14
BAB 1PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangDiabetes mellitus kini benar-benar telah
menapaki era kesejagatan, dan menjadi kesehatan dunia. Insidens dan
pravalensi penyakit ini tidak pernah berhenti mengalir, terutama di
negara sedang berkembang dan negra yang terlanjur memasuki budaya
industrialisasi. Jumlah diabetasi didunia yang tercatat pada tahun
1990 baru mencapai angka 80 juta (Zimmet, 1991), yang secara
mencengangkan melompat ke angka 110,4 juta empat tahun kemudian
(Zimmet, 1994). Menjelang tahun 2010, angka ini diperkirakan
mennggelembung hingga 239,3 juta, dan di duga akan terus melambung
hingga menyentuh angka 300 juta pada tahun 2025.Indonesia merupakan
salah satu dari 10 besar negara dengan jumlah diabetasi terbanyak.
Pada tahun 1995, negara yang tergolong tengah berkembang ini baru
menempati peringkat ke-7, dengan jumlah pengidap diadetes sebanyak
4,5 juta jiwa. Peringkat ini diprediksi akan naik dua tingkat
(menjadi peringkat ke-5) pada tahun 2025, dengan prakiraan jumlah
pengidap sebanyak 12,4 juta jiwa (International Diabetes Monitor,
April 1999). Pravalensi DM di Jakarta pada tahun 1982 hanya
menunjukkan angka 1,7%,/;selanjutnya, presentase ini terus
berloncatan ke angka 5,7% dan 13,6%, berturut-turut pada tahun 1992
dan 2001(Farmacia, Mei 2003).Penyakit ini terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu DM tipe 1 dam DM tipe 2 (WHO Study Group on
Diabetes Mellitus,1995), DM tipe 2 menempati lebih dari 90% kasus
di negara maju (Harris dan Zammet, 1992). Di negara sedang
berkembang, hampir seluruh diabetesi tergolong sebagai penyandang
DM tipe 2-40% diantaranya terbukti berasal dari kelompok masyarakat
yang terlanjur mengubah gaya hidup tradisional menjadi modern
(Zimmer et al,1990; king et al, 1993). Gaya hidup modern yang dapat
dilihat pada sebagian keluarga di perkotaan, saat dengan alat bantu
elektronik sehingga meminimalkan gerak fisik. Berkurangnya kerja
otot lurik,yang dibarengi semakin meningkatnya asupan pangan padat
kalori dan kaya akan lemak, menyebabkan obesitas pada gilirannya
akan menjelma menjadi DM tipe 2 (Park et al, 1991).Diabetes melitus
(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakterisktik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO)
sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak
dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi
secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomi
dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi
insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Diabetes Melitus2. 1.1 DefenisiMenurut American Diabetes
Associaton (ADA) 2012, Diabetes Mellitus (DM) adalah merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf,
jantung dan pembuluh darah. Sedangkan menurut WHO (1999) , Diabetes
Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengantingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh
sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
2.1.2. FISIOLOGI METABOLISME GLUKOSAMetabolisme glukosa adalah
salah satu fungsi penting hepar,pankreas dan sebagian jaringan
perifer.Hepar memegang peranan penting pada regulasi glukosa,
mengambil glukosa dan menyimpannya dalam bentuk glikogen serta
melakukan glukoneogenesis dan glikogenolisis. Pankreas mensekresi
hormon regulator: insulin dari kumpulan sel beta menurunkan
konsentrasi gula darah, sebaliknya glukagon dari kumpulan sel alfa
meningkatkan konsentrasi gula darah. Kontributor lainnya adalah
hormon katabolik: epinefrin, glukokortikoid dan growth hormon,
semuanya meningkatkan gula darah.Regulasi glukosa bertujuan
mempertahankan fungsi glukosa pada jaringan. Sebagai contoh: pada
saat puasa sekrersi insulin menurun dan level hormon katabolik
meningkat. Pada kasus defisiensi insulin absolut(DM tipe 1)
aktifitas katabolik menyebabkan hiperglikemia dan dapat terjadi
diabetes ketoasidosis. Tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin di
perifer dan secara keseluruhan jarang dihubungkan dengan
ketoasidosis.
2.1.3. Epidemiologi Menurut penelitian epidemiologi yang sampai
tahun delapan puluhan telah dilaksanakan di berbagai kota di
Indonesia, pravalensi diabetes berkisar antara 1,5% s.d 2,3%,
kecuali di Manado yang agak tinggi sebesar 6%. Hasil penelitian
epidemiologi berikutnya tahun 1993 di Jakarta (daerah urban)
membuktikan adanya peningkatan pravalensi DM dari 1,7% pada tahun
2001 di Depok, daerah sub- urban di selatan Jakarta menjadi 12,8%.
Demikian pula pravalensi DM di Ujung Pandang (daerah urban),
meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun 1998
dan terakhir pada tahun 2005 menjadi 12,5%.Di daerah rural yang
dilakukan oleh Arifindi suatu kota kecil di Jawa Barat angka itu
hanya 1,1%. Di suatu daerah terpencil di Tanah Toraja didapatkan
pravalensi DM hanya 0,8%. Di sini jelas ada perbedaan antara urban
dengan rural, menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian
diabetes. Di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% di
daerah urban dan 1,47% do daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan
tingginya pravalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM)
yang sekarang dikategorikan sebagai diabetes tipe pancreas di Jawa
Timur, sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah rural.Melihat
tendensi kenaikan pravalensi diabetes secara global yang tadi
dibicarakan terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran
suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu
saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang
akan dating kekerapan DM tipe 2 di Indonesia akan meningkat dengan
drastic, yang disebabkan oleh beberapa faktor:1. Fator
keturunan(genetik)2. Faktor kegemukan/obesitas Perubahan gaya hidup
dari tradisional ke gaya hidup barat Makan berlebihan Hidup santai,
kurang gerak badan3. Faktor demografi Jumlah penduduk meningkat
Urbanisasi Penduduk berumur diatas 40 tahun meningkat4.
Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang giziDalam Diabetes Atlas
2000 (International Diabetes Federation) tercantum perkiraan
penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125 juta dan dengan
asumsi pravalensi DM sebesar 4,6% diperkirakan pada tahun 2000
berjumlah 5,6 juta. Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti
saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti aka nada sejumlah 178
juta penduduk berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi pravalensi
DM sebesar 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien diabetes.Penelitian
terakhir yang dilakukan oleh Litbang Depkes yang hasilnya baru saja
dikeluarkan bulan Desember 2008 menunjukkan bahwa pravalensi
nasional untuk TGT 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5% terdiri dari
pasien diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya, sedangkan
sisanya 4,2% baru ketahuan diabetes saat penelitian).Dengan hasil
penelitian ini maka kita sekarang untuk pertama kali punya angka
pravalensi nasional. Sekadar untuk perbandingan menurut IDF pada
tahun 2006 angka pravalensi Amerika Serikat 8,3% dan Cina 3,9% jadi
Indonesia berada diantaranya. Di Malaysia, negara tetangga/serumpun
Indonesia terdekat, pada 3rd National Health and Mortality &
Morbidity Survey in Malaysia 2006 didapatkan pravalensi yang tinggi
yaitu 14,90%, tetapi survey itu dilakukan pada individu diatas 30
tahun, sedangkan di Indonesia populasi survey melibatkan individu
15 tahun keatas.
2.1.4. Etiologi Etiologi diabetes mellitus dapat kita bagi dalam
dua golongan besar,yaitu:A. Faktor GenetikBahwa ada faktor
keturunan pada diabetes mellitus sudah lama diketahui tetapi
bagaimana terjadi transmisi-transmisi dari seorang penderita ke
anggota lain belum diketahui. Ada yang menyatakan bahwa diabetes
diturunkan secara resesif dan ada pula yang menerangkan transmisi
ini secara overdominant.1. Kembar identikWHO Expert Comittee on
Diabetes Mellitus (1980) melaporkan bahwa dari sejumlah kembar
identik yang salah seorang menderita IDDM (Insulin Dependent
Diabetes Mellitus = tipe 1) 50% dari pasangannya kemudian juga
menderita diabetes mellitus. Dari kembar identik yang salah
menderita NIDDM (Non-Insulin Dependent Mellitus = tipe 2) lebih
banyak lagi yang kemudian juga menderita diabetes, yaitu 88%.
Perbedaan dalam kejadian IDDM dan NIDDM pada para kembar identik
menunjukkan bahwa faktor lingkungan mungkin mempunyai pengaruh
terhadap diabetes mellitus dan infeksi oleh virus termasuk salah
satu faktor lingkungan.1. Faktor genetik (hanya untuk IDDM)a. HLA
dan jenis-jenisnya NIDDM (tipe 2) tidak mempunyai asosiasi dengan
HLA. Telah diketahui bahwa pembentukan antigen diatur oleh gen-gen
yang terletak pada lengan pendek kromosom ke-6 yang disebut Major
Histocompatibility Complex (MHC). Pada manusia MHC ini disebut
sebagai Human Leucocyte System A-antigen (HLA). Sintesis antigen
dikendalikan oleh sistem genetik dan sistem genetik diturunkan
sesuai hokum mendel. Antigen-antigen HLA ini diproduksi oleh 3
kelas gen-gen (three classes of genes): Class I antigen:
HLA-antigen mendapat kode A,B dan C. Haplotype yang sama memberi
respon yang baik pada transplantasi dan grafting (85 sampai 90%
sukses dalam jangka panjang). Class II antigen: HLA-antigen
mendapat kode DP, PQ dan DR. HLA-DRw3 dan HLA-DRw4 mempunyai
asosiasi dengan IDDM (tipe 1), masing-masing mempunyai risiko
relatif 3,3 dan 6,4 (pakai w dibelakang locus {seperti DRw3 dan
DRw4} berarti bahwa allele ini sudah diakui WHO). Sebaliknya
HLA-DR2 mempunyai asosiasi negatif dengan diabetes mellitus, boleh
dikatakan memberi proteksi terhadap timbulnya IDDM. Allele HLA-DQw
1.2 sangat protektif terhadap timbulnya IDDM. HLA-DQ typing
diperlukan untuk accurate assessment of susceptibility terhadap
IDDM (Baisch dkk.1990) Ada suatu allele yang langka yang mempunyai
asosiasi dengan IDDM, yaitu HLA-BfF1, risiko relatif sekitar 15%.
Class III antigen (Complement): terbanyak dari antigen antigen ini
tidak mempunyai hubungan erat dengan HLA.b. Triggering
factorInfeksi oleh virus dan mungkin juga faktor-faktor lingkungan
lain dianggap sebagai trigerring factor untuk mulai merusak sel-sel
B (sel beta)c. Ada 4 jenis abnormalitas imunologik: Infiltrasi
limfosit-limfosit ke dalam pulau-pulau langerhans (reaksi
inflamatoir). Predominasi dari limfosit-limfosit ke dalam
pulau-pulau langerhans (reaksi inflamatoir) Predominasi dari
limfosit-limfosit T yang mengandung molekul-molekul HLA-DR ICA
(Islet Cell Antibodies) dalam sirkulasi Defisiensi dari sel-sel
suppressor T Gerich (1989) menganggap bahwa IDDM disebabkan oleh
dekstruksi autoimun dari sel-sel beta.d. Kemudian timbul diabetes
yang nyata.B. Faktor-Faktor Non-Genetik1. Infeksi Infeksi oleh
virus dianggap sebagai trigger factor pada mereka yang sudah
mempunyai predosposisi genetik terhadap diabetes mellitus.
Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh adalah virus
coxsackie, virus encephalomiocarditis, mumps, cytomegalovirus,
mononucleosis infectiosa, varicella dan virus hepatitis.2.
Nutrisia. Obesitas (nutrisi yang berlebihan), dianggap bahwa
obesitas: Mengurangi jumlah reseptor insulin di target cells
Menyebabkan resistensi terhadap insulin karena perubahan-perubahan
pada postreceptor: Transport glukosa berkurang Menghalangi
metabolisme glukosa intraseluler Menimbulkan faktor-faktor yang
bertanggung jawab terhadapdefek-defek seluler,berupa: Bertambahnya
penimbunan lemak Bertambah masuknya enersi ke dalam tubuh Komposisi
diet (terutama banyak makan lemak) Inaktivasi fisikb. Malnutrisi
protein, dianggap sel-sel B banyak yang rusak. Dianggap menyebabkan
MRDM (Malnutrition Related Diabetes Mellitus)c. Alkohol, dianggap
menambah resiko terjadinya pancreatitis (akut, kronik, dan
relapsing) dan obesitas.3. Stress Stress berupa pembedahan, infark
miokard, luka bakar dan emosi bias menyebabkan hiperglikemia untuk
sementara.4. Obat-obata. Obat yang bersifat sitotoksik terhadap
sel-sel beta (B) pancreas seperti alloxan, streptozocin dan
vacorrat poison.b. Obat yang menguragi sekresi insulin seperti
derivate thazide, diphenylhidantion, phenotiazine. Pada umumnya
hiperglikemia pada diabetes sekunder ini menghilang jika obat-obat
dihentikan.5. Penyakit-penyakit endokrin (hormonal)a. Sindrom
chusing karena konsentrasi hidrokortison dalam darah tinggi (juga
pada kortikostreoid eksogen).b. Akromegali, karena jumlah Growth
Hormone (somatotropin) meninggi.c. Glukagonom, karena konsentrasi
glukgon dalam darah meninggi.d. Feokromositoma, karena kadar
katekholamin meniggi.Pada umumnya diabetes-diabetes sekunder ini
menghilang jika penyakit primer dapat diatasi.
6. Penyakit-penyakit pancreasa. Hemokromatosis: banyak destruksi
dari sel-sel pancreas. Sekitar 65% menderita diabetes.b. Pankreatis
akuta: sekitar 11% menderita diabetes temporer, 2% permanen.c.
Karsinoma pancreas, pada 50 sampai 70% terjadi gangguan toleransi
terhadap glukosad. Kalsifikasi pancreas, dianggap terjadi oleh
malnutrisi baik karena alkohol maupum malnutrisi protein. Kerusakan
parenkim menyebabkan defisiensi insulin dan bisa terjadi diabetes
mellitus. Kini dianggap sebagai MRDM jenis fibrocalculous
pancreatic diabetes (FCPD).
2.1.5. PatofisiologiA. Diabetes Mellitus Tipe 1Diabetes tipe ini
merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita
diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi
karena kerusakan sel sel pulau Langerhans yang disebabkan oleh
reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam
virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan
lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan
dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi
terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). ICCA merupakan
otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir
90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam
tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe
1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel pulau Langerhans saja, tetapi
juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau
Langerhans. Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar
pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel , sel dan sel .
Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi glukagon,
sedangkan sel-sel memproduksi hormone somatostatin. Namun demikian,
nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel .
Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di
dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap
kerusakan sel-sel yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan
penyebab terjadinya kerusakan sel-sel pulau Langerhans. Apakah
merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin
menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Otoantibodi terhadap
antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA)
ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA,
titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu.
Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.Otoantibodi
terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir
80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe
1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga
makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.
Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe
1, terutama pada populasi risiko tinggi.Disamping ketiga
otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi
lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin
Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita
DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien
sebelum onset terapi insulin.Destruksi otoimun dari sel-sel pulau
Langerhans kelenjar pancreas langsung mengakibatkan defisiensi
sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan
gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi
insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1
juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan
sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans.
Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon,
namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi
glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini
memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari
keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami
ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin.
Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi
glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula
dan badan keton. Salah satumasalah jangka panjang pada penderita DM
Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon
sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM
Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi
sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada
penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan
kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang
diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan
hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin
menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai
akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam
lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di
jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka,
dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh
tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari
beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons
insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen
GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di
sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.
B.Diabetes Mellitus Tipe 2Diabetes Tipe 2 merupakan tipe
diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan
dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan
remaja dan anak-anak populasinya meningkat.Etiologi DM Tipe 2
merupakan multifaktor yang belum sepenuhnyaterungkap dengan jelas.
Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam
menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi
lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.Obesitas atau
kegemukan merupakan salah satu faktor predisposisiutama. Penelitian
terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara
gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen
yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2. Berbeda dengan
DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada
tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di
dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi,
awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau
tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut
sebagai Resistensi Insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai
akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan
penuaan.Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2
dapat juga timbulgangguan sekresi insulin dan produksi glukosa
hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan
sel-sel Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM
Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM
Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam
penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian
insulin.Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua
fase. Fasepertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus
atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar
glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20
menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel
menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya
sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila
tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya
penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel pankreas yang
terjadi secara progresif, yang seringkali akan
mengakibatkandefisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa
pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut,
yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.Berdasarkan uji
toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagimenjadi 4
kelompok:a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normalb.
Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut
jugaDiabetes Kimia (Chemical Diabetes)c. Kelompok yang menunjukkan
hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosaplasma puasa < 140
mg/dl)d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi
(kadar glukosaplasma puasa > 140 mg/dl).Secara ringkas,
perbedaan DM Tipe1dengan DM Tipe 2 disajikan dalam tabel 1
Tabel 1. Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2DM Tipe 1DM Tipe
2
Mula munculUmumnya masa kanak kanakdan remaja,walaupun ada juga
padamasa dewasa < 40 tahunPada usia tua, umumnya> 40
tahun
Keadaan klinis saatdiagnosisBeratRingan
Kadar insulin darahRendah, tak adaCukup tinggi, normal
Berat badanBiasanya kurusGemuk atau normal
Pengelolaan yangdisarankanTerapi insulin, diet,olahragaDiet,
olahraga,hipoglikemik oral
C. Diabetes Mellitus GestasionalDiabetes Mellitus Gestasional
(GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau
intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya
berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau
setelah trimester kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun
umumnya kelak dapat pulihsendiri beberapa saat setelah melahirkan,
namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat
buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital,
peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko
mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita
GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di
masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi
risiko-risiko tersebut.
2.1.6. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan
perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan
berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul
sejak masa kanak-kanak disebut juvenile diabetes, sedangkan yang
baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut
sebagai adult diabetes. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak
dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang
muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk
mengklasifikasikannya. Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes
Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji
toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes,
Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt
Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association
(BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes,
Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan
Clinical Diabetes. WHO pun telah beberapa kali mengajukan
klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO mengajukan
beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain
Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly
Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru
diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data
Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes
melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM)
disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe
2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi
menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan
istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan
"Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun
ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe
1 dan 2 tetap muncul. Disamping dua tipe utama diabetes melitus
tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga
menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain,
Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired GlucoseTolerance (IGT)
dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus
(GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga
mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus
terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus
(MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan
membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin.
Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian
lebih berdasarkan etiologi penyakitnya. Klasifikasi Diabetes
Melitus berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada tabel 2.Tabel 2.
Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA,
2012)1Diabetes Mellitus Tipe 1:Destruksi sel umumnya menjurus ke
arah defisiensi insulin absolutA. Melalui proses imunologik
(Otoimunologik)B. Idiopatik
2Diabetes Mellitus Tipe 2Bervariasi, mulai yang predominan
resistensi insulin disertai defisiensiinsulin relatif sampai yang
predominan gangguan sekresi insulin bersamaresistensi insulin
3Diabetes Mellitus Tipe LainA. Defek genetik fungsi sel :
kromosom 12, HNF-1 (dahulu disebut MODY 3), kromosom 7, glukokinase
(dahulu disebut MODY 2) kromosom 20, HNF-4 (dahulu disebut MODY 1)
kromosom 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1,dahulu disebut MODY
4) kromosom 17, HNF-1 (dahulu disebut MODY 5) kromosom 2, Neuro
D1(dahulu disebut MODY 6) DNA mitokondria lainnyaB. Defek genetik
kerja insulinC. Penyakit eksokrin pankreas: Pankreatitis
Trauma/Pankreatektomi Neoplasma Cistic Fibrosis Hemokromatosis
Pankreatopati fibro kalkulusD. Endokrinopati:1. Akromegali2.
Sindroma Cushing3. Feokromositoma4. HipertiroidismeE. Diabetes
karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid,
asamnikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferonF.
Diabetes karena infeksiG. Diabetes Imunologi (jarang)H. Sidroma
genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner,
Huntington,Chorea, Prader Willi
4Diabetes Mellitus GestasionalDiabetes mellitus yang muncul pada
masa kehamilan, umumnya bersifatsementara, tetapi merupakan faktor
risiko untuk DM Tipe 2
Dibawah ini ada beberapa karakteristik yang dapat digunakan
untuk membedakan DM tipe 1 dan DM tipe 2:DM tipe 1 : Mudah terjadi
ketoasidosis Pengobatan harus dengan insulin Onset akut Biasanya
pada umur muda Berhubungan dengan HLA-DR3 & DR4 Didapatkan
Islet Cell Antibody (ICA) Riwayat keluarga diabetes (+) pada 10%
30-50% kembar identik terkenaDM tipe 2 : Tidak mudah terjadi
ketoasidosis Tidak harus dengan insulin Onset lambat Gemuk atau
tidak gemuk Biasanya > 45 tahun Tak berhubungan dengan HLA Tak
ada Islet Cell Antibody (ICA) Riwayat keluarga (+) pada 30% 100%
kembar identik terkena
2.1.7.Faktor Resiko Diabetes Melitus (DM)Beberapa faktor risiko
untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat dilihat
pada table 3 berikut ini.Table 3 faktor risiko bagi penyandang
pra-DM dan DM tipe 2Usia Risiko bertambah sejalan dengan usia.
Insidens DM tipe 2 bertambah usia (jumlah sel yang produktif
berkurang seiring pertambahan usia). Upayakan memeriksa gula drah
puasa jika usia telah diatas 45 tahun, atau segera jika ada faktor
risiko lain.
Berat BadanBB berlebih: BMI > 25. Kelebihan BB 20%
meningkatkan risiko dua kali. Pravalensi obesitas dan diabetes
berkolerasi positif, terutama obesitas sentral.
Riwayat keluarga Orang tua atau saudara kandung mengidap DM.
Sekitar 40% diabetasi terbukti terlahir dari keluarga yang juga
mengidap DM, dan lebih-kurang 60-90% kembar identik merupakan
penyandang DM.
Tekanan darahLebih dari 140/90 mm Hg (atau riwayat
hipertensi).
Kolesterol HDL4 kg. Kehamilan, trauma fisik, dan stress
psikologis menurunkan sekresi serta kepekaan insulin.
Riwayat ketidaknormalan glukosa Riwayat toleransi glukosa
terganggu dan glukosa darah puasa terganggu.
Gaya hidupOlahraga kurang dari 3 kali seminggu (atau bahkan
sedentary). Olahraga bagi diabetes merupakan potent protective
factor yang meningkatkan kepekaan jaringan terhadap insulin hingga
6%.
Kelainan lain Riwayat penyakit pembuluh darah dan sindrom
ovarium polisiklik.
*Hormon yang dihasilkan selama kehamilan (dan hormone yang
disekresikan akibat stress) berpotensi mengganggu efektivitas
insulin. Berbagai obat yang digunakan untuk terapi penyakit lain,
seperti steroid, ternyata berpotensi pula memicu diabetes.Sumber:
Henry RR,1991; Pi-Sunyer FX,1996; Wing RR,1994; Endocr Pract, 2007;
dan berbagai sumber.
2.1.8.Manifestasi Klinis Diabetes Melitus (DM)2.1.8.1. Keluhan
Klasika. Penurunan berat badan dan rasa lemahPenurunan berat badan
biasanya relatif singkat dan terjadi rasa lemah yang hebat. Hal ini
disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel,
sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Oleh
karena itu, sumber tenaga diambil dari cadangan lain, yaitu sel
lemak dan otot, akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan
otot sehingga menjadi kurus.b. PoliuriaKarena sifatnya, kadar
glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak urin. Urin yang
sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita,
terutama pada waktu malam hari.c. PolidipsiRasa haus sering dialami
penderita karena banyaknya cairan yang keluar dari urin. Penderita
menyangka rasa haus ini disebabkan karena udara yang panas atau
beban kerja yang berat sehingga penderita minum banyak.d.
PolifagiaKalori dari makanan yang dimakan, setelah
dimetabolisasikan menjadi glukosa di dalam darah tidak seluruhnya
dapat dimanfaatkan sehingga penderita selalu merasa lapar.
2.1.8.2. Keluhan Laina. Gangguan Saraf Tepi (Kesemutan)Penderita
mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu
malam, sehingga mengganggu tidur.b. Gangguan PenglihatanGangguan
ini sering terjadi pada fase awal penyakit diabetes.c.
GatalKelainan kulit berupa gatal biasanya terjadi di daerah
kemaluan atau lipatan kulit, seperti ketika dan di bawah payudara.
Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang lama sembuh.
Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele, seperti luka lecet
karena sepatu atau tertusuk peniti.d. Gangguan EreksiGangguan ini
menjadi masalah tersembunyi karena pasien sering tidak terus terang
mengemukakannya. Hal ini terkait budaya masyarakat yang masih
merasa tabu membicarakan masalah seks.e. KeputihanPada wanita,
keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan dan
kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.
2.1.9. Kriteria Diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa :1.
Kadar glukosa darah sewaktu : > 200mg/dL2. Kadar glukosa darah
puasa: > 126mg/dL3. Kadar glukosa plasma > 200mg/dL pada 2
jam sesudah beban glukosa. 2.1.10. Diagnosis Diabetes Melitus
(DM)Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) tahun 2007,
diagnosa diabetes melitus dapat ditegakkan dengan beberapa kriteria
yaitu:1. Gejala diabetes klasik ( poliuri, polidipsi, dan penurunan
berat badan) ditambah dengan kadar gula darah random >200mg/dl2.
Kadar glukosa puasa 126 mg/dl3. Kadar glukosa OGTT 200 mg/dlCara
pelaksanaan TTGO (WHO 1985) 3 (tiga) hari sebelum pemeriksa tetap
makan seperti keboasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup)
dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa. Berpuasa paling
sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah
puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5
menit Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa
kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama proses
pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokokPemeriksaan kadar gula darah puasa merupakan pemeriksaan
yang paling terpercaya dan convinient pada pasien yang
asimptomatik.Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai
patokan penyaring dan diagnosa DM (mg/dL)Bukan DMBelum pasti
DMDM
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL)Plasma vena< 100100-199
200
Darah kapiler < 9090-199 200
Kadar glukosa darah puasa (mg/dL)Plasma vena< 100100-125
126
Drah kapiler< 9090-99 100
(Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia,
PERKENI, 2006)Tabel 5. Kriteria diagnosis DM1.Gejala klasik DM +
glukosa darah sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir Atau
2.Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL (7,0
mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam.
3.Kadar glukosa darah pada 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1
mml/L) TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam
air.
2.1.11. Penatalaksanaan Diabetes Melitus (DM)Penatalaksanaan
diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
target utama, yaitu:1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada
dalam kisaran normal2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan
terjadinya komplikasi diabetes.The American Diabetes Association
(ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan
untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes (Tabel 6)
Tabel 6. Target Penatalaksanaan DiabetesParameterKadar Ideal
Yang Diharapkan
Kadar Glukosa Darah Puasa
Kadar Glukosa Plasma Puasa
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur(Bedtime blood glucose)
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur (Bedtime plasma glucose)
80120mg/dl
90130mg/dl
100140mg/
110150mg/dl
Kadar Insulin 55mg/dl (wanita) 120%
B. Pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari bagi penderita
DMKurus: BB x 40-60 kaloriNormal: BB x 30 kaloriGemuk: BB x 20
kaloriObesitas: BB x 10 15 kalori
Kalori untuk ibu hamil ditambah 100 kalori (tri semester I)
ditambah 200 kalori (tri semester II), ditambah 300 kalori (tri
semester III)Bagi yang menyusui ditambah 400 kalori per
hariPerhitungan dengan RBW biasa digunakan untuk menghitung
kebutuhan energi penderita DM Kelemahan menggunakan teori RBW
adalah jenis kelamin dan umur tidak diakomodasikan
2. Olah RagaBerolah raga secara teratur dapat menurunkan dan
menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah
raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan
porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya,
tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara
teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga yang
disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical,
Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal
(220-umur),disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau
lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain \ sebagainya. Olahraga
aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per
hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan
antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa.
3. Obat-obatan penurun kadar gula darah Terapi farmakologis
ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologik
tersebutdapat berupa Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dan insulin.A.
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)Berdasarkan cara kerjanya, OHO dapat
dibagi menjadi 4 golongan:1. Golongan pemicu sekresi insulin
(insulin secretagogue), contoh sulfonylurea dan glinid. Obat
golongan sulfonilurea bekerja dengan: Menstimulasi penglepasan
insulin yang tersimpan Menurunkan ambang sekresi insulin
Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.Obat
golongan ini bisasanya diberikan pada pasien dengan berat badan
normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya lebih
sedikit.2. Golongan penambah sensitivitas terhadap insulin, contoh
tiazolidindion dan metformin. Tiazolidindion mengurangi keluarnya
asam lemak menuju otot, dan karenanya mengurangi resistensi
insulin. Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan
meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap
insulin. (farmakologi UI).3. Golongan penghambat glukosidase alfa
contohnya Acarbose Obat golongan ini berkerja dengan memperlambat
absorbsi polisakarida (starch), dekstrin, dan disakarida di
intestin.4. InsulinDisamping pemberian insulin secara konvensional
3 kali sehari dengan memakai insulin kerja cepat, insulin juga
dapat diberikan dalam dosis terbagi, insulin kerja menengah dua
kali sehari dan kemudian diberikan campuran insulin kerja cepat
dimana perlu sesuai dengan respon kadar glukosa darahnya.Indikasi
penggunaan insulin : Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia
berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal
dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal Stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke) Kehamilan dengan DM Gangguan
fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraidikasi dan atau alergi
terhadap OHO2.1.12.Komplikasi Diabetes Melitus (DM)Komplikasi akut
diabetes melitus1. Hipoglikemia Hipoglikemia adalah keadaan klinik
gangguan saraf yang disebaakan penurunan glukosa darah. Gejala ini
dapat ringan berupa gelisah, sampai dengan berat berupa koma
disertai kejang.Penyebab terseing hipoglikemia pada pasien DM
adalah obat golongan sulfonilurea. Tanda hipoglikemia muncul bila
glukosa darah 300 mg/dlBicarbonat < 15 mEq/LAsidosis (pH <
7,3) dengan ketonemia dan ketonuria.3. Hyperglycemic hyperosmolar
stateHyperglycemic hyperosmolar state adalah suatu sindrome yang
ditandai denagn hiperglikemik berat, hiperosmolar, dehidrasi berat
tanpa ketoacidosis disertai penurunan kesadaran.
Komplikasi kronis DM1. Komplikasi Mikrovaskular Retinopati
diabetika Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala
berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata
yang dapat mengarah pada kebutaan.Retinopati diabetes dibagi dalam
2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan Proliferatif.
Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan ditandai
adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai
dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan
adanya hipoksia retina. Pada stadium awal retinopati dapat
diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada
kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan
kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila
dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.
Nefropati diabetika Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab
nefropati paling banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal
terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti
protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat
nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif.
Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri persisten (
> 0.5 gr/24 jam), terdapat retino pati dan hipertensi. Dengan
demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme
dan kontrol tekanan darah. Neuropati Umumnya berupa polineuropati
diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada penderita DM, lebih
50 % diderita oleh penderita DM. Manifestasi klinis dapat berupa
gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati
biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf
dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang
biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati
disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf
akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan
myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan kerusakan
struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.
2. Komplikasi Makrovaskular Stroke Aterosklerosis serebri
merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada penderita
diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita
diabetes.Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih
serius untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri
karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis
akibat iskemia, berupa:- Pusing, sinkop- Hemiplegia: parsial atau
total- Afasia sensorik dan motorik- Keadaan pseudo-dementia
Penyakit Jantung Koroner Ateroskierosis koroner ditemukan pada
50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul
insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal
serti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu,
lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifiras
atau emosi dan akan mereda seetlah beristirahat atau mendapat
nitrat sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark
miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak mereda
dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala MI dapat tidak timbul
pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.
Pembuluh darah perifer (kaki diabetes)Terjadinya masalah kaki
diawali dengan adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang
menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah..
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik
akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang
kemudian menyebabkan tejadinya perubahan distribusi tekanan pada
telapak kaki dan selanjutnya mempermudah terjadinya ulkus. Adanya
kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak
menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga
akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes.
Klasifikasi Kaki DiabetesKlasifikasi berdasarkan pada perjalanan
alamiah kaki diabetes (Edmonds 2004-2005) Stage 1: Normal foot
Stage 2: High Risk Foot Stage 3: Ulcerated Foot Stage 4: Infected
Foot Stage 5: Necrotic Foot Stage 6 : Unsalvable FootUntuk stage 1
dan 2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat
dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer.Untuk stage 3 dan 4
kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan
kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan
spesialitikUntuk stage 5 dan 6, jelas merupakan kasus rawat inap,
dan jelas sekali memerlukan suatu tim dimana harus ada dokter
bedah, utamanya dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastik dan
rekonstruksi.
2.2. EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISMEDiabetes
mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah
karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif
atau absolut atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah
tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama
pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi
peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana
juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan
hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan
glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak
hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti
interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan
prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi.
Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik
terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. dan saraf otonom.
Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat
mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek
menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi
tinggi (2,1 MAC halotan)
2.3. PENILAIAN PRABEDAHPenilaian prabedah diutamakan pada
penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf
pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik
pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang
mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG.
Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal
kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan
dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus .
Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik
hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden
hanya 10%. Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin
pada peralatan pra bedah.
2.4. PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DMSeperti telah
diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah,
maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan
stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya.4Beberapa obat yang
dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam
metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum
jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa
perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan
sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim
pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon
hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada
pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum
terbukti.4.7Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga
akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama
pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi
simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan
menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek
ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi
dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus
intravena pada pasien di ICU.Teknik anestesia dengan opiat dosis
tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga
keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil
menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu
hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada
hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal
katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang
terjadi pada pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien
diabetes.Eter dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek
insulin untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara
tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis sehingga
meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan
halotan pada pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya
terhadap peningkatan hormon ;pertumbuhan, peningkatan kadar gula
atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat
menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi
tidak sama |pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi.
Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap
kadar gula darah.Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak
diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan kemampuan
untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal W tidak
relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk
pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat
terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi
jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa
diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula
darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula
akibat efek simpatomimetiknya.Penggunaan anestesi lokal baik yang
dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada
metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang
menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai
suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih
memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia
lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam
mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol
yang disebabkan tindakan operasi.
2.6. TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DMTeknik anestesia,
terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade
regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan
sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa
perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada
pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan
anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine
perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik,
menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan
menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.Tidak ada
bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan
anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes
yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi
mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar
pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang
dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan
penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular.
Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan
penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural
lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural.
Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah
anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan
blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat
menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik
dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.
2.7. KONTROL METABOLIK PERIOPERATIFTujuan pokok adalah :1.
Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum
pembedahan.2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah
metabolisme katabolik dan ketoasidosis.3. Menentukan kebutuhan
insulin untuk mencegah hiperglikemia.Gavin mengindikasikan
pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi seperti
di bawah :1. Gula darah puasa > 180 mg/dl2. Hemoglobin
glikosilasi 8-10 g%3. Lama pembedahan lebih 2 jamTerdapat beberapa
regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling
sering :t digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya
setengah dari dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin
kerja sedang:Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk
tatalaksana insulin perioperatif pada pasien DMPemberian secara
bolusInfus kontinyu
Preoperatif
D5W (1,5 ml/kg/jam) NPH insulin (1/2 dosis biasa pagi hari)
(NPH=neutral protamine Hagedorn)
D5W (1 ml/kg/jam) Regular insulin Unit/jam = Glukosa plasma :
150
Intraoperattf
Regular insulin (berdasarkan sliding scale)
Sama dengan preoperatif
PascaoperatifSama dengan intraoperatif
Sama dengan preoperatif
2.8. PERAWATAN PASCA BEDAHInfus glukosa dan insulin harus tetap
diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil dan pasien sudah
boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah
pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar,
infus glukosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien dapat
makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan
subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja
sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah
infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin
pasien dilanjutkan.Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya
hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah terutama bite
terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus
dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif
serial dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I,
dan penderita dengan penyakit jantung Infark miokard postoperatif
mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada
perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau
disrimia, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya infark
miokard.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arisma. Obesitas, Diabetes Mellitus dan Dislipidemia.
Jakarta: EGC, 2008: 44-5,472. Soegondo, Suwondo, Soebekti. 2011.
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. FKUI press: Jakarta,
151-1753. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI,2006 : 1852-3, 1857-594. American Diabetes
Association. Diagnosis dan Classification of Diabetes Mellitus.
http://www.care.diabetesjournals.org. Accesed Juni 10,2012.5.
Pharmaceutica Ceutical Care staff. Pharmaceutica Ceutical Care
Untuk Diabetes Mellitus. http://www.Pdf.com .Acessed Juni
10,2012.6. Permana H. 2011. Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta
pada Diabetes.(diakses dari : pustaka.unpad.ac.id)7.
http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5.full8.
http://www.staff.ncl.ac.uk/philip.home/who_dmc.htm