i TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh Firdaus NIM: 1110032100022 JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2017 M.
115
Embed
TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL
MASYARAKAT BUGIS
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Firdaus
NIM: 1110032100022
JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
TOLERANST trALAIW TRAI}ISiI KEARIFAFI LOKAL
JI{ASYARAI(AT BUGIS
SKRITS_i
Diajr*aa Ur&ft Mernenrrhi Persymatan Memperctetr
Gel.r Sejffi, ^&gffiE Iski €S-r+g)
Oleh:
F€EftEEffigffffi
Pembimbi4g:
z*%4I)w'Hil)*rmdlMA
ritB- 1ffi39' 1gl5&3 t g&'t
JURUSA1T STUDI AGAMA AGAMAFAI(IILTAS ffiffULIMI}M{
Artinya “Kalaupun saudaraku sesama Bugis (sempugi’ku) tidak menaruh
siri’ atasku, paling tidak, dia pasti masih menyisakan pesse.”
Maksudnya dari pernyataan di atas adalah apabila seseorang tidak
mempunyai rasa hormat terhadap orang lain tapi orang Bugis pasti memiliki rasa
empati atau rasa kasihan terhadap orang lain.22
Dengan kata lain bahwa pesse
adalah panggilan hati untuk merasakan penderitaan orang lain dalam hati nurani
masyarakat Bugis.
Pesse mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa
mementingkan diri sendiri dan golongan inil adalah salah satu konsep yang
membuat suku Bugis mampu bertahan dan disegani diperantauan, pesse
mengeskpresikan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan
penderitaan orang lain, orang lain di sini meliputi semua orang yang di luar dari
diri orang yang bersangkutan. tepatnya, siapapun yang menjadikan dirinya larut
oleh endapan perasaan pesse.
Perasaan pesse dikala melihat orang lain menderita karena diperlakukan
(ripakasiri) menjadikan konsep pesse selalu tampil berpadanan, bagi orang Bugis
manusia tanpa siri’ dipandang sebagai sama dengan binatang, tapi apabila
manusia tanpa endapan pesse menjadikan dirinya lebih rendah derajatnya dari
22
Pelras, Manusia Bugis, h. 253.
54
binatang. Sehingga pesse yang timbul dari dalam diri sesorang inilah yang akan
membantu baik secara langsung dan tidak langsung dalam mengembalikan dirinya
menjadi Tau (manusia yang semestinya).23
Maksudnya menjadi makhluk yang
paling biadaplah apabila ada seseorang yang tidak mempunyai sebuah pesse
dalam hati nuraninya, karena binatang sekali sekalipun masih mempunyai rasi
kasihan dan empati terhadap sesamanya binatang.
Tidak hanya dalam hal orang lain yang telah diperlakukan tidak terhormat
(mate siri’) tetapi pesse dijadikan sumber yang mengeratkan anggota kelompok
sosial.24
Misalnya penderitaan siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang
dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita
sakit. Maka diwajibkan untuk membantu sekuat dan semampunya kita sebagai
manusia.
Bahkan pesse dijadikan sebagai hutang budi pada seorang yang telah
berbuat baik kepadanya, tentunya tidak hanya ditunjukan dalam ucapan
“terimakasih” saja melainkan ditunjukan dengan sesuatu perbuatan yang setara
atau lebih dari apa yang telah diterimanya.25
Dalam pesse bertumpuhnya sebuah solidaritas yang menunjukan
persaudaraan di kalangan masyarakat Bugis dan di sebutkan dalam lontara bahwa
: Iya padecengi assijingeng: 1. Sianrasa-ranggange na sipammase-mase, 2.
23
Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 131. 24
Pelras, Manusia Bugis, h. 252. 25
Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 136.
55
Sipakario-rio, 3. Tessicarinnainggeng ri sitinajae, 4. Sipakainge’ ri gau patujue,
na siaddampengeng pulanae.26
Artinya, yang melestarikan hubungan kekeluargaan dalam masyarakat
yaiu: 1. sependeritaan dan saling mengasihi, 2. Saling menggembirakan, 3. Rela
merelakan harta dalam batas sepantasnya, 4. Saling memperingati dalam
kebaikan, dan 5. saling memaafkan dengan penuh keikhlasan.
Inti budaya siri' na pesse mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat
Bugis, karena siri' na pesse merupakan jati diri dari orang-orang Bugis. Dengan
adanya falsafah dan ideologi siri' na pesse maka keterikatan antar sesama dan
kesetiakawanan menjadi lebih kuat baik dengan sesama suku, maupun dengan
suku yang lain.
Konsep siri' na pesse bukan hanya menjadi prinsip oleh kedua suku ini
(Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami
daratan Sulawesi seperti, suku Mandar dan Toraja, hanya kosakata dan
penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii kesamaan
dalam berinteraksi dengan sesama.
C. Pangederreng Masyarakat bugis
Pangaderreng menurut La Tadamperreng Puang ri Manggalatung27
(arung
Matoa Wajo) dalam Lontara Sau Wae (LSW) bahwa “ Naia riaseng e
26
Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 133.
56
pangaderreng tellu toi: seuani, allelengeng elempu’, madduanna to mappalaleng
malempu’, mattellunna to mallaleng malempu’ aga ennassarang pura onro, pura
llaloe” adapun yang disebut pangederreng ada tiga: pertama, tempat berjalan
(peraturan Hukum) yang lurus; kedua, orang yang menyuruh untuk menjalani
(penguasa pemerintah pelaksana hukum) yang lurus dan orang yang disuruh
menaati yang lurus maka ia tidak akan dipisahkan dari peraturan yang telah
diterapkan lebih dahulu, yang tak boleh diubah lagi”.28
Panngaderreng menurut Mattulada mengatakan bahwa panngaderreng
bukan hanya meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma dan aturan-aturan
adat, yaitu hal-hal yang ideal yang mengandung nilai-nilai normatif, juga meliputi
hal-hal dimana seseorang dalam tingkah lakunya dan dalam memperlakukan diri
dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, melainkan lebih
jauh daripada itu, ialah adanya semacam perasaan bahwa seseorang adalah bagian
integral dari pangederreng29
.
S.H. Alatas dan Nurhayati Rahman mendefinisikan pangederreng sebagai
keseluruhan falsafah sosial dan budaya masyarakat Bugis, mencakup hidup
politik, keadilan, ekonomi, adat, keluarga, dan lain-lainnya.30
Sehingga bisa dikatakan pangederreng adalah suatu bagian yang tidak
terpisahkan dari personal seseorang dalam keterlibatannya secara total dalam
27
La Tadamperreng Puang ri Manggalatung adalah raja dari kerajaan Wajo di kabupaten
Wajo, Sulawesi Selatan. 28
A. Zainal Abidin Farid, dkk., Siri’ Filosofi Suku Bugis, Makassar, Toraja, Mandar:
“Siri, Pesse Dan Were’ Pandangan Hidup Orang Bugis” (Makassar: Arus Timur, 2014), h. 37. 29
Mattulada, LATOA, h. 339. 30
Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h. 175.
57
kehidupan bermasyarakat yang tentunya memiliki tolak ukur baik dan buruknya
perilaku manusia dalam kehidupan masyarakatnya.
Pangedereng meliputi semua pikiran-pikiran yang baik, perbuatan-
perbuatan atau tingkah laku yang baik.31
Lebih lanjut pangederreng menunjukan
nilai-nilai dari kebiasaan yang terdapat dari perilaku seseorang, masyarakat dan
juga pemerintah (Kerajaan) yang akan mengharmoniskan serta akan memberikan
manfaat bagi harkat dan martabat manusia.
Secara rinci pangederreng berbeda dengan adat yang dimaksudkan dalam
konsep kebudayaan, adat mengandung pengertian umum sedangkan pangederreng
mengandung pengertian terbatas. Adat meliputi adat makan-minum dengan
keluarganya, atau yang adat yang melembaga dalam suatu keluarga seperti, tidur,
bangun, berpakaian dan sebagainya. Semua contoh yang disebutkan diatas tidak
masuk dalam ruang lingkup pangederreng, namun pangederreng berbicara boleh
atau tidak boleh, baik dan buruknya sesuatu dalam kehidupan masyarakat.32
Apabila pangederreng adalah kebiasaaan atau aturan-aturan yang sudah
dibiasakan saja maka akan menghilangkan satu aspek terdapat dari hakikat
pengederreng, yaitu memelihara dan menumbuhkan harkat dan nilai-nilai
kebaikan yang justru menjadi tulang punggung untuk tegaknya pangederreng.
Sehingga apabila suatu masyarakat menerima kebiasaan atau aturan-aturan
yang diadatkan berupa kekerasan dan penindasan sebagai satu aspek sosial, selaku
adat kebiasaan, aturan yang dibiasakan, tentu dapat disebut adat tapi bukan
31
Mattulada, LATOA, h. 128. 32
Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h.137.
58
pangederreng dalam arti essensial. Adat yang demikian akan ditentang oleh
pangederreng, karena pangederreng membangun harkat dan martabat manusia.33
Dan unsur pangederreng memberi tempat yang sangat tinggi kepada 1) Hak-hak
asasi manusia, 2) kedaulatan rakyat, dan 3) pejabat sebagai abdi rakyat.34
Mattulada mengidentifikasi bahwa aspek-aspek panngederreng mengandung 4
azas yang menjadi latar belakang yaitu:
1. Azas mappasilasa’e, diwujudkan dalam manifestasi ade‟ agar terjadi
keserasian dalam sikap dan tingkah laku manusia di dalam
memperilakukan dirinya dalam pangederreng. Dalam tindakan-tindakan
operasionalnya ia menyatakan diri dalam usaha-usaha pencegahan
(preventif) sebagai tindakan-tindakan penyelamat.
2. Azas mappasisaue, diwujudkan dalam manifestasi ade’ untuk hukuman
deraan pada tiap-tiap pelanggaran ade’ yang diyatakan dalam bicara.
3. Azas mappasenrupae, diwujudkan dalam manifestasi untuk memelihara
kelangsungan aturan-aturan dahulu yang sudah ada.
4. Azas mappallaiseng, diwujudkan dalam manifestasi ade untuk
memberikan batas-batas yang jelas tentang hubungan antara manusia dan
lembaga-lembaga sosialnya, dimana ini adalah upaya agar manusia
terhindar dari hal negatif dalam masyarakat.
33
Mattulada, LATOA, h. 141. 34
Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h. 176.
59
Para ahli kebudayaan Bugis menjelaskan ada empat unsur yang terkait
kelangsungan kehidupan moral manusia Bugis, yaitu ade’, rapang, bicara, wari.35
ini berdasarkan apa yang telah diwariskan oleh Kajao La Liddo dari tanah Bone
sekitar abad ke 16 M. Aspek ideal dalam pangederreng juga terbagi dalam
beberapa kategori dibawah ini.
1. Ade’
Ade’ merupakan salah satu aspek pangaderreng menurut Kajao La Liddo36
yang dikutip Anwar Ibrahim bahwa ade’ yang memperkuat kebesaran raja,
menjadi pagar dalam perbuatan orang-orang berbuat semaunya dan sandaran bagi
orang-orang lemah.37
Ade’ bisa dikatakan sebuah norma adat dalam bahasa
Indonesia yang juga dimiliki semua suku-suku dimana adat berisi tentang aturan-
aturan bermasyarakat.
Ade’ adalah penjelmaan sesuatu aspek kebudayaan, baik dalam bentuk
nilai-nilai ideal berupa perilaku. Adat dan lain-lain disebut singkeruang,
kelakuan-kelakuan yang disebut barangkau‟, maupun dalam bentuk fisik yang
disebut abbaramparangeng38
. Sehingga bisa dikatakan bahwa ade’ merupakan
nilai kebaikan secara konsep dan juga sekaligus menjadi sebuah nilai
implementasi dari konsep di atas.
35
Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 69. 36
Kajao La Liddo atau Kajao berarti orang pintar dan La Liddo adalah nama desa
asalnya. Nama sebenarnya La Mellong, dia salah satu penasehat kerajaan Bone pada abad XVI
yang terkenal dengan kecerdasannya. 37
Anwar Ibrahim, Sulesana: Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal
(Makassar: Lembaga penerbit Universitas Hasanuddin, 2003), h.12. 38
Mattulada, LATOA : Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,
h. 340.
60
Ade’ diucapkan Arung Bila39
terbagi dalam beberapa jenis yaitu:40
a. Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap
dengan sukar untuk diubah.
b. Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu
masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia.
c. Ade’Maraja, yaitu norma baru, apabila ada fenomena yang belum
pernah ada dalam pranata sosial masyakarat maka parewa ade’41
berhak
menentukan seperti apa solusi yang terhadap fenomena tersebut.
Dari ketiga Jenis ade’ ini adalah kerangka yang menata kehidupan
masyarakat dimana ade’ maraja adalah sebuah ketetapan yang dibuat oleh yang
sedang menjabat untuk memperlancar urusan untuk menciptakan keadilan dan
ketentraman bagi rakyatnya.
2. Bicara
Bicara adalah aturan-aturan peradilan yang normatif dalam arti luas.
Dengan demikian maka bicara itu adalah aspek pangederreng yang
mempersoalkan hak dan kewajiban setiap orang atau badan hukum dalam
interaksi kehidupan bermasyarakat. Tujuan bicara adalah menyelesaikan
persengketaan orang yang berselisih.42
Memberikan jaminan hukum bagi
masyarakat atas perselisihan yang terjadi dalam masyarakat.
39
Arung Bila adalah raja dari kerajaan bila yang terdapat di kabupaten Pinrang, Sulawesi
Selatan. 40
Anwar Ibrahim, Sulesana: Kumpulan Essay Demokrasi dan Kearifan Lokal (Makassar:
Lembaga Penerbit universitas Hasanuddin 2003), h.110. 41
Parewa ade‟ merupakan seperangkat pemangku adat. 42
Ibrahim, Sulesana, h. 12.
61
Dalam Lontara’ Latoa, Mattulada menjelaskan secara spesifik tentang
makna adil seperti yang biasa kita pahami dalam bahasa Indonesia, akan tetapi
keadilan atau adil dalam bahasa Bugis lebih dikenal dengan istilah tongeng atau
tongengge, bila diartikan secara harfiah (tongeng) berarti “benar” dan (tongengge)
diartikan “kebenaran” Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang
mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada
objektivitas, tidak berat sebelah.
Apabila kita memandangnya dari sudut hukum adat, maka akan lebih
memudahkan pemahaman, bicara mempersoalkan masalah hukum, sebagai
hukum ada, yang lazim kita kenal dalam gelanggang ilmu pengetahuan hukum di
Indonesia.43
Kini bicara menjadi sebuah disiplin yang jelas sebagai aspek
pangederreng yang berfungsi representatif terhadap pelanggaran tata tertib dalam
masyarakat, bicara memberikan batasan bagi anggota masyarakat dan juga
menentukan baik buruknya perbuatan dan hukuman apa yang akan diberikan
kepada si pelanggar ade’ dan pangederreng. Bicara sekaligus menjadi
mappasisaue (memulihkan atau penyembuhan agar seseorang bisa kembali
menjadi tau tongeng (orang yang benar).44
Dalam penetapan hukum Tomabbicara45
tidak semena-mena dalam
menetapkan hukuman seperti apa yang akan dijalani oleh seseorang yang
melanggar aturan karena dalam pangederreng menganggap bahwa manusia pada
43
Mattulada, LATOA, h. 359. 44
Mattulada, LATOA, h. 363. 45
Tomabbicara adalah orang yang bertugas menangani perkara atau peradilan, lihat
Nurhayati Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h. 131.
62
dasarnya tau tongeng, sehingga membutuh kejelasan akar atas suatu permasalahan
yang terjadi.
Dalam ade’ mengajarkan bahwa untuk menetapkan hukuman atas
kesalahan seseorang adalah tomabbicara dan pakketenni ade’ mempunyai
pertimbangan dan kebijaksanaan terhadap pelaku, kemudian tomabbicara
diupayakan memperhatikan bila hukuman itu diberikan kepada dirinya sebelum
menentukan hukuman yang diberikan (bagamana aku terhadap dia, dan begitu
pula dia terhadapku) dalam Lontara’ disebutkan dalam landasan dalam
menetapkan hukuman.46
“takaranku kupakai menakar, timbanganku ku pakai menimbang, yang
rendah kutempatkan di bawah, yang tengah kutempatkan di tengah, yang tinggi
ku tempatkan di atas”.
Jadi dalam menetapkan hukuman pada terdakwa maka pabbicara harus
mempertimbangkan bila hukuman itu terjdi pada diri pabbicara. Apakah
pabbicara sanggup untuk menjalankan hukuman itu bila dia menjadi terdakwa.
sehingga dibutuhkan musyawarah dalam menentukan hukuman seseorang.
memusyawarakan hukuman itu menjadi sangat sangat penting sebagaimana
dijelas pula dalam Lontara’47
:
“tentang bicara yang paling dipuji oleh dewata (Sang pencipta), untuk
menetepkan bicara, yang mengambil contoh pada dirinya, artinya apabila engkau
sudi memlalui (sesuatu jalan), barulah engkau menyuruh orang lain melaluinya,
46
Mattulada, LATOA, h. 363. 47
Mattulada, LATOA, h. 363.
63
karena itulah to-riolo berkata, bersepakatlah engkau sanggup melaluinya,
barulah engkau menjajak orang lain untuk melaluinya”.
Maksdunya dalam menjalankan ketentuan-ketentuan bicara pangederreng
menekankan adanya kesadaran dari pelaksana kekuasaan peradilan, bahwa apa
yang ditetapkan akan berguna bagi penerima hukuman tapi juga berguna bagi
orang lain, oleh karena itu pelaksana peradilan (tomabbicara) harus sanggup
membebaskan diri perasaan senang, perasaan marah dan perasaan segan dalam
melaksanakan peradilan terhadap siapa pun, sekalipun yang dihukum itu raja yang
bersalah.
Dalam penetapan hukum selain yang di atas pabbicara juga harus pegang
teguh pada48
:
a. Bicara tongengtellue (tiga kebenaran hukum)
1. Pengakuan kesalahan dan kebenaran kedua belah pihak
2. Pengakuan kesalahan dan kebenaran menurut ade’
3. Kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya (bukti-bukti kongkrit)
b. Melepaskan diri dari :
1. Kemarahan
2. Kegirangan
3. Keseganan
4. Maksud-maksud yang mengadung tujuan lain, dan
5. Keharuan.
Penjelasan ini telah pernah terjadi sebagai mana dicontohkan dalam Lontara’
48
Mattulada, LATOA, h. 365.
64
“karena adapun ade’ itu, sedangkan raja pun harus diturunkan dari
tahtanya apabila ia tak mau berjalan menurut pangederreng dan jadikanlah
Arungpone Matinroe ri-addenenna, yang berani melakukan perbuatan-perbuatan
yang tidak menurut pangederreng sebagai rapang, sehingga orang pun
bersepakat membunuhnya di atas tangganya, dan disebut Arungpone yang berada
di atas tangganya”.
Ini menjadi contoh bahwa apabila pangederreng dilanggar maka pelaku
harus mengakui kesalahnya sesuai dengan ketentuan ade’ dan juga ikut sertakan
bukti-bukti dari kesalahannya dalam hal ini raja sekalipun. Dari contoh di atas
juga menunjukan bahwa dalam penetapan hukum tidak semesternya seorang
pabbicara terinterpensi oleh rasa kasihan, rasa marah, dan rasa bahagia, sehingga
dalam kesepakatannya Arungpone yang melanggar pangederreng harus dibunuh di
bawah tangga rumah kerajaan.
Bagian terpenting dalam pelaksanaan bicara adalah sanksi hukuman yang
bertujuan untuk menegakkan hukum tanpa menunda-nunda, sebagai pembelajaran
kepada masyarakat lainnya bahwa ade’ tidak hanya tajam ke bawah dan tumpul
ke atas. Adapun jenis-jenis hukuman yang telah ada dalam lontara sebagai
berikut49
:
1. Dibunuh (Ri uno)
2. Hukuman pengasingan (Pali‟)
3. Hukuman deraan badan (Calla)
4. Hukuman sita (Rappa)
5. Hukuman tawanan (Ri reppung)
6. Hukum jual (Ri balu).
49
Mattulada, LATOA, h. 65.
65
3. Rapang
Rapang secara istilah bisa disebut juga dengan perumpamaan, contoh,
kesamaan, atau sebagai yurisprudensial, suatu ketentuan yang diambil
berdasarkan ketentuan-ketentuan atau kejadian-kejadian yang pernah dilakukan
pada waktu yang lalu.50
Rapang juga diartikan sebagai contoh, perumpamaan,
ibarat, kias, atau juga perumpamaan yang dapat mengokohkan negara atau yang
ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau
membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.51
Pada
salinan Lontara’ misalnya yang dikutip Fredericy (1933) dan ditetapkan sebagai
kata pembukaan dari Erste Hoofdstuk dari buku De Standen bij De Boegineesen
en Makassaren, kata rapang itu digantikan dengan “oendang”52
.
Abdul Razak Daeng Patunru juga dalam bukunya Sejarah Gowa yang
dikutip Mattulada tidak menyebutkan rapang, tetapi menyebutnya undang-
undang.53
Sementara menurut Mattulada penggantian rapang menjadi undang-
undang menunjukan bahwa undang-undang yang disebutkan oleh Daeng Patunru
adalah kata yang bisa menggambarkan rapang secara singkat, Akan tetapi
undang-undang dalam bahasa Indonesia yang tertentunya mempunyai batasan
sebagaimana pengertiannya, yakni hukum tertulis, sedangkan rapang lingkupnya
sangat luas daripada undang-undang.
50
Mattulada, LATOA, h. 334. 51
Mattulada, LATOA, h. 377. 52
Oendang yang dimaksudkan adalah kata undang-undang dalam bahasa Indonesia. 53
Mattulada, LATOA, h. 378.
66
Menurut fungsinya rapang sebagai: 1. Stabilisator; seperti undang-undang
yang ketetapan, keseragaman, dan konstintensi kebijakan atas suatu permasalahan
dalam masyarakat dari masa ke masa. 2. Bahan perbandingan suatu (tidak ada
atau belum adanya norma-norma dan undang-undang yang mengatur
permasalahan baru, berdasarkan ketetapan di masa lampau), 3. Alat pelindung dari
pamali, yang berfungsi untuk melindungi milik umum dan seseorang dari mara
bahaya.54
Sehubungan dengan fungsi rapang untuk memberikan penguatan bagi
negara atau kerajaan. Sehingga dibutuhkan sikap magetteng ri rapangnge (sikap
keras terhadap masyarakat untuk menegakkan rapang sebagai undang-undang
negeri, dimana rapang adalah suatu hukum yang objektif dan konkrit di masa lalu
yang mana rapang mengandung makna mappasenrupa yaitu memberi hukuman
yang sama atas permasalahan yang sama berdasarkan masa lalu.
Rapang memberikan kejelasan atas sanksi yang sesuai dengan apa yang
telah dijadikan sanksi di masa lalu, juga sekaligus menjadi perbandingan atas
suatu sanksi yang belum pernah ada sanksi dari permasalahan baru didapatkan
dalam masyarakat. Sehingga pabbicara bisa mengambil sebuah kebijakan yang
tidak merugikan bagi kerajaan dan masyarakat yang ada. Contohnya apabila
rapang tidak ditegakkan maka akan terjadi banyak mala petaka, meluasnya
perselisihan pada masyarakat. Sehingga dengan ini negara akan maju.
4. Wari
54
Mattulada, LATOA, h. 378.
67
Wari adalah perbuatan mappalaisengge (yang tau membedakan) atau
pengelompokan jenis, yang membedakan satu yang lain dengan yang lainnya.
Wari merupakan suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan
dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang
lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
Menurut friedericy menerjemahkan wari dengan “de indeeling in standen”
berfungsi mengatur tata susunan dan jenjang-jenjang keturunan serta menentukan
hubungan kekerabatan.55
Lebih dari pada itu wari tidak hanya menjelaskan
masalah keturunan dan pelapisan masyarakat semata-mata, melainkan mempunyai
fungsi-fungsi lain yang cakupan lebih luas.
Dengan demikian umumnya wari’ berfungsi :
a. Menjaga jalur dan garis keturunan yang membentuk pelapisan masyarakat
atau mengatur tentang tata keturunan melalui hubungan perkawinan.
b. Menjaga atau memelihara tata susunan atau tata penempatan sesuatu
menurut urutan semestinya.
c. Memelihara tata susunan hubungan kekeluargaan antara raja suatu negeri
dengan negeri lainnya, sehingga dapat ditentukan mana yang lebih tua,
mana yang muda dalam tata pengederreng.
Dalam kegunaannya wari bertujuan untuk penataan pangederreng dan
penertibannya meliputi: 1. Wari’tana ialah tata kekuasaan dan tata pemerintahan
dalam hal mengenal dasar-dasarnya, bagaimana raja bersikap kepada
55
Mattulada, LATOA, h. 380.
68
masyarakatnya dan bagaimana sikap rakyat kepada rajanya, 2. Wari asseajingeng,
ialah tata tertip yang menentukan garis keturunan dan kekeluargaan sehingga bisa
dibedakan mana keturunan raja-raja (anakarung), masyarakat biasa (maradeka)
dan mana yang termasuk dalam budak (ata), atau dalam bahasa Jawa kita kenal
dengan kata “abdi dalem”, 3. Wari’ pangoriseng ialah mengenai tata urutan dari
hukum yang belaku dalam sistem hukum. Inilah yang menjadi tolak ukur berlaku
atau tidaknya suatu rapang atau undang-undang.56
Selain itu wari berfungsi sebagai suatu pedoman yang mengatur sikap
manusia dari sekian banyak perbedaan yang ada dalam masyarakat, mangajarkan
bagaimana layaknya seorang masyarakat berhubungan dengan kerajaan,
tomabbicara dengan raja. Bagaimana hubungan suatu kerajaan dengan kerajaan
lainnya yang tentunya mengedepankan nilai kebaikan selayaknya fitrah
manusia.57
Demikian lah wari memberikan antara oposisi-oposisi yang
berlawanan dengan pangederreng dan kerajaan dalam masyarakat.
D. Assimellereng sebagai Konsep Kesetiakawanan Masyarakat Bugis
Assimellereng secara istilah memiliki arti yang hampir sama dengan
konsep pesse di awal pembahasan bab ini, akan tetapi assimellereng diambil dari
kata melle’ yang berarti “keterikatan” sesuatu dengan yang lainnya, kata melle’
juga kebanyakan selalu disandingkan dengan kata perru berarti usus atau isi
dalam perut seorang manusia. sebagaimana ungkapan melle’ perru ri padanna
rupa tau artinya memiliki rasa keterikatan kepada sesama manusia. Secara
56
Mattulada, LATOA, h. 380. 57
Mattulada, LATOA, h. 382.
69
mendalam melle‟ perru dimaksudkan bahwa adanya rasa kasih yang besar kepada
orang lain.
Menurut Mashadi Said Assimellereng merupakan konsep sehatian,
kerukunan, kesatupaduan antara satu dan lainnya, antara satu keluarga dengan
keluarga lain dan antara manusia sesama manusia yang lainnya dalam masyarakat
Bugis.58
Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, kesetiakawanan, cepat
marasakan penderitaan orang lain, dan tidak tega membiarkan kesulitan
saudaranya yang lain yang berada dalam penderitaan dan cepat dalam mengambil
tindakan untuk membantu saudaranya yang terkena musibah.
Dalam assimellereng terdapat konsep yang dikenal dengan “sipa’depu-
repu” yaitu (saling memelihara, saling kasih mengasihi). Dan bette’ perru (tega)
yang dimaksudkan adalah orang yang tidak memperdulikan kesulitan sanak
keluarganya, tetangganya, atau orang lain, ini ada antitesa dari assimellereng yang
peka terhadap orang lain.59
Selain itu dalam bahasa Bugis lain yang sepadan
dengan bette perru yaitu pettu perru yang juga berarti sikap seseorang tidak lagi
ada rasa welas kasih dan tidak lagi memiliki empati terhadap orang lain, sekalipun
itu kepada keluarganya.
Dalam kehidupan sehari hari penerapan assimellereng atau melle disebut
dalam ungkapan Bugis “tejjalli tettappere banna mase-mase” artinya tanpa tikar
dan permadani kecuali kasih sayang. ungkapan ini biasanya diucapkan ketika tuan
rumah kedatangan tamu, karena keinginan menjamu tamunya dengan baik, tuan
58
Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 204. 59
Said, Jati Diri Manusia Bugis, hal. 204.
70
rumah menunjukan kepada tamunya layanan sebaik-baiknya, bahwa apabila
seorang tamu sudah berada di dalam rumah maka sang tamu akan merasa aman,
tentram, terlindungi dan kasih sayang dari tuan rumah.60
Dengan penuh kerendahan hati tuan rumah akan menatakan “kami tidak
mempunyai apapun untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai
permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki, kami tidak memiliki
makanan yang enak untuk kami suguhkan. Yang kami miliki hanyalah kasih
sayang”. Dengan demikian bukan berarti tuan rumah tidak mempunyai apa-apa
yang bisa di hidangkan atau tidak menjamu tamunya, akan tetapi hanya memberi
informasi kepada tamu bahwa tuan rumah kemungkinan tidak mempunyai sesuatu
yang sama apabila bertamu di tempat lain.
Dikalangan masyarakat Bugis menghargai dan melayani tamu sebaik-baiknya
adalah sebuah kewajiban dan juga adalah untuk menunjukan solidaritas yang
tinggi terhadap sesama manusia.61
Dalam lontara‟ dijelaskan untuk memperoleh hubungan baik kepada sesama
manusia, masyarakat Bugis harus berpegang pada 5 syarat berikut yaitu62
:
a. Sianrasa-rasang na si ammase-masei (Sependeritaan dan saling
mengasihi). Maksudnya adalah apabila ada anggota keluarga yang
mengalami penderitaan maka anggota keluarga yang lainnya harus
membantunya dengan ketulus-ikhlasan dan kasih sayang.
60
Said, Jati Diri Manusia Bugis, hal. 204. 61
Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 205. 62
Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 206.
71
b. Sipakario-rio (sama-sama bergembira) apabila kita merasakan
kegembiraan, kita patut berbagi kepada orang lain atas kegembiraan yang
kita rasakan. Misalnya dalam keseharian leluhur orang Bugis apabila
pulang dari melaut maka hasi tangkapannya akan dibagikan kepada
tetangganya yang lain. Ini yang dimaksudkan berbagi kegembiraan.
c. Tensicarinnainggeng ri sitinajae (kerelaan berkorban yang semestinya)
maksudnya kalau ada keluarga atau kawan yang memerlukan bantuan
maka kita berkewajiban dalam untuk membantu sesuai dengan kemanpuan
kita.
Contohnya dalam pernikahan masyarakat Bugis apabila keluarga lelaki
belum memncukupi atas permintaan pinangan (Sompa atau Panaik) keluarga
perempuan, maka semua keluarga perempuan berkewajiban dalam memenuhi
sompa tersebut sesuai dengan kemampuan masing-masing.
d. Sipakainge ri gau patujue (saling mengingatkan kepada kebaikan) saling
mengingatkan kepada kebaikan, disini menjadi kewajiban apabila melihat
keluarga atau orang lain sebelum dan setelah melakukan kesalahan. Juga
disebutkan Malilu Sipakainge “saling mengingatkan tak kala sedang lupa”
e. Siaddampengeng pulanae (selalu saling memaafkan) memberi maaf atas
kesalahan yang orang lain pernah lakukan kepada kita.
Dari kelima syarat di atas bahwa menunjukan hubungan yang semestinya
dimiliki oleh sebuah keluarga atau kelompok masyarakat sehingga keharmonisan
dalam masyarakat semakin melekat.
72
Soal kesetiakawanan orang Bugis selalu akan membuka diri untuk
menegakkan persahabatan. Orang Bugis rela mengorbankan apa yang dia miliki
termasuk nyawanya sendiri untuk mempertahankan kesetiakawanan tersebut
sebagaimana ungkapan dalam Lontara’ disebutkan.63
Tessiakkakeng tigerro
tessicalekeng tange (LPT: 12)
Artinya :
Tidak saling mencekik leher
Tidak saling menutupkan pintu.
Dalam hal tolong menolong dalam tradisi masyarakat Bugis selalu
membuka diri, bahkan tak dimintai pertolongan dan dilakukannya secara dengan
sukaria sebagaimana penyataan di atas.
Artinya apabila seseorang memerlukan bantuan dan diri kita terasa sanggup
untuk membantunya maka kewajiban untuk membuka diri untuk membantu.
Dalam Lontara’ juga disebutkan64
:
Tessisampoang uring loa,
tessipaopangeng pamuttu (LPT:10)
Artinya :
tidak saling menutup belanga,
tidak saling menutupkan kuali.
Selain daripada itu belanga dan kuali dalam masyarakat Bugis merupakan
simbol kesejateraan keluarga. Untuk membantu dalam suatu kebajikan, saling
63
Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 205. 64
Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 206.
73
membukakan jalan dalam kesempitan, rasa solidaritas ditandai dengan saling
membantu dalam permasalahan yang ada, saling mengingatkan agar terhindar dari
sesuatu yang tidak diinginkan yang bisa menghambat kebajikan. Dalam
mempertahankan hubungan masyarakat Bugis berpegang pada hal berikut ini.
Rebba sipatokkong
Mali siparappe
Siwata’menre tessirui no’
Malilu sipakainge
Mainge’ pi mu paja
Artinya :
Rebah, saling menegakkan
Hanyut saling mendamparkan
Saling menarik ke atas bukan saling menarik turun
Hilaf, saling mengigatkan
Tak henti sampai ia menyadarinya.
Inilah gambaran kesetiakawanan dalam masyarakat Bugis yang dipegang
teguh sehingga kemudian mampu untuk memberikan hidup yang baik dalam
bermasyarakat. Dengan demikian secara otomatis bahwa toleransi yang
sebagaimana cita-cita oleh para semua agama dan pemerintah untuk hidup damai
dan berdampingan.
75
BAB IV
ANALISA
A. Pandangan Umum Toleransi
Toleransi menjadi hal yang penting pada masa sekarang. Mengingat
semakin melebarnya jurang perdebatan yang mencari-cari perbedaan dalam
keyakinan, hingga yang terparah adalah adanya perang fisik yang diakibatkan oleh
dorongan membela kebenaran agama, maka toleransi sudah menjadi perihal
mutlak dikedepankan. Karena itu, tidak sedikit para tokoh memberikan argumen
dan pendepatnya untuk merealisasikan toleransi antar umat beragama saat ini.
Dalam hal ini penulis akan memberikan gambaran sedikit dari tiga tokoh yaitu:
Mukti Ali, Alwi Sihab, dan Gus Dur.
Mukti Ali memberikan dua argumen mendasar dalam hal toleransi.
Pertama, dengan menawarkan sintesis. Metode ini menggabungkan dua
kecenderungan melalui gagasan pendekatan. Lebih jelasnya, metode ini berusaha
memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya seperti rasional, objektif,
kritis, dengan metode teologis normatif.
Metode ilmiah digunakan memahami agama dari sisi historis, empiris,
sosiologis. Sedangkan metode normatif digunakan untuk memahami agama
sebagaimana yang terkandung dalam kitab sucinya masing-masing, dengan
membawa dogma awal bahwa agamanya sudah mutlak kebenarannya. Barulah
setelah itu agama dilihat sebagai norma ajaran yang amat terkait dengan aspek
75
76
kehidupan sosial, yang mana dengan kaca mata agama, arahan yang bersentuhan
dengan aspek sosial adalah ideal sebab telah tercantum dalam kitab sucinya.1
Kedua, Mukti Ali memaparkan konsep agree in disagreement. Konsep ini
dapat diartikan dengan setuju dalam ketidaksetujuan. Konsep ini ideal
menurutnya, bila diterapkan dalam tatanan masyarakat yang majemuk dan plural.
Masyarakat yang dalam kondisi seperti ini, tentu terdapat setuju dan
ketidaksetujuan dalam memandang suatu hal. Maka ketidaksetujuan atau
perbedaan ini disepakati dan diakui oleh masing-masing pemeluk agama. Dengan
adanya pengakuan perbedaan maka diharapkan akan terciptanya kondisi yang
harmonis antara umat beragama, sebab semua hal tidak harus sama.2
Setelah Mukti Ali, adalah Alwi Sihab. Tokoh ini memberikan
pandangannya berkenaan realisasi toleransi dalam masyarakat. Berbeda dengan
Mukti Ali, Alwi Sihab berangkat dari ajaran agama Islam. Menurutnya, sebuah
masyarakat majemuk dan plural adalah pasti dalam sebuah kebudayaan. Sebab,
tidak ada satu kebudayaan pun yang luput dari sebuah perubahan, dan perubahan
itu mengandaikan adanya kemajemukan. Dia menyebutnya dengan “proses
kemanusiaan”. Lantas bila terjadi pristiwa kekerasan yang mengatasnamakan
agama dan keyakinan, misalnya agama Islam, maka sudah keluar dari garis ajaran
agama Islam. Dalam ajaran agama Islam, diajarkan kepatuhan dan tunduk kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Sikap kepatuhan itu dilalui dengan jalan menaati
11
Mukti Ali, “Setuju dalam perbedaan,” Majalah Mawas Diri, no. 1 (Maret 1972), hal. 6
liat juga Faisal Ismail, Republik Bhineka Tunggal Ika:Mengurai Isu-isu Konflik Multikulturalisme,
Faisal Ismail, Paving The War For Interreligion Dialogue, Tolerance, and Harmoni Following, h.
Agama, Sosial, dan Budaya (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keragamaan, 2012), h. 174. 2Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Biro Humas Departemen
Agama RI, 1972), h. 118.
77
ajarannya, dimana ajaran agama Islam tidak melegalkan kekerasan atas nama
agama.
Tokoh terakhir adalah Gus Dur. Tokoh ini merupakan sosok yang
dipandang sebagai orang yang sangat mengerti konsep toleransi. Berbagai
kebijakan yang dikeluarkan pada masa kepemimpinannya, merupakan bukti nyata
bahwa beliau adalah sosok yang kosmopolit yang mendalami keberagaman.
Landasan awalnya dalam meneguhkan toleransi antara umat beragama di
Indonesia, dengan melihat bahwa keberagaman dalam negara adalah suatu
kenyataan sosial. Menolak salah satunya merupakan bukti mengesampingkan
nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, bila kita mencermati, jauh hari dalam peradaban
umat manusia, mengutamakan nilai kemanusiaan adalah tujuan yang hendak
dicapai sehingga kadang menimbulkan perang fisik.
Demokrasi lahir bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan,
dengan menempatkan manusia sebagai subjek dari demokrasi itu. Begitu pula
dengan ajaran Islam memiliki asas permusyawaratan, adalah instrumen untuk
menempatkan nilai kemanusiaan sebagai tujuan.3 Sehingga, instrumen-intrumen
pengantar menuju nilai kemanusiaan ini akan menempatkan manusia memiliki
derajat yang sama, serta tidak memandang ada yang lebih tinggi dan ada yang
lebih rendah.
Demikianlah pendapat para tokoh dalam memberikan pandangannya.
Partisipasi mereka dalam memberikan pandangannya, mengingat
pengejawantahan dari toleransi adalah sebuah keharusan. Bila tidak, sungguh
3Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, h. 85.
78
situasi yang harmonis dan tentram tidak akan pernah tercapai. Terlebih lagi, akan
menghambat sebuah kebudayaan dan kemajuan bangsa.
Penulis melihat pandangan para tokoh di atas sikap penuh pendewasaan
dalam melihat keragaman dan juga keuniversalitasan suatu agama, suku, ras,
maupun kelompok bahwa dengan menunjukan sikap yang ramah, saling
menghormati, dan saling menghargai karena melihat seseorang sebagai manusia
yang memiliki hak-hak dasar.
Oleh karena itu, penulis berusaha mengeneralisir secara terperinci
bagaimana sikap atau pun cara mendasari terciptanya toleransi dalam masyarakat
dari beberapa pandangan para tokoh di atas sebagai berikut:
1. Pluralisme
Pluralisme sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa suatu sikap untuk
mengakui eksistensi dan hak-hak atas agama, suku, ras, maupun kelompok
lain sebagai bagian dari masyarakat. Dalam hal ini menurut penulis untuk
melihat pluralisme dibutuhkan suatu sikap sikap empati dan rasa memiliki satu
sama lain guna melihat perbedaan yang ada dalam masyarakat.
2. Inklusivisme
Inklusivisme yaitu pemikiran atau sikap yang memandang bahwa
kebenaran yang di anut oleh suatu agama adalah juga dianut oleh agama lain.
Dalam hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat harus mempunyai sikap
terbuka secara aktif oleh setiap pribadi masyarakat, bahwa kebenaran
sesungguhnya tidak harus mengabaikan atau mengesamping norma-norma
kemanusiaan.
79
3. Dialog
Dialog agama sangat diperlukan di era keterbukaan ini. Dialog agama
bukanlah untuk mencari kebenaran agama masing-masing, tetapi menjembatani
segala perbedaan yang ada dan memberikan ruang kepada semua komunitas yang
berdialog.
B. Analisa Toleransi Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis
Meskipun demikian, di samping pandangan para tokoh yang telah
disebutkan sebelumnya, sebenarnya terdapat konsep toleransi dalam masyarakat
Bugis yang sudah lama dipraktikkan dan terpelihara dan terlembaga dalam
kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis). Lebih jauh, sebenarnya toleransi
dalam masyarakat Sulawesi Selatan adalah bentuk luar yang bersifat empiris dan
dapat diamati, namun sebenarnya mempunyai landasan filosofis yang
mendorongnya dari dalam.4 Landasan filosofis tersebut tidak empiris, melainkan
sesuatu sifat sentimental dan perasaan yang sangat dalam. Dengan kata lain,
landasan tersebut menjadi prinsip hidup yang begitu sangat kuat mengakar dalam
pribadi masing-masing masyarakat Sulawesi Selatan.
Landasan hidup yang termanifestasi menjadi filosofi inilah yang penulis
coba uraikan dengan hati-hati. Disebut dengan “hati-hati” karena dalam mengurai
prinsip hidup ini, penulis sendiri merupakan generasi belakangan yang sudah
dilanda misinterpretasi dalam memahami prinsip tersebut.
4Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,
(Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 62.
80
Prinsip hidup masyarakat suku Bugis adalah siri’ dan pesse’. Memaknai
kata siri’, sungguh telah banyak budayawan baik lokal maupun luar, memberi
batasan pengertian tentang siri’. Siri’ dapat diartikan dengan kehormatan. Bagi
Mattulada, siri’ dimaknai dengan kesadaran tentang nilai martabat yang didukung
oleh tiap-tiap orang dalam tradisi kehidupan masyarakat Bugis.5 Artinya, dengan
kehormatan yang tegak, merupakan sikap hidup yang harus dan mesti dijaga.
Selain permaknaan itu, pada bab sebelumnya dijelaskan siri’ tidak lain
akibat yang kemudian timbul jika salah satu nilai kemanusia dilanggar. Seseorang
tidak hanya merasa masiri’ karena telah diperlakukan tidak jujur, dipandang
enteng, dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Tetapi siri’ juga sekaligus harus
sebab yang timbul dari dalam diri seorang manusia untuk selalu menjaga sikap,
saling mengormati, saling menghargai, memperaktekkan panggederreng, dan juga
menjadi semangat untuk meraih kesuksesan.6 Nilai siri’ harus menjadi tingkah
laku nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, siri’ juga sebagai sikap aktif untuk menjaga harkat dan martabat
orang lain karena masyarakat Bugis sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya
bahwa apabila seseorang tidak mempunyai siri’ maka hanya dianggap sebagai
mayat hidup dan juga binatang. Seperti yang dijelaskan dalam Lontara’:
Siri’e tu ri aseng tau, na rekko de’i siri’na,
tania i tau, rupa tau mani
Artinya:
Kerena siri’lah seseorang disebut sebagai manusia,
5M Laica Marzuki, Siri Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah
Telaah Filsafat Hukum) (Ujung Pandang, Hasanuddin University Press, 1995), h. 36. 6Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin
Universitas Press, 1992), h. 174.
81
manakala seseorang tidak mempunyai siri’,
maka bukan lagi manusia tetapi menyerupai manusia.
Ungkapan lainnya:
Naia tau de’e siri’na,
de’i laenna olok-kolok
Artinya: Jikalau manusia tidak mempunyai siri’,
mereka itu tidak lain dari pada binatang.
Pesan dari ungkapan Bugis di atas memberikan tanda bahwa selain
perbuatan melanggar siri’ akan menghilangkan nilai atau hak-hak kemanusiaan
seseorang dalam suatu kelompok sosial, tetapi Si pelanggar juga akan dianggap
bersikap paling menjengkelkan, menjijikan seperti sikap binatang karena tidak
lagi memperlakukan seorang manusia yang selayaknya.
Rahman Rahim menyebutkan si pelanggar siri’ adalah orang yang telah
tertelanjangi dari moralitas dan dalam Lontara’ binatang itu seperti binatang tikus,
dimana kerusakan yang ditimbulkannya, tidak terbatas pada sawah, tetapi juga
pada padi yang sudah di simpan di lumbung akan digerogoti juga. Bahkan setelah
menjadi beras tikus tetap saja menggerogotinya dan sampai sudah menjadi nasi
tikus masih saja memperetelinya. Begitu lah ungkapan kekejian seseorang yang
tidak mempunyai siri’ dalam dirinya.7
Lebih dari pada tikus yang menjijikan di atas sikap yang dianggap
melebihi binatang apabila dalam hati seseorang tidak terdapat nilai pesse. Dimana
pesse merupakan rasa empati yang timbul dari dalam hati seorang manusia, ibah
hati, rasa yang menyatuh antara seseorang dengan orang yang lainnya, rasa untuk
peduli akan kesulitan yang orang lain alami.
7Rahman Rahim, Nilai-Nilai Kebudayaan Bugis, h. 170.
82
Pesse’ dapat diartikan sebagai “obbi”, yaitu panggilan hati nurani untuk
ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri. Ini mengindikasikan
adanya perasaan haru atau empati yang dalam terhadap tetangga, kerabat, atau
sesama kelompok sosial. Disebutkan dalam Lontara’ bahwa setiap manusia harus
mempunyai rasa pesse dalam dirinya jika menjadi lebih mulia dibandingkan
orang-orang lainnya, dan agar tidak dianggap keji melebihi binatang.8
Selain dari pada itu, hakikat siri’ dan pesse adalah menitik-beratkan sikap
sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge’. Sipakatau adalah sikap saling
menghormati sesama manusia yang notabene sesama makhluk Tuhan, sipakalebbi
adalah sikap saling memuliakan dari semua kelompok masyarakat yang ada, dan
sipakainge’ menekankan sikap pesse untuk saling mengingatkan dalam hal
kebaikan, saling memperingati untuk menjauhi hal-hal yang bisa merugikan diri
peribadi dan orang lain. tentunya dilakukan dengan cara yang baik dari hati nurani
manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam Lontara’ sebagai berikut:
“akkita tau mu madeceng kalawing ati, apak iya sininna deceng enrengge
upe’ e, kumanenggi pole riatau madeceng kalawing ati e. Apa’ iyyanaritu
tau rilalenna tauwe. Aja iya mualai pompola tomapperumae, apa’ iyatu
mata e, dauccilie. Lilae, inge’e, majeppu tomapperuma ritu. Majeppu iyana
ritu tau pole ri lalenna tauwe. Iyatona pakkita matae, iya tona