantungan THD pada umumnya dipengaruhi oleh besar
kecilnya predisposisi (pengaruh faktor kepribadian, sosiobudaya,
dan fisik), mudah-sukarnya mendapatkan obat ini, dan
sering-jarangnya kesempatan memakai obat ini, serta lamanya
ketergantungan. Makin mudah faktor-faktor ini dapat ditangani,
makin baik prognosisnya (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila anak-anak muda yang menderita ketergantungan obat menjadi
lebih tua, maka rupanya, sebagian besar dari mereka lebih dapat
menyesuaikan diri dalam masyarakat, biarpun mungkin hanya secara
sederhana, sekedar tidak mengganggu diri sendiri dan lingkungannya.
Sebagian kecil tetap naik-turun keadaannya, mereka merupakan
residivis dan sebagian meninggal dunia karena dosis yang
berlebihan, kecelakaan di bawah pengaruh obat itu, atau karena
infeksi sekunder (Maramis dan Maramis, 2009).
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan akibat penggunaan THD antara lain
pandangan kabur, konstipasi, penurunan saliva, penurunan keringat,
ejakulasi terlambat, delirium, fotofobia, retensi urin, takikardi
sinus, gangguan daya ingat, hipertermia akibat keringat berkurang,
eksaserbasi asma, dan eksaserbasi glaukoma sudut sempit. Komplikasi
paling parah yang merugikan adalah intoksikasi kolinergik, dimana
hal ini ditandai dengan delirium, kejang, agitasi, halusinasi,
hipotensi berat, takikardi supraventikular, dan manifestasi primer
berupa kemerahan pada wajah, midriasis, kulit kering, hipertermia,
dan penurunan bising usus (Tyaswati, 2006).
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Ketergantungan Obat
2.1.1 Pengertian
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa ke
-
3 (PPDGJ
III) u
ntuk menegakkan diagnosis ketergantungan zat mutlak diper
l
ukan bukti
adanya penggunaan dan kebutuhan yang terus
-
menerus. Terdapatnya gejala
abstinensi bukan satu
-
satunya bukti dan juga tidak selalu ada, misalnya pada
penghentian
pemakaian
kokain dan ganja (mariyuana). Obat yang diberikan oleh
dokter tida
k termasu
k dalam pengertian ini,
selama penggunaan obat tersebut
berindikasi medis (Maslim, 2001; Maramis dan Maramis, 2009).
Istilah ketergantungan zat mempunyai arti yang lebih luas
daripada istilah
ketagihan atau adiksi obat. Ketagihan zat merupakan suatu
keada
an keracu
nan yang
periodik atau menahun. Ketagihan zat akan
merugikan individu
itu sendiri dan
masyarakat.
Ketagihan zat
disebabkan oleh penggunaan suatu zat (asli atau sintetik)
yang berulang
-
ulang dengan ciri
-
ciri, yaitu adanya (Maramis dan Maramis, 2009
):
a.
Keinginan atau kebutuhan yang luar biasa untuk meneruskan
penggunaan obat
itu dan usaha mendapatkannya dengan segala cara
b.
Kecenderungan menaikkan dosis
c.
Ketergantungan psikologis (emosional) dan kadang
-
kadang juga
ketergantungan fisik pada zat itu.
2.1
.
2
Terminologi
Perlu didefinisikan beberapa istilah yang dipakai berhubungan
dengan
ketergantungan obat, yaitu (
Departemen Kesehatan RI, 2014; Joewana, 2004;
Maramis dan Maramis, 2009):
a.
Narkotik menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang
narkotik
, didefinisikan
sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Ketergantungan Obat
2.1.1 Pengertian
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa ke-3
(PPDGJ
III) untuk menegakkan diagnosis ketergantungan zat mutlak
diperlukan bukti
adanya penggunaan dan kebutuhan yang terus-menerus. Terdapatnya
gejala
abstinensi bukan satu-satunya bukti dan juga tidak selalu ada,
misalnya pada
penghentian pemakaian kokain dan ganja (mariyuana). Obat yang
diberikan oleh
dokter tidak termasuk dalam pengertian ini, selama penggunaan
obat tersebut
berindikasi medis (Maslim, 2001; Maramis dan Maramis, 2009).
Istilah ketergantungan zat mempunyai arti yang lebih luas
daripada istilah
ketagihan atau adiksi obat. Ketagihan zat merupakan suatu
keadaan keracunan yang
periodik atau menahun. Ketagihan zat akan merugikan individu itu
sendiri dan
masyarakat. Ketagihan zat disebabkan oleh penggunaan suatu zat
(asli atau sintetik)
yang berulang-ulang dengan ciri-ciri, yaitu adanya (Maramis dan
Maramis, 2009):
a. Keinginan atau kebutuhan yang luar biasa untuk meneruskan
penggunaan obat
itu dan usaha mendapatkannya dengan segala cara
b. Kecenderungan menaikkan dosis
c. Ketergantungan psikologis (emosional) dan kadang-kadang
juga
ketergantungan fisik pada zat itu.
2.1.2 Terminologi
Perlu didefinisikan beberapa istilah yang dipakai berhubungan
dengan
ketergantungan obat, yaitu (Departemen Kesehatan RI, 2014;
Joewana, 2004;
Maramis dan Maramis, 2009):
a. Narkotik menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotik,
didefinisikan
sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau