AR 6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi, Institut Teknologi Bandung, 2010 1 Transformasi Fisik Koridor Dipati Ukur, Bandung, Akibat Manifestasi Transformasi Fungsi Dan Teritori Bangunan Wanda yovita 25209029, [email protected]Abstrak Koridor jalan sebagai ruang publik merupakan salah satu elemen kota. Sebuah koridor jalan sebagai wilayah umum dapat dilalui oleh berbagai kelompok dan segmen masyarakat. Akan tetapi apabila pada satu ruas jalan terdapat berbagai fungsi yang sangat berbeda dan memiliki hirarki teritori yang berbeda juga, hal ini terjadi pada salah satu ruas jalan di kota Bandung, yaitu di jalan Dipati Ukur. Jalan ini termasuk kelas jalan lokal dengan panjang 400 meter dimana bangunan yang berjajar merupakan bangunan dengan berbagai fungsi. Perbedaan fungsi yang signifikan dari bangunan hunian yang bersifat privat dan bangunan komersil yang bersifat publik hingga ruang terbuka. Hal ini menjadi latar belakang pemilihan lokasi studi terhadap transformasi teritori dan fungsi. Pada awalnya jalan Dipati Ukur ini kebanyakan terdiri dari rumah tinggal akan tetapi secara perlahan akibat beralihnya fungsi bangunan menjadi lebih komersil. Penelitian ini ingin melihat bagaimana transformasi fungsi tadi mampu mempengaruhi teritori bangunan yang mengapit koridor jalan tersebut. Dengan adanya rumah tinggal yang masih tersisa di beberapa titik kemudian dibandingkan dengan titik lain yang seluruhnya berubah menjadi fungsi publik berupa fungsi komersil, maka penelitian ini ingin membandingkan bagaimana teritori dapat berubah dan berpengaruh terhadap koridor jalan. Berbagai faktor yang diidentifikasi adalah streetscape jalan, interaksi pedestrian dan kendaraan dan densitas pengguna jalan yang erat kaitannya dengan perbedaan dan perubahan fungsi lahan disekitarnya. Berdasarkan elemen-elemen ini kemudian dilihat bagaimana pengaruh aspek-aspek nonfisik yang merubah fungsi bangunan terhadap wajah koridor. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dalam tulisan ini, ditemukan bahwa adanya transformasi hirarki yaitu teritori yang semakin publik, koridor yang ada di jalan Dipati Ukur ini semakin buruk karena tidak adanya citra yang baik maupun elemen lansekap yang diperhatikan. Minimnya jalur pedestrian, intensitas kendaraan yang tinggi, fasad bangunan yang didominasi oleh iklan dan lain-lain menyebabkan citra koridor ini menurun. Demikian juga dengan daerah yang merupakan deretan rumah tinggal, halaman berpagar tinggi merupakan pemandangan yang umum di kawasan ini. Hal ini menunjukkan semakin tidak bersahabatnya koridor jalan Dipati Ukur, Bandung terhadap orang yang melintasinya. Hal ini menjadi ironis karena bangunan publik yang menyedot pengguna jalan paling banyak akan tetapi tidak difasilitasi dengan pencitraan dan penggunaan koridor yang baik. Kata kunci: transformasi, koridor, teritori, streetscape, fungsi bangunan. .
18
Embed
Transformasi Fisik Koridor Dipati Ukur, Bandung Akibat Manifestasi Transformasi Fungsi Dan Teritori Bangunan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
AR 6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi, Institut Teknologi Bandung, 2010 1
Transformasi Fisik Koridor Dipati Ukur, Bandung, Akibat Manifestasi Transformasi Fungsi Dan Teritori Bangunan
Wanda yovita
25209029, [email protected] Abstrak Koridor jalan sebagai ruang publik merupakan salah satu elemen kota. Sebuah koridor jalan sebagai wilayah umum dapat dilalui oleh berbagai kelompok dan segmen masyarakat. Akan tetapi apabila pada satu ruas jalan terdapat berbagai fungsi yang sangat berbeda dan memiliki hirarki teritori yang berbeda juga, hal ini terjadi pada salah satu ruas jalan di kota Bandung, yaitu di jalan Dipati Ukur. Jalan ini termasuk kelas jalan lokal dengan panjang 400 meter dimana bangunan yang berjajar merupakan bangunan dengan berbagai fungsi. Perbedaan fungsi yang signifikan dari bangunan hunian yang bersifat privat dan bangunan komersil yang bersifat publik hingga ruang terbuka. Hal ini menjadi latar belakang pemilihan lokasi studi terhadap transformasi teritori dan fungsi. Pada awalnya jalan Dipati Ukur ini kebanyakan terdiri dari rumah tinggal akan tetapi secara perlahan akibat beralihnya fungsi bangunan menjadi lebih komersil. Penelitian ini ingin melihat bagaimana transformasi fungsi tadi mampu mempengaruhi teritori bangunan yang mengapit koridor jalan tersebut. Dengan adanya rumah tinggal yang masih tersisa di beberapa titik kemudian dibandingkan dengan titik lain yang seluruhnya berubah menjadi fungsi publik berupa fungsi komersil, maka penelitian ini ingin membandingkan bagaimana teritori dapat berubah dan berpengaruh terhadap koridor jalan. Berbagai faktor yang diidentifikasi adalah streetscape jalan, interaksi pedestrian dan kendaraan dan densitas pengguna jalan yang erat kaitannya dengan perbedaan dan perubahan fungsi lahan disekitarnya. Berdasarkan elemen-elemen ini kemudian dilihat bagaimana pengaruh aspek-aspek nonfisik yang merubah fungsi bangunan terhadap wajah koridor. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dalam tulisan ini, ditemukan bahwa adanya transformasi hirarki yaitu teritori yang semakin publik, koridor yang ada di jalan Dipati Ukur ini semakin buruk karena tidak adanya citra yang baik maupun elemen lansekap yang diperhatikan. Minimnya jalur pedestrian, intensitas kendaraan yang tinggi, fasad bangunan yang didominasi oleh iklan dan lain-lain menyebabkan citra koridor ini menurun. Demikian juga dengan daerah yang merupakan deretan rumah tinggal, halaman berpagar tinggi merupakan pemandangan yang umum di kawasan ini. Hal ini menunjukkan semakin tidak bersahabatnya koridor jalan Dipati Ukur, Bandung terhadap orang yang melintasinya. Hal ini menjadi ironis karena bangunan publik yang menyedot pengguna jalan paling banyak akan tetapi tidak difasilitasi dengan pencitraan dan penggunaan koridor yang baik. Kata kunci: transformasi, koridor, teritori, streetscape, fungsi bangunan.
.
1. Pendahuluan Jalan atau koridor merupakan satu elemen pembentuk kota. Jalan sebagai koridor ruang terbuka kota tidak saja cukup berfungsi sebagai ruang terbuka dan media sirkulasi, akan tetapi suatu lingkungan yang sangat menarik dan memiliki karakteristik yang didukung dan dibentuk oleh elemen-elemen pembentuk aktifitas masyarakatnya (Widiangkoso, 2002). Lynch menyatakan bahwa wilayah jalan terutama jalan publik merupakan area yang dapat digunakan publik akan tetapi daerah ini terkait dengan dengan wilayah privat apabila koridor ini berada pada kawasan hunian. Koridor jalan Dipati Ukur merupakan salah satu ruas jalan yang ada di kota Bandung, yang memiliki keunikan tersendiri, karena fungsi bangunan yang ada di sekitarnya sangat beragam. Dimulai dari daerah selatan yang beberapa merupakan rumah tinggal, dan semakin ke utara, area ini semakin publik. Perbedaan hirarki teritori ini merupakan fenomena yang terjadi di kawasan jalan Dipati Ukur. Transformasi fungsi dari rumah tinggal (privat) menjadi pertokoan (publik) juga mempengaruhi teritori dan morfologi fisik koridor jalan ini.
Jalan Dipati Ukur, Bandung merupakan koridor jalan yang sudah ada sejak lama dan setidaknya telah masuk termasuk dalam perencanaan jalan di tahun 1933-1988 pada jaman kolonialisasi. Dahulu jalan Dipati Ukur ini bernama Beatrixboulevard. Berdasarkan daftar bangunan Bandung Heritage (1997) setidaknya ada tiga bangunan hunian di Jalan ini yang sudah berdiri lebih dari lima puluh tahun. Pada awalnya kawasan Dago dan sekitarnya termasuk daerah jalan Dipati Ukur ini merupakan daerah yang dialokasikan untuk rumah tinggal kaum kolonial dan perkantoran karena letaknya yang strategis dan dekat dengan pusat pemerintahan yaitu Gedung Sate.
Gambar 1. Daerah Gedung sate dan sekitarnya
3
Gambar 2. Peta Jalan Beatrix Boulevard atau jalan Dipati Ukur pada tahun 1933-1938 oleh penerbit Drukkerij Visser & Co.
Sumber: Voskuil, 2007
Keberadaan Universitas Padjajaran dan perkembangan perkantoran di sekitar Gedung Sate secara tidak langsung berimplikasi terhadap perubahan koridor Jalan Dipati ukur yang pada awalnya kebanyakan berupa rumah tinggal menjadi pertokoan. Jalan ini kemudian tidak memiliki citra yang baik karena sedikitnya perhatian terhadap pedestrian, parkir dan elemen lansekap. Secara keseluruhan, semakin ke utara mendekati persimpangan jalan dengan Jalan Ir. H. Djuanda, maka koridor jalan ini semakin tidak tertata dan memiliki citra jalan yang baik. Walaupun kelas jalan ini merupakan jalan lokal akan tetapi tidak sedikit pendatang yang melintasi jalan Dipati Ukur ini karena jalan ini berada di pusat kota.
Penelitian ini ingin melihat bagaimana sebuah ruas jalan mengalami transformasi spasial dan teritorial. Jalan atau koridor merupakan milik publik di luar sebuah bangunan yang dapat diakses terbatas maupun tidak terbatas. Jika dilihat secara kasat mata, terdapat perbedaan furnitur lansekap yang signifikan pada kelompok rumah tinggal dan pertokoan, demikian juga dengan intensitas orang atau kendaraan yang melintas.
2. Teori dan Kajian Pustaka
Penelitian tentang transformasi fungsi dan teritori koridor jalan Dipati ukur ini terkait pada tiga hal, yaitu teritori, koridor dan transformasi. Teritori menjadi topik yang diteliti karena adanya perbedaan wajah koridor yang signifikan dari bangunan privat, bangunan pertokoan hingga ruang terbuka yang secara tidak langsung mempengaruhi kualitas dan citra koridor jalan. Melalui perbedaan fungsi bangunan yang ada pada satu ruas jalan, akan dapat dilihat bagaimana transformasi kawasan yang tadinya diperuntukkan untuk kawasan hunian hingga menjadi kawasan publik seperti sekarang.
2.1 Teori Teritori
Habraken (1998) menyatakan bahwa teritori adalah kontrol atau wewenang terhadap ruang atau tempat. Ruang teritori ini muncul karena adanya ruang pribadi oleh subjek yang memiliki kewenangan tersebut. Kewenangan ini merupakan hak terhadap penggunaan ruang dan membatasi akses pihak lain yang tidak diinginkan terhadap ruangnya. Sedangkan menurut Leon Pastalan oleh Lang dalam Hadinugroho (2002), bahwa teritori adalah ruang terbatas yang digunakan atau dipertahankan seseorang atau sekelompok orang sebagai ruang yang ekslusif. Teritori melibatkan identifikasi psikologis terhadap tempat yang dilambangkan dengan sikap dan penataan objek pada areanya. Irwin Altman dalam bukunya Culture dan Environment menyatakan bahwa perilaku teritorial adalah mekanisme regulasi terhadap batasan yang melibatkan personalisasi, penandaan tempat atau objek dan komunikasi yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok. Teritori berfungsi untuk menentukan milik atau siapa yang berkuasa atas tempat tersebut dan untuk menentukan ruang dan membagi fungsi dari tiap ruang atau lokasi.
Batasan terhadap teritori dapat berbentuk fisik maupun nonfisik. Batas fisik seperti pagar atau perimeter fisik lainnya dilakukan karena keterbatasan tindakan pemilik teritori untuk menjaga daerahnya. Pelanggaran terhadap batas fisik ini dapat dengan mudah dilihat apabila ada pihak lain yang tanpa seijin pemilik teritori, mengakses ruang pribadinya. Sedangkan batasan yang berupa nonfisik, hal ini merupakan kesepakatan setiap orang agar klaim terhadap teritorinya lebih absolut. Batas nonfisik ini dapat berupa pengaturan sesuatu di tempat yang dianggap merupakan teritorinya, penggunaan furnitur arsitektural atau penggunaan ruang sesuai dengan kehendaknya.
Karakter dasar dari suatu teritori adalah tentang kepemilikan dan tatanan tempat, personalisasi atau penandaan wilayah secara fisik maupun nonfisik dan aturan atau tatanan untuk mempertahankan terhadap gangguan. Berdasarkan ini, maka teritori memiliki hirarki ruang, berupa ruang publik atau privat. Hirarki ini memiliki gradasi dan kedalamannya akan berbeda untuk setiap objek atau lingkungan binaan tergantung kesepakatan atau budaya daerah setempat.
Altman dalam Hadinugroho (2002) membagi teritori menjadi tiga kategori yang dikaitkan dengan keterlibatan personal, kedekatan dengan kehidupan sehari-hari dan
5
frekuensi penggunaan yaitu teritori primer, sekunder dan publik. Teritori primer adalah suatu area yang dimiliki atau digunakan secara eksklusif yang disadari oleh orang lain dan dikendalikan secara permanen serta menjadi bagian utama dalam kegiatan sehari-hari penghuninya. Sedangkan teritori sekunder adalah area yang tidak digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau kelompok dan areanya lebih luas dari teritori primer walaupun tetap dikendalikan secara berkala. Teritori publik adalah area yang digunakan dan dapat dimasuki oleh siapapun akan teteapi dia harus mematuhi norma dan aturan yang ada pada wilayah tersebut. Dapat disimpulkan bahwa teritori primer lebih bersifat privat sedangkan teritori publik bersifat untuk umum dan teritori sekunder merupakan gradasi diantara keduanya. Konsep privasi dan territorial memang saling terkait akan tetapi privasi lebih menekankan pada kemampuan individu atau kelompok untuk mengontrol daya visual, audial, dan olfactory dalam berinteraksi dengan sesamanya.
2.3 Teori Koridor
Lynch dalam The Image of The City menunjukkan bagaimana pencitraan sebuah kota. Pencitraan ini tidak dilakukan secara individual akan tetapi lebih kepada kesan yang muncul dari banyak orang atau objek yang tidak selalu konkret. Koridor sebagai salah satu elemen kota yang merupakan teritori publik tapi juga erat kaitannya dengan faktor privat dari bangunan disekitarnya, merupakan salah satu bentuk pencitraan kota.
Koridor merupakan ruang yang dibentuk dari dua deretan massa (bangunan atau pohon) baik sejajar maupun tidak. Koridor merupakan salah satu elemen linkage visual yang menghasilkan hubungan secara visual selain garis, sisi, sumbu dan irama (Zahnd, 1999).
Gambar 3. Skematik Koridor
(sumber: Zahnd, 1999).
Lukman dalam Yoga (2004) menyatakan bahwa koridor adalah lorong yang menghubungkan antara suatu gedung dengan gedung yang lain, atau jalan sempit yang menghubungkan daerah terkurung. Koridor merupakan lahan memanjang yang membelah sebuah kawasan, atau sebuah lorong yang terbentuk oleh fasad atau deretan fasad, dan bergerak dari satu ruang ke ruang lainnya. Koridor dapat bersifat alami seperti sungai atau sengaja terbentuk oleh manusia. Salah satu koridor yang erat kaitannya dengan arsitektur kota adalah jalan atau transportasi dalam kota (Wihamanto dalam Yoga, 2004).
Koridor yang terbentuk sebagai akibat dari deretan dua massa atau bangunan yang berjajar menampilkan citra dan kualitas ruang yang secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh bangunan-bangunan tersebut. Yoga menyatakan bahwa karakter
bangunan pada suatu koridor jalan menentukan wajah dan bentuk koridor sebagai akibat adanya beberapa elemen berikut ini yang terdapat pada bangunan:
• Façade: tampak keseluruhan wajah depan bangunan yang ada disepanjang koridor yang mampu mewujudkan citra arsitektur.
• Figure Ground: hubungan tekstural antara bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang terbuka (open space) (Zahnd, 2004). Kedua elemen ini membentuk pola padat-rongga (solid-void)yang memperlihatkan struktur kota dengan jelas.
• Jalur pedestrian yang dilengkapi dengan pengaturan vegetasi sehingga mampu menyatu terhadap lingkungannya.
Koridor merupakan bagian dari fragmen sebuah kota yang terdiri dari unsur-unsur pembentuk kota. Unsur-unsur yang membentuk koridor adalah: pola massa dalam koridor, bentuk dan tatanan massa bangunan dan linkage antar koridor.
Jalan atau koridor ini berkembang sesuai dengan fungsi yang ada disekitarnya. Keberadaan jalan sebagai sarana mobilisasi, mengakibatkan elemen ini harus fleksibel, baik secara fisik maupun non fisik. Rishnawati, et al (2008) memaparkan bahwa koridor terdiri dari berbagai karakteristik yang dapat diuraikan atas peruntukan lahan, figure ground, skala ruang dan koridor, citra koridor, bangunan, jaringan jalan, pergerakan, perparkiran, dan perabot jalan.
2.3 Teori transformasi
Definisi transformasi oleh Antoniades (dalam Pratiwi, 2010) adalah proses perubahan secara berangsur-angsur akibat respon berbagai unsur baik eksternal maupun internal yang mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses penggandaan secara berulang-ulang atau melipatgandakan. Transformasi memiliki proses perubahan yang terjadi perlahan-lahan, komprehensif dan berkesinambungan dan terkait dengan sistem nilai yang ada di masyarakat.
Fakor-faktor yang menyebabkan transformasi adalah faktor-faktor nonfisik seperti perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik (Sari, 2007) atau kebutuhan identitas diri, perubahan gaya hidup dan penggunaan teknologi baru (Habraken, dalam Pakilaran, 2006). Sumardjan (dalam Maryudi 1999) menyatakan bahwa transformasi yang terjadi dapat berupa perubahan norma, nilai, pola prilaku, organisasi, susunan, stratifikasi kemasyarakatan dan lembaga kemasyarakatan. Transformasi yang terkait dengan lingkungan binaan adalah adanya hubungan antara perubahan aktifitas pengguna, gaya hidup, nilai-nilai sosial cultural yang menjadi rujukan dan perubahan cara pandang dari sekelompok masyarakat yang tercermin dari bangunan dan lingkungan binaan.
Memahami transformasi sama dengan memahami pertumbuhan, pembangunan, dan perkembangan lingkungan binaan, baik bersifat positif berupa kemajuan maupun yang bersifat negatif berupa stagnansi atau kemunduran. Untuk memahami perubahan maka
dd
Dlbtdkymk
3
Jidk
pM
diperlukan kedalam lingku
Dari berbagalingkungan bbagaimana hterritorial orddalam wujudkoridor juga yaitu manusmasing-masinkendaraan be
3. Kajian wil
Jalan Dipati ini menghubdikelilingi okomersial hinsepanjang ±4Setidaknya adpadjajaran, UMonumen Pe
Territoorde
Elemekorido
erangka substungan binaan t
ai teori yanbinaan yang dhubungan darder dalam wud streetscape k
merupakan isia dengan kng, akan teta
ermotor dan d
layah studi
Ukur ini merbungkan jalanoleh bangunangga pendidik400 meter ini da tiga perguUNIKOM derjuangan Ra
rial er
•Pe•Pe
en or
•De•‐ So•‐ Ja•‐ P•‐ In
tansi tentang tersebut.
ng dikemukakdikemukakan ri dua orderujud hirarki dkoridor ruas jindikator bagkendaraan. Tapi juga bag
demikian juga
Diagram 1. Elem
rupakan jalann Suci dengaan dengan bkan. Keragammerupakan s
uruan tinggi ydan ITHB. Takyat Jabar ya
rubahan fungrubahan hira
ensitas pengguolid void bangaringan jalan erpakiran nteraksi pede
apa saja yan
kan di atas oleh Habrakyaitu physica
dan fungsi bajalan yang diaimana terjad
Tidak hanya gaimana invaa sebaliknya.
men koridor terkait
n yang sudah an Simpang berbagai macman fungsi ysalah satu ha
yang ada disepTepat di depang kini meru
gsirki: privat→p
una gunan
estrian dan ke
ng tumbuuh, b
dan berdasken (1998) mal order danangunan memiteliti. Streetsdinya hubung
interaksi sasi dari manu
t territorial order.
cukup lama Dago. Koridcam fungsi, ang terdapat
al yang melatapanjang ruas pan Universupakan ruang
publik
‐ Façade‐ Perunt‐ Perger‐ Furnitu
endaraan
7
berkembang d
sarkan teori maka penelitian territorial ompengaruhi pscape sebagaigan antara peaat bergerak usia terhadap
berada di Bador jalan Dip
dari fungsi pada sebuaharbelakangi pjalan ini yait
sitas Padjajarg terbuka yan
etukan lahan rakan ur jalan
dan dibangun
dari elemenan ini melihatorder dimanaphysical orderi elemen fisikengguna jalan
di jalurnyap jalan untuk
andung. Jalanpati Ukur ini
perumahan,h ruas koridorpenelitian ini.tu Universitasran, terdapatng digunakan
n
n t a r k n a k
n i , r . s t n
oleh masyarakat. Kendaraan yang melintasi jalan ini terdiri dari kendaraan pribadi dan angkutan umum, akan tetapi semakin ke arah selatan, maka angkutan umum yang melintas semakin sedikit.
Gambar 4. Peta Jalan Dipati Ukur
(sumber: Google Earth, 2007).
Apabila dilihat secara segmentasi, maka sepanjang jalan Dipati Ukur ini memiliki perbedaan tipologi bangunan yang mencolok. Dari arah Selatan, jalan Dipati Ukur ini bersimpangan dengan jalan Surapati yang sekarang merupakan bagian dari jalan layang, masih terdapat beberapa rumah tinggal berpagar yang intensitas pengguna kendaraan,
Simpang Dago
Simpang Jalan Surapati
Universitas Padjajaran
Ruas jalan dengan fungsi pendidikan dan
ruang terbuka
Ruas Jalan dengan sebagian besar
pertokoan
Ruas Jalan yang terdiri dari
perumahan dan pertokoan
U
9
angkutan umum atau pejalan kaki tidak sebanyak dengan jumlah yang ada di bagian utara. Hal ini terkait dengan fungsi bangunan di sisinya yang memang cenderung privat. Perbedaan lebar jalan di setiap ruas persimpangan satu dengan lainnya juga menunjukkan bahwa adanya kapasitas kendaraan yang berbeda yang melintasi jalan ini. Sedangkan di bagian ruas jalan Hasanudin dan Teuku Umar, kedua sisi ruas jalan ini didominasi oleh keberadaan Universitas Padjajaran dan ruang terbuka berupa Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Jalan raya yang ada di antara kedua objek ini terdiri dari jalur dua arah yang terpisah dan lebar jalan yang paling besar di antara segmen jalan lainnya. Sedangkan segmen terakhir adalah segmen dari simpang jalan Teuku Umar hingga Simpang jalan H. Djuanda atau jalan Dago yang hampir keseluruhan fungsi bangunannya adalah bangunan komersil. Arus lalu lintas terpadat juga terjadi di segmen jalan ini.
Gambar 5 dan 6. Perumahan di jalan Dipati Ukur bagian selatan
(sumber: Bandung Heritage, 2009).
Gambar 7 dan 8. Keadaan jalan Dipati Ukur bagian tengah
(sumber: dokumen pribadi, 2010).
Gambar 9 dan 10. Keadaan jalan Dipati ukur bagian utara
(sumber: dokumen pribadi, 2010).
Dalam Poerbo (2006), jalan Dago yang berada pada satu wilayah dengan jalan Dipati Ukur, pada skala RUTRK 1:50,000, daerah ini diklasifikasikan sebagai area residensial. Akan tetapi pada RDTRK di skala 1:25,000, daerah ini diklasifikasikan sebagai “floating zone”, sedangkan pada RTRW di skala 1: 10, 000, daerah ini diklasifikasikan sebagai daerah servis. Mengacu pada jalan Dago yang berpotongan dengan jalan Dipati Ukur sebagai boulevard, maka peraturan wilayah yang tidak konsisten dan detail ini menyebabkan berbagai fungsi yang ada pada wilayah khususnya koridor jalan ini menjadi tidak beraturan.
4. Pembahasan
Berdasarkan kajian teori dan keadaan wilayah studi, maka penelitian ini fokus kepada bagaimana transformasi fungsi bangunan di sepanjang koridor jalan mempengaruhi teritori atau perubahan gradasi dari publik hingga ke privat. Berbagai elemen fisik koridor yang terkait dengan pendefinisian hirarki teritori bangunan menjadi variabel-variabel penentu bagaimana hubungan antara transformasi fungsi dan teritori. Akan tetapi variabel-variabel elemen koridor yang ada pada kajian teori tidak keseluruhan digunakan dalam penelitian ini, melainkan dibatasi pada tiga elemen yang dapat diidentifikasi secara cepat yaitu streetscape jalan, interaksi pedestrian dan kendaraan dan densitas pengguna jalan.
Pbb
adPd
Dibdkmd
AU
B
C
4
Bd
Penelitian inbangunan tebangunan tersemakin burusecara terinteantara setiapdibandingkanPengaruh-pendengan hasil
Dalam peneliinteraksi pedberdasarkan diidentifikasikendaraan mmemudahkandsiamati berd
A. Ruas jalanUmar;
B. Simpang j
C. dan simpa
4.1 Streetsca
Beberapa rumdengan bangu
ni akan melierkait untuk rsebut. Pene
uk terkait denegrasi sehingp variabel pn untuk ngaruh nonfispengamatan p
itian ini, pengdestrian dan furnitur jalan
i secara kasatmerupakan elen pengelompdasarkan atas
n dari persim
alan Teuku U
ang jalan Hasa
ape jalan
mah tinggal yunan di depan
Diagr
ihat perbedaamelihat pe
litian ini mengan perubahaga koridor inpada fungsi melihat ba
sik seperti sospada setiap va
gamatan dibakendaraan
n. Furnitur jt mata sedangemen yang leokan hasil ptiga segmen y
mpangan jalan
Umar hingga s
anuddin hingg
yang masih bnnya yang leb
• Streets• Interak• Densit
ram 2. Variabel pen
an variabelerbandingan engobservasian fungsi banni tidak mem
bangunan agaimana csial, ekonomiariabel-variab
atasi pada tigadan densitasalan merupa
gkan peruntukebih fungsionpenelitian, myaitu:
n DR. H. Jua
simpang jalan
ga persimpan
berfungsi sebabih lebar diba
scape jalan, teksi pedestriantas pengguna j
nelitian
koridor jalantransformasi bagaimana
ngunan yang pmiliki ‘wajah’
yang berbecitra korido, budaya dan bel tersebut.
a unsur korids pengguna akan elemen kan lahan danal dan bersi
alan maupununan yang adangkap. Tidaksebut terdapattreetscapenyagunan publik,Hal ini juga
unan tersebut
n , l
m
n a k t a , a t
4.2 Interaksi pengguna jalan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai keberadaan streetscape jalan, maka hal tersebut terkait dengan interaksi pengguna jalan terutama pedestrian dan kendaraan. Pada segmen jalan A, jalur pedestrian banyak diinvasi oleh kendaraan bermotor. Tidak adanya batas yang jelas untuk pejalan kaki dan kebutuhan tempat parkir untuk kendaraan menyebabkan lahan untuk jalan pedestrian terpinggirkan. Sedangkan untuk segmen C yang sebagian fungsi bangunannya masih berupa rumah tinggal, interaksi pengguna jalan dengan kendaraan menjadi lebih aman karena adanya separator berupa trotoar yang berbeda ketinggian dengan jalan raya.
Gambar 23 dan 24. Jalan dengan trotoar menjadi jalan tanpa trotoar karena fungsi bangunannya berubah.
(sumber: dokumen pribadi, 2010).
Hal ini menjadi patut diperhatikan mengingat fungsi komersil yang mengundang banyak orang dan kendaraan, akan tetapi tidak disertai dengan perencanaan badan jalannya.
4.3 Densitas pengguna
Pengguna jalan pada segmen A dan B memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan segmen C. Walaupun berada pada satu koridor jalan akan tetapi perbedaan kendaraan yang melintas dalam hal jumlah cukup signifikan. Segmen A dan B dilalui oleh lima hingga enam angkutan kota berupa mobil minibus ditambah dengan bis umum. Sedangkan segmen C tidak dilalui oleh kendaraan umum dan jumlah kendaraan bermotor yang melintasi daerah ini juga lebih sedikit. Secara logis dapat dikatakan bahwa karena kebanyakan bangunan yang ada di segmen C lebih privat, maka kendaraan yang lewat atau berkepentingan di depannya juga menjadi lebih sedikit.
Kelengkapan streetscape koridor di segmen C tidak diimbangi dengan jumlah pengguna jalur pedestrian yang tidak terlalu banyak dibandingkan dengan dua segmen lainnya akan tetapi segmen A dan B ini tidak memfasilitasi pedestrian. Orientasi terhadap kendaraan bermotor menjadi salah satu faktor penyebab kacaunya keadaan koridor di segmen ini.
5. Kesimpulan
Dari transformasi beberapa bangunan yang ada di sepanjang korior Dipati Ukur yaitu rumah tinggal menjadi fungsi komersil atau pertokoan, hal ini tidak diikuti dengan
17
perencanaan kawasan secara terintegrasi. Karena perubahan fungsi ini, maka terjadi juga transformasi streetscape dan kualitas koridor yang kualitasnya semakin menurun.
Transformasi fungsi ini mengindikasikan perubahan teritori atau klaim bangunan terhadap badan jalan yang ada di depannya. Umumnya bangunan yang berubah dari rumah tinggal menjadi komersil mengurangi batasan fisik teritori privatnya dengan tidak lagi menggunakan pagar dan mengembangkan atau membangun bangunan mendekati ROW atau Right of Way. Akibat fungsinya menjadi komersil, maka bangunan yang awalnya merupakan bangunan privat dengan streetscape rumah tinggal, menjadi bertransformasi dengan pengurangan elemen-elemen streetscape seperti pagar, pohon, selokan dan lain-lain. Klaim terhadap badan jalan sebagai bagian dari teritorinya dapat dilihat dari penggunaan badan jalan untuk parkir, loading barang, maupun perluasan lahan bangunannya sendiri. Sedangkan beberapa rumah tinggal yang masih bertahan, umumnya keadaan koridor jalan di bagian ini masih lebih baik.
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya batas teritori yang jelas berupa streetscape seperti pagar rumah, selokan atau trotoar ternyata menyebabkan penguasaan terhadap lahan memang dibatasi, akan tetapi kontrol terhadap fungsi yang terdapat pada jalan raya di depannya masih ada dan terkendali. Hal ini berbeda dengan bangunan komersil yang tidak memiliki atau ada keengganan untuk mengontrol apa yang terjadi pada ROW yang ada di depannya demi kepentingan sendiri sehingga wajah koridor menjadi tidak beraturan. Pemintakatan secara detail yang jelas antara berbagai fungsi bangunan dan fasilitasnya juga menjadi penting agar tidak terjadi tumpang tindih fungsi yang menyebabkan satu fungsi bangunan menjadi terganggu akibat adanya bangunan lain. Peraturan pemintakatakan wilayah juga seharusnya mampu mengakomodasi transformasi yang terjadi pada wilayahnya, baik fisik, lingkungan maupun budayanya.
Daftar Pustaka Altman, Irwin. 1980. Culture dan Environment. Cambridge University Press: Belmont. Eben Saleh, Mohammed Abdullah. 2002. The transformation of residential neighborhood: the emergence of
new urbanism in Saudi Arabian culture. Building and Environment, Volume 37, Issue 5, May, Pages 515-529.
Hadinugroho, Dwi Lindarto. 2002. Jelajah Pembentukan Tempat pada Rumah Jawa, Dengan Pendekatan Teritorial Behaviour. Lecture papers. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/1312.
Habraken, N. J. (1998), The Structure of The Ordinary : Form and Control in the Built Environment, The MIT Press, Massachusetts.
Poerbo, Heru. (2006). Coping with the Commodification of Culture in Bandung : an Urban Design Control Approach. Proceedings, International Seminar on Urban Culture, Arte-Polis: Creative Culture and the Making of Place Department of Architecture, School of Architecture, Planning, and Policy Development, Institute of Technology Bandung. ISBN 979-25-0422-2. 21-22. July.
Jacobs, Allan B. 1993. Great Streets. Massachusetts Institute of Technology. Moughtin, Clief. 2003. Urban Design: Street and Square. Architectural Press: London. Maryudi,R. Sanny. 1999. Transformasi Morfologi Rumah dan Lingkungan Kawasan Gempol Bandung. Tesis
Master, Program Studi Teknik Arsitektur, Institut Teknologi Bandung. Rishnawati, Evy, et al. 2008. Pelestarian koridor Jl. Jaksa Agung Suprapto Kota Malang. Arsitektur e-journal,
vol. 1, No. 2.
Widiangkoso, G. Epri. (2002) Morfologi Kampung Melayu, Studi Kasus: Morfologi Koridor Layur, Semarang. Tesis Universitas Diponegoro.
Yoga, Prakarsa. (2004) Citra Koridor Jalan Jend. Sudirman Antara Kawasan Pasar Gedhe Hardjanagara dengan Kawasan Kraton Surakarta Hadiningrat. Tesis Universitas Diponegoro.
Zahnd, Markus. (1999). Perancangan Kota Secara Terpadu. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.