-
1PENATALAKSANAAN PERIOPERATIFGANGGUAN HEMOSTASIS PADA PENYAKIT
HATI
dr. Ade SusantiDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI/RSCM
PENDAHULUAN
Kontrol terhadap perdarahan selama pembedahan merupakan salah
satu
tanggungjawab bersama antara dokter bedah dan dokter anestesia.1
Secara alamiah
tubuh mempunyai suatu mekanisme yang kompleks untuk melakukan
kompensasi
terjadinya perdarahan, agar tidak tidak terjadi kehilangan darah
yang banyak pada
tubuh melalui pembentukan bekuan trombosit dan fibrin pada
pembuluh darah yang
mengalami cedera dan disusul dengan proses resolusi atau lisis
bekuan dan regenerasi
endotel. Mekanisme yang komplek ini akan berusaha mempertahankan
darah tetap
cair dan mengalir lancar dalam pembuluh darah untuk kembali
kedalam keadaan
fisiologis. Mekanisme ini disebut sebagai hemostasis. 1-5
Hemostasis, secara harfiah
berasal dari kata haima (darah) dan stasis(berhenti).2
Istilah kaskade koagulasi merupakan suatu konsep yang
menggambarkan
urutan proses koagulasi yang dimulai dari stimulasi terhadap
faktor-faktor koagulan
sampai terbentuknya suatu suatu bekuan (clotting). Keseimbangan
pada sistem
koagulasi ini melibatkan keseimbangan jalur prokoagulan dan
antikoagulan untuk
menjamin tetap berlangsung aliran darah dalam sistem vaskuler
secara fisiologis. 2,5-7
Dalam keadaan abnormal, dimana terjadi ketidakseimbangan pada
sistem
koagulasi dapat menyebabkan terjadinya perdarahan dan trombosis
dengan terjadinya
penyumbatan pada cabang-cabang vaskuler yang dapat mengancam
nyawa.
Mengetahui mekanisme fisiologis hemostasis sangat diperlukan
untuk pengelolaan
-
2pasien dengan masalah perdarahan pada waktu perioperatif.
Pasien-pasien dengan
gangguan keseimbang hemostasis, memerlukan penatalaksanaan
khusus perioperatif
untuk menghindari terjadinya komplikasi akibat gangguan sistem
hemostasis.
Fungsi normal sistem hemostasis berhubungan erat dengan fungsi
hati.
Dimana paremkim sel hati mensintesis berbagai macam
faktor-faktor koagulasi,
berbagai komponen sistem fibrinolitik, dan mengatur regulasi
beberapa protein
penting yang berperan dalam sistem koagulasi dan sistem
fibrinolitik. 8-11
Mengetahui dan mengerti dengan baik mengenai penatalaksanaan
perioperatif
gangguan hemostasis pada pasien dengan penyakit hati, merupakan
hal yang sangat
penting bagi seorang dokter anestesia, sehingga dapat memberikan
tatalaksana terbaik
bagi pasien, terutama yang akan menjalani proses pembedahan.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai gangguan hemostasis
pada
penyakit hati dan penatalaksanan perioperatif pada pasien dengan
penyakit hati yang
akan menjalani tindakan pembedahan.
-
3GANGGUAN HEMOSTASIS PADA PENYAKIT HATI
2.1 FUNGSI HATI DALAM MEKANISME HEMOSTASIS
Hati merupakan organ yang terbesar dalam tubuh manusia dan
mempunyai
peranan yang sangat besar pula dalam fisiologi tubuh manusia,
termasuk peranan
penting dalam fisiologi hemostasis. Hemostasis yang normal
sangat erat hubungannya
dengan fungsi hati yang normal pula. Parenkim sel hati merupakan
tempat utama
pembentukan berbagai faktor pembekuan, berbagai komponen pada
sistem fibrinolis,
dan berbagai protein yang sangat penting peranannya dalam sistem
koagulasi dan
sistem fibrinolitik. Produksi yang rendah ataupun sintesis yang
abnormal dari
berbagai komponen hemostasis akan menyebabkan gangguan pada
keseimbangan
antara protrombotik dan antitrombotik pada sistem
hemostasis.1-7
Sistem retikuloendotelial pada hati mempunyai peranan yang
sangat penting
dalam meknisme hemostasis, yaitu sebagai tempat utama
berlangsungnya proses
pembersihan faktor-faktor pembekuan yang masih aktif,
pembersihan berbagai
aktifator proses koagulasi dan fibrinolisis, dan tempat
penghancuran berbagai produk
dari fibrin dan fibrinogen. Adanya gangguan pada sel hati,
termasuk adanya gangguan
pada sistem retikuloendotelial juga akan menyebabkan perubahan
pada mekanisme
hemostasis. Pada pasien dengan penyakit hati, biasanya disertai
dengan
trombositopeni, gangguan fungsi trombosit, defisiensi vitamin K,
koagulasi
intravaskuler menyeluruh (disseminated intravaskuler disease /
DIC),
disfibrinogenemia, dan peningkatan aktifitas fibrinolitik.
Derajat gangguan hemostasis
pada pasien dengan penyakit hati, akan sesuai dengan beratnya
kerusakan sel-sel hati
-
4yang terjadi. Gangguan hemostasis pada pasien dengan penyakit
hati berat akan
bermanifestasi berupa gangguan perdarahan.1-8, 10-14
Perdarahan merupakan masalah terbanyak yang dihadapi oleh pasien
dengan
penyakit hati, baik itu penyakit hati akut maupun penyakit hati
kronik. Perdarahan
terutama terjadi di saluran pencernaan yang meliputi varises
esofagus, varises gaster,
gastritis akut dan ulkus peptikum. Selain itu perdarahan juga
dapat bermanifestasi
ditempat lain, misalnya mudahnya terjadi epistaksis maupun
perdarahan dibawah
kulit. Gangguan hemostasis merupakan penyebab tersering
terjadinya perdarahan
pada pasien dengan penyakit hati, sehubungan dengan terjadinya
gangguan sintesis
faktor-faktor pembekuan dan protein yang berperan dalam proses
fibrinolisis,
gangguan pembersihan (clearance) dari faktor-faktor pembekuan
yang masih aktif
oleh sistem retikuloendotelial hati (RES), serta gangguan pada
trombosit, baik secara
kualitatif dan kuantitatif.8-13
2.2 PATOGENESIS
Penyakit hati dapat terjadi secara akut (hepatitis fulminan,
keracunan jamur,
hipoksia, perlemakan hati akut ( acute fatty liver ) pada
kehamilan) maupun kronik
( sirosis hati karena virus atau , atresia bilier, sirosis
bilier primer, amiloidosis,
keganasan ). Penyakit obstruksi bilier juga dapat menyebabkan
gangguan pada sistem
hemostasis, seperti terjadinya defisiensi vitamin K oleh karena
gangguan pada proses
absorbsi vitamin K.8-11
-
5Manifestasi gangguan hemostasis pada penyakit hati adalah
sebagai berikut :
Tabel 1. Gangguan hemostasis pada penyakit hati :8
Defek Mekanisme
Gangguan koagulasi Penurunan sintesis faktor pembekuan dan
fibrinolitik
Defisiensi vitamin K
Trombositopeni dan defek pada fungsi trombosit
Hipersplenisme Kegagalan dalam proses pembersihan inhibitor
trombosit Kerusakan imun Penurunan produksi trombosit
Koagulasi intravaskuler menyeluruh ( DIC)
Prokoagulan dari sel hepar Endoktoksin pada sirkulasi porta
Kegagalan dalam pembersihan faktor-faktor
pembekuan yang masih aktif Kurangnya jumlah antitrombin dan
protein C Peningkatan jumlah sitokin yang beredar Adanya penyakit
penyerta sepert sepsis
Fibrinolisis sistemik Penurunan -antiplasmin Kegagalan
pembersihan enzim fibrinolitik Penurunan aktifitas pembersihan
activator
palsminogen jaringan ( tissue plasminogen activator )
2.2.1 GANGGUAN SINTESIS FAKTOR PEMBEKUAN
Pada saat terjadi gangguan fungsi sintesis faktor pembekuan pada
hati oleh
karena adanya penyakit hati, maka konsentrasi faktor pembekuan
didalam plasma
menurun, dan akan memicu terjadinya perdarahan. Faktor VII dan
faktor V
merupakan indikator yang sensitif terhadap sintesis protein hati
dan dapat digunakan
untuk menilai tingkat kerusakan sel hati (penyakit hati). Pada
sistem skor Child-Pugh
untuk penyakit hati, kriteria yang digunakan untuk menilai
tingkat kerusakan sel hati
adalah protrombine time (PT), karena nilai PT dipengaruhi oleh
faktor VII. 1,5,7-13
-
6 Faktor Von willebrand (faktor VIII) tidak disintesis oleh
sel-sel hati, tetapi
diproduksi oleh sel endotel dan megakariosit. Konsentrasi faktor
Von willebrand ini di
dalam plasma akan meningkat pada pasien dengan insufisiensi
hati. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh reflek stimulasi vaskuler atau
kerusakan vaskuler akan
melepaskan faktor Von willebrand ke dalam darah.7,10,13
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa sebagian besar
komponen
sistem koagulasi disintesis di hati, kecuali faktor vWF, yang
disintesis di sel endotel
dan megakariosit. Penyakit hepatoseluler baik itu akut maupun
kronik (hepatitis,
sirosis, hepatoma), akan menyebabkan gangguan dalam sintesis
berbagai protein,
yang akan menyebabkan defisiensi faktor-faktor pembekuan, yang
akan berlanjut
menyebabkan gangguan koagulasi. Kadar prokoagulan dalam plasma,
pada pasien
dengan gangguan fungsi hati akan sesuai dan sangat berhubungan
kadar albumin
plasma pasien tersebut, kecuali kadar faktor VIII:C / komplek
vWF. Dengan semakin
rendahnya kadar albumin pada pasien tersebut, maka produksi
faktor prokoagulan
juga akan rendah. Semakin berat disfungsi hati maka akan semakin
berat juga
gangguan koagulasi yang akan terjadi.1-7,8,10,13
Pemanjangan PT ( protrombine time ) dapat digunakan sebagai
indikator yang
lebih baik dari pada kadar albumin, transaminase atau bilirubin
untuk menentukan
tingkat kerusakan hati, resiko perdarahan dan prognosis pada
pasien dengan disfungsi
hati. Pada pasien dengan sirosis hati, pada stadium compensated
maupun
decompensated , klasifikasi ini tidak digunakan untuk
mengkatagorikan adanya
abnormalitas pada mekanisme hemostasis.9-14
Produksi prokoagulan yang normal atau berlebihan biasanya
didapatkan pada
penyakit sistem bilier seperti sirosis bilier atau obstruksi
bilier. Peningkatan produksi
-
7prokoagulan pada penyakit bilier menunjukkan adanya sintesis
yang berlebihan dari
protein nonspesifik pada penyakit ini. Pada penyakit sistem
bilier, gangguan koagulasi
tidak disebabkan oleh defisiensi vitamin K, karena vitamin K
bersifat mudah larut
dalam lemak, defisiensi vitamin K biasanya terjadi secara
sekunder akibat menurun
absorbsi vitamin K pada saluran pencernaan.10,13
2.2.1.1 Faktor pembekuan yang tergantung dengan vitamin K
Vitamin K diperlukan dalam biosintesis faktor koagulasi, yaitu :
faktor II
(protrombin) , faktor VII, faktor IX, faktor X.4,15 Peranan
vitamin K dalam biosintesis
faktor koagulasi didalam sel hati dapat dilihat pada skema
berikut:15
Gambar 4. Skema biosintesi protrombin 15
Sintesis faktor koagulan didalam sel hati melalui 4 tahap; (1)
pembentukan
rantai polipeptida, (2) pembentukan disulfida, (3) pembentukan
karbohidrat
-
8(glicosylation), setelah melalui tahap 3 ini , akan terbentuk
suatu protrombin
inkomplit (decarboxy-protrombin), yang belum dapat berfungsi
sebagai faktor
koagulasi, namun secara struktural decarboxy-protrombin ini
sangat identik dengan
protrombin. Protrombin yang komplit secara fungsional dapat
dibentuk dengan
peranan vitamin K (tahap 4), dimana dalam proses ini melibatkan
-carboxylatin
(asam glutamat). Selanjutnya -carboxy-glutamic yang merupakan
suatu asam amino
adalah faktor penentu ikatan dengan ion kalsium dari molekul
protrombin. Ikatan
dengan ion kalsium merupakan hal yang essensial dari fungsi
proenzim dalam
absorbsi protrombin yang telah dibentuk. Tahap 1, 2, 3 terjadi
didalam mitokondria
sel hati, sedangkan tahap 4 merupakan suatu fungsi vitamin K
pada sistem enzim
dalam pembentukan protrombin. Pembentukan faktor VII, faktor IX,
faktor X, protein
C dan protein S juga melalui beberapa tahap seperti diatas, yang
semuanya
memerlukan peranan vitamin K.4,15
Pada penyakit hepatoseluler, terjadi gangguan pada tahap yang
melibatkan -
carboxylatin (tahap 4), yang disebabkan oleh defisiensi vitamin
K, selanjutnya akan
mengakibatkan defisiensi faktor koagulasi yang bersifat vitamin
K-dependent, yaitu
faktor II, VII, IX dan X. Pada tubuh manusia sehat, cadangan
vitamin K akan
berkurang kira-kira setelah 7 hari, dimana tidak asupan vitamin
K sama sekali.
Cadangan vitamin K, dapat diganti secara parenteral. Pada
umumnya defisiensi
vitamin K disebabkan oleh penyakit ekstrahepatik atau intra
hepatik kolestasis,
penggunaan kolestiramin, malabsorbsi, fistula bilier, kurangnya
asupan vitamin K dari
makanan terutama pada pasien yang mendapat terapi
antibiotik.4,14,15
-
9Faktor VII mempunyai waktu paruh yang paling singkat ( biologic
half life )
diantara semua faktor koagulasi yang bersifat vitamin
K-dependent, sehingga pada
keadaan dimana mulai terjadi defisiensi vitamin K, maka
defisiensi faktor VII yang
pertama kali akan muncul. Defisiensi faktor VII ini akan
menyebabkan pemanjangan
protrombin time (PT), yang cukup sensitif pada kadar faktor VII
yang menurun.
Faktor II merupakan faktor terakhir yang sensitif terhadap
defisiensi vitamin K ,
sedangkan faktor IX dan X tingkat sensitifitasnya terhadap
defisiensi vitamin K
berada diantara faktor VII dan faktor II. 7-10
Jika defisiensi vitamin K ini tidak segera dikoreksi, maka
menyebabkan
pemanjangan activated parsial thromboplastin time (aPTT) dan
akan sangat
berpotensial untuk terjadinya gangguan perdarahan. Jika setelah
terapi vitamin K
ternyata masih terjadi ganguan perdarahan, maka gangguan
hemostasis lebih
disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati daripada karena
defisiensi vitamin K. 8-11
2.2.1.2 Faktor V 8-13
Defisiensi faktor V sering didapatkan pada pasien dengan
penyakit hati berat.
Penurunan konsentrasi faktor V di dalam plasma, menggambarkan
adanya gangguan
sintesis protein oleh hati dan juga mengindikasikan turunnya
konsentrasi albumin di
dalam plasma. Faktor V ini sangat sensitif dan mudah dihancurkan
plasmin dan
trombin, sehingga pada keadaan DIC tahap awal, konsentrasi
faktor V di dalam
plasma mungkin meningkat, tetapi pada keadaan DIC berat,
konsentrasi faktor V di
dalam plasma akan sangat menurun, walaupun pada keadaan ini
fungsi hati masih
dalam batas normal. Berdasarkan hal diatas, maka jumlah
konsentrasi faktor V di
-
10
dalam plasma tidak dapat digunakan sebagai indikator terhadap
gangguan fungsi
sintesis faktor pembekuan pada pasien dengan penyakit hati.
Konsentrasi faktor V dapat normal atau sedikit meningkat pada
pasien dengan
obstruktive jaundice dan sirosis bilier. Hal ini disebabkan oleh
berkurangnya proses
katabolisme faktor V dan adanya stimulasi nonspesifik terhadap
sintesis protein pada
penyakit ini. Protein C merupakan suatu protein yang bersifat
vitamin K-dependent,
dimana pada mekanisme hemostasis berfungsi menghambat faktor V.
Pada keadaan
dimana terjadi obstruksi bilier dan akan menyebabkan adanya
defisiensi vitamin K,
maka konsentrasi protein C akan menurun, selanjutnya akan
berakibat meningkatnya
aktivitas faktor V.
2.2.1.3 Faktor VIII 8-13
Faktor VIII merupakan satu-satunya prokoagulan yang diketahui
disintesis di
hati dan diluar hati (ekstrahepatik). Penurunan konsentrasi
faktor VIII di dalam
plasma akan didapatkan pada pasien dengan penyakit hati berat,
dan biasanya disertai
dengan DIC. Pada keadaan penyakit hati akut maupun kronik,
konsentrasi faktor
VIII :C biasanya normal atau sedikit meningkat. Konsentrasi dari
antigen faktor
VIII:C pada pasien dengan penyakit hati biasanya juga meningkat.
Alasan adanya
peningkatan faktor VIII pada pasien dengan penyakit hati, sampai
saat ini belum dapat
dijelaskan dengan pasti. Kemungkinan disebabkan karena pelepasan
prokoagulan dari
hepatosit yang mulai mengalami nekrosis atau karena adanya
peningkatan sintesis
prokoagulan pada fase akut dari penyakit hati. Hal ini didukung
oleh kenyataan bahwa
pada keadaan terjadi penyakit hati akut seperti keracunan jamur,
ternyata konsentrasi
faktor VIII didapatkan normal atau sedikit meningkat meskipun
terdapat peningkatan
-
11
serum transaminase. Kemungkinan lain penyebab peningkatan faktor
VIII:C dan vWF
diduga karena pelepasan dari sel endotel yang mengalami cedera,
kurangnya aktifitas
pembersihan ( clearance ) oleh sistem retikuloendotelial (RES)
serta akibat terjadinya
gangguan katabolisme komplek faktor VIII/vWF oleh sel-sel hati
yang mengalami
kerusakan. Karena konsentrasi faktor VIII dapat meningkat atau
menurun sebagai
akibat sekunder dari proses fibrinolitik atau akibat inaktifasi
yang diperantarai oleh
trombin, maka penentuan aktifitas pembekuan dari faktor VIII
tidak dapat digunakan
sebagai indikator dalam penentuan diagnostik dan prognostik pada
pasien dengan
penyakit hati.
2.2.1.4 Faktor kontak 1,3,8-13
Pada sistem koagulasi, dijelaskan bahwa proses koagulasi dapat
dimulai dari
jalur intrinsik, dimana terjadi peristiwa darah kontak permukaan
luar yang
menyebabkan konversi proenzim faktor XII menjadi XII aktif, yang
selanjutnya akan
terjadi aktifasi faktor kontak lainnya yaitu faktor XI,
prekallikrein dan HMWK (High
molecular weight kininogen ). Aktifasi faktor kontak merupakan
suatu rangkaian
reaksi yang melibatkan faktor XII, XI, prekallikrein, dan HMWK.
Rangkaian reaksi
ini bertujuan untuk membentuk suatu enzim yang dapat
mengaktifasi faktor X.
Efek penyakit hati terhadap konsentrasi faktor kontak ( faktor
XII, XI,
prekallikrein dan HMWK) di dalam plasma menggambarkan derajat
gangguan
sintesis protein pada sel-sel hati. Konsentrasi faktor XI dan
XII akan menurun pada
keadaan pasien dengan sirosis hati, hepatitis toksik berat dan
hepatoma. Konsentrasi
faktor HMWK juga akan menurun pada pasien dengan sirosis hati.
Konsentrasi faktor
prekallikrein didapatkan menurun pada pasien dengan hepatitis
akut, hepatitis kronik,
-
12
dan sirosis hati. Pada beberapa penelitian pada beberapa pasien
sirosis tanpa adanya
gangguan DIC atau fibrinolisis, konsentrasi faktor prekallikrein
akan rendah, yang
berkorelasi dengan konsentrasi serum albumin. Konsentrasi faktor
pembekuan yang
rendah ini sejalan dengan berkurangnya sintesis protein secara
umum pada pasien
dengan penyakit hati.
2.2.1.5 Faktor XIII 8-13
Faktor XIII berperan dalam mengkatalisa pembentukan
intermolekuler -
glutminyl--lysyl yang berfungsi dalam menstabilisasi anyaman
fibrin yang telah
terbentuk. Tempat sintesis faktor XIII belum dapat ditentukan
secara pasti, sementara
ini diduga bahwa faktor XIII di produksi oleh monosit,
megakariosit dan hepatosit.
Konsentrasi faktor XIII yang rendah ditemukan pada 30% pasien
dengan penyakit hati
akut ataupun kronik dan hepatoma. Pada penyakit sirosis bilier
dan obstructive
jaundice konsentrasi faktor XIII dapat normal atau sedikit
meningkat. Konsentrasi
faktor XIII yang rendah dapat digunakan sebagai indikator
prognosis yang buruk pada
pasien dengan hepatitis akut, hepatitis kronik dan sirosis hati.
Rendahnya konsentrasi
prokoagulan ini didalam plasma, jarang sekali menyebabkan
gangguan perdarahan
yang bermakna pada pasien dengan penyakit hati.
2.2.1.6 Fibrinogen dan disfibrinogenemia 8-13
Fibrinogen secara khusus disintesis di dalam hepatosit, beberapa
prokoagulan
selain disintesis di hati, juga disintesis ditempat lain.
Seperti halnya faktor VIII,
konsentrasi fibrinogen akan normal atau sedikit meningkat pada
pasien dengan
penyakit hati akut atau kronik, sirosis bilier, obstructive
jaundice, hepatoma maupun
-
13
adanya metastase tumor ke hati. Tampaknya fibrinogen disintesis
secara selektif oleh
sel hati pada beberapa penyakit hati diatas pada saat fase akut.
Berbeda dengan faktor
VIII, dimana sintesisnya masih didapatkan diluar sel hati dan
keadaan dimana
didapatkan konsentrasi faktor VIII menurun akan terlihat pada
pasien dengan penyakit
hati stadium lanjut ( decompensated sirosis ) atau pada keadaan
gagal hati fulminan
dimana terjadi peningkatan katabolisme oleh karena DIC atau
fibrinolisis yang
berlebihan. Pada keadaan hipofibrinogenemia ( < 100 mg/dl )
tanpa adanya DIC atau
fibrinolisis primer, menunjukan suatu prognosis yang buruk.
Mekanisme lain yang
dapat menjelaskan penyebab hipofibrinogenemia adalah hilangnya
fibrinogen ke
dalam cairan asites dan adanya perdarahan hebat.
Disfibrinogenemia terjadi akibat proses polimerisasi dari fibrin
yang tidak
sempurna pada pasien dengan penyaki hati. Abnormal polimerisasi
dari fibrin
monomer ditemukan pada 76% pasien dengan sirosis hati, 78%
pasien dengan
hepatitis kronik yang aktif, 86% pasien dengan gagal hati akut
dan 8% pasien dengan
obstructive jaundice.
Diantara test laboratorium untuk faal hemostasis, waktu trombin
/ trombin
time (TT) merupakan pemeriksaan yang paling sensitif terhadap
aggregasi abnormal
dari fibrin monomer dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya,
sepert PT dan aPTT.
Pemeriksaan trombin time menggambarkan kecepatan trombin untuk
mengkonversi
fibrinogen menjadi fibrin, dimana proses konversi ini melalui
dua tahap. Tahap
pertama, dimana trombin akan memecah fibrinogen menjadi fibrin
monomer dan
selanjutnya fibrin monomer ini akan mengalami polimerisasi untuk
membentuk
anyaman fibrin. Adanya defek pada proses ini, akan memperpanjang
trombin time
(TT).
-
14
Pasien dengan berbagai kelainan hati, biasanya mempunyai TT
yang
memanjang, tetapi tidak proporsional dengan nilai abnormal PT
dan aPTT.
Kemungkinan ini terjadi karena adanya hipofibrinogenemia (800
mg/dl) dan peningkatan kadar fibrinogen degradation
product (FDP). Pada pasien dengan penyakit hati dengan
pemanjangan TT dapat
disertai dengan kadar fibrinogen yang normal atau sedikit
berkurang dan disertai
dengan kadar FDP yang normal atau sedikit meningkat.
2.2.1.7 PLASMA INHIBITORS 1,3,5,7-13
Proses pembentukan sumbat hemostatik ( hemostatic plug ) yang
stabil, akan
diimbangi oleh suatu proses regulasi untuk membatasi pembentukan
sumbat
hemostatik yang berlebihan dengan menonaktifkan prokagulan yang
masih aktif, serta
mengurangi perluasan pembentukan fibrin. Protein regulator
(plasma inhibitor) dari
proses koagulasi ini sebagian besar disintesis didalam hati.
Seperti halnya
prokoagulan yang disintesis dihati, sintesis dari plasma
inhibitor ini juga akan
terganggu pada pasien dengan penyakit hati.
Gambar 2. Skema kontrol proses koagulasi 5
-
15
.1 Antitrombin III (AT III) 3,8-14
Antitrombin III (AT III) merupakan suatu protein plasma
antikoagulan
yang penting dalam mekanisme kontrol hemostasis karena akan
berikatan dan
akan menghambat trombin. AT III merupakan penghambat utama dari
trombin,
faktor IXa dan faktor Xa. Hati merupakan tempat utama untuk
mensintesis AT
III, dari beberapi penelitian juga menunjukan bahwa AT III juga
disintesis di
sel-sel endotel. AT III ini disintesis di hati dan di dalam
plasma pada keadaan
normal ditemukan sekitar 15 mg/dL. AT III akan mengikat dan
menginaktifasikan faktor-faktor pada jalur intrinsik yaitu
faktor XIIa, faktor
XIa, faktor IXa, dan faktor Xa. Molekul AT III saat menjalankan
fungsinya
dalam mekanisme hemostasis mempunyai dua tempat ikatan dengan
molekul
lain, yaitu ikatan dengan trombin ( dan faktor pembekuan yang
aktif lainnya)
dan ikatan dengan heparin. Tanpa heparin, ikatan AT III dan
trombin
mempunyai afinitas yang lemah. Dengan adanya heparin, ikatan
antara AT III
dan trombin serta faktor pembekuan aktif lainnya, akan menjadi
meningkat
secara sangat bermakna dibandingan dengan tanpa adanya heparin.
Reaksi
antara AT III dan trombin akan membentuk suatu komplek
bimolekuler yang
secara cepat akan dibersihkan dari sirkulasi oleh sel hati.
Penurunan dari kadar AT III dan aktivitasnya didapatkan pada
pasien
dengan penyakit hati, dan berhubungan dengan penurunan kadar
faktor-faktor
koagulasi lainnya yang juga disintesis di hati, dan hal ini
menggambarkan
gangguan sintesis prokoagulan dan antikoagulan oleh hati.
Pada pasien dengan mild-moderate hepatitis, kadar AT III
dalam
plasma didapatkan masih dalam batas normal, sedangkan pada
penyakit
-
16
obstruksi bilier, kadar AT III dapat normal atau sedikit
meningkat. Penurunan
kadar AT III yang bermakna didapatkan pada pasien dengan sirosis
hati,
hepatitis fulminan, hepatoma dan fatty liver of pregnancy.
Defisiensi AT III pada pasien sirosis hati disebabkan terutama
oleh
karena penurunan sintesis oleh hati, tetapi dari beberapa
penelitian didapatkan
ternyata penurunan kadar AT III pada stadium lanjut dari
penyakit hati ini,
disebabkan oleh karena perubahan ratio aliran antar kapiler
(transcapillary
flux ratio) atau karena peningkatan konsumsi AT III pada DIC
ringan (low-
grade DIC).
Walaupun penurunan kadar AT III pada penyakit hati berat
sampai
kurang dari 50% dibandingkan dengan kadar normal, trombosis
merupakan
komplikasi yang jarang ditemukan, dibandingkan dengan pada
keadaan
adanya defisiensi AT III herediter. Hal ini disebabkan karena
pada keadaan
sirosis, kadar protrombin yang ada didalam plasma akan berkurang
secara
proposional dengan kadar AT III, sehingga efek pro-trombik dari
AT III akan
berjalan seimbang dengan efek defisiensi prokoagulan yang
disintesis dihati.
Kemungkinan lain yang dapat menerangkan tidak adanya
komplikasi
trombosis pada pasien dengan penyakit hati berat adalah karena
adanya jumlah
yang normal dari surface-bound AT III complexes walaupun kadar
AT III di
dalam plasma rendah, adanya peningkatan aktifitas fibrinolitik,
kadar -
makroglobulin dan antitrombin lainnya yang normal atau sedikit
meningkat
pada semua keadaan penyakit hati akut atau kronik.
Pemeriksaan kadar AT III pada penyakit hati tidak merupakan
suatu
pemeriksaan yang memberikan arti klinis yang bermakna.
Pemeriksaan kadar
-
17
AT III ini akan berguna pada pasien dengan penyakit kuning,
untuk
membedakan apakah pasien ini mengalami kerusakan sel-sel hati
atau karena
obstruksi bilier. Kadar AT III yang kurang 70% dari nilai
normal, pada pasien
dengan penyakit kuning, tidak hanya memberikan arti adanya
kerusakan
hepatoseluler, tetapi juga memberikan prediksi angka kematian
sekitar 40%.
.2 Protein C 1-13
Mekanisme fisiologis lainnya yang menghambat pembentukan
trombin
yang berlebihan adalah jalur protein C - protein S -
trombomodulin. Komplek
trombomodulin (TM) dan trombin (faktor IIa) yang mengaktifasi
protein C,
dengan protein S sebagai kofaktor, akan menghambat aktifasi
faktor V dan
faktor VIII.
Trombin sendiri mempunyai efek umpan balik negatif dengan
menghambat faktor V dan faktor VIII melalui perantara protein C
untuk
mengurangi sintesis trombin yang berlebihan, bila konsentrasi
trombin tinggi
dalam sirkulasi. Konsentrasi trombin yang rendah didalam
sirkulasi akan
mengaktifasi faktor V dan faktor VIII, sehingga akan mempercepat
proses
koagulasi. Protein C dalam sirkulasi berada dalam bentuk tidak
aktif, sampai
diaktifkan oleh trombin yang telah berikatan dengan
trombomodulin menjadi
protein C yang aktif ( activated protein C/ APC ). Trombomodulin
merupakan
suatu protein yang berada pada permukaan sel endotel pembuluh
darah. Ikatan
antara trombin dan trombomodulin inilah yang tidak dapat
mengaktifasi faktor
V, faktor VII dan fibrinogen. Dengan ko faktor protein S, APC
akan memecah
faktor Va dan faktor VIIIa sehingga proses koagulasi dapat
diperlambat.
-
18
Peranan lain dari protein C aktif (APC) adalah memicu pelepasan
tissue
plasminogen activator (tPa) yang memicu perubahan plasminogen
menjadi
plasmin, pada akhirnya plasmin akan melisiskan fibrin dan
trombus. Pada
endotelium yang utuh/intak, interaksi antara
trombin-trombomodulin-protein
C akan menghambat proses koagulasi dan mempertahankan sifat
non-
trombogenik dari sel endotel.
Protein C dan protein S, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya
adalah merupakan protein yang tergantung dengan vitamin K.
Protein C
dengan ko-faktor protein S akan menghancurkan faktor Va dan
faktor VIIIa.
Protein C disintesis di dalam hati dan sel endotel. Protein S
disintesis di dalam
hati, sel endotel dan megakariosit. Penurunan kadar protein C
dan protein S di
dalam plasma pada pasien dengan penyakit hati, berhubungan
dengan
gangguan sintesis pada hati karena adanya kerusakan sel-sel
hati.
Kadar protein C yang rendah, ditemukan pada keadaan sirosis,
hepatitis kronik aktif, hepatitis virus akut, hepatitis
fulminan, dan penyakit
sirosis bilier lanjut. Kadar protein C didapatkan normal pada
keadaan hepatitis
akut, kholestasis, hepatitis kronik persisten, dan penyakit
sirosis bilier stadium
awal. Kadar protein S juga akan berkurang pada pasien dengan
gangguan
fungsi hati atau gagal hati fulminan. Seperti halnya AT III,
defisiensi protein C
yang didapat ( acquired ) pada pasien sirosis, kelihatannya
tidak berhubungan
dengan keadaan trombosis yang patologik.
Protein C aktif, akan dihambat oleh oleh protein C inhibitor dan
1-
antitripsin. Penghambat protein C akan berkurang pada pasien
dengan sirosis
hati atau keadaan nekrosis hepatik akut.
-
19
.3 Kofaktor heparin II 5,8-13
Kofaktor heparin II merupakan suatu penghambat serin protease
yang
secara selektif akan menghambat aktifitas trombin. Seperti
halnya AT III
dalam menghambat aktifitas trombin, akan berpotensiasi dengan
heparin,
tetapi kofaktor heparin II berbeda dengan AT III, karena tidak
menghambat
aktifitas faktor Xa. Kofaktor heparin II disintesis di dalam
hati, sehingga pada
pasien dengan penyakit hati akan didapatkan defisiensi dari
kofaktor heparin II
ini, akan proporsional dengan derajat gangguan fungsi pada
hati.
.4 Penghambat faktor jaringan ( tissue factor pathway inhibitor
/
TFPI ) 8-13
Karakterisitik fungsi dari TFPI dengan adanya faktor Xa adalah
untuk
menetralisasikan komplek faktor antara faktor VIIa dan faktor
jaringan, dalam
hal ini menghambat faktor koagulasi di jalur ekstrinsik. TFPI di
sintesis di sel-
sel endotel yang berasal dari vena umbilikalis dan sel-sel
hati.
Kadar TFPI didapatkan normal atau sedikit meningkat pada
pasien
dengan penyakit hati kronik dekompensasi, maupun pada keadaan
gangguan
fungsi hati berat akut atau kronik lainnya. Hal ini disebabkan
oleh karena TFPI
tidak hanya disintesis di dalam sel hati, tetapi juga disintesis
di sel endotel.
.5 Penghambat proses fibrinolisis 3,5,7-13
Penghambat utama dari plasmin adalah 2-antiplasmin. Fungsi
utamanya adalah untuk membatasi penghancuran fibrin oleh plasmin
dan
-
20
mempertahankan anyaman fibrin yang telah terbentuk.
2-Antiplasmin ini
disintesis di dalam hati. Korelasi kadar yang rendah antara
2-antiplasmin
dengan AT III, plasminogen dan albumin mendukung dugaan bahwa
hati
merupakan tempat utama sintesis 2-antiplasmin. Kadar yang rendah
dari 2-
antiplasmin pada pasien dengan gangguan fungsi hati lanjut di
sebabkan oleh
produksi yang rendah oleh hati pada penyakit hati. Keadaan DIC
akan
menghabiskan / mengkonsumsi 2-antiplasmin, oleh karena itu, pada
keadaan
DIC skor rendah yang disebabkan oleh penyakit hati, maka kadar
2-
antiplasmin akan semakin rendah dibandingkan pada keadaan
penyakit hati
tanpa disertai DIC. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa
waktu paruh
2-antiplasmin masih dalam batas normal pada pasien dengan
penyakit hati,
walaupun kadarnya rendah karena gangguan sintesis.
Kadar 2-antiplasmin didapatkan normal pada pasien dengan
obstruksi
duktus utama bilier, hepatitis berat, akut hepatitis, hepatitis
kronik persisten
dan sirosis bilier tanpa disertai gagal hati. Kadar rendah
didapatkan pada
keadaan metastasis dari karsinoma hati, hepatitis fulminan.
Hepatitis virus dan
hepatoma
Defisiensi kongenital 2-antiplasmin akan menyebabkan
gangguan
perdarahan sebagai akibat dari gangguan penghambatan proses
fibrinolisis.
Kecepatan proses fibrinolisis pada pasien sirosis sangat
berhubungan dengan
penurunan kadar 2-antiplasmin dan peningkatan aktifitas tPA
(tissue
plasminogen activators ). Defisiensi 2-antiplasmin yang didapat
oleh karena
penyakit hati lanjut, berpotensial untuk mempercepat proses
fibrinolisis dan
-
21
menimbulkan gangguan perdarahan. Lebih jauh lagi, pada pasien
dengan
defisiensi 2-antiplasmin yang didapat, termasuk disini pasien
dengan
penyakit hati, dengan defisiensi 2-antiplasmin yang berat, dapat
mengalami
gangguan perdarahan yang bersifat mengancam nyawa serta sulit
diatasi.
Penghambat aktifator plasminogen-1 ( plasminogen activator
inhibitor-1 / PAI-1 ), merupakan suatu penghambat utama dari
aktifitas
plasminogen di dalam plasma dan berfungsi untuk membatasi
aktifitas
fibrinolitik. PAI-1 terutama disintesis di sel endotel, tetapi
juga di sintesis oleh
sel hati dan juga dapat ditemukan pada trombosit. Pada beberapa
penelitian
pasien dengan sirosis, hepatitis, isme kronik, penyakit hati
maligna, kadar
PAI-1 didapatkan normal atau sedikit meningkat. Peningkatan
kadar PAI-1
pada penyakit ini, menunjukkan suatu fase akut pada perjalanan
penyakit.
Penurunan kadar PAI-1 berhubungan dengan penurunan kadar albumin
di
dalam plasma dan pemanjangan dari PT ( protrombine time ), hal
ini
menunjukan bahwa aktifitas PAI-1 secara parsial juga tergantung
pada fungsi
hati. Peningkatan aktifitas PAI-1 dibandingkan dengan aktivitas
tPA yang
berlebihan pada pasien sirosis dan peningkatan proses
fibrinolisis akan
berkontribusi untuk terjadinya gangguan perdarahan pada pasien
sirosis.
.6 Penghambat jalur aktifasi kontak (inhibitors of the
contact
activation pathway ) 7-13
Jalur aktifasi kontak diregulasi oleh beberapa protein plasma,
yang
merupakan suatu penghambat plasma protease, yaitu penghambat C1
( C1-
inhibitor), 1-antitripsin, dan 2- makroglobulin. C1-inhibitor di
sintesis di sel
-
22
hati dan merupakan penghambat utama pada jalur kontak ini.
Defisiensi
herediter dari C1-inhibitor ini menyebabkan angioedema, bukan
hemoragi. 1-
Antitripsin merupakan penghambat utama dari faktor XIa, dan
juga
merupakan penghambat dari protein C aktif dan neutropil
elastase. Defisiensi
herediter dari 1-antitripsin juga tidak menyebabkan gangguan
perdarahan,
tetapi akan menyebabkan emfisema oleh karena menghambatan
elastase pada
paru. 2- Makroglobulin bukan merupakan penghambat utama pada
jalur
kontak ini, fungsinya merupakan sebagai faktor penghambat
cadangan pada
komponen koagulasi dan sistem fibrinolitik. 2- Makroglobulin
diproduksi
oleh berbagai macam sel, termasuk disini sel-sel hati. Belum ada
laporan
mengenai kasus defisiensi 2- makroglobulin ini yang mengancam
kehidupan.
Tidak seperti faktor penghambat lainnya dalam sistem
hemostasis,
kadar dari penghambat aktifasi sistem kontak didapatkan normal
atau sedikit
meningkat pada semua keadaan dengan penyakit hati, termasuk
hepatitis B
fulminan, sirosis, hepatitis kronik aktif, obstruksi duktus
bilier dan metastase
dari karsinoma hati. Kadar 1-antitripsin, dan 2- makroglobulin
yang normal
dan mempunyai aktifitas antitrombin, akan mempunyai efek
protektif pada
pasien penyakit hati dengan defisiensi berat AT III dan protein
C. Sampai saat
ini, belum ada nilai terapi dan prognosis dari kadar protein
penghambat
aktifasi dari jalur kontak ini pada pasien dengan penyakit
hati.
-
23
2.2.2 ABNORMALITAS FIBRINOLISIS 10-14
Peningkatan proses fibrinolisis umumnya didapatkan pada pasien
dengan
sirosis hati, dari pemeriksaan laboratorium akan didapatkan
pemendekan masa
euglobulin lysis time, whole blood clot lysis time, plasma clot
lysis time, serta
didapatkannya produk penghancuran fibrinogen ( fibrinogen
degradation product/
FDP ) yang berlebihan, dan plasma D-dimer yang meningkat.
Penurunan kadar
plasminogen didapatkan pada pasien dengan sirosis hati.
Peningkatan fibrinolisis pada
populasi sirosis hati disebabkan oleh konversi yang berlebihan
dari plasminogen
menjadi plasmin.
Patogenesis dari peningkatan fibrinolisis pada pasien dengan
penyakit hati,
disebabkan oleh adanya peningkatan aktifitas dari aktifator
plasminogen, terutama
aktifator plasminogen jaringan (tissue plasminogen aktifator /
tPA ). Peningkatan
kadar tPA pada pasien sirosis akibat dari bekurang akitifitas
pembersihan (clearence)
oleh hati pada pasien dengan penyakit hati. Keadaan ini tentu
saja menyebabkan
waktu paruh biologik dari aktifator plasminogen menjadi lebih
panjang pada pasien
dengan sirosis hati. Faktor lain yang juga menyebabkan
peningkatan tPA pada pasien
dengan penyakit hati adalah karena berkurangnya kadar PAI-1
untuk menghambat
aktifitas tPA yang berlebihan. Dari beberapa laporan penelitian
didapatkan bahwa
kadar PAI-1 menurun pada pasien dengan sirosis hati berat,
tetapi kebanyakan
laporan justru menggambarkan adanya peningkatan kadar PAI-1 pada
pasien dengan
penyakit hati. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa
sintesis PAI-1 tidak hanya
pada sel hati, tetapi juga di sintesis oleh sel endotel dan
trombosit, hal ini juga
menyebabkan kadar PAI-1 pada pasien dengan penyakit hati dapat
normal atau sedikit
meningkat. Tetapi pada keadaan penyakit hati ini, peningkatan
aktifitas fibrinolisis
-
24
disebabkan oleh karena aktifitas tPA yang relatif berlebihan
dibandingkan dengan
aktifitas penghambatan fibrinolisis oleh PAI-1. Kadar faktor
penghambat proses
fibrinolisis lainnya juga didapatkan menurun pada pasien dengan
penyakit hati, yaitu
2-antiplasmin dan histidine-rich glycoprotein yang berkontribusi
untuk
meningkatkan aktifitas plasmin.
Pada suatu penelitian retrospektif, pasien dengan peningkatan
fibrinolisis pada
penyakit hati, banyak yang mengalami perdarahan pada jaringan
lunak dan susunan
saraf pusat. Pemberian terapi -aminocaproic acid, suatu
penghambat fibrinolisis,
cukup bermanfaat pada 75% pasien yang terapi ini. Hubungan
antara peningkatan
fibrinolisis dan kejadian perdarahan mukosa dan perdarahan yang
fatal termasuk
perdarahan gastrointestinal yang hebat, didapatkan pada pasien
dengan penyakit hati
kronik dan sirosis hati lanjut ( decompensated sirosis ). Pasien
dengan difisiensi
kongenital 2-antiplasmin dan kadar yang yang sangat rendah pada
pasien sirosis,
akan mengalami masalah perdarahan selama hidupnya dan akan
mempunyai
kecenderungan terjadinya perdarahan yang mengancam nyawa akibat
adanya proses
hiperfibrinolisis.
Kecuali pada pasien dengan gagal hati, fibrinolisis abnormal
sangat jarang
ditemukan pada pasien penyakit hati yang akut. Peningkatan
fibrinolisis bahkan tidak
ditemukan pada pasien dengan acute fatty liver of alcohol
ingestion, hepatitis virus
akut, atau hepatitis yang dipicu oleh asetaminofen dan halotan.
Penurunan fibrinolisis
didapatkan pada pasien dengan tumor yang bermetastase ke hati,
sirosis bilier primer
dan obstruksi duktus bilier. Kadar plasminogen yang rendah
akibat sintesis yang
menurun pada hati, didapatkan pada pasien hepatitis kronik
aktif, hepatitis fulminan,
-
25
dan hepatocelluler jaundice. Keadaan ini tidak mengakibatkan
peningkatan proses
fibrinolisis. Kadar plasminogen yang normal didapatkan pada
pasien sirosis bilier
primer atau obstruksi duktus utama bilier.
2.2.3 KOAGULASI INTRAVASKULER MENYELURUH (DISSEMINATED
INTRAVASCULER COAGULATION / DIC ) 8-13, 16-18
Koagulasi intravaskuler menyeluruh (DIC) merupakan suatu respon
patologik
hemostatis akibat suatu penyakit yang mendasarinya, yang
bermanifestasi sebagai
aktifasi pembentukan trombin dan sistem fibrinolitik.
Patofisiologi dari kelainan ini
merupakan akibat dari pembentukan trombin yang berlebihan.
Selanjutnya trombin
akan mengaktifkan dan mengkonsumsi protein koagulan, trombosit
dan fibrinogen,
dan akhirnya mengakibatkan terbentuknya fibrin dan trombus di
mikrovaskuler.
Siatem fibrinolitik akan menjadi aktif, sebagai fenomena
sekunder akibat dari
pemecahan fibrin dan fibrinogen oleh plasmin akan menghasilkan
fibrin(ogen)
degradation product (FDP). FDP selanjutnya akan dibersihkan oleh
sistem
retikuloendotelial (RES) pada hati, tetapi jika FDP ini
berlebihan didalam sirkulasi,
maka akan dapat mengganggu pemecahan fibrinogen oleh trombin dan
polimerisasi
dari fibrin monomer.
Manifestasi klinis dari DIC akan merupakan suatu manifestasi
klinis yang luas
antara komplikasi perdarahan (hemorrhagic) dan komplikasi
trombosis. Pada stadium
awal atau DIC kronik, biasanya masih terdapat keseimbangan
antara pembentukan
fibrin oleh karena aktifasi trombin dengan pemecahan fibrin oleh
plasmin. Keadaan
ini menggambarkan suatu konsumsi yang seimbang dan akan
mengakibatkan sedikit
kejadian komplikasi perdarahan atau trombosis. Namun pada
keadaan yang progresif
-
26
dari suatu penyakit dasar yang menyebabkan DIC, maka keadaan DIC
pun akan
manjadi progresif juga, akan terjadi peningkatan proses
koagulasi, konsumsi yang
berlebihan dari faktor-faktor pembekuan dan trombosit dan akan
mengakibatkan suatu
keadaan gangguan perdarahan yang menyeluruh. Manifestasi klinis
DIC berupa
pembentukan trombin yang berlebihan, dan akan mengakibatkan
trombosis, serta
terjadinya fibrinolisis yang berlebihan yang akan mengakibatkan
perdarahan sebagai
akibat langsung dari pembentukan plasmin yang berlebihan.
Manifestasi klinis dari
DIC akan sangat bervariasi dari pasien dengan penyakit yang akut
sampai dengan
DIC yang fulminan dengan komplikasi perdarahan dan/atau
trombosis dari ringan
sampai berat, atau bahkan hanya dijumpai kelainan laboratorium
saja.
Manifestasi laboratorium dari DIC akan menggambarkan suatu
proses yang
komplek. Pada keadaan dimana terjadi keseimbangan konsumsi
faktor pembekuan,
dimana aktifitas faktor pembekuan belum berlebihan maka akan
menutupi keadaan
penurunan kadar faktor pembekuan, pada keadaan ini PT dan aPTT
didapatkan dalam
batas normal atau sedikit memendek. Pada saat konsumsi
fibrinogen mulai berlebihan,
FDP biasanya akan sedikit meningkat dan TT ( trombine time )
akan mulai
memanjang. Bila kemudian terjadi DIC fulminan, akan didapatkan
penurunan kadar
faktor-faktor pembekuan, PT, aPTT dan TT akan memanjang. Jumlah
trombosit akan
sangat tergantung dengan perkembangan DIC dan kemampuan sumsum
tulang untuk
mengkompensasi keadaan DIC ini. Ada beberapa keadaan patologis
dapat memicu
terjadinya DIC ( infeksi dan keganasan ) dengan peningkatan
jumlah trombosit, dan
hal ini dapat menutupi keadaan konsumsi trombosit yang
berlebihan. Tetapi pada
keadaan DIC yang lanjut, bagaimanapun jumlah trombosit akan
sangat menurun
secara bermakna.
-
27
Oleh karena variasi yang ekstrim dari manifestasi DIC, baik
secara klinis
maupun laboratorium, maka belum ada konsensus yang pasti untuk
menegakkan
diagnosis DIC secara definitif. Diagnosis DIC sangat tergantung
pada situasi klinis
dan laboratorium dimana akan didapatkan aktifitas trombin yang
berlebihan dan
hiperfibrinolisis. Kriteria laboratorium standar DIC tidaklah
spesifik. Kriteria untuk
menegakkan diagnosis DIC tidak memperhitungkan penyakit dasar
yang memicu DIC
atau keadaan disfungsi hati atau sumsum tulang dari pasien.
Pada pasien dengan penyakit hati, diagnosis DIC sangatlah rumit,
sehubungan
dengan fungsi hati sendiri untuk mempertahankan keseimbangan
hemostasis. Pada
keadaan hemostasis normal, pembersihan faktor jaringan,
faktor-faktor pembekuan
yang aktif di sirkulasi terutama faktor IX, X dan XI, serta
produk penghancuran fibrin
(FDP) akan dilakukan sistem retikuloendotelial (RES) pada hati.
Dari hasil autopsi
hati pada stadium konsumsi yang seimbang dari DIC, didapatkan
bahwa sel-sel
kuppfer pada hati akan membersihkan deposit-deposit fibrin.
Fungsi pembersihan
oleh hati ini akan mengurangi jumlah trombin dan plasmin yang
ada di sirkulasi,
sehingga akan menutupi efek DIC. Tetapi, pada penyakit hati
lanjut, maka hati akan
kehilangan fungsi pembersihan oleh RES, keadaan ini akan
mencetuskan suatu
keadaan DIC.
Pada keadaan terjadinya penurunan fungsi pembersihan
faktor-faktor
pembekuan yang aktif oleh hati, pada penyakit hati lanjut juga
akan terjadi defisiensi
dari penghambat plasma (plasma inhibitor), selanjutkan keadaan
ini akan sangat
berkontribusi untuk terjadinya DIC. Pada pasien dengan penyakit
hati, faktor-faktor
yang mungkin dapat memicu terjadinya DIC adalah akibat adanya
pelepasan
prokoagulan oleh sel-sel hepatosit yang mengalami nekrosis,
aktifasi dari jalur
-
28
intrinsik oleh karena stasis darah pada sistem portal, dan
pelepasan endotoksin yang
berasal dari saluran pencernaan dan tidak dapat dibersihkan oleh
hati oleh karena
adanya gagal hati.
.1 DIC akut 8-13, 16-18
Episode dari DIC akut fulminan dapat terjadi sebagai komplikasi
dari
penyakit hati kronik atau akut. Keadaan yang sangat menonjol ini
terutama
terjadi pada pasien sirosis hati yang menjalani peritoneovenous
(LeVeen)
shunts dan pada pasien acute fatty liver of pregnancy. Pasien
dengan nekrosis
hepatik akut dan gagal hati dengan berbagai macam etilogi juga
dapat
mengalami DIC akut ini.
Pada pasien penyakit hati dengan pintas peritoneovenous
(peritoneovenous / LeVeen shunt) , hasil laboratorium yang
menunjukan
adanya DIC sangat bervariasi. Pada suatu penelitian didapatkan
bahwa 10 dari
11 pasien sirosis hati mengalami DIC setelah dilakukan
pemasangan pintas
peritoneovenous. Rubinstein melaporkan bahwa 14 dari 27 pasien
mengalami
DIC setelah pemasangan pintas peritoneovenous, kejadian DIC ini
lebih
cenderung terjadi pada pasien dengan sirosis hati dibandingan
pasien dengan
penyakit peritoneal. Pada penelitian yang lain didapatkan pasien
dengan
metastasis hepatik dan asites yang memerlukan pemasangan pintas,
4 dari 9
dari 9 pasien mengalami DIC. Kejadian DIC ini bermanifestasi
sebagai
perdarahan yang berlebihan, sehingga mengindikasikan untuk
ligasi pintas
peritoneovenous.
Setelah pemasangan pintas peritoneovenous, didapatkan umur
trombosit dan fibrinogen berkurang secara bermakna. Etiologi
terjadinya DIC
-
29
setelah pemasangan pintas peritoneovenous masih belum pasti.
Endotoksin,
tromboplastin dan kolagen yang mudah larut didapatkan pada
cairan asites dan
mencapar sirkulasi melalui pintas peritoneovenous ini. Hal
inilah yang diduga
menjadi faktor pencetus terjadinya DIC. Aspirin dapat digunakan
untuk
mengembalikan umur trombosit dan fibrinogen, tetapi hal ini
jelas tidak
mungkin diberikan untuk pencegahan terjadinya DIC pada pasien
dengan
penyakit hati lanjut. Infus AT III telah dicoba diberikan pada
pasien dengan
pintas peritoneovenous, tetapi hal ini ternyata tidak juga
berhasil untuk
mencegah terjadinya DIC.
Pasien acute fatty liver of pregnancy dapat mengalami
gangguan
perdarahan dan sulit dibedakan dengan adanya DIC akut pada
pasien ini, yang
disertai dengan berbagai macam derajat defisiensi faktor-faktor
pembekuan,
trombositopenia, hipofibrinogenemia dan pengkatan jumlah FDP.
Gambaran
yang menyolok pada kelainan ini adalah kadar AT III yang sangat
rendah,
bahkan bisa kadar AT III tidak terdeteksi. Abnormalitas fungsi
hati dan
hemostasis pada pasien ini akan terus berlangsung sampai jangka
waktu
tertentu setelah melahirkan. Terapi untuk gangguan perdarahan
pada pasien ini
adalah dengan transfusi agresif dengan darah dan produk darah.
Perbaikan
parameter laboratorium dan klinis dilaporkan pada pasien ini
setelah
mendapatkan terapi konsentrat AT III.
Gagal hati berat ditandai dengan rendahnya produksi
prokoagulan,
abnormalitas sintesis dan fungsi faktor-faktor pembekuan,
peningkatan
fibrinolisis dan gangguan pembersihan faktor-faktor pembekuan
yang aktif
dan FDP oleh hati. Abnormalitas parameter laboratorium pada
defek
-
30
hemostasis pada keadaan ini meliputi beberapa parameter yang
juga
digunakan untuk menegakan diagnosis DIC, yaitu : pemanjangan PT,
aPTT,
dan TT, penurunan masa aktif fibrinogen, dan peningkatan FDP.
Peningkatan
kadar faktor VIII:C pada penyakit hati akan membedakan keadaan
dengan
adanya DIC fulminan. Memang merupakan hal yang sangat sulit
untuk
menggunakan test standar klinis ini untuk membedakan keadaan
gangguan
perdarahan yang diakibatkan oleh penyakit hati atau oleh karena
adanya DIC.
Komplek trombin-antitrombin (TAT) merupakan suatu pemeriksaan
yang
dapat mengetahui formasi trombin, peningkatan TAT pada pasien
dengan
gagal hati fulminan menandakan adanya DIC yang menyertai pada
pasien
dengan gagal hati fulminan ini.
.2 DIC kronik 8-13, 16-18
Karena didapatkan adanya persamaan abnormalitas parameter
laboratorium pada pasien dengan penyakit hati lanjut dan DIC
kronik, hal ini
menjadikan sulit untuk membedakan pasien dengan hepatitis kronik
aktif dan
sirosis hati yang disertai dengan DIC atau adanya gangguan
koagulapoti yang
diinduksi oleh penyakit hati, yang hampir sama gangguan
hemostasisnya
dengan DIC. Adanya DIC kronik pada pasien dengan penyakit hati
lanjut,
ditandai dengan waktu paruh fibrinogen yang memendek, dan dapat
dikoreksi
dengan pemberian heparin atau infus AT III, tetapi tidak dapat
dikoreksi
dengan pemberian penghambat fibrinolisis. Fibrinopeptida A (FpA)
dipecah
dari fibrinogen oleh trombin, dan FpA ini dapat digunakan
sebagai indeks
untuk mengetahui aktifitas trombin. Peningkatan kadar FpA yang
didapatkan
-
31
pada pasien sirosis hati, hepatitis kronik aktif, autoimun
hepatitis kronik aktif
menandakan adanya aktifitas trombin yang berlebihan. Pemberian
heparin
akan menurunkan kadar FpA menjadi normal pada pasien ini. FDP,
produk-
produk penghancuran dari anyaman fibrin, dan D-dimer didapatkan
meningkat
kadarnya didalam plasma pada pasien dengan penyakit hati
kronik.
Peningkatan kadar komplek TAT dan FDP di dalam plasma diduga
meningkatkan aktifitas trombin bersamaan dengan
hiperfibrinolisis. Pada
penelitian yang lain dilaporkan adanya peningkatan kadar komplek
TAT pada
pasien dengan sirosis hati, dimana kadar fibrin yang mudah larut
dan D-dimer
tidak meningkat, sepanjang kadar AT III masih dalam batas
normal.
Peningkatan kadar komplek TAT pada pasien dengan penyakit hati
tidaklah
menunjukkan adanya peningkatan produksi dari trombin, melainkan
akibat
akibat menurunnya proses pembersihan oleh hati, dimana hati
bertanggung
jawab membersihkan (clearence) lebih dari 80% TAT didalam
sirkulasi.
Walaupun kenyataan menunjukkan adanya kejadian DIC kronik
subklinik
pada pasien dengan penyakit hati lanjut, hal ini masih merupakan
kontroversi.
Dari hasil autopsi pasien dengan penyakit hati kronik atau akut,
didapatkan
gambaran histopatologi yang sesuai dengan DIC, yaitu
ditemukannya
mikrotrombus pada lebih dari satu organ.
Pada pasien dengan penyakit hati lanjut, akan mempunyai
komplikasi
gangguan hemostasis, termasuk gangguan sintesis dan pembersihan
dari
faktor-faktor pembekuan, trombositopeni, defisiensi faktor
penghambat proses
hemostasis, disfibrinogenemia dan proses fibrinolisis yang
abnormal. Hasil
akhir dari gangguan koagulapati pada pasien dengan penyakit hati
lanjut ini
-
32
akan sulit dibedakan dengan DIC kronik subklinik. Pasien dengan
penyakit
hati lanjut akan sangat mudah untuk terjadi DIC akut bila
disertai dengan
stress lainnya seperti pembedahan, infeksi, hipotensi dan
prokoagolan yang
berlebihan yang berasal dari pintas cairan asites. Sehingga
mekanisme
hemostasis pada pasien dengan penyakit hati lanjut dimana
didapatkan
manifestasi laboratorium yang sesuai dengan DIC kronik
terkompensasi atau
adanya produksi yang rendah dari prokoagulan akan sangat sulit
untuk
mempertahankan keadaan seimbang antara perdarahan dan
trombosis.
2.2.4 DEFEK TROMBOSIT PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT HATI
Defek kualitatif dan kuantitatif trombosit terjadi pada pasien
dengan penyakit hati.
Secara umum, patofisiologi abnormalitas trombosit ini bersifat
multifaktorial.
.1 Defek kuantitatif pada trombosit 8-13,19
Trombositopeni sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
hati
kronik maupun akut dan biasanya disebabkan oleh hipersplenisme
dimana
terjadi pengumpulan trombosit pada lien (splenic pooling) dan
destruksi
trombosit yang berlebihan. Pada individu normal, 20%-40% dari
total
trombosit yang bersirkulasi berada di dalam lien, tetapi pada
keadaan
splenomegali hampir 90% trombosit terkumpul di dalam lien. Pada
pasien
dengan hepatitis virus akut, hampir 20% pasien terdapat
splenomegali. Tetapi,
sampai saat ini belum dapat dirumuskan korelasi antara jumlah
trombosit
dengan ukuran besarnya lien. Tetapi yang jelas dapat disimpulkan
bahwa
splenomegali dapat menyebabkan trombositopeni.
-
33
Umur trombosit biasanya juga berkurang pada pasien dengan
penyakit
hati, terutama pada pasien hepatitis C dan autoimun hepatitis,
hal ini
dihubungkan dengan adanya IgG . Trombopoetin diproduksi oleh sel
hati dan
konsentrasi yang rendah dari trombopoetin ini akan menyebabkan
respon yang
tidak adekuat dari sumsum tulang terhadap trombositopeni.
Pasien dengan penyakit hati yang disebabkan oleh alkohol,
mempunyai
mekanisme yang berbeda terhadap adanya trombositopeni, dimana
akan
mengurangi produksi trombosit oleh megakariosit dan akan
mempercepat
penghancuran trombosit. Defisiensi asam folat juga berkontribusi
terhadap
gangguan trombopoesis. Hepatitis virus fulminant akan disertai
dengan
penurunan jumlah trombosit yang sangat bermakna. Infeksi virus
akan
menghambat megakariopoesis serta akan mempercepat destruksi
trombosit
diperifer yang diperantarai oleh komplek imun atau kerusakan
vaskuler.
Peningkatan penghancuran trombosit yang diperantarai konsumsi
trombin
seperti DIC atau oleh karena mekanisme imun, merupakan hal yang
patut
dipikirkan menjadi penyebab trombositopeni pada pasien dengan
penyakit
hati. Trombosit yang diambil dari beberapa pasien dengan
penyakit hati
dengan berbagai penyebab, termasuk hepatitis virus, hepatitis ,
hepatitis kronik
aktif, sirosis dan sirosis bilier primer menunjukan peningkatan
jumlah ikatan
dengan imunoglobulin, yang berhubungan dengan kadar komplek imun
yang
tinggi disirkulasi. Jumlah trombosit dalam hubungannya dengan
ikatan
imunoglobulin, tidak didapatkan adanya korelasi dengan ukuran
besarnya lien,
seperti halnya juga tidak didapatkan korelasi antara jumlah
trombosit dengan
besarnya ukuran lien pada pasien dengan penyakiy hati.
Peningkatan kadar
-
34
imunoglobulin tidak dapat digunakan sebagai prediktor untuk
menentukan
keadaan trombositopeni, karena peningkatan kadar imunoglobulin
kadangkala
juga disertai dengan kadar trombosit yang normal pada pasien
dengan hepatitis
kronik aktif dan hepatitis kronik persisten.
Meskipun adanya penumpukan trombosit didalam lien atau
adanya
imunoglobulin yang berhubungan dengan penghancuran trombosit,
pada
beberapa pasien dengan penyakit hati lanjut, dapat disertai
dengan jumlah
trombosit yang normal. Pada beberapa penelitian, dilaporkan
bahwa 60% dari
pasien dengan sirosis terkompensasi, yang menunjukkan adanya
punumpukan
trombosit di lien serta penghancuran oleh karena imunoglobulin,
jumlah
trombosit didapatkan dalam batas normal, dengan kompensasi
terjadinya
peningkatan produksi trombosit menjadi dua kali lipat.
Tampaknya
trombositopeni terjadi jika sumsum tulang belakang tidak dapat
lagi
mengkompensasi untuk meningkatkan produksi trombosit terhadap
keadaan
dimana terjadi peningkatan penghancuran trombosit yang
bersirkulasi. Adanya
infeksi, obat-obatan, toksin, dan gangguan nutrisi juga akan
menekan aktifitas
sumsum tulang belakang untuk memproduksi tormbosit, dan pada
akhirkan
akan memperburuk keadaan trombositopeni. Etanol dan defisiensi
asam folat
merupakan penyebab utama terjadinya trombositopeni pada pasien
dengan
hepatitis , karena terjadi penghambatan pematangan megakariosit
dan
memperpendek umur trombosit yang bersirkulasi. Penghentian
konsumsi
dapat menormalkan kembali jumlah trombosit dalam kurun waktu
sekitar 3
minggu. Masa pemulihan ini, ditandai dengan didapatkannya
megatrombosit,
-
35
yang merupakan trombosit yang belum matur, tetapi telah beredar
di dalam
sirkulasi.
Trombositopeni berat sebagai akibat sekunder dari adanya anemia
aplastik
terjadi pada 1 dari 500 kasus pada hepatitis akut, keadaan ini
memiliki angka
kematian yang cukup tinggi, walaupun telah dilakukan terapi
agresif dengan
transpalantasi sumsum tulang.
.2 Defek kualitatif pada trombosit 8-13,19
Abnormalitas fungsi trombosit didapatkan pada pasien penyakit
hati
dengan berbagai macam etiologi, ditandai dengan memanjangnya
waktu
perdarahan, gangguan aggregasi dan adhesi trombosit dan ultra
struktur
trombosit yang abnormal. Waktu perdarahan ( bleeding time / BT )
sering
didapatkan memanjang pada pasien dengan penyakit hati berat
dan
pemanjangan waktu perdarahan ini tidak hanya disebabkan oleh
adanya
trombositopeni. Penyebab disfungsi dari trombosit ini belum
dapat dijelaskan
dengan pasti, walaupun terjadi penurunan jumlah glikoprotein Ib
pada
permukaan trombosit, sehingga terjadi gangguan pada adhesi dan
aggregasi
trombosit pada beberapa pasien, tetapi hal ini tidak terjadi
pada semua pasien.
Pada pasien dengan sirosis hati yang stabil, dilaporkan bahwa
respon
aggregasi dan adhesi trombosit masih dalam batas normal.
Fungsi trombosit yang abnormal dapat disebabkan oleh adanya
defek
intrinsik pada trombosit dan interaksi yang abnormal antara
trombosit,
permukaan endotel dan faktor-faktor pembekuan. Defek intrinsik
pada
trombosit berhubungan dengan gangguan mekanisme pada
transmembran pada
-
36
trombosit, gangguan produksi tromboksan, perubahan struktur
membran
trombosit, gangguan ikatan permukaan trombosit dengan faktor vWF
dan
didapatkan defek akibat penumpukan trombosit didalam lien.
Penyebab
disfungsi trombosit ini juga diduga akibat adanya trombosit
inhibitor didalam
sirkulasi ( fibrin degradation products / FDP ) yang tidak dapat
dibersihkan
dari sirkulasi secara adekuat karena adanya disfungsi hati. FDP
akan
menyebabkan gangguan dalam aggregasi trombosit. Adanya
disfibrinogenemia
juga akan menyebabkan gangguan pada proses aggregasi den
adhesi
trombosit.
Gangguan fungsi trombosit pada pasien dengan penyakit hati atau
pada
individu normal pada umumnya, disebabkan oleh obat-obatan
yang
mengganggu fungsi trombosit, misalnya aspirin. Pada individu
normal, aspirin
hanya akan menyebabkan pemanjangan waktu perdarahan yang ringan,
tetapi
pada pasien dengan penyakit hati, terjadi pemanjangan waktu
perdarahan yang
berat. Pada pasien penyakit hati, yang telah mempunyai gangguan
hemostasis
subklinik sebelumnya, gangguan fungsi trombosit yang diperberat
oleh obat-
obatkan, akan mencetuskan terjadi gangguan perdarahan yang
hebat.
-
37
MASALAH HEMOSTASIS PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT HATI YANG
AKAN MENJALANI PROSEDUR INVASIF
.1 PEMBEDAHAN 8-13,19,20
Pasien dengan penyakit hati lanjut, mempunyai resiko tinggi
untuk terjadinya
perdarahan jika menjalani pembedahan. Pemanjangan PT
(protrombine time)
merupakan indikator utama untuk memperkirakan adanya masalah
perdarahan selama
selama proses pembedahan dan setelah proses pembedahan.
Pembedahan saluran bilier pada pasien sirosis hati akan
mempunyai resiko yang
sangat berat. Pada 55 pasien yang menjalani operasi
kholesistektomi, dilaporkan 9%
mengalami kematian pada pasien dengan sirosis hati, dibandingkan
hanya 1,1% yang
mengalami kematian pada pasien tanpa adanya sirosis hati. Angka
kematian
didapatkan sekitar 83% pada pasien dengan sirosis hati dengan PT
yang memanjang
2.5 kali dari kontrol yang menjalani operasi kholesistektomi,
walaupun telah
dilakukan terapi profilaksis dengan memberikan produk darah
sebelum menjalani
operasi. Perdarahan selama operasi menjadi penyebab utama
kematian pada 60%
pasien.
Pemotongan sebagian dari lobus hati pada trauma atau keganasan
juga akan
mempunyai resiko terjadinya perdarahan yang masif. Setelah
operasi, biasanya
didapatkan penurunan kadar faktor-faktor pembekuan yang
tergantung dengan
vitamin K. Adanya DIC dan keadaan hiperkoagulasi yang terjadi
setelah hepatektomi
parsial juga merupakan komplikasi setelah proses pembedahan yang
harus
diwaspadai.
-
38
.2 TRANSPLANTASI HATI 8-15,19,20
Pada pasien yang menjalani transplantasi hati, dapat terjadi
gangguan hemostasis
yang berat, yang sangat memerlukan penatalaksanaan yang tepat.
Berdasarkan
keadaan hemostasis, proses transplantasi hati dapat dibagi
menjadi 3 fase, yaitu : fase
reseksi / pemotongan hati, fase anhepatik, fase pemulihan
sirkulasi pada hati yang
baru. Selama proses pembedahan , perdarahan dapat terjadi pada
setiap fase.
Kehilangan darah akan sangat banyak, sehingga persiapan produk
darah sebelum
operasi sangatlah penting. Produk darah yang harus disediakan
antara lain adalah
PRC, FFP, crioprecipitate, dan trombosit. Angka kematian akibat
perdarahan pada
transplantasi hati selama proses pembedahan mencapai 20%, karena
itu persiapan
produk darah untuk mengantisipasi perdarahan harus dipersiapkan
sebaik mungkin.
Beberapa faktor berperan dalam menyebabkan perdarahan yang hebat
pada proses
transplantasi hati. Perdarahan terutama terjadi pada saat
pengangkatan hati pada
resipien, terutama pada pasien yang sebelumnya telah menjalani
proses pembedahan
hepatobilier dan saat proses melakukan proses anastomose
vaskular pada vena cava
inferior, vena porta, dan arteri hepatika resipien. Perdarahan
dari pembuluh darah
kolateral dapat terjadi pada pasien yang sebelumnya telah
mempunyai hipertensi
portal, dan keadaan ini akan lebih diperberat, karena biasanya
pasien yang menjalani
transplantasi hati adalah pasien dengan penyakit hati stadium
akhir, dimana telah
terjadi gangguan hemostasis sebelumnya. Pada saat fase
anhepatik, gangguan
koagulasi akan semakin berat, sampai beberapa jam setelah proses
transplantasi hati.
Gangguan proses hemostasis ini terus berlangsung sampai
tercapainya perfusi yang
baik pada hati yang ditransplantasi, dan fungsi hati dapat
berjalan dengan baik. Pada
beberapa pasien, gangguan koagulasi yang terjadi pada saat awal
setelah proses
-
39
transplantasi hati dapat sangat berat dan perdarahan yang
terjadi dapat mengancam
nyawa.
Mekanisme yang mendasari terjadinya gangguan hemostasis pada
fase anhepatik
dan revaskularisasi hati sangat komplek, gangguan ini berupa
kombinasi antara proses
fibrinolisis sistemik dan DIC. Fibrinolisis sistemik berat
terjadi karena aktivitas yang
berlebihan dari tPA, menurunnya kadar 2-antiplasmin dan PAI-1,
yang menyebabkan
penurunan kadar plasminogen, memperpendek euglobulin lysis time
dan peningkatan
kadar FDP, yang terjadi pada fase anhepatik dan fase
revakularisasi hati. DIC yang
terjadi pada transplantasi hati karena gangguan pembersihan
faktor faktor
pembekuan yang aktif, material prokoagulan yang dilepaskan pada
proses tranplastasi
hati, kerusakan sel endotel pada saat revaskularisasi hati.
Trombositopeni berat juga
dapat terjadi karena proses DIC atau proses fagositosis oleh sel
kuppfer hati, dan
keadaan ini akan memperberan gangguan hemostasis yang telah
ada.
Penatalaksanaan perdarahan yang berhubungan dengan transplantasi
hati juga
sangat tergantung pada penanganan perdarahan secara pembedahan
dan pemberian
produk-produk darah. Pada keadaan dimana terjadi reaksi
penolakan transplantasi
oleh resipien sehingga tidak terjadi revaskularisasi pada hati,
maka gangguan
koagulasi akan sangat berat dan ini menandakan prognosis yang
buruk bagi pasien.
Pada fase anhepatik, terjadi proses hiperfibrinolisis, pada saat
ini dapat diberikan anti
fibrinolitik, jika terjadi perdarahan yang sangat hebat. Tidak
ada laporan yang
menyatakan adanya komplikasi trombo emboli pada pemberian anti
fibrinolitik ini.
Anti fibrinolitik mungkin tidak diperlukan bila proses
revaskularisasi hati donor oleh
resipien berlangsung cepat. Beberapa peneliti juga
merekomendasikan pemberian AT
III untuk menghambat pembentukan trombin, sebelum memberikan
anti fibrinolitk.
-
40
Pemberian AT III ini diharapkan akan mengurangi komplikasi
trombosis pada pasien
DIC yang diberikan anti fibrinolitik. Pemberian AT III selama
proses pembedahan ini,
tidak akan mengurangi kebutuhan produk darah yang harus
ditransfusikan.
Selama periode setelah proses pembedahan, dimana proses
koagulasi dan aktifitas
fibrinolisis telah berjalan dengan normal, keadaan
hiperkoagulasi dapat terjadi sebagai
akibat dari adanya trombosis hepatik dan pembuluh darah portal.
Keadaan ini terjadi
diduga karena kembalinya faktor-faktor prokoagulan lebih cepat
dibandingkan
kembalinya anti koagulan, AT III, protein C dan protein S.
Heparin dosis rendah dan
pemberian transfusi FFP serta mempertahankan keadaan dengan
hemotokrit yang
sedikit rendah, diperlukan untuk mengurangi komplikasi trombosis
ini. Tampaknya,
AT III dan protein C sangat bermanfaat diberikan pada periode
paska pembedahan.
.3 BIOPSI HATI 8-20
Biopsi hati kadang kala perlu dilakukan pada pasien dengan
penyakit hati lanjut
yang telah mempunyai gangguan koagulapati. Biopsi dengan
menggunakan jarum
perkutaneus pada pasien ini akan mempunyai resiko perdarahan
yang cukup besar,
karena jarum biopsi dapat mengenai arteri atau sirkulasi portal
yang telah mengalami
bendungan. Sehingga pada pasien dengan PT dan aPTT yang
memanjang
trombositopeni dengan jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm3,
adanya asites dan
riwayat gangguan hemostasis sebelumnya, biopsi hati tidak
direkomendasikan untuk
dilakukan.
Cara lain untuk melakukan biopsi hati adalah dengan tehnik
biopsi hati
transvenous, untuk menghindari komplikasi perdarahan pada pasien
dengan penyakit
hati lanjut yang disertai dengan gangguan hemostasis berat.
Tehnik ini pada
-
41
prinsipnya menggunakan cara dengan menempatkan kateter melalui
vena jugularis
menuju ke vena hepatika. Tehnik ini dilaporkan jauh lebih aman
mengurangi resiko
perdarahan dari pada dengan tehnik biopsi perkutaneus.
Tehnik biopsi hati perkutaneus dengan menggunakan sumbat
hemostatik sintetik
yang bisa diserap (Gelfoam), juga dapat menjadi pilihan tehnik
untuk melakukan
biopsi hati, untuk mengurangi komplikasi perdarahan pada pasien
dengan gangguan
hemostasis.
Untuk menghindari terjadinya perdarahan pada biospi hati, pasien
dengan
pemanjangan PT lebih dari 3 kali kontrol dan jumlah trombosit
yang kurang dari
80.000/mm3, pemberian transfusi FFP dan trombosit
direkomendasikan, terutama
untuk tehnik biopsi hati perkutaneus.
.4 PROSEDUR INVASIF LAINNYA 8-20
Pasien dengan penyakit hati sering memerlukan tindakan invasif
dalam
penatalaksanaannya, seperti pungsi lumbal, parasintesis,
thorakosintesis, dan
pemasanan kateter vena sentral serta kateter arteri. Prosedur
ini memang tidak
mempunyai angka morbiditas yang tinggi seperti tindakan
pembedahan lainnya, tetapi
resiko terjadinya perdarahan pada pasien ini tetap harus menjadi
bahan pertimbangan
sebelum melakukan tindakan. Sampai saat ini masih menjadi
perdebatan, apakah
perlu memberikan transfusi produk darah sebelum melakukan
tindakan. Yang paling
penting dipertimbangkan adalah seberapa invasifnya tindakan yang
akan dilakukan
dan petugas yang melakukan tindakan hendaknya yang telah
berpengalaman.
Perdarahan yang terjadi pada tindakan ini, dapat menjadi masalah
yang cukup serius
bila perdarahan terjadi pada tempat yang membahayakan, misalnya
pada sistem saraf
-
42
pusat. Penggunaan jarum yang paling kecil yang masih bisa
digunakan untuk tindakan
fluoroskopi atau tindakan lainnya, dapat mengurangi komplikasi
perdarahan.
Untuk melakukan tindakan invasif, tetap harus diperhatikan
fungsi hemostatis
pada pasien dengan penyakit hati ini. Pemberian produk darah
sebelum tindakan,
tampaknya memang belum diperlukan pada pasien dengan pemanjangan
PT yang
tidak lebih 2,5 kali dari kontrol dan jumlah trombosit tidak
kurang dari 100.000/mm3.
Tetapi pada pasien dengan pemanjangan PT lebih dari 3 kali
kontrol dan jumlah
trombosit kurang dari 50.000/mm3, dapat diberikan FFP sebanyak 2
sampai 4 unit
dengan atau tanpa pemberian transfusi trombosit. Prosedur
invasif ini dapat segera
dilakukan setelah transfusi tanpa menunggu hasil
laboratorium.
-
43
TATA LAKSANA PERDARAHAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT HATI
Perdarahan yang berlebihan pada pasien dengan penyakit hati
lanjut
dilaporkan frekuensinya cukup sering, yaitu sekitar 15%-30% pada
pasien dengan
penyakit hati kronik, dan frekuensi yang cukup tinggi pula pada
pasien hepatitis
fulminan dan sirosis dekompesata. Perdarahan abnormal ini dapat
terjadi secara
spontan, tetapi juga dapat juga dicetuskan oleh tindakan
operasi, gastritis dan ruptur
varises esofagus. Adanya kelainan anatomis juga turut berperan
dalam terjadinya
perdarahan selain masalah gangguan sistem hemostasis pada pasien
dengan dengan
penyakit hati. Hal ini didukung oleh data, didapatkan bahwa
ternyata kejadian
perdarahan saluran pencernaan bagian atas, berkurang pada pasien
hepatitis fulminan
yang mendapat terapi profilaksis dengan cimetidine. Terapi
terhadap adanya
perdarahan pada pasien dengan paenyakit hati, hendaknya bila
memungkinkan
dikoreksi juga lesi anatomik yang ada. Terapi suportif dengan
produk darah juga
sangat diperlukan, terutama pada perdarahan yang lama dan
berlebihan. Penggunaan
produk darah untuk profilaksis terutama ditujukan pada prosedur
invasive yang akan
dilakukan pada pasien dengan penyakit hati. 8-13
Terapi spesifik pada gangguan perdarahan pada pasien dengan
penyakit hati
sangat bervariasi, tergantung pada derajat gangguan hemostasis
yang terjadi dan efek
terhadap perdarahan yang terjadi. Terapi suportif dengan produk
darah sangat bersifat
individual. Terapi terhadap gangguan hemostasis merupakan tujuan
utama terhadap
defisiensi multipel faktor-faktor pembekuan dan penghambat
faktor pembekuan
dengan memberikan terapi vitamin K dan memberikan beberapa
produk darah.
-
44
4.1 FFP (FRESH FROZEN PLASMA) 8-20
FFP mengandung banyak prokoagulan dan penghambatnya yang
secara
normal ditemukan di dalam darah dan digunakan untuk terapi
gangguan yang
melibatkan defisiensi multiple berbagai faktor pembekuan. Pasien
dengan perdarahan
dan disertai dengan pemanjangan PT, dapat dikoreksi dengan
pemberian FFP 12 20
ml/kgBB. Pemberian FFP dalam jumlah besar, juga dibatasi oleh
volum intravaskuler,
terutama pada pasien dengan gagal ginjal. Beberapa peneliti,
menmganjurkan
pemakaian plasmapheresis sebelum memakai FFP untuk membatasi
volume plasma.
Efektifitas infus FFP dibatasi oleh waktu paruh berbagai faktor
koagulasi, terutama
faktor VII. Setelah 24 jam pemberian FFP, maka konsentrasi dari
berbagai
prokoagulan akan kembali ke nilai normal, Jika konsumsi
prokoagulan berlebihan
berlebihan, seperti pada keadaan DIC atau perdarahan, lama kerja
FFP juga akan
menurun.
Pendekatan rasional pada pasien yang mengalami perdarahan
dengan
pemanjangan PT adalah dengan memberikan FFP sebanyak 2 sampai 6
unit ( 12 20
ml/kgBB). Jika memungkinkan, PT dimonitor pada saat pemberian
FFP untuk
mendapatkan nilai PT yang diinginkan dan penambahan FFP dapat
diberikan sesuai
kebutuhan untuk mengoreksi PT sepanjang perdarahan yang masih
berlangsung. Bila
koreksi PT tidak didapatkan setelah pemberian FFP, perlu
dipikirkan adanya inhibitor
prokoagulan atau FDP yang berlebihan di dalam sirkulasi dan
adanya disfibrinogen.
Walaupun koreksi PT tidak didapatkan, pemberian FFP secara
kontinyu dengan
interval 6 12 jam, tetap direkomendasikan, jika perdarahan yang
mengancam nyawa
masih terus berlangsung.
-
45
4.2 VITAMIN K 8-14, 16-18,21
Pasien dengan penyakit hati dan koagulopati, biasanya
didapatkan
pemanjangan PT, dan hal ini tidak dapat dibedakan dengan
kelainan akibat defisiensi
vitamin K. Pada keadaan dimana tidak didapatkan obstruksi
bilier, maka tidak
mungkin kelaianan hemostasis akan memberikan respon yang baik
terhadap
pemberian vitamin K, tetapi karena pemberian vitamin K tidak
membahayakan, maka
beberapa peneliti tetap merekomendasikan pemberian vitamin K
pada keadaan
dimana terjadi perdarahan atau sebelum prosedur invasif yang
mungkin akan
menyebabkan terjadinya perdarahan.
Pada kasus dengan perdarahan masif maka pemberian FFP merupakan
terapi
inisial, vitamin K1 merupakan terapi pilihan untuk defisiensi
vitamin K. Masih
manjadi kontroversi mengenai dosis dan rute pemberian vitamin K,
apakah
intramuskuler, subkutan atau intravena. Oleh karena ada resiko
hematom pada
pemberian intramuskular, dan absorbsi yang tidak dapat
diprediksi pada pemberian
subkutan, maka pemberian intravena menjadi pilihan terbaik.
Tetapi harus
diperhatikan, pada pemberian vitamin K1 secara intravena, harus
diberikan secara
perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Dosis
sebanyak 15 mg
direkomendasikan untuk pemberian secara intravena. Efek terhadap
terapi vitamin K
akan terlihat dalam 12 jam pemberian. Pasien dengan obstruktive
jaundice atau pasien
yang mendapat terapi antibiotik memerlukan dosis
pemeliharaan.
4.3 CRYOPRECIPITATE 8-20
Cryoprecipitate merupakan suatu endapan FFP yang diencerkan pada
suhu 4
C, yang kaya akan faktor VIII, vWF dan fibrinogen. Jumlah
protein yang terkandung
-
46
dari tiap-tiap unit berbeda, tetapi rata-rata sekitar 200 250 mg
per unit.
Cryoprecipitate biasanya digunakan untuk terapi episode
perdarahan pada pasien
dengan hipofibronogenia, baik itu kelainan kongenital ataupun
yang didapat. Selama
episode perdarahan, pasien dengan kadar fibrinogen kurang dari
100 ml/dl,
cryoprecipitate dapat diberikan 1 4 unit per 10 kgBB untuk
mempertahankan kadar
fibrinogen diatas 100 ml/dl.
4.4 KOMPLEK PROTROMBIN 8,10,19,20
Komplek protrombin (PTC) merupakan suatu konsentrat faktor II,
VII, IX dan
X, yang didapat dari plasma 1000 3000 donor. Keuntungan dari
komplek
protrombin ini adalah bahwa konsentrat mengandung faktor
pembekuan II, VII, IX
dan X yang sangat tinggi dengan volume plasma yang relatif lebih
kecil. Konsentrat
ini sangat berguna untuk terapi defisiensi faktor II, VII, IX
dan X pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi transfusi FFP dalam volume yang
banyak.
Karena pasien yang mendapat transfusi komplek protrombin ini
akan terpapar
oleh produk darah yang berasal dari banyak donor, maka pemberian
transfusi komplek
protrombin sangat dibatasi, dan dengan indikasi yang benar-benar
tepat, untuk
menghindari terjadinya penularan infeksi yang berhubungan dengan
transfusi
(hepatitis, HIV), reaksi anafilaksis, trombosis dan DIC.
Trombosis dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit hati, yang terjadi setelah pemberian
komplek protrombin ini
terjadi karena adanya peningkatan kadar faktor II, VII, IX dan X
akibat aktifitas
pembersihan faktor-faktor pembekuan oleh hati yang menurun dan
kadar AT III yang
rendah. Akibat banyak efek yang tidak menguntungkan dari
pemberian komplek
protrombin ini, maka pemberiannya sangat dibatasi pada pasien
dengan penyakit hati
-
47
lanjut yang telah mempunyai gangguan hemostasis. Pemberian
komplek protrombin
ini lebih diindikasikan pada pasien yang mengalami perdarahan
yang bersifat
mengancam nyawa, yang tidak dapat diatasi dengan pemberian
produk darah yang
lainnya.
4.5 TROMBOSIT 8,10,16-20
Transfusi trombosit diindikasikan pada pasien dengan
trombositopeni yang
mengalami perdarahan aktif. Respon normal transfusi trombosit
akan meningkatkan
jumlah trombosit sebanyak 10.000/mm3 setiap pemberian satu unit
transfusi. Pada
pasien dengan penyakit hati, karena adanya penumpukan trombosit
di dalam lien
(splenic pooling) dan peningkatan konsumsi trombosit yang
berlebihan karena adanya
perdarahan, maka pada pasien ini respon peningkatan trombosit
setelah transfusi
trombosit tidak seperti yang diharapkan. Pemberian transfusi
trombosit diteruskan
sampai perdarahan sudah dapt diatasi, dan kadar trombosit telah
mencapai 100.000/
mm3. Pada pasien trombositopeni yang akan menjalani tindakan
pembedahan,
transfusi trombosit sebelum operasi dapat dipertimbangkan,
terutama pada pasien
dengan kadar trombosit kurang dari 100.000/mm3. Tranfusi
trombosit masih harus
diteruskan sampai periode setelah tindakan pembedahan untuk
mempertahan kadar
trombosit lebih dari 100.000/mm3. Pada pasien trombositopeni
yang akan menjalani
tindakan invasif ringan seperti parasintesis dan
thorakosintesis, tindakan dapat
dilakukan dengan aman tanpa transfusi trombosit walaupun kadar
trombosit 50.000/
mm3. Tetapi tindakan ini harus dilakukan oleh operator yang
berpengalaman.
-
48
4.6 HEPARIN DAN AT III 8,10,16-18,21
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pasien dengan penyakit hati
lanjut akan
didapatkan keadaan dengan peningkatan aktifitas trombin yang
berlebihan yang sulit
dibedakan dengan DIC. Pemberian terapi heparin dan AT III
dimaksudkan untuk
membatasi aktifitas trombin, menurunkan konsumsi prokoagulan
dan
mempertahankan parameter hemostasis dalam batas normal. Walaupun
beberap kasus
dilaporkan adanya manfaat pemberian terapi heparin dan AT III
pada pasien dengan
penyakit hati ini untuk memperbaiki parameter laboratorium
hemostasis, namun
belum ada penelitian yang pasti untuk menjamin keamanan
pamakaian heparin dan
AT III secara rutin pada pasien dengan penyakit hati. Pada kasus
pasien dengan gagal
hati akut yang disebabkan oleh intoksikasi parasetamol,
pemberian heparin dosis
penuh, ternyata tidak memberikan hasil klinis yang
memuaskan.
4.7 DDAVP 8,10,16-18,21
Penggunaan peptide 1-deamino-8-D-arginine vasopressin (DDAVP)
pada pasien
dengan sirosis hati dapat memperpendek waktu perdarahan
(bleeding time) dan
meningkatan kadar vWF di dalam plasma. Beberapa kasus
dilaporkan, juga
didapatkan peningkatan kadar faktor VII, VIII, IX, XI dan XII
yang disertai dengan
pemendekan PT dan aPTT pada pasien dengan penyakit hati lanjut,
tetapi hal ini
belum dikonfirmasi dengan penelitian yang akurat. Pada
kebanyakan pasien dengan
penyakit hati, biasanya didapatkan kadar faktor vWF dan faktor
VIII yang sudah
meningkat, sehingga penggunaan DDAVP pada pasien dengan penyakit
hati ini masih
belum pasti. Tetapi karena sampai saat ini penggunaan DDAVP pada
pasien dengan
penyakit hati belum ada laporan mengenai efek samping
penggunaannya, maka pada
-
49
pasien dengan penyakit hati yang mengalami perdarahan yang tidak
dapat diatasi
dengan cara lain, maka pemberian DDAVP dapat
dipertimbangkan.
4.8 ANTI FIBRINOLITIK 8,10,21
Asam traneksamat dan -aminocaproic dapat menghambat proses
fibrinolisis.
Obat ini telah banyak digunakan untuk terapi hiperfibrinolisis
primer atau sekunder,
termasuk pasien dengan penyakit hati yang disertai dengan
hiperfibrinolisis.
Pemberian antifibrinolitik ini tidak boleh diberikan pada pasien
dengan DIC, karena
akan menyebabkan trombosis. Oleh karena diagnosis DIC sangat
sulit ditegakkan
pada pasien dengan penyakit hati, maka penggunaan
antifibrinolitk ini sangat dibatasi.
-
50
KESIMPULAN
Mekanisme sistem hemostasis normal sangat berhubungan dengan
fungsi hati.
Paremkin sel yang normal akan mensisntesis berbagai macam faktor
dan penghambat
dari sistem pembekuan dan fibrinolisis, serta yang juga memegang
peranan penting
adalah sistem retikulo endothelial (RES) pada hati yang
merupakan tempat utama
untuk pembersihan ( clearance ) berbagai faktor aktif dan faktor
penghambat yang
aktif yang berperan dalam proses hemostasis ( pembekuan dan
fibrinolisis ).
Gangguan hemostasis pada pasien dengan penyakit sangat
tergantung dengan derajat
penyakit hati yang diderita.
Defek hemostasis yang ditemukan pada pasien dengan sirosis hati
sangat luas
variasi klinis yang didapatkan, tergantung pada beratnya
gangguan sintesis berbagai
faktor dan penghambat dalam proses pembekuan dan fibrinolisis.
Berbagai faktor dan
penghambat yang berperan dalam proses hemostasis biasanya
menurun kadarnya pada
pasien dengan penyakit hati, terutama faktor-faktor pembekuan
yang tergantung
dengan vitamin K. Pasien dengan sirosis hati, biasanya disertai
dengan keadaan
hiperfibrinolisis dan DIC, serta trombositpeni dan
trombositopathi.
Pada penyakit hepatoseluler akut dan kronik akan didapatkan
kadar faktor
pembekuan yang tergantung dengan vitamin K, terutama faktor VII
dan protein C,
sedangkan faktor- faktor pembekuan yang lain masih didapatkan
dalam batas normal.
Tetapi jika penyakit hati berlanjut menjadi gagal hati yang
berat, maka akan
didapatkan gangguan hemostasis seperti yang terdapat pada pada
pasien dengan
sirosis hati.
-
51
Defisiensi vitamin K akan menyebabkan gangguan produksi faktor
pembekuan
yang tergantung dengan vitamin K, sedangkan parameter hemostasis
lainnya masih
didapatkan dalam batas normal.
Pada pasien dengan penyakti hati yang akan menjalani tindakan
pembedahan
ataupun prosedur invasif lainnya, harus menilai secara cermat
adanya gangguan
hemostasis pada pasien tersebut, untuk mengantisipasi komplikasi
perdarahan yang
mungkin terjadi selama pembedahan maupun setelah pembedahan.
Pada pasien yang
menjalani pintas peritoneovenous (Le Veen) dapat mencetuskan
terjadinya DIC,
pasien yang menjalani pemotongan (reseksi) hati, dapat terjadi
komplikasi perdarahan
yang harus diatasi dengan tindakan pembedahan ataupun dengan
memberikan
transifusi produk-produk darah. Pada tindakan transplantasi
hati, perdarahan yang
hebat harus sudah diantisipasi sebelumnya, sehingga tindakan
transplantasi ini dapat
berhasil dengan baik, dengan komplikasi perdarahan yang dapat
diatasi. Perdarahan
pada proses transplantasi hati lebih banyak dipengaruhi oleh
aktifasi dari sistem
fibrinolisis, hal ini dapat terjadi pada fase anhepatik dan
selama fase re-perfusi.
Hiperfibrinolisis dipicu oleh pelepasan t-PA yang berlebihan.
Obat antifibrinolitik
harus diberikan sesuai indikasi yang tepat, karena pemberian
obat antifibrinolitik yang
tepat dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah dan produk
darah lainnya. Pada
pasien dengan penyakit hati, pemberian obat antifibrinolitik
yang tidak tepat, dapat
menyebabkan terjadinya trombosis, yang akan membahayakan
pasien.
Beberapa prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan untuk
tatalaksana
perdarahan pada pasien dengan penyakit hati adalah sebagai
berikut :11
1. Pemberian trombosit untuk mempertahankan jumlah trombosit
> 50.000/mm3
2. Pemberian DDAVP ( 0,3 gr/kgBB i.v) untuk meningkatkan fungsi
trombosit
-
52
3. Pemberian FFP untuk mengganti faktor-faktor pembekuan,
dan/atau
pemberian faktor VIIa untuk mencegah volume yang berlebihan
pada
pemberian FFP.
4. Pertahankan kadar fibrinogen > 150 mg/dL
-
53
DAFTAR PUSTAKA
1. Stoelting. MD. Hemostasis and Blood Coagulation. In :
Pharmacology and
Physiology in Anesthethic Practice, 3rd ed. Philadelphia :
Lippincott-Raven,
1999 : 762-5.
2. Martini FH. Blood . In: Fundamental of Anatomy &
Physiology, 7th ed. San
Fransisco : Pearson Education Inc, 2006: 660 8.
3. Colman MD. Overview of Hemostasis. In : Hemostasis and
Thrombosis, 4th
ed. Philadelphia : Lippincott William and Wilkins, 2001 : 3
18.
4. Collins.VJ. Coagulation Mechanism : Hemostasis and
Thrombosis. In:
Physiology and Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania :
William
and Wilkins, 1996 : 214 32.
5. Barash PG, Cullen BF, Stoelting K. Hemotherapy and
Hemostasis. In: Clinical
Anesthesia, 5th ed. Philadelphia : Lippinncott william &
wilkins, 2006: 208-40
6. Sherwood L. Darah : Trombosit dan Hemostasis. Dalam :
Fisiologi manusia
dari sel ke sistem, edisi 2. Jakarta : EGC, 2001 : 356-63.
7. Spiess BD, Spence RK, Shander A. Physiology of Hemostasis. In
:
Perioperatif Transfusion Medicine, 2nd ed. Philadelphia
:Lippinncott william
& wilkins, 2006: 77-92
8. Goodnight SH, Hathaway WE. Liver Diseases. In: Disorder of
Hemostasis and
Trombosis, 2nd ed. New York : The McGraw-Hill Campanies, 2001 :
226-36.
9. Bick Rodger. Coagulation Defects in Liver Diseases. In : The
Medical Clinic
of North America : Common Bleeding and Clotting Disorder for the
Internist,
-
54
volume 78, Number 3, May 1994. Philadelphia : WB Saunders
Company,
1994 : 545-54
10. Zakim D, Boyer TD. Hemostasis