1 WP/2/2018 WORKING PAPER TRANSFORMATIONAL LEADEARSHIP AND NEUROFEEDBACK: THE MEDICAL PERSPECTIVE OF NEUROLEADERSHIP Rizki Edmi Edison, Ph.D, Dr. Solikin M. Juhro, Dr. A. Farid Aulia, Puti Archianto Widiasih, M.Psi 2018 Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
28
Embed
TRANSFORMATIONAL LEADEARSHIP AND NEUROFEEDBACK: … · (melalui asesmen Wechsler Bellevue), dan pola aktivitas otak/brain mapping (melalui Electroencephalography/EEG). Pada tahap
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
WP/2/2018
WORKING PAPER
TRANSFORMATIONAL LEADEARSHIP AND
NEUROFEEDBACK: THE MEDICAL PERSPECTIVE OF
NEUROLEADERSHIP
Rizki Edmi Edison, Ph.D, Dr. Solikin M. Juhro, Dr. A. Farid Aulia, Puti Archianto Widiasih, M.Psi
2018
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
1
Transformational Leadearship and Neurofeedback: The Medical Perspective of
Neuroleadership1
Rizki Edmi Edison, Ph.D., Dr. Solikin M. Juhro, Dr. A. Farid Aulia, Puti Archianto Widiasih, M.Psi
Abstrak
Saat ini dunia sedang menghadapi keadaan yang volatil, tidak pasti,
kompleks, dan ambigu (VUCA). Tantangan-tantangan baru pun muncul
sehingga seorang leader dituntut untuk memiliki kompetensi yang terus
berkembang. Transformational leadership merupakan suatu tipe
kepemimpinan yang dipandang superior dalam menjawab tantangan-
tantangan tersebut, di mana seorang pemimpin diharapkan untuk
senantiasa agile dalam pencapaian tujuan organisasi. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara aspek kepemimpinan
(melalui asesmen Multifactor Leadership Questionnaire/MLQ), fungsi kognitif
(melalui asesmen Wechsler Bellevue), dan pola aktivitas otak/brain mapping
(melalui Electroencephalography/EEG). Pada tahap selanjutnya dilakukan
pemberian stimulus melalui neurofeedback untuk melatih kontrol terhadap
gelombang otak. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa seluruh
partisipan yang menjadi sampel penelitian memiliki tipe kepemimpinan
transformational leadership dengan subtipe idealized influence (behavior) dan
inspirational motivation. Selain itu, adanya stimulasi terhadap otak
(neurofeedback) juga memampukan partisipan untuk mengendalikan
gelombang otak dalam keadaan sadar. Dengan adanya kemampuan untuk
mengendalikan gelombang otak secara sadar, seorang leader dapat bekerja
1 Rizki Edmi Edison adalah Kepala Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Solikin M. Juhro adalah Kepala Bank Indonesia Institute. Farid Aulia adalah Dekan Akademi Leadership dan General Management Bank Indonesia Institute. Puti Archianti Widiasih adalah psikolog Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pegawai Bank Indonesia yang telah menjadi partisipan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih yang tinggi juga disampaikan kepada Dita Herdiana dan Monica Kishi S.K. atas asistensi yang tidak kenal lelah dalam penyelesaian penelitian ini. Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
2
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Perubahan adalah sesuatu yang pasti. Ungkapan Heraclitus, seorang filsuf
Yunani, “satu-satunya hal yang tidak akan berubah adalah perubahan itu sendiri”
menjadi sebuah konsep hingga saat ini (Muessig, 1969). Perubahan tidak selalu
berjalan sesuai yang direncanakan, tidak jarang perubahan yang terjadi tidak sesuai
prediksi. Dunia yang saat ini dalam keadaan volatile, uncertain, complex, dan
ambiguous, dikenal dengan istilah VUCA, memicu munculnya keadaan “new
normal” yaitu kondisi ketika dunia penuh chaos, turbulensi, dan ditandai dengan
munculnya perubahan yang sangat cepat dalam seluruh aspek kehidupan
(Lawrence, 2013). Suatu kondisi yang membutuhkan perhatian serius dari setiap
institusi, khususnya yang bergerak di bidang ekonomi (Salah dan Watson, 2017).
Tantangan baru yang bermunculan, menuntut kompetensi leadership baru
(Lawrence, 2013). Kondisi yang penuh tantangan tersebut membutuhkan leader
yang tangguh (Radha dan Kosuri, 2017). Leader yang memiliki strategic foresight
untuk mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi; memiliki awareness untuk
terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki; adaptif, longlife learner dan
terbuka terhadap perubahan; berkomunikasi dengan efektif serta mampu
berkolaborasi dengan baik.
Institusi yang memiliki efektivitas leadership berpeluang tiga kali lebih besar
untuk menjadi top 20% institusi dengan finansial terbaik dibandingkan dengan
institusi yang tidak memiliki leadership efektif (Axon, Frieedman dan Jordan, 2015).
Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa leadership merupakan suatu hal
krusial yang sangat dibutuhkan oleh setiap institusi (Charan, 2009).
Pemahaman terkait leadership tidak jarang membingungkan dan
menimbulkan perdebatan (Vince, 2004). Salah satu penyebabnya adalah perbedaan
generasi para leader memberikan perbedaan karakter (Salahuddin, 2011). Poin
utama dari pengertian leadership adalah seni menggerakkan orang lain untuk
mencapai tujuan (Naylor, 2003) tanpa paksaan. Leadership merupakan hubungan
timbal balik antar manusia (Yammarino, 2013), sehingga menjadi sebuah
keharusan bagi para leader untuk memahami cara kerja otak, sebagai motor
penggerak, manusia bekerja.
3
Tipe leadership secara garis besar terbagi menjadi transactional,
transformational, dan laissez faire (Avolio dan Bass, 1991). Penelitian menunjukkan
bahwa tipe leadership yang paling baik adalah transformational leadership
(Benjamin dan Flynn, 2006) karena mampu meningkatkan kepuasan followers
secara maksimal dibandingkan tipe leadership lainnya (Berson dan Linton, 2005).
Tingginya kepuasaan terhadap pekerjaan secara tidak langsung akan memacu
organisasi mencapai tujuannya (Bass dan Avolio, 1994).
Meskipun begitu, menjadi transformational leader bukan hal yang mudah.
Keberadaan neurosains terapan diharapkan dapat menjadi solusi dalam membantu
menghadapi percepatan perubahan, baik manusia itu sendiri maupun
lingkungannya. Hal ini terjadi karena otak adalah master kontrol untuk
mengintegrasikan seluruh sistem tubuh termasuk komponen utama dari perasaan
dan insting. Pemimpin merupakan master kontrol dalam organisasi. Pemimpin
dapat mengendalikan otak orang lain dengan cara mengelola otak sendiri sehingga
otak followers dapat selaras dengan otak pemimpin (Boyatzis dkk., 2006).
Dari berbagai macam cabang neurosains, social cognitive neuroscience – yang
memahami cara otak manusia ketika berinteraksi dengan sesama (Ochsner dan
Lieberman, 2001) – paling banyak diaplikasikan dalam organisasi, khususnya
terkait leadership (Waldman dkk., 2011). Terminologi yang dipakai adalah
neurological leadership, didefinikasikan sebagai aplikasi social cognitive neuroscience
untuk menganalisis dan memahami perilaku para leader (Liu, Ying & Gau, 2015).
Pengaruh otak terhadap perilaku manusia pertama kali diteliti dalam kasus
kecelakaan kerja pekerja konstruksi Phineas Gage2 tahun 1848 (Haas, 2001). Hasil
penelitian menunjukkan bagian otak yang dinamakan lobus frontalis sebelah kiri
mengalami kerusakan. Bagian ini berfungsi untuk berpikir rasional (Shiddiqui dkk.,
2008). Hal ini membuktikan bahwa keadaan otak manusia bisa berpengaruh kepada
sikap dan perilaku seseorang (Kolb dan Whishaw, 2011).
Neuroplastisitas dan neurogenesis telah dikenal dalam ranah neurosains.
Neuroplastisitas adalah kondisi ketika otak ‘menyesuaikan’ kondisinya dengan
kebiasaan yang dilakukan (Rosenzweig dan Bennet, 1999) atau kondisi ketika otak
2 Phineas Gage mengalami kecelakaan saat memasang bahan peledak untuk membangun infrastruktur kereta api. Ledakan timbul sebelum sempat berlindung di tempat yang aman. Salah satu bongkahan besi menancap di dagu kiri, masuk ke dalam tulang tengkorak, melewati belakang mata menuju otak, hingga tembus di kepala bagian kiri depan. Phineas dapat bertahan hidup setelah operasi pelepasan besi yang menancap di kepalanya dilakukan. Namun, perubahan sikap Phineas setelah operasi begitu mencolok. Sikap dan perilaku tidak lagi sama setelah kecelakaan terjadi (Haas, 2001).
4
yang masih sehat mengambil alih fungsi bagian otak yang sudah sakit (Murphy dan
Corbett, 2009). Neurogenenesis adalah kondisi ketika munculnya saraf-saraf baru
pada otak manusia (Sierra dkk., 2011). Riset menunjukkan bahwa otak manusia
dapat tumbuh dan berkembang sampai usia berapa pun (Ming dan Song, 2012).
Kegiatan seperti olahraga aerobik (Gomez-Pinilla dan Hillman, 2013) dan berpuasa
(Cherif dkk., 2016) secara teratur dapat meningkatkan kemampuan hippocampus,
bagian otak yang berperan sebagai gudang memori. Contoh di atas menunjukkan
bahwa otak bisa memengaruhi perilaku dan sebaliknya perilaku dapat
memengaruhi otak manusia.
Penelitian yang dilakukan oleh Juhro dan Aulia (2017) menyimpulkan bahwa
neurosains terapan merupakan salah satu pendekatan yang relatif unggul dalam
menjelaskan perilaku kepemimpinan transformasional yang efektif. Namun, studi
tersebut belum didukung oleh empirical exercise, terlebih physical test mengenai
keterkaitan aktivitas otak yang sebenarnya dengan perilaku kepemimpinan
transformasional.
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Juhro dan Aulia (2017)
terkait dengan peran pendekatan neurosains terapan dalam mendukung kinerja
transformational leadership. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pemetaan otak transformational leader dan pengaruh stimulasi melalui pendekatan
neurosains, seperti neurofeedback, dalam mengubah bentuk aktivitas otak leader.
Dari tujuan penelitian yang hendak dicapai, penulis berharap penelitian ini dapat
memberikan manfaat dengan adanya indikator-indikator objektif yang menyatakan
seseorang bersifat transformational leader. Upaya mendorong transformational
leadership berbasis pendekatan neurosains terapan juga diharapkan dampak positif
sebagai metode alternatif yang dapat diandalkan.
Dari hasil asesmen dapat disimpulkan bahwa, seluruh partisipan merupakan
transformational leader dengan subtipe kepemimpinan idealized influenced
(behavior) dan inspirational motivation. Selain itu penelitian ini juga menunjukkan
bahwa adanya stimulasi terhadap otak (neurofeedback) membuat partisipan mampu
untuk mengendalikan gelombang otak dalam keadaan sadar. Dengan adanya
kemampuan untuk mengendalikan gelombang otak, seorang leader diharapkan
dapat bekerja dengan lebih optimal. Penelitian ini terdiri dari lima bagian,
menyambung pendahuluan ini adalah tinjauan pusataka, metodologi, analisis dan
kesimpulan.
5
2. Tinjauan Pustaka
Dunia saat ini menunjukkan kondisi yang dinamakan VUCA (singkatan dari
volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) (Lawrence, Steck & Pryplesh,
1991). Istilah tersebut pertama kali dikemukakan oleh institusi militer (Stiehm,
2002). Istilah VUCA mulai digunakan di sektor ekonomi setelah terjadinya krisis
keuangan global pada tahun 2008-2009 (Tovar, 2016). Kondisi VUCA ini semakin
terasa dalam beberapa dekade belakangan (Kissinger dan Walch, 2012), akibatnya
cara manusia memandang kondisi perekonomian juga mengalami perubahan
(Sarkar, 2016). Salah satu contoh kondisi VUCA adalah keputusan referendum
Inggris pada tahun 2016 untuk lepas dari Uni Eropa, dikenal dengan istilah British
Exit (Brexit). Kondisi tersebut mengakibatkan kacaunya long-term economic planning
negara tersebut (Hunt dan Wheeler, 2017). VUCA yang dapat muncul dari berbagai
sisi mendorong leader untuk arif dan agile dalam menghadapi kondisi tersebut.
Leadership merupakan interaksi multi-level yang melibatkan faktor leader,
follower, dan situasi yang saling terkait (Hollander, 1984). Burns (1978) membagi
leadership menjadi dua tipe, yaitu transformational leadership dan transactional
leadership. Transactional leadership dilandaskan prinsip give and take, sebatas
reward dan punishment antara leader dan followers (Podsakoff, dkk., 2006).
Sedangkan, transformational leadership lebih mengutamakan partisipasi follower
sebagai bagian dari kelompok untuk mencapai tujuan bersama (Weiherl dan Masal,
2016).
Bass dan Avolio lebih lanjut mengembangkan teori Full Range Leadership
yang menjelaskan konsep leadership yaitu transformational leadership, transactional
leadership, dan laissez-faire leadership (Avolio dan Bass, 1991). Transformational
leadership terdiri dari idealized influence (attributed), idealized influence (behaviour),
inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individualized consideration.
Transactional leadership terdiri dari contingent reward, management-by-exception
(active) dan management-by-exception (passive).
Seorang leader yang efektif mampu mendorong organisasinya untuk
mencapai target (Sarin dan McDermott, 2003), sedangkan leader yang tidak efektif
akan menjadi penghambat organisasi mencapai target (Bradley dan Herbert, 1997).
Transformational leadership adalah tipe leadership yang paling efektif dibandingkan
tipe leadership lainnya (Xu dan Wang, 2008) Tipe ini juga meningkatkan kepuasan
6
para follower dalam bekerja (Podsakoff dkk., 1996), akibatnya performa kerja
meningkat dan performa organisasi juga ikut terkena dampak positif (Harter, dkk.,
2002).
Tujuan ini yang kemudian disasar dari neurosains terapan yang digunakan
dalam penelitian ini. Neurosains adalah ilmu yang membahas otak manusia dan
pengaruhnya terhadap perilaku manusia (Garret, 2003). Neurosains membahas
mengenai interaksi sel saraf di dalam otak, hubungan antara sel saraf dan
pembuluh darah, reaksi saraf terhadap stimulus, pengaruh sel saraf terhadap
pengambilan keputusan yang dilakukan individu (Augustine, 2004). Dalam
perkembangan neurosains, terdapat tantangan untuk mengintegrasikan cabang-
cabang ilmu yang ada agar pemahaman tentang otak manusia bisa diterapkan
dalam berbagai bidang praktis kehidupan, seperti marketing, pendidikan, politik,
dan leadership. Social cognitive neuroscience adalah cabang neurosains yang
dianggap paling memungkinkan untuk diaplikasikan dalam bidang leadership
(Ochsner dan Lieberman, 2001). Keilmuan lintas disiplin ini mempelajari interaksi
individu dengan individu lain atau dengan situasi tertentu (Oschner, 2004).
Neurological leadership atau neuroleadership dapat dipandang sebagai aplikasi dari
social cognitive neuroscience untuk memahami dan menganalisis sikap dan perilaku
leaders (Liu, dkk., 2015).
Brain Leadership Assessment
Dalam penelitian ini, penulis melakukan penilaian terhadap karakter
kepemimpinan seorang leader melalui dua pendekatan, questionnaire-based dan
brain mapping based. Dua tes dilakukan pada pendekatan questionnaire-based yaitu
untuk menilai tipe leadership yang dimiliki (menggunakan MLQ) dan kemampuan
fungsi kognisi (menggunakan WB test). Pendekatan brain mapping based
(menggunakan EEG) digunakan untuk memahami pola aktivitas otak para leaders
(Waldman, dkk., 2011).
1. Questionnaire-Based Leadership Assessment
Salah satu pendekatan questionnaire-based yang dilakukan yaitu Multiple
Leadership Questionnaire (MLQ). MLQ adalah instrumen yang digunakan untuk
menilai perilaku transformational dan transactional leadership (Bass dan Bass,
2008). MLQ yang dikembangkan Bass dan Avolio mencakup penilaian lima subtipe
transformative leadership, tiga subtipe transactional leadership dan satu subtipe
laissez-faire leadership.
7
Dalam transformational leadership, terdapat lima macam subtipe: 1).
Inspirational motivation, kemampuan artikulasi dan penyampaian visi seorang
leader. Leader yang memandang masa depan dengan sikap positif akan membuat
para follower ikut termotivasi; 2). Idealized influence (attributed), merujuk pada
atribut sifat karismatik seorang leader. Atribut positif tersebut membuat para
follower mampu membangun hubungan emosional dan kepercayaan yang kuat
dengan leader. 3). Idealized influence (behaviour), menekankan kesadaran kolektif
misi dan nilai-nilai. 4). Intellectual stimulation, menstimulasi followers untuk
memiliki asumsi terhadap sebuah masalah secara aktif partisipatif. 5). Individual
consideration, merujuk pada upaya mempertimbangkan kebutuhan dan
kemampuan followers.
Tiga subtipe dalam transactional leadership yaitu 1). Contigent reward,
perilaku leadership yang memfokuskan diri pada tugas yang diberikan dengan
imbalan (reward) materi atau moral jika tugas tersebut terlaksana dengan baik. 2).
Active management-by-exception, perilaku leader yang mengamati hal yang terjadi
dalam organisasi sesuai peraturan baku dan menghindari hal yang tidak sesuai
aturan. 3). Passive management-by-exception, leader akan memberikan intervensi
jika kesalahan ditemukan dan evaluasi dilakukan jika hal tidak berjalan sesuai
aturan.
Sedangkan, subtipe laissez-faire leadership membahas ketiadaan dalam
leadership. Leader seolah-olah tidak mengambil bagian dalam kegiatan
berorganisasi, tidak menaruh perhatian dalam kondisi yang membutuhkan
pengambilan keputusan yang cepat dan leader akan menyerahkan segala hal
operational kepada followers.
Kemudian, Wechsler Bellevue Test dilakukan untuk menilai kognisi
seseorang. Tes ini dapat menilai kognisi seseorang yang berumur di atas sepuluh
tahun (Rabin dan Guertin, 1951). Dua jenis skala yang diukur adalah verbal dan
performance. Secara rinci, tes in terdiri dari information test, general comprehension
Cz, Pz, A1, dan A2. Perekaman data selanjutnya dilakukan dalam kondisi resting
state, keadaan partisipan tidak diberikan tugas apapun pada saat pengambilan
data. Perekaman aktivitas otak berjalan selama 12 menit, terdiri dari satu menit
base line, dua menit tutup mata, dua menit buka mata, dua menit tutup mata, dua
menit buka mata, lalu menutup mata kembali selama dua menit, diakhiri base line
selama satu menit. Selama pengambilan data, partisipan tidak boleh tidur.
Pengambilan data aktivitas otak dengan EEG dilakukan dalam dua tahap, yaitu
sebelum dan setelah pemberian stimulasi neurofeedback.
Untuk stimulasi neurofeedback, prosedur sebelum pemasangan elektroda
sama dengan EEG, namun elektroda yang digunakan hanya diletakkan pada C3 dan
C4, beserta elektroda referensi di mastoideus kiri dan kanan. Stimulasi
neurofeedback memakan waktu lebih kurang 20 menit untuk satu sesi. Kepada
masing-masing partisipan, dilakukan lima sesi stimulasi.
13
4. Analisis
Penelitian ini dilakukan terhadap sepuluh partisipan dengan kriteria yang
telah ditetapkan sebelumnya. Seluruh partisipan mengikuti semua rangkaian
penelitian dari awal hingga akhir.
1. Multiple Leadership Questionnaire (MLQ) dan Wechsler Bellevue (WB) Test
Adapun hasil data mereka terkait MLQ dan WB adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Data Hasil Penelitian MLQ dan WB
Inisial Jenis
Kelamin Usia
Tipe
Leadership
Subtipe
Leadership V-IQ P-IQ
A Lk 51-
55 Transformatif
Idealized Influence
(Behavior) 60 53
B Pr 46-
50 Transformatif
Idealized Influence
(Behavior) 62,5 51
C Pr 46-
50 Transformatif Inspirational Motivation 62,5 46
D Lk 41-
45 Transformatif Inspirational Motivation 62 55
E Lk 36-
40 Transformatif Inspirational Motivation 61 65
F Lk 31-
35 Transformatif
Idealized Influence
(Behavior) 65,8 61
G Lk 46-
50 Transformatif Inspirational Motivation 55 58
H Pr 46-
50 Transformatif Inspirational Motivation 64 57
I Pr 36-
40 Transformatif Inspirational Motivation 55 60
J Lk 31-
35 Transformatif
Idealized Influence
(Behavior) 64 62
Data yang diperoleh dari asesmen MLQ menunjukkan bahwa seluruh
partisipan memiliki karakter transformational leadership. Dari lima subtipe
transformational leadership yang ada3, empat orang partisipan memiliki subtipe
idealized influence (behavior) dan enam partisipan memiliki subtipe inspirational
motivation. Idealized influence mengacu pada pemahaman kolektif mengenai tujuan
dan nilai-nilai bersama, sekaligus memiliki perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai
tersebut. Inspirational motivational menekankan pada artikulasi dan representasi
3 Terdapat 5 subtipe transformational leadership yang dapat diperoleh dari Multiple Leadership Questionnaire, yaitu inspirational motivation, idealized influence (attributed), idealized influence (behavior), intellectual stimulation, dan individualized consideration (Rowold, 2005).
14
visi seorang transformational leader. Transformational leader dengan subtipe ini
mampu melihat masa depan dengan sikap yang postif sehingga followers turut
termotivasi (Rowold, 2005).
2. Electroencephalography (EEG)
Dalam penelitian ini, sepuluh partisipan menjalani perekaman aktivitas otak
dalam kondisi resting state. Perekaman dilakukan selama dua belas menit. Dari
perekaman tersebut, data difiltrasi untuk mendapatkan gelombang otak tanpa
artefak4 pada saat partisipan membuka mata. Gelombang otak yang telah diseleksi
tersebut lebih lanjut akan dianalisis berdasarkan power spectra.
Region of interest aktivitas otak yang dianalis adalah region frontal (Fp1, Fp2,
F3, F4, F7, dan F8), dan temporal (T3, T4, T5, T6). Berdasarkan analisis, tidak
ditemukan perbedaan berarti antara satu patisipan dengan partisipan lainnya
dalam kondisi resting state, baik sebelum dan sesudah neurofeedback. Adanya
kemiripan aktivitas otak antar partisipan mendukung hasil yang sebelumnya
diperoleh dari asesmen MLQ dan Wechsler Bellevue yang seluruhnya merupakan
transformational leader. Dari hasil kedua instrumen tes psikologi di atas serta EEG,
dapat ditarik pemahaman bahwa aktivitas otak berhubungan dengan tipe
kepemimpinan seseorang. Penelitian ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh
Waldman, Balthazard, dan Peterson (2011) mengenai hubungan antara tingkat
koherensi otak dengan perilaku leadership. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas otak pada region tertentu menentukan karakter
leadership yang dipersepsikan oleh followers.
Meskipun tidak spesifik mengenai transformational leadership, studi yang
dilakukan oleh Defoe (2012) juga menunjukkan adanya hubungan antara perilaku
dan kualitas inspirational leadership dengan pathway tertentu pada otak manusia.
Ditunjukkan bahwa terdapat dua jenis pathway yang berbeda, yaitu inspirational
leadership pathway yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengomunikasikan
visi, altruisme dan tanggung jawab sosial, serta fokus pada melayani kepentingan
orang banyak. Pathway yang berlawanan dengan hal tersebut menunjukkan
perilaku yang sebaliknya, yaitu personalized vision yang hanya mengakomodasi visi
leader tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola aktivitas otak
berhubungan dengan perilaku dan tipe kepemimpinan seseorang.
4 Struktur gelombang otak yang muncul secara tidak natural dan disebabkan oleh manipulasi pada saat perekaman aktivitas otak
15
3. Hubungan Usia/Generasi dengan Leadership
Dalam beberapa tahun belakangan, terdapat berbagai penelitian tentang
manajemen dan kepemimpinan yang berfokus pada isu diversitas di tempat kerja.
Isu diversitas yang paling banyak dipelajari umumnya berkaitan dengan perbedaan
generasi. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa dampak perbedaan generasi terhadap
efektivitas organisasi merupakan sebuah hal yang penting untuk dipahami.
Pemahaman tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya keselarasan di
tempat kerja, perilaku saling menghargai, dan kerjasama dalam tim. Hal-hal
tersebut pada akhirnya dapat berdampak pada kesuksesan organisasi.
Pemaparan di atas menjadi dasar bagi penelitian ini untuk mempelajari
hubungan perbedaan usia terhadap tipe kepemimpinan. Pada penelitian ini,
sepuluh partisipan digolongkan ke dalam tiga kelompok usia, yaitu 30-40 tahun,
40-50 tahun, dan di atas 50 tahun. Hasilnya adalah seluruh partisipan dari tiga
kelompok usia tersebut memiliki tipe kepemimpinan yang sama. Jika dilihat dari
faktor usia, terdapat perbedaan generasi antara partisipan. Namun, generasi tidak
hanya didasarkan pada perbedaan usia, tetapi juga kejadian besar serta perubahan
lingkungan yang terjadi (Zemke dkk., 2000). Jurkiewicz, dkk. (2000) juga
menyatakan bahwa bukti empiris yang menunjukkan signifikansi mengenai
perbedaan tipe kepemimpinan berdasarkan generasi/kelompok usia masih terlalu
sedikit. Penelitian yang dilakukan oleh Jurkiewicz dkk juga menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan signifikan antara perbedaan generasi dengan tipe
kepemimpinan. Hal yang lebih memengaruhi tipe kepemimpinan di antaranya
proses rekrutmen, retensi, motivasi, training, dan proses-proses sumber daya
manusia yang lain. Tolbize (2008) juga menyatakan hal senada, yaitu perilaku tidak
hanya ditentukan oleh faktor generasi tetapi juga tingkat pendidikan, tipe pekerjaan,
pendapatan, dan status perkawinan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tipe
kepemimpinan antar generasi. Hasil tersebut juga didukung dengan analisis dari
berbagai teori yang dipaparkan di atas. Kesamaan lingkungan dan pengembangan
sumber daya manusia yang dilakukan terhadap sepuluh partisipan dapat
berpengaruh pada kesamaan tipe kepemimpinan partisipan. Selain itu hal-hal lain
yang tidak dianalisis dalam penelitian ini seperti tingkat pendidikan, status
perkawinan, dan tipe pekerjaan juga dapat berpengaruh pada kesamaan tipe
kepemimpinan partisipan.
16
4. Hubungan Inteligensi dengan Tipe Leadership
Pada penelitian ini, tingkat inteligensi diukur menggunakan tes Wechsler
Bellevuew (WB). Tes WB dianggap paling karena telah divalidasi dan dapat
digunakan untuk orang dewasa. Beberapa hal yang dinilai dari partisipan yaitu