-
167
ENAM
TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN
DARI “PENAMBANG” MENJADI
MASYARAKAT ADAT
Pengantar
Konflik yang dialami masyarakat adat Dayak Siang Murung,
paling tidak membawa pemahaman bahwa aksi-aksi perlawanan
dikarenakan berbagai dampak negatif baik pada aspek
lingkungan
hidup, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi terkait dengan
hadirnya
PT IMK mengacu pada pemikiran Sachs (2015). Dampak-dampak
ini
kemudian menjadi daya gerak utama aksi-aksi perlawanan atau
yang
juga disebut dengan gerakan sosial menentang masuknya
kapitalisme
(Fauji, 2005).
Dimulai dengan melakukan mobilisasi sumberdaya (the resource
mobilization) hingga membingkai (framing) berorientasi pada
identitas (the social identity) dengan memanfaatkan peluang-peluang
atau kesempatan politik (political oppurtunity) yang sedang terjadi
khususnya di Indonesia, seperti yang diungkapkan Sukmana
(2016),
McAdam, McCarthy dan Zald (2004) dan Singh (2007). Awalnya
melakukan gerakan reformasi (reformative movement) yang
dilakukan para penambang rakyat untuk mengubah masyarakat namun
dengan
ruang lingkup terbatas kemudian berkembang menjadi gerakan
transformasi (transformative movement) dengan mencoba mengubah
masyarakat secara menyeluruh, seperti menegaskan kembali
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
168
identitasnya dengan mentransformasikan identitas gerakan
penambang
menjadi gerakan masyarakat adat ketika berhadapan dengan PT
IMK.
Transformasi identitas gerakan dimungkinkan karena munculnya
kesadaran dari para aktor yang berjuang secara sosial dengan
membangun identitas gerakan agar mampu menciptakan ruang
demokratis bagi aksi sosial otonomnya (Manan, 2005).
Bagaimana
proses untuk membangun identitas (baru) tersebut akan
dijelaskan
dengan mendeskripsikan kondisi, faktor dan kekuatan pendukung
yang
digunakan para aktor untuk menciptakan identitas, solidaritas
dan
mempertahankannya. Hal lain adalah mendeskripsikan
keterkaitan
antara PT IMK dengan isu-isu dalam konflik, serta
mendeskripsikan
latar sosial dan budaya aksi kolektif sebagaimana kondisi dan
kekuatan
pendukung ini membentuk dan mencetak perenungan dan
kesadaran
para aktor dalam situasi konkrit aksi kolektif dan gerakan
sosial.
Membangun Ideologi Gerakan
Melemahnya otoritas tradisional yang diharapkan mampu
menjembatani persoalan struktural yang dihadapi penambang
memaksa mereka melakukan transformasi identitas perjuangan
dari
penambang menjadi masyarakat adat, seperti yang diungkapkan
salah
seorang tokoh tambang rakyat.43 Secara umum tujuan utama
penambang ikut dalam sebuah gerakan sosial lebih bersifat
pragmatif
dan berorientasi material, yakni hanya terpaku pada motif
ekonomi
yaitu penguasaan kembali lobang-lobang tambang emas yang
selama
ini sudah diusahakan mereka sendiri. Tindakannya cenderung
pada
upaya secara paksa agar dapat mengambil-alih kembali lobang
tambang
tersebut sebagaimana yang juga dilakukan oleh para penguasa
(negara)
dan pengusaha terhadap mereka. Wujud nyata aksinya dilakukan
melalui unjuk rasa, maupun aksi-aksi protes lainnya baik secara
damai
maupun dengan cara kekerasan agar dapat mengambil alih
kembali
(reklaming) lobang tambang tersebut. Lihat gambar 6.1. di bawah
ini.
43 Wawancara dilakukan dengan Bapak Murin dan Bapak Arsad pada
tanggal 10 Juli 2016 di Desa Oreng Kambang.
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
169
Dalam kasus PT IMK, faktor utama penyebab terjadinya
aksi-aksi
perlawanan para penambang dan masyarakat pada umumnya
terhadap
PT IMK dikarenakan multiinterpretasi dan ketiadaan pegangan
bersama dari berbagai pihak tentang siapa yang berhak
menguasai
tambang, siapa yang berhak memanfaatkan, dan siapa pula yang
berhak
dalam pengambilan keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan
tambang. Akibat dari ketidakjelasan tersebut, maka
masing-masing
pihak (pemerintah, perusahaan, dan masyarakat) saling
mengklaim
bahwa merekalah yang lebih berhak dari pihak lainnya.
Misalnya
ketika PT IMK memperoleh Kontrak Karya dari Presiden
langsung
melakukan “penggusuran” terhadap seluruh aktifitas tambang
rakyat.
Didukung oleh aparat Satuan Tugas dari Pemerintah Daerah Tingkat
II
Barito Utara, PT IMK menggusur tambang rakyat kerikil I, Kerikil
II,
dan Kerikil III di wilayah Kecamatan Siang. Bahkan penambang
yang
digusur tidak memperoleh ganti rugi dengan jalan apapun
sesuai
dengan perintah Bupati, dengan alasan mereka “menggusur”
karena
harus menertibkan Tambang Rakyat Tanpa Ijin (PETI). Dipihak
lain,
para penambang merasa bahwa mereka pemilik yang “sah” karena
usaha pertambangan awalnya dilakukan oleh mereka.
Sumber : Dokumen LMMDDKT, 2013
Gambar 6.1.
Lobang Tambang Emas Yang Diperebutkan
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
170
Berbagai perlawanan terhadap PT IMK baru dimulai pada tahun
1993 melalui aksi demonstrasi baik di lingkungan Kecamatan
Siang
Selatan, Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah,
hingga
ke Jakarta dan sampai di kantor pusat PT Indo Muro Kencana
di
Australia. Para penambang menuntut ganti rugi lahan karena
tanah
dan usaha tambangnya diambil alih dan dikelola oleh PT IMK.
Namun
usaha ini tidak memperoleh hasil karena PT IMK sudah
mengantongi
ijin dari pemerintah seperti yang dijelaskan mantan pegawai PT
IMK. 44
Ketidakjelasan peroleh ganti rugi, seolah-olah dapat
memberikan
penjelasan secara aktual perlunya melakukan transformasi
struktur dan
bentuk gerakan sosial yang lebih humanis dan emansipatoris.
Berbagai simbol perjuangan kemudian diproduksi berbasis pada
rasa ketidakadilan, sebagai bentuk reaksi terhadap
stigma-stigma
politik, tekanan fisik dan sosial-psikologis yang dialami oleh
para
penambang dan keluarganya serta berbagai bentuk
praktek-praktek
yang merugikan mereka. Puncaknya terjadi pada tahun 1999
ketika
para penambang mengusir sejumlah karyawan PT IMK dari areal
tambang Batu Tambang (Betmen), Lungkuh Jua dan Bakit Kaya
dengan
mengusung mandau. Lihat gambar 6.1. di bawah ini.
Sumber : Dokumen LMMDDKT, 2013
Gambar 6.2.
Aksi Pengusiran Staf Pengemboran di Lapangan
44 Wawancara dilakukan dengan Mantan Pegawai PT IMK Bapak Ayin
pada tanggal 11 Juli 2016 di Desa Oreng Kambang.
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
171
Mereka juga melakukan aksi pengambil-alihan atau reklaiming
wilayah Halubai, Permata, Elpi dan Batu Badinding yang
sedang
ditambang dan berproduksi. Tindakan ini dilakukan karena PT
IMK
menguasai, memanfaatkan, dan mendistribusi hasil-hasil tambang
yang
menjadi pendukung kehidupan mereka termasuk melakukan
ekspansi
batas wilayah kehidupan mereka. Namun aksi pengambil-alihan
tambang tidak bertahan lama, karena pihak PT IMK kemudian
menimbun tambang dan mengisi air sehingga masyarakat tidak
bisa
memperoleh apapun dari hasil tambangnya, seperti pada gambar
6.3. di
bawah ini.
Sumber : Hasil Survey Lapangan (2013 dan 2016)
Gambar 6.3.
Lokasi Tambang Sebelum dan Sesudah Dialiri Air
Di pihak lain komitmen dan solidaritas para penambang untuk
terus memperjuangan hak-hak mereka ternodai karena ada
anggota
aksi “membelot dan membela” PT IMK. Dengan kata lain, para
penambang tidak pernah mampu membangun identitas secara
kolektif
guna membangun solidaritas dan komitmen ketika berhadapan
dengan
PT IMK. Akibatnya aksi-aksi yang mereka lakukan selalu
“gagal”.
Belajar dari kegagalan aksi, ada sejumlah aktor yang terlibat
dalam
aksi membangun jaringan dan mengembangkan partisipasi aktor
lainnya di luar wilayah tambang. Aktor yang dimaksud adalah
sejumlah Organisasi Non Pemerintah (Ornop) atau yang biasa
disebut
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti; JATAM, WALHI,
Tambang sebelum dialiri air Tambang sesudah dialiri air
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
172
ALPERUDI, ELSAM, YLBHI, Tapal dan Kantor Hukum Ahmad Yani.
Selain itu, tujuan mengembangkan jaringan adalah agar mereka
dapat
mengembangkan sumberdaya serta meningkatkan mobilisasi
kekuatan
aksi perlawanan. Pada akhirnya dengan memperluas jaringan
dan
partisipasi aktor, para penambang dapat memperluas medan atau
area
perlawanan ke tingkat nasional maupun internasional serta
memberikan peluang dan kapasitas para penambang untuk terus
meningkatkan aksi-aksi perlawanan terhadap PT IMK.
Dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru, sebenarnya para
penambang memiliki peluang untuk memperoleh ijin penambangan
secara legal melalui pendirian koperasi. Karenanya pada tahun
2004,
para penambang khususnya di Desa Marindu bersepakat
mendirikan
Koperasi diberi nama dengan Koperasi “Harapan Bersama” dengan
ijin
No. 412.32/BH/178/2004 tanggal 5 Januari 2004. Dengan
berdirinya
koperasi, harapan para penambang memperoleh legitimasi atau ijin
dari
negara. Namun kenyataannya semangat masyarakat mendirikan
koperasi ini tidak dibarengi dengan komitmen dan keseriusan
para
pengurusnya untuk mengelolanya. Koperasi kemudian tidak
berjalan
lagi dan Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah (SIPRD)
dengan
sendirinya dicabut oleh pemerintah.
Perasaan pengabaian yang dilakukan PT IMK kepada para
penambang yang juga sebagian besar adalah masyarakat adat
Dayak
Siang Murung kembali muncul karena institusi adat dan
nilai-nilai
budaya mereka (Dayak) mulai dihancurkan. Hal ini terjadi karena
PT
IMK terus memperluas wilayah eksploitasinya sampai ke puncak
Gunung Puruk Kambang yang bagi orang Dayak adalah wilayah
keramat. Selama ini wilayah kramat puncak Gunung Puruk
keberadaannya dipelihara dan dijaga, karena bagi mereka
sebagai
tempat turunnya nenek moyang suku Dayak Siang Murung.
Karenanya
wilayah ini tidak saja bernilai ekonomis semata melainkan
juga
mempunyai nilai sosial dan spiritual, seperti pada gambar 6.4.
di bawah
ini.
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
173
Sumber : Hasil Survey Lapangan (2013 dan 2016)
Gambar 6.4.
Lokasi Bukit Puruk Kambang Yang Sebagian Sudah Dieksploitasi
Terbuka struktur peluang politik baik di tingkat nasional
maupun
di tingkat lokal, sebenarnya memberi ruang bagi munculnya
perubahan identitas gerakan “penambang” menjadi gerakan
masyarakat
adat dengan menegaskan kembali keberadaan lembaga adat yang
sampai saat ini keberadaannya masih diakui oleh masyarakat,
dalam
hal ini keberadaan Damang Kepala Adat atau Kepala Adat.
Selain
adanya kelembagaan adat, kehadiran organisasi masyarakat
adat
lainnya, seperti; Perhimpunan Masyarakat Pulou Basan yang
terdiri
dari para Damang Ketua Adat, Kelompok-kelompok Masyarakat
Adat
di masing-masing Wilayah Desa Oreng Kambang, turut
memperkuat
perubahan identitas pergerakan tersebut. Terlebih keberadaan
Kelembagaan Adat diakui keberadaanya melalui Peraturan
Daerah
(Perda) No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di
Kalimantan Tengah juga dapat mengukuhkan perubahan identitas
gerakan tersebut. Perda No. 16 Tahun 2008 pasal 9, ayat (1)
fungsi
Damang Kepala Adat adalah mengurus, melestarikan,
memberdayakan
dan mengembangkan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, hukum
adat
dan lembaga kedamangan yang dipimpinnya; menegakkan hukum
adat
dengan menangani kasus dan atau sengketa berdasarkan hukum
adat
dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir, dan sebagai
penengah
dan pendamai atas sengketa yang timbul dalam masyarakat
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
174
berdasarkan hukum adat. Selanjutnya dalam pasal (2) selain
fungsi
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) Damang Kepala Adat
juga
mempunyai fungsi selaku inisiator untuk membawa penyelesaian
terakhir sengketa antara para Damang terkait tugas dan
fungsinya
kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota.
Munculnya gerakan reformasi juga merupakan pintu pembuka
berkembangnya gerakan sosio-politik dari para penambang
menjadi
gerakan sosial-politik masyarakat adat. Negara juga dihadapkan
pada
posisi kontrol politik yang lemah terhadap setiap aksi, terlebih
ketika
aksi kekerasan menjadi salah satu bentuk bagian. Peluang politik
ini
dengan cepat direspon para penambang, karena mereka sudah
memiliki rasa kepekaan konfliktual sekaligus berperan sebagai
oposisi
untuk melawan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh
negara.
Seiring bergulirnya reformasi hingga pemberlakuan otonomi
daerah pada tahun 1999 sebagai era perubahan sosial-politik
penuh
keterbukaan dari masa sebelumnya yang bercorak otoriter ke
demokrasi, ternyata tidak membawa dampak berarti bagi gerakan
para
penambang untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Baik
para elit politik, elit agama, kalangan intelektual dan
berbagai
organisasi rakyat ternyata cenderung membiarkan para
penambang
bergerak dengan semangatnya sendiri dalam menuntut hak yang
selama ini diabaikan. Meskipun demikian ada banyak organisasi
non
pemerintah (ornop) yang peduli untuk memberikan advokasi dan
pendampingan bagi para penambang dalam melakukan perjuangan.
Penelitian menemukan bahwa ketika sistem politik yang ada
tidak
terbuka terhadap tuntutan-tuntutan rakyat, maka aktivitas
gerakan
sosial mungkin agak kecil skalanya. Hal ini terlihat dari
kronologis aksi
demonstasi yang mereka lakukan seringkali juga menggunakan
kekerasan menghancurkan fasilitas milik perusahaan serta
melakukan
pembakaran. Ketika struktur politik membuka peluang bagi
gerakan
sosial mereka, aktivitas gerakan cenderung menjadi semakin
radikal.
Meskipun masa pemeritahan Orde Baru terkenal represif dengan
melakukan tekanan secara politik sangat kuat sehingga
penambang
yang berani melawan adalah mereka yang benar-benar militan.
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
175
Perilaku militansi penambang dan kontrol politik negara masih
ada
hingga saat ini terutama yang dilakukan pihak pasukan
keamaman
(Brimob) membuat reaksi penambang justru cenderung terbuka
dan
lebih berani dibanding pada waktu-waktu sebelumnya. Hal ini
mungkin berbeda dengan komunitas penambang di berbagai
wilayah
konflik lainnya yang beragam dalam merespon peluang-peluang
politik
yang ada termasuk situasi yang ada, kemungkinan resiko yang
akan
mereka tanggung dan kemungkinan hasil yang akan mereka
capai.
Melalui proses pendampingan dan penyadaran bersama dengan
lembaga-lembaga non pemerintah di atas, kesadaran politik
penambang dapat dibangun. Kerja bersama ini merupakan proses
dimana para penambang dapat melakukan penilaian kembali atas
dirinya sendiri, pengalaman subyektif, peluang-peluang, dan
kepentingan bersama di antara mereka. Kesadaran politik
penambang
tidak hanya memahami posisi marginal mereka secara sosial
maupun
politik sehingga memberi peluang untuk mencari alternatif
strategi
gerakan lain guna mencapai tujuan mereka. Termasuk dengan
mengubah identitas gerakan itu sendiri dari penambang
menjadi
masyarakat adat.
Agenda gerakan reformasi pasca jatuhnya presiden Soeharto
merupakan momentum bagi mereka juga untuk mendorong agenda
reformasi melalui penguatan kesadaran sosial-konfliktual ke
dalam
kesadaran politik, karena pelaku ini yang paling berpengaruh
terhadap
kemungkinan dilakukan mobilisasi tindakan. Setelah presiden
Soeharto
lengser dan rezim Orde Baru dapat dijatuhkan, kemudian para
aktivis
gerakan masyarakat mulai beralih pada pentingnya membantu
masyarakat adat melalui gerakan-gerakan sosial masyarakat
adat.
Seperti yang dilakukan oleh LMMDD-KT yang sejak awal tahun
2005 sudah melakukan pendampingan masyarakat adat yang
tersingkir
akibat masuknya investor di Kalimantan Tengah melalui berbagai
aksi,
seperti melakukan pendampingan dan penyadaran secara
langsung
turun ke tengah-tengah kehidupan para penambang rakyat.
Hasil
pendampingan dan penyadaran kemudian direspon dan
ditindaklanjuti
dengan merancang berbagai aksi demontrasi yang lebih luas.
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
176
Beragam upaya dilakukan oleh LMMDD-KT, baik pada konstruksi
gerakan dari bawah maupun dari atas, di wilayah komunitas
para
penambang rakyat dilakukan diskusi identifikasi dan analisis
kasus,
perumusan tuntutan, penyadaran sosial-politik melalui
kegiatan
pendampingan bagi para penambang yang menjadi korban dengan
hadirnya PT IMK. Selain itu juga dilakukan aktivitas
“diskusi
kampung” pada beberapa desa lainnya untuk mengidentifikasi
dan
merumuskan strategi bersama (dokumen LMMDDKT, 2013).
Di sini para penambang yang juga sebagian besar adalah warga
masyarakat adat Siang Murung, mendiskusikan berbagai hal
yang
mengakibatkan penderitaan mereka dan tidak terselesaikannya
konflik
yang dialami terutama keberadaan pertambangan rakyat yang
diambil
alih oleh PT IMK. Kemudian mereka melakukan artikulasi
pemecahan
masalah hasil identifikasi, paling tidak berupa rencana dan
strategi
tindakan kolektif yang dianggap dapat menyelesaikan
persoalan
konflik yang tentunya dapat menguntungkan para penambang
rakyat.
Disinilah kemudian muncul penguatan dan bahkan perubahan
rumusan tuntutan-tuntutan penambang rakyat atas persoalan
penguasaan terhadap lobang-lobang tambang yang dihadapi dan
cara-
cara yang tepat untuk memperjuangkan tuntutan tersebut yaitu
dengan
merubah identitas gerakan dari “penambang rakyat” menjadi
“masyarakat adat”.
Oleh karena itu, peran aktor dalam meningkatkan kesadaran
politik dan mobilisasi sumberdaya penambang menjadi sangat
menentukan. Ketika identitas kolektif penambang tersebut
sudah
masuk pada ranah gerakan sosio-politik dan mengalami
perubahan
identitas gerakan dari “penambang” menjadi “masyarakat adat”
maka
akan menjadi politik identitas yang memungkinkan para
penambang
untuk masuk dalam aktivitas sosial-politik. Akibatnya
kesadaran
politik penambang dapat berkembang dalam kerangka identitas
kolektif, karena dikonstruksi dan dipelihara melalui interaksi
dalam
komunitas para penambang itu sendiri yang juga masyarakat
adat
Dayak kemudian berubah sesuai peluang politik dan kemampuan
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
177
mobilisasi sumber daya yang tersedia dan peluang bagi
perubahan
identitas sebuah gerakan sosial.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan penambang
rakyat dengan strategi utama melakukan pendudukan kembali
lobang-
lobang tambang dikuasakan kepada PT IMK oleh negara
dilakukan
pada tahun 1993 telah menunjukkan keberhasilan untuk
membangun
kekuatan sebuah gerakan sosial baru yang sekaligus
memperlihatkan
kekuatan politik tertentu. Hal ini mendorong untuk
mengembangkan
strategi berikutnya yang mereka sebut dengan merubah strategi
dan isu
gerakan dari penambang menjadi masyarakat adat, yakni strategi
untuk
memobilisasi opini publik karena mereka mayoritas masyarakat
adat.
Untuk tahap pertama, kelompok gerakan ini mengajak Kepala
Adat Dayak Oreng Kambang untuk terlibat dan menjadi bagian
dari
gerakan guna menegaskan identitas dengan menempatkan kembali
peran lembaga adat yang sudah ada di masyarakat. Selain itu
juga
dilakukan pemetaan geokultural untuk menegaskan adat wilayah
trasidional.45 Dengan strategi ini tentunya dapat menarik
simpati
khalayak dalam memperjuangkan isu hak-hak atas potensi
tambang
sebagai bentuk lain dari tuntutan ganti rugi atas lobang tambang
rakyat
yang telah diambil alih PT IMK. Perubahan strategi perjuangan
dari
penambang menjadi masyarakat adat ditargetkan dapat
memberikan
perubahan arah gerakan, dan lebih jauh lagi dalam rangka
mempertahankan kembali identitas ke-dayak-an.
Diasumsikan bahwa pemimpin informal, seperti Kepala Adat
Dayak dapat memberikan arahan atau dianggap lebih memiliki
kapasitas dalam memobilisasi opini publik terkait dengan nilai
dari
perjuangan mereka. Dipihak lain bahwa dengan keterlibatan
Kepala
Adat perjuangan mereka tidak semata-mata hanya untuk
memperjuangkan tuntutan ganti rugi melainkan upaya
memperjuangkan nilai kultural dan spritual dari tanah tersebut
yang
dikuasai mereka selama ini. Ini sama halnya dengan orang Papua
yang
45 Wilayah adat atau wilayah tradisional dimaknai sebagai
wilayah total meliputi; tanah, teritori, dan sumber daya alam
sampai ranah kebudayaan (Usop, 1996).
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
178
menyebut tanah mereka seperti susu ibu yang memiliki kedalaman
dan
hubungan batiniah (Fauzi, 2006).
Sebagai simbol perlawanan masyarakat adat Dayak, mereka
kemudian melakukan upacara adat memasang Hinting Pali atau
Maniring Hinting. Hal ini dilakukan karena orang Dayak mempunyai
hubungan yang sangat erat dan dekat dengan lingkungan hidupnya.
Mereka sering dipengaruhi oleh alam pikiran religio magis.
Kenyataan
ini tidak mudah untuk dipahami dan dimengerti atau dipercayai
oleh
orang lain. Sebaliknya, masyarakat Dayak menganggap
pengetahuan
akan simbol-simbol tertentu adalah hal yang wajar, walaupun
sebenarnya tidak setiap orang memiliki kepandaian untuk
memahami
dan menginterpretasi simbol-simbol tersebut.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, nilai-nilai budaya orang
Dayak, bersumber dari kepercayaan Kaharingan (berasal dari
kata
“Haring” yang artinya kehidupan ada dengan sendirinya). Pada
intinya kepercayaan Kaharingan ini percaya pada segala benda dan
makhluk
yang memiliki Gana (Roh), dan hanya ada satu Tuhan, yaitu
Ranying Hatala Langit yang menciptakan segala isi alam semesta
seperti tercantum dalam tutur Balian : Inyaho hai mamparuguh
tungkupah, kilat panjang mampa rinjet ruang (Guntur/suara agung
membuka kuasanya, kilat panjang menggerakkan
ruang/membelah-belah
angkasa).
Asal usul penciptaan manusia dan alam semesta ini
digambarkan
dengan simbol Batang Garing/Haring (Pohon Kehidupan) yang di
dalamnya terdapat burung Tingang (Enggang) sebagai simbol penguasa
dunia atas dan Tambun (Naga) sebagai simbol penguasa dunia bawah.
Dalam konteks gerakan perlawanan, simbol Batang Garing dipahami
oleh masyarakat Dayak sebagai keseimbangan hubungan manusia
dengan alam dan keseimbangan hubungan antar manusia yang
seharusnya didukung oleh negara dalam rangka
mengimplementasikan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan atau oleh Usop,
Sidik
(2012) dikonsepkan dengan pembangunan berbasis pada
masyarakat
adat dimana secara ekonomis menguntungkan, secara ekologis
lestari
dan secara budaya tidak merusak.
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
179
Dalam kehidupan sehari-hari, umat Kaharingan percaya kepada
mahluk-mahluk Ilahi yang berkuasa dan bertugas membantu
keselamatan manusia, memberi rezeki dan menyebarkan penyakit,
dan
lain-lain yang tersebar di air (sungai, danau, dan laut),
gunung, hutan,
tanaman, dan tempat-tempat tertentu. Bagi pemeluk
Kaharingan,
makhluk-makhluk Ilahi itu sangat berpengaruh dalam
menentukan
kehidupan manusia. Keberuntungan dan kemalangan hidup,
bencana
alam, kecelakaan terjadi karena tindakan mereka, walaupun
penyebab
munculnya tindakan itu akibat perbuatan manusia itu sendiri.
Oleh
karena itu, wujud tertinggi dalam praktek kepercayaan
Kaharingan
adalah mematuhi adat, yaitu tidak melanggar Pali (pantangan) dan
melaksanakan upacara ritual yang meliputi gawi belom (upacara
kehidupan) seperti mamapas lewu, manyanggar, pakanan batu dan
manajah antang dan gawi matei (upacara kematian) seperti upacara
tiwah.
Orang Dayak pada masa keemasan sebelum membuka lahan baik
untuk pertanian dan berladang terlebih dahulu membuat tanda
supaya
orang lain tidak merampas atau menyerobot serta menggarap ladang
di
tempat yang diberi tanda (simbol adat berupa Tarinting atau
Hinting) atau memberi patok pada kayu dari setiap sudut rintisan
areal dari
tanah kosong yang akan digarapnya (Salilah, 1977:1).
Hinting atau Tarinting dapat diartikan sebagai suatu tanda
larangan atau simbol lokal masyarakat Dayak di Kalimantan
Tengah
untuk menandai suatu areal pertanian/ladang dan areal ritual
keagamaan dalam Kaharingan. Tanda atau simbol maniring hinting
tersebut jika berada di ladang atau tanah garapan seseorang
berarti
menandakan kepemilikan dan hak bagi si pemilik atas lahan/areal.
Jika maniring hinting didapati dalam upacara atau di depan rumah
orang yang sedang melaksanakan Balian. Balian adalah nyanyian
disertai tetabuhan musik tradisional Dayak dalam upacara Tiwah.
Tiwah
adalah upacara ritual penting kematian kedua (second burial)
dalam agama Kaharingan yang bertujuan untuk menghantarkan roh ke
langit
ke tujuh atau surga. Dalam upacara keagamaan Kaharingan
artinya
dilarang melakukan tindakan atau perbuatan tidak senonoh di
dalam
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
180
garis batas/portal adat seperti berkelahi, berjudi dan perbuatan
yang
tidak senonoh apabila sampai ada yang meninggal dan berdarah
dapat
dikenakan singer atau membayar denda adat sesuai dengan hukum
adat yang berlaku di daerah itu.
Tradisi maniring hinting dalam konteks perlawanan dan perjuangan
hak-hak atas penguasaan sumberdaya alam oleh masyarakat
adat Dayak dari para pengusaha atau investor, dalam
praktiknya
melakukan hal yang melanggar adat tidak mentaati adat atau
melanggar kesepakatan atau pali. Orang yang melanggar pali
disebut orang yang belom dia bahadat (hidup tidak beradat). Karena
itu, maniring hinting menjadi salah satu cara penanaman nilai-nilai
dan norma-norma yang berfungsi memelihara tertib sosial dalam
kehidupan masyarakat adat Dayak.
Maniring artinya membentangkan/mengencang tali, hinting artinya
larangan dalam bahasa Dayak menjadi maniring hinting membentangkan
tali larangan bertujuan untuk mempertahankan hak-
hak seseorang atau kelompok dengan cara membuat tanda atau
simbol
dengan membentangkan tali larangan dari rotan atau tali dari
akar
kayu dan digantung pada tali rotan tersebut daun lenjuang atau
sawang disertai cacah pada permukaan depan daun dengan kapur
sirih
berwarna putih yang dalam konteks ini menandakan bahwa areal
tanah yang ditandai dengan maniring hinting. Simbol tali rotan
dalam maniring hinting berarti masih dimungkinkan adanya negosiasi
dalam musyawarah atau kesepakatan dalam menyelesaikan masalah
sengketa
tanah. Sesuai dengan tujuan maniring hinting yang memanggil gana
atau roh-roh tanah dan tanaman yang sengaja dilakukan guna
menjadi
saksi sumpah mereka atau seperti peradilan roh bahwa yang
bersangkutan melaksanakan upacara/tradisi maniring hinting
adalah menyatakan benar-benar sang pemilik lahan atau areal tanah
tersebut.
Jikalau ada yang berbohong maka salah satu dari pihak yang
bersengketa akan mengalami kematian dan malapetaka yang akan
dilakukan oleh roh-roh (spiritual violence) tersebut kepada
pihak yang
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
181
memang sengaja melanggar, memutus, membongkar, melanggar
serta
menyerobot tanah tersebut. 46
Dalam konteks seperti ini, masyarakat adat Dayak mempunyai
kekuasaan dan kekayaan sendiri. Wujud kekuasaan dan kekayaan
menurut Liqua (2016) lain berbentuk “hak atas wilayahnya”:
1. Apabila melebihi kehidupan keseharian harus dengan
ijin/kesepakatan masyarakat (usaha yang umum dilakukan
masyarakat dalam satu wilayah tertentu) secara spontanitas.
Contoh: menangkap ikan di luhak (sungai kecil) atau ayap pada
musim kemarau hendaklah secukupnya/tidak berkelebihan.
2. Warga masyarakat bertanggung jawab atas segala hal yang
terjadi di wilayahnya.
3. Orang luar yang akan memanfaatkanya harus dengan ijin dan
membayar uang pengakuan (mesi recognitie retribusi) kepada
masyarakat adat; kontribusi ini untuk pembangunan daerah
tersebut. (tidak boleh diatur oleh Peraturan Pemeritah
seperti
ketentuan pokok kewajiban investor dalam membayar
pajak/kontribusi kepada daerah dan pusat, tapi harus
berpijak
pada kesepakatan dengan daerah penghasil atauotonomi khusus
desa).
4. Hak ulayat meliputi pula tanah yang sudah digarap (secara
perorangan) oleh warga.
5. Hak ulayat tidak boleh dijualbelikan kepada pihak asing
(pihak
asing walau dalam arti pemeliharaan atau dalam bentuk
apapun).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan orang
Dayak
sudah memiliki ideologi yang kuat dan berakar yang biasanya
dikonsepkan dengan religi orang Dayak. 47 Ideologi atau religi
ini pula
46 Kasus meninggalnya salah satu Damang Kepala Adat dikarenakan
membuka tali atau patok agar perusahaan dapat masuk dan melakukan
aktifitas (Hasil wawancara dengan Kepala Adat Oreng Kambang, 11
Juli 2016 di Oreng Kambang). 47 Radam (1987:17) dan Miden (1999:65)
menyatakan religi orang Dayak dipahami sebagai konsepsi manusia
tentang semua hal yang terkandung dalam kosmologi dan
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
182
yang kemudian menjadi pendukung utama terjadinya
transformasi
identitas gerakan dari penambang menjadi gerakan masyarakat
adat. 48
Dengan ideologi atau religi ini, orang Dayak mampu merespon
hadirnya dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk
ke
hampir semua relung kehidupan orang Dayak, yaitu negara (state)
dan pasar (the market). Tindakan yang mereka lakukan adalah
melaksanakan ritual-ritual sebagai sistem simbol yang teratur
dalam
suasana hati (sentimen) tertentu dan sebagai sarana untuk
berkomunikasi dengan jaga rayanya agar dapat menjembatani
berbagai
kebutuhan yang saling bertentangan sebagai pernyataan diri
dengan
penguasaan diri. Di dalam ritual-ritual tersebut juga terkandung
segala
aturan, norma dan etika untuk mengatur hubungan manusia
dengan
manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and
supranature).
Isu Penting Melandasi Munculnya Gerakan Masyarakat Adat
Munculnya tindakan kolektif yang dilakukan masyarakat adat
Oreng Kambang merupakan tindakan yang diorientasikan pada
seperangkat kepercayaan, nilai-nilai, dan makna-makna kultural
yang
mendukung berkembangnya kesadaran politik, dan yang
mengilhami
sekaligus meligitimasi gerakan perlawanan yang dilakukan.
Dalam
kerangka ini pula, maka isu terkait hak-hak adat atas
penguasaan
sumberdaya alam menjadi sprit perjuangan orang Dayak melawan
PT
IMK.
Orang Dayak percaya bahwa tanah dan alam sekitar mempunyai
pola hubungan religius sehingga dalam memanfaatkan, dan
menentukan sistem pemilikan, dan melakukan ekstraksi sumber
daya
eskatologis serta aktifitas-aktifitas berkenaan dengannya yang
berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengenal ikatan sosial.
48 Religi bagi orang Dayak dapat dipahami sebagai konsepsi manusia
tentang semua hal yang terkandung dalam kosmologi, dan eskatologi
serta aktivitas-aktivitas berkenaan dengannya yang berfungsi
memantapkan kehidupan pribadi dan mengenalkan ikatan sosial. Karena
religi atau satu unsur yang membentuk religi juga dapat dikatakan
sebagai keyakinan (belief) dari sistem ideologi yang menjadi inti
dari kebudayaan orang Dayak.
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
183
alam harus diatur (King, 1978; dan Ukur, 1992). Karenanya bagi
orang
Dayak, tanah dan alam sekitar menghubungkan generasi masa
lalu,
sekarang dan yang akan datang (Djuweng, 1992). Salah satunya
terkait
dengan keberadaan Gunung Puruk Kambang yang kemudian
dijadikan
sebagai wilayah suci dan sakral bagi orang Dayak dan oleh
pemerintah
dijadikan sebagai Situs Budaya untuk dilestarikan.
Selanjutnya mengacu pada Odop dan Lakon (2009:23-25) alamnya
orang Dayak memiliki 3 (tiga) unsur penting membentuk jati diri
atau
identitas orang Dayak, yaitu: hutan, tanah, dan air. Ekosistem
hutan
dan orang Dayak tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai
satu
kesatuan utuh kehidupan orang Dayak sejak awal keberadaannya
di
muka bumi hingga kematiannya. Hal ini terlihat jelas dalam
wujud
persekutuan hidup dan kemandirian orang Dayak sebagai suatu
“masyarakat kecil” hutan yang berkelanjutan. Hutan bagi orang
Dayak merupakan dunia, sumber kehidupan, darah dan jiwa (Pilin
dan
Petebang, 1999). Mereka percaya bahwa hutan, tanah, dan sungai
itu
dihuni oleh roh-roh dan makluk-makluk halus yang dibedakannya
dari
roh yang ada di dalam diri manusia. Roh di dalam diri
manusia
hidupnya berkreasi karena terkait dengan roh di luar manusia.
Roh di
luar diri manusia ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat
tidak
baik. Mereka percaya, roh penghuni alam sekitar yang bersifat
baik
selalu akan melindungi manusia, sedangkan roh yang bersifat
tidak
baik selalu akan mengganggu hidup manusia. Kepercayaan ini
kemudian mereka ungkapkan melalui berbagai ritual sewaktu
memulai
aktivitas perladangan.
Orang Dayak sebelum membuka hutan untuk aktivitas
perladangannya dilakukan sesuai aturan adat dan ritual-tirual
yang
harus dijalaninya sebagai mekanisme mengatur hubungan antara
manusia, tanah dan hutan (Ukur, 1985). Institut Dayakologi
menolak
anggapan bahwa aktivitas ladang berpindah sama dengan
kegiatan
merusak hutan. Pasalnya orang Dayak sudah mempunyai sistem
pertanian asli terpadu (integrated indigenous farming system)
(Pilin dan Petebang, 1999:13) dimana tanah, sungai dan hutan adalah
tiga
elemen terpenting yang memungkinkan seseorang hidup sebagai
orang
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
184
Dayak sejati. Untuk mempertahankan eksistensi dan cara hidup
mereka yang khas orang Dayak menerapkan tujuh prinsip dalam
menejemen pemanfaatan sumber daya alam, yaitu : (1)
kesinambungan; (2) kolektivitas; (3) keanekaragaman; (4)
subsistensi;
(5) organik; (6) ritualitas; dan (7) hukum adat.
Hasil analisis di lapangan menunjukkan telah terjadi
pergeseran
pola usaha yang berpengaruh pada cara masyarakat
memanfaatkan
lahan dari tahun ke tahun. Pada awal tahun 1970-an dan
1980-an,
masyarakat Dayak masih banyak yang mencari kayu ulin, kayu
gaharu,
pantung, berburu hewan liar, dan mendulang emas secara
tradisional.
Pada tahun 1990-an, usaha-usaha tersebut mulai sulit dilakukan
karena
kelangkaan sumberdaya, akibat semakin intensifnya
eksploitasi
terhadap sumberdaya hutan. Pada tahun 2000-an pola usaha dan
pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat Dayak masih
menunjukkan
ketergantungan yang tinggi usaha penambangan emas, karet dan
padi
ladang dengan sistem berpindah-pindah.
Selain ritual, orang Dayak juga memiliki mitos-mitos sebagai
sistem simbol menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan
dengan
kata-kata lisan secara langsung tetapi lebih sebagai teguran
seperti“pandehen utus” (pengokoh ketahanan suku dan bangsa).
Mitos ini dikembangkan untuk mengisi ruang yang diperlukan
dalam
pemikiran orang Dayak. Karena mitos bagi orang Dayak adalah
juga
sebuah religi yang juga berfungsi sebagai perisai yang
melindungi atau
menghalangi seseorang dari kecenderungannya berlebihan untuk
memberlakukan alam. Selain itu, mitos bagi orang Dayak
berfungsi
sosial guna mengatur, mempertahankan, dan memindahkan
sentimen-
sentimen sebagai landasan kelangsungan dan ketergantungan
sekalian
orang dalam masyarakat yang bersangkutan, dari satu generasi
ke
generasi berikutnya. Mitos bagi orang Dayak kemudian dapat
dipahami
sebagai rasionalisasi dari berbagai pengalaman-pengalaman
dan
pengetahuan-pengetahuan yang baru sebagai penunjang guna
memelihara eksistensi atau identitas ke Dayak-annya.
Proses munculnya pemilikan tanah secara tradisional
didahului
oleh adanya hubungan antara tanah dengan orang atau
orang-orang
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
185
yang menggarapnya. Tahap berikutnya muncul hak (yakni
sesuatu
yang merupakan pilihan bagi si penyandang hak). Namun bagi
masyarakat adat Dayak “hak” tersebut tepatnya berupa
“kewajiban”
karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan
misalnya
pemeliharan sempat terhenti dalam satuan waktu tertentu,
maka
aksesnya terhadap tanah menjadi hilang, meski seringkali
bersifat
sementara. Sebaliknya, di dunia modern yang muncul lebih
dahulu
adalah “hak” (misalnya diberi hak untuk mengelola HPH selama
25
tahun), baru kemudian muncul hubungan dengan tanahnya.
Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti telah
disebutkan,
lebih berupa “kewajiban”, namun pada dunia modern justru
dibelokkan menjadi “hak” (Atmajaya, 1998).
Cara pemindah-tanganan hak atas tanah di dalam masyarakat
Dayak adalah melalui : (1) jual-beli (hajual hapili), (2)
perwarisan, (3) pemberian (panenga), (4) tukar-menukar (tangkiri
ramu), (5) gadai (sanda, hasanda) dan (6) perkawinan (petak
palaku). Pemindahan hak atas tanah terjadi bilamana seorang
keluarga tertentu sangat
membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, seperti
biaya
sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta
upacara
Tiwah, dan lain-lain.
Menurut UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No. 5 Tahun
1960, pemanfaatan lahan yang tidak permanen, seperti pola
ladang
berpindah (shifting cultivation) yang dilakukan warga desa di
sebagian wilayah Kalimantan Tengah, relatif sulit untuk mendapat
pengakuan
formal. Hal ini menyebabkan jaminan hukum bagi masyarakat
lokal
cenderung lemah dibandingkan perusahaan atau pihak swasta.
Tanpa
kejelasan status hak, masyarakat adat tidak mempunyai
kekuatan
untuk mempertahankan tanah yang telah mereka manfaatkan
secara
turun temurun. Pada kasus pengambilalihan lahan untuk
proyek-
proyek swasta yang didukung oleh kebijakan pemerintah, ganti
rugi
untuk lahan yang diambil alih kemungkinan tidak dibayar.
Perusahaan-perusahaan pertambangan menguasai dan
memanfaatkan
lahan dan hutan dengan membawa ijin formal dari pemerintah
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
186
mempunyai kekuatan secara hukum, termasuk di daerah-daerah
yang
secara de facto telah dimanfaatkan dan dikuasai oleh masyarakat
adat.
Hak atas tanah yang disebut beschikkingsrecht oleh van
Vollenhoven, “hak pertuan” oleh Soepomo, “hak pertuan” oleh
Mahadi, “hak wilayah” oleh M. Tauuchid dan “hak ulayat” oleh
Soekanto Ridwan (1982) dalam (Florus, Paulus, 1994: 55). Konsep
yang
paling banyak digunakan kemudian adalah “hak ulayat”.
Tanah adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan dan kebudayaan orang Dayak. Tanah adat sangat
penting
untuk Masyarakat Adat Dayak, karena tanah adat merupakan
penunjang keberlangsungan hidup dan sarana untuk
meningkatkan
kesejahteraan, baik yang bersifat sosial maupun ekonomis. Karena
itu
tanah adat sebagai bagian dari hak-hak adat masyarakat adat
baik
kolektif (ulayat) maupun perorangan di Kalimantan Tengah
perlu
diakui, dihormati, dan dihargai keberadaannya. Kebijakan
Pemerintah
Provinsi dengan menetapkan Perda Provinsi Kalimantan Tengah
No.
16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan
Tengah dan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 13/2009
Jo
Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah No. 4/2012
tentang
Tanah Adat dan Hak-hak Adat di atas Tanah di Provinsi
Kalimantan
Tengah harusnya menjadi kekuatan mendukung gerakan
perlawanan
masyarakat adat. Tanah adat yang diolah dan dikuasai masyarakat
adat
selama ini, secara yuridis sudah diharmoniskan sehingga
memiliki
sandaran hukum tertulis atau hukum positif.
Terkait isu penguasahaan sumberdaya alam (tanah) yang
menyangkut kontrol hukum positif atas tanah lokal oleh
negara
tampaknya menjadi isu yang paling dibenci oleh masyarakat
adat
dikarenakan pengambilan hak-hak lokal secara tidak sah.
Perwakilan
masyarakat adat menolak sepenuhnya penyataan tanah adat
sebagai
tanah negara ini jelas merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak
masyarakat adat.
Selanjutnya kaitan antara hukum adat dan tanah adat Dayak
dapat
dilihat dalam berbagai dimensi, diantaranya :
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
187
1. Hukum adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam
kesadaran hati nurani masyarakat dan tercermin dalam pola-
pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan
pola-
pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional.
2. Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di
wilayah
ke Damangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai
berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun
bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik
milik
perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui
oleh Damang Kepala Adat.
3. Tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur
turun
temurun yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh
para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini
dapat
disejajarkan maknanya dengan hak ulayat.
4. Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi
yang
diperoleh dari membuka hutan atau berladang, jual beli,
hibah,
warisan, dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam
tumbuhnya maupun tanah kosong belaka.
5. Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak
perorangan untuk mengelola, memungut dan memanfaatkan
sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di
atas tanah yang berada di dalam hutan di luar tanah adat.
6. Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat (semacam majelis) yang
selanjutnya disebut Kerapatan Mantir/Let adalah forum gabungan para
Mantir/Let adat baik yang berada di kecamatan maupun di
desa/kelurahan.
7. Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan Ketua Kerapatan
Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang berwenang menegakkan
hukum adat Dayak dalam suatu
wilayah adat yang pengangkatannya berdasarkan hasil
pemilihan oleh para kepala desa/kelurahan, para ketua Badan
Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan,
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
188
para Mantir Adat Kecamatan, para Ketua Kerapatan Mantir Adat
Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah
kedamangan tersebut; Damang Kepala Adat diangkat oleh
Bupati/Walikota.
8. Kedamangan adalah suatu lembaga adat Dayak yang memiliki
wilayah adat, kesatuan masyarakat adat dan hukum adat dalam
wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari
himpunan beberapa desa/kelurahan/kecamatan/kabupaten dan
tidak dapat dipisah-pisahkan.
9. Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat adalah
perangkat adat pembantu Damang atau gelar bagi anggota Kerapatan
Mantir Perdamaian Adat di tingkat Kecamatan dan anggota Kerapatan
Mantir Perdamaian Adat tingkat desa/kelurahan, berfungsi sebagai
peradilan adat yang
berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam menegakkan hukum
adat dayak di wilayahnya; Mantir/Let kecamatan berjumlah 3 orang;
Mantir/Let tiap desa/kelurahan berjumlah 3 orang; Mantir/Let
diangkat dan diberhentikan oleh keputusan Bupati/Walikota.
10. Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat-
istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat dayak itu
tumbuh, berkembang dan berlaku sehingga menjadi penyangga
untuk memperkokoh keberadaan masyarakat adat Dayak
bersangkutan.
11. Identifikasi dan inventarisasi adalah pendataan dan
pencatatan
pemilik tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah, serta
penentuan areal tanah adat yang akan didaftarkan untuk
mendapat Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak
Adat di atas Tanah (Buku Panduan Pembuatan Surat
Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di Atas
Tanah.
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
189
Mengacu Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah
No.16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di
Kalimantan
Tengah, Bab XIV Pasal 36 ayat 1, 2, dan 3 menyatakan bahwa :
(1) Hak-hak adat Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah
adalah tanah adat, hak-hak adat di atas tanah, kesenian,
kesusasteraan, obat-obatan tradisional, desain/karya cipta,
bahasa, pendidikan, sejarah lokal, peri boga tradisional,
tata
ruang, dan ekosistem.
(2) Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah mengakui,
menghormati dan menghargai keberadaan hak-hak
masyarakat adat Dayak sebagaimana dimaksud ayat (1)
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang
undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak adat Dayak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan
Peraturan Gubernur.
Atas dasar berbagai isu di atas, maka dapat dikatakan bahwa
bentuk penegasan kembali hukum adat dan tanah adat menjadi
isu
utama untuk melakukan transformasi identitas gerakan
penambang
menjadi gerakan masyarakat adat. Gerakan yang awalnya adalah
perjuangan para penambang yang terbatas berkembang ke
gerakan
trasformasi sosial dan politik yang lebih luas melalui
gerakan
mempertahankan hak-hak adat.
Menuju Gerakan Mempertahankan Hak-hak Adat
Sebutan suku Dayak sebagai satu kesatuan dari sub-sub suku
Dayak yang ada di Kalimantan, mulai dikenal pada saat dilakukan
rapat
damai yang dihadiri kepala-kepala suku adat Dayak se Kalimantan
di
Tumbang Anoi dari tanggal 22 Mei -24 Juli 1894. (Ilon, 1987a;
Usop,
1994:v-vii dan Kurniawan, 2007). Rapat ini merupakan peristiwa
yang
sangat bersejarah pada abad ke-19 untuk merintis persatuan
dan
kesatuan dengan mengokohkan sistem adat-istiadat dan tata
krama
maupun sikap moral (Ilona, 1987:7) melalui berbagai
penyelesaian
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
190
konflik antar suku Dayak terkait dengan kegiatan ritual adat
seperti
saling bunuh (habunu), saling potong kepala (hakayau), dan
saling memperbudak (hajipen) diantara suku-suku Dayak yang kemudian
dikenal dengan rapat damai Tumbang Anoi pada tahun 1894.
Semangat
ini yang kemudian disebut dengan “semangat Anoi” mendorong
kesadaran orang Dayak salah satunya adalah pentingnya
mempertahankan hak-hak adat Dayak.
Walaupun umurnya lebih dari seratus tahun lalu terpedam
dalam
sejarah, namun “semangat Anoi” masih tetap diakui oleh orang
Dayak
sebagai peristiwa bersejarah yang terbesar dan unik karena
mampu
menghadirkan tokoh-tokoh adat (informal leader) +1.000 orang
mewakili 400 kelompok Suku Dayak di seluruh Kalimantan. Rapat
akbar ini merupakan persidangan pengadilan adat terbesar
untuk
menyelesaikan hampir 300 perkara berkaitan dengan konflik
antar
suku Dayak selama dua bulan (60 hari) untuk menghasilkan
sejumlah
peraturan adat. Disepakati 96 pasal Hukum Adat untuk menjadi
pedoman bagi para Damang Kepala Adat di seluruh Kalimantan
yang
kebanyakan bertugas mengatur tentang sanksi-sanksi adat di
dalam
interaksi sesama orang Dayak maupun dalam kehidupan
perladangan.
Misalnya tradisi saling potong kepala (hakayau) sudah tidak
terjadi lagi dimana kepala manusia simbol diganti dengan buah
kelapa. 49
Rapat damai ini juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan
tertinggi yaitu; persaudaraan, perdamaian, dan kesadaran tertib
hukum
yang diwujudkan dalam perilaku, sebagai terbitnya cahaya
peradaban
untuk menyinari hutan belantara Kalimantan. Manarik dalam
rapat
ini, pihak Belanda (Kontrolir Tanah Dayak A.C. da Hee dan
Kontrolir
Melawi J.P.J. Barth) yang menginisiasi rapat ini menampilkan
diri
lebih sebagai saudara sesama manusia daripada sebagai penguasa.
Sikap
ini disambut dengan semangat yang sama dengan bahasa yang
berbeda:
Belanda, Melayu, dan Dayak yang kemudian melahirkan Pakat
Dayak.
Pakat Dayak berisikan; (1) perang antara Belanda dan pasukan
Barandar dilakukan tanpa penuntutan ganti kerugian
masing-masing;
(2) mengakui kewenangan pemerintah untuk memajukan dan
49 Wawancara dengan tokoh Dayak di Palangkaraya pada tangga 13
Nopermber 2011.
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
191
membangun daerah Dayak yang diimbangi dengan pengakuan pada
kedaulatan dan status lembaga adat (Kedamangan); (3) semua
pihak
sepakat menghentikan kegiatan asang maasang (perang antar suku);
(4) dihentikannya kegiatan bunu habunu (saling bunuh) yang
seringkali dilakukan dengan latar belakang dendam; (5) menghentikan
kegiatan
kayau mengayau (kebiasaan memburu manusia, memotong kepala untuk
koleksi pribadi dan bukti kepahlawanan); (6) menghentikan
kebiasaan jipen manjipen dan hajual hapili jipen (perbudakan dan
jual beli budak); (7) menyempurnakan warisan turun temurun yang
dipangku para Damang disamping ketentuan-ketentuan yang
dijalankan pemerintah; dan (8) memberi kesempatan untuk
berbagai
pihak mengemukakan masalah yang dihadapi masing-masing dan
dicarikan penyelesaiannya.
Pakat Dayak juga merupakan bentuk kesepakatan, kerukunan,
persatuan dan kesatuan langkah dan pandangan pada suatu
kurun
waktu. Karenanya Pakat Dayak dapat dikatakan sebagai institusi
atau
sebagai sekumpulan norma dan perilaku yang tetap sepanjang
waktu
dengan cara memberi tujuan yang bernilai kolektif (Uphoof,
1986:1-
19) yang selanjutnya dapat berfungsi sebagai kerangka interaksi
dan
integrasi dimana jati diri orang Dayak akan terus berkembang
dari
waktu ke waktu dalam mengisi ruang pembangunan atau dalam
ruang
membentuk peradapan. Selain itu, Pakat Dayak juga digunakan
sebagai
alat perjuangan, karena pengertian pakat mengandung suatu
kebulatan
pikiran, pandangan dan langkah ke suatu tujuan atau suatu
pencerahan
pikiran atau kebangkitan atau kebangkitan kembali kebudayaan
(cultural revival) (Usop, 1994:v-vii).
Walaupun rapat damai di Tumbang Anoi (1894) merupakan
sejarah besar bagi orang Dayak, tetapi sebagian orang Dayak
menganggap pertemuan tersebut merupakan kekalahan dan
mengembangkan mentalitas budak di kalangan orang Dayak
sebagai
politik desivilasi “ragi usang” (Kusni, 2010). Orang Dayak
kemudian
memiliki rasa rendah diri sampai-sampai ada yang tidak
mengakui
dirinya orang Dayak dan mau berbahasa Dayak. Kesalahan rapat
damai
di Tumbang Anoi, dikoreksi setelah 25 tahun kemudian, tepatnya
pada
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
192
tanggal 18 Juli 1919 dengan didirikannya organisasi oleh
beberapa
tokoh Dayak yang diberi nama dengan Pakat Dayak atau Serikat
Dayak. Berdirinya organisasi ini bersamaan dengan berdirinya
Boedi
Oetomo (20 Mei 1908) dan organisasi-organisasi nasionalis
lainnya di
berbagai pulau di Indonesia, terutama di Jawa. Apakah
berdirinya
organisasi Pakat Dayak tidak terpisahkan dari Gerakan
Kebangkitan
Nasional untuk kemerdekaan Indonesia masih perlu dikaji lebih
jauh.
Namun demikian, dengan berdirinya organisasi ini diharapkan
dapat
melahirkan kesadaran “baru” tentang pentingnya gerakan
membela
harkat dan martabat orang Dayak, baik secara politik, ekonomi,
budaya
maupun sosial.
Meskipun Pakat Dayak sudah dibentuk, tetapi masih banyak
orang Dayak yang belum sadar pentingnya membangun integritas
ke-
Dayak-an karena mereka tetap merasa dirinya sebagai Dayak
Oot
Danum, Dayak Ngaju, Dayak Siang, Dayak Bakumpai dan Dayak
Maanyan, yang berasal dari daerah utus itu dan utus ini. Hal ini
terlihat dari upaya membentuk Komite Kesadaran Bangsa Dayak
tahun
1938 agar orang Dayak memiliki wakil di Parlemen Belanda
(Volksraad) di Betawi. Komite ini kemudian menyebarkan selebaran
(yang dikenal sebagai Suara Dayak) untuk disampaikan ke
berbagai
pelosok sungai atau DAS, walaupun pada akhirnya tidak
berhasil
membawa wakil orang Dayak duduk di Parlemen Belanda (Van
Klinken, 2004:18).
Perjuangan selanjutnya terjadi dari tahun 1953-1957 setelah
Indonesia memperoleh kemerdekaan. Dengan melibatkan banyak
aktor dan organisasi kemasyarakatan, seperti: pasukan khusus
(Pasus);
Gerakan Mandau Talawang Pancasila (GMTPS); Serikat
Keharingan
Dayak Indonesia (SKDI); Ikatan Keluarga Dayak (IKAD) dll
berjuang
untuk membentuk Daerah Otonom (Provinsi Kalimantan Tengah),
lepas dari wilayah administrasi Kalimantan Selatan. Untuk
mempersiapkan segala sesuatu membentuk Daerah Otonom, maka
pada tahun 1956 beberapa tokoh Dayak dan organisasi
kemasyarakatan
di bawahnya menyelenggarakan Kongres Rakyat Kalimantan
Tengah
(KRKT) di Banjarmasin. Latar belakang dilaksanakan kongres ini
salah
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
193
satunya menyiapkan proposal pembentukan provinsi Kalimantan
Tengah. Dasar pembentukan adalah secara geografis luas
Kalimantan
Tengah 1,5 kali dari luas pulau Jawa, memiliki sumber daya
manusia
kurang lebih 450.000 jiwa pada tahun 1957, serta memiliki
sumber
daya alam yang sangat besar untuk menunjang pemerintahan.
Pertimbangan lain bahwa faktor etnologis, sosiologis dan
psykologi
lebih didominasi oleh masyarakat dari suku Dayak (Jidan, 1994
dan
Usop, 1978). Gerakan ini membuahkan hasil dengan
dikeluarkannya
UU Darurat No. 10 Tahun 1957 yang dicatat dalam Lembaran
Negara
No. 53 Tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Otonom
Kalimantan Tengah. Oleh karenanya KRKT yang diselenggarakan
di
Banjarmasin dijadikan sebagai tonggak penyelenggarakan KRKT
berikutnya dan kemudian disebut sebagai KRKT I.
Pada masa Orde Baru, tepatnya memperingati 100 tahun Rapat
Tumbang Anoi (tahun 1994), beberapa tokoh adat Dayak dari
berbagai
latar belakang berkumpul dan menyepakati perlunya membentuk
Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah
yang disingkat LMMDD-KT. Lembaga selanjutnya dijadikan
sebagai
wadah atau ranah (field) untuk membangun jaringan
hubungan-hubungan antar orang Dayak, seperti yang dikembangkan
oleh
Bourdieu (Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J, 2008:525).
Pembentukan lembaga ini terinspirasi dari gerakan Pakat Dayak
yang
telah berjuang pada masa kolonial. Karenanya LMMDD-KT
dibentuk
bukan sebagai gerakan instan tetapi gerakan untuk terus
menginstitu-
sionalisasikan Pakat Dayak dalam kehidupan orang Dayak. 50
Sejak dibentuk, LMMDD-KT melakukan berbagai tindakan
kolektif melalui aksi-aksi massa untuk memperjuangkan
kepentingan
orang Dayak. Salah satu aksi massa yang pernah dilakukan
adalah
menolak calon Gubernur Kalimantan Tengah “dropping” pusat
(Karna
Suwanda adalah calon Gubernur ketiga yang ditolak) dengan
melakukan demo besar-besaran oleh masyarakat menuntut
dipilihnya
“putera daerah” pada tahun 1996. Namun akhirnya calon
gubernur
50 Wawancara dilakukan dengan tokoh adat Dayak pada tanggal 05
Maret 2010 di Palangkaraya.
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
194
dropping pusat yang dipilih adalah Warsito Rasman (masa bakti 17
Juli 1994 hingga Juli 1999). Untuk menegaskan sikap ini,
LMMDD-KT
kembali menyelenggarakan KRKT II pada tahun 1995 di
Palangkaraya.
Butir-butir kesepakatan hasil KRKT II adalah; (1) tetap
memperjuangkan Gubernur berasal putra daerah; (2)
memperjuangkan
untuk memperoleh otonomi daerah; dan (3) memperjuangkan
hak-hak
adat orang Dayak.
Terlepas dari kegagalan untuk mempengaruhi pemerintah agar
memilih Gubernur Kalimantan Tengah dari orang Dayak, namun
perjuangan ini memunculkan kembali politik etnis atau politik
Dayak
atau Pan Dayak. Hal ini terjadi karena sejak kemerdekaan,
apalagi pada
masa pemerintahan Orde Baru orang Dayak terus
termajinalisasi.
Dengan menggunakan stigma sosial yang negatif dan
mengatasnamakan pembangunan, orang Dayak kemudian
dikategorikan sebagai “suku terasing” atau sebagai yang others
sehingga perlu dilakukan program relokasi seperti yang dilakukan
pada masa
kolonial Belanda (Mutia, 2006:14-15), dan juga dibeberapa negara
di
Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Filipina (Ghee dan Gomes,
1993).
Di balik alasan memberadabkan dan memodernkan orang Dayak
yang
disodorkan untuk mendukung program relokasi, tetapi kerap
kali
terdapat kaitan langsung untuk mengeksploitasi sumber daya
alamnya.
Mengiringi perjalanan euforia reformasi, di Kalimantan
muncul
konflik etnik antara Madura dan Dayak. Konflik ini
mendapatkan
perhatian secara khusus dari Human Right Watch karena memakan
ratusan korban jiwa dan ribuan orang dari etnis Madura harus
mengungsi di berbagai wilayah di Indonesia. Orang Madura
meninggalkan harta bendanya yang jumlahnya tidak sedikit
karena
mereka telah hidup puluhan tahun di Kalimantan (data yang
sebenarnya hingga saat ini belum diketahui). Awal mula konflik
etnis
ini di Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten Ketapang pada
tahun
1999, kemudian menjalar ke Kalimantan Tengah tepatnya pada
tahun
2001 di Sampit. Dimulai perkelahian antar individu, tetapi
mampu
memancing menjadi konflik antar etnis, karena salah satu etnis
(orang
Dayak) merasa terhina dengan berbagai ucapan dan tindakan
yang
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
195
merendahkan harkat dan martabat mereka. 51 Penghinaan ini
membangkitkan solidaritas dengan menggunakan berbagai
antribut
kebudayaan yang dipercaya memiliki kekuatan untuk melawan.
Kode-
kode budaya kemudian digunakan untuk menyatakan perang atau
dalam bahasa Dayak Ngaju Asang yang hanya bisa dimengerti oleh
orang Dayak. Dengan mengirim tombak yang diikat dengan rotan
merah atau telah dijernang yang diartikan orang Dayak menyatakan
perang dengan orang Madura. Orang Dayak yang tinggal terpencar
di
pedalaman kemudian turun ke kota untuk melakukan ritual
perang
adat yang disebut kayau atau mengayau.
Ritual kayau atau mengayau bermakna sebagai kegiatan perburuan
kepala tokoh-tokoh adat yang menjadi musuh, dimana
kepala hasil buruan tersebut akan digunakan dalam upacara
Tiwah.
Menurut Mukhlis (2008), kayau terbagi menjadi empat bagian: (1)
Mengayau dalam arti yang sebenarnya yaitu memenggal kepala saat
terjadi peperangan; (2) Mengayau Bajai (buaya) yaitu memenggal
kepala buaya yang menyambar manusia. Menurut tradisi orang
Dayak
buaya yang menyambar manusia adalah buaya yang bersalah
sehingga
buaya tersebut harus dihukum; (3) Mengayau batang kayu yaitu
memenggal pohon kayu yang dianggap bersalah karena ada orang
Dayak yang ketimpa pohon kayu tersebut sehingga menimbulkan
korban jiwa; dan (4) Mengayau danum (air) yaitu menebas air
sungai jika ada orang Dayak yang tenggelam sehingga perlu
dilakukan
pembalasan. Empat bagian ini dilakukan melalui ritual dengan
berbagai
macam persembahan, bisa berupa hewan kurban, sesaji dan
berbagai
macam perlengkapannya dilakukan oleh basir atau dukun.
Perdebatan apakah kayau digunakan pada saat terjadinya konflik
masih dipertanyakan. Namun menurut seorang anggota Pasus Dayak
menyatakan bahwa; “…sebelum mereka berperang melawan orang
Madura mereka dimandikan terlebih dahulu oleh basir atau dukun
sehingga mereka tidak sadarkan diri (semacam kesurupan) untuk
kemudian berlomba memotong kepala musuh (orang Madura)
dengan
51 Hasil wawancara dengan seorang anggota Pasukan Khusus (Pasus)
di Sampit, 10 September 2010.
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
196
Mandau merupakan bentuk ksatria (Lingu, 2002:75). Kegiatan
memandikan inilah yang oleh orang Dayak disebut sebagai ritual
kayau untuk mengubah kekuatan spiritual (spiritual capital) mereka
menghadapi musuh. Dengan menggunakan antribut kebudayaan dalam
konflik dapat menjadi medium perang psikologis, pertahanan,
dan
reaksi terhadap sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas
sekaligus
sebagai upaya penegasan solidaritas diri oleh orang Dayak, yang
dalam
hal ini diarahkan terhadap para pendatang keturunan Madura.
Tanasaldy dengan mengutip Davidson (2007:477) menyatakan
bahwa
konflik paling keras antara orang Dayak dan orang Madura
dalam
sejarah dapat dipandang sebagai penegasan diri orang Dayak
setelah
sekian lama tertekan dan terpinggirkan.
Dengan semakin meningkatnya ekskalasi konflik, maka LMMDD-
KT pada tahun 2001 menggelar KRKT III di Palangkara dengan
acara
khusus membicarakan konflik dengan etnis Madura. KRKT III
dihadiri
berbagai elemen masyarakat (elit politik, akademisi, LSM, tokoh
adat
dll) dari pusat hingga kabupaten/kota di seluruh Kalimantan
Tengah.
Seorang tokoh pemuda Dayak yang mengikuti KRKT III
menyatakan
bahwa solidaritas ke-Dayak-an yang muncul sangat kuat dan
saling
bahu membahu untuk menutupi seluruh biaya kongres. Tekad
yang
kemudian dibangun dalam KRKT III disebut dengan Tekad Damai
Anak Bangsa di Bumi Kalimantan (TDAB-BK).
Nam Centre (2001, dalam Usop, 2003) menyatakan paling tidak
ada tujuh pokok masalah yang menjadi akar terjadi konflik etnis
antara
orang Dayak dengan orang Madura: (1) Kebijakan pembangunan
yang
salah dimasa lalu; (2) Pembinaan Sumber Daya Manusia yang
kurang
berhasil; (3) Benturan budaya; (4) Ketidakadilan; (5)
Kemiskinan; (6)
Keamanan; dan (7) Ketidakpastian penegakkan hukum. Namun
yang
menjadi fokus KRKT III lebih menyoroti pada persoalan
kebijakan
pembangunan yang dinilai salah pada masa lalu mengakibatkan
terjadinya benturan budaya, tidak ada penegakkan hukum yang
berpihak kepada orang Dayak, tidak terjaminnya keamanan,
terjadinya
ketidakadilan, kemiskinan semakin meningkat, dan kebijakan
pembangunan yang sentralistik/otoriter sehingga aspirasi orang
Dayak
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
197
sebagai akar rumput tersumbat dan merasa terpinggir dan
termarginalkan. Karenanya KRKT III memperjuangkan nilai
secara
damai, bahu membahu, melalui organisasi (nilai demokrasi),
bila
terpaksa atau terdesak sedia mengangkat senjata bila yakin akan
misi
perjuangan, menentang kelaliman dan eksploitasi, monopoli
dan
otoriterianisme atau sentralisasi, KKN, menentang kekerasan dan
cara-
cara kekerasan.
Butir-butir kesepakatan yang kemudian dihasilkan KRKT III
adalah : (1) menerima TDAB-BK; (2) menerima pusat sebagai
mediator;
(3) menolak cara-cara kekerasan; dan (4) menerima dengan
bersyarat
bahwa warga masyarakat pengungsi Madura menyatakan diri
“siap
damai dan minta maaf”. Agar butit-butir kesepakatan tersebut
dapat
dijalankan KRKT III juga meminta kepada pemerintah dan
pemerintah
daerah untuk: (1) membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang
Kependudukan; (2) terus menjalankan proses hukum; (3)
menghentikan sejenak upaya untuk melakukan pemulangan
pengungsi
orang Madura setelah dilakukan pendinginan dinamik, rasa aman
oleh
kedua belah pihak; (4) Budaya Betang: dimana bumi dipijak,
disitu
langit dijunjung diutamakan; dan (5) melaksanakan
pembangunan
secara terpadu dari tingkat pemerintah provinsi maupun
kabupaten/kota. Tindak lanjutnya adalah Pemerintah Provinsi
Kalimatan Tengah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 9
Tahun
2001 tentang Penduduk Dampak Konflik yang berisi lima bab: bab
pertama (Ketentuan Umum) dengan pasal 1 beserta 19 ayat, antara
lain tentang: penanganan penduduk dampak konflik adalah upaya
normalisasi kehidupan penduduk daerah, rekonsialiasi,
rehabilitasi, ada
tentang nilai-nilai/norma-norma dan hukum, serta kelembagaan
adat;
bab kedua (Kebijakan Daerah) berkenaan dengan rekonsiliasi,
rehabitasi, kewenangan dan peranan Damang Kepala Adat; bab ketiga
(Penyelenggaraan Pengembalian Penduduk) berkenaan dengan
pendataan dan pendaftaran penduduk; pengembalian penduduk;
keamanan dan ketertiban masyarakat, pembinaan, pengawasan
dan
pengendalian; bab empat (Sangsi Hukum dan Hukum Adat); dan bab
kelima (Penutup)
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
198
Setelah KRKT III, LMMDD-KT menindak-lanjuti upaya
penyelesaian konflik dengan menyelenggarkan pertemuan Tekat
Mufakat Masyarakat Kalimantan (TMMK) di Batu Malang, Jawa
Timur
pada tahun 2002. TMMK diselenggarakan untuk menyatukan
seluruh
kepentingan orang Dayak di Bumi Kalimantan (empat provinsi).
Ada
sembilan butir kesepakatan yang dihasilkan di Batu Malang
bahwa
Masyarakat Kalimantan; (1) siap melaksanakan TDAB-BK; (2)
bersama
pemerintah secepatnya meningkatkan kurukunan masyarakat yang
multi etnis; (3) berupaya sekuat tenaga mewujudkan
normalisasi
melalui penciptaan keadaan aman, damai, dan rasa aman; (4)
bertekad
berupaya menghormati budaya masing-masing dengan prinsip
“dimana
bumi dipijak, disitu langit dijunjung” untuk berdampingan
secara
rukun dan damai; (5) sepakat mengakhiri penderitaan para
korban
pertikaian dan keluarga anak bangsa dari keturunan etnis
manapun; (6)
keturunan Madura korban kerusuhan diproses pengembaliannya
secara
bertahap yang didukung oleh iklim kondusif sesuai dengan
kebijakan
Pemeritah dan kebijakan Pemerintah Daerah; (7) mendukung
Pemerintah menegakkan supermasi huku; (8) siap melakukan
langkah-
langkah proaktif untuk kehidupan rukun, damai, dan harmonis;
dan
(9) implementasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk: (a)
pemulihan sosial kembali ke tempat semula sesuai dengan
kondisi
masing-maing daerah; (b) Pemda Kabupaten/Kota se Kalimantan
segera
membentuk Perda Kependudukan; (c) langkah-langkah nyata
pemberdayaan masyarakat Kalimantan; (d) bersama seluruh
komponen
bangsa mewaspadai dan memerangi provokator; (e) Pemerintah
dan
Pemerintah Daerah berperan sebagai mediator dan fasilitator
dalam
pemulangan kembali, pemberdayaan dan relokasi sesuai dengan
kebijakan nasional; (f) dibentuk Polisi sektor di tempat
relokasi dan
Pam Swakarsa; (g) untuk melaksanakan (a-f) supaya dibentuk
Kelompok Kerja (Pokja) lintas tokoh dan sektor.
Setelah melaksanakan TMMK, LMMDD-KT kembali
menyelenggarakan Musyawarah Besar I Damang Kepala Adat se
Kalimantan Tengah (Mubes I DKA-KT) di Palangkaraya pada
tahun
yang sama (2002). Ide dasar diselenggarakan musyawarah ini
adalah
meletakkan kembali filosofi sebagai landasan untuk terus
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
199
memperjuangkan nasib adat orang Dayak sekaligus
memberdayakan
masyarakat (community development) agar orang Dayak memahami dan
mengerti hak-haknya atas dasar adatnya. Karenanya peran aktif
Damang sebagai Kepala Adat menjadi penting terutama dengan
memberikan kewenangan dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya;
melakukan pemberdayaan masyarakat atau ekonomi rakyat dan
melakukan pemberdayaan atau pelestarian Sumber Daya Alam
(lingkungan hidup/ekologi). Damang Kepala Adat se Kalimantan
Tengah kemudian mendeklarasikan Provinsi Kalimantan Tengah
sebagai Daerah Ekologis atau Daerah Lingkungan Hidup dengan
mengacu pada Program Nasional tahun 1999-2004; UU No. 22
Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah; UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No.
41
Tahun 1999 tentang Kehutanan; dan Perda No. 9 Tahun 2001
tentang
Penduduk Dampak Konflik yang memberikan peranan dan fungsi
kepada lembaga adat yang masih hidup di Kalimantan Tengah.
Dalam perkembangannya hasil-hasil KRKT III belum
diimplementasian sepenuhnya yang kemudian mendorong LMMDD-
KT kembali akan menyelenggarakan KRKT IV. Pada saat wacana
akan
diselenggarakan KRKT IV, dinamika politik di antara orang
Dayak
telah berubah. LMMDD-KT yang dulunya menjadi aktor untuk
memperjuangkan eksistensi, hak-hak dan identitas orang Dayak
(1994-
2001) mulai kehilangan pengaruh. Posisi-posisi kunci yang
diduduki
oleh elit politik maupun intelektual orang Dayak mulai
meninggalkan
LMMDD-KT menjadi anggota pengurus Majelis Adat Dayak
Kalimantan Tengah (MAD-KT) yang dibentuk pada tahun 2006
(Lingu,
2002). Masuknya elit politik dan intelektual orang Dayak ke
dalam
tumbuh MAD-KT yang didukung sepenuh oleh elit yang berkuasa
dalam konteks hubungan patron-klien untuk memanfaatkan
peluang
sebagai free-rider karena kekuasaan politik dan ekonomi melalui
lobi-lobi baik dengan pihak penguasa maupun pengusaha. Sebagai
free-rider peran yang kemudian dimainkan adalah menjadi wakil dari
penguasa
melakukan negosiator agar dapat mempengaruhi dan membujuk
orang-
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
200
orang Dayak menyerahkan hak-hak historisnya kepada pengusa
dan
pengusaha.
Meskipun mulai kehilangan pengaruh, KRKT IV tetap
diselenggarakan pada tahun 2009 guna menjawab berbagai
keluhan
dari masyakat (orang Dayak) karena semakin tidak
terkendalinya
eksploitasi kekayaan sumber daya alam yang dilakukan para
pengusaha
dengan dukungan dari penguasa. Dengan tema: “Tingkatkan
Tanggungjawab Sosial Pemerintah Daerah dan Perusahaan Besar
Swasta Kunci Pengentasan Kemiskinan dan Pemberdayaan
Masyarakat
Demi Harkat dan Martabat Masyarakat Kalimantan Tengah”,
melalui
LMMDD-KT, orang Dayak ingin menyuarakan penolakan terhadap
berkembangnya kapitalisme sehingga menempatkan orang Dayak
dipinggiran dan hanya terpusat pada sektor modern yang
sifatnya
artifisial. Kondisi ini memperburuk kemiskinan di mana
struktur-
struktur sosial-ekonomi terputus dari sumber daya yang bisa
diakses
orang Dayak hingga di pedalaman Kalimantan. 52
Kelangsungan hidup orang Dayak sekarang sangat bergantung
mencari kerja, baik di sektor perekonomian formal maupun
informal.
Tidak cuma itu, kapitaslime juga dapat menghapuskan inti
kebudayaan
orang Dayak yang menjadi simbol identitasnya (the end of the
nation state). Kalimantan yang dulu dikenal sebagai bagian dari
Indonesia kini menjadi bagian dari suatu aktivitas global. Dengan
perlawanan ini,
orang Dayak hanya ingin mempertahankan simbol identitasnya
sambil
mengingat bahwa mereka masih digolongkan miskin meskipun
memiliki sumber daya yang besar. Dalam konteks Kalimantan
walaupun memiliki sumber daya yang besar tetapi
masyarakatnya
masih tergolong miskin (pernyataan Gubernur Kalimantan Timur
dihadapan Presiden RI pada acara peresmian Proyek-proyek di
Provinsi Kaltim, di Samarinda 15 Juli 2009, Kompas 16 Juli
2009,
dengan judul pemberitaannya Dominasi Tangan Kuat Tidak
Membawa
Keadilan).
52 Hasil wawancara dengan tokoh adat Dayak, Palangkaraya, 03
September 2010).
-
Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi
Masyarakat Adat
201
Untuk itu, LMMDD-KT kembali menyelenggarakan Kongres
Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) ke V pada tanggal 28-29 Juni
2014
di Gedung Tambun Bungai Palangkaraya. Karena penyelenggaraan
KRKT ini berdekatan dengan pesta politik, Pemilihah Presiden
(Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maka melalui
KRKT
diharapkan dapat memberikan masukan dan menjaga kebersamaan
sesuai dengan prinsip rumah panjang atau diberi nama dengan Huma
Betang. Prinsip yang dimaksud adalah semangat kebersamaan di dalam
perbedaan (togetherness in diversity). Tema utama yang diangkat
adalah menghadapi Era Ekonomi Pekerja Iptek dan Reformasi serta
membahas masalah-masalah marginalisasi, hutan adat, sengketa
lahan,
korupsi, harmonisasi hukum positif dan adat serta
desentralisasi
keuangan daerah. Kongres tersebut dihadiri para tokoh adat
Dayak
serta mantan pejabat daerah di Kalimantan Tengah. Menurut
tokoh
adat Dayak, tema ini sengaja diangkat berdasarkan kondisi
yang
dihadapi orang Dayak saat ini dan masa mendatang khususnya
di
Kalimantan Tengah.
Satu keputusan penting dari KRKT V yang berhubungan langsung
dengan gerakan perlawanan masyarakat adat Oreng Kambang
adalah
membentuk Asosiasi Pertambangan Rakyat Kalimantan (Aspera).
Tugas penting dari asosiasi ini adalah memberikan
pendampingan
kepada para penambang rakyat di Kalimantan dan khususnya di
Kalimantan Tengah yang umumnya adalah masyarakat adat Dayak.
Berbagai kegiatan yang dilakukan asosiasi ini, diantaranya
menyelenggarakan seminar dan lokakarya baik pada aras lokal,
nasional maupun internasional. Asosial ini juga
mengembangkan
jaringan kerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi maupun
lembaga yang bergerak dalam pendampingan pertambangan
rakyat,
salah satunya mengembangkan teknologi penambangan untuk
kepentingan para penambang yang berwawasan lingkungan. Apa
dan
bagaimana Asosiasi Pertambangan Rakyat Kalimantan (Aspera)
dapat
dilihat pada gambar 6.5 di bawah ini.
-
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam
Ruang Publik Virtual
202
Sumber :
http://www.tambang.id/blog/pelayanan-untuk-anggota-asosiasi-
pertambangan-rakyat-kalimantan
Gambar 6.5.
Website Asosiasi Pertambangan Kalimantan