TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM Abd Rahman Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep [email protected]Abstrak This research aims to reveal three main problems; First, what is the history of the emergence of traditionalism and rationalism in the thinking of Islamic theology? Second, what are the characteristics of traditionalism and rationalism in Islamic theology? Third, what are the concepts of traditionalism and rationalism in Islamic theology? The approach used in this research is descriptive and analytical, even to get an ideal picture, the author also does not escape using historical methods, especially when discussing the history of the emergence of traditionalist and rationalist theology. The results obtained from this study reveal that, the emergence of traditional and rational theology originated from the polemic between the Mu'tazilah and Asy'ariyah who opposed the problems of the kafir and mu'min, but eventually turned into a problem of the superiority of the Mu'tazilah to the label rational theology, and inferiority of reason to the Asy'ariyah so that it is labeled with traditional theology. In this way, the implication, for Rational Theology, holds that knowledge of God and good and bad can be obtained by reason. Whereas in traditional theology is that human reason does not have any ability except to know God alone. Keywords: Traditionalism, Rationalism, Islamic Theology Pendahuluan Wacana terkait dengan persoalan teologi rasional dan tradisional, sejatinya berangkat dari ajaran-ajaran Islam yang berdimensi dua kategori; Pertama, ajaran-ajaran yang bersifat mutlak- absolut serta kekal yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Kedua, ajaran yang bersifat relatif-nisbi yang dapat berubah sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Dalam hal ini, ajaran tersebut berupa tafsir,
30
Embed
TRADISIONALISME DAN RASIONALISME DALAM PEMIKIRAN …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TRADISIONALISME DAN RASIONALISME
DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM
Abd Rahman Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep
This research aims to reveal three main problems; First, what is the history of the emergence of traditionalism and rationalism in the thinking of Islamic theology? Second, what are the characteristics of traditionalism and rationalism in Islamic theology? Third, what are the concepts of traditionalism and rationalism in Islamic theology? The approach used in this research is descriptive and analytical, even to get an ideal picture, the author also does not escape using historical methods, especially when discussing the history of the emergence of traditionalist and rationalist theology. The results obtained from this study reveal that, the emergence of traditional and rational theology originated from the polemic between the Mu'tazilah and Asy'ariyah who opposed the problems of the kafir and mu'min, but eventually turned into a problem of the superiority of the Mu'tazilah to the label rational theology, and inferiority of reason to the Asy'ariyah so that it is labeled with traditional theology. In this way, the implication, for Rational Theology, holds that knowledge of God and good and bad can be obtained by reason. Whereas in traditional theology is that human reason does not have any ability except to know God alone. Keywords: Traditionalism, Rationalism, Islamic Theology
Pendahuluan
Wacana terkait dengan persoalan teologi rasional dan
tradisional, sejatinya berangkat dari ajaran-ajaran Islam yang
berdimensi dua kategori; Pertama, ajaran-ajaran yang bersifat mutlak-
absolut serta kekal yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Kedua, ajaran yang
bersifat relatif-nisbi yang dapat berubah sesuai dengan konteks
perkembangan zaman. Dalam hal ini, ajaran tersebut berupa tafsir,
1090. 7 Wojowasito, Kamus Lengkap Ingris-Indonesia (Bandung: Hasta, 1982), h.
232.
500|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
Adapun teologi dilihat dari optik terminologis yaitu
ilmu tentang hubungan relasi dunia ilahi dengan dunia fisik
yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah atau
Tuhan dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam
semesta8 atau bisa juga didefinisikan dengan “discourse or
concerning” (diskursus/pemikiran tentang Tuhan)9.
Dari terminologi ini, maka teologi10
dapat disimpulkan
sebagai disiplin ilmu yang membicarakan kenyataan-
kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan
hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan
maupun pemikiran murni atau dengan jalan wahyu.
Kalau kita meninjau ilmu kalam11
sendiri, maka kita
dapati lapangannya sama dengan lapangan-lapangan teologi
yang disebutkan tadi; yaitu sekitar Tuhan, ada-Nya, keesaan-
Nya, sifat-sifat-Nya dari segala segi dan hubungan Tuhan
dengan manusia dan alam, berupa keadilan dan
kebijaksanaan, pengutusan rasul-rasul sebagai penghubunga
8 Lorens, Kamus Filsafat,…………h. 1090. 9 William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (USA: Humanities
Press Ltd. 1980), hlm. 28 10 Lapangan Teologi bisa bercorak non agama yang merupakan bagian dari
filsafat. Akan tetapi bisa juga bercorak agama sebagai suatu intellectual expression
of religion. Karena itu, untuk pembatasan lapangan dan penetapan arti kata teologi,
biasanya dibubuhi dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Kristen,
Katolik atau Islam, bahkan dengan kualifikasi lebih terbatas lagi, seperti Teologi
Apologatik, Teologi Hukum, Teologi Sejarah dan lainnya. Lihat leblih lengkap:
Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1974), hlm. V. 11 Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat
yang wajib baginya, sifat-sifat yang jaiz baginya dan tentang sifat-sifat yang
ditiadakan darinya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz
dan muhal dari mereka. Lihat: Muhammad Abduh, Risalah. Tauhid, Terj. Firdaus An.
Bulan (Jakarta: Bintang, 1965), hlm. 25
Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |501
antara Tuhan dan manusia dan soal-soal yang bertalian
dengan khidupan di sana. Sudah barang tentu ilmu yang
membicarakan lapangan-lapangan tersebut bisa dinamakan
"teologi". Hanya karena pembicaraan tersebut didasarkan atas
prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran agama Islam, maka
dinamakan "Teologi Islam12
".
Definisi dan analisa di atas nampaknya mengamini
paparan Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa teologi atau
kalam adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis
dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak
pembaharuan yang menyimpang dalam dogma yang dianut
kaum muslimin pertama dan ortodoks Muslim.13
b. Definisi Tradisionalisme dan Rasionalisme
Istilah tradisionalisme berasal dari Bahasa Ingris
"traditional" yang berarti menurut adat atau turun temurun.14
Sedangkan istilah tradisi jika dilihat dari optik bahasa Arab
yaitu berupa al-turats15
yang berarti warisan atau peninggalan
12 Penggunaan istialah Teologi Islam sebenarnya sudah lama dikenal dalam
buku-buku Ingris, Prancis bahkan Indonesia. Trittin, misalnya, menulis buku yang
berjudul "Moslem Theology", Mac Donald "Devolepment of Moslem Theology,
Yurisprudence and Constitutional Theory", M.M. Annawati "Introduction ala
Theologie Musulmane, sedang di Indonesia ada Harun Nasution yang menulis
dengan terang-terangan dengan judul "Teologi Islam". 13 Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha( Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hlm. 589. 14 Wojowasito, Kamus Lengkap,………. h. 241. 15 Istilah al-Turast ini banyak dipakai oleh ulama kontemporer untuk
menuangkan gagasannya tentang paradigma berpikir wacana ke-Islamana, seperti
Hasan Hanafi (al-Turats wa al-Tajdid), Muhammed Abid al-Jabiri (al-Turats wa al-Hadatsah), A.D. Umari (al-Turast wa al-Mu'ashirah). Lihat selengkpanya; Luthfi al-
Syaukani, "Tipologi Wacana Pemikiran Arab Kontemporer" dalam Jurnah Pemikiran Islam PARAMADINA, Jakarta, Vol. I, Juli-Desember 1998, h. 62.
502|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
(legacy, heritage) berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan
atau diwariskan oleh generasi-generasi terdahulu.
Berangkat dari definisi di atas, maka terminologi
tradisionalisme adalah sebuah paham di mana bentuk
pengetahuan mereka dengan segala aspeknya mulai dari
agama, bahasa hingga sastra berpegang pada model
“pemahaman literal atas tradisi” (al-fahm al-turâtsi li al-
turâts), yaitu suatu bentuk pemahaman yang merujuk pada
pandangan ulama masa lampau. Ciri umum yang melekat
pada pendekatan semacam ini dalam persoalan-persoalan
masa lalu yang dihadapi tradisi, serta bersikap menyerah
terhadapnya.16
Penyerahan secara totalitas pada tradisi ini disinyalir
oleh Amin Abdullah sebagai bentuk dan sumber kekuatan
mental-spirtual yang maha ampuh untuk menahan badai
perubahan dan pembangunan dalam segala sektor kehidupan
(ghairu qabil li al-Taghyir)17
serta menganggap hasil ijtihad -
selain al-Qur'an dan hadits- para ulama yang hidup antara
abad ke 7 hingga 13 M18
sebagai referensi yang absolut dan
kekal.19
Sedangkan definisi etimologi rasionalisme juga berasal
dari Bahasa Inggris "Rationalism" yang berarti kekuatan
16 Mohammed Abed al-Jabiri, Post,………, h. 9-11. 17 Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 31-
33. 18 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, Cet. 6 (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 1. 19 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 123.
Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |503
pikiran.20
Sedangkan definisi rasionalisme secara terminologis
adalah kecenderungan untuk mempertimbangkan prinsip akal
atau salah-satu prinsip akal untuk mencapai kebenaran dalam
agama dan tidak mempertimbangkan wahyu dan tradisi dalam
mengerjakan beberapa persoalan teologi, terutama ketika
terdapat konflik antara ketiganya.21
Dengan cara seperti itu, maka rasionalisme secara
terminologis adalah sebuah paham di mana bentuk
pengetahuan mereka dengan segala aspeknya mulai dari
agama, bahasa hingga sastra berpegang pada model
pemahaman pada logika. Artinya, landasan pacu pemahaman
mereka senantiasa lebih diorientasikan pada soft-ware akal
dari pada lainnya, semisal indera, persepsi dan pengalaman,
serta wahyu.
Dari penjelasan di atas, dua aliran ini antara
tradisionalisme dan rasionalisme memiliki pengertian tak
sama, di mana tradisionalisme mengandung kontinuitas dan
stabilitas, sedangkan rasionalisme menyebabkan terjadinya
perubahan dan instabilitas. Tradisi biasanya berasal dari
ajaran nenek moyang, teks dan naql, sedangkan akal berasal
dari kacamata perorangan yang apabila disandingkan dalam
tradisi ilmu-ilmu tafsir, bahwa epistemilogi rasionalism dan
Semua ini berlangsung sewaktu Sayyidina Ali sedang
memangku jabatannya.
Sebagian umat Islam saat itu telah berani membuat
analisis tentang pembunuhan Utsman tersebut, apakah si
pembunuhnya berdosa ataukah tidak, bahkan tidak sampai di situ
saja, tetapi juga dianalisis siapa yang menggerakkan tangan si
pembunuh itu, apakah manusia sendiri ataukah Tuhan. Hal ini
23 Dalam kondisi yang demikian, tidak heran jika pada saati itu tampil tiga
sosok pembela Utsman –dalam hal ini Thalhah, Zubair dan Aisyah- meminta pada
Ali untuk mengusut tuntas aksi pembunuhan tersebut. Namun upaya Ali untuk
berdamai, tidak mendapat respon positif dari mereka, sehingga terjadilah bentrok
yang sengit dengan nama Perang Jamal di mana perhelatan ini dimenangkan oleh
pihak Ali. Lihat selengkapnya: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo, 2000), h. 40.
Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |505
yang menjadi cikal bakal tumbuhnya paham Jabariah dan
Qadariah.24
Kemenangan Ali Vs Aisyah dalam perang Jamal bukan
tugas akhir dari dinamika politik waktu itu di mana tugas
rekonsiliasi politik belum juga usai, sebab Ali Cs masih
menghadapi satu persoalan lagi yaitu timbulnya perlawanan dari
pihak Muawiyah, Gubernur Damaskus, hingga pada titik
klimaksnya terjadilah bentrok yang populer dengan nama Perang
Shiffin antara pendukung „Ali ibn Thalib yang nota bene sebagai
menantu nabi saw. Vs Mu‟awiyah -kerabat khalifah yang
terbunuh- merupakan pertikaian tragis yang tak bisa
dihindarkan.25
Dalam perang Shiffin, pasukan Ali hampir saja
memenangkan perang, namun berkat tipu daya Amr bin 'Ash,26
ketua perunding dari pihak Mu'awiyah yang melawan Ali,
menggunakan politik ulur waktu dan minta diadakan arbitrase
(tahkim)27
hingga akhirnya pihak Ali dikalahkan.28
Akibat dari
kekalahan ini, tidak pelak kemudian barisan pendukung Ali
menjadi berantakan; satu kelompok dikenal dengan sebutan
24 Yusran Asmuni, 1996, Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah
Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 59. 25 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul
Am (Bandung: Mizan, 2001), h. 13. 26 Fazlurrahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h.
245. Bandingkan dengn Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1985), h. 11.
27 Al-Thabari, Tarikh al-Thabari, Juz V (Kairo: Dar al-Ma'arifah, t.th.), h. 70-
71. 28 Maksud dari "dikalahkan" ini adalah kalah dalam bidang diplomasi, di
mana pihak Ali dipimpin oleh Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat Nabi tapi
terindikasi kesetiaannya pada Ali kurang begitu mendalam. Lihat lebih lengkap;
Syafi'i Ma'arif, Membumikan Islam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 92.
506|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
Syi'ah, yang pro pada Ali, sedang yang lain dikenal dengan
golongan khawarij, barisan yang kontra pada Ali.
Penerimaan arbitrase, tentu saja side effect-nya tidak
hanya kepemimpinan Ali yang tidak legitimate, namun juga
membuat "gerah" kelompok kontra arbitrase yang dipelopori oleh
Asy‟ts ibn Qayis hingga mengeluarkan fatwa bahwa orang yang
terlibat dalam keputusan tahkim, baik menyetujui dan apalagi
melaksanakannya dihukumi berdosa besar dan setiap orang yang
berdosa besar meninggal dunia tanpa tobat, maka itu adalah kafir
dan harus dilenyapkan.29
Salah-satu argumentasi mereka karena
tidak atau ingkar menjalankan kewajibannya sebagai seorang
muslim.
Berangkat dari fenomen ini, maka jelas sekali bawha
penentuan seseorang kafir atau tidak kafir yang nota bene
merupakan persoalan politik praktis, tetapi mengalami sofistifikasi
ideologi menjadi persoalan teologi. Hal ini terbukti ketika
kelompok kontra arbitrase tersebut mengklaim Ali dan Muawiyah
min ahlil kafirin.30
Kafir adalah orang yang tidak percaya,
dilawankan dengan mu‟min yang berarti orang yang percaya.31
Kedua istilah ini dalam al Qur‟an biasanya merupakan
kata antonim (musytarak).32
Kata kafir yang ditujukan pada
golongan di luar Islam, oleh Khawarij dipergunakan dengan
29 Nur Khalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), h. 12. 30 Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,
1996), h. 58. 31 AW. Munawwir, Kamu al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1998),
h. 234. 32 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an; Suatu Kajian Teologis
Dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulang Bintang, 1991) hlm. 88.
Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |507
makana yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam
Islam sendiri.33
Sebagai reaksi dari fatwa khawarij ini sebagian
umat Islam yang dipelopori oleh Ghailan Dimasqy, tidak
menerima akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan
selanjutnya menjadi mazhab Murji'ah. Menurut mereka, karena
fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya
ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak. Hal ini
menegaskan bahwa keimanan memiliki tingkat stabilitas dan tidak
bisa berkurang oleh dosa.34
Reaksi kelompok lain adalah penganut paham Abdullah
ibn Saba‟ dan orang-orang yang mengagungkan Ali ibn Abi
Thalib. Mereka ini dikemudian hari dikenal dengan Syi‟ah.35
Persoalan dosa besar antara Khawarij dan Murji‟ah itu tidak
berhenti begitu saja, tetapi masih berlanjut sampai pada masa
Hasan Basri (642-728 M) versus Wasil bin Atho' (murid Hasan)
yang memberikan antitesa pada pemikiran di atas36
dengan
terminologi al-manzilah bainal manzilatain37
bagi pelakuk dosa
besar, sehingga dalam sejarah pemikiran Islam pemikiran ini
sebagai cikal bakal lahirnya paham Mu'tazilah yang bercorak
rasional.
33 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta:
UI Press, 1986), h. 31. 34 W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought, Terj.
Sukoyo (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 163. 35 Syi'ah secara terminologis adalah sebagaina kaum muslimin yang dalam
bidang spiritual selalu merujuk pada keturunan Nabi. Lebih lengkap lihat: Abdul
Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 89. 36 Latar belakang kemuculan Mu'tazilah ini dalam sejarah pemikiran teologi
Islam mengandung banyak versi, namun yang sering digunakan adalah versi forum
dialogis Hasan Vs Wasil. Lihat selengkapnya; Ibid., h. 77-80. 37 Tosiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Terj. Agus Fahri
(Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 53.
508|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
Perselisihan persoalan teologi yang bermula dari konflik
politik di atas masih berlanjut sampai dengan masa khalifah
Makmun (813-833) yang menetapkan bahwa paham Mu‟tzilah
sebagai paham resmi negara dan rakyat dituntut untuk
mengikutinya secara represif.38
Pada masa ini, seorang yang
berkecimpung dalam paham Mu‟tazilah 40 tahun lamanya ingin
menjembatani paham-paham yang saling bertentangan itu. Mereka
adalah Abu al-Hasan al Asy‟ari dan selanjutnya dibantu oleh
Imam Maturidi. Kedua ulama ini merupakan tokoh dari paham
Ahlu Sunnah wal Jamaah39
, walaupun dalam beberapa hal mereka
berbeda pendapat.
Polemik antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah ini sudah tidak
lagi pada persoalan kafir dan mu'min, namun sudah jauh
melangkah berubah menjadi persoalan kesanggupan akal dan
fungsi wahyu40
di mana masing-masing dari mereka mengklaim
superioritas atau inferioritas akal atas wahyu, sehingga karenanya,
term teologi Rasional selalu saja disandingkan dan dilalbelkan
pada Mu'tazilah yang lebih mensuperioritaskan akal,41
sedangkan
38 Lihat peristiwa mihnah dalam Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk,
Jilid 7 (Beirut: Mu'asasah al-a'la li al-Matbu', 1995), h. 195. Bandingkan dengan;
Komaruddin Hidayat, "Arkoun dan Tradisi Hermeneutika", dalam Tradisi, Kemodernan dan Meta Modernisme (Jogjakarta: LKis, 1994), h. 20-30. Bandingkan
dengan : Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 268-269. 39 Term ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah banyak dipakai setelah munculnya aliran
Asy'ariyah dan Maturidiyah yang menentang ajaran Mu'tazilah. Lihat; Harun
Nasution, Teologi Islam,….h. 64. 40 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h.
75-77. 41 Pemberian nama rasionalis pada paham Mu'tazilah ini menurut observasi
Harun Nasution disamping paham ini lebih mendewakan akal, juga term-term yang
sering digunakan oleh kaum orientalis pada paham ini, semisal D.B. Macdonald.
Asy'ariyah sebagai representasi aliran bercorak tradsional lantaran
lebih menginferioritaskan akal.
Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme; Peta Epistemologis
1. Karakteristik Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme
Merujuk sejarah pemikiran klasik, corak teologi dalam
Islam di bagi dua42
yaitu teologi rasional dan teologi tradisional.
Teologi rasional dikenal dengan aliran Mu‟tazilah43
dan
Maturidiyah Samarkand44
. Sedangkan teologi tradisional dikenal
42 Pembagian ini sebenarnya mengikuti alur pemikiran mainstream, walau
sebenarnya, jika dirinci mazhab ilmu kalam tak kurang dari tujuh mazhab; Khawarij,
Murjiah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, namun semua itu ada
banyak kemiripan antara satu dengan yang lain. Lihat, Afrizal M, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26.
43 Mu’tazilah adalah aliran yang didirikan oleh Washil bin Atha’ (80-131
H/699-748 M), kemudian didukung dan disempurnakan ajaran-ajarannya oleh tokoh
pemikir Islam yang datang sesudahnya, seperti Abu Hudzayl al-Allaf (135-226
H/752-840 M), Ibrahim al-Nazhzham (185 H-221 H/802-845 M), Abu Ali al-Jubabai
(235-303 H/849-917 M), al-Qadhi Abduljabbar (320-415 H/932-1025 M) dan al-
Zamarkhasyari (467-538/1075-1144 M). Mereka adalah ulama rasional dan kritis,
tidak hanya terhadap hadits-hadits dan cara memahami ayat-ayat dan sunnah, tetapi
juga terhadap filsafat klasik Yunani Aristoteles dan Neo-Platonis. Itulah sebabnya,
aliran ini juga disebut aliran rasionalis dalam Islam. Aliran ini sudah tidak
mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Merskipun demikian, ajarna-ajarannya
mulai muncul kembali terutama di kalangan kaum terpelajar saat ini. Lihat
selengkapnya. Lihat; Harun Nasution, Islam ………………..h. 376. 44 Maturudiyyah adalah aliran yang didirkan oleh Imam Abu Manshur al-
Maturidi (w.333 H). Aliran ini kemudian didukung oleh Abu al-Yasar al-Bazdawi
(421-493 H), Abu Ma’in al-Nasafi (438-508), dan Najm al-Din ‘Umar al-Nasafi (462-
537 H). Meskipun al-Bazdawi adalah tokoh yang mendukung aliran Maturidiyyah,
antara al-Bazdawi dan al-maturidi terdapat beberapa perbedaan pendapat dan
masalah-masalah teologi. Perbedaan antara kedua tokoh ini kemudian melahirkan
dua subaliran, yaitu aliran Maturidiyah Samarkand yang ditokohi oleh al-Maturidy
sendiri dan aliran Maturidiyyah Bukhara yang ditokohi oleh al-Bazdawi. Aliran
Maturidiyyah banyak dianut oleh kaum Muslim yang bermazhab Hanafi dalam
bidang hukum (fiqh). Lebih lengkap lihat dalam, Dr. HH. Noer Iskandar Al-Barsany,
Pemikiran Kalam Imam Abu mansur A-Maturidi; Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari (Jakarta: Srigunting, 2001), h. 20.
510|JPIK Vol. 2 No.2, September 2019: 496-525
dengan aliran Asy‟ariyah45
dan Maturidiyah Bukhara.46
Namun
demikian, dari beberapa aliran ini, penulis dalam sub bab makalah
ini hanya akan memfokuskan pada dua corak teologi; yaitu teologi
rasional dengan representasi Mu'tazilah dan teologi tradisional di
mana aliran Asy'ariyah sebagai representasinya.
Dari kedua ciri aliran di atas, sebenarnya perbedaan corak
teologis tersebut dilatarbelakangi adanya metodologi yang
berbeda dalam mengurai objek kajiannya, sehingga tidak heran
jika kemudian memunculkan pemetaan paradigma metode
berpikir rasional dan tradisional,47
yang dalam hal ini, kedua
metode berpikir tersebut memiliki prinsip-prinsip masing,
sehingga keduanya tidak bisa saling mengklaim dan mengganggap
cara berpikir kelompoknya yang paling benar di mana hanya akan
mengakibatkan pada –meminjam Abdul Mustaqim- "syirik
intelektual".48
Hal ini dikarenakan dalam tataran histories-
interpretatif, kebenaran itu tentu menjadi relatif. Bagaimanapun
45 Asy’ariyah adalah aliran yang didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
(260-324 H/873-935 M). Aliran ini kemudian didukung dan dikembangkan oleh
ulama-ulama besar seperti al-Baqilani (w. 403 H), al-Juwaini (w.470 H), al-Ghazali
(250-505 H) dan Fakh al-Din al-Razi (544-606 H). Mesikipun Imam Asy’ari yang
telah mendirikan aliran pernah menjadi tokoh Mu’tazilah, ajaran-ajarannya banyak
bertolak belakang dengan ajaran Mu’tazillah. Aliran ini masih dominant hingga saat
ini dan dianut oleh mayoritas kaum Muslim, khususnya mereka yang bermazhab
Syafi’I dan Maliki. 46 Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya (Padang: IAIN-IB
Press, 2003) h. 4-5. Lihat juga, Harun Nasution, Islam, ……………… h. 66. 47 Prinsip metode berpikir rasional (1) Hanya terikat pada dogma-dogma dan
ayat yang Qat'i (2) Memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan
berkehendak serta memberikan daya yang kuat pada akal. Sedangkan prinsip berpikir
tradisional (1) Terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zanni (2) Tidak
memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta tidak
memberikan daya yang kuat pada akal. Lihat selengkapnya: Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsri al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 16-17.
48 Abdul Mustaqim, Tafir Feminis Versus Tafsir Patriarki (Jogjakarta: Sabda
Persada, 2003), h. vii.
Abd Rahman, Tradisionalisme dan Rasionalisme |511
ketika teks-teks keagamaan, (al-Qur'an) dikonsumsi dan masuk
dalam "disket" pemikiran manusia, tentu produk pemikirannya
juga akan relatif lantaran pikiran manusianya juga relatif.
Ada tiga barometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan
mengetahui suatu aliran, yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu,
perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan atau kehendak
mutlak Tuhan, sehingga terbentuklah ciri-ciri teologi rasional-
tradisional sebagaimana disebutkan oleh Abdul Razak49
,
sebagaimana berikut:
Ciri-ciri teologi tradisional adalah; Pertama, Akal
mempunyai kedudukan yang rendah, karenanya dalam memahami
wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzhi atau literal.
Kedua, Manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak. Ketiga,
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini,
bukan menurut sunatullah, namun benar-benar menurut kehendak
mutlak Tuhan.
Karekteristik teologi tradisional di atas, dapat disederhakana
bahwa wahyu selalu dianggap sebagai patokan dasar dan sumber
kebenaran par excellence, sedangkan akal adalah sumber yang
membuka kemungkinan bagi pemberontakan atas wahyu, oleh