Top Banner
1 PENATALAKSANAAN PERIOPERATIF GANGGUAN HEMOSTASIS PADA PENYAKIT HATI dr. Ade Susanti Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM PENDAHULUAN Kontrol terhadap perdarahan selama pembedahan merupakan salah satu tanggungjawab bersama antara dokter bedah dan dokter anestesia. 1 Secara alamiah tubuh mempunyai suatu mekanisme yang kompleks untuk melakukan kompensasi terjadinya perdarahan, agar tidak tidak terjadi kehilangan darah yang banyak pada tubuh melalui pembentukan bekuan trombosit dan fibrin pada pembuluh darah yang mengalami cedera dan disusul dengan proses resolusi atau lisis bekuan dan regenerasi endotel. Mekanisme yang komplek ini akan berusaha mempertahankan darah tetap cair dan mengalir lancar dalam pembuluh darah untuk kembali kedalam keadaan fisiologis. Mekanisme ini disebut sebagai hemostasis. 1-5 Hemostasis, secara harfiah berasal dari kata haima (darah) dan stasis(berhenti). 2 Istilah kaskade koagulasi merupakan suatu konsep yang menggambarkan urutan proses koagulasi yang dimulai dari stimulasi terhadap faktor-faktor koagulan sampai terbentuknya suatu suatu bekuan (clotting). Keseimbangan pada sistem koagulasi ini melibatkan keseimbangan jalur prokoagulan dan antikoagulan untuk menjamin tetap berlangsung aliran darah dalam sistem vaskuler secara fisiologis. 2,5-7 Dalam keadaan abnormal, dimana terjadi ketidakseimbangan pada sistem koagulasi dapat menyebabkan terjadinya perdarahan dan trombosis dengan terjadinya penyumbatan pada cabang-cabang vaskuler yang dapat mengancam nyawa. Mengetahui mekanisme fisiologis hemostasis sangat diperlukan untuk pengelolaan
55

TP2 - Ade Susanti - Penatalaksanaan Perioperatif Gangguan Hemostasis Pada Penyakit Hati

Sep 15, 2015

Download

Documents

hehedAD
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 1PENATALAKSANAAN PERIOPERATIFGANGGUAN HEMOSTASIS PADA PENYAKIT HATI

    dr. Ade SusantiDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM

    PENDAHULUAN

    Kontrol terhadap perdarahan selama pembedahan merupakan salah satu

    tanggungjawab bersama antara dokter bedah dan dokter anestesia.1 Secara alamiah

    tubuh mempunyai suatu mekanisme yang kompleks untuk melakukan kompensasi

    terjadinya perdarahan, agar tidak tidak terjadi kehilangan darah yang banyak pada

    tubuh melalui pembentukan bekuan trombosit dan fibrin pada pembuluh darah yang

    mengalami cedera dan disusul dengan proses resolusi atau lisis bekuan dan regenerasi

    endotel. Mekanisme yang komplek ini akan berusaha mempertahankan darah tetap

    cair dan mengalir lancar dalam pembuluh darah untuk kembali kedalam keadaan

    fisiologis. Mekanisme ini disebut sebagai hemostasis. 1-5 Hemostasis, secara harfiah

    berasal dari kata haima (darah) dan stasis(berhenti).2

    Istilah kaskade koagulasi merupakan suatu konsep yang menggambarkan

    urutan proses koagulasi yang dimulai dari stimulasi terhadap faktor-faktor koagulan

    sampai terbentuknya suatu suatu bekuan (clotting). Keseimbangan pada sistem

    koagulasi ini melibatkan keseimbangan jalur prokoagulan dan antikoagulan untuk

    menjamin tetap berlangsung aliran darah dalam sistem vaskuler secara fisiologis. 2,5-7

    Dalam keadaan abnormal, dimana terjadi ketidakseimbangan pada sistem

    koagulasi dapat menyebabkan terjadinya perdarahan dan trombosis dengan terjadinya

    penyumbatan pada cabang-cabang vaskuler yang dapat mengancam nyawa.

    Mengetahui mekanisme fisiologis hemostasis sangat diperlukan untuk pengelolaan

  • 2pasien dengan masalah perdarahan pada waktu perioperatif. Pasien-pasien dengan

    gangguan keseimbang hemostasis, memerlukan penatalaksanaan khusus perioperatif

    untuk menghindari terjadinya komplikasi akibat gangguan sistem hemostasis.

    Fungsi normal sistem hemostasis berhubungan erat dengan fungsi hati.

    Dimana paremkim sel hati mensintesis berbagai macam faktor-faktor koagulasi,

    berbagai komponen sistem fibrinolitik, dan mengatur regulasi beberapa protein

    penting yang berperan dalam sistem koagulasi dan sistem fibrinolitik. 8-11

    Mengetahui dan mengerti dengan baik mengenai penatalaksanaan perioperatif

    gangguan hemostasis pada pasien dengan penyakit hati, merupakan hal yang sangat

    penting bagi seorang dokter anestesia, sehingga dapat memberikan tatalaksana terbaik

    bagi pasien, terutama yang akan menjalani proses pembedahan.

    Dalam makalah ini akan dibahas mengenai gangguan hemostasis pada

    penyakit hati dan penatalaksanan perioperatif pada pasien dengan penyakit hati yang

    akan menjalani tindakan pembedahan.

  • 3GANGGUAN HEMOSTASIS PADA PENYAKIT HATI

    2.1 FUNGSI HATI DALAM MEKANISME HEMOSTASIS

    Hati merupakan organ yang terbesar dalam tubuh manusia dan mempunyai

    peranan yang sangat besar pula dalam fisiologi tubuh manusia, termasuk peranan

    penting dalam fisiologi hemostasis. Hemostasis yang normal sangat erat hubungannya

    dengan fungsi hati yang normal pula. Parenkim sel hati merupakan tempat utama

    pembentukan berbagai faktor pembekuan, berbagai komponen pada sistem fibrinolis,

    dan berbagai protein yang sangat penting peranannya dalam sistem koagulasi dan

    sistem fibrinolitik. Produksi yang rendah ataupun sintesis yang abnormal dari

    berbagai komponen hemostasis akan menyebabkan gangguan pada keseimbangan

    antara protrombotik dan antitrombotik pada sistem hemostasis.1-7

    Sistem retikuloendotelial pada hati mempunyai peranan yang sangat penting

    dalam meknisme hemostasis, yaitu sebagai tempat utama berlangsungnya proses

    pembersihan faktor-faktor pembekuan yang masih aktif, pembersihan berbagai

    aktifator proses koagulasi dan fibrinolisis, dan tempat penghancuran berbagai produk

    dari fibrin dan fibrinogen. Adanya gangguan pada sel hati, termasuk adanya gangguan

    pada sistem retikuloendotelial juga akan menyebabkan perubahan pada mekanisme

    hemostasis. Pada pasien dengan penyakit hati, biasanya disertai dengan

    trombositopeni, gangguan fungsi trombosit, defisiensi vitamin K, koagulasi

    intravaskuler menyeluruh (disseminated intravaskuler disease / DIC),

    disfibrinogenemia, dan peningkatan aktifitas fibrinolitik. Derajat gangguan hemostasis

    pada pasien dengan penyakit hati, akan sesuai dengan beratnya kerusakan sel-sel hati

  • 4yang terjadi. Gangguan hemostasis pada pasien dengan penyakit hati berat akan

    bermanifestasi berupa gangguan perdarahan.1-8, 10-14

    Perdarahan merupakan masalah terbanyak yang dihadapi oleh pasien dengan

    penyakit hati, baik itu penyakit hati akut maupun penyakit hati kronik. Perdarahan

    terutama terjadi di saluran pencernaan yang meliputi varises esofagus, varises gaster,

    gastritis akut dan ulkus peptikum. Selain itu perdarahan juga dapat bermanifestasi

    ditempat lain, misalnya mudahnya terjadi epistaksis maupun perdarahan dibawah

    kulit. Gangguan hemostasis merupakan penyebab tersering terjadinya perdarahan

    pada pasien dengan penyakit hati, sehubungan dengan terjadinya gangguan sintesis

    faktor-faktor pembekuan dan protein yang berperan dalam proses fibrinolisis,

    gangguan pembersihan (clearance) dari faktor-faktor pembekuan yang masih aktif

    oleh sistem retikuloendotelial hati (RES), serta gangguan pada trombosit, baik secara

    kualitatif dan kuantitatif.8-13

    2.2 PATOGENESIS

    Penyakit hati dapat terjadi secara akut (hepatitis fulminan, keracunan jamur,

    hipoksia, perlemakan hati akut ( acute fatty liver ) pada kehamilan) maupun kronik

    ( sirosis hati karena virus atau , atresia bilier, sirosis bilier primer, amiloidosis,

    keganasan ). Penyakit obstruksi bilier juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem

    hemostasis, seperti terjadinya defisiensi vitamin K oleh karena gangguan pada proses

    absorbsi vitamin K.8-11

  • 5Manifestasi gangguan hemostasis pada penyakit hati adalah sebagai berikut :

    Tabel 1. Gangguan hemostasis pada penyakit hati :8

    Defek Mekanisme

    Gangguan koagulasi Penurunan sintesis faktor pembekuan dan fibrinolitik

    Defisiensi vitamin K

    Trombositopeni dan defek pada fungsi trombosit

    Hipersplenisme Kegagalan dalam proses pembersihan inhibitor

    trombosit Kerusakan imun Penurunan produksi trombosit

    Koagulasi intravaskuler menyeluruh ( DIC)

    Prokoagulan dari sel hepar Endoktoksin pada sirkulasi porta Kegagalan dalam pembersihan faktor-faktor

    pembekuan yang masih aktif Kurangnya jumlah antitrombin dan protein C Peningkatan jumlah sitokin yang beredar Adanya penyakit penyerta sepert sepsis

    Fibrinolisis sistemik Penurunan -antiplasmin Kegagalan pembersihan enzim fibrinolitik Penurunan aktifitas pembersihan activator

    palsminogen jaringan ( tissue plasminogen activator )

    2.2.1 GANGGUAN SINTESIS FAKTOR PEMBEKUAN

    Pada saat terjadi gangguan fungsi sintesis faktor pembekuan pada hati oleh

    karena adanya penyakit hati, maka konsentrasi faktor pembekuan didalam plasma

    menurun, dan akan memicu terjadinya perdarahan. Faktor VII dan faktor V

    merupakan indikator yang sensitif terhadap sintesis protein hati dan dapat digunakan

    untuk menilai tingkat kerusakan sel hati (penyakit hati). Pada sistem skor Child-Pugh

    untuk penyakit hati, kriteria yang digunakan untuk menilai tingkat kerusakan sel hati

    adalah protrombine time (PT), karena nilai PT dipengaruhi oleh faktor VII. 1,5,7-13

  • 6 Faktor Von willebrand (faktor VIII) tidak disintesis oleh sel-sel hati, tetapi

    diproduksi oleh sel endotel dan megakariosit. Konsentrasi faktor Von willebrand ini di

    dalam plasma akan meningkat pada pasien dengan insufisiensi hati. Hal ini

    kemungkinan disebabkan oleh reflek stimulasi vaskuler atau kerusakan vaskuler akan

    melepaskan faktor Von willebrand ke dalam darah.7,10,13

    Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa sebagian besar komponen

    sistem koagulasi disintesis di hati, kecuali faktor vWF, yang disintesis di sel endotel

    dan megakariosit. Penyakit hepatoseluler baik itu akut maupun kronik (hepatitis,

    sirosis, hepatoma), akan menyebabkan gangguan dalam sintesis berbagai protein,

    yang akan menyebabkan defisiensi faktor-faktor pembekuan, yang akan berlanjut

    menyebabkan gangguan koagulasi. Kadar prokoagulan dalam plasma, pada pasien

    dengan gangguan fungsi hati akan sesuai dan sangat berhubungan kadar albumin

    plasma pasien tersebut, kecuali kadar faktor VIII:C / komplek vWF. Dengan semakin

    rendahnya kadar albumin pada pasien tersebut, maka produksi faktor prokoagulan

    juga akan rendah. Semakin berat disfungsi hati maka akan semakin berat juga

    gangguan koagulasi yang akan terjadi.1-7,8,10,13

    Pemanjangan PT ( protrombine time ) dapat digunakan sebagai indikator yang

    lebih baik dari pada kadar albumin, transaminase atau bilirubin untuk menentukan

    tingkat kerusakan hati, resiko perdarahan dan prognosis pada pasien dengan disfungsi

    hati. Pada pasien dengan sirosis hati, pada stadium compensated maupun

    decompensated , klasifikasi ini tidak digunakan untuk mengkatagorikan adanya

    abnormalitas pada mekanisme hemostasis.9-14

    Produksi prokoagulan yang normal atau berlebihan biasanya didapatkan pada

    penyakit sistem bilier seperti sirosis bilier atau obstruksi bilier. Peningkatan produksi

  • 7prokoagulan pada penyakit bilier menunjukkan adanya sintesis yang berlebihan dari

    protein nonspesifik pada penyakit ini. Pada penyakit sistem bilier, gangguan koagulasi

    tidak disebabkan oleh defisiensi vitamin K, karena vitamin K bersifat mudah larut

    dalam lemak, defisiensi vitamin K biasanya terjadi secara sekunder akibat menurun

    absorbsi vitamin K pada saluran pencernaan.10,13

    2.2.1.1 Faktor pembekuan yang tergantung dengan vitamin K

    Vitamin K diperlukan dalam biosintesis faktor koagulasi, yaitu : faktor II

    (protrombin) , faktor VII, faktor IX, faktor X.4,15 Peranan vitamin K dalam biosintesis

    faktor koagulasi didalam sel hati dapat dilihat pada skema berikut:15

    Gambar 4. Skema biosintesi protrombin 15

    Sintesis faktor koagulan didalam sel hati melalui 4 tahap; (1) pembentukan

    rantai polipeptida, (2) pembentukan disulfida, (3) pembentukan karbohidrat

  • 8(glicosylation), setelah melalui tahap 3 ini , akan terbentuk suatu protrombin

    inkomplit (decarboxy-protrombin), yang belum dapat berfungsi sebagai faktor

    koagulasi, namun secara struktural decarboxy-protrombin ini sangat identik dengan

    protrombin. Protrombin yang komplit secara fungsional dapat dibentuk dengan

    peranan vitamin K (tahap 4), dimana dalam proses ini melibatkan -carboxylatin

    (asam glutamat). Selanjutnya -carboxy-glutamic yang merupakan suatu asam amino

    adalah faktor penentu ikatan dengan ion kalsium dari molekul protrombin. Ikatan

    dengan ion kalsium merupakan hal yang essensial dari fungsi proenzim dalam

    absorbsi protrombin yang telah dibentuk. Tahap 1, 2, 3 terjadi didalam mitokondria

    sel hati, sedangkan tahap 4 merupakan suatu fungsi vitamin K pada sistem enzim

    dalam pembentukan protrombin. Pembentukan faktor VII, faktor IX, faktor X, protein

    C dan protein S juga melalui beberapa tahap seperti diatas, yang semuanya

    memerlukan peranan vitamin K.4,15

    Pada penyakit hepatoseluler, terjadi gangguan pada tahap yang melibatkan -

    carboxylatin (tahap 4), yang disebabkan oleh defisiensi vitamin K, selanjutnya akan

    mengakibatkan defisiensi faktor koagulasi yang bersifat vitamin K-dependent, yaitu

    faktor II, VII, IX dan X. Pada tubuh manusia sehat, cadangan vitamin K akan

    berkurang kira-kira setelah 7 hari, dimana tidak asupan vitamin K sama sekali.

    Cadangan vitamin K, dapat diganti secara parenteral. Pada umumnya defisiensi

    vitamin K disebabkan oleh penyakit ekstrahepatik atau intra hepatik kolestasis,

    penggunaan kolestiramin, malabsorbsi, fistula bilier, kurangnya asupan vitamin K dari

    makanan terutama pada pasien yang mendapat terapi antibiotik.4,14,15

  • 9Faktor VII mempunyai waktu paruh yang paling singkat ( biologic half life )

    diantara semua faktor koagulasi yang bersifat vitamin K-dependent, sehingga pada

    keadaan dimana mulai terjadi defisiensi vitamin K, maka defisiensi faktor VII yang

    pertama kali akan muncul. Defisiensi faktor VII ini akan menyebabkan pemanjangan

    protrombin time (PT), yang cukup sensitif pada kadar faktor VII yang menurun.

    Faktor II merupakan faktor terakhir yang sensitif terhadap defisiensi vitamin K ,

    sedangkan faktor IX dan X tingkat sensitifitasnya terhadap defisiensi vitamin K

    berada diantara faktor VII dan faktor II. 7-10

    Jika defisiensi vitamin K ini tidak segera dikoreksi, maka menyebabkan

    pemanjangan activated parsial thromboplastin time (aPTT) dan akan sangat

    berpotensial untuk terjadinya gangguan perdarahan. Jika setelah terapi vitamin K

    ternyata masih terjadi ganguan perdarahan, maka gangguan hemostasis lebih

    disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati daripada karena defisiensi vitamin K. 8-11

    2.2.1.2 Faktor V 8-13

    Defisiensi faktor V sering didapatkan pada pasien dengan penyakit hati berat.

    Penurunan konsentrasi faktor V di dalam plasma, menggambarkan adanya gangguan

    sintesis protein oleh hati dan juga mengindikasikan turunnya konsentrasi albumin di

    dalam plasma. Faktor V ini sangat sensitif dan mudah dihancurkan plasmin dan

    trombin, sehingga pada keadaan DIC tahap awal, konsentrasi faktor V di dalam

    plasma mungkin meningkat, tetapi pada keadaan DIC berat, konsentrasi faktor V di

    dalam plasma akan sangat menurun, walaupun pada keadaan ini fungsi hati masih

    dalam batas normal. Berdasarkan hal diatas, maka jumlah konsentrasi faktor V di

  • 10

    dalam plasma tidak dapat digunakan sebagai indikator terhadap gangguan fungsi

    sintesis faktor pembekuan pada pasien dengan penyakit hati.

    Konsentrasi faktor V dapat normal atau sedikit meningkat pada pasien dengan

    obstruktive jaundice dan sirosis bilier. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya proses

    katabolisme faktor V dan adanya stimulasi nonspesifik terhadap sintesis protein pada

    penyakit ini. Protein C merupakan suatu protein yang bersifat vitamin K-dependent,

    dimana pada mekanisme hemostasis berfungsi menghambat faktor V. Pada keadaan

    dimana terjadi obstruksi bilier dan akan menyebabkan adanya defisiensi vitamin K,

    maka konsentrasi protein C akan menurun, selanjutnya akan berakibat meningkatnya

    aktivitas faktor V.

    2.2.1.3 Faktor VIII 8-13

    Faktor VIII merupakan satu-satunya prokoagulan yang diketahui disintesis di

    hati dan diluar hati (ekstrahepatik). Penurunan konsentrasi faktor VIII di dalam

    plasma akan didapatkan pada pasien dengan penyakit hati berat, dan biasanya disertai

    dengan DIC. Pada keadaan penyakit hati akut maupun kronik, konsentrasi faktor

    VIII :C biasanya normal atau sedikit meningkat. Konsentrasi dari antigen faktor

    VIII:C pada pasien dengan penyakit hati biasanya juga meningkat. Alasan adanya

    peningkatan faktor VIII pada pasien dengan penyakit hati, sampai saat ini belum dapat

    dijelaskan dengan pasti. Kemungkinan disebabkan karena pelepasan prokoagulan dari

    hepatosit yang mulai mengalami nekrosis atau karena adanya peningkatan sintesis

    prokoagulan pada fase akut dari penyakit hati. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa

    pada keadaan terjadi penyakit hati akut seperti keracunan jamur, ternyata konsentrasi

    faktor VIII didapatkan normal atau sedikit meningkat meskipun terdapat peningkatan

  • 11

    serum transaminase. Kemungkinan lain penyebab peningkatan faktor VIII:C dan vWF

    diduga karena pelepasan dari sel endotel yang mengalami cedera, kurangnya aktifitas

    pembersihan ( clearance ) oleh sistem retikuloendotelial (RES) serta akibat terjadinya

    gangguan katabolisme komplek faktor VIII/vWF oleh sel-sel hati yang mengalami

    kerusakan. Karena konsentrasi faktor VIII dapat meningkat atau menurun sebagai

    akibat sekunder dari proses fibrinolitik atau akibat inaktifasi yang diperantarai oleh

    trombin, maka penentuan aktifitas pembekuan dari faktor VIII tidak dapat digunakan

    sebagai indikator dalam penentuan diagnostik dan prognostik pada pasien dengan

    penyakit hati.

    2.2.1.4 Faktor kontak 1,3,8-13

    Pada sistem koagulasi, dijelaskan bahwa proses koagulasi dapat dimulai dari

    jalur intrinsik, dimana terjadi peristiwa darah kontak permukaan luar yang

    menyebabkan konversi proenzim faktor XII menjadi XII aktif, yang selanjutnya akan

    terjadi aktifasi faktor kontak lainnya yaitu faktor XI, prekallikrein dan HMWK (High

    molecular weight kininogen ). Aktifasi faktor kontak merupakan suatu rangkaian

    reaksi yang melibatkan faktor XII, XI, prekallikrein, dan HMWK. Rangkaian reaksi

    ini bertujuan untuk membentuk suatu enzim yang dapat mengaktifasi faktor X.

    Efek penyakit hati terhadap konsentrasi faktor kontak ( faktor XII, XI,

    prekallikrein dan HMWK) di dalam plasma menggambarkan derajat gangguan

    sintesis protein pada sel-sel hati. Konsentrasi faktor XI dan XII akan menurun pada

    keadaan pasien dengan sirosis hati, hepatitis toksik berat dan hepatoma. Konsentrasi

    faktor HMWK juga akan menurun pada pasien dengan sirosis hati. Konsentrasi faktor

    prekallikrein didapatkan menurun pada pasien dengan hepatitis akut, hepatitis kronik,

  • 12

    dan sirosis hati. Pada beberapa penelitian pada beberapa pasien sirosis tanpa adanya

    gangguan DIC atau fibrinolisis, konsentrasi faktor prekallikrein akan rendah, yang

    berkorelasi dengan konsentrasi serum albumin. Konsentrasi faktor pembekuan yang

    rendah ini sejalan dengan berkurangnya sintesis protein secara umum pada pasien

    dengan penyakit hati.

    2.2.1.5 Faktor XIII 8-13

    Faktor XIII berperan dalam mengkatalisa pembentukan intermolekuler -

    glutminyl--lysyl yang berfungsi dalam menstabilisasi anyaman fibrin yang telah

    terbentuk. Tempat sintesis faktor XIII belum dapat ditentukan secara pasti, sementara

    ini diduga bahwa faktor XIII di produksi oleh monosit, megakariosit dan hepatosit.

    Konsentrasi faktor XIII yang rendah ditemukan pada 30% pasien dengan penyakit hati

    akut ataupun kronik dan hepatoma. Pada penyakit sirosis bilier dan obstructive

    jaundice konsentrasi faktor XIII dapat normal atau sedikit meningkat. Konsentrasi

    faktor XIII yang rendah dapat digunakan sebagai indikator prognosis yang buruk pada

    pasien dengan hepatitis akut, hepatitis kronik dan sirosis hati. Rendahnya konsentrasi

    prokoagulan ini didalam plasma, jarang sekali menyebabkan gangguan perdarahan

    yang bermakna pada pasien dengan penyakit hati.

    2.2.1.6 Fibrinogen dan disfibrinogenemia 8-13

    Fibrinogen secara khusus disintesis di dalam hepatosit, beberapa prokoagulan

    selain disintesis di hati, juga disintesis ditempat lain. Seperti halnya faktor VIII,

    konsentrasi fibrinogen akan normal atau sedikit meningkat pada pasien dengan

    penyakit hati akut atau kronik, sirosis bilier, obstructive jaundice, hepatoma maupun

  • 13

    adanya metastase tumor ke hati. Tampaknya fibrinogen disintesis secara selektif oleh

    sel hati pada beberapa penyakit hati diatas pada saat fase akut. Berbeda dengan faktor

    VIII, dimana sintesisnya masih didapatkan diluar sel hati dan keadaan dimana

    didapatkan konsentrasi faktor VIII menurun akan terlihat pada pasien dengan penyakit

    hati stadium lanjut ( decompensated sirosis ) atau pada keadaan gagal hati fulminan

    dimana terjadi peningkatan katabolisme oleh karena DIC atau fibrinolisis yang

    berlebihan. Pada keadaan hipofibrinogenemia ( < 100 mg/dl ) tanpa adanya DIC atau

    fibrinolisis primer, menunjukan suatu prognosis yang buruk. Mekanisme lain yang

    dapat menjelaskan penyebab hipofibrinogenemia adalah hilangnya fibrinogen ke

    dalam cairan asites dan adanya perdarahan hebat.

    Disfibrinogenemia terjadi akibat proses polimerisasi dari fibrin yang tidak

    sempurna pada pasien dengan penyaki hati. Abnormal polimerisasi dari fibrin

    monomer ditemukan pada 76% pasien dengan sirosis hati, 78% pasien dengan

    hepatitis kronik yang aktif, 86% pasien dengan gagal hati akut dan 8% pasien dengan

    obstructive jaundice.

    Diantara test laboratorium untuk faal hemostasis, waktu trombin / trombin

    time (TT) merupakan pemeriksaan yang paling sensitif terhadap aggregasi abnormal

    dari fibrin monomer dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya, sepert PT dan aPTT.

    Pemeriksaan trombin time menggambarkan kecepatan trombin untuk mengkonversi

    fibrinogen menjadi fibrin, dimana proses konversi ini melalui dua tahap. Tahap

    pertama, dimana trombin akan memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer dan

    selanjutnya fibrin monomer ini akan mengalami polimerisasi untuk membentuk

    anyaman fibrin. Adanya defek pada proses ini, akan memperpanjang trombin time

    (TT).

  • 14

    Pasien dengan berbagai kelainan hati, biasanya mempunyai TT yang

    memanjang, tetapi tidak proporsional dengan nilai abnormal PT dan aPTT.

    Kemungkinan ini terjadi karena adanya hipofibrinogenemia (800 mg/dl) dan peningkatan kadar fibrinogen degradation

    product (FDP). Pada pasien dengan penyakit hati dengan pemanjangan TT dapat

    disertai dengan kadar fibrinogen yang normal atau sedikit berkurang dan disertai

    dengan kadar FDP yang normal atau sedikit meningkat.

    2.2.1.7 PLASMA INHIBITORS 1,3,5,7-13

    Proses pembentukan sumbat hemostatik ( hemostatic plug ) yang stabil, akan

    diimbangi oleh suatu proses regulasi untuk membatasi pembentukan sumbat

    hemostatik yang berlebihan dengan menonaktifkan prokagulan yang masih aktif, serta

    mengurangi perluasan pembentukan fibrin. Protein regulator (plasma inhibitor) dari

    proses koagulasi ini sebagian besar disintesis didalam hati. Seperti halnya

    prokoagulan yang disintesis dihati, sintesis dari plasma inhibitor ini juga akan

    terganggu pada pasien dengan penyakit hati.

    Gambar 2. Skema kontrol proses koagulasi 5

  • 15

    .1 Antitrombin III (AT III) 3,8-14

    Antitrombin III (AT III) merupakan suatu protein plasma antikoagulan

    yang penting dalam mekanisme kontrol hemostasis karena akan berikatan dan

    akan menghambat trombin. AT III merupakan penghambat utama dari trombin,

    faktor IXa dan faktor Xa. Hati merupakan tempat utama untuk mensintesis AT

    III, dari beberapi penelitian juga menunjukan bahwa AT III juga disintesis di

    sel-sel endotel. AT III ini disintesis di hati dan di dalam plasma pada keadaan

    normal ditemukan sekitar 15 mg/dL. AT III akan mengikat dan

    menginaktifasikan faktor-faktor pada jalur intrinsik yaitu faktor XIIa, faktor

    XIa, faktor IXa, dan faktor Xa. Molekul AT III saat menjalankan fungsinya

    dalam mekanisme hemostasis mempunyai dua tempat ikatan dengan molekul

    lain, yaitu ikatan dengan trombin ( dan faktor pembekuan yang aktif lainnya)

    dan ikatan dengan heparin. Tanpa heparin, ikatan AT III dan trombin

    mempunyai afinitas yang lemah. Dengan adanya heparin, ikatan antara AT III

    dan trombin serta faktor pembekuan aktif lainnya, akan menjadi meningkat

    secara sangat bermakna dibandingan dengan tanpa adanya heparin. Reaksi

    antara AT III dan trombin akan membentuk suatu komplek bimolekuler yang

    secara cepat akan dibersihkan dari sirkulasi oleh sel hati.

    Penurunan dari kadar AT III dan aktivitasnya didapatkan pada pasien

    dengan penyakit hati, dan berhubungan dengan penurunan kadar faktor-faktor

    koagulasi lainnya yang juga disintesis di hati, dan hal ini menggambarkan

    gangguan sintesis prokoagulan dan antikoagulan oleh hati.

    Pada pasien dengan mild-moderate hepatitis, kadar AT III dalam

    plasma didapatkan masih dalam batas normal, sedangkan pada penyakit

  • 16

    obstruksi bilier, kadar AT III dapat normal atau sedikit meningkat. Penurunan

    kadar AT III yang bermakna didapatkan pada pasien dengan sirosis hati,

    hepatitis fulminan, hepatoma dan fatty liver of pregnancy.

    Defisiensi AT III pada pasien sirosis hati disebabkan terutama oleh

    karena penurunan sintesis oleh hati, tetapi dari beberapa penelitian didapatkan

    ternyata penurunan kadar AT III pada stadium lanjut dari penyakit hati ini,

    disebabkan oleh karena perubahan ratio aliran antar kapiler (transcapillary

    flux ratio) atau karena peningkatan konsumsi AT III pada DIC ringan (low-

    grade DIC).

    Walaupun penurunan kadar AT III pada penyakit hati berat sampai

    kurang dari 50% dibandingkan dengan kadar normal, trombosis merupakan

    komplikasi yang jarang ditemukan, dibandingkan dengan pada keadaan

    adanya defisiensi AT III herediter. Hal ini disebabkan karena pada keadaan

    sirosis, kadar protrombin yang ada didalam plasma akan berkurang secara

    proposional dengan kadar AT III, sehingga efek pro-trombik dari AT III akan

    berjalan seimbang dengan efek defisiensi prokoagulan yang disintesis dihati.

    Kemungkinan lain yang dapat menerangkan tidak adanya komplikasi

    trombosis pada pasien dengan penyakit hati berat adalah karena adanya jumlah

    yang normal dari surface-bound AT III complexes walaupun kadar AT III di

    dalam plasma rendah, adanya peningkatan aktifitas fibrinolitik, kadar -

    makroglobulin dan antitrombin lainnya yang normal atau sedikit meningkat

    pada semua keadaan penyakit hati akut atau kronik.

    Pemeriksaan kadar AT III pada penyakit hati tidak merupakan suatu

    pemeriksaan yang memberikan arti klinis yang bermakna. Pemeriksaan kadar

  • 17

    AT III ini akan berguna pada pasien dengan penyakit kuning, untuk

    membedakan apakah pasien ini mengalami kerusakan sel-sel hati atau karena

    obstruksi bilier. Kadar AT III yang kurang 70% dari nilai normal, pada pasien

    dengan penyakit kuning, tidak hanya memberikan arti adanya kerusakan

    hepatoseluler, tetapi juga memberikan prediksi angka kematian sekitar 40%.

    .2 Protein C 1-13

    Mekanisme fisiologis lainnya yang menghambat pembentukan trombin

    yang berlebihan adalah jalur protein C - protein S - trombomodulin. Komplek

    trombomodulin (TM) dan trombin (faktor IIa) yang mengaktifasi protein C,

    dengan protein S sebagai kofaktor, akan menghambat aktifasi faktor V dan

    faktor VIII.

    Trombin sendiri mempunyai efek umpan balik negatif dengan

    menghambat faktor V dan faktor VIII melalui perantara protein C untuk

    mengurangi sintesis trombin yang berlebihan, bila konsentrasi trombin tinggi

    dalam sirkulasi. Konsentrasi trombin yang rendah didalam sirkulasi akan

    mengaktifasi faktor V dan faktor VIII, sehingga akan mempercepat proses

    koagulasi. Protein C dalam sirkulasi berada dalam bentuk tidak aktif, sampai

    diaktifkan oleh trombin yang telah berikatan dengan trombomodulin menjadi

    protein C yang aktif ( activated protein C/ APC ). Trombomodulin merupakan

    suatu protein yang berada pada permukaan sel endotel pembuluh darah. Ikatan

    antara trombin dan trombomodulin inilah yang tidak dapat mengaktifasi faktor

    V, faktor VII dan fibrinogen. Dengan ko faktor protein S, APC akan memecah

    faktor Va dan faktor VIIIa sehingga proses koagulasi dapat diperlambat.

  • 18

    Peranan lain dari protein C aktif (APC) adalah memicu pelepasan tissue

    plasminogen activator (tPa) yang memicu perubahan plasminogen menjadi

    plasmin, pada akhirnya plasmin akan melisiskan fibrin dan trombus. Pada

    endotelium yang utuh/intak, interaksi antara trombin-trombomodulin-protein

    C akan menghambat proses koagulasi dan mempertahankan sifat non-

    trombogenik dari sel endotel.

    Protein C dan protein S, seperti yang telah disebutkan sebelumnya

    adalah merupakan protein yang tergantung dengan vitamin K. Protein C

    dengan ko-faktor protein S akan menghancurkan faktor Va dan faktor VIIIa.

    Protein C disintesis di dalam hati dan sel endotel. Protein S disintesis di dalam

    hati, sel endotel dan megakariosit. Penurunan kadar protein C dan protein S di

    dalam plasma pada pasien dengan penyakit hati, berhubungan dengan

    gangguan sintesis pada hati karena adanya kerusakan sel-sel hati.

    Kadar protein C yang rendah, ditemukan pada keadaan sirosis,

    hepatitis kronik aktif, hepatitis virus akut, hepatitis fulminan, dan penyakit

    sirosis bilier lanjut. Kadar protein C didapatkan normal pada keadaan hepatitis

    akut, kholestasis, hepatitis kronik persisten, dan penyakit sirosis bilier stadium

    awal. Kadar protein S juga akan berkurang pada pasien dengan gangguan

    fungsi hati atau gagal hati fulminan. Seperti halnya AT III, defisiensi protein C

    yang didapat ( acquired ) pada pasien sirosis, kelihatannya tidak berhubungan

    dengan keadaan trombosis yang patologik.

    Protein C aktif, akan dihambat oleh oleh protein C inhibitor dan 1-

    antitripsin. Penghambat protein C akan berkurang pada pasien dengan sirosis

    hati atau keadaan nekrosis hepatik akut.

  • 19

    .3 Kofaktor heparin II 5,8-13

    Kofaktor heparin II merupakan suatu penghambat serin protease yang

    secara selektif akan menghambat aktifitas trombin. Seperti halnya AT III

    dalam menghambat aktifitas trombin, akan berpotensiasi dengan heparin,

    tetapi kofaktor heparin II berbeda dengan AT III, karena tidak menghambat

    aktifitas faktor Xa. Kofaktor heparin II disintesis di dalam hati, sehingga pada

    pasien dengan penyakit hati akan didapatkan defisiensi dari kofaktor heparin II

    ini, akan proporsional dengan derajat gangguan fungsi pada hati.

    .4 Penghambat faktor jaringan ( tissue factor pathway inhibitor /

    TFPI ) 8-13

    Karakterisitik fungsi dari TFPI dengan adanya faktor Xa adalah untuk

    menetralisasikan komplek faktor antara faktor VIIa dan faktor jaringan, dalam

    hal ini menghambat faktor koagulasi di jalur ekstrinsik. TFPI di sintesis di sel-

    sel endotel yang berasal dari vena umbilikalis dan sel-sel hati.

    Kadar TFPI didapatkan normal atau sedikit meningkat pada pasien

    dengan penyakit hati kronik dekompensasi, maupun pada keadaan gangguan

    fungsi hati berat akut atau kronik lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena TFPI

    tidak hanya disintesis di dalam sel hati, tetapi juga disintesis di sel endotel.

    .5 Penghambat proses fibrinolisis 3,5,7-13

    Penghambat utama dari plasmin adalah 2-antiplasmin. Fungsi

    utamanya adalah untuk membatasi penghancuran fibrin oleh plasmin dan

  • 20

    mempertahankan anyaman fibrin yang telah terbentuk. 2-Antiplasmin ini

    disintesis di dalam hati. Korelasi kadar yang rendah antara 2-antiplasmin

    dengan AT III, plasminogen dan albumin mendukung dugaan bahwa hati

    merupakan tempat utama sintesis 2-antiplasmin. Kadar yang rendah dari 2-

    antiplasmin pada pasien dengan gangguan fungsi hati lanjut di sebabkan oleh

    produksi yang rendah oleh hati pada penyakit hati. Keadaan DIC akan

    menghabiskan / mengkonsumsi 2-antiplasmin, oleh karena itu, pada keadaan

    DIC skor rendah yang disebabkan oleh penyakit hati, maka kadar 2-

    antiplasmin akan semakin rendah dibandingkan pada keadaan penyakit hati

    tanpa disertai DIC. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa waktu paruh

    2-antiplasmin masih dalam batas normal pada pasien dengan penyakit hati,

    walaupun kadarnya rendah karena gangguan sintesis.

    Kadar 2-antiplasmin didapatkan normal pada pasien dengan obstruksi

    duktus utama bilier, hepatitis berat, akut hepatitis, hepatitis kronik persisten

    dan sirosis bilier tanpa disertai gagal hati. Kadar rendah didapatkan pada

    keadaan metastasis dari karsinoma hati, hepatitis fulminan. Hepatitis virus dan

    hepatoma

    Defisiensi kongenital 2-antiplasmin akan menyebabkan gangguan

    perdarahan sebagai akibat dari gangguan penghambatan proses fibrinolisis.

    Kecepatan proses fibrinolisis pada pasien sirosis sangat berhubungan dengan

    penurunan kadar 2-antiplasmin dan peningkatan aktifitas tPA (tissue

    plasminogen activators ). Defisiensi 2-antiplasmin yang didapat oleh karena

    penyakit hati lanjut, berpotensial untuk mempercepat proses fibrinolisis dan

  • 21

    menimbulkan gangguan perdarahan. Lebih jauh lagi, pada pasien dengan

    defisiensi 2-antiplasmin yang didapat, termasuk disini pasien dengan

    penyakit hati, dengan defisiensi 2-antiplasmin yang berat, dapat mengalami

    gangguan perdarahan yang bersifat mengancam nyawa serta sulit diatasi.

    Penghambat aktifator plasminogen-1 ( plasminogen activator

    inhibitor-1 / PAI-1 ), merupakan suatu penghambat utama dari aktifitas

    plasminogen di dalam plasma dan berfungsi untuk membatasi aktifitas

    fibrinolitik. PAI-1 terutama disintesis di sel endotel, tetapi juga di sintesis oleh

    sel hati dan juga dapat ditemukan pada trombosit. Pada beberapa penelitian

    pasien dengan sirosis, hepatitis, isme kronik, penyakit hati maligna, kadar

    PAI-1 didapatkan normal atau sedikit meningkat. Peningkatan kadar PAI-1

    pada penyakit ini, menunjukkan suatu fase akut pada perjalanan penyakit.

    Penurunan kadar PAI-1 berhubungan dengan penurunan kadar albumin di

    dalam plasma dan pemanjangan dari PT ( protrombine time ), hal ini

    menunjukan bahwa aktifitas PAI-1 secara parsial juga tergantung pada fungsi

    hati. Peningkatan aktifitas PAI-1 dibandingkan dengan aktivitas tPA yang

    berlebihan pada pasien sirosis dan peningkatan proses fibrinolisis akan

    berkontribusi untuk terjadinya gangguan perdarahan pada pasien sirosis.

    .6 Penghambat jalur aktifasi kontak (inhibitors of the contact

    activation pathway ) 7-13

    Jalur aktifasi kontak diregulasi oleh beberapa protein plasma, yang

    merupakan suatu penghambat plasma protease, yaitu penghambat C1 ( C1-

    inhibitor), 1-antitripsin, dan 2- makroglobulin. C1-inhibitor di sintesis di sel

  • 22

    hati dan merupakan penghambat utama pada jalur kontak ini. Defisiensi

    herediter dari C1-inhibitor ini menyebabkan angioedema, bukan hemoragi. 1-

    Antitripsin merupakan penghambat utama dari faktor XIa, dan juga

    merupakan penghambat dari protein C aktif dan neutropil elastase. Defisiensi

    herediter dari 1-antitripsin juga tidak menyebabkan gangguan perdarahan,

    tetapi akan menyebabkan emfisema oleh karena menghambatan elastase pada

    paru. 2- Makroglobulin bukan merupakan penghambat utama pada jalur

    kontak ini, fungsinya merupakan sebagai faktor penghambat cadangan pada

    komponen koagulasi dan sistem fibrinolitik. 2- Makroglobulin diproduksi

    oleh berbagai macam sel, termasuk disini sel-sel hati. Belum ada laporan

    mengenai kasus defisiensi 2- makroglobulin ini yang mengancam kehidupan.

    Tidak seperti faktor penghambat lainnya dalam sistem hemostasis,

    kadar dari penghambat aktifasi sistem kontak didapatkan normal atau sedikit

    meningkat pada semua keadaan dengan penyakit hati, termasuk hepatitis B

    fulminan, sirosis, hepatitis kronik aktif, obstruksi duktus bilier dan metastase

    dari karsinoma hati. Kadar 1-antitripsin, dan 2- makroglobulin yang normal

    dan mempunyai aktifitas antitrombin, akan mempunyai efek protektif pada

    pasien penyakit hati dengan defisiensi berat AT III dan protein C. Sampai saat

    ini, belum ada nilai terapi dan prognosis dari kadar protein penghambat

    aktifasi dari jalur kontak ini pada pasien dengan penyakit hati.

  • 23

    2.2.2 ABNORMALITAS FIBRINOLISIS 10-14

    Peningkatan proses fibrinolisis umumnya didapatkan pada pasien dengan

    sirosis hati, dari pemeriksaan laboratorium akan didapatkan pemendekan masa

    euglobulin lysis time, whole blood clot lysis time, plasma clot lysis time, serta

    didapatkannya produk penghancuran fibrinogen ( fibrinogen degradation product/

    FDP ) yang berlebihan, dan plasma D-dimer yang meningkat. Penurunan kadar

    plasminogen didapatkan pada pasien dengan sirosis hati. Peningkatan fibrinolisis pada

    populasi sirosis hati disebabkan oleh konversi yang berlebihan dari plasminogen

    menjadi plasmin.

    Patogenesis dari peningkatan fibrinolisis pada pasien dengan penyakit hati,

    disebabkan oleh adanya peningkatan aktifitas dari aktifator plasminogen, terutama

    aktifator plasminogen jaringan (tissue plasminogen aktifator / tPA ). Peningkatan

    kadar tPA pada pasien sirosis akibat dari bekurang akitifitas pembersihan (clearence)

    oleh hati pada pasien dengan penyakit hati. Keadaan ini tentu saja menyebabkan

    waktu paruh biologik dari aktifator plasminogen menjadi lebih panjang pada pasien

    dengan sirosis hati. Faktor lain yang juga menyebabkan peningkatan tPA pada pasien

    dengan penyakit hati adalah karena berkurangnya kadar PAI-1 untuk menghambat

    aktifitas tPA yang berlebihan. Dari beberapa laporan penelitian didapatkan bahwa

    kadar PAI-1 menurun pada pasien dengan sirosis hati berat, tetapi kebanyakan

    laporan justru menggambarkan adanya peningkatan kadar PAI-1 pada pasien dengan

    penyakit hati. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa sintesis PAI-1 tidak hanya

    pada sel hati, tetapi juga di sintesis oleh sel endotel dan trombosit, hal ini juga

    menyebabkan kadar PAI-1 pada pasien dengan penyakit hati dapat normal atau sedikit

    meningkat. Tetapi pada keadaan penyakit hati ini, peningkatan aktifitas fibrinolisis

  • 24

    disebabkan oleh karena aktifitas tPA yang relatif berlebihan dibandingkan dengan

    aktifitas penghambatan fibrinolisis oleh PAI-1. Kadar faktor penghambat proses

    fibrinolisis lainnya juga didapatkan menurun pada pasien dengan penyakit hati, yaitu

    2-antiplasmin dan histidine-rich glycoprotein yang berkontribusi untuk

    meningkatkan aktifitas plasmin.

    Pada suatu penelitian retrospektif, pasien dengan peningkatan fibrinolisis pada

    penyakit hati, banyak yang mengalami perdarahan pada jaringan lunak dan susunan

    saraf pusat. Pemberian terapi -aminocaproic acid, suatu penghambat fibrinolisis,

    cukup bermanfaat pada 75% pasien yang terapi ini. Hubungan antara peningkatan

    fibrinolisis dan kejadian perdarahan mukosa dan perdarahan yang fatal termasuk

    perdarahan gastrointestinal yang hebat, didapatkan pada pasien dengan penyakit hati

    kronik dan sirosis hati lanjut ( decompensated sirosis ). Pasien dengan difisiensi

    kongenital 2-antiplasmin dan kadar yang yang sangat rendah pada pasien sirosis,

    akan mengalami masalah perdarahan selama hidupnya dan akan mempunyai

    kecenderungan terjadinya perdarahan yang mengancam nyawa akibat adanya proses

    hiperfibrinolisis.

    Kecuali pada pasien dengan gagal hati, fibrinolisis abnormal sangat jarang

    ditemukan pada pasien penyakit hati yang akut. Peningkatan fibrinolisis bahkan tidak

    ditemukan pada pasien dengan acute fatty liver of alcohol ingestion, hepatitis virus

    akut, atau hepatitis yang dipicu oleh asetaminofen dan halotan. Penurunan fibrinolisis

    didapatkan pada pasien dengan tumor yang bermetastase ke hati, sirosis bilier primer

    dan obstruksi duktus bilier. Kadar plasminogen yang rendah akibat sintesis yang

    menurun pada hati, didapatkan pada pasien hepatitis kronik aktif, hepatitis fulminan,

  • 25

    dan hepatocelluler jaundice. Keadaan ini tidak mengakibatkan peningkatan proses

    fibrinolisis. Kadar plasminogen yang normal didapatkan pada pasien sirosis bilier

    primer atau obstruksi duktus utama bilier.

    2.2.3 KOAGULASI INTRAVASKULER MENYELURUH (DISSEMINATED

    INTRAVASCULER COAGULATION / DIC ) 8-13, 16-18

    Koagulasi intravaskuler menyeluruh (DIC) merupakan suatu respon patologik

    hemostatis akibat suatu penyakit yang mendasarinya, yang bermanifestasi sebagai

    aktifasi pembentukan trombin dan sistem fibrinolitik. Patofisiologi dari kelainan ini

    merupakan akibat dari pembentukan trombin yang berlebihan. Selanjutnya trombin

    akan mengaktifkan dan mengkonsumsi protein koagulan, trombosit dan fibrinogen,

    dan akhirnya mengakibatkan terbentuknya fibrin dan trombus di mikrovaskuler.

    Siatem fibrinolitik akan menjadi aktif, sebagai fenomena sekunder akibat dari

    pemecahan fibrin dan fibrinogen oleh plasmin akan menghasilkan fibrin(ogen)

    degradation product (FDP). FDP selanjutnya akan dibersihkan oleh sistem

    retikuloendotelial (RES) pada hati, tetapi jika FDP ini berlebihan didalam sirkulasi,

    maka akan dapat mengganggu pemecahan fibrinogen oleh trombin dan polimerisasi

    dari fibrin monomer.

    Manifestasi klinis dari DIC akan merupakan suatu manifestasi klinis yang luas

    antara komplikasi perdarahan (hemorrhagic) dan komplikasi trombosis. Pada stadium

    awal atau DIC kronik, biasanya masih terdapat keseimbangan antara pembentukan

    fibrin oleh karena aktifasi trombin dengan pemecahan fibrin oleh plasmin. Keadaan

    ini menggambarkan suatu konsumsi yang seimbang dan akan mengakibatkan sedikit

    kejadian komplikasi perdarahan atau trombosis. Namun pada keadaan yang progresif

  • 26

    dari suatu penyakit dasar yang menyebabkan DIC, maka keadaan DIC pun akan

    manjadi progresif juga, akan terjadi peningkatan proses koagulasi, konsumsi yang

    berlebihan dari faktor-faktor pembekuan dan trombosit dan akan mengakibatkan suatu

    keadaan gangguan perdarahan yang menyeluruh. Manifestasi klinis DIC berupa

    pembentukan trombin yang berlebihan, dan akan mengakibatkan trombosis, serta

    terjadinya fibrinolisis yang berlebihan yang akan mengakibatkan perdarahan sebagai

    akibat langsung dari pembentukan plasmin yang berlebihan. Manifestasi klinis dari

    DIC akan sangat bervariasi dari pasien dengan penyakit yang akut sampai dengan

    DIC yang fulminan dengan komplikasi perdarahan dan/atau trombosis dari ringan

    sampai berat, atau bahkan hanya dijumpai kelainan laboratorium saja.

    Manifestasi laboratorium dari DIC akan menggambarkan suatu proses yang

    komplek. Pada keadaan dimana terjadi keseimbangan konsumsi faktor pembekuan,

    dimana aktifitas faktor pembekuan belum berlebihan maka akan menutupi keadaan

    penurunan kadar faktor pembekuan, pada keadaan ini PT dan aPTT didapatkan dalam

    batas normal atau sedikit memendek. Pada saat konsumsi fibrinogen mulai berlebihan,

    FDP biasanya akan sedikit meningkat dan TT ( trombine time ) akan mulai

    memanjang. Bila kemudian terjadi DIC fulminan, akan didapatkan penurunan kadar

    faktor-faktor pembekuan, PT, aPTT dan TT akan memanjang. Jumlah trombosit akan

    sangat tergantung dengan perkembangan DIC dan kemampuan sumsum tulang untuk

    mengkompensasi keadaan DIC ini. Ada beberapa keadaan patologis dapat memicu

    terjadinya DIC ( infeksi dan keganasan ) dengan peningkatan jumlah trombosit, dan

    hal ini dapat menutupi keadaan konsumsi trombosit yang berlebihan. Tetapi pada

    keadaan DIC yang lanjut, bagaimanapun jumlah trombosit akan sangat menurun

    secara bermakna.

  • 27

    Oleh karena variasi yang ekstrim dari manifestasi DIC, baik secara klinis

    maupun laboratorium, maka belum ada konsensus yang pasti untuk menegakkan

    diagnosis DIC secara definitif. Diagnosis DIC sangat tergantung pada situasi klinis

    dan laboratorium dimana akan didapatkan aktifitas trombin yang berlebihan dan

    hiperfibrinolisis. Kriteria laboratorium standar DIC tidaklah spesifik. Kriteria untuk

    menegakkan diagnosis DIC tidak memperhitungkan penyakit dasar yang memicu DIC

    atau keadaan disfungsi hati atau sumsum tulang dari pasien.

    Pada pasien dengan penyakit hati, diagnosis DIC sangatlah rumit, sehubungan

    dengan fungsi hati sendiri untuk mempertahankan keseimbangan hemostasis. Pada

    keadaan hemostasis normal, pembersihan faktor jaringan, faktor-faktor pembekuan

    yang aktif di sirkulasi terutama faktor IX, X dan XI, serta produk penghancuran fibrin

    (FDP) akan dilakukan sistem retikuloendotelial (RES) pada hati. Dari hasil autopsi

    hati pada stadium konsumsi yang seimbang dari DIC, didapatkan bahwa sel-sel

    kuppfer pada hati akan membersihkan deposit-deposit fibrin. Fungsi pembersihan

    oleh hati ini akan mengurangi jumlah trombin dan plasmin yang ada di sirkulasi,

    sehingga akan menutupi efek DIC. Tetapi, pada penyakit hati lanjut, maka hati akan

    kehilangan fungsi pembersihan oleh RES, keadaan ini akan mencetuskan suatu

    keadaan DIC.

    Pada keadaan terjadinya penurunan fungsi pembersihan faktor-faktor

    pembekuan yang aktif oleh hati, pada penyakit hati lanjut juga akan terjadi defisiensi

    dari penghambat plasma (plasma inhibitor), selanjutkan keadaan ini akan sangat

    berkontribusi untuk terjadinya DIC. Pada pasien dengan penyakit hati, faktor-faktor

    yang mungkin dapat memicu terjadinya DIC adalah akibat adanya pelepasan

    prokoagulan oleh sel-sel hepatosit yang mengalami nekrosis, aktifasi dari jalur

  • 28

    intrinsik oleh karena stasis darah pada sistem portal, dan pelepasan endotoksin yang

    berasal dari saluran pencernaan dan tidak dapat dibersihkan oleh hati oleh karena

    adanya gagal hati.

    .1 DIC akut 8-13, 16-18

    Episode dari DIC akut fulminan dapat terjadi sebagai komplikasi dari

    penyakit hati kronik atau akut. Keadaan yang sangat menonjol ini terutama

    terjadi pada pasien sirosis hati yang menjalani peritoneovenous (LeVeen)

    shunts dan pada pasien acute fatty liver of pregnancy. Pasien dengan nekrosis

    hepatik akut dan gagal hati dengan berbagai macam etilogi juga dapat

    mengalami DIC akut ini.

    Pada pasien penyakit hati dengan pintas peritoneovenous

    (peritoneovenous / LeVeen shunt) , hasil laboratorium yang menunjukan

    adanya DIC sangat bervariasi. Pada suatu penelitian didapatkan bahwa 10 dari

    11 pasien sirosis hati mengalami DIC setelah dilakukan pemasangan pintas

    peritoneovenous. Rubinstein melaporkan bahwa 14 dari 27 pasien mengalami

    DIC setelah pemasangan pintas peritoneovenous, kejadian DIC ini lebih

    cenderung terjadi pada pasien dengan sirosis hati dibandingan pasien dengan

    penyakit peritoneal. Pada penelitian yang lain didapatkan pasien dengan

    metastasis hepatik dan asites yang memerlukan pemasangan pintas, 4 dari 9

    dari 9 pasien mengalami DIC. Kejadian DIC ini bermanifestasi sebagai

    perdarahan yang berlebihan, sehingga mengindikasikan untuk ligasi pintas

    peritoneovenous.

    Setelah pemasangan pintas peritoneovenous, didapatkan umur

    trombosit dan fibrinogen berkurang secara bermakna. Etiologi terjadinya DIC

  • 29

    setelah pemasangan pintas peritoneovenous masih belum pasti. Endotoksin,

    tromboplastin dan kolagen yang mudah larut didapatkan pada cairan asites dan

    mencapar sirkulasi melalui pintas peritoneovenous ini. Hal inilah yang diduga

    menjadi faktor pencetus terjadinya DIC. Aspirin dapat digunakan untuk

    mengembalikan umur trombosit dan fibrinogen, tetapi hal ini jelas tidak

    mungkin diberikan untuk pencegahan terjadinya DIC pada pasien dengan

    penyakit hati lanjut. Infus AT III telah dicoba diberikan pada pasien dengan

    pintas peritoneovenous, tetapi hal ini ternyata tidak juga berhasil untuk

    mencegah terjadinya DIC.

    Pasien acute fatty liver of pregnancy dapat mengalami gangguan

    perdarahan dan sulit dibedakan dengan adanya DIC akut pada pasien ini, yang

    disertai dengan berbagai macam derajat defisiensi faktor-faktor pembekuan,

    trombositopenia, hipofibrinogenemia dan pengkatan jumlah FDP. Gambaran

    yang menyolok pada kelainan ini adalah kadar AT III yang sangat rendah,

    bahkan bisa kadar AT III tidak terdeteksi. Abnormalitas fungsi hati dan

    hemostasis pada pasien ini akan terus berlangsung sampai jangka waktu

    tertentu setelah melahirkan. Terapi untuk gangguan perdarahan pada pasien ini

    adalah dengan transfusi agresif dengan darah dan produk darah. Perbaikan

    parameter laboratorium dan klinis dilaporkan pada pasien ini setelah

    mendapatkan terapi konsentrat AT III.

    Gagal hati berat ditandai dengan rendahnya produksi prokoagulan,

    abnormalitas sintesis dan fungsi faktor-faktor pembekuan, peningkatan

    fibrinolisis dan gangguan pembersihan faktor-faktor pembekuan yang aktif

    dan FDP oleh hati. Abnormalitas parameter laboratorium pada defek

  • 30

    hemostasis pada keadaan ini meliputi beberapa parameter yang juga

    digunakan untuk menegakan diagnosis DIC, yaitu : pemanjangan PT, aPTT,

    dan TT, penurunan masa aktif fibrinogen, dan peningkatan FDP. Peningkatan

    kadar faktor VIII:C pada penyakit hati akan membedakan keadaan dengan

    adanya DIC fulminan. Memang merupakan hal yang sangat sulit untuk

    menggunakan test standar klinis ini untuk membedakan keadaan gangguan

    perdarahan yang diakibatkan oleh penyakit hati atau oleh karena adanya DIC.

    Komplek trombin-antitrombin (TAT) merupakan suatu pemeriksaan yang

    dapat mengetahui formasi trombin, peningkatan TAT pada pasien dengan

    gagal hati fulminan menandakan adanya DIC yang menyertai pada pasien

    dengan gagal hati fulminan ini.

    .2 DIC kronik 8-13, 16-18

    Karena didapatkan adanya persamaan abnormalitas parameter

    laboratorium pada pasien dengan penyakit hati lanjut dan DIC kronik, hal ini

    menjadikan sulit untuk membedakan pasien dengan hepatitis kronik aktif dan

    sirosis hati yang disertai dengan DIC atau adanya gangguan koagulapoti yang

    diinduksi oleh penyakit hati, yang hampir sama gangguan hemostasisnya

    dengan DIC. Adanya DIC kronik pada pasien dengan penyakit hati lanjut,

    ditandai dengan waktu paruh fibrinogen yang memendek, dan dapat dikoreksi

    dengan pemberian heparin atau infus AT III, tetapi tidak dapat dikoreksi

    dengan pemberian penghambat fibrinolisis. Fibrinopeptida A (FpA) dipecah

    dari fibrinogen oleh trombin, dan FpA ini dapat digunakan sebagai indeks

    untuk mengetahui aktifitas trombin. Peningkatan kadar FpA yang didapatkan

  • 31

    pada pasien sirosis hati, hepatitis kronik aktif, autoimun hepatitis kronik aktif

    menandakan adanya aktifitas trombin yang berlebihan. Pemberian heparin

    akan menurunkan kadar FpA menjadi normal pada pasien ini. FDP, produk-

    produk penghancuran dari anyaman fibrin, dan D-dimer didapatkan meningkat

    kadarnya didalam plasma pada pasien dengan penyakit hati kronik.

    Peningkatan kadar komplek TAT dan FDP di dalam plasma diduga

    meningkatkan aktifitas trombin bersamaan dengan hiperfibrinolisis. Pada

    penelitian yang lain dilaporkan adanya peningkatan kadar komplek TAT pada

    pasien dengan sirosis hati, dimana kadar fibrin yang mudah larut dan D-dimer

    tidak meningkat, sepanjang kadar AT III masih dalam batas normal.

    Peningkatan kadar komplek TAT pada pasien dengan penyakit hati tidaklah

    menunjukkan adanya peningkatan produksi dari trombin, melainkan akibat

    akibat menurunnya proses pembersihan oleh hati, dimana hati bertanggung

    jawab membersihkan (clearence) lebih dari 80% TAT didalam sirkulasi.

    Walaupun kenyataan menunjukkan adanya kejadian DIC kronik subklinik

    pada pasien dengan penyakit hati lanjut, hal ini masih merupakan kontroversi.

    Dari hasil autopsi pasien dengan penyakit hati kronik atau akut, didapatkan

    gambaran histopatologi yang sesuai dengan DIC, yaitu ditemukannya

    mikrotrombus pada lebih dari satu organ.

    Pada pasien dengan penyakit hati lanjut, akan mempunyai komplikasi

    gangguan hemostasis, termasuk gangguan sintesis dan pembersihan dari

    faktor-faktor pembekuan, trombositopeni, defisiensi faktor penghambat proses

    hemostasis, disfibrinogenemia dan proses fibrinolisis yang abnormal. Hasil

    akhir dari gangguan koagulapati pada pasien dengan penyakit hati lanjut ini

  • 32

    akan sulit dibedakan dengan DIC kronik subklinik. Pasien dengan penyakit

    hati lanjut akan sangat mudah untuk terjadi DIC akut bila disertai dengan

    stress lainnya seperti pembedahan, infeksi, hipotensi dan prokoagolan yang

    berlebihan yang berasal dari pintas cairan asites. Sehingga mekanisme

    hemostasis pada pasien dengan penyakit hati lanjut dimana didapatkan

    manifestasi laboratorium yang sesuai dengan DIC kronik terkompensasi atau

    adanya produksi yang rendah dari prokoagulan akan sangat sulit untuk

    mempertahankan keadaan seimbang antara perdarahan dan trombosis.

    2.2.4 DEFEK TROMBOSIT PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT HATI

    Defek kualitatif dan kuantitatif trombosit terjadi pada pasien dengan penyakit hati.

    Secara umum, patofisiologi abnormalitas trombosit ini bersifat multifaktorial.

    .1 Defek kuantitatif pada trombosit 8-13,19

    Trombositopeni sering ditemukan pada pasien dengan penyakit hati

    kronik maupun akut dan biasanya disebabkan oleh hipersplenisme dimana

    terjadi pengumpulan trombosit pada lien (splenic pooling) dan destruksi

    trombosit yang berlebihan. Pada individu normal, 20%-40% dari total

    trombosit yang bersirkulasi berada di dalam lien, tetapi pada keadaan

    splenomegali hampir 90% trombosit terkumpul di dalam lien. Pada pasien

    dengan hepatitis virus akut, hampir 20% pasien terdapat splenomegali. Tetapi,

    sampai saat ini belum dapat dirumuskan korelasi antara jumlah trombosit

    dengan ukuran besarnya lien. Tetapi yang jelas dapat disimpulkan bahwa

    splenomegali dapat menyebabkan trombositopeni.

  • 33

    Umur trombosit biasanya juga berkurang pada pasien dengan penyakit

    hati, terutama pada pasien hepatitis C dan autoimun hepatitis, hal ini

    dihubungkan dengan adanya IgG . Trombopoetin diproduksi oleh sel hati dan

    konsentrasi yang rendah dari trombopoetin ini akan menyebabkan respon yang

    tidak adekuat dari sumsum tulang terhadap trombositopeni.

    Pasien dengan penyakit hati yang disebabkan oleh alkohol, mempunyai

    mekanisme yang berbeda terhadap adanya trombositopeni, dimana akan

    mengurangi produksi trombosit oleh megakariosit dan akan mempercepat

    penghancuran trombosit. Defisiensi asam folat juga berkontribusi terhadap

    gangguan trombopoesis. Hepatitis virus fulminant akan disertai dengan

    penurunan jumlah trombosit yang sangat bermakna. Infeksi virus akan

    menghambat megakariopoesis serta akan mempercepat destruksi trombosit

    diperifer yang diperantarai oleh komplek imun atau kerusakan vaskuler.

    Peningkatan penghancuran trombosit yang diperantarai konsumsi trombin

    seperti DIC atau oleh karena mekanisme imun, merupakan hal yang patut

    dipikirkan menjadi penyebab trombositopeni pada pasien dengan penyakit

    hati. Trombosit yang diambil dari beberapa pasien dengan penyakit hati

    dengan berbagai penyebab, termasuk hepatitis virus, hepatitis , hepatitis kronik

    aktif, sirosis dan sirosis bilier primer menunjukan peningkatan jumlah ikatan

    dengan imunoglobulin, yang berhubungan dengan kadar komplek imun yang

    tinggi disirkulasi. Jumlah trombosit dalam hubungannya dengan ikatan

    imunoglobulin, tidak didapatkan adanya korelasi dengan ukuran besarnya lien,

    seperti halnya juga tidak didapatkan korelasi antara jumlah trombosit dengan

    besarnya ukuran lien pada pasien dengan penyakiy hati. Peningkatan kadar

  • 34

    imunoglobulin tidak dapat digunakan sebagai prediktor untuk menentukan

    keadaan trombositopeni, karena peningkatan kadar imunoglobulin kadangkala

    juga disertai dengan kadar trombosit yang normal pada pasien dengan hepatitis

    kronik aktif dan hepatitis kronik persisten.

    Meskipun adanya penumpukan trombosit didalam lien atau adanya

    imunoglobulin yang berhubungan dengan penghancuran trombosit, pada

    beberapa pasien dengan penyakit hati lanjut, dapat disertai dengan jumlah

    trombosit yang normal. Pada beberapa penelitian, dilaporkan bahwa 60% dari

    pasien dengan sirosis terkompensasi, yang menunjukkan adanya punumpukan

    trombosit di lien serta penghancuran oleh karena imunoglobulin, jumlah

    trombosit didapatkan dalam batas normal, dengan kompensasi terjadinya

    peningkatan produksi trombosit menjadi dua kali lipat. Tampaknya

    trombositopeni terjadi jika sumsum tulang belakang tidak dapat lagi

    mengkompensasi untuk meningkatkan produksi trombosit terhadap keadaan

    dimana terjadi peningkatan penghancuran trombosit yang bersirkulasi. Adanya

    infeksi, obat-obatan, toksin, dan gangguan nutrisi juga akan menekan aktifitas

    sumsum tulang belakang untuk memproduksi tormbosit, dan pada akhirkan

    akan memperburuk keadaan trombositopeni. Etanol dan defisiensi asam folat

    merupakan penyebab utama terjadinya trombositopeni pada pasien dengan

    hepatitis , karena terjadi penghambatan pematangan megakariosit dan

    memperpendek umur trombosit yang bersirkulasi. Penghentian konsumsi

    dapat menormalkan kembali jumlah trombosit dalam kurun waktu sekitar 3

    minggu. Masa pemulihan ini, ditandai dengan didapatkannya megatrombosit,

  • 35

    yang merupakan trombosit yang belum matur, tetapi telah beredar di dalam

    sirkulasi.

    Trombositopeni berat sebagai akibat sekunder dari adanya anemia aplastik

    terjadi pada 1 dari 500 kasus pada hepatitis akut, keadaan ini memiliki angka

    kematian yang cukup tinggi, walaupun telah dilakukan terapi agresif dengan

    transpalantasi sumsum tulang.

    .2 Defek kualitatif pada trombosit 8-13,19

    Abnormalitas fungsi trombosit didapatkan pada pasien penyakit hati

    dengan berbagai macam etiologi, ditandai dengan memanjangnya waktu

    perdarahan, gangguan aggregasi dan adhesi trombosit dan ultra struktur

    trombosit yang abnormal. Waktu perdarahan ( bleeding time / BT ) sering

    didapatkan memanjang pada pasien dengan penyakit hati berat dan

    pemanjangan waktu perdarahan ini tidak hanya disebabkan oleh adanya

    trombositopeni. Penyebab disfungsi dari trombosit ini belum dapat dijelaskan

    dengan pasti, walaupun terjadi penurunan jumlah glikoprotein Ib pada

    permukaan trombosit, sehingga terjadi gangguan pada adhesi dan aggregasi

    trombosit pada beberapa pasien, tetapi hal ini tidak terjadi pada semua pasien.

    Pada pasien dengan sirosis hati yang stabil, dilaporkan bahwa respon

    aggregasi dan adhesi trombosit masih dalam batas normal.

    Fungsi trombosit yang abnormal dapat disebabkan oleh adanya defek

    intrinsik pada trombosit dan interaksi yang abnormal antara trombosit,

    permukaan endotel dan faktor-faktor pembekuan. Defek intrinsik pada

    trombosit berhubungan dengan gangguan mekanisme pada transmembran pada

  • 36

    trombosit, gangguan produksi tromboksan, perubahan struktur membran

    trombosit, gangguan ikatan permukaan trombosit dengan faktor vWF dan

    didapatkan defek akibat penumpukan trombosit didalam lien. Penyebab

    disfungsi trombosit ini juga diduga akibat adanya trombosit inhibitor didalam

    sirkulasi ( fibrin degradation products / FDP ) yang tidak dapat dibersihkan

    dari sirkulasi secara adekuat karena adanya disfungsi hati. FDP akan

    menyebabkan gangguan dalam aggregasi trombosit. Adanya disfibrinogenemia

    juga akan menyebabkan gangguan pada proses aggregasi den adhesi

    trombosit.

    Gangguan fungsi trombosit pada pasien dengan penyakit hati atau pada

    individu normal pada umumnya, disebabkan oleh obat-obatan yang

    mengganggu fungsi trombosit, misalnya aspirin. Pada individu normal, aspirin

    hanya akan menyebabkan pemanjangan waktu perdarahan yang ringan, tetapi

    pada pasien dengan penyakit hati, terjadi pemanjangan waktu perdarahan yang

    berat. Pada pasien penyakit hati, yang telah mempunyai gangguan hemostasis

    subklinik sebelumnya, gangguan fungsi trombosit yang diperberat oleh obat-

    obatkan, akan mencetuskan terjadi gangguan perdarahan yang hebat.

  • 37

    MASALAH HEMOSTASIS PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT HATI YANG

    AKAN MENJALANI PROSEDUR INVASIF

    .1 PEMBEDAHAN 8-13,19,20

    Pasien dengan penyakit hati lanjut, mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya

    perdarahan jika menjalani pembedahan. Pemanjangan PT (protrombine time)

    merupakan indikator utama untuk memperkirakan adanya masalah perdarahan selama

    selama proses pembedahan dan setelah proses pembedahan.

    Pembedahan saluran bilier pada pasien sirosis hati akan mempunyai resiko yang

    sangat berat. Pada 55 pasien yang menjalani operasi kholesistektomi, dilaporkan 9%

    mengalami kematian pada pasien dengan sirosis hati, dibandingkan hanya 1,1% yang

    mengalami kematian pada pasien tanpa adanya sirosis hati. Angka kematian

    didapatkan sekitar 83% pada pasien dengan sirosis hati dengan PT yang memanjang

    2.5 kali dari kontrol yang menjalani operasi kholesistektomi, walaupun telah

    dilakukan terapi profilaksis dengan memberikan produk darah sebelum menjalani

    operasi. Perdarahan selama operasi menjadi penyebab utama kematian pada 60%

    pasien.

    Pemotongan sebagian dari lobus hati pada trauma atau keganasan juga akan

    mempunyai resiko terjadinya perdarahan yang masif. Setelah operasi, biasanya

    didapatkan penurunan kadar faktor-faktor pembekuan yang tergantung dengan

    vitamin K. Adanya DIC dan keadaan hiperkoagulasi yang terjadi setelah hepatektomi

    parsial juga merupakan komplikasi setelah proses pembedahan yang harus

    diwaspadai.

  • 38

    .2 TRANSPLANTASI HATI 8-15,19,20

    Pada pasien yang menjalani transplantasi hati, dapat terjadi gangguan hemostasis

    yang berat, yang sangat memerlukan penatalaksanaan yang tepat. Berdasarkan

    keadaan hemostasis, proses transplantasi hati dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu : fase

    reseksi / pemotongan hati, fase anhepatik, fase pemulihan sirkulasi pada hati yang

    baru. Selama proses pembedahan , perdarahan dapat terjadi pada setiap fase.

    Kehilangan darah akan sangat banyak, sehingga persiapan produk darah sebelum

    operasi sangatlah penting. Produk darah yang harus disediakan antara lain adalah

    PRC, FFP, crioprecipitate, dan trombosit. Angka kematian akibat perdarahan pada

    transplantasi hati selama proses pembedahan mencapai 20%, karena itu persiapan

    produk darah untuk mengantisipasi perdarahan harus dipersiapkan sebaik mungkin.

    Beberapa faktor berperan dalam menyebabkan perdarahan yang hebat pada proses

    transplantasi hati. Perdarahan terutama terjadi pada saat pengangkatan hati pada

    resipien, terutama pada pasien yang sebelumnya telah menjalani proses pembedahan

    hepatobilier dan saat proses melakukan proses anastomose vaskular pada vena cava

    inferior, vena porta, dan arteri hepatika resipien. Perdarahan dari pembuluh darah

    kolateral dapat terjadi pada pasien yang sebelumnya telah mempunyai hipertensi

    portal, dan keadaan ini akan lebih diperberat, karena biasanya pasien yang menjalani

    transplantasi hati adalah pasien dengan penyakit hati stadium akhir, dimana telah

    terjadi gangguan hemostasis sebelumnya. Pada saat fase anhepatik, gangguan

    koagulasi akan semakin berat, sampai beberapa jam setelah proses transplantasi hati.

    Gangguan proses hemostasis ini terus berlangsung sampai tercapainya perfusi yang

    baik pada hati yang ditransplantasi, dan fungsi hati dapat berjalan dengan baik. Pada

    beberapa pasien, gangguan koagulasi yang terjadi pada saat awal setelah proses

  • 39

    transplantasi hati dapat sangat berat dan perdarahan yang terjadi dapat mengancam

    nyawa.

    Mekanisme yang mendasari terjadinya gangguan hemostasis pada fase anhepatik

    dan revaskularisasi hati sangat komplek, gangguan ini berupa kombinasi antara proses

    fibrinolisis sistemik dan DIC. Fibrinolisis sistemik berat terjadi karena aktivitas yang

    berlebihan dari tPA, menurunnya kadar 2-antiplasmin dan PAI-1, yang menyebabkan

    penurunan kadar plasminogen, memperpendek euglobulin lysis time dan peningkatan

    kadar FDP, yang terjadi pada fase anhepatik dan fase revakularisasi hati. DIC yang

    terjadi pada transplantasi hati karena gangguan pembersihan faktor faktor

    pembekuan yang aktif, material prokoagulan yang dilepaskan pada proses tranplastasi

    hati, kerusakan sel endotel pada saat revaskularisasi hati. Trombositopeni berat juga

    dapat terjadi karena proses DIC atau proses fagositosis oleh sel kuppfer hati, dan

    keadaan ini akan memperberan gangguan hemostasis yang telah ada.

    Penatalaksanaan perdarahan yang berhubungan dengan transplantasi hati juga

    sangat tergantung pada penanganan perdarahan secara pembedahan dan pemberian

    produk-produk darah. Pada keadaan dimana terjadi reaksi penolakan transplantasi

    oleh resipien sehingga tidak terjadi revaskularisasi pada hati, maka gangguan

    koagulasi akan sangat berat dan ini menandakan prognosis yang buruk bagi pasien.

    Pada fase anhepatik, terjadi proses hiperfibrinolisis, pada saat ini dapat diberikan anti

    fibrinolitik, jika terjadi perdarahan yang sangat hebat. Tidak ada laporan yang

    menyatakan adanya komplikasi trombo emboli pada pemberian anti fibrinolitik ini.

    Anti fibrinolitik mungkin tidak diperlukan bila proses revaskularisasi hati donor oleh

    resipien berlangsung cepat. Beberapa peneliti juga merekomendasikan pemberian AT

    III untuk menghambat pembentukan trombin, sebelum memberikan anti fibrinolitk.

  • 40

    Pemberian AT III ini diharapkan akan mengurangi komplikasi trombosis pada pasien

    DIC yang diberikan anti fibrinolitik. Pemberian AT III selama proses pembedahan ini,

    tidak akan mengurangi kebutuhan produk darah yang harus ditransfusikan.

    Selama periode setelah proses pembedahan, dimana proses koagulasi dan aktifitas

    fibrinolisis telah berjalan dengan normal, keadaan hiperkoagulasi dapat terjadi sebagai

    akibat dari adanya trombosis hepatik dan pembuluh darah portal. Keadaan ini terjadi

    diduga karena kembalinya faktor-faktor prokoagulan lebih cepat dibandingkan

    kembalinya anti koagulan, AT III, protein C dan protein S. Heparin dosis rendah dan

    pemberian transfusi FFP serta mempertahankan keadaan dengan hemotokrit yang

    sedikit rendah, diperlukan untuk mengurangi komplikasi trombosis ini. Tampaknya,

    AT III dan protein C sangat bermanfaat diberikan pada periode paska pembedahan.

    .3 BIOPSI HATI 8-20

    Biopsi hati kadang kala perlu dilakukan pada pasien dengan penyakit hati lanjut

    yang telah mempunyai gangguan koagulapati. Biopsi dengan menggunakan jarum

    perkutaneus pada pasien ini akan mempunyai resiko perdarahan yang cukup besar,

    karena jarum biopsi dapat mengenai arteri atau sirkulasi portal yang telah mengalami

    bendungan. Sehingga pada pasien dengan PT dan aPTT yang memanjang

    trombositopeni dengan jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm3, adanya asites dan

    riwayat gangguan hemostasis sebelumnya, biopsi hati tidak direkomendasikan untuk

    dilakukan.

    Cara lain untuk melakukan biopsi hati adalah dengan tehnik biopsi hati

    transvenous, untuk menghindari komplikasi perdarahan pada pasien dengan penyakit

    hati lanjut yang disertai dengan gangguan hemostasis berat. Tehnik ini pada

  • 41

    prinsipnya menggunakan cara dengan menempatkan kateter melalui vena jugularis

    menuju ke vena hepatika. Tehnik ini dilaporkan jauh lebih aman mengurangi resiko

    perdarahan dari pada dengan tehnik biopsi perkutaneus.

    Tehnik biopsi hati perkutaneus dengan menggunakan sumbat hemostatik sintetik

    yang bisa diserap (Gelfoam), juga dapat menjadi pilihan tehnik untuk melakukan

    biopsi hati, untuk mengurangi komplikasi perdarahan pada pasien dengan gangguan

    hemostasis.

    Untuk menghindari terjadinya perdarahan pada biospi hati, pasien dengan

    pemanjangan PT lebih dari 3 kali kontrol dan jumlah trombosit yang kurang dari

    80.000/mm3, pemberian transfusi FFP dan trombosit direkomendasikan, terutama

    untuk tehnik biopsi hati perkutaneus.

    .4 PROSEDUR INVASIF LAINNYA 8-20

    Pasien dengan penyakit hati sering memerlukan tindakan invasif dalam

    penatalaksanaannya, seperti pungsi lumbal, parasintesis, thorakosintesis, dan

    pemasanan kateter vena sentral serta kateter arteri. Prosedur ini memang tidak

    mempunyai angka morbiditas yang tinggi seperti tindakan pembedahan lainnya, tetapi

    resiko terjadinya perdarahan pada pasien ini tetap harus menjadi bahan pertimbangan

    sebelum melakukan tindakan. Sampai saat ini masih menjadi perdebatan, apakah

    perlu memberikan transfusi produk darah sebelum melakukan tindakan. Yang paling

    penting dipertimbangkan adalah seberapa invasifnya tindakan yang akan dilakukan

    dan petugas yang melakukan tindakan hendaknya yang telah berpengalaman.

    Perdarahan yang terjadi pada tindakan ini, dapat menjadi masalah yang cukup serius

    bila perdarahan terjadi pada tempat yang membahayakan, misalnya pada sistem saraf

  • 42

    pusat. Penggunaan jarum yang paling kecil yang masih bisa digunakan untuk tindakan

    fluoroskopi atau tindakan lainnya, dapat mengurangi komplikasi perdarahan.

    Untuk melakukan tindakan invasif, tetap harus diperhatikan fungsi hemostatis

    pada pasien dengan penyakit hati ini. Pemberian produk darah sebelum tindakan,

    tampaknya memang belum diperlukan pada pasien dengan pemanjangan PT yang

    tidak lebih 2,5 kali dari kontrol dan jumlah trombosit tidak kurang dari 100.000/mm3.

    Tetapi pada pasien dengan pemanjangan PT lebih dari 3 kali kontrol dan jumlah

    trombosit kurang dari 50.000/mm3, dapat diberikan FFP sebanyak 2 sampai 4 unit

    dengan atau tanpa pemberian transfusi trombosit. Prosedur invasif ini dapat segera

    dilakukan setelah transfusi tanpa menunggu hasil laboratorium.

  • 43

    TATA LAKSANA PERDARAHAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT HATI

    Perdarahan yang berlebihan pada pasien dengan penyakit hati lanjut

    dilaporkan frekuensinya cukup sering, yaitu sekitar 15%-30% pada pasien dengan

    penyakit hati kronik, dan frekuensi yang cukup tinggi pula pada pasien hepatitis

    fulminan dan sirosis dekompesata. Perdarahan abnormal ini dapat terjadi secara

    spontan, tetapi juga dapat juga dicetuskan oleh tindakan operasi, gastritis dan ruptur

    varises esofagus. Adanya kelainan anatomis juga turut berperan dalam terjadinya

    perdarahan selain masalah gangguan sistem hemostasis pada pasien dengan dengan

    penyakit hati. Hal ini didukung oleh data, didapatkan bahwa ternyata kejadian

    perdarahan saluran pencernaan bagian atas, berkurang pada pasien hepatitis fulminan

    yang mendapat terapi profilaksis dengan cimetidine. Terapi terhadap adanya

    perdarahan pada pasien dengan paenyakit hati, hendaknya bila memungkinkan

    dikoreksi juga lesi anatomik yang ada. Terapi suportif dengan produk darah juga

    sangat diperlukan, terutama pada perdarahan yang lama dan berlebihan. Penggunaan

    produk darah untuk profilaksis terutama ditujukan pada prosedur invasive yang akan

    dilakukan pada pasien dengan penyakit hati. 8-13

    Terapi spesifik pada gangguan perdarahan pada pasien dengan penyakit hati

    sangat bervariasi, tergantung pada derajat gangguan hemostasis yang terjadi dan efek

    terhadap perdarahan yang terjadi. Terapi suportif dengan produk darah sangat bersifat

    individual. Terapi terhadap gangguan hemostasis merupakan tujuan utama terhadap

    defisiensi multipel faktor-faktor pembekuan dan penghambat faktor pembekuan

    dengan memberikan terapi vitamin K dan memberikan beberapa produk darah.

  • 44

    4.1 FFP (FRESH FROZEN PLASMA) 8-20

    FFP mengandung banyak prokoagulan dan penghambatnya yang secara

    normal ditemukan di dalam darah dan digunakan untuk terapi gangguan yang

    melibatkan defisiensi multiple berbagai faktor pembekuan. Pasien dengan perdarahan

    dan disertai dengan pemanjangan PT, dapat dikoreksi dengan pemberian FFP 12 20

    ml/kgBB. Pemberian FFP dalam jumlah besar, juga dibatasi oleh volum intravaskuler,

    terutama pada pasien dengan gagal ginjal. Beberapa peneliti, menmganjurkan

    pemakaian plasmapheresis sebelum memakai FFP untuk membatasi volume plasma.

    Efektifitas infus FFP dibatasi oleh waktu paruh berbagai faktor koagulasi, terutama

    faktor VII. Setelah 24 jam pemberian FFP, maka konsentrasi dari berbagai

    prokoagulan akan kembali ke nilai normal, Jika konsumsi prokoagulan berlebihan

    berlebihan, seperti pada keadaan DIC atau perdarahan, lama kerja FFP juga akan

    menurun.

    Pendekatan rasional pada pasien yang mengalami perdarahan dengan

    pemanjangan PT adalah dengan memberikan FFP sebanyak 2 sampai 6 unit ( 12 20

    ml/kgBB). Jika memungkinkan, PT dimonitor pada saat pemberian FFP untuk

    mendapatkan nilai PT yang diinginkan dan penambahan FFP dapat diberikan sesuai

    kebutuhan untuk mengoreksi PT sepanjang perdarahan yang masih berlangsung. Bila

    koreksi PT tidak didapatkan setelah pemberian FFP, perlu dipikirkan adanya inhibitor

    prokoagulan atau FDP yang berlebihan di dalam sirkulasi dan adanya disfibrinogen.

    Walaupun koreksi PT tidak didapatkan, pemberian FFP secara kontinyu dengan

    interval 6 12 jam, tetap direkomendasikan, jika perdarahan yang mengancam nyawa

    masih terus berlangsung.

  • 45

    4.2 VITAMIN K 8-14, 16-18,21

    Pasien dengan penyakit hati dan koagulopati, biasanya didapatkan

    pemanjangan PT, dan hal ini tidak dapat dibedakan dengan kelainan akibat defisiensi

    vitamin K. Pada keadaan dimana tidak didapatkan obstruksi bilier, maka tidak

    mungkin kelaianan hemostasis akan memberikan respon yang baik terhadap

    pemberian vitamin K, tetapi karena pemberian vitamin K tidak membahayakan, maka

    beberapa peneliti tetap merekomendasikan pemberian vitamin K pada keadaan

    dimana terjadi perdarahan atau sebelum prosedur invasif yang mungkin akan

    menyebabkan terjadinya perdarahan.

    Pada kasus dengan perdarahan masif maka pemberian FFP merupakan terapi

    inisial, vitamin K1 merupakan terapi pilihan untuk defisiensi vitamin K. Masih

    manjadi kontroversi mengenai dosis dan rute pemberian vitamin K, apakah

    intramuskuler, subkutan atau intravena. Oleh karena ada resiko hematom pada

    pemberian intramuskular, dan absorbsi yang tidak dapat diprediksi pada pemberian

    subkutan, maka pemberian intravena menjadi pilihan terbaik. Tetapi harus

    diperhatikan, pada pemberian vitamin K1 secara intravena, harus diberikan secara

    perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Dosis sebanyak 15 mg

    direkomendasikan untuk pemberian secara intravena. Efek terhadap terapi vitamin K

    akan terlihat dalam 12 jam pemberian. Pasien dengan obstruktive jaundice atau pasien

    yang mendapat terapi antibiotik memerlukan dosis pemeliharaan.

    4.3 CRYOPRECIPITATE 8-20

    Cryoprecipitate merupakan suatu endapan FFP yang diencerkan pada suhu 4

    C, yang kaya akan faktor VIII, vWF dan fibrinogen. Jumlah protein yang terkandung

  • 46

    dari tiap-tiap unit berbeda, tetapi rata-rata sekitar 200 250 mg per unit.

    Cryoprecipitate biasanya digunakan untuk terapi episode perdarahan pada pasien

    dengan hipofibronogenia, baik itu kelainan kongenital ataupun yang didapat. Selama

    episode perdarahan, pasien dengan kadar fibrinogen kurang dari 100 ml/dl,

    cryoprecipitate dapat diberikan 1 4 unit per 10 kgBB untuk mempertahankan kadar

    fibrinogen diatas 100 ml/dl.

    4.4 KOMPLEK PROTROMBIN 8,10,19,20

    Komplek protrombin (PTC) merupakan suatu konsentrat faktor II, VII, IX dan

    X, yang didapat dari plasma 1000 3000 donor. Keuntungan dari komplek

    protrombin ini adalah bahwa konsentrat mengandung faktor pembekuan II, VII, IX

    dan X yang sangat tinggi dengan volume plasma yang relatif lebih kecil. Konsentrat

    ini sangat berguna untuk terapi defisiensi faktor II, VII, IX dan X pada pasien yang

    tidak dapat mentoleransi transfusi FFP dalam volume yang banyak.

    Karena pasien yang mendapat transfusi komplek protrombin ini akan terpapar

    oleh produk darah yang berasal dari banyak donor, maka pemberian transfusi komplek

    protrombin sangat dibatasi, dan dengan indikasi yang benar-benar tepat, untuk

    menghindari terjadinya penularan infeksi yang berhubungan dengan transfusi

    (hepatitis, HIV), reaksi anafilaksis, trombosis dan DIC. Trombosis dapat terjadi pada

    pasien dengan penyakit hati, yang terjadi setelah pemberian komplek protrombin ini

    terjadi karena adanya peningkatan kadar faktor II, VII, IX dan X akibat aktifitas

    pembersihan faktor-faktor pembekuan oleh hati yang menurun dan kadar AT III yang

    rendah. Akibat banyak efek yang tidak menguntungkan dari pemberian komplek

    protrombin ini, maka pemberiannya sangat dibatasi pada pasien dengan penyakit hati

  • 47

    lanjut yang telah mempunyai gangguan hemostasis. Pemberian komplek protrombin

    ini lebih diindikasikan pada pasien yang mengalami perdarahan yang bersifat

    mengancam nyawa, yang tidak dapat diatasi dengan pemberian produk darah yang

    lainnya.

    4.5 TROMBOSIT 8,10,16-20

    Transfusi trombosit diindikasikan pada pasien dengan trombositopeni yang

    mengalami perdarahan aktif. Respon normal transfusi trombosit akan meningkatkan

    jumlah trombosit sebanyak 10.000/mm3 setiap pemberian satu unit transfusi. Pada

    pasien dengan penyakit hati, karena adanya penumpukan trombosit di dalam lien

    (splenic pooling) dan peningkatan konsumsi trombosit yang berlebihan karena adanya

    perdarahan, maka pada pasien ini respon peningkatan trombosit setelah transfusi

    trombosit tidak seperti yang diharapkan. Pemberian transfusi trombosit diteruskan

    sampai perdarahan sudah dapt diatasi, dan kadar trombosit telah mencapai 100.000/

    mm3. Pada pasien trombositopeni yang akan menjalani tindakan pembedahan,

    transfusi trombosit sebelum operasi dapat dipertimbangkan, terutama pada pasien

    dengan kadar trombosit kurang dari 100.000/mm3. Tranfusi trombosit masih harus

    diteruskan sampai periode setelah tindakan pembedahan untuk mempertahan kadar

    trombosit lebih dari 100.000/mm3. Pada pasien trombositopeni yang akan menjalani

    tindakan invasif ringan seperti parasintesis dan thorakosintesis, tindakan dapat

    dilakukan dengan aman tanpa transfusi trombosit walaupun kadar trombosit 50.000/

    mm3. Tetapi tindakan ini harus dilakukan oleh operator yang berpengalaman.

  • 48

    4.6 HEPARIN DAN AT III 8,10,16-18,21

    Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pasien dengan penyakit hati lanjut akan

    didapatkan keadaan dengan peningkatan aktifitas trombin yang berlebihan yang sulit

    dibedakan dengan DIC. Pemberian terapi heparin dan AT III dimaksudkan untuk

    membatasi aktifitas trombin, menurunkan konsumsi prokoagulan dan

    mempertahankan parameter hemostasis dalam batas normal. Walaupun beberap kasus

    dilaporkan adanya manfaat pemberian terapi heparin dan AT III pada pasien dengan

    penyakit hati ini untuk memperbaiki parameter laboratorium hemostasis, namun

    belum ada penelitian yang pasti untuk menjamin keamanan pamakaian heparin dan

    AT III secara rutin pada pasien dengan penyakit hati. Pada kasus pasien dengan gagal

    hati akut yang disebabkan oleh intoksikasi parasetamol, pemberian heparin dosis

    penuh, ternyata tidak memberikan hasil klinis yang memuaskan.

    4.7 DDAVP 8,10,16-18,21

    Penggunaan peptide 1-deamino-8-D-arginine vasopressin (DDAVP) pada pasien

    dengan sirosis hati dapat memperpendek waktu perdarahan (bleeding time) dan

    meningkatan kadar vWF di dalam plasma. Beberapa kasus dilaporkan, juga

    didapatkan peningkatan kadar faktor VII, VIII, IX, XI dan XII yang disertai dengan

    pemendekan PT dan aPTT pada pasien dengan penyakit hati lanjut, tetapi hal ini

    belum dikonfirmasi dengan penelitian yang akurat. Pada kebanyakan pasien dengan

    penyakit hati, biasanya didapatkan kadar faktor vWF dan faktor VIII yang sudah

    meningkat, sehingga penggunaan DDAVP pada pasien dengan penyakit hati ini masih

    belum pasti. Tetapi karena sampai saat ini penggunaan DDAVP pada pasien dengan

    penyakit hati belum ada laporan mengenai efek samping penggunaannya, maka pada

  • 49

    pasien dengan penyakit hati yang mengalami perdarahan yang tidak dapat diatasi

    dengan cara lain, maka pemberian DDAVP dapat dipertimbangkan.

    4.8 ANTI FIBRINOLITIK 8,10,21

    Asam traneksamat dan -aminocaproic dapat menghambat proses fibrinolisis.

    Obat ini telah banyak digunakan untuk terapi hiperfibrinolisis primer atau sekunder,

    termasuk pasien dengan penyakit hati yang disertai dengan hiperfibrinolisis.

    Pemberian antifibrinolitik ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan DIC, karena

    akan menyebabkan trombosis. Oleh karena diagnosis DIC sangat sulit ditegakkan

    pada pasien dengan penyakit hati, maka penggunaan antifibrinolitk ini sangat dibatasi.

  • 50

    KESIMPULAN

    Mekanisme sistem hemostasis normal sangat berhubungan dengan fungsi hati.

    Paremkin sel yang normal akan mensisntesis berbagai macam faktor dan penghambat

    dari sistem pembekuan dan fibrinolisis, serta yang juga memegang peranan penting

    adalah sistem retikulo endothelial (RES) pada hati yang merupakan tempat utama

    untuk pembersihan ( clearance ) berbagai faktor aktif dan faktor penghambat yang

    aktif yang berperan dalam proses hemostasis ( pembekuan dan fibrinolisis ).

    Gangguan hemostasis pada pasien dengan penyakit sangat tergantung dengan derajat

    penyakit hati yang diderita.

    Defek hemostasis yang ditemukan pada pasien dengan sirosis hati sangat luas

    variasi klinis yang didapatkan, tergantung pada beratnya gangguan sintesis berbagai

    faktor dan penghambat dalam proses pembekuan dan fibrinolisis. Berbagai faktor dan

    penghambat yang berperan dalam proses hemostasis biasanya menurun kadarnya pada

    pasien dengan penyakit hati, terutama faktor-faktor pembekuan yang tergantung

    dengan vitamin K. Pasien dengan sirosis hati, biasanya disertai dengan keadaan

    hiperfibrinolisis dan DIC, serta trombositpeni dan trombositopathi.

    Pada penyakit hepatoseluler akut dan kronik akan didapatkan kadar faktor

    pembekuan yang tergantung dengan vitamin K, terutama faktor VII dan protein C,

    sedangkan faktor- faktor pembekuan yang lain masih didapatkan dalam batas normal.

    Tetapi jika penyakit hati berlanjut menjadi gagal hati yang berat, maka akan

    didapatkan gangguan hemostasis seperti yang terdapat pada pada pasien dengan

    sirosis hati.

  • 51

    Defisiensi vitamin K akan menyebabkan gangguan produksi faktor pembekuan

    yang tergantung dengan vitamin K, sedangkan parameter hemostasis lainnya masih

    didapatkan dalam batas normal.

    Pada pasien dengan penyakti hati yang akan menjalani tindakan pembedahan

    ataupun prosedur invasif lainnya, harus menilai secara cermat adanya gangguan

    hemostasis pada pasien tersebut, untuk mengantisipasi komplikasi perdarahan yang

    mungkin terjadi selama pembedahan maupun setelah pembedahan. Pada pasien yang

    menjalani pintas peritoneovenous (Le Veen) dapat mencetuskan terjadinya DIC,

    pasien yang menjalani pemotongan (reseksi) hati, dapat terjadi komplikasi perdarahan

    yang harus diatasi dengan tindakan pembedahan ataupun dengan memberikan

    transifusi produk-produk darah. Pada tindakan transplantasi hati, perdarahan yang

    hebat harus sudah diantisipasi sebelumnya, sehingga tindakan transplantasi ini dapat

    berhasil dengan baik, dengan komplikasi perdarahan yang dapat diatasi. Perdarahan

    pada proses transplantasi hati lebih banyak dipengaruhi oleh aktifasi dari sistem

    fibrinolisis, hal ini dapat terjadi pada fase anhepatik dan selama fase re-perfusi.

    Hiperfibrinolisis dipicu oleh pelepasan t-PA yang berlebihan. Obat antifibrinolitik

    harus diberikan sesuai indikasi yang tepat, karena pemberian obat antifibrinolitik yang

    tepat dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah dan produk darah lainnya. Pada

    pasien dengan penyakit hati, pemberian obat antifibrinolitik yang tidak tepat, dapat

    menyebabkan terjadinya trombosis, yang akan membahayakan pasien.

    Beberapa prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan untuk tatalaksana

    perdarahan pada pasien dengan penyakit hati adalah sebagai berikut :11

    1. Pemberian trombosit untuk mempertahankan jumlah trombosit > 50.000/mm3

    2. Pemberian DDAVP ( 0,3 gr/kgBB i.v) untuk meningkatkan fungsi trombosit

  • 52

    3. Pemberian FFP untuk mengganti faktor-faktor pembekuan, dan/atau

    pemberian faktor VIIa untuk mencegah volume yang berlebihan pada

    pemberian FFP.

    4. Pertahankan kadar fibrinogen > 150 mg/dL

  • 53

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Stoelting. MD. Hemostasis and Blood Coagulation. In : Pharmacology and

    Physiology in Anesthethic Practice, 3rd ed. Philadelphia : Lippincott-Raven,

    1999 : 762-5.

    2. Martini FH. Blood . In: Fundamental of Anatomy & Physiology, 7th ed. San

    Fransisco : Pearson Education Inc, 2006: 660 8.

    3. Colman MD. Overview of Hemostasis. In : Hemostasis and Thrombosis, 4th

    ed. Philadelphia : Lippincott William and Wilkins, 2001 : 3 18.

    4. Collins.VJ. Coagulation Mechanism : Hemostasis and Thrombosis. In:

    Physiology and Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania : William

    and Wilkins, 1996 : 214 32.

    5. Barash PG, Cullen BF, Stoelting K. Hemotherapy and Hemostasis. In: Clinical

    Anesthesia, 5th ed. Philadelphia : Lippinncott william & wilkins, 2006: 208-40

    6. Sherwood L. Darah : Trombosit dan Hemostasis. Dalam : Fisiologi manusia

    dari sel ke sistem, edisi 2. Jakarta : EGC, 2001 : 356-63.

    7. Spiess BD, Spence RK, Shander A. Physiology of Hemostasis. In :

    Perioperatif Transfusion Medicine, 2nd ed. Philadelphia :Lippinncott william

    & wilkins, 2006: 77-92

    8. Goodnight SH, Hathaway WE. Liver Diseases. In: Disorder of Hemostasis and

    Trombosis, 2nd ed. New York : The McGraw-Hill Campanies, 2001 : 226-36.

    9. Bick Rodger. Coagulation Defects in Liver Diseases. In : The Medical Clinic

    of North America : Common Bleeding and Clotting Disorder for the Internist,

  • 54

    volume 78, Number 3, May 1994. Philadelphia : WB Saunders Company,

    1994 : 545-54

    10. Zakim D, Boyer TD. Hemostasis