Trauma Tembus Jantung
Dr. Wuryantoro, SpB, SpBTKV
PENDAHULUANJantung merupakan salah satu organ paling penting
dalam tubuh manusia, yang terus menerus bekerja dari awal hingga
akhir kehidupan.1 Karena akses pembedahan yang sulit dan gerakan
jantung yang ritmik dan terus menerus, manipulasi bedah pada
jantung sempat menjadi sesuatu yang tabu pada awal era pembedahan
modern.2 Akibatnya, penanganan trauma jantung baru mulai berkembang
pada awal abad ke-19 ADDIN EN.CITE
1,2,3, walaupun perlukaan jantung sudah tercatat sejak 3000
tahun sebelum Masehi seperti ditulis dalam Edwin Smith
Papyrus1,3.Saat ini, trauma tembus jantung masih merupakan cedera
yang berbahaya, namun sangat mungkin untuk diselamatkan. Wuryantoro
melaporkan keberhasilan penanganan 6 kasus luka tusuk jantung tahun
1989 di RSUPN Cipto Mangunkusuom. Djoko J di RSCM melaporkan angka
keberhasilan 50% dari 4 kasus yang didapatkan.4 Keberhasilan
penanganannya sangat bergantung pada keputusan untuk segera
melakukan intervensi bedah, teknik bedah yang baik dan perawatan
pasca bedah yang prima.1,5 Angka kematian trauma tembus jantung
sebelum sampai di rumah sakit berkisar antara 70-80%, sementara
jika sudah sampai di rumah sakit, turun drastis hingga mencapai
23-35%.6 SEJARAHTrauma tembus jantung pertama kali tercatat di buku
Iliad, karya Homer yang menceritakan kematian Sarpedon akibat
perdarahan yang mematikan dari luka di jantungnya. Cerita lain yang
tidak kalah tuanya berasal dari Edwin Smith Papyrus, yang ditulis
sekitar 3000 tahun SM.1,3 Beck membagi sejarah trauma tembus
jantung menjadi tiga periode, yaitu periode mistik, periode
observasi dan eksperimen dan periode penjahitan. ADDIN EN.CITE
1,2,3 Periode pertama ditandai oleh tulisan-tulisan dari
Hippocrates, Ovid, Celsus, Pliny, Aristoteles, dan Galen yang
menyatakan bahwa luka pada jantung adalah luka yang fatal dan tidak
mungkin disembuhkan. ADDIN EN.CITE
1,2,3
Periode berikutnya dimulai pada abad ke-17, dipelopori oleh
Hollerius yang mencetuskan konsep bahwa luka di jantung dapat
disembuhkan dan tidak semuanya fatal. Berbagai observasi dan
percobaan binatang dilakukan untuk mengamati efek dari trauma
tembus jantung dan bagaimana proses penyembuhannya.Baru pada 1882,
dimulai periode ketiga, yaitu upaya langsung melakukan penjahitan
pada luka di jantung. Dimulai oleh Block, yang melakukan penjahitan
luka pada jantung kelinci. Beberapa ahli bedah di massa itu awalnya
menunjukkan penolakan terhadap upaya melakukan pembedahan pada
jantung, seperti ditunjukkan oleh Theodore Billroth. Namun
belakangan upaya-upaya pembedahan pada luka di jantung menunjukkan
kemajuan yang berarti, sampai pada apa yang bisa dilihat dewasa
ini.
Upaya pertama untuk menjahit perlukaan pada jantung dilakukan
oleh Axel Hermansen Cappelen (1895), pada pasien laki-laki, 24
tahun yang mengalami luka tusuk di dada kiri. Pasien menjalani
torakotomi kiri, penjahitan luka di ventrikel dengan
chromic-catgut, namun meninggal karena sepsis beberapa saat
kemudian.1,3 Operasi bedah jantung pertama yang dinyatakan berhasil
dan dikenal secara luas dilakukan oleh Ludwig Rehn (1896) pada
seorang pria 22 tahun yang mengalami tusukan pada jantung dua hari
sebelum operasi. Rehn menemukan lubang pada perikardium yang ketika
dibuka, terdapat darah dan bekuan darah di dalamnya. Perlukaan pada
ventrikel kanan dihentikan melalui penekanan dengan jari,
dilanjutkan penjahitan dengan silk.2,3 MEKANISME CEDERASebagian
besar luka tembus jantung disebabkan oleh trauma tusuk benda tajam
atau trauma tembak,2,7 tergantung pada luas tidaknya akses kepada
senjata api. Di Amerika Serikat, perbandingan trauma tembak dan
trauma tusuk mencapai 2:12, sementara di Indonesia justru
sebaliknya6. Penyebab lain adalah cedera impalement, tusukan
fragment fraktur iga atau sternum dan cedera iatrogenik, seperti
pada pemasangan/pencabutan pacemaker, terapi ablasi untuk aritmia,
pemasangan kanul vena sentral dan pemasangan selang water sealed
drainage.2 ANATOMI PREKORDIALPrekordial berasal dari bahasa Latin,
yaitu prae (=di depan) dan cor (=jantung), yaitu suatu area di
permukaan tubuh yang berada di depan jantung.2 Luka di prekordial
dengan sendirinya mempunyai risiko menembus jantung.
Secara anatomi, area prekordial dibatasi di sisi kranial oleh
sela iga III kiri, kaudal oleh arkus kosta kiri, medial oleh linea
mid-klavikula kiri dan lateral di linea para sternal kanan.4,6
Gambar 1. Area Prekordial
Ventrikel kanan yang berada di sisi anterior jantung merupakan
ruang jantung yang paling sering mengalami perlukaan pada trauma
tembus, sementara atrium kiri, karena kecil dan hampir seluruhnya
di sisi posterior, jarang mengalami cedera. ADDIN EN.CITE
2,4,6 Studi oleh Mazni dan Tjahjono di RSCM tahun 2002
memperlihatkan cedera terbanyak akibat luka tusuk prekordial adalah
di Ventrikel kanan (57,14%), diikuti oleh ventrikel kiri (42,86%).6
Sementara di literature luar negeri, frekuensi relatif cedera pada
ventrikel kanan adalah 43%, ventrikel kiri 34%, atrium kanan 18%
dan atrium kiri 5%. Cedera yang melibatkan beberapa ruang jantung
sekaligus mencapai 18%, dan cedera pada arteri koronaria 5%.2
PATOFISIOLOGIPerlukaan pada jantung memiliki serangkaian
konsekuensi fisiologis yang unik dan membedakannya dari
cedera-cedara lain di tubuh manusia. Di antaranya adalah tamponade
jantung, yang tampilan klinisnya sangat beragam dan seringkali
membingungkan. Patofisiologi tamponade jantung terkait dengan
struktur perikardium yang disusun oleh jaringan ikat non elastis
dengan compliance yang buruk. Darah yang masuk ke rongga
perikardium akibat perdarahan akut akan meningkatkan tekanan intra
perikardium melebihi tekanan ventrikel kanan dan mengurangi
kemampuan pengisian ventrikel kiri, yang pada akhirnya menurunkan
cardiac output. Sebagai kompensasi, kerja jantung akan meningkat,
sebagaimana juga tegangan pada dinding miokardium, diiringi
peningkatan kebutuhan oksigen jantung. Pada akhirnya, kebutuhan
oksigen tersebut tidak tercapai, terjadi hipoksemia dan asidosis
laktat. ADDIN EN.CITE
1,2,7 Bila tamponade tidak terbentuk, akan terjadi perdarahan
hebat yang mengancam jiwa, karena jumlah darah yang melewati
jantung setiap menitnya sama dengan yang beredar di seluruh tubuh,
sesuatu yang juga harus menjadi pertimbangan sebelum memutuskan
untuk melakukan manipulasi operatif pada jantung. Masuknya darah ke
dalam pleura juga tidak boleh diremehkan karena dapat mengakibatkan
hemato-toraks masif, yang mengganggu mekanisme bernapas dan
sirkulasi pasien sekaligus.1,2
Karenanya menjadi jelas bahwa di samping efek buruk yang
ditimbulkannya, tamponade jantung juga memiliki efek protektif.
Yaitu dengan membatasi perdarahan dan mencegah hilangnya darah
dalam jumlah mematikan akibat masuknya darah ke rongga toraks,
sehingga pasien dapat sampai ke rumah sakit dalam keadaan hidup.1,2
Hal lain yang mungkin terjadi adalah disfungsi jantung akibat luka
pada pembuluh koroner, miokardium atau katup jantung. Defek pada
sekat jantung dapat mengakibatkan pirau intra-kardiak.2,7 Jika
pasien berhasil melewati periode kritis, masalah berikut yang
timbul sebagai sekuele lambat antara lain adalah pseudoaneurisma
ventrikel, fistula arteri koronaria dengan ruang jantung, serta
endo-/peri-karditis.2,8 Selain itu dari efek fisiologis pada
jantung, terdapat pula efek psikologis sebagai sekuele lambat
trauma tembus jantung. Efeks psikologis tersebut antara lain
hipokondriasis, kompulsif, dan internalisasi.8 DIAGNOSISKlinis
Tampilan klinis trauma tembus jantung sangat beragam, mulai dari
kondisi hemodinamik yang betul-betul stabil sampai kepada henti
jantung. ADDIN EN.CITE
1,2,5,7,9,10,11,12 Tampilan klinis ini antara lain berhubungan
dengan mekanisme cedera, lamanya waktu antara kejadian sampai ke
rumah sakit, beratnya cedera yang ditimbulkan, dan ada tidaknya
tamponade jantung.1,2 Tanda klasik seperti Trias Beck (hipotensi,
peningkatan tekanan vena jugular, dan hilangnya bunyi jantung)
hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien. ADDIN EN.CITE
1,2,4,6 Demikian pula tanda khas seperti pulsus paradoksus, juga
sulit dikenali pada keadaan darurat.1,2 Sementara pernapasan
Kusmaul (peningkatan tekanan vena jugularis pada saat inspirasi)
yang sering disebut dalam literatur trauma sebagai tanda penting,
justru tidak pernah terjadi pada tamponade jantung.2 Sebaliknya,
tanda nonspesifik seperti agitasi, takikardia, takipnea, hipotensi,
diaphoresis dan akral dingin justru mendominasi gambaran klinis.2
Oleh karena itu, untuk menghindari luputnya diagnosis, setiap luka
tusuk di area prekordial harus dianggap menembus jantung sampai
terbukti sebaliknya. ADDIN EN.CITE
1,2,4,6
Foto Toraks2Hasil pemeriksaan foto toraks seringkali justru
menyesatkan, karena siluet jantung jarang melebar pada tamponade
akut. Gambaran yang membantu diagnosis adalah hematotoraks massif
akibat masuknya darah dari luka di jantung ke dalam pleura, atau
akibat perlukaan lain dari dinding dada / parenkim paru. Selain
itu, benda asing yang tertahan di jantung juga dapat dikenali dari
foto toraks. Kelainan lain yang dapat juga terlihat adalah
pneumotoraks atau pneumoperitoneum.
Gambar 2. Foto Toraks : Pasien trauma tembus jantung dengan
siluet jantung normalEchocardiografi dua dimensi dan FAST
Ekokardiografi dua dimensi dapat mendeteksi keberadaan darah
dalam rongga perikardium dengan sensitivitas, spesifisitas dan
akurasi masing-masing 56%, 96% dan 90%.1 Namun demikian,
ekokardiografi memiliki keterbatasan pada keadaan dimana terdapat
juga hematopneumotoraks.1,6 Keterbatasan lain adalah tidak
tersedianya alat di ruang gawat darurat dan minimnya keterampilan
untuk mengoperasikan alat ekokardiografi oleh ahli bedah, sehingga
metode ini mulai ditinggalkan.2 Bertolak-belakang dengan
ekokardiografi yang mulai ditinggalkan, Focussed assessment by
sonography for trauma (FAST) justru semakin banyak dikerjakan pada
luka tusuk prekordial. Metode ini cepat, non-invasif, tersedia di
ruang gawat darurat dan dapat diulang dengan mudah. Hasil positif
ditandai dengan gambaran an-echoic di sekitar jantung.2 Namun
demikian, metode ini sangat bergantung pada pasien dan operator.
Seperti juga ekokardiografi, keterbatasan lain FAST adalah pada
pasien dengan trauma jantung disertai hematopneumotoraks dan pasien
dengan tamponade yang terlokulasi akibat bekuan-bekuan darah.
Gambar 3. Efusi Pericardium
Perikardiosintesis
Walaupun perikardiosintesis merupakan tindakan yang sederhana
dan dapat dikerjakan dengan cepat, aspirasi jarum ke dalam rongga
perikardium memiliki angka negatif palsu dan positif palsu yang
tinggi, sehingga tidak dapat diandalkan sebagai uji diagnostik. Dan
lagi, karena perannya dalam terapi juga nyaris tidak ada (bekuan
darah dalam rongga pleura sulit sekali dikeluarkan melalui sebuah
jarum), tindakan ini tidak lagi dianjurkan. ADDIN EN.CITE
1,2,6
Pericardial Window ADDIN EN.CITE
1,2,7,13,14,15
Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Larrey pada tahun
1800-an. Sampai saat ini, pembuatan pericardial window melalui
sayatan sub-xiphoid masih menjadi standar baku emas diagnosis pada
luka tusuk prekordial, terutama pada rumah sakit dengan penggunaan
ultrasonografi yang terbatas. Walaupun dapat dikerjakan dengan
anestesi lokal, sebaiknya tindakan ini dikerjakan dalam anestesi
umum sehingga mempermudah bila harus dilanjutkan dengan terapi
definitif.
Sub-xiphoid pericardial window dikerjakan dengan melakukan
insisi midline sepanjang 10 cm di atas prosesus xiphoideus sampai
menembus jaringan subkutis disertai hemostasis yang adekuat.
Dilanjutkan dengan memotong procesus xiphoideus setelah sebelumnya
memegangnya dengan klem Allis atau Kocher. Setelah itu, jaringan
lemak disingkirkan secara tumpul sampai mendapati perikardium.
Perikardium kemudian diangkat diantara dua klem Allis, dan dibuka
secara tajam dengan insisi longitudinal. Hasilnya dikatakan negatif
jika yang keluar adalah cairan bening. Sebaliknya jika yang keluar
adalah darah, maka dikatakan positif, yang menandakan adanya cedera
pada jantung. Kadangkala, ketika perikardium dibuka tidak keluar
cairan sama sekali, mengindikasikan telah terbentuk bekuan darah.
Pada kasus semacam ini, dapat dimasukkan kanul suction untuk
membebaskan bekuan darah dan mengalirkan darah keluar rongga
perikardium. Setelah dinyatakan positif, maka tindakan selanjutnya
adalah bedah definitif yaitu torakotomi dan kardiorafi.
Gambar 4. Sub-Xiphoid Pericardial Window
TORAKOTOMI RESUSITASI ADDIN EN.CITE
1,2,4,5,6,7,9,10,11,12,16
Adalah suatu prosedur resusitasi berupa torakotomi di ruang
gawat darurat. Dasar pemikiran dari tindakan ini adalah bahwa pada
trauma tembus jantung, secara fisiologis baik tamponade perikardium
maupun perdarahan berlebihan dari luka di jantung hanya akan
berujung pada respon sementara (transient) jika tidak dilakukan
pembedahan, sehingga dalam hal ini tindakan resusitasi standar
(A-B-C sesuai ATLS) yang berdiri sendiri tidak banyak memberi
manfaat. Kandidat untuk tindakan ini adalah pasien luka tusuk
prekordial yang masuk ke ruang gawat darurat segera setelah
kejadian, dalam kondisi henti jantung atau hipotensi yang tidak
responsif (tekanan darah sistolik kurang dari 60-70mmHg setelah
penggantian volume). Pada keadaan ini, torakotomi resusitasi
dikerjakan sambil secara simultan melakukan penilaian awal,
evaluasi dan resusitasi sesuai dengan ATLS. Faktor prediktif
prehospital yang berhubungan dengan mortalitas yang tinggi antara
lain adalah tidak adanya tanda-tanda vital, pupil dilatasi, tidak
adanya irama jantung dan tidak adanya gerakan ekstremitas.
Namun demikian, faktor penting yang harus diperhatikan sebelum
melakukan tindakan torakotomi resusitasi adalah ketersediaan alat
dan personel yang terlatih, di samping kebijakan dan protokol yang
berlaku di rumah sakit tersebut.
Torakotomi resusitasi dikerjakan dengan melakukan torakotomi
anterolateral kiri melalui sela iga IV atau V, paru-paru
disingkirkan dari lapangan operasi, kemudian perikardium dibuka di
anterior sejajar dengan jalannya nervus frenikus. Segera setelah
efek tamponade dihilangkan, lakukan upaya mengembalikan cardiac
output dan kontrol perdarahan secukupnya sehingga pasien dapat
dipindahkan ke ruang operasi untuk operasi defitif. Cross clamping
aorta tidak lagi dianjurkan karena justru meningkatkan risiko
timbulnya cedera lain dan menyebabkan paraplegia. Jika diperlukan,
insisi dapat diperluas ke kontralateral dengan terlebih dahulu
membelah sternum dan meligasi arteri torasika inferior.
PENATALAKSANAANPasien-pasien yang datang dengan luka tusuk
prekordial yang tidak memenuhi indikasi torakotomi resusitasi dapat
menjalani pemeriksaan tambahan seperti sudah diuraikan terlebih
dahulu. ADDIN EN.CITE
1,2,4,7 Dengan tetap memelihara sense of emergency yang tinggi
dan tidak menunda-nunda penanganan pasien. Segera setelah
dipastikan adanya perlukaan pada jantung, maka harus dilakukan
pembedahan definitif untuk kardiorafi. Insisi
Pendekatan bedah yang banyak dikerjakan adalah torakotomi
anterolateral kiri seperti pada torakotomi resusitasi. Biasanya
dipilih pada kasus-kasus yang sumber perdarahannya tidak diketahui
dengan pasti, dan disertai dengan hematotoraks. Pendekatan lain
adalah melalui insisi torakosternotomi bilateral (insisi Clamshell)
memberikan akses yang luas ke mediastinum dan kedua rongga pleura,
sehingga dianjurkan untuk dikerjakan pada pasien dengan luka tembak
transmediastinal.2
Pendekatan terbaik adalah dengan sternotomi mediana (insisi
Duval), karena memberikan akses yang baik ke jantung dan kedua
rongga pleura dan cepat dikerjakan apabila tersedia gergaji
sternum. Teknik ini merupakan prosedur terpilih pada
hemoperikardium yang telah dikonfirmasi melaluai ultrasonografi
perioperatif. Kesulitan yang mungkin timbul antara lain (1) gagal
membuat insisi yang lurus di midline, (2) gagal membelah ligament
suprasternal dan (3) gergaji sternum terjebak pada tulang atau pada
perikardium.1
Pendekatan manapun yang dipilih, harap diingat bahwa segera
setelah tamponade hilang, akan terjadi perdarahan hebat yang
kadangkala sulit dikontrol, dan bahkan membutuhkan bantuan mesin
pintas jantung paru (CPB = cardio-pulmonary bypass). Indikasi
penggunaan CPB antara lain pada perdarahan yang tidak terkontrol,
luka luas ventrikel kiri, pembuluh darah besar, pembuluh darah
koronaria mayor atau perlukaan pada struktur intrakardiak.1,2
Manuver tambahan1Pada cedera di sisi paling lateral atrium kanan
atau sisi superior/inferior atriocaval junction memerlukan maneuver
oklusi inflow total dengan melakukan cross-clamping vena kava
superior dan inferior. Toleransi jantung yang sudah cedera,
asidotik dan iskemik terhadap manuver ini sangat terbatas.Manuver
lain yang bisa dikerjakan adalah cross-clamping hilus paru-paru
untuk melakukan kontrol perdarahan dari parenkim paru sehingga
tidak terjadi emboli udara ke sirkulasi sistemik. Namun karena
maneuver ini akan meningkatkan afterload ventrikel kanan, maka
disarankan untuk melakukan pelepasan klem secara sekuensial
sesering mungkin.
Penutupan luka atrium1Luka pada atrium dapat dikendalikan dengan
oklusi parsial menggunakan klem vaskuler Satinsky, untuk kemudian
melakukan penjahitan dengan benang monofilament 2-0 secara jelujur
atau interrupted. Penjahitan hendaknya dikerjakan secara hati-hati
karena berpotensi mencederai dinding atrium disekitar
jahitan.Penutupan luka ventrikel1Penekanan menggunakan jari dapat
dipakai untuk mengendalikan perdarahan dari luka di ventrikel
sebelum melakukan penjahitan interrupted atau matras horizontal
dengan benang monofilament 2-0. Pada luka tembak dengan kerusakan
miokardium luas, seringkali diperlukan material bioprostesis
seperti Teflon sebagai buttress untuk jahitan.
Penatalaksanaan Cedera Arteri Koronaria1Penjahitan yang tidak
hati-hati di dekat arteri koronaria dapat menyebabkan penyempitan
atau bahkan oklusi salah satu cabangnya, dan mengakibatkan infark
pada miokardium. Penjahitan luka di arteri koronaria bagian
proksimal memerlukan bantuan CPB, sedangkan untuk luka di bagian
distal dapat diatasi dengan ligasi.
PROGNOSISFaktor utama yang mempengaruhi mortalitas pada trauma
tembus jantung adalah mekanisme cedera dan status fisiologis saat
tiba di rumah sakit. Luka tembak dan tidak adanya tanda vital saat
datang di rumah sakit merupakan petanda prognosis yang buruk.
Faktor lain masih diperdebatkan adalah (1) cedera satu ruang
jantung dibandingkan beberapa ruang jantung sekaligus; (2) cedera
ventrikel kiri dibandingkan ventrikel kanan; (3) ada tidaknya
tamponade; (4) cedera jantung saja dibandingkan cedera multipel
pada beberapa organ tubuh.2
SIMPULAN Trauma tembus jantung merupakan cedera unik yang
mematikan dan terus menerus menjadi tantangan di bidang
traumatologi terkait dengan pilihan prosedur diagnosis dan terapi.
Subxiphoid pericardial window masih merupakan standar baku emas
dalam diagnosis trauma tembus jantung.
Tidak dianjurkan lagi melakukan perikardiosintesis, baik sebagi
diagnosis maupun terapi.
Torakotomi resusitasi berperan dalam kasus ekstrim namun perlu
didukung sarana yang lengkap dan personel yang terlatih
DAFTAR PUSTAKA1.Asensio J., Soto S., Forno W., Roldan G.,
Petrone P., Gambaro E., et al. "Penetrating cardiac injuries: A
complex challenge." Surg Today(2001) 31: 1041-53.
2.Kang N., Hsee L., Rizoli S. and Alison P. "Penetrating cardiac
injury: Overcoming the limits set by Nature." Injury Int J Care
Injured(2009) 40: 919-27.
3.Asensio J., Petrone P., Pereira B., PEfia D., Prichayudh S.,
Tsunoyama T., et al. "Penetrating cardiac injuries: A historic
perspective and fascinating trip through time." J Am Coll
Surg(2009) 208(3): 462-72.
4.Wuryantoro I. (2002). Trauma jantung. Penanganan trauma
toraks. Rachmad K. Jakarta, Subbagian Bedah Toraks Bagian Ilmu
Bedah FKUI/RSUPNCM: 49-55.
5.Gao J., Gao Y., Wei G., Liu G., Tian X., Hu P., et al.
"Penetrating cardiac wounds: Principles of surgical management."
World J Surg(2004) 28: 1025-9.
6.Mazni Y. and Tjahjono A. (2002). Evaluasi penanganan luka
tusuk prekordial di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta Dept Ilmu
Bedah. Jakarta, Universitas Indonesia.
7.Ivatury R. and Rohman M. "The injured heart." Surg Clin North
Am (1989) 69(1): 93-111.
8.Abbott J., Cousineau M., Cheitlin M., Thomas A. and Lim R.
"Late sequelae of penetraing cardiac wounds." J Thorac Cardiovasc
Surg(1978) 75(4): 510-8.
9.Attar S., Suter C., Hankins J., Sequeira A. and McLaughlin J.
"Penetrating cardiac injuries." Ann Thorac Surg(1991) 51:
711-6.
10.DeGennaro V., Roberts B., Ching N. and Nealson T. "Aggressive
management of potential penetrating cardiac injuries." J Thorac
Cardiovasc Surg (1980) 79: 833-7.
11.Tavares S., Hankins J., Moulton A., Attar S., Ali S., Lincoln
S., et al. "Management of penetrating cardiac injuries: The role of
emergency room thoracotomy." Ann Thorac Surg (1984) 38(3):
183-7.
12.Trinkle J., Toon R., Franz J., Arom K. and Grover F. "Affaris
of the wounder heart: Penetrating cardiac wounds." J Trauma(1979)
19(6): 467-72.
13.Alegre R. and Mon L. "Subxiphoid pericardial window in the
diagnosis of penetrating cardiac trauma." Ann Thorac Surg (1994)
58: 1139-41.
14.Arom K., Richardson J., Webb G., Grover F. and Trinkle J.
"Subxiphoid pericardial window in patients with suspected traumatic
pericardial tamponade." Ann Thorac Surg(1977) 23(6): 546-9.
15.Santos G. and Frater R. "The subxiphoid approach in the
treatment of pericardial effusion." Ann Thorac Surg(1977) 23(3):
467.
16.Richardson J., Flint L., Snow N., Gray L. and Trinkle J.
"Management of transmediastinal gunshot wounds." Surgery (1981)
90(4): 671-6.
10