Nama
: Faliqul IsbakhiNIM
: 111080200292
Semester: V (Sore E)
Tokoh Muhammadiyah
Ketua Umum Pimpinan Pusat
MuhammadiyahNo.FotoNamaDariSampaiTempat MusyawarahKeterangan
1.
K.H. Ahmad Dahlan19121923YogyakartaRapat Tahun ke-1
2.
K.H. Ibrahim19231932YogyakartaRapat Tahun ke-12
3.
K.H. Hisyam19341936YogyakartaRapat Tahun ke-23
4.
K.H. Mas Mansur19371942YogyakartaRapat Tahun ke-26
5.
Ki Bagoes Hadikoesoemo19441953YogyakartaMuktamar Darurat
6.
Buya A.R. Sutan Mansur19531959PurwokertoMuktamar Ke32
7.
K.H. M. Yunus Anis19591962PalembangMuktamar Ke34
8.
K.H. Ahmad Badawi19621968JakartaMuktamar Ke35
9.
KH Faqih Usman19681968PalembangMuktamar Ke34
10.
K.H. A.R. Fachruddin19681971Fait Accompli
19711990MakasarMuktamar Ke38
11.
K.H. Ahmad Azhar Basyir19901995YogyakartaMuktamar Ke42
12.
Prof. Dr. H. Amien Rais19951998Banda AcehMuktamar Ke43
13.
Prof. Dr. H. Ahmad Syafi'i Ma'arif19982000Sidang Tanwir &
Rapat Pleno
20002005JakartaMuktamar Ke44
14.
Prof. Dr. KH. Din Syamsuddin, M.A.20052010MalangMuktamar
Ke45
2010PetahanaYogyakartaMuktamar Ke46
1. Kyai Haji Ahmad DahlanKyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad
Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 meninggal di
Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh
bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah
puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama
lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi
dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad
Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan.Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap
selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh
Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta.Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang
gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang
wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat
itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di
masyarakat.Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat
dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah
diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia
juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul
Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi
Muhammad SAW.Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan
organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan
Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu
pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama
Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup
menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri
bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan
telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.Gagasan pendirian
Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi,
baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai
fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la
dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam.
Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa
Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul
dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan
priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan
sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang
merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi. Bahkan
ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati
untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah
air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.Pada tanggal 20
Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No.
81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah
Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan
perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad
Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah
di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di
Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah
(SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan
Islam. Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, diantaranya ialah Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin,
Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan
Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri,
Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin,
Syahratul Mubtadi. Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan
tokoh agama lain seperti Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith
adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van
Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan
Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja
dengan pakaian hajinya.Gagasan pembaharuan Muhammadiyah
disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke
berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar
dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari
berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan
dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada
tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah
Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di
seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tanggal 2 September 1921.Sebagai seorang yang
demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah
untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam
Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan
anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah
AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
2. K.H. IbrahimSebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan
kepada para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhamadiyah
sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim, adik ipar KHA.
Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama besar
menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu.
Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri
Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya.
Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923
dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter
Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja, 1933: 232).K.H.
Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia
adalah putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim
Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII
OGRE(Soedja. 1933: 227), dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad
Dahlan.
Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias
Djojotaruno (Soeja, 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan
Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya segera
dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim
menikah dengan ibu Moesinah, putri ragil dari K.H. Abdulrahman
(adik kandung dari ibu Moechidah).
Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup
panjang yaitu sampai 108 tahun, dan baru meninggal pada 9 September
1998. Menurut penilaian para sahabat dan saudaranya, Ibu Moesinah
Ibrahim merupakan potret wanita zuhud, penyabar, gemar sholat malam
dan gemar silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah maka Hj.
Moesinah sering dikatakan sebagai ibu teladan (Suara Aisyiyah.
No.1/1999: 20).
Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan
diajarkan mengkaji Al-Quran sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing
memperdalam ilmu agama oleh saudaranya sendiri (kakak tertua),
yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan
dilanjutkan pula menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8
tahun. Pada tahun 1902 ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah
lanjut usia.
3. Kyai Haji Hisyam
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga ialah Kyai Haji
Hisyam. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun
1934. Ia adalah salah satu murid langsung K.H. Ahmad Dahlan, yang
juga adalah seorang abdi dalem ulama Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat.
K.H. Hisyam lahir di Kauman Yogyakarta, tanggal 10 November 1883
dan wafat 20 Mei 1945. Iamemimpin Muhamadiyah hanya selama tiga
tahun. Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di
Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres
Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya
dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia
(Jakarta) pada tahun 1936.
Yang paling menonjol pada diri Hisyam adalah ketertiban
administrasi dan manajemen organisasi pada zamannya. Pada periode
kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak
diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan
agama maupun pendidikan umum. Hal ini tercermin dari pendidikan
putra-putrinya yang disekolahkan di beberapa perguruan yang
didirikan pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru,
yang saat itu disebut, sebagai bevoegd yang akhirnya menjadi guru
di HIS Met de Quran Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta. Satu
orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo,
dan seorang lagi menamatkan studi di Europese Kweekschool Surabaya.
Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah yang didirikan Pemerintah
Kolonial Belanda untuk mendidik calon guru yang berwenang untuk
mengajar HIS Gubernemen.
Tak ayal lagi bahwa dunia pendidikan pada periode kepemimpinan
K.H. Hisyam mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan juga
bahwa ketertiban dalam administrasi dan organisasi juga semakin
mantap. Hal ini terjadi barangkali karena K.H. Hisyam pada periode
kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua Bahagian Sekolah (saat
ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar
Muhammadiyah.
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka
sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan
menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool
gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah
sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan volkschool
dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa.
Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu
sekolah dasar enam tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang
semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands
Inlandsche School Met de Quran Muhammadiyah untuk menyamai usaha
masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandsche School
Met de Bijbel.Kebijakan K.H. Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah
saat itu diarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah,
sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir
bahwa masyarakat yang inginputra-putrinya mendapatkan pendidikan
umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah
mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama
dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula
dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus
memenuhi persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan
Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan pengakuan dan
persamaan dari pemerintah colonial saat itu.
Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah K.H. Hisyam mau
bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima
bantuan keuangan dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya
sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada
sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan K.H.
Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa
dan Syarikat Islam yang saat itu melancarkan politik
non-kooperatif. Namun, Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah
itu merupakan hasil pajak yang diperas dari masyarakat Indonesia,
terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa
memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan
Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan
bangsa ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada
menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi
tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan
pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme
Belanda.
Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada
periode Hisyam, maka pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah
memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse
School (HIS), dan 25 Schakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang
akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat
SMP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool
kelas V. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah
Muhammadiyah saat itu merupakan lembaga pendidikan pribumi yang
dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda,
sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.
Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk
masyarakat, ia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial
Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van
Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam
pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan
berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di
Indonesia.
4. KH Mas Mansyur
Mas Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 di
Surabaya. Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yangberasal
dari keluarga Pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya. Ayahnya
bernama K.H. Mas Ahmad Marzuqi, seorang pioneer Islam, ahli agama
yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari
keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai
imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya, suatu jabatan
terhormat pada saat itu.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri.
Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo dengan Kiai
Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur
berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren
Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Quran dan
mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama
dia belajar di sana, kurang lebih dua tahun, Kiai Khalil meninggal
dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke
Surabaya.
Sepulang dari Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang
tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di
Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas,
Jawa Tengah. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana,
situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab
Saudi, Sultan Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang
asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu.
Pada mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir, karena
citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu
sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas
Mansur tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya.
Kepahitan dan kesulitan hidup karena tidak mendapatkan kiriman uang
dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup harus
dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis
dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini
berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya
kembali mengiriminya dana untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh
Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya
membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan
pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik
melalui media massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan
kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media
massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama
kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu
dia singgah kembali ke Makkah selama satu tahun, dan pada tahun
1915 dia pulang ke Indonesia.
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan
puteri Haji Arif yaitu Siti Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari
rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam
orang anak, yaitu Nafiah, Ainurrafiq, Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim
dan Luk-luk. Disamping menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga
menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini
tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939
Halimah meninggal dunia.
Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri
ialah bergabung dalam Syarikat Islam. Peristiwa yang dia saksikan
dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik,
maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan
pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan sayapnya
dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS.
Cokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan
revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.
Selain itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama
Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala
Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh keadaan
masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat
sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang
berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar
merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya
mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau
masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan
masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah
politik perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai
aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan.
Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab
Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar
Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di
Wonokromo, Faru al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah
al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati, dari nama
yang dimunculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka dapat
diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar.
Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak
mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah.
Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain, itulah yang
mereka harapkan.
5. Ki Bagoes HadikoesoemoPahlawan perintis Kemerdekaan Nasional
Indonesia ini dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama
R. Hidayat pada 11 Rabiul Akhir 1038 Hijriyah. Ia putra ketiga dari
lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan
agama Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri,
Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan
beberapa Kiai di Kauman. Setelah tamat dari Sekolah Ongko Loro
(tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di Pesantren
Wonokromo, Yogyakarta. Di Pesantren ini ia banyak mengkaji
kitab-kitab fiqh dan tasawuf.
Dalam usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri
Raden Haji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah seorang di
antaranya ialah Djarnawi Hadikusumo, yang kemudian menjadi tokoh
Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di Parmusi.
Setelah Fatmah meninggal, ia menikah lagi dengan seorang wanita
pengusaha dari Yogyakarta bernama Mursilah. Pernikahan ini
dikaruniai tiga orang anak. Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan
Siti Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah istri keduanya
meninggal. Dari istri ketiga ini ia memperoleh lima anak.
Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD)
ditambah mengaji dan besar di pesantren. Namun, berkat kerajinan
dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi
orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin
Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD
1945, karena ia termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekan
Indonesia (PPKI). Peran Ki Bagus sangat besar dalam perumusan
Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan,
kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya
dengan memberikan landasan-landasan itu disetujui oleh semua
anggota PPKI.
Secara formal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi
Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi
MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah
(1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan
sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak
langkah serta perjuangan Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran
itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang
merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah
tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi
dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil
Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Ki Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya.
Buku karyanya antara lain Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq
Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati
(1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka
Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku karyanya
tersebut tercermin komitmennya terhadap etika dan bahkan juga
syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk
seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan
Islam.
Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk
alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual. Ini nampak
dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia
ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah
kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama
(priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini
ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki
Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang
didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh
keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk
kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan Ordonansi
1931. Kekecewaannya itu ia ungkap kembali saat menyampaikan pidato
di depan Sidang BPUKPKI.
Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah
adalah pada saat terjadi pergolakan politik internasional, yaitu
pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan
ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah ketika
diminta oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di
Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas
untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa
menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta
pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang,
Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik. Ki Bagus
Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon
yang terkenal ganas dan kejam, untuk memerintahkan ummat Islam dan
warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai
penghormatan kepada Dewa Matahari.
Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
selama 11 tahun (1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun.
Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.
6. Buya A.R. Sutan MansurRanah Minang pernah melahirkan salah
seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam Senin 26 Jumadil
Akhir 1313 Hijriyah, bertepatan 15 Desember 1895 Masehi. Anak
ketiga dari tujuh bersaudara yang merupakan karunia Allah pada
kedua orang tuanya, yaitu Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama
terkenal di Maninjau, dan ibunya Siti Abbasiyah atau dikenal dengan
sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah tokoh dan guru agama di
kampung Ai Angek (Air Hangat), Maninjau.
Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai
dasar keagamaan dari kedua orang tuanya. Selain itu, untuk
pendidikan umum, ia belajar di Inlandshe School (IS) tahun
1902-1909. Di sini ia belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan
sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari untuk studinya di
Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di
Bukit tinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus
sekolah tersebut. Namun, tawaran tersebut ditolak karena ia lebih
tertarik untuk mempelajari agama, disamping saat itu ia sudah
dirasuki semangat anti-penjajah Belanda.
Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia.
Baginya, penjajahan tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah
manusia akan tetapi bahkan seringkali berupaya menghadang dan
mempersempit gerak syiar agama Islam secara langsung dan
terang-terangan atau secara tidak langsung dan tersembunyi seperti
dengan membantu pihak-pihak Zending dan Missi Kristen dalam
penyebarluasan agamanya. Maka, tidak mengherankan bila pada tahun
1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah
Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama
Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari
Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan
melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda
akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak
mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan
ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan
bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan
pertemuan di waktu menjelang Maghrib.
Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah)
ia belajar kepada Haji Rasul (Dr. Abdul Karim Amrullah, ayahnya
Buya HAMKA), seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Dibawah
bimbingan Haji Rasul (1910-1917) ia belajar ilmu Tauhid, bahasa
Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya
seperti syariat, tasawuf, Al-Quran, tafsir, dan hadis dengan
mustolah-nya.Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, Dr.
Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah,
kakak Buya HAMKA serta diberi gelar Sutan Mansur. Setahun kemudian
ia dikirim gurunya ke Kuala Simpang, Aceh untuk mengajar. Setelah
dua tahun di Kuala Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.
Terjadinya pemberontakan melawan Inggris di Mesir menghambat
keinginannya untuk melanjutkan studi di universitas tertua di
dunia, Universitas Al-Azhar Kairo, karena ia tidak diizinkan oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya, ia berangkat
ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para
perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya.
Kegelisahan pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan
pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia
berinteraksi dengan K.H. Ahmad Dahlan yang sering datang ke
Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia
tertarik untuk bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah (1922),
dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama para pedagang dari
Sungai Batang, Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah di
Pekalongan.
Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide yang dikembangkan
Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkan
di Sumatera Barat, yaitu agar ummat Islam kembali pada ajaran
Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari
karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat ummat
Islam terbelakang dan tertinggal dari ummat-ummat lain. Selain itu,
ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu
semata dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam
secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada
upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu
terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban
usai menunaikan shalat Iedul Adha dan membagi-bagikannya pada fakir
miskin.
Pada tahun 1923, Sutan Mansur menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang
Pekalongan, setelah ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak
tahan menerima serangan kanan-kiri dari pihak-pihak yang tidak suka
dengan Muhammadiyah. Ia juga memimpin Muhammadiyah Cabang
Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan tabligh dan
menjadi guru agama.
Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan
orang-orang komunis di ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur
diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata
Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi Minangkabau.
Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan
akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga
Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami
perkembangan pesat.
Pada tahun 1927 bersama Fakhruddin, Sutan Mansur melakukan
tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Melalui
kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara mendekati raja-raja
yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi
montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan
Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun berhasil mendirikan
Cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai,
dan Amuntai. Dengan demikian, antara tahun 1926-1929 tersebut,
Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.
Selain di Muhammadiyah, Sutan Mansur sebagaimana juga K.H. Ahmad
Dahlan pada dasawarsa 1920-an hingga 1930-an aktif dalam Syarikat
Islam dan sangat dekat dengan HOS. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim.
Keluarnya ia dari Syarikat Islam dapat dipastikan karena ia lebih
memilih Muhammadiyah setelah SI mengambil tindakan disiplin
organisasi bagi anggota yang merangkap di Muhammadiyah.
Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930)
memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur
Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Karena itu, pada
tahun 1931 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah
Daerah Minangkabau (Sumatera Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau
yang dijabatnya hingga tahun 1944. Bahkan, sejak masuknya Jepang ke
Indonesia, ia telah diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah
menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat
terputusnya hubungan Sumatera dan Jawa.
7. K.H. M. Yunus AnisKeluasan dan kekuatan pengetahuan agamanya,
membuat tak sedikit orang percaya pada kealiman sosok Muhammad
Yunus Anis yang kerap disapa pendek, Yunus Anis. Tak terkecuali
kalangan tentara. Bukti nyata besarnya kepercayaan yang diberikan
TNI (Tentara Nasional Indonesia), maka pada tahun 1945 TNI
menobatkan Yunus Anis selaku Kepala Pusroh Angkatan Darat Republik
Indoenesia, atau biasa dikenal Imam Tentara. Selama mengemban tugas
itu, Yunus Anis banyak memberikan pembinaan mental terhadap para
tentara. Putra sulung sembilan bersaudara dari pasangan Haji
Muhammad Anis dan Siti Saudah ini lahir di Kauman tanggal 3 Mei
1903. Persis seperti pengakuan yang tertuang dalam Surat
Kekancingan dari Sriwandowo Tepas Dwara Putra Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat tahun 1961, Yunus Anis tercatat sebagai keturunan ke-18
dari Raja Brawijaya V. Dengan demikian, berhak pula menyandang
gelar Raden.Masa kecil Yunus Anis banyak mendapat tempaan teladan
dari ayahnya, yang tak lain kawan seperjuangan KH Ahmad Dahlan.
Bahkan nama sang ayah tercatat dalam recht person Muhammadiyah.
Membaca Al-Quram dan pendidikan akhlaq, adalah ilmu pertama dan
utama yang diperoleh dari kakek dan ayahnya. Pendidikan formalnya
dimulai di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian
dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad, Batavia
(Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati, kawan karib KH
Ahmad Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut membawa
dirinya tampil sebagai muballigh yang tangguh. Tamat dari
pendidikan formalnya, Yunus Anis mengaktifkan diri sebagai
muballigh sesuai pengetahuan agama yang diperolehnya. Tak
segan-segan Yunus Anis terjun ke tengah-tengah masyarakat di
berbagai daerah Tanah Air untuk mengembangkan misi dakwahnya dan
sekaligus menyebar luaskan gerakan Muhammadiyah. Selama rentang
pengabdiannya sebagai muballigh, Yunus Anis pernah mukim di
berbagai daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh Darussalam hingga ke
Padang Panjang, Sumatera Barat. Serta pernah pula mukim di Makassar
dan Alabio, Kalimantan Selatan. Di berbagai daerah yang disinggahi
dan dimukiminya, Yunus Anis membuka jalan baru bagi berkembangnya
Muhammadiyah dan banyak mendirikan cabang-cabang Persyarikatan
Muhammadiyah. Besar andilnya dalam mengembangkan misi dakwah dan
gerakan Muhammadiyah, pada akhirnya menempatkan sosoknya sebagai
Pengurus Besar Muhammadiyah.Yunus Anis kembali ke Yogyakarta karena
diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Tugas itu diterimanya
dengan penuh gairah, lalu berkiprah sungguh-sungguh dalam membina
pemuda yang berjiwa agresif dan kreatif bersendikan nilai-nilai
Islam. Dan, di kemudian hari diharapkan menjadi gemerasi penerus
yang cakap, trampil, dilandasi iman yang teguh. Dalam kesempatan
Apel Besar Htzbul Wathan di akun-alun utara Yogyakarta, Yunus Anis
tampil membangkitkan semangat dengan hadir sambil menunggang kuda
untuk memeriksa pasukan. Tampaklah pada dirinya ditunjang postur
tubuhnya yang tinggi besar, sosok kepemimpinan yang tegas dan
berkesan. Tak pelak, kesan itu kemudian tersiar luas di kalangan
Muhammadiyah.
Selain itu, Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan
administrator. Bakat itu, pernah mengantarnya sebagai Pengurus
Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga kepemimpinannya semakin
terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar
Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus Anis
dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap
ummat Islam. Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR
GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh
berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi
anggota DPR GR yang sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya
menjadi anggota DPR GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari
tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat
itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan
Masyumi, serta bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen.
Namun, kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa
keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik
jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni,
mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam
parlemen.Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya
kembali UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
kemudian menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa politik yang
tidak sehat. Tak sedikit manuver dan intrik dilakukan oleh partai
politik, terutama Partai Komunis Indonesia yang sangat membahayakan
bagi instabilitas kondisi politik Tanah Air saat itu. Dalam situasi
seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah periode 1959-1962 pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di
Yogyakarta.Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal
gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut
digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan
akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang
bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.
8. K.H. Ahmad BadawiPenasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang
agama (1963) ini lahir di Kauman Yogyakarta, pada tanggal 5
Februari 1902 sebagai putra ke-4. Ayahnya, K.H. Muhammad Fakih
(salah satu Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai
Komisaris), sedangkan ibunya bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik
kandung K.H. Ahmad Dahlan). Jika dirunut silsilah dari garis ayah,
maka Ahmad Badawi memiliki garis keturunan dengan Panembahan
Senopati.Dalam keluarga Badawi sangat kental ditanamkan nilai-nilai
agama. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika
kesehariannya. Diantara saudara-saudaranya, Badawi memiliki
kelebihan, yaitu senang berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri
khusus baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia
masih menempuh pendidikan. Sejak masih belajar mengaji di
pondok-pondok pesantren, dia sering membuat kelompok
belajar/organisasi yang mendukung kelancaran proses mengajinya.Usia
kanak-kanaknya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya sendiri.
Pada tahun 1908-1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab
Karanganyar, untuk belajar tentang nahwu dan sharaf. Pada tahun
1913-1915 ia belajar kepada K.H. Dimyati di Pondok Pesantren
Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang
pintar berbahasa Arab (nahwu dan sharaf) yang telah didapat di
Pondok Lerab. Pada tahun 1915-1920Ahmad Badawi mondok diPesantren
Besuk, Wangkal Pasuruan. Badawi mengakhiri pencarian ilmu agama di
Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun
1920-1921. Pendidikan formalnya hanya didapatkan di Madrasah
Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kauman
Yogyakarta, yang belakangan berubah menjadi Standaarschool dan
kemudian menjadi SD Muhammadiyah.Tumbuhnya organisasi-organisasi
kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja membuatnya harus
pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi.
Masing-masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya
dengan berbagai macam cara, dengan tujuan untuk bersatu mengusir
pemerintah kolonial Belanda, dengan berbagai variasi sesuai dengan
misi dan visi organisasinya.
Keinginan Badawi untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang
telah dipelajarinya dari berbagai pesantren akhirnya
mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai pilihannya dalam
beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan
orientasi Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi.
Keberadaannya di Muhammadiyah lebih diperjelas dengan tercatatnya
ia di buku Anggota Muhammadiyah nomor 8.543 pada tanggal 25
September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang
sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944
(Jusuf Anis, t.t., p. 25).Pada masa perjuangan, Badawi pernah
memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia turut beroperasi di Sanden
Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean Kulon Progo. Pada tahun
1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan K.H. Mahfudz
sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dia juga menjadi anggota Laskar Rakyat Mataramatas
instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta bergabung di
Batalyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan.Pada tahun 1950,
Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di
Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai
ini kemudian membubarkan diri.Semenjak berkiprah di Muhammadiyah,
ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk bertabligh.
Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah
(madrasah) dan melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan
pembekalan ke-Muhammadiyah-an. Prestasi di bidang tabligh telah
mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majelis Tabligh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-tahun
berikutnya, ia juga diserahi amanatuntuk menjadi Kepala Madrasah
Zaimat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun
1942). Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan
potensi wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi muballighat yang
handal di daerahnya.Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan
lagi. Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Badawi selalu terpilih
dan ditetapkan menjadi Wakil Ketua. Pada waktu Muktamar
Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar
Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan
Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.Citra politik Muhammadiyah
pada masakepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena
banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus
Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim
Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI,
bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan
pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan adanya
banyak tekanan politik masa Orde Lama.Menghadapi realitas politik
seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan
urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa
dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang
dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan
politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan.
Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya mampu
mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang
mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.Kebijakan
Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan
Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat
Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa
kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka
Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar
dalam melobi Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak
menjilat atau menjadi antek Soekarno, seperti yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga
Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno.
Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat
memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya, bila KHA. Badawi
memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno
sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut
memperhatikan fatwa Kiai Badawi.Bagi Muhammadiyah, keadaan ini
sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang terus
jalan harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri
sadar bahwa Muhammadiyah pada masa itu senafas dan seirama dengan
Masyumi, namun ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan
Soekarno sepertinya semakin menyukainya untuk balance of power
policy (PP. Muhammadiyah, t.t., halaman 6). Iktikad baik Soekarno
ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran
Muhammadiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang
dirasanya lebih dekat.
Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot
dipandang dari kacamata Islam. Secara relatif KHA. Badawi bisa
mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh
oleh pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani kepada
Soekarno disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang dan
waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi memberikan nasehatnya
kepada Presiden.Pada tahun 1968, dalam masa pemerintahan Orde Baru,
Kiai Badawi diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Di
DPA itu, ia memberikan nasehat kepada Presiden Soeharto di bidang
agama Islam. Namun, KHA. Badawi sebenarnya hanya sedikit memberikan
nasehatnya pada pemerintahan awal Orde Baru itu. Hal ini
dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah melemah. Penyakit yang
disandangnya kurang memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk
turut berkiprah lebih banyak dalam memberikan sumbangsihnya kepada
negara dan bangsa.Sebagai seorang pemimpin, Badawi juga produktif
sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah dihasilkannya antara
lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan Sjuabul-Imam (bahasa
Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail
(huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab ManasikHadji (bahasa Jawa),
Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasjiil Islam (bahasa
Arab), Qawaidul-Chams (bahasa Arab), Menghadapi Orla (Bahasa
Indonesia), dan Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M.
Jusuf Anis, tt:27).KHA. Badawi meninggal hari Jumat25 April 1969
pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.Usaha para
dokter tidak bisa menghadang takdir Allah yang telah ditentukan
atasnya. Di saat meninggal, KHA. Badawi masih menjabat sebagai
anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang di
Muhammadiyah beliau ditempatkan sebagai Penasehat PP.
Muhammadiyahperiode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah
ke-37 di Yogyakarta.9. KH Faqih UsmanKyai Haji Faqih Usman
dilahirkan di Gresik, Jawa Timur tanggal 2 Maret 1904. Ia berasal
dari keluarga santri sederhana dantaatberibadah. Faqih Usman
merupakan anak keempat dalam keluarga yanga gemar akan ilmu
pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu
pengetahuan umum dari ayahnya sendiri. Menginjak usia remaja ia
belajar di pondok pesantren di Gresik tahun 1914-1918.Kemudian,
antara tahun 1918-1924 dia menimba ilmu pengetahuan di pondok
pesantren di luar daerah Gresik. Dengan demikian, ia juga banyak
menguasai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren
tradisional, karena penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia juga
terbiasa membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab, terutama
dari Mesir yang berisi tentang pergerakan kemerdekaan.Apalagi, pada
penghujung abad 19 dan awal abad 20 itu di dunia Islam pada umumnya
sedang terjadi gerakan kebangkitan.
Faqih Usman dikenal memiliki etos enterpreneurship yang kuat.
Kegiatan bisnis yang dilakukannya cukup besar dengan mendirikan
beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat
bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia
juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah
Gresik.
Keterlibatannya dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925,
ketika ia diangkat sebagai Ketua Group Muhammadiyah Gresik, yang
dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah satu Cabang
Muhammadiyah di Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya, karena
kepiawaiannya sebagai ulama-cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua
Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang
berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas Mansur dikukuhkan sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia menggantikan kedudukan Mas
Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada tahun 1936. Pada
tahun 1953, untuk pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam
susunan kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya
selalu terpilih sebagai salah seorang staf Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Menjelang meninggalnya, beliau dikukuhkan sebagai
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah
ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun,
jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena ia
segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober
1968. Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul
Rozak Fachruddin yang masih sangat muda.
Faqih Usman banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang
sangat membantu pengembangan Muhammadiyah. Dia pernah memimpin
majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammadiyah Jawa Timur.
Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan pergaulannya,
sehingga iapun terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat,
seperti Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada tahun 1937.
Pada tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya.
Pada tahun 1945 dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
dan Ketua Komite Nasional Surabaya. Pada tahun 1959, dia
menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) bersama-sama dengan
Buya Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini
memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil
dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember
1945 dalam Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai
salah seorang Pengurus Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk
sebagai Ketua II sampai dengan tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi
dibubarkan.Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan
luka yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga
ketika rezim itu tumbang digantikan oleh rezim Orde Baru, maka
Faqih Usman bersama dengan Hasan Basri (mantan Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia) dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde
Baru. Nota politik ini kemudian dikenal dengan Nota K.H. Faqih
Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI Orde Baru mau
merehabilitasi Masyumi dari partai terlarang.Faqih Usman banyak
terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah
dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa
Kabinet Halim Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6
September 1950. Pada tahun 1951 ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan
Agama Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil saat
itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya
kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3
April l952 sampai 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman
sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik
politik antara Masyumi dan Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab
Hasbullah yang merupakan representasi kubu NU menuntut agar jabatan
Menteri Agama diberikan kepada unsur NU. Namun, setelah diadakan
pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang
terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di tanah air,
karena akhirnya justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama
(NU) dari Masyumi.Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih
tetap duduk sebagai anggota aktif Konstituate, di samping
jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada
Departeman Agama sejak tahun l954. Sebagai salah seorang tokoh
Masyumi, dia juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik
dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang meletusnya gerakan
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera
Utara. Bersama dengan Mohammad Roem, dia berusaha menjadi mediator
untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat saat
itu. Ia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat
dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin
Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan
yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut. Upaya ini
tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal.
Dalam keputusasaan tersebut, akhirnya Fakih Usman kembali ke
Muhammadiyah yang menjadi basis aktivitas kemasyarakatannya.Sebagai
salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada
kepengurusan KHA. Badawi yang pertama (1962-1965), KH Fakih Usman
merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian dikenal dengan
Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan pemikirannya ini diajukan dalam
Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, yang akhirnya
diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.
10. K.H. A.R. FachruddinPak AR demikian nama panggilan akrab
Kiai Haji Abdur Rozak Fachruddin, adalah pemegang rekor paling lama
memimpin Muhammadiyah, yaitu selama 22 tahun (1968-1990). Pak AR
lahir 14 Februari 1916 di Cilangkap, Purwanggan, Pakualaman,
Yogyakarta. Ayahnya, K.H. Fachruddin adalah seorang Lurah Naib atau
Penghulu di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek Sri Paduka
Paku Alam VIII, berasal dari Bleberan, Brosot, Galur, Kulonprogo.
Sementara ibunya adalah Maimunah binti K.H. Idris, Pakualaman.Pada
tahun 1923, untuk pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah formal
di Standaard School Muhammadiyah Bausasran, Yogyakarta. Setelah
ayahnya tidak menjadi Penghulu dan usahanya dagang batik juga
jatuh, maka ia pulang ke desanya di Bleberan, Galur, Kulonprogo.
Pada tahun 1925, ia pindah ke sekolah Standaard School (Sekolah
Dasar) Muhammadiyah Prenggan, Kotagede, Yogyakarta. Setamat dari
Standaard School Kotagede tahun 1928, ia masuk ke Madrasah
Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Baru belajar dua tahun di
Muallimin, ayahnya memanggilnya untuk pulang ke Bleberan,
danbelajar kepada beberapa kiai di sana, seperti ayahnya sendiri,
K.H. Abdullah Rosad, dan K.H. Abu Amar. Sehabis Mahgrib sampai
pukul 21.00, ia juga belajar di Madrasah Wustha Muhammadiyah
Wanapeti, Sewugalur, Kulonprogo.Setelah ayahnya meninggal di
Bleberan dalam usia 72 tahun (1930), pada tahun 1932 A.R.
Fachruddin masuk belajar di Madrasah Darul Ulum Muhammadiyah
Wanapeti, Sewugalur. Selanjutnya, pada tahun 1935 A.R. Fachruddin
melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Tablighschool (Madrasah
Muballighin) Muhammadiyah kelas Tiga.Pada tahun 1935, A.R.
Fachruddin dikirim (dibenum) oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah ke
Talangbalai (sekarang Ogan Komering Ilir) dengan tugas
mengembangkan gerakan dakwah Muhammadiyah. Di sana, ia mendirikan
Sekolah Wustha Muallimin Muhammadiyah, setingkat SMP. Pada tahun
1938, ia juga mengembangkan hal yang sama di Ulak Paceh, Sekayu,
Musi Ilir (sekarang Kabupaten Musi Banyu Asin). Pada tahun 1941, ia
pindah ke Sungai Batang, Sungai Gerong, Palembang sebagai pengajar
HIS (Hollandcse Inlanders School) Muhammadiyah, setingkat dengan
SD.Pada tanggal 14 Februari 1942, Jepang menyerbu pabrik minyak
Sungai Gerong. Dengan sendirinya sekolah tempat mengajarnya
ditutup. Kemudian A.R. Fachruddin dipindahkan ke Tebing Grinting,
Muara Meranjat, Palembang sampai tahun 1944. Selama bertugasitu Pak
AR mengajar di sekolah Muhammadiyah serta memimpin dan melatih HW,
memberi Pengajian dan sebagainyaKetika kembali Yogyakarta, ke
desanyaBleberan, Kulon Progo (tahun 1944), A.R. Fachruddin terus
aktif berdakwah dalam Muhammadiyah. Ketika pada tahun 1950 pindah
ke Kauman Yogyakarta, A.R. Fachruddin tetap aktif sambil terus
belajar kepada para assabiqunal awwalun Muhammadiyah, seperti K.H.
Syudjak, KHA. Badawi, KRH. Hadjid, K.H. Muchtar, Ki Bagus
Hadikusumo, K.H. Djohar, K.H. Muslim, K.H. Hanad, K.H. Bakir Saleh,
K.H Basyir Mahfudz, Ibu Hj. Badilah Zuber dan
sebagainya.Keterlibatan A.R. Fachruddin di pusat Muhammadiyah
mengantarkan beliau menjadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota
Yogyakarta, kemudian menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
DIY, selanjutnya menjadi anggota Dzawil Qurba Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, sampai akhirnya dipercaya memimpin Muhammadiyah
selama kira-kira 22 tahun (1968-1990).Pak AR menjadi Ketua Pimpinan
Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1968 setelah di-fait accomply untuk
menjadi Pejabat Ketua PP Muhammadiyah sehubungan dengan wafatnya
K.H. Faqih Usman. Dalam Sidang Tanwir di Ponorogo (Jawa Timur) pada
tahun 1969, akhirnya Pak AR dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Makassar pada
tahun 1971. Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam
empat kali Muktamar Muhammadiyah berikutnya untuk periode
1971-1974, 1974-1978, 1978-1985 dan terakhir 1985-1990.Dari riwayat
perjalanan dakwahnya, dapat ditarik kesimpulan, Pak AR meniti karir
di Muhammadiyah sejak dari bawah, yaitu menjadi anggota, menjadi
muballigh yang ditugaskan di pelosok Sumatera Selatan dan di
kampungnya sendiri, sampai pada pimpinan puncak yakni dipercaya
sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pak AR menjadi pemimpin
setelah melalui proses yang amat panjang.Melihat sosok Pak AR, akan
didapatkan sebuah cermin, bahwa seorang pemimpin perlu menghayati
bagaimana kehidupan ummat secara riil. Bagaimana derita dan nestapa
ummat ditingkatbawah, bagaimana pahit getir berdakwah dan
menggerakkan organisasi di tingkat Ranting yang jauh dari kota,
yang serba kekurangan prasarana dan sarana. Susah payah,
kesulitan-kesulitan, dan suka duka yang dialami seorang pemimpin
yang bekerja di tingkat Ranting dan Cabang dapat memberi pengalaman
yang berharga dan menjadikan seorang pemimpin menjadi arif dalam
mengambil kebijakan dalam memimpin umat.Pak AR adalah ulama besar
yang berwajah sejuk dan bersahaja. Kesejukannya sebagai pemimpin
ummat Islam bisa dirasakan oleh ummat beragama lain. Ketika
menyambut kunjungan pimpinan Vatikan, Paus Yohanes Paulus II di
Yogyakarta, sebenarnya Pak AR menyampaikan kritikan kepada umat
Katholik, tetapi kritik itu disampaikannya secara halus dan sejuk
berupa sebuah surat terbuka.Dalam surat itu, Pak AR mengungkapkan
bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah muslim. Namun, ada hal
yang terasa mengganjal bagi umat Islam Indonesia, bahwa umat
Katholik banyak menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi ummat
Islam yang masih menderita dan miskin agar mau masuk ke agama
Katolik. Mereka diberi uang, dicukupi kebutuhannya, dibangunkan
rumah-rumah sederhana, dipinjami uang untuk modal dagang, tetapi
dengan ajakan agar menjadi umat kristen. Umat Islam dibujuk dan
dirayu untuk pindah agama. Dalam tulisannya kepada Paus Yohanes
Paulus II itu, Pak AR menyatakan bahwa agama harus disebarluaskan
dengan cara-cara yang perwira dan sportif. Kritik ini diterima
dengan lapang dada oleh ummat lain karena disampaikan dengan lembut
dan sejuk dalam bahasa Jawa halus, serta dijiwai semangat toleransi
yang tinggi.Orang mengatakan bahwa Pak AR adalah penyejuk. Orang
selalu mengatakan bahwa kelebihan Pak AR adalah kesejukan dalam
menyampaikan dakwah. Gaya kepemimpinan Pak AR yang terasa adalah
kesejukan.Semasa hidupnya Pak AR memberi contoh hidup welas asih
dalam ber-Muhammadiyah. Sikap hidup beliau yang teduh, sejuk,
ramah, menyapa siapa saja, sering humor, dan bersahaja, adalah
pantulan dari mutiara terpendam dalam nuraninya. Pak AR adalah
penyebar rasa kasih sayang dalam kehidupan ber-Muhammadiyah, baik
dengan sesama Muslim, bahkan juga non Muslim dalam persaudaraan
kemanusiaan yang luhur. Beliau tidak pernah menyebarkan sikap dan
suasana saling membenci, curiga, iri hati, saling ingin menapikan,
apalagi suka menebar aib sesama dalam kehidupan
ber-Muhammadiyah.Selain dikenal sebagai seorang mubaligh yang
sejuk, ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Karya
tulisnya banyak dibukukan untuk dijadikan pedoman. Di antara
karya-karyanya ialah Naskah Kesyukuran; Naskah Enthengan, Serat
Kawruh Islam Kawedar; Upaya Mewujudkan Muhammadiyah sebagai Gerakan
Amal; Pemikiran dan Dakwah Islam; Syahadatain Kawedar; Tanya Jawab
Entheng-Enthengan; Muhammadiyah adalah Organisasi Dakwah Islamiyah;
Al-Islam Bagian Pertama; Menuju Muhammadiyah; Sekaten dan Tuntunan
Sholat Basa Jawi; Kembali kepada Al-Quran dan Hadis; Chutbah Nikah
dan Terjemahannya; Pilihlah Pimpinan Muhammadiyah yang Tepat;
Soal-Jawab Entheng-enthengan; Sarono Entheng-enthengan Pancasila;
Ruh Muhammadiyah; dan lain-lain.Ulama kharismatik ini tidak
bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, walaupun
masih banyak Muktamirin yang mengharapkannya. Ia berharap ada alih
generasi yang sehat dalam Muhammadiyah. Setalah tidak menjabat
sebagai Ketua PP Muhammadiyah, dan menjabat sebagai Penasehat PP
Muhammadiyah, Pak AR masih aktif melaksanakan kegiatan tabligh ke
berbagai tempat. Hingga akhirnya, penyakit vertigo memaksanya harus
beristirahat, sesekali di rumah sakit. Namun, dalam keadaan
demikian, sepertinya beliautidak mau berhenti. Pak AR wafat pada 17
Maret 1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta pada usia 79 tahun.
11. K.H. Ahmad Azhar BasyirTokoh kharismatik dan pejuang perang
sabil ini dikenal sebagai ulama yang sederhana, dan tak sedikit
pula orang yang kagum pada kecemerlangan iktelektualnya. Azhar
Basyir, demikian Kyai Haji Ahmad Azhar Basyir, MA kerap disapa.
Ulama-intelektual ini lahir di Yogyakarta, 21 November 1928. Masa
kecilnya tumbuh dan dibesarkan di lingkungan masyarakat yang kuat
berpegang pada nilai agama. Yaitu, di kampung Kauman.
Selama 34 tahun Azhar Basyir malang melintang menggeluti studi
formalnya di Tanah Air hingga luar negeri. Putra pasangan Haji
Muhammad Basyir dan Siti Djilalah ini memulai pendidikan di Sekolah
Rendah Muhammadiyah Suronatan, Yogyakarta. Setelah tamat, Azhar
Basyir lantas nyantri di Madrasah Salafiyah, Ponpes Salafiyah
Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Setahun kemudian, Azhar Basyir
berpindah ke Madrasah Al-Fallah Kauman dan menyelesaikan pendidikan
tingkat menengah pertamanya pada Tahun 1944. Pendidikan lanjutan
kemudian ditempuhnya di Madrasah Mubalighin III (Tabligh School)
Muhammadiyah Yogyakarta dan rampung dalam dua tahun.
Pada masa revolusi, Azhar Basyir bergabung dengan kesatuan TNI
Hizbullah, Batalion 36 Yogyakarta. Pasca kemerdekaan, Azhar Basyir
kembali ke bangku study melalui Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta
tahun 1949, dan tamat tahun 1952. Baru kemudian meneruskan ke
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta. Berkat kegigihan
yang ditunjang kemampuan ilmu agamanya, Azhar Basyir dipercaya
menjadi ketua Pemuda Muhammadiyah tatkala lembaga ini baru
didirikan tahun 1954. Jabatannya mendapat pengukuhan kembali pada
Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Palembang tahun 1956. Tak lama
tugas itu diembannya, Azhar Basyir mendapat beasiswa untuk belajar
di Universitas Baghdad, Irak. Fakultas Adab Jurusan Sastra adalah
bidang yang diambilnya. Dari sini, Azhar Basyir melanjutkan studi
ke Fakultas Dar Al 'Ulum Universitas Kairo, serta belajar Islamic
Studies sampai meraih gelar master dengan tesis: Nizam al-Miras fi
Indunisia, Bain al-'Urf wa asy-Syari'ah al-Islamiyah (Sistem
Warisan di Indonesia, antara Hukum Adat dan Hukum Islam).
Sekembalinya ke Indonesia selama study di Timur Tengah, Azhar
Basyir diangkat sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak
hanya bidang keilmuan yang ditekuninya, di lapangan organisasi
Azhar Basyir pun aktif terlibat. Bahkan sejak duduk di sekolah
menengah sudah bergiat di Majelis Tabligh Muhammadiyah. Karir
berorganisasinya dimulai sebagai Juru Tulis yang tugasnya mengetik
dan mengantar surat. Barulah kemudian Azhar Basyir masuk dalam
jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yaitu di Majelis Tarjih sampai
tahun 1985.
Pada Muktamar Muhammadiyah di Semarang tahun 1990, ulama
intelektual ini diberi amanah di jajaran Ketua PP Muhammadiyah.
Saat memasuki musim haji tahun 1994, pemerintah menunjuknya selaku
perwakilan Amirul Haj Indonesia. Pulang dari Tanah Suci, Azhar
Basyir kembali bekerja keras. Dan pada saat yang sama, duduk di
beberapa organisasi seperti menjadi salah satu ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat masa bakti 1990-1995, anggota Dewan Pengawas
Syariah Bank Muamalat Indonesia, serta anggota MPR-RI periode
1993-1998. Pada usia 65 tahun, tokoh kharismatik ini mulai memasuki
masa pensiun dari kegiatan mengajar di Fakultas Filsafat UGM.
Tetapi, tetap bertekad mengabdikan ilmunya dengan mengajar di
Fakultas Hukum UGM, IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1995, Azhar
Basyir terpilih sebagai Ketua Muhammadiyah menggantikan KH AR
Fakhruddin. Berkenaan dengan dimensi tasawuf dalam Muhammadiyah,
Azhar Basyir menyatakan bahwa Muhammadiyah juga menganut tasawuf,
seperti yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasauf Modern.
Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi
dunia tanpa meninggalkan dzikir. Demikianlah ketegasan tokoh ini
dalam menetapkan garis kebijakan Muhammadiyah. Melalui gagasan dan
pemikirannya itulah Azhar Basyir dikenal sebagai ulama yang banyak
menguasai ilmu agama, kehadirannya dalam khazanah pemikiran Islam
seumpama sumur yang tak surut ditimba. Dapatlah dikata, Azhar
Basyir merupakan sosok perpaduan ulama dan intelektual. Oleh
karenanya, Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya cukup intens
memunculkan kegiatan yang berbentuk pengajian dan kajian dalam
mengurai berbagai persoalan keummatan dan pemikiran keislaman.
Karya ilmiah yang pernah ditulis Azhar Basyir cukup banyak
dijadikan rujukan dalam kajian ilmiah di berbagai Universitas di
Tanah Air. Di waktu senggangnya, Azhar Basyir juga bergiat menulis
buku. Di antara karya-karyanya adalah Refleksi Atas Persoalan
Keislaman (seputarfilsafat, hukum, politik dan ekonomi);
Garis-garis Besar Ekonomi Islam; Hukum Waris Islam; Sex Education;
Citra Manusia Muslim; Syarah Hadits; Missi Muhammadiyah; Falsafah
Ibadah dalam Islam; Hukum Perkawinan Islam; Negara dan Pemerintahan
dalam Islam; Mazhab Mutazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat
Islam); Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila; Agama Islam
I dan II, dan lain-lain. Selain itu, Magister dalam ilmu Dirasat
Islamiyah ini diakui secara internasional sebagai ahli fiqih yang
disegani. Itulah mengapa, sosoknya dengan mudah diterima duduk di
Lembaga Fiqih Islam: Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang
memiliki persyaratan ketat.
Tepatnya pada awal Juni 1994, ulama ini masuk rumah sakit karena
komplikasi penyakit gula, radang usus, dan jantung. Kondisinya kian
memburuk. Hingga akhirnya, wafad di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Sarjito setelah dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Azhar
Basyir wafad tepat pada tanggal 28 Juni 1994 dalam usia 66 tahun
dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karangkajen Yogyakarta.
12. Prof. Dr. H. Amien RaisMeskipun tak semua nama otomatis
mewakili kepribadian seseorang, namun membaca nama Tokoh Sentral
Reformasi Indonesia 1998 satu ini sudah cukup sebagai referensi
awal untuk melihat sosoknya yang besar. Prof. Dr. Muhammad. Amien
Rais, MA. yang lebih populer dikenal Amien Rais adalah sosok
pemimpin terpercaya di republik ini. Lahir pada 26 April 1944 di
Surakarta. Orang tuanya berharap putra kedua dari enam bersaudara
ini menjadi kyai dan melanjutkan pendidikan agama ke Mesir,
sehingga pendidikan yang ditanamkan Syuhud Rais dan Sudalmiyah,
ayah dan ibunya, sejak dini sudah mencerminkan nilai-nilai agama
yang sangat menekankan tumbuhnya kepribadian disiplin, taat
beribadah, banyak membaca dan berbudi pekerti. Dari lingkungan
sekitarnya, Amien Rais juga banyak belajar tentang realitas
masyarakat dimana dirinya sangat dekat dengan kondisi keluarga
miskin, kampung sederhana, dan bahkan memahami betul bentuk ruang
tidur dan dapurnya yang alakadarnya.
Amien Rais menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar
Muhammadiyah I Surakarta, sampai pendidikan SMP dan SMU juga
selesai di sekolah Muhammadiyah. Pendidikan tingkat sarjana Amien
Rais selesaikan di Jurusan Hubungan Internasional fakultas FISIPOL
Universitas Gadjah Mada pada tahun 1968, bahkan tahun berikutnya
juga menerima gelar Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Di masa-masa mahasiswa inilah Amien Rais
terlibat aktif dan berperan di berbagai organisasi kemahasiswaan,
seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Ketua Dewan Pimpinan Pusat
IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa
Islam HMI Yogyakarta). Studinya dilanjutkan pada tingkat Master
bidang Ilmu Politik di University of Notre Dame, Indiana, dan
selesai tahun 1974. Dari universitas yang sama juga memperoleh
Certificate on East-European Studies. Sedangkan gelar Doktoralnya
diperoleh dari University of Chicago, Amerika Serikat (1981) dengan
mengambil spesialisasi di bidang politik Timur Tengah dan selesai
tahun 1984. Disertasinya yang cukup terkenal, berjudul: The Moslem
Brotherhood in Egypt: its Rise, Demise, and resurgence (Organisasi
Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan dan
Kebangkitannya kembali). Program Post-Doctoral Program di George
Washington University pada tahun 1986 dan di UCLA pada tahun 1988
pernah pula diikutinya.
Saat mengenang Zainal Zakze Award yang di raihnya tahun1967,
sebuah penghargaan jurnalisme bagi penulis mahasiswa krits, Amien
Rais hanya berkomentar pendek Sejak itu, saya tidak pernah tidak
kritis.Sebagai ilmuwan dan akademisi sekaligus Guru Besar Ilmu
Politik di Universitas Gadjah Mada, Amien Rais mengajar mata kuliah
Teori Politik Internasional, Sejarah dan Diplomasi di Timur Tengah,
Teori-teori Sosialisme, hingga memegang mata kuliah Teori Revolusi
dan Teori Politik di Program Pascasarjana Ilmu Politik. Selain itu,
Amien Rais mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan
(PPSK), lembaga yang konsen dalam kegiatan pengkajian dan
penelitian sebagai bentuk keprihatinan atas terbatasnya produk
kebijakan menyangkut masalah-masalah strategis yang berorientasi
pada penguatan pilar-pilar kehidupan masyarakat. Perjalanan
pendidikan Amien Rais memberinya tak sedikit pengalaman dan
kemampuan kognitif-analitis, dimana kemampuan itu mengantarnya
menjadi salah seorang intelektual terkemuka di negeri sendiri dan
di berbagai negeri mancanegara. Sepanjang rentang aktivitas
sekembalinya ke Tanah Air setelah sekian lama malang-melintang
menimba ilmu di negeri Paman Sam, tugas-tugas intelektualisme yang
kemudian Amien Rais geluti baik berupa transformasi keilmuan dengan
mengajar di berbagai universitas maupun dengan melakukan kritik
atas fenomena sosial yang sedang berlangsung-- meneguhkan sosoknya
yang memiliki daya kepemimpinan di atas rata-rata dan dapat
dipercaya. Kritiknya yang sangat vokal bahkan mewarnai opini publik
di Indonesia. Dan sebagai pakar politik Timur Tengah, Amien Rais
juga seringkali melontarkan kritik yang sangat tajam terhadap
kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah negeri tempatnya
sendiri belajar tentang demokrasi dan hak asasi manusia.
Konsistensi Amien Rais dalam menolak sikap lembek bangsanya
terhadap intervensi asing dan budaya koorporatokrasi yang menjagal
hak-hak dasar hajat hidup bangsa Indonesia sendiri terekam jelas
dalam buah pikirnya pada buku: Selamatkan Indoenesia; Agenda
Mendesak Bangsa. Dalam komentarnya tentang buku itu, Amin Rais tak
segan-segan mengakuinya sebagai Angry Book (buku yang marah). Saya
mencoba menggugah anak anak-anak bangsa yang sudah dibrainwashing
sejak jaman londo dahulu, dan sekarang masih melekat sebagai mental
inlander. Tanpa melepaskan mental inlander (mental budak), kita
tidak bisa bangkit. Sayangnya, pemimpin kita tidak mengikuti Sultan
Agung Mataram tapi malah mengikuti Amangkurat I dan II yang menjual
Pelabuhan Cirebon (pada bangsa asing) dan memanggil eyang pada
Gubernur Jendral Belanda. Tukasnya tanpa tedeng aling-aling dalan
sebuah kesempatan diskusi Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP
Muhammadiyah (2008).
Jauh masa sebelum Amien Rais melontarkan hal itu, perannnya
sebagai cerdik cendekia terkemuka telah menempatkannya di posisi
Ketua Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang
lahir dan besar dari rahim Orde Baru. Namun, kondisi politik dan
perekonomian yang sudah terlanjur membusuk dan sangat tidak sehat
bagi demokratisasi mendorongnya mengambil langkah berani yang tidak
populer dan bersuara lantang tentang silang sengkarut praktik KKN
(korupsi, kolusi, Nepotisme) di tubuh birokarasi serta eksploitasi
serakah kekayaan negeri yang sangat merugikan negara di sejumlah
perusahaan besar asing seperti Busang dan Freeport . Seperti resiko
yang diduga banyak orang, Amien Rais kemudian terpental dari
posisinya di ICMI.
Namun kehadirannya di Muhammadiyah dan lompatan-lompatan
gagasannya justru dianggap sejalan dengan watak gerakan pembaharuan
yang kritis dan korektif, hal itu kemudian menuai dukungan penuh.
Maka tahun 1993, dihadapan peserta Tanwir Muhammadiyah yang
berlangsung di Surabaya Amien Rais kembali menggulirkan issu besar,
yakni perlunya suksesi kepresidenan. Sebuah langkah janggal pada
saat itu sebab gurita kepemimpinan Orde Baru masih sangat
mencengkeram. Keberaniannya mengambil resiko yang tak jarang bahkan
mengancam jiwanya, diakui suami Kusnariyati Sri Rahayu ini sebagai
sikap amal maruf nahi mungkar yang sesungguhnya amanat dan
sekaligus ruh gerakan dakwah Muhammadiyah.
13. Prof. Dr. H. Ahmad Syafi'i Ma'arifBuya Safii, demikian
sapaan akrab Prof. DR. Ahmad Safii Maarif. Tokoh pluralis yang tak
sedikit menyumbangkan gagasan dan pemikiran keislaman dalam naungan
payung besar kemajemukan bangsa Indonesia ini lahir di Sumpur
Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Masa kecil Buya Syafii yang
sangat dekat dengan tradisi Islam telah menjadi magnet awal yang
senantiasa mengajaknya bergumul dengan pengetahuan keislaman serta
berusaha memahaminya sedalam mungkin. Geliat hidup demikian itu,
dapat dikata pula berkat bimbingan dari almarhumah ibunya,
Makrifah. Ketajaman minat Buya Safii mendalami Islam kian terasah
dan makin tajam oleh pendidikan yang dijalaninya kemudian, dan pada
akhirnya membentuk dirinya hidup secara kental dalam kultur
Islam.Setamat Sekolah Rakyat Ibtidaiyah di kampung kelahirannya,
Buya Safii menginjakkan kaki di lantai sekolah Madrasah Muallimin
Lintau, Sumatera Barat. Sampai kemudian menyebrangkan kakinya jauh
melintasi lautan untuk melanjutkan sekolah ke Madrasah Muallimin
Muhammadiyah di Yogyakarta, dan tamat tahun 1956. Berbekal ilmu
agama di Muallimin itu, Buya Safii pun menerima dengan lapang dada
tugas pengabdian yang harus diembannya ke Lombok Timur selama satu
tahun sebagai guru di sekolah Muhammadiyah.Setelah menjalani masa
pengabdian itu, Buya Safii melanjutkan studinya kembali ke
perguruan tinggi, meskipun ikhtiar menempuh pendidikan tinggi
baginya bukanlah hal yang mudah. Namun tekad dan semangatnya
menimba ilmu telah membuatnya mampu menerabas segala rintangan.
Bayangkan, dalam keadaan yatim piatu Buya Safii masih sanggup
merentang jerih usahanya dengan hanya ditopang saudaranya untuk
bisa duduk sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Cokroaminoto Surakarta. Saya terdampar di pantai karena belas
kasihan ombak, kenangnya mengilustrasikan perjalanan hidupnya dalam
sebuah wawancara dengan Majalah Kuntum. Baru satu tahun kuliah,
pemberontakan PRRI/Permesta meletus dan menyebabkan terputusnya
jalur hubungan Sumatera-Jawa. Dengan demikian, bantuan biaya kuliah
dari saudaranya terputus, sehingga Buya Safii memutuskan untuk
tidak melanjutkan kuliah. Masa itu cukup getir, dimana Buya Safii
harus menyambung hidup sebagai guru desa di wilayah Kecamatan
Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.Tak salah banyak orang
memuji semangat keilmuannya, motivasi belajar Buya Safii tak
berhenti hanya oleh getah getir kesulitan hidup yang membelintang
di hadapannya. Sembari bekerja, suami siti hi hi... dan ayah dari
ketiga putra-putrinya: la, lu, li, (maaf belum menemukan siapa nama
istri dan anak-anaknya) Buya Safii kembali melanjutkan kuliah di
Jurusan Sejarah, karena tidak mungkin lagi kembali ke Fakultas
Hukum. Gelar Sarjana Muda berhasil diraihnya dari Universitas
Cokroaminoto pada tahun 1964, sedangkan gelar Sarjananya diperoleh
dari IKIP Yogyakarta empat tahun kemudian. Kepakarannya di bidang
sejarah semakin teruji setelah memperoleh gelar Master dari Ohio
State Universitas, Amerika Serikat.Pilihan yang tak sengaja itu
ternyata telah menuntun saya menemukan hikmah kemanusiaan,
komentarnya ringan dalam sebuah wawancara dengan KOMPAS.Gelar
Doktoralnya diperoleh pada tahun 1993 dari Universitas Chicago
dalam Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat dengan
disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic
Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in
Indonesia. Anak bungsu di antara empat bersaudara ini, terlibat
secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran dengan
bimbingan seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazrul Rahman.
Di sana pula, Buya Safii kerap terlibat diskusi intensif dengan
Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang menjalani pendidikan
doktor.Buya Safii mengakui bahwa ilmu dan pengetahuan sejarah telah
demikian memikat minatnya karena sejarah berbicara tentang
simpul-simpul kemanusiaan secara totalitas. Tak heran jika dalam
sebuah ungkapannya terlukis kesan itu: Sudah 25 tahun terakhir,
perhatian terhadap sejarah, filsafat dan agama melebihi perhatian
saya terhadap cabang ilmu yang lain. Namun saya sadar sepenuhnya,
bahwa semakin saya memasuki ketiga wilayah itu semakin tidak ada
tepinya. Tidak jarang saya merasa sebagai orang asing di kawasan
itu, kawasan yang seakan-akan tanpa batas. Dari proses itu pula,
rasa humanisnya tumbuh dan memperdalam perhatiannya pada
masalah-masalah kemanusiaan. Kehidupan relegius yang kuat berurat
akar dalam sanubarinya kemudian memercik indah dalam tafsir dan
ajakan membumikan islam dalam kembangan Hablumminnas yang sejati:
saling mencintai dan mengasihi sesama manusia di muka bumi. Dan
menyerukan agar Islam tak dipeluk dalam keyakinan sebatas ritual,
namun juga harus mampu mengembangkan praktik dan perilaku hidup
keislaman dengan memeluk utuh Islam sesuai seruan hakikinya:
rahmatan lilalamin.Terasalah kekecilan diri ini berhadapan dengan
luas dan dalamnya lautan jelajah yang hendak dilayari. Kalimat
bersahaja itu terlontar pada mukaddimah pidato Pengukuhan Guru
Besar-nya di IKIP Yogyakarta. Rendah hati adalah refleksi dari
iman, sambungnya.Maka tak berelebihan, jika begitu banyak orang
yang terpukau dan takzin pada sosok Buya Safii sebagai ilmuwan yang
selalu menempatkan kekuatan religi dalam setiap pergulatan dengan
ilmunya. Ia sejarawan dan ahli filsafat, tetapi di tengah
masyarakat lehadirannya selaku anak bangsa lebih dikenal sebagai
seorang agamawan. Tidaklah kamu diberi ilmu, kecuali sedikit saja,
pungkasnya mengutip sebuah ayat suci Al-Quran. Ini adalah nasehat
untuk meredam ambisi dan rasa ingin tahu manusia untuk tidak
melangkahi kawasan luar batas kemampuannya sendiri. Dalam
pengertian itulah, maka timbul semakin kuat keyakinanya bahwa dalam
setiap ilmu pengetahuan ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. Kita
harus percaya pada realitas yang ada di luar jangkauan manusia,
demikian tekannya. Alam semesta dan seluruh muatannya tidak bisa
menjelaskan dirinya, diam seribu bahasa mengenai asal-usul kejadian
dan keberadaannya. Hanya wahyu yang kemudian menolong otak manusia
dan persepsinya guna memahami semua fenomena itu. Hanya lewat
agama, manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan
eksistensi manusia dan tentang makna kematian. Filsafat, apalagi
sejarah, tidak mampu melakukannya.Membaca buku adalah kesibukan
harian yang dilakukan Buya Safii, selain menjalankan aktivitasnya
sebagai Ketua PP Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung dan
staf pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak heran kalau Buya Safii juga
fasih menyitir ungkapan yang berharga dari kalangan ilmuwan, dan
juga kaya dengan ungkapan-ungkapan puitis yang bermakna cukup
mendalam.Bahkan keterlibatan Buya Safii sebagai Ketua Umum
Muhammadiyah merupakan sebuah keharusan sejarah itu sendiri.
Tatkala desakan reformasi sedang bergulir di Indonesia, dan Amien
Rais sebagai salah satu lokomotif pendesak yang saat itu menakhodai
Muhammadiyah harus melibatkan diri dalam aktivitas politik untuk
mengawal gerak roda reformasi secara praktis, maka sebagai nakhoda
pengganti Buya Safii sadar bahwa pada saat itu pula Muhammadiyah
seumpama bahtera induk yang harus tetap diarahkan ke haluan
utamanya agar tak terseret-seret oleh tarikan arus pergumulan
politik praktis dan kepentingan jangka pendek. Janganlah kita
berlama-lama berada dalam iklim ketidakpastian masa depan, sebab
itu berarti kita membiarkan bangsa ini berkubang dalam proses
pembusukan sejarah. Sungguh memalukan dan melelahkan!Setelah
kembali terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dalam Muktamar
ke-44 (2000) yang berlangsung di Jakarta, Buya Safii kemudian
mengemudikan perannya dalam mendinamisasi Muhammadiyah agar dapat
secara optimal menggerakkan usaha-usaha tajdid dan cita-cita
pencerahan yang hendak diraihnya. Jangan sampai gerakan pembaharuan
sebagai dasar filosofis Muhammadiyah tergerus dan hanya menjadi
slogan kosong dalam aktualisasi gerakannya. Salah satu usahanya
adalah mendorong laju kebangkitan intelektual di kalangan Angkatan
Muda Muhammadiyah, sebab sangat menyadari bahwa keilmuan dan
keislaman adalah semangat inti segala gerak Muhammadiyah. Dimana
kepemilikan ilmu dan daya intelektualitas adalah pintu gerbang
kemampuan memahami dan mengamalkan Islam secara kaffah, dan AMM
sebagai pelaku sejarah gerakan Muhammadiyah masa depan menjadi juru
kunci cerah dan buramnya wajah Muhammadiyah dalam pergulatan
dunia.Dalam sebuah catatan pendeknya, Buya Safii mempertegas suara
hidupnya sebagai bapak bangsa: Aku mencintai bangsa ini secara
tulus dan dalam sekali. Bagiku, membela bangsa adalah dalam rangka
membela Islam.Usaha dan perjuangan Buya Safii tak berhenti tatkala
meletakkan kepemimpinan Muhyammadiyah pada gernerasi di bawahnya.
Buya kemudian mendirikan Maarif Institud sebagai wahana melanjutkan
ikhtiar dalam rangka mengawal dan menggapai kebangkitan intelektual
di kalangan generasi muida Islam. Kini, di bawah layar Maarif
Institud, Buya Safii pun kian menancapkokohkan jejaknya sebagai
tokoh pluralis yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemajukan
dakam bingkai keislamam, keindonesiaan dan kemanusiaan.
14. Prof. Dr. KH. Din Syamsuddin, M.A.Prof. Dr. K.H. Muhammad
Sirajuddin Syamsuddin, atau dikenal dengan Din Syamsuddin (lahir di
Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 31 Agustus 1958; umur 55 tahun),
adalah seorang politisi yang saat ini menjadi Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010. Istrinya bernama Fira
Beranata, dan memiliki 3 orang anak.Ia menempuh pendidikan sarjana
di IAIN Jakarta, dan kemudian melanjutkan pascasarjana dan
doktornya di University of California, Los Angeles (UCLA) di
Amerika Serikat.
Din pernah berkarier di birokrasi menduduki jabatan sebagai
Direktur Jenderal Binapenta Departemen Tenaga Kerja Republik
Indonesia. Sedangkan dalam kegiatan organisasi, Din pernah menjabat
sebagai Ketua DPP Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1985),
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (1989-1993), Wakil Ketua PP
Muhammadiyah (2000-2005), Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI), dan Ketua Litbang Golongan Karya.
Sebagai ketua PP Muhammadiyah, ia seringkali diundang untuk
menghadiri berbagai macam konferensi tingkat internasional
berkenaan dengan masalah hubungan antara umat beragama dan
perdamaian. Baru-baru ini, misalnya, ia diundang ke Vatican untuk
memberikan ceramah umum tentang terorisme dalam konteks politik dan
idiologi. Ia memandang bahwa terorisme lebih relevan bila dikaitkan
dengan isu politik dibandingkan dengan isu idiologi. Sejalan dengan
itu, ia juga tidak senang bila sebagian kelompok umat Islam
menggunakan label Islam dalam melakukan aksi-aksi terorisme mereka.
Menurutnya, aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam justru
sangat merugikan umat Islam baik pada tingkat internal umat Islam
maupun pada skala global.
Din Syamsuddin dipandang sebagai sosok pemimpin umat Islam bukan
hanya karena dia Ketua Umum Muhammadiyah, tetapi lebih dari itu
karena kemampuannya untuk melakukan dialog dengan seluruh elemen
umat beragama baik antar sesama umat Islam, maupun dengan umat
beragama lainnya.
Din Syamsuddin merupakan salah-satu penumpang dalam Garuda
Indonesia Penerbangan 200, ia mengalami luka ringan dalam
penerbangan yang menewaskan 21 orang tersebut.
Tokoh Aisyiyah
Nyai Ahmad Dahlan Nyai Ahmad Dahlan
Nyai Ahmad Dahlan
LahirSiti Walidah1872Kauman, Yogyakarta, Hindia Belanda
Meninggal31 Mei 1946 (berusia7374)Kauman, Yogyakarta,
Indonesia
Tempat peristirahatanMasjid Gedhe Kauman, Yogyakarta
KebangsaanIndonesia
PekerjaanPekerja sosial
Tahun aktif19141946
AgamaIslam
PenghargaanPahlawan Nasional Indonesia
Siti Walidah (1872 31 Mei 1946), lebih dikenal sebagai Nyai
Ahmad Dahlan, adalah tokoh emansipasi perempuan, istri dari pendiri
Muhammadiyah, Ahmad Dahlan dan juga seorang Pahlawan Nasional
Indonesia.BiografiKehidupan awalNyai Ahmad Dahlan lahir dengan nama
Siti Walidah di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1872. Ia adalah
putri dari Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota
Kesultanan Yogyakarta; daerah bertempatnya tokoh agama banyak dari
keraton. Dia bersekolah di rumah, diajarkan berbagai aspek tentang
Islam, termasuk bahasa Arab dan Qur'an, ia membaca Al Qur'an dalam
naskah Jawi.
Nyai Ahmad Dahlan menikah dengan sepupunya, Ahmad Dahlan. Saat
Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah saat
itu, Nyai mengikuti suaminya dalam perjalanannya. Namun, karena
beberapa dari pandangan Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap
radikal, pasangan ini kerap kali menerima ancaman. Misalnya,
sebelum perjalanan yang dijadwalkan ke Banyuwangi, Jawa Timur
mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum konservatif di
sana.
Sopo Tresno dan AisyiyahPada tahun 1914 ia mendirikan Sopo
Tresno, dia dan suaminya bergantian memimpin kelompok tersebut
dalam membaca Al Qur'an dan mendiskusikan maknanya. Segera ia mulai
berfokus pada ayat-ayat Al Qur'an yang membahas isu-isu perempuan.
Dengan mengajarkan membaca dan menulis melalui Sopo Tresno,
pasangan ini memperlambat Kristenisasi di Jawa melalui sekolah yang
disponsori oleh pemerintah kolonial.
Bersama suami dan beberapa pemimpin Muhammadiyah lainnya, Nyai
Ahmad Dahlan membahas peresmian Sopo Tresno sebagai kelompok
perempuan. Menolak proposal pertama, Fatimah, mereka memutuskan
mengganti nama menjadi Aisyiyah, berasal dari nama isteri Nabi
Muhammad, yakni Aisyah. Kelompok baru ini, diresmikan pada tanggal
22 April 1917, dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai kepala. Lima tahun
kemudian organisasi menjadi bagian dari Muhammadiyah.
Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah
putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam
bagi perempuan, Dia juga berkhotbah menentang kawin paksa. Dia juga
mengunjungi cabang-cabang di seluruh Jawa. Berbeda dengan tradisi
masyarakat Jawa yang patriarki, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra suami mereka. Sekolah
Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Ahmad Dahlan yakni
Catur Pusat: pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan
di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah.
Kepemimpinan dan kehidupan selanjutnyaSetelah Ahmad Dahlan
meninggal dunia pada tahun 1923, Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di
Muhammadiyah dan Aisyiyah. Pada tahun 1926, ia memimpin Kongres
Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Ia adalah wanita pertama yang
memimpin konferensi seperti itu. Sebagai hasil dari liputan luas
media di koran-koran seperti Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po,
banyak perempuan terpengaruh untuk bergabung ke dalam Aisyiyah,
sementara cabang-cabang lainnya dibuka di pulau-pulau lain di
Nusantara. Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah sampai 1934.
Selama masa pendudukan Jepang, Aisyiyah dilarang oleh Militer
Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943, ia kemudian
bekerja di sekolah-sekolah dan berjuang untuk menjaga siswa dari
paksaaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.
Selama masa Revolusi Nasional Indonesia, ia memasak sup dari
rumahnya bagi para tentara dan mempromosikan dinas militer di
antara mantan murid-muridnya. Dia juga berpartisipasi dalam diskusi
tentang perang bersama Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno.
Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada pukul 01:00 siang pada tanggal
31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman,
Yogyakarta empat jam kemudian. Sekretaris Negara, Abdoel Gaffar
Pringgodigdo dan Menteri Agama, Rasjidi mewakili pemerintah pada
saat pemakamannya.
WarisanPada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dinyatakan
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Suharto sesuai
dengan Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971;Kartini HYPERLINK
"file:///C:\\Users\\QISCHIL%20007\\Pictures\\Nyai%20Ahmad%20Dahlan%20-%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.htm"
\l "cite_note-FOOTNOTEWahyudi200261-13"
Ahmad Dahlan telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional sepuluh
tahun sebelumnya. Penghargaan tersebut diterima oleh cucunya, M
Wardan. Dia telah dibandingkan dengan pembela hak perempuan, dan
gerilyawan, Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia.
Dalam film Sang Pencerah yang disutradarai oleh Hanung
Bramantyo, Nyai Ahmad Dahlan diperankan oleh Zaskia Adya Mecca
sementara Ahmad Dahlan diperankan oleh Lukman Sardi.
Kehidupan pribadiNyai Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak
dengan Ahmad Dahlan.