Trauma Inhalasi : Epidemiologi, Patologi, dan Strategi Penatalaksanaan David J Dries dan Frederick W Endorf Abstrak Gangguan pada paru-paru yang disebabkan oleh terhirupnya asap atau bahan kimia oleh karena pembakaran terus menerus dapat dihubungkatan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Ditambah lagi adanya luka pada kulit, maka trauma inhalasi menyebakan meningkatnya kebutuhan resusitasi cairan, timbulnya komplikasi pada paru-paru serta mortalitas pada trauma termis. Sementara itu banyak alat dan teknik yang dikembangkan dalam menangani trauma termis pada kulit, diagnosis yang relatif serta pilihan terapi yang spesifik telah ditemukan pada pasien dengan trauma inhalasi. Terdapat beberapa faktor yang menjelaskan melambatnya progresitas pada penatalaksanaan pasien dengan trauma inhalasi. Trauma inhalasi merupakan masalah klinis yang lebih rumit. Terbakarnya jaringan kulit membutuhkan penggantian dengan metode skin graft. Gangguan pada jaringan paru-paru harus dilindungi dari gangguan sekunder dengan jalan pemberian resusitasi, ventilasi mekanik dan pencegahan infeksi dimana penderita mendapatkan bantuan yang sesuai
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Trauma Inhalasi : Epidemiologi, Patologi, dan Strategi Penatalaksanaan
David J Dries dan Frederick W Endorf
Abstrak
Gangguan pada paru-paru yang disebabkan oleh terhirupnya asap atau bahan
kimia oleh karena pembakaran terus menerus dapat dihubungkatan dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Ditambah lagi adanya luka pada kulit,
maka trauma inhalasi menyebakan meningkatnya kebutuhan resusitasi cairan,
timbulnya komplikasi pada paru-paru serta mortalitas pada trauma termis. Sementara
itu banyak alat dan teknik yang dikembangkan dalam menangani trauma termis pada
kulit, diagnosis yang relatif serta pilihan terapi yang spesifik telah ditemukan pada
pasien dengan trauma inhalasi. Terdapat beberapa faktor yang menjelaskan
melambatnya progresitas pada penatalaksanaan pasien dengan trauma inhalasi.
Trauma inhalasi merupakan masalah klinis yang lebih rumit. Terbakarnya jaringan
kulit membutuhkan penggantian dengan metode skin graft. Gangguan pada jaringan
paru-paru harus dilindungi dari gangguan sekunder dengan jalan pemberian
resusitasi, ventilasi mekanik dan pencegahan infeksi dimana penderita mendapatkan
bantuan yang sesuai dengan keadaannya. Banyak konsekuensi yang dapat timbul
pada trauma inhalasi diakibatkan oleh respon inflamasi yang melibatkan mediator
radang dengan jumlah dan peran yang belum diketahui secara pasti meskipun telah
ditemukan peralatan klinis dalam menangani keadaan tersebut. Peningkatan
mortalitas pada trauma inhalasi kebanyakan disebabkan oleh meluasnya penyakit
pada pasien yang dalam penanganan kritis daripada pada pasien dengan trauma
inhalas yang difokuskan pada intervensinya. Morbiditas dihubungakan dengan trauma
inhalasi oleh paparan panas dan terhirupnya toksin. Penatalaksanaan trauma inhalasi
pada paparan toksin yang telah ada meninggalkan perdebatan, khususnya yang
berhubungan dengan karbon monoksida dan sianida. Pemberian oksigen secara
hiperbarik telah dievaluasi melalui percobaan berulang dalam menangani gangguan
neurologis akibat paparan karbon monoksida. Sayangnya, pada populasi ini data
tanggal pemeriksaan tidak didukung oleh penggunaan oksigen hiperbarik. Sianida
merupakan suatu jenis toksin yang dihasilkan oleh pembakaran material sintetis
maupun alami. Beberapa penatalakasanaan dengan menggunakan anti dotum telah
dievaluasi dalam menangani jaringan yang hipoksia akibat paparan sianida. Data
yang dihimpun dari European Center mendukung penggunaan anti dotum pada
intoksikasi sianida. Namun terapi yang tetap pada kasus ini belum ada. Kriteria
diagnostik pun tidak dapat ditetapkan bahkan melalui pemeriksaan bronkoskopi yang
merupakan salah satu alat diagnostik dan peralatan untuk terapi. Strategi medis
dilakukan melalui penelitian mengenai penatalaksanaan yang spesifik terhadap
trauma inhalasi termasuk penggunaan beta-agonis, peningkatan sirkulasi pulmonal,
pemberian anti koagulan dan anti inflamasi. Sampai mendekati nilai yang diharapkan,
namun pendekatan klinis pada trauma inhalasi bersifat suportif.
Kata kunci : Trauma inhalasi, Luka bakar, Karbon monoksida, Sianida,
Bronkoskopi.
Pendahuluan
Trauma inhalasi yang disebabkan oleh terhirupnya asap atau bahan kimia oleh
karena pembakaran terus menerus dapat dihubungkatan dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Bahkan dalam keadaan terpisah, trauma inhalasi juga
dapat dihubungkan dengan disfungsi pulmonal menetap, trauma inhalasi
menyebabkan peningkatan kebutuhan resusitasi, insidensi komplikasi pulmonal dan
mortalitas terhadap trauma termis secara keseluruhan. Sayangnya strategi diagnostik
yang tetap belum tersedia dan penatalaksanaan yang dilakukan umumnya masih
bersifat suportif. Kami akan meninjau dari sisi patologi, pilihan diagnostik dan
strategi medis.
Pustaka lama telah menjelaskan mengenai akibat dari trauma inhalasi, dasar
komplikasi, pneumonia, dan mortalitas pada pasien luka bakar di Shirani, Pruitt,
Mason, dan di U.S. Army Institute of Surgical Research di San Antonio, Texas.
Peninjauan melalui 1.000 pasien telah dilakukan, dimana data yang dikumpulkan
berasal dari status pasien yang masuk rumah sakit dengan trauma inhalasi dan
menderita pneumonia pada masa perawatannya. Pasien trauma inhalasi yang berisiko
diperiksa dengan bronkoskopi, scan paru Xenon, atau keduanya. Diagnosis pasien
dengan trauma inhalasi yang dikumpulkan sebanyak 373 pasien. Luasnya ukuran luka
bakar memiliki hubungan dengan meningkatnya insidens trauma inhalasi. Diagnosis
pneumonia ditegakkan setelah melalui pengamatan selama sepuluh hari pada pasien
yang menderita trauma inhalasi. Dibuat tiga gambaran yang mencerminkan
peningkatan mortalitas trauma inhalasi dan trauma inhalasi yang disertai pneumonia
pada pasien ini. Angka mortalitas yang diperkirakan pada pasien dengan trauma
inhalasi adalah maksimum 20% sedangkan pada pasien trauma inhalasi yang disertai
pneumonia sebesar 60%. Mortalitas pasien trauma inhalasi yan disertai pneumonia
ditemukan tidak berdiri sendiri namun terkait dengan faktor lain. Perkiraan
mortalitas pada pasien dengan luka bakar yang luas maupun sempit tidak
mempengaruhi kejadian komplikasi pulmonal kecuali pada usia yang ekstrim (grafik
1,2, dan 3).
Dua pustaka telah mendukung penelitian Shirani dan rekan. Meta-analisis
terbaru menegenai faktor yang mempengaruhi prognosis luka bakar yang disertai
trauma inhalasi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada seluruh trauma inhalasi
(27,6% dan 13,9%). Luasnya luka bakar dan usia merupakan mortalitas prediktif.
Penelitian lain yang menjadikan contoh prediktif sebagai akibat dari trauma inhalasi
yang disertai terhirupnya asap menunjukkan hasil dari 110 pasien luka bakar pada
kulit manunjukkan bahwa luas permukaan tubuh, usia, rasio tekanan dan fraksi
oksigen (PaO2/FiO2) merupakan prediktor mortalitas.
Sementara banyak bahan dan teknik yang telah dikembangkan untuk
menangani luka bakar pada kulit, diagnosis yang relatif serta pilihan terapi yang
spesifik telah ditemukan pada pasien dengan trauma inhalasi. Peningkatan mortalitas
pada pasien trauma inhalasi kebanyakan disebabkan oleh meluasnya penyakit pada
pasien yang dalam penanganan kritis daripada pada pasien dengan trauma inhalas
yang difokuskan pada intervensinya. Kenyataannya, suatu konsensus menyatakan
bahwa penanganan pasien dengan luka bakar tidak memiliki peningkatan.
Beberapa faktor yang menjelaskan lambatnya perkembangan penatalaksanaan
pasien dengan trauma inhalasi seperti terbakarnya jaringan kulit yang membutuhkan
penggantian dengan metode skin graft. Gangguan pada jaringan paru-paru yang harus
dilindungi dari gangguan sekunder. Pasien luka bakar yang dalam keadaan kritis
memiliki berbagai mekanisme tambahan, salah satunya apabila pasien menghirup
asap yang berpeluang menyebabkan pasien terkena sepsis, Ventilator-Induced Lung
Injury (VILI), atau inflamasi sistemik atas respon terhadap luka bakar. Dengan
demikian, maka pasien trauma inhalasi dengan luka bakar mendapatkan akibat yang
spesifik dimana mekanismenya sulit dipisahkan dengan pengaruh terhadap paru-paru.
Batasan yang dihadapi para peneliti yang meneliti trauma inhalasi adalah
tidak terdapatnya kriteria yang seragam untuk mendiagnosis trauma inhalasi, ukuran
keparahan dari penyakit serta istilah yang biasa digunakan. Dengan demikian maka
suatu studi komparatif sulit untuk dievaluasi. Beberapa dokter menjelaskan bahwa
pasien dengan trauma inhalasi membutuhkan penatalaksanaan berupa intubasi dan
ventilasi mekanik. Penelitian lain menekankan bahwa scan kedokteran nuklir dapat
menegakkan diagnosis metabolik pada pasien trauma inhalasi. Beberapa percobaan
telah menggabungkan berbagai akibat yang kemudian menjadi definisi trauma
inhalasi. Perlunya standaridisasi kriteria diagnosis dan sistem pengukuran pada
trauma inhalasi ini pun telah dilakukan beberapa tahun silam dalam literatur luka
bakar.
Anatomi dan Fisiologi Trauma Inhalasi
Trauma inhalasi dapat didefinisikan sebagai trauma paru-paru yang
disebabkan oleh terhirupnya panas atau iritan kimia. Secara anatomis, trauma
inhalasi terbagi atas tiga tingkatan : 1) Trauma panas yang terbatas pada jalan napas
bagian atas yang disebabkan oleh paparan uap panas, 2) trauma bahan kimia lokal
sepanjang jalan pernapasan, dan 3) toksisitas sistemik yang banyak terjadi karena
menghirup karbon monoksida atau sianida.
Trauma Panas pada Jalan Napas Atas
Suhu udara ruangan yang terbakar dapat mencapai 1000oF. Maka karena
terdapat perbedaan suhu pada jalan napas atas dan suhu yang rendah akan
menyebabkan refleks menutupnya laring dan suhu yang panas biasanya menyebabkan
trauma hanya pada struktur jalan napas di atas carina. Trauma pada struktur jalan
napas ini dapat menyebakan edema pada lidah, epiglotis, dan plika aryeepiglotis
sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas. Edema jalan napas dapat berhenti
setelah resusitasi berjalan. Penilaian di awal tidak menjadi indikator yang bagus
untuk menentukan derajat keparahan namun lebih baik dilakukan di saat yang lain.
Status respirasi harus dipantau secara terus menerus agar dapat dinilai
perlunya pengontrolan terhadap jalan napas dan bantuan ventilator. Apabila terdapat
riwayat dan pada pemeriksaan awal didapatkan kecurigaan terjadinya trauma panas
maka intubasi jalan napas sebagai upaya pencegahan harus dipertimbangkan.
Trauma Kimia pada Jalan Napas Bawah
Kebanyakan bahan kimia yang terbakar akan menghasilkan material yang
bersifat toksik bagi saluran pernapasan. Karet dan plastik yang terbakar akan
menghasilkan sulfur oksida, nitrogen oksida, amonia, dan klorin dengan sifat asam
dan basa yang kuat ketika bercampur dengan cairan dalam jalan napas dan alveoli.
Lapisan mebel serta papan yang mengandung lem juga menghasilkan sianida apabila
terbakar. Kapas atau wol yang terbakar akan menghasilkan toksin aldehida. Asap
pembakaran akan menyebabkan kerusakan epitel dan sel endotel kapiler pada jalan
napas. Serta memberikan gambaran histologi yang mirip dengan trakeobronkitis.
Transpor mukosiliar akan rusak rusak dan clearance bakteri akan berkurang.
Alveolus akan kolaps dan terjadi atelektasis karena hilangnya surfaktan. Makrofag
alveolus akan tertekan disebabkan oleh kemotaksis dari reaksi inflamasi. Inflamasi
awal terjadi karena terjadi difusi eksudat pada jalan napas. Maka edema bronkial akan
menjadi lebih berat. Perpaduan antara nekrosis bronkitis, edema bronkial, dan spasme
bronkus dapat menyebabkan sumbatan jalan napas besar dan kecil. Wheezing terjadi
karena edema bronkial dan stimulasi dari reseptor iritan. Meningkatnya permeabilitas
kapiler akan menambah parahnya sumbatan jalan napas dan edema pulmonal.
Gagal napas dapat terjadi 12 hingga 48 jam setelah paparan asap.
Karakteristik menurunnya komplians paru, meningkatnya perfusi ventilasi yang tidak
sesuai, dan meningkatnya ventilasi dead space. Trauma inhalasi dapat pula
menyebabkan terkupasnya mukosa dan perdarahan intrapulmonal yang menyebabkan
obstruksi mekanik dari jalan napas bawah serta tersumbatnya alveoli. Karena terjadi
nekrosis dari epitel, pasien cenderung akan terkena invasi bakteri sekunder dan
bakteri pneumonia. Sehingga pemulihan membutuhkan sekitar beberapa bulan.
Paparan Karbon Monoksida dan Sianida
Karbon monoksida adalah gas yang tidak berbau, tidak berasa, dan tidak
mengiritasi dan dihasilkan oleh pembakaran yang tidak sempurna. Keracunan karbon
monoksida merupakan penyebab utama morbiditas dini pada pasien dengan luka
bakar yang banyak ditemukan meninggal saat kebakaran berlangsung. Ditemukan
lebih dari 10 % karboksi hemoglobin pada pasien dalam kebakaran di ruangan
tertutup. Trauma yang signifikan pun dapat terjadi sesaat setelah terjadi paparan.
Afinitas karbon monoksida pada hemoglobin lebih besar 200 kali lipat
dibandingkan oksigen. Karbon monoksida dan oksigen akan bersaing untuk terikat
dengan oksigen yang menggeser kurva oksi-hemoglobin ke kiri dan merubah bentuk
kurva tersebut. Akan membahayakan transpor oksigen ke jaringan karena
berkurangnya kapasitas oksigen yang diangkut oleh darah dan kurang efisiennya
penguraian pada tingkat jaringan. Karbon monoksida akan menghambat sistem
enzim oksidase sitokrom intraselular, khususnya sitokrom P-450 yang menyebabkan
ketidakmampuan sistem selular dalam menggunakan oksigen (Grafik 4 dan 5).
Terhirupnya hidrogen sianida yang dihasilkan selama pembakaran bermacam-macam
material rumah tangga, juga dapat menghambat sistem oksidase sitokrom dan
memiliki efek sinergis dengan efek karbon monoksida yang menyebabkan hipoksia
jaringan dan asidosis seperti pada penurunan konsumsi oksigen serebral.
Keracunan karbon monoksida mungkin sulit diidentifikasi. Karena gambaran
absorbsi karboksihemoglobin dan oksihemoglobin sangat mirip dan oksimeter sulit
membedakan kedua bentuk hemoglobin tersebut. Pengukuran PaO2 pada analisa gas
darah dapat menunjukkan kadar oksigen yang terlarut dalam plasma namun tidak
dapat menghitung saturasi oksigen, dan yang paling penting adalah hal-hal yang
berperan dalam kapasitas pengangkutan oksigen dalam darah. Kadar
karboksihemoglobin dapat diukur secara langsung, namun tes ini jarang tersedia di
lokasi kejadian. Maka tidak dapat dipungkiri lambatnya pengukuran kadar
karboksihemoglobin setelah paparan asap, yang justru diukur setelah pasien tiba di
sarana kesehatan namun hasil yang didapatkan tidak menggambarkan luas intoksikasi
yang sebenarnya.
Gambar 5. Kurva disosiasi oksigen-hemoglobin akibat pengaruh karboksihemoglobin
Waktu paruh karboksihemoglobin yaitu 250 menit untuk pasien yang
menghirup udara ruangan, dan akan berkurang 40-60 menit pada pasien yang
diberikan oksigen 100%. Meskipun oksigenasi hiperbarik akan mengurangi waktu
paruh karboksihemoglobin, kamar hiperbarik mempersulit pengawasan terhadap
pasien, pemberian resusitasi cairan, dan penanganan awal luka bakar.
Diagnosis Trauma Inhalasi
Bagi klinisi, mendiagnosis suatu trauma inhalasi merupakan suatu keputusan
subjektif yang sebagian besar didasarkan pada riwayat paparan terhadap asap dalam
suatu ruang tertutup. Dari pemeriksaan fisis, didapatkan luka bakar pada wajah,
rambut hidung yang hangus, jelaga pada jalan nafas proksimal, sputum berkarbon,
dan suara serak. Hal tersebut dapat mendukung ditegakkannya diagnosis, dan
dikonfirmasi melalui pemeriksaan bronkoskopi fiberoptik, yang biasanya dilakukan
dalam 24 jam sejak pasien dirawat. Selain itu, perlu diketahui riwayat mekanisme
paparan, seperti api, listrik, ledakan, uap ataupun cairan panas, inhalasi iritan (seperti
racun industri dan rumah tangga), serta durasi paparan dan komplikasi lanjutan akibat
hilangnya kesadaran atau disabilitas fisik. Dari pemeriksaan fisis mungkin didapatkan
trauma pada traktus respiratorius, udem jalan nafas, atau bukti terjadinya kerusakan
dan disfungsi parenkim paru.
Kriteria diagnosis trauma inhalasi agak sulit karena beragamnya gejala juga
sulit membedakannya dengan trauma akibat inhalasi iritan dan cedera akibat paparan
gas panas. Gagal nafas progresif biasanya muncul dan tidak sesuai dengan banyaknya
paparan asap. Perbedaan gejala yang muncul tergantung pada material yang terhiruo
dan respon tubuh dari individu yang menghirup.
Di berbagai pusat lukabakar, diketahui bahwa pasien luka bakar yang disertai
trauma inhalasi membutuhkan lebih banyak resusitasi cairan dibandingkan pasien
dengan luka bakar saja. Perubahan komplians paru dan resistensi pada jalan nafas
dijadikan penentu derajat berat-ringannya serta outcome dari suatu trauma inhalasi.
Sistem skoring, didasarkan pada pemeriksaan bronkoskopi, telah digunakan untuk
trauma inhalasi dan mengidentifikasi terjadinya sindrom gagal nafas akut (Acute
Respiratory Distress Syndrome). Endorf dan Gamelli dalam penelitiannya,
memeriksa derajat trauma inhalasi, rasio PaO2/FiO2, dan efek yang timbul setelah
dilakukan resusitasi sesuai kebutuhan cairan. Tabel 1 menunjukkan kriteria
bronkoskopik untuk menentukan derajat trauma inhalasi.
Tabel 1 Kriteria Bronkoskopik yang digunaan untuk menentukan derajat
trauma inhalasi
Derajat 0 (Tidak ada trauma inhalasi) Tidak ada endapan karbon, eritem,
udem, bronkorea, atau obstruksi
Derajat 1 (Trauma inhalasi ringan) Sedikit eritem, endapan karbon pada