Page 1
TRAUMA KAPITIS
PENDAHULUAN(4)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban
ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis
harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi
kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera
kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.
DEFINISI
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis. (1)
SINONIM (1)
Cedera kepala, Cranicerebral trauma, Head injury
PATOFISIOLOGI (1)
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis
bergantung pada :
1. Besar dan kekuatan benturan
2. Arah dan tempat benturan
3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan
Sehubungan dengan pelbagai aspek benturan tersebut maka dapat
mengakibatkan lesi otak berupa :
• Lesi bentur (Coup)
• Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx
dengan otak, peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi
media)
• Lesi kontra (counter coup)
Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :
1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem
ARAS (Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)
2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian
3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)
Page 2
4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar
5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan
peregangan ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa
meluas secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak
6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan
komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis
Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan
serotonin bebas yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel
dinding pembuluh darah sehingga lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun
akan terganggu, dan terjadilah oedema otak regional atau diffus (vasogenik
oedem serebri)
Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan
kemudian oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak
melibatkan sel-sel glia, terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler
di substansia alba. Dan ternyata oedema serebri itu meluas berturut-turut akan
mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi, kemudian terjadi kompresi dan
hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan akibat selanjutnya bisa
menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang berakibat fatal.
Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial
herniasi dan kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma
langsung pada batang otak. Kerusakan yang hebat yang disertai dengan
kerusakan batang otak akibata proses diatas mengakibatkan kelainan patologis
nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak neuron yang rusak dan proses
gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa terjadi suatu keadaan
vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada daya
apapun (akinetic-mutism/coma vigil, apallic state, locked in syndrome).
Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang
bilateral dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in syndrome
kerusakan terutama pada eferen motor pathway dan daerah depan pons. Apallic
states kerusakan luas pada daerah korteks serebri.
Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk
mempertahankan Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan
Perfusi Otak (TPO) juga adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk
mensuplai seluruh daerah otak). Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka
Page 3
menekan kapiler serebral sehingga terjadi serebral hipoksia diffus
mengakibatkan kesadaran akan menurun.
Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi
kompensasi (Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata,
hipoksia pusat vasomotor, sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi
perifer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi,, pernafasan yang
melambat dan muntah-muntah.
TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis (PO2
menurun dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral.
Selama pembuluh darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka
CBF dan TPO akan tercukupi.
Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi.
Demikian pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu
rendah maka sistem autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan
menurun sehingga fungsi serebral terganggu.
Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan
konduksi pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak.
Akibatnya pols berubah cepat dan lemah serta tekanan darah sistemik akan
drops menurun secara drastis. Respirasi akan berubah irreguler, melambat dan
steatorous.
Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan
volunter di korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata
bahwa herniasi serebellar tonsil ke bawah yang melewati foramen magnum
hanya mempunyai efek yang minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme
pernafasan, kecuali jika herniasinya memang sudah terlalu besar maka tiba-tiba
saja bisa terjadi respiratory arrest.
MONITORING KLINIS(1,5)
Untuk memudahkan para perawat memonitor secara intensif perkembangan
tingkat kesadaran penderita per-jam dan per-hari secara ketat, dibuatlah suatu
Skala Koma Glasgow (oleh Bryan Jennett) yang menyangkut masalah buka mata,
repons verbal dan respons motorik. Pelaksanaannya sangat mudah sehingga
bisa cepat di mengeti dan diterapkan oleh para perawat. Jika pengamatan
tingkat kesadaran penderita trauma kapitis tidak cukup lengkap atau hanya
Page 4
dengan SKG, maka belumlah dapat menggambarkan keadaan neurologik
penderita yang sebenarnya.
Observasi neurologik terus menerus penderita koma haruslah disertai dengan :
1. Monitor fungsi batang otak
Besar dan reaksi pupil
Okulosefalik respons (Doll’s eye phenomen)
Okulovestibuler respons/okuloauditorik respons
2. Monitor pola pernafasan (untuk melihat lesi-proses lesi)
Cheyne Stokes : lesi di hemisfer atau mesensefalon atas
Central neurogenic hyperventilation : lesi dibatas mesensefalon dengan pons
Apneustic breathing : lesi di pons
Ataxic breathing : lesi di medulla oblongata
3. Pemeriksaan fungsi motorik
Kekuatan otot
Refleks tendon, tonus otot
4. Pemeriksaan funduskopi
5. Pemeriksaan radiologi : X foto tengkorak, CT-Scan, MRI atau kalau perlu EEG
Meskipun kenyataan bahwa 70 % X foto tengkorak yang dilakukan pada semua
kasus trauma kapitis adalah normal tetapi demi kepentingan medikolegal X-ray
foto tengkorak wajib rutin dilakukan.
SKALA KOMA GLASGOW(1,4,5)
Nilai
Buka Mata Spontan 4
Atas perintah 3
Terhadap nyeri 2
Tak ada reaksi 1
Respons Verbal Orientasi baik 5
Bingung-bingung 4
Kata-kata ngawur 3
Kata-kata tak dimengerti 2
Tak ada reaksi 1
Respons Motorik Gerak turut perintah 6
Menghindari terhadap nyeri 5
Flexi withdrawal 4
Page 5
Flexi abnormal 3
Ekstensi terhadap nyeri 2
Tak ada reaksi 1
Dengan bantuan pemeriksaan radiologi X foto polos/Brain CT-Scan/MRI dapat
melihat kelainan-kelainan berupa fraktur, edema, kontusio jaringan, hematoma
intrakranial dan lain-lain.
KLASIFIKASI(1,3,4)
Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kapitis, tetapi dengan pelbagai
pertimbangan dari berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian
sebagai berikut :
a. Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operatif (95%) terdiri atas :
1. Komosio serebri
2. Kontusio serebri
3. impressi fraktur tanpa gejala neurologis (< 1 cm) 4. Fraktur basis kranii 5.
Fraktur kranii tertutup b. Trauma kapitis yang memerlukan tindakan operatif (1-
5%) 1. Hematoma intra kranial yang lebih besar dari 75 cc Epidural Subdural
Intraserebral 2. Fraktur kranii terbuka ( + laserasio serebri) 3. Impressi fraktur
dengan gejala neurologis ( > 1 cm)
4. Likuorrhoe yang tidak berhenti dengan pengobatan konservatif
Sebagai penambah pengetahuan perlu dijelaskan bahwa ada beberapa sentra
yang membagi klasifikasi atas dasar sehubungan dengan Skala Koma Glasgow-
nya yaitu :
Mild head injury SKG score : 13-15
Moderate head injury SKG score : 9-13
Severe head injury SKG score : < 8 Jika angka SKG dibawah 8 dan komanya lebih
dari 6 jam maka menunjukkan kerusakan otak yang parah dan prognosa
biasanya jelek. Lebih dalam dan lama komanya juga menggambarkan atau
mempunyai korelasi dengan lebih dalamnya letak kerusakan otaknya. 1.
KOMOSIO SEREBRI (1,2) (gegar otak, insiden : 80 %) Komosio serebri yaitu
disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis tanpa
menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan Simptomatologi
Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga
tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah
Page 6
bawah canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan
menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS. Pada
komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi
hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu
jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke
atas sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di
atas maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa
diikuti sedikit penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat
juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di medula oblongata
terangsang. Gejala : – pening/nyeri kepala – tidak sadar/pingsan kurang dari 20
menit – amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama
sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini
menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis. –
Post trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat
sesudah trauma. Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai
korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde amnesia, post traumatic
amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di
hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa
meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke
korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke
arah garis tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi
retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian besar
pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %). Amnesia
retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia retrograde
lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan :
bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo.
(vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan
komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat ekstremitas.
Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala,
nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran
konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau
beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori),
lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai daerah
temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur
Page 7
Diagnostik : 1. X foto tengkorak 2. LP, jernih, tidak ada kelaina 3. EEG normal
Terapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan simptomatis dan
mobilisasi bertahap. Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan
diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala
neurologik fokal, untuk mengantisipasi adanya lusid interval hematom. 2.
KONTUSIO SEREBRI (1,2,3) (memar otak, insiden : 15-19 %) Kontusio serebri
yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kapitis yang menimbulkan lesi
perdarahan intersitiil nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas
jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi
otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut laserasio
serebri. Patofisiologi dan Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menit
Fase I = fase shock
Keadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan :
– kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetatif
– temperatur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik
– respirasi dangkal dan cepat
– nadi lambatsebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan iregular
– tekanan darah menurun
– refleks tendon dan kulit menghilang
– babinsky refleks positif
– pupil dilatasi dan refleks cahaya lemah
Fase II = fase hiperaktif central vegetatif
– temperatur tubuh meninggi
– pernafasan dalam dan cepat
– takikardi
– sekret bronkhial meningkat berlebihan
– tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal
– refleks-refleks serebral muncul kembali
Fase III = cerebral oedema
Fase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan kematian
jika tidak ditanggulangi secepatnya.
Page 8
Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesens
Temperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas berkurang
atau menghilang kecuali lesinya luas.
Gejala lain :
Fokal neurologik :
• Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity
• Babinsky refleks
• Afasia, hemianopsia, kortikal blindness
• Komplikasi saraf otak :
– fraktur os criribroformis : gangguan N. I (olfaktorius)
– fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI
– herniasi uncus, gangguan N. III
– farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan N. VII dan N. VIII
– perdarahan tegmentum : batang otak ; opthalmoplegia total
– fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII
• Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke arachnoid
• Gangguan organik brain sindroma : delirium
Kontusio Serebri pada Anak-anak
Kontusio serebri pada anak-anak dibawah 6 tahun kadang-kadang gejalanya
berbeda dengan dewasa antara lain :
1. adanya fase latent, dimana anak tersebut tak menunjukkan kelainan
kesadaran dan tingkah laku. Fase latent ini dapat berlangsung dampai 16 jam.
2. sesudah fase latent, diikuti serangan akut gejala fokal serebral serta
kehilangan kesadaran dan kejang-kejang.
3. jika kondisi kontusionya tidak berat maka sesudah 4 hari sang anak pulih
normal bermain-main seakan tidak ada apa-apa lagi.
Hal ini disebabkan anak-anak tidak melalui fase I shock, tapi langsung ke fase II.
Di duga hal tersebut dikarenakan tulang kranium anak masih elastis sehingga
berfungsi sebagai shock absorber yang baik terhadap trauma.
Diagnostik bantu :
1. X foto tengkorak polos, Brain CT-Scan, MRI
Page 9
2. LP bercampur darah
3. EEG abnormal
3. EPIDURAL HEMATOM(1,2,3)
Hematoma terjadi karena perdarahan antara tabula interna kranii dengan
duramater. Insiden terjadinya 1-3 %.
Patofisiologi dan Simptomatologi
Hematoma ini disebabkan oleh :
1. pecahnya arteri dan atau vena meningea media
2. perdarahan sinus venosus : misalnya sinus sphenoparietalis, sinus sagitalis
posterior. Perdarahn sinus ini bisa bersifat progresif.
Berhubung perdarahannya kebanyakan massif atau arteriil maka lucid interval
cepat antara beberapa menit, beberapa jam sampai 1-2 hari. Volume darah
biasanya setelah mencapai 75 cc dan melepaskan duramater dari ikatannya
pada periost baru tampak ada gejala nyata penurunan kesadaran. Lucid interval
adalah waktu sadar antara terjadinya trauma sampai timbulnya penurunan
kesadaran ulang. Jadi biasanya epidural hematoma sering bersamaan dengan
komosio serebri atau kontusio serebri. Jika bersamaan dengan kontusio serebri
berat, lusid interval tidak tampak karena gejalanya berhubungan antara
superposisi dengan kontusionya.
Pada anak-anak jarang terjadi epidural hematom sebab duramaternya masih
melekat erat pada dinding periosteum kranium. Pada dewasa perlekatan
duramater paling lemah di daerah temporal.
Tanda-tanda yang paling dapat dipercaya suatu epidural hematom apabila ada
gejala-gejala seperti dibawah :
1. adanya lucid interval
2. kesadarn yang makin menurun
3. hemiparese yang terlambat kontralateral lesi
4. pupil anisokor. Unilateral midriasis terjadi karena lesi N. III pada sisi akibat
penekanan daripada herniasi uncus gyrus hipokampus lobus temporalis sehingga
N. III terjerat
5. babinsky unilateral kontralateral lesi (bisa juga bilateral)
6. fraktur kranii yang menyilang pada sisi (sering di temporal)
Page 10
7. kejang
8. bradikardi
Jika epidural hematom terletak pada fossa kranii posterior gejalanya tidak sama
dengan yang di atas, tapi sebagai berikut :
1. lusid interval tidak jelas
2. fraktur kranii daerah oksipital
3. kehilangan kesadarannya terjadi cepat
4. terjadi gangguan pernafasan dan serebellum
5. pupil isokor
biasanya disebabkan oleh karena sinus transversus atau confluence sinuum
pecah maka prognosanya jelek.
Diagnosa bantu
1. X foto tengkorak : ada fraktur yang menyilang
2. Brain CT-Scan
3. Arteriografi karotis
4. EEG abnormal
5. LP tekana meninggi jernih
4. SUBDURAL HEMATOMA(1,2,3)
Hematoma yang terbentuk karena adanya perdarahn di antara duramater dan
arakhnoid. Hygroma subdural yaitu subdural hematom yang diikuti perobekan
arakhnoid dan darah bergabung dengan likuor serebrospinal
Penyebabnya adalah robeknya bridging vein (vena-vena yang menyebrang dari
korteks ke sinus-sinus sagitalis superior) antara lain :
1. trauma kapitis
2. kaheksia
3. gangguan diskrasia darah
lokasi : sering di daerah frontal, parietal dan temporal.
Subdural hematom sering bersamaan dengan kontusio serebral. Lusid interval
pada subdural hematoma lebih lama daripada epidural hematom karena yang
mengalami perdarahan adalah pembuluh darah venous kecil akibatnya
perdarahannya tidak masif bahkan hematomanya itu sendiri bisa sebagai
tampon bagi vena-vena yang robek dimana perdarahan dapat berhenti sendir.
Page 11
Klasifikasi :
a. Akut Subdural Hematoma (SDH) : lusid interval 0-5 hari
Akut SDH biasanya bersamaan dengan kontusio berat akibatnya lusid interval
dan gejala subdural tidak terdeteksi. Biasanya diketahui pada diagnosa
postmortem atau pada saat otopsi. Penderita akut SDH langsung jatuh koma,
pupil anisokor dan hemiplegia kontralateral. Prognosisnya fatal.
Diagnosis bantu :
– CT-Scan
– LP berdarah
– Arteriografi karotis
– EEG abnormal
b. Subakut Subdural Hematoma : lusid interval 5-15 hari
Gejala nyeri kepala, kesadaran makin lama makin menurun, pelan-pelan visus
makin kabur disebabkan papil oedema. Jarang bersamaan dengan kontusio
serebri. Kemudian timbul hemiplegia secara perlahan.
Diagnosa bantu : sama dengan akut SDH
Prognosis sangat baik jika operatif pada subdural yang besar cepat dilakukan 75
% kembali sembuh sempurna.
c. Kronik Subdural Hematoma : lusid interval 15 hari sampai bertahun-tahun
Pecahnya bridging vein makin lama makin besar dan hematomanya sendiri
berfungsi sebagai tampon bagi vena-vena yang pecah akibatnya perdarahn
berhenti, hematoma kemudian membeku dan dinding hematoma membentuk
jaringan ikat kapsula sebagai pembatas di sekitar hematoma. Gumpalan darah
kemudian lisis dengan osmolaritas lebih tinggi dari cairan intersitiil di sekitarnya
yang bisa menarik cairan sekitarnya atas dasar beda osmolaritas. Lama
kelamaan cairan jumlahnya bertambah sehingga mengakibatkan proses desak
ruang dan tekanan intrakranial meninggi.
Gejala awal :
1. sefalgia terus menerus intermiten, sebab tertariknya duramater dan kompresi
jaringan otak di daerah sekitar hematoma
2. kesadaran makin lama makin menurun samapi koma
3. terjadi perubahan mental dan fungsi intelelek
4. papil oedem, pandangan makin kabur dan diplopia parese N. VI
Page 12
5. hemiparesis yang pelan-pelan
6. pupil bisa anisokor
7. tekanan LP meninggi
5. INTRASEREBRAL HEMATOMA(1,2,3)
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam
jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Hematoma
dapat hanya satu saja ataupun multiple.
Jika hematoma tunggal dan letaknya di permukaan korteks, tindakan operatif
dapat dilakukan. Pada semua kasus intra kranial hematoma, bila hematomanya
kecil, pengobatan konservatif dapat dipertimbangkan tanpa memerlukan
tindakan operatif.
6. FRAKTUR BASIS KRANII (1,2,3)
Fraktur basis kranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali
memang diserta adanya komosio ataupun kontusio serebri. Gejala tergantung
letak frakturnya.
1. Fraktur basis kranii media biasanya fraktur terjadi pada os petrosum
– keluar darah dari telinga dan likuorrhoe
– parese N. VII dan VIII sering dijumpai
2. Fraktur basis kranii posterior
– unilateral/bilateral orbital hematom (Brill’s hematom)
– gangguan N. II jika fraktur melalui foramen optikum
– perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan diikuti : Anosmia, anosmia
akibat trauma bisa persistent, jarang bisa sembuh sempurna.
3. Fraktur basis kranii posterior
– gejala lebih berat, kesadaran menurun
– tampak belakang telinga berwarna biru (Battle sign)
Diagnosa bantu : 50 % fraktur basis tidak dapat dilihat pada X foto polos basis.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS PADA TRAUMA KAPITIS(1)
X Foto Tengkorak
Fraktur tengkorak pada trauma kapitis hanya 3-15 % saja dan kasus-kasus yang
ada fraktur tidak ada selalu ada kelainan intra kranial yang berarti. Namun
demikian X foto polos rutin dilakukan untuk setiap kasus trauma kapitis. Ini
Page 13
penting sebab :
1. Dari semua kematian akibat trauma kepala 80 % didapati fraktur tengkorak
2. Pembuatan X foto tengkorak diperlukan untuk kepentingan medikolegal
3. Tindakan atau pengawasan klinik ditentukan dengan melihat jenis dan lokasi
fraktur
Jenis foto :
1. Foto antero-posterior
2. Foto lateral
3. Foto Towne : foto ini dibuat seperti foto AP tetapi dengan tabung rontgen
diarahkan 30 derajat kraniokaudal. Foto ini penting untuk melihat fraktur di
daerah oksipital yang sulit di lihat dengan foto AP
4. Foto Waters : dibuat bila curiga ada fraktur tulang muka
5. Foto basis kranii : dibuat bila curiga ada fraktur basis
6. Foto tangensial : dibuat bila ada fraktur impresi, untuk melihat kedudukan pas
fragmen tulang yang melesak masuk
Keterangan gambar :
1. epidural hematoma/subdural hematom
2. intra serebral hematoma
3. impresio/depressed fraktur
4. herniasi uncus
Jenis-jenis fraktur tengkorak : (1,2,3)
1. Fraktur linier : garis fraktur terlihat lebih radiolusen dibandingkan dengan
gambaran pembuluh darah dan sutura, dan biasanya melebar pada bagian
tengah dan menyempit pada ujung-ujungnya. Perhatikan juga lokasi pembuluh
darah dan sutura mempunyai lokasi anatomis tertentu.
2. Fraktur impressi : jika impressi melebihi 1 cm dapat merobek duramater dan
atau jaringan otak dibawahnya. Fraktur impressi terlihat sebagai garis atau
daerah yang radiopaque dari tulang sekitarnya disebabkan bertumpuknya
tulang.
3. Fraktur diastasis sutura : tampak sebagai pelebaran sutura (dalam keadaan
normal sutura tidak melebihi 2 mm)
Page 14
CT-Scan Otak(1)
Tidak semua penderita trauma kepala dilakukan CT-Scan otak, penguasaan klinis
mengenai trauma kapitis yang kuat dapat secara seleksi menentukan kapan
penderita secara tepat dilakukan CT-Scan. Dari CT-Scan dapat dilihat kelainan-
kelainan berupa : oedema serebri, kontusio jaringan otak, hemaroma
intraserebral, epidural, subdural, fraktur dan lain-lain.
Angiografi (1)
Sistem rapid serial film 10 film/detik
Memakai kontras : angiografin 65 %, conray 60, hypaque sodium dan lain-lain
Jenis angiografi :
– karotis (paling sering)
– vertebralis (jarang)
Cara melakukan dengan ;
1. Fungsi langsung (pada a. karotis komunis, sedikit dibawah bifurcatio)
2. Fungsi tak langsung (dengan kateter dari daerah a. femoralis) angiografi pada
trauma kapitis penting untuk memperlihatkan epidural atau subdural
hematomanya.
PRIORITAS PENANGGULANGAN CEDERA KEPALA AKUT(1)
a. Perbaiki kardiovaskular (atasi shock)
b. Perbaiki keseimbangan respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baik
c. Evaluasi tingkat kesadaran
d. Amati jejas di kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-tanda fraktur basis
kranii, likuorhoe, hati-hati terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi leher)
e. Amati jejas di bagian tubuh lainnya
f. Pemeriksaan neurologik lengkap dan X fot kepala, leher, CT-Scan
g. Perhatikan pupil
h. Atasi oedema serebri
i. Perbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori
j. Monitor tekanan intra kranial
k. Pengobatan simptomatis atau konservatif
l. Jika ada pemburukan kesadaran disertai perdarahan intra kranial yang lebih
Page 15
dari 75 cc, perlukaan tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur lebih dari 1
cm secepatnya dilakukan tindakan operatif
OEDEMA SEREBRI(1)
Meningkatnya massa jaringan otak yang disebabkan peningkatan kadar cairan
intraseluler maupun ekstraseluler otak sebagai reaksi daripada proses patologik
lokal atau pengaruh umum yang merusak.
Jenis-jenis
1. Vasogenik oedema serebri
2. sitotoksik oedema serebri
3. osmotik oedema serebri
4. hidrostatik oedema serebri
Vasogenik Sitotoksik Osmotik Hidrostatik
Kausa BBB kapiler Sodium pump Osmotik Gangguan absorbsi LSC
Lokalisasi Subs. alba Alba + grisea Alba + grisea Subs. Alba
Permeabilitas vaskuler Meningkat Normal Normal Normal
Histologis Ekstraseluler Interseluler Ekstra / intra Ekstraseluler
Unsur Plasma Plasma Air Air + Na
Pada oedema serebri tahap permulaan, tekanan intra kranial, tekanan perfusi
otak masih dapat dikompensasi dengan mengatur otoregulasi cerebral blood
flow, dan volume likuor serebro spinal. Untuk setiap penambahan 1 cc volume
intra kranial tekanan intra kranial akan meningkat 10-15 mmHg.
1. Vasogenik oedema serebri
Lesi terutama pada sistem Blood Brain Barrier yang dibentuk dari ikatan fusi sel
membran endotel kapiler pembuluh darah otak pada keadaan tertentu secara
langsung dapat merusak dinding kapiler dan secara tidak langsung dapat
menyebabkan pelepasan serotonin, yang mengakibatkan gangguan dan
pengurangan eratnya ikatan fusi membran sel. Dengan endotel kapiler cairan
plasma dapat mengalir ke jaringan otak dan mengakibatkan terjadi oedema
serebri. Vasogenik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :
– trauma kapitis
– stroke
– iskhemia
Page 16
– radang : meningitis, ensefalitis
– space occupying lesion : tumor otak
– malignant hipertensi
– konvulsi
2. Sitotoksik oedema serebri
Ini bisa terjadi bila ada gangguan sodium pump membran sel otak, akibatnya
permeabilitas membran terganggu dan akan masuk cairan ke intraseluler otak
Sitotoksik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :
– neonatal asphyxia
– cardiac arrest
– zat-zat toksik hexachlorophene, golongan alkyl metal
3. Osmotik oedema serebri
Bila osmolaritas plasma dikurangi 12 % atau lebih, maka cairan akan meloloskan
diri dari sistem vaskuler dan menyebabkan pembengkakan otak. Ini bisa terjadi
apabila membran sel masih intak. Osmotik oedema serebri ini terdapat pada
kasus-kasus :
– water intoksikasi
– hemodialisis yang terlalu cepat
4. Hidrostatik oedema serebri
Ini terjadi bila jumlah cairan ekstraseluler berlebihan (cairan likuor
serebrospinal). Contohnya pada hidrosefalus.
Pengobatan Odema Serebri
1. Hipertonic Solution Therapy
Pengobatan cairan hipertonis bertujuan untuk mengurangi oedema serebri
dengan cara perbedaan osmolaritas cairan jaringan otak dengan plasma.
Contoh cairan hipertonik :
a. Manitol
b. Glyserol
Pemberian cairan hipertonis yang berlebihan dapat menimbulkan bahaya berupa
:
• Dehidrasi berat
• Pengeluaran Na+ dan Cl- mengakibatkan neuron rusak
• Timbul rebound phenomen sehingga tekanan intrakranial meninggi
Page 17
• Hati-hati pada perdarahan intrakranial sebab :
– dengan mengeriputnya jaringan otak akibat cairan hipertonis itu, maka darah
akan menempati daerah yang kosong dan dengan demikian akan mengaburkan
gejala perdarahan yang sebenarnya
– cairan hipertonis bisa mempercepat proses perdarahan itu sendiri
– cairan hipertonis bisa mencetuskan proses perdarahan baru
Kontraindikasi :
Renal Failure
Hepatic Failure
Congestive Heart Failure
Manitol
a. Mempunyai efek :
– meninggikan cerebral blood flow
– meninggikan eksresi Na+ urine
– menurunkan tekanan likuor serebro spinal
– diuresis secara ekstrem
Jika berlebihan dapat menyebabkan :
– dehidrasi berat
– hipotensi
– takikardi
– hemokonsentrasi
– overshoot obat masuk intraseluler padahal kadang di plasma sudah menurun
maka bisa terjadi rebound phenomen
b. Dosis
Manitol 20 % dengan dosis 0,25-1 gr/KgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit.
Efek samping jika diberikan dalam dosis besar : sering nyeri kepala, chest pain.
Jarang : kejang, renal failure
Gliserol
a. Sifat dan kegunaannya :
– meninggikan osmolaritas plasma yang lebih berperanan untuk menarik cairan
di otak dibandingkan dengan efek diuresisnya
– dimetabolisir oleh tubuh sebagai bahan substrat energi
– tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kadar gula darah dan keton
bodies darah
Page 18
– tidak mempunyai efek rebound phenomen
b. Dosis
– per oral : 0,5-1 gr/Kg diberikan setiap 4 jam dalam larutan 50 % gliserol untuk
mempertahankan kadar dalam darah. Dalam 30 menit sesudah pemberian akan
terlihat efek penurunan tekanan intra kranial
– per infus : 1 gr/Kg BB/hari dalam 10 % gliserol diberikan jangan melebihi 5
cc/menit. Efeknya akan kelihatan setelah 1 jam sesudah pemberian dan akan
menetap bertahan selama 12 jam
Jika infus diberikan dengan dosis melebihi 2,5 cc/menit maka akan terjadi efek
diuresis. Jika gliserol diberikan dalam dosis besar akan mempunyai komplikasi :
hemolisis intravaskuler
hemoglobinuria
gastric iritasi
nonketotic hiperosmolar hiperglikemia
2. Kortikosteroid
Sifat dan kegunaannya :
Memperbaiki membran sel yang rusak dengan cara :
• membentuk ikatan dengan fatty acid atau phospolipid membran
• melindungi sel otak dari anoksia
• memperbaiki sistem sodium pump
• memperbaiki capillary tissue junction dan intercelluler junction sehingga
permeabilitas membran sel menjadi normal kembali dan akibatnya BBB pun
membaik dan edema sel-sel otak berkurang
Dosis :
• dexamethason : initial 10 mg IV kemudian diikuti dengan pengurangan 4 mg/4
jam/hari dan pengurangan dosis secara tappering off. (diberikan dalam waktu
singkat 7-10 hari)
• methyl prednisolon sodium succinat : initial 60 mg kemudian diikuti 20 mg/6
jam kemudian taffering off
Hati-hati pada perdarahan lambung.
Akhir-akhir ini penggunaan kortikosteroid pada oedema serebri mulai
dipertanyakan. Banyak kontroversi diperdebatkan dalam penggunaannya pada
kasus trauma kapitis.
Page 19
3. Barbiturat
Berguna untuk melindungi otak dari kerusakan lebih parah dengan cara :
a. menurunkan metabolisme otak
b. menstabilkan membran sel
c. menurunkan aktivitas lysozim
d. menurunkan tekanan intra kranial
e. menurunkan pembentukan oedema otak
f. melindungi sel otak terhadap iskhemia
Dosis :
Tiopental atau pentotal : 3-5 mg/KgBB/hari yang bisa dinaikkan sampai 30-50
mg/KgBB kemudian di monitor terus kadarnya dalam plasma untuk mencapai
kadar optimal 2-2,5 mg %.
Pemberian barbiturat terapi adalah pilihan terakhir sesudah gagal dalam
penggunaan hiperventilasi artifisiil, cairan hiperosmolar dan deksametason.
4. Hipothermi
30 derajat celcius bertujuan mengurangi metabolisme otak dan mengurangi
tekanan darah. Penyulit yang timbul adalah timbulnya aritmia cordia dan
asidosis biasanya ini dilakukan hanya dalam 5 hari saja.
5. Hiperventilasi Artifisial
Memakai alat bantu ventilator melakukan induksi hipokapnia dimana PaCO2
arteri diturunkan dan dipertahankan pada 26-28 mmHg (3,5-3,7 kPa) sehingga
cerebral blood flow berkurang dan akibatnya akan menurunkan tekanan intra
kranial.
PENATALAKSANAAN(4)
Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal
1. Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas, lepaskan gigi palsu, pertahankan
tulang servikal segaris dengan badan, pasang guedel, bila perlu intubasi.
2. Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak.
3. Menilai sirkulasi: otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk
pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas
darah arteri. Berikan larutan koloid, larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa
Page 20
dalam salin) dapat menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang: Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan
dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat
diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tinglcat keparahan
Pedoman Penatalaksanaan
1. Pada sernua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan foto tulang
belakang servikal (proyeksi antero-posterior. lateral, dan odontoid), kolar servikal
baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal Cl -C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan
prosedur berikut:
– Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCI 0,9%) atau larutan
Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular
daripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
– Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit,
kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa
tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak diperlukan
jika CT- Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi
fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, atau berat, harus
dievaluasi adanya:
– Hematoma epidural
– Darah dalarn subaraknoid dan intraventrikel
– Kontusio dan perdarahan jaringan otak
– Edema serebri
– Obliterasi sisterna perimesensefalik
– Pergeseran garis tengah
– Fraktur kranium, cairan dalarn sinus, dan pneumosefalus.
4. Pada pasien yang korna (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda
hemiasi, lakukan tindakan berikut ini :
– Elevasi kepala 30o
– Hiperventilasi
Page 21
– Berikan manitol 20 % 1g/kgbb intravena dalarn 20-30 menit. Dosis ulangan
dapat diberikan 4-6 jam kemudian 1/4 dosis semula setiap 6 jam sampai
maksimal 48 jam pertama
– Pasang kateter Foley
– Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila
memenuhi kriteria berikut:
– Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)
dalam batas normal
– Foto servika1jelas normal
– Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika
timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
– Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
– Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
– Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
– Intoksikasi obat atau alkohol
– Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
– Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak),
dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien
ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala,
mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut
yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital,
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi
bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus
segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan
Page 22
cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
– Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
– Monitor tekanan darah
– Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS <
8, bila memungkinkan.
– Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan
Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air
bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat
menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
– Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
– Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
– Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari
intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah
7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien
dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan
komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir
pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam
selama 48-72 jam).
– Profflaksis trombosis vena dalam
– Profilaksis ulkus peptik
– Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko
meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal
atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
organisme yang lebih virulen.
– CT Scan lanjutan
Komplikasi Cedera Kepala Berat
1. Kebocoran cairan serebrospinal
2. Fistel karotis-kavemosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan
bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
3. Diabetes insipidus oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis.
4. Kejang pasca trauma
Page 23
PROGNOSIS(4)
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama
pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki
nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal
85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12
atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom
pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan,
pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian
yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali
berturnpang-tindih dengan gejala depresi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta,
2004
2. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta,
2005
3. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat,
Jakarta, 2004
4. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
5. Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic
Therapeutics With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000