Page 1
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIAMAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah
Sejarah Pendidikan Islam yang dibimbing oleh:
Dr. Syahidin, M.Pd.
Moch. Iman Firmansyah, M.Ag.
disusun oleh:
Kelompok 10
Acep Suwarna 1206252
Firman Nurdiansyah 1202859
Page 2
ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAMFAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Illahi
Rabbi, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga
tercurah limpahkan kepada junjunan kita semua, Rasulullah
SAW., keluarga, para sahabat, tabin- tabiin dan seluruh
ummatnya sampai akhir zaman yang patuh dan taat kepada
ajarannya.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang membahas
tentang “Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Indonesia”, yang
didalamnya menjelaskan mengenai definisi, tokoh,
organisasi pendidikan Islam, dan hal lainnya yang akan
penyusun bahas dididalamnya.
Penyusun mengucapkan terimakasih kepada Dr.
Syahidin, M.Pd. dan Moch. Iman Firmansyah, M.Ag., atas
bimbingannya, serta kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh
ii
Page 3
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
dapat membangun sebagai bahan masukan supaya makalahnya
bisa lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, dan
menambah khazanah keilmuan kita semua.Amin.
Bandung, 26 April 2014
Penyusun
DAFAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................iiDAFAR ISI..................................................iii
BAB I........................................................1PENDAHULUAN..................................................1
A. Latar Belakang............................................1B. Rumusan Masalah...........................................1
C. Tujuan....................................................2BAB II.......................................................4
PEMBAHASAN...................................................4
iii
Page 4
A. Ahmad Dahlan (1869-1923)..................................4
B. Hasyim Asy’ari (1871-1947)................................6C. Abdul Halim (1887-1962)...................................9
D. Hamka....................................................11E. Basiuni Imran............................................12
F. Hasan Langgulung.........................................13G. Azyumardi Azra...........................................14
BAB III.....................................................17PENUTUP.....................................................17
A. Kesimpulan...............................................17B. Saran....................................................17
DAFTAR PUSTAKA..............................................18
iv
Page 5
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan pendidikan islam di Indonesia saat ini
tidaklah terlepas dari peranan tokoh-tokoh pendidikan
Islam terdahulu. Diantara mereka ada nama-nama besar yang
tidak asing lagi bagi kita. Seperti Kyai Haji Ahmad
Dahlan, Kyai Haji Hasyim Asy’ari, dan yang lainnya.
Ada diantara mereka yang merubah konsep pendidikan
tradisional menjadi pendidikan yang modern. kita bisa
lihat perbandingannya sekarang, kalau dulu belajarnya
dengan menggunakan konsep khalaqah atau duduk melingkar
dilantai, sekarang tidaklah seperti itu lagi, belajarnya
di ruangan kelas yang khusus untuk belajar disertai
sarana dan prasaran yang dapat menunjang proses
pembelajaran seperti meja, kursi, dan papan tulis. Selain
itu, ada juga yang menambahkan pelajarannya, seperti
menambah pelajaran-pelajaran umum di dalam pesantren.
Anak-anak yang belajar di pesantren tidak hanya belajar
agama saja yang dipelajari, tetapi juga mata pelajaran
umum.
Melalui kerja keras merekalah kita dapat menikmati
pendidikan yang ada saat ini. Oleh karena itu kami sangat
tertarik untuk mengkaji tokoh-tokoh pendidikan Islam di
1
Page 6
Indonesia. Supaya kita bisa lebih mengetahui bagaimana
perjuangan para tokoh tersebut dalam memajukan pendidikan
di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka
penyusun merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
C. Tujuan
2
Page 8
BAB IIPEMBAHASAN
A. Ahmad Dahlan (1869-1923)
Menurut Zuhairini (2013:199) Ahmad Dahlan dilahirkan
di Yogyakarta pada tahun 1869 M dengan nama kecilnya
Muhammad Darwis, putra dari KH. Abu Bakar Bin Kyai
Sulaiman, khatib di Masjid besar (Jami’) kesultanan
Yogyakarta. Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, seorang
penghulu. Setelah beliau menamatkan pendidikan dasarnya
di suatu Madrasah dalam bidang Nahwu, Fiqih dan Tafsir di
Yogyakarta, beliau pergi ke Makkah pada tahun 1890 dan
beliau menuntut ilmu disana selama satu tahun. Sekitar
tahun 1903 beliau mengunjungi kembali ke Makkah dan
kemudian menetap di sana dua tahun.
Sepulang dari Makkah yang pertama ia telah bertukar
nama dengan Haji Ahmad Dahlan. Tiada berapa lama kemudian
ia menikah dengan Siti Walidah putrid Kyai Penghulu Haji
Fadhil. Zuhairini (Hamsyah. 2013. 199)
Semenjak ayahnya wafat, ia menggantikan kedudukan
ayah dan dingkatlah oleh Sri Sultan menjadi khatib mesjid
4
Page 9
besar Kauman Yogyakarta dan dianugrahi gelar Khatib Amin.
Disamping jabatannya yang resmi, ia menyebarkan agama
dengan menyebarkan agama dimana-mana. Beberapa tahun
kemudian ia naik haji untuk kedua kalinya (1903).
Sekembali dari haji yang kedua inilah ia mendapat sebutan
Kyai dari masyarakatnya, semenjak itu dimana-mana ia
terkenal dengan nama Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Ia adalah seorang alim yang luas ilmunya dan tiada
jemu-jemu ia menambah ilmu dan pengalamannya. Dimana saja
ada kesempatan, sambil menambah atau mencocokkan ilmu
yang telah diperolehnya. Observatorium Lembang pernah ia
datangi untuk mencocokkan tentang ilmu hisab. Ia ada
keahlian dalam ilmu itu. Perantauannya keluar Jawa pernah
sampai ke Medan. Pondok pesantren yang besar-besar di
Jawa pada waktu itu banyak ia kunjungi. Zuhairini
(2013:199)
Perbuatan yang mula-mula dianggap aneh oleh
masyarakat pada waktu itu ialah perbuatan beliau
menggarisi lantai masjid besar dengan garis miring 241/2
derajat ke utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari
arah kiblat tidaklah lurus seperti arah masjid di Jawa
pada umumnya, tetapi miring sedikit ke utara 241/2
derajat. Perbuatan itu ditentang oleh masyarakat, bahkan
Kanjeng Kyai Penghulu sendiri turun tangan dan
memerinthakan menghapus garis-garis itu. Kemudian beliau
5
Page 10
membangun langgarnya sendiri, maka laggar itupun telah
diperintahkan untuk dirobohkan oleh Kanjeng Kyai
Penghulu. Hampir-hampir Kyai Haji Ahmad Dahlan berputus
asa karena peristiwa-peristiwa lainnya dan rupanya
semenjak itu telah mulailah pergulatan antara pikiran-
pikiran baru yang diperoleh oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan
melawan pikiran-pikiran kolot dari kyai-kyai tua.
Zuhairini (Hamsyah. 2013. 200)
Perubahan-perubahan ini, walaupun bagi kita sekarang
mungkin sangat kecil artinya, memperlihatkan kesadaran
KH. Ahmad Dahlan tentang perlunya membuang kebiasaan-
kebiasaan yang tidak baik dan yang menurut pendapatnya
memang tidak sesuai dengan Islam. Perubahan-perubahan ini
tidak perlu datang dari pengaruh-pengaruh orang lain,
sebab kaum tradisi (dan kitab-kitab mereka juga)
mengajarkan bahwa kiblat haruslah menuju ke Ka’bah dan
bahwa seorang muslim haruslah beresih dari segala
kotoran-kotoran.
Cita-cita KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama
adalah tegas, ialah hendak memperbaiki masyarakat
Indonesia berlandaskan cita-cita agama Islam. Usaha-
usahanya ditujukan hidup beragama. Keyakinan beliau
adalah bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah
terlebih dahulu dibangun semangat bangsa. Kalau Serikat
Islam usaha-usahanya ditekankan kepada bidang politik
6
Page 11
yang berlandaskan cita-cita agama. Muhamadiyah menekankan
usahanya kepada perbaikan hidup beragama dengan amal-amal
pendidikan dan sosial.
Pada waktu beliau sakit menjelang wafat, atas
nasihat dokter beliau beristirahat di Tosari. Dalam
peristirahatan itu beliau tetap bekerja keras, hingga
istri beliau memperingati berkali-kali agar beliau
beristirahat. Akhirnya beliau menjawab: “saya mesti
bekerja keras untuk meletakkan batu pertama dari amal
yang besar ini. Kalau saya lambatkan atau saya hentikan
karena sakitku, tidak ada nanti yang sanggup meletakkan
dasar itu. Beliau merasa bahwa umurnya tidak akan lama
lagi. Zuhairini (Hamsyah. 2013. 202). Ahmad Dahlan pulang
ke rahmatullah pada tahun 1923 Masehi tanggal 23
Februari, dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan sebuah
organisasi Islam yang cukup besar dan disegani karena
ketegarannya.
B. Hasyim Asy’ari (1871-1947)
Menurut Zuhairi (2013:202-203) Hasyim Asy’ari
dilahirkan pada tanggal 14 Februari tahun 1981 M di
jombang Jawa Timur, mula-mula ia belajar agama Islam pada
ayahnya sendiri. Kemudian ia belajar ke pondok pesantren
di Purbalinggo, kemudian pindah ke Plangitan, Semarang,
Madura, dan lain-lain.
7
Page 12
Sewaktu ia belajar di Siwalan Panji (Sidoarjo) pada
tahun 1891, Kyai Ya’kub yang mengajarnya tertarik kepada
tingkah lakunya yang baik dan sopan santunnya yang halus,
sehingga ingin mengambilnya sebagai menantu, dan akhirnya
ia dinikahkan dengan putrid kyainya itu yang bernama
Khadijah (tahun 1892). Tidak lama kemudian ia pergi ke
Makkah bersama istrinya untuk menunaikan ibadah haji dan
bermukim selama satu tahun, sedang istrinya meninggal
disana.
Pada kunjunganny yang kedua ke Makkah ia bermukim
selama delapan tahun untuk delapan tahun untuk menuntut
ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Sepulang dari Makkah ia
membuka pesantren untuk mengamalkan dan mengembangkan
ilmu pengetahuannya, yaitu Pesantren Tebuireng di Jombang
(pada tanggal 26 Rabi’ul Awal tahun 1899 M).
Pembaharuan Tebuireng yang pertama adalah dengan
mendirikan Madrasah Salafiyah (tahun 1919) sebagai tangga
untuk memasuki tingkat menengah pesantren Tebuireng.
Pada tahun 1929 Hasyim Asy’ari menunjuk KH Ilyas
menjadi kepala Madrasah Salafiyah. Zuhairini (Yunus.
2013. 203)
Dengn demikian KH Ilyas dapat melaksanakan hasratnya
untuk memperbaharui keadaan dalam pesantren Tebuireng
menurut cita-cita pendirinya KH Hasyim Asy’ari.
8
Page 13
Maka dibawah pimpinan KH Ilyas dimasukkan
pengetahuan umum ke dalam Madrasah Salafiyah, yaitu:
1) Membaca dan menulis huruf Latin
2) Mempelajari bahasa Indonesia
3) Mempelajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia
4) Mempelajari ilmu berhitung.
Semuanya itu diajarkan dengan memakai buku-buku
huruf Latin.
Sejak saat itu mulailah surat-surat kabar masuk ke
dalam pesantren, mulai dikenal dan dibaca oleh kyai dan
para pelajar. Begitu pula majalah dan buku-buku yang
berisi pengetahuan umum yang tertulis dengan huruf Latin
dalam bahasa Indonesia. Sedangkan sebelum itu hal-hal
tersebut dipandang barang-barang duniawi yang tidak
sesuai dengan kehendak agama. Sebab itu sebagian orang
tua murid tidak mengizinkan anaknya belajar ilmu-ilmu
itu, sehingga timbulah reaksi besar di luar yang bersikap
menentang dari setengah kyai dan orang tua murid yang
memerintahkan anak-anaknya pindah ke pesantren lain.
Zuhairini (Yunus. 2013. 204)
Hasil usaha perbaikan ini diketahui dan dirasakan
orang, ialah sesudah berpuluh tahun kemudian, yaitu dalam
masa pendudukan Jepang yang melarang surat menyurat
selain dalam huruf Latin. Pada waktu itu banyak Kyai
keluaran Tebuireng yang tertolong, karena mengetahui
9
Page 14
menulis dan membaca huruf Latin. Begitu juga banyak
mereka yang terpilih menjadi anggota Sang Kai (Dewan
Permusyawaratan Karesidenan), karena mereka mengerti
pengetahuan umum dan pandai dalam bahasa Indonesia, di
samping pengetahuan keagamaan. Zuhairini (Abubakar. 2013.
204)
Pada zaman kemajuan sekarang Tebuireng tidak mau
ketinggalan. Di samping pengajian secara lama dipesantren
Tebuireng, terdapat madrasah yang modern, sekolah agama
yang teratur menurut cara modern sekarang. Madrasah itu
mempunyai gedung-gedung yang indah berkelas, bermeja,
berbangku dan berpapan tulis. Di sana ada madrasah bagian
rendah, bagian menengah, bagian atas dan bagian tinggi.
Murid-muridnya berasal dari seluruh pelosok Indonesia.
Bahasa pengantar dipake bahasa Indonesia dan untuk
beberapa pengajaran tertentu dipakai bahasa Arab. Bahasa
asing lainnya juga diajarkan di madrasah ini bersama
pengetahuan umum.
Tiap bulan Sya’ban para kyai dari berbagai daerah
mengunjungi pesantren Tebuireng untuk belajar selama satu
bulan. Sebagai ilustrasi tentang pengetahuan terhadap
keahliannya. Dapat disebutkan bahwa seorang bekas gurunya
pada tahun 1933 berkunjung ke Tebuireng untuk
mendengarkan/mengikuti pelajaran yang ia berikan.
Zuhairini (Noer. 2013. 205)
10
Page 15
Jasa KH. Hasyim Asy’ari selain dari pada
mengembangkan ilmu di pesantren Tebuireng ialah
keikutsertaannya mendirikan organisasi Nahdatul Ulama,
bahkan ia sebagai Syeikul Akbar dalam perkumpulan ulama
yang terbesar di Indonesia.
Selain dari pada itu KH Hasyim Asy’ari duduk dalam
pucuk pimpinan MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Begitu
pula dalam gerakan pemuda dan kelasykaran, seperti: GPII
Muslimat, Hizbullah, Sabilillah, barisan Mujahidin dan
lain-lain, ia menjadi penganjur dan penasihatnya.
Dalam rangka tersebut, beliau bukan hanya
mengorbankan buah pikirannya, tetapi juga harta bendanya.
Sebagai ulama ia hidup dengan tidak mengharapkan
sedekah dan belaskasihan orang. Tetapi beliau mempunyai
sandaran hidup sendiri, yaitu beberapa bidang sawah,
hasil perniagaannya. Beliau seorang salih, sungguh
beribadat, taat dan rendah hati. Ia tidak ingin pangkat
dan jabatan, baik di zaman Belanda, atau di zaman Jepang.
Kerap kali beliau diberi pangkat dan jabatan, tetapi ia
menolaknya dengan bijaksana. Zuhairini (Yunus. 2013. 205)
Masih menurut Zuhairini (2013:205-206) KH Hasyim
Asy’ari wafat/pulang ke rahmatullah pada tanggal 25 Juli
1947 M dengan meninggalkan sebuah peninggalan yang
monumental berupa pondok pesantren Tebuireng yang tertua
dan terbesar untuk kawasan Jawa Timur dan yang telah
11
Page 16
mengilhami para alumninya untuk mengembangkannya di
daerah-daerah lain walaupun dengan menggunakan nama yang
lain bagi pesantren-pesantren yang mereka dirikan.
Banyak alumni Tebuireng yang bertebaran diseluruh
Indonesia, menjadi kyai dan guru-guru agama yang masyhur
dan ada diantara mereka yang memegang jabatan-jabatan
penting dalam pemerintahan Republik Indonesia, seperti
mentri aga dan lain-lain (KHA Wahid dan KH Ilyas).
C. Abdul Halim (1887-1962)
Abdul Halim lahir di Cibereleng, Majalengka pada
tahun 1887 M. dia adalah pelopor gerakan pembaharuan
didaerah majalengka, Jawa Barat, yang kemudian berkembang
menjadi persyerikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911,
yang kemudian berubah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI)
pada tanggal 5 April 1952 M/ 9 Rajab 1371. Kedua orang
tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama (ayahnya
adalah seorang penghulu di Jatiwangi), sedangkan
keluarga-keluarganya tetap mempunyai hubungan yang erat
secara keluarga dengan orang-orang dari kalangan
pemerintah. Ahmad Halim memperoleh ajaran agama pada
masak kanak-kanak dengan belajar diberbagai pesantren di
daerah Majalengka sampai pada umur 22 Tahun, ketika ia
pergi ke Makkah untuk naik haji dan untuk melanjutkan
pelajarannya. Zuhairini (Noer. 2013. 206)
12
Page 17
Ketika masih berumur 10 tahun ia mempelajari Quran
dan Hadis di pesantren Kyai Haji Anwar di desa Ranji
Wetan, Majallengka. Ia pindah ke desa Lontangjaya untuk
belajar pada Kyai Abdullah kemudian ke pesantren Bobos,
Cirebon dengan Kyai Haji Sudjak. Ia juga pergi ke
pesantren Ciwedus di Cilimus (Kuningan) untuk belajar
pada Kyai Haji Ahmad Saubari, kemudian ke pesantren lain
pula di Kenayangan, Pekalongan, dengan Kyai Haji Agus,
dan kembali lagi ke Ciwedus. Pada tiap pesantren ini ia
tinggal belajar setahun sampai tiga tahun.
Guru-gurunya di Makkah termasuk Syekh Ahmad Khatib
dan Syekh Ahmad Kyayyath. Ketika di Makkah ini pula ia
berkenalan dengan Kyai Haji Abdul Wahab, pendiri Nahdatul
Ulama.
Selama tiga tahun berada di Makkah, ia juga mengenal
tulisan-tulisan Abduh dan Jamaluddin al Afghani. Ketika
di Makkah ini pula ia pertama kali mengenal KH Mas Mansur
yang kemudian menjadi ketua umum Muhammadiyah.
Dua lembaga pendidikan yang menarik perhatian KHA
Halim adalah yang terdapat di Bab al Salam (dekat Makkah)
dan di Jedah, yang menurut ceritanya kedua lembaga
pendidikan ini telah menghapuskan system halakah dan
diganti dengan mengorganisir kelas-kelas dengan
kelengkapan meja dan bangku serta menyusun kurikulum.
Kedua lembaga pendidikan ini yang kemudian yang
13
Page 18
mengilhaminya untuk mengubah sistem pendidikan
tradisional didaerah asalnya, Majalengka.
Sebuah organisasi yang bergerak di bidang ekonomi
dan pendidikan berhasil didirikan KH Ahmad Halim pada
tahun 1911 (sepulang dari Makkah) yang diberi nama
Hayatul Qulub yang kemudian dialih nama dengan
Perserikatan Ulama.
Dalam bidang pendidikan KH Ahmad Halim semula
menyelenggarakan pendidikan agama seminggu sekali untuk
orang-orang dewasa. Pelajaran yang diberikan adalah fiqh
dan hadis.
Perlu juga dikemukakan bahwa, Perserikatan Ulama
secara resmi berpegang teguh pada mazhab Syafi’i. KH
Ahmad Halim memang tidak pernah menyingkirkan mazhab ini.
Tetapi mempunyai hubungan yang erat pula dengan lembaga-
lembaga pendidikan yang didirikan oleh kalangan para
pembaharu, malah lebih erat lagi dibandingkan dengan
hubungannya dengan kalangan tradisi. Iapun juga sangat
aktif dalam kegiatan-kegiatan Sarekat Islam dari kira-
kira 1918 sampai tahun 1933, termasuk dalam masalah-
masalah perburuhan. Ia tidak pula menolak untuk mengambil
contoh lembaga-lembaga pendidikan bukan Islam seperti,
yang diakuinya, Shantiniketan kepunyaan Tagore, untuk
memperbaiki sekolahnya sendiri. Santri asrama memang
memperlihatkan pendapat KH ahmad halim bahwa Islam tidak
14
Page 19
menghendaki seorang muslim semata-mata mengejar akhirat
saja dengan mengabaikan dunia. Tetapi sebaliknya pula, ia
tidak menyetujui apabila kehidupan duniawi saja yang
dikejar, tanpa memperhatikan kehidupan rohani. Memang
santri asrama itu mencerminkan perpaduan antara aspek-
aspek duniawi dan rohani dari keperluan manusia.
Pada umumnya KH Ahmad Halim berusaha untuk
menyebarkan pemikirannya dengan toleransi dan penuh
pengertian. Dikemukakan bahwa ia tidak pernah mengecam
golongan tradisi ataupun orang lain atau organisasi lain
yang tidak sepaham dengan dia. Tablignya lebih banyak
merupakan anjuran untuk menegakkan etika didalam
masyarakat dan bukan merupakan kitik tentang pemikiran
ataupun pendapat orang lain. Pada tahun 1933 ketika
Sukiman dikeluarkan dari Serikat Islam, KH Ahmad Halim
yang memang sejak tahun 1918 telah berkecimpung di dalam
partai ini tidak menyetujui keputusan partai tersebut.
Tetapi oleh karena keyakinannya bahwa tiap pertikaian,
apapun juga sifatnya, dapat diselesaikan atas dasar
saling pengertian dan kompromi. Zuhairini (Noer. 2013.
208)
Pada tanggal 7 Mei 1962 KH ahmad Halim pulang ke
rahmatullah di Majalengka Jawa Barat dalam usia 75 tahun
dan dalam keadaan tetap teguh berpegang pada mazhab
Syafi’i.
15
Page 20
D. Hamka1. Riwayat Hidup
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal
dengan julukan Hamka, lahir di desa kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Ia adalah
sastrawan Indonesia, sekaligus ulama dan aktivis politik.
Ia mendapatkan pendidikan rendah di SD Maninjau.
Ketika usia Hamka beranjak 10 tahun, ayahnya telah
mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di
situlah Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa
Arab. (Syamsul, 2011. Hal. 225)
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada 1927
di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di
Padang Panjang pada 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai
dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun
1958. Setelah itu ia diangkat menjadi rektor Perguruan
Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo,
Jakarta. (Syamsul, 2011. Hal. 226)
Pada 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan
Pusat muhammadiyah, pada 26 Juli 1977, Menteri Agama
Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai
ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi Hamka kemudian
meletak jabatan pada 1981 karena nasihatnya tidak
16
Page 21
dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. (syamsul, 2011,
hal. 227)
Dari tahun 1964-1966, Hamka dipenjarakan oleh
Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa
dipenjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan
karya ilmiah terbesar. (Syamsul, 2011, hal. 228)
2. Pemikiran Hamka tentang Pendidikan
Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut
Hamka sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul (2011: 229)
menyatakan bahwa bukan hanya untuk membantu manusia
memperoleh penghidupan yang layak, melainkan lebih dari
itu. Dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya,
memperluas akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari
keridhaan Allah. Ini berarti pendidikan dalam pandangan
Hamka terbagi dua, yaitu: pertama, pendidikan jasmani
yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan
jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan
rohani yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia
dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan
kepada agama.
Menurutnya, fitrah setiap manusia pada dasarnya
menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk
mengabdi pada khaliqnya.
17
Page 22
E. Basiuni Imran
1. Riwayat Hidup
Ia lahir di Sambas, Kalimantan Barat pada 25
Zulhijjah 1302 H (16 Oktober 1885 M). Pada usia 6-7
tahun, ia mulai belajar di lembaga pendidikan formal dan
belajar agama secara informal. Pada usia itu pula, ia
diajarkan ayahnya membaca al-Quran, diajarkan nahwu dan
sharaf. (Syamsul, 2011, hal. 257)
Syamsul (2011: 258) melanjutkan bahwa pada usia 17
tahun, Basiuni Imran pergi ke Makkah untuk berhaji dan
dilanjutkan dengan belajar di sana selama 5 tahun.
Adapun karier Basiuni Imran sebagaimana yang
dipaparkan oleh Syamsul (2011: 259) diantaranya Imam
Pembantu Masjid Jami' (1905), Maharaja imam, Qadi, dam
Mufti Kerajaan Sambas (1913), Pengawas Sekolah Agama
Islam di Sambas (1918), anggota Plaatselik Fonds Sambas
(1920), dan sebagainya.
2. Pemikiran Pendidikan Islam Basiuni Imran
Dari karya-karya yang ditulis olehnya, seperti
Tarjamah Durus al-Tarikh al-Syariah, Bidayat al-Tauhid fi Ilm al-Tauhid,
Risalah Cahaya Suluh, Tadzkir, dan sebagainya. Hampir seluruh
kandungannya berkenaan dengan upaya memperbaiki dan
meningkatkan kualitas pelaksanaan ajaran agama Islam di
Sambas.
18
Page 23
Adapun motivasi yang mendorongnya menulis karyanya
itu dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, keinginan
untuk beramal jariyah di bidang ilmu. Kedua, menurutnya
ilmu-ilmu yang ia tulis dan atau terjemahkan merupakan
ilmu yang wajib dipelajari; meliputjh tauhid, tafsir,
fiqh, dan sejarah Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kesadaran akan
masih kurangnya kitab-kitab keagamaan (Islam) yang
ditulis dalam bahasa Melayu. (Syamsul, 2011, hal. 261)
Pendidikan menurut Basiuni Imran bersifat utuh-
menyeluruh dan tidak mengenal pemisahan ketat antara ilmu
agama dan ilmu umum. (Syamsul, 2011, hal. 262)
Adapun syarat-syarat seorang pendidik, dalam
pandangannya dapat dikelompokkan dalam dua kategori:
pertama syarat moral seperti ikhlas, sabar dan bijaksana,
dan menjauhi perdebatan. Kedua, syarat profesional
meliputi memiliki pengetahuan yang luas dan mengetahui
keadaan peserta didik. (Syamsul, 2011, hal. 264)
Syarat pengetahuan yang luas bagi seorang pendidik
juga mutlak diperlukan. Seorang pendidik harus memiliki
ilmu yang memadai untuk mendukung profesinya. Salah satu
ilmu yang sangat penting menurut Basiuni Imran dalam
konteks pendidikan Islam adalah bahasa Arab. Baginya,
bahasa merupakan pengantar untuk seseorang mengetahui
ilmu-ilmu keislaman khususnya al-Quran, sunnah, dan
sejarah kaum Muslim. (Syamsul, 2011, hal. 265)
19
Page 24
F. Hasan Langgulung1. Riwayat hidup
Ia lahir di Rappang, Ujung Pandang, Sulawesi
Selatan, pada 16 Oktober 1934 dan wafat pada 2 Agustus
2008, di Kuala Lumpur, Malaysia. Riwayat pendidikannya
dimulai dari pendidikan formalnya di SD di Rappang Ujung
Pandang. (Syamsul, 2011, hal. 271)
2. Pemikiran tentang Pendidikan
Pendidikan menurut Hasan Langgulung sebenarnya dapat
ditinjau dari dua segi. Pertama, dari sudut pandang
masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari
generasi tua ke generasi muda, agar hidup masyarakat
tetap berlanjut. Kedua, dari sudut pandang individu,
pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang
terpendam dan tersembunyi. Dalam hal ini, perlu adanya
penggalian dan penggarapan segenap bakat dan kemampuan
yang dimiliki oleh masing-masing individu agar dapat
bermanfaat bagi individu bersangkutan khususnya kepada
masyarajat luas pada umumnya. (Syamsul, 2011, hal. 275)
Syamsul (2011: 275) melanjutkan bahwa Hasan
Langgulung juga berpendapat bahwa mustahil kita memahami
pendidikan Islam tanpa memahami Islam itu sendiri, suatu
kekuatan yang memberikan hidup bagi suatu peradaban
20
Page 25
raksasa yang salah satu buahnya adalah pendidikan.
Pendidikan itu wujud bukan secara kebetulan di tengah-
tengah rakyat yang kebetulan adalah orang-orang Islam,
tetapi dihasilkan dalam bentuk seperti itu oleh orang-
orang Islam.
G. Azyumardi Azra1. Riwayat Hidup
Ia lahir di Lubuk Alung, Sumatra Barat pada 4 Maret
1955 dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang
agamis. Ia mulai pendidikan formalnya pada umur 9 tahun
di SD di sekitar rumahnya. Lalu ia meneruskan
pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Negeri di Padang.
(Syamsul, 2011, hal. 285)
Azra adalah tokoh pemikir yang tak pernah diam.
Obsesinya yang besar untuk mengubah pemikiran Islam di
Indonesia, telah pula ditorehkan melalui karya-karya
geniusnya, baik dalam bentuk tulisan artikel dan esai
yang dimuat di berbagai media masa maupun sejumlah buku
yang diterbitkan. (Syamsul, 2011, hal. 287)
Pada tahun 1999, ia menerbitkan dan meluncurkan enam
buku: pendidikan Islam: tradisi dan Modernisasi Menuju
Millenium Baru, Esei-Esei Intelektual Muslim, Renaisans
Islam di Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan,
21
Page 26
Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Islam
Reformis: Dinamika Gerakan, Pembaharuan, dan Intelektual,
Islam Substantif: Agar Umat Tidak jadi Buih. (Syamsul,
2011, hal. 288)
2. Pemikiran tentang Pendidikan
Menurut Azyumardi Azra, pendidikan lebih dari
sekedar pengajaran. Pengajaran bisa dikatakan sebagai
suatu proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi
nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala yang
dicakupnya. Dengan demikian, menurutnya pengajaran lebih
berorientasi pada pembentukan "ahli" atau para spesialis
karena perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis.
(Syamsul, 2011, hal. 290)
Menurutnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam,
perencanaan kurikulum pendidikan Islam haruslah mempunyai
nilai pokok dan permanen, yakni persatuan masyarkat
internasional berdasarkan kepentingan teknologi dan
kebudayaan bersama atas nili-nilai kemanusiaan. Tidak
hanya itu saja, ia juga merumuskan tujuan pendidikan
Islam yang lebih khusus, yang meliputi tahap-tahap
penguasaan anak didik terhadap bimbingan yang diberikan
dalam berbagai aspeknya, pikiran, perasaan, intuisi, dan
keterampilan. Dari tahap-tahap inilah kemudian dapat
dicapai tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap
22
Page 27
dengan materi, metode, serta sistem evaluasi yang
disebutnya kurikulum. (Syamsul, 2011, hal. 291)
Azyumardi Azra juga mengatakan bahwa menurutnya
pemisahan keilmuan umum dan keilmuan agama menjadi
paradigma keilmuan yang kaku sehingga keduanya harus
dipadukan. Pemikirannya mempunyai relevansi dengan
perkembangan sains dan teknologi serta mengikuti
perkembangan zaman, bahkan dalam tulisannya ia berupaya
mengantisipasi masa depan sehingga ia patut dimasukkan ke
dalam kelompok modernis. (Syamsul, 2011, hal. 296)
23
Page 29
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa dalam mengenal tokoh-tokoh pendidikan islam di
Indonesia, maka kita akan mengenal beberapa nama tokoh
yang terkenal. Diantara para tokoh tersebut, sangat
andil besar dalam memperbaharui konsep dan sistem
pendidikan di Indonesia khususnya mengenai pendidikan
Islam.
B. SaranPenyusun berharap dengan adanya makalah ini, kita
sebagai orang-orang yang sudah terdidik bisa ikut serta
dalam pembangunan pendidikan yang ada di Indonesia saat
ini. Penyusun melihat bahwa yang harus di perbaiki saat
ini bukan hanya sarana dan prasarana atau penggabungan
mata pelajaran yang modern dengan tradisional. Akan
tetapi, pendidikan yang harus diperbaiki saat ini harus
menitik beratkan kepada akhlak atau karakter peserta
didik, supaya tidak menghasilkan kaum terdidik yang tidak
25
Page 30
amanah seperti korupsi, nepotisme, dan kelakuan buruk
lainnya yang sedang terjadi di Negara kita saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mahrus, S. K. (2011). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Zuhairini. (2013). Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: Bumi Aksara.
26