6 BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat 2.1.1 Pengertian dan Pengelolaan Hutan Rakyat Menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk didominasi oleh pohon dan jumlah tanaman tahun pertama minimal 500 batang, sedangkan menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999), hutan rakyat adalah suatu lapangan di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungan dan lahannya dimiliki oleh rakyat. Sasaran pembangunan hutan rakyat adalah lahan milik dengan kriteria; 1) areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang mempunyai kelerengan lebih dari 30 %, 2) areal kritis yang telah ditelantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan pertanian tanaman pangan semusim, 3) areal kritis yang karena pertimbangan- pertimbangan khusus seperti untuk perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup dengan tanaman tahunan, 4) lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk tanaman semusim (Jaffar, 1993). Menurut Awang (2005), salah satu upaya untuk menunjang keseimbangan ekosistem alam dan kebutuhan ekonomi adalah pembentukan hutan rakyat. Hutan rakyat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat
2.1.1 Pengertian dan Pengelolaan Hutan Rakyat
Menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999, Hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lain tidak
dapat dipisahkan. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas
minimal 0,25 ha, penutupan tajuk didominasi oleh pohon dan jumlah tanaman tahun
pertama minimal 500 batang, sedangkan menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan
(1999), hutan rakyat adalah suatu lapangan di luar kawasan hutan negara yang
bertumbuhan pohon sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan
persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungan dan lahannya dimiliki oleh rakyat.
Sasaran pembangunan hutan rakyat adalah lahan milik dengan kriteria; 1) areal kritis
dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang mempunyai kelerengan lebih dari
30 %, 2) areal kritis yang telah ditelantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan
pertanian tanaman pangan semusim, 3) areal kritis yang karena pertimbangan-
pertimbangan khusus seperti untuk perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu
dijadikan areal tertutup dengan tanaman tahunan, 4) lahan milik rakyat yang karena
pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk
tanaman semusim (Jaffar, 1993).
Menurut Awang (2005), salah satu upaya untuk menunjang keseimbangan
ekosistem alam dan kebutuhan ekonomi adalah pembentukan hutan rakyat. Hutan rakyat
7
sudah berkembang sejak lama dikalangan masyarakat Indonesia meskipun dilakukan
secara tradisional. Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumber daya
alam yang berdsarkan inisiatif masyrakat. Hutan rakyat ini dibangun secara swadaya oleh
masyarakat, ditujukan untuk menghasilkan kayu atau komoditas lainnya yang secara
ekonomis bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal
ini dapat dilihat dari adanya hutan rakyat tradisional yang diusahakan masyarakat sendiri
tanpa campur tangan pemerintah (swadaya murni), baik berupa tanaman satu jenis (hutan
rakyat mini) maupun hutan rakyat dengan pola tanaman campuran (agroforest).
Pelaksanaan dalam pengelolaan hutan rakyat diperlukan perencanaan yang tepat
agar kelestarian hutan rakyat tetap terjaga, selain itu organisasi berperan penting sebagai
pengambil keputusan setelah rencana pada pengelolaan hutan sudah dirancang dengan
baik. Pemerintah daerah juga perlu melakukan penyuluhan dan monitoring kepada
masyarakat, sehingga dalam pengelolaan hutan rakyat dapat menerapkan teknik-teknik
atau sistem pengelolaan yang baik. Bertolak dari hal tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai bagaimana pengelolaan yang dilakukan di sana mulai dari
perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan evaluasi monitoringnya sehingga dapat di
ketahui tingkat pengelolaan hutan rakyat di daerah tersebut (Pratama, Yuwono, Hilmanto,
2015).
2.1.2 Bentuk Hutan Rakyat
Hutan rakyat memiliki pola tanam campuran dengan sistem agroforestry dan ada
juga pola tanam monokultur di sebagian lahan masyarakat. Pengelolaan hutan rakyat
pada umumnya dilakukan secara sederhana dan tradisional oleh masyarakat setempat,
biasanya ditanami tumbuhan berkayu dan juga tanaman pangan (Sudiana, Hanani,
8
Yanuwiadi, Soemarno, 2009). Menurut Hardjanto (2003) bahwa berdasarkan lokasi atau
jenis tanaman penyusunnya mengelompokkan hutan rakyat dalam 3 tipe: a) pekarangan,
b) talun dan c) kebun campuran. Tipe pekarangan umumnya berada disekitar rumah
dengan pengaturan tanaman yang terang, luas minimum 0,1 ha dan tersusun dari beragam
jenis tanaman, mulai dari sayuran sampai pohon setinggi 20 m. Tipe talun mempunyai
ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat, tinggi pohon mencapai 35 m dan
terdapat tanaman yang tumbuh liar dari jenis herba atau liana. Tipe kebun campuran
memiliki jenis tanaman yang lebih homogen dengan jenis tanaman pokok berupa
cengkeh atau pepaya dan berbagai jenis tanaman herba. Berdasarkan jenis tanaman
penyusunnya mengidentifikasi 17 macam budidaya masyarakat dalam mengusahakan
tanaman jenis pohon-pohonan yang terbagi dalam 3 golongan: a) kombinasi antara
pepohonan dengan tanaman perkebunan, tanaman makanan dan semak, b) kombinasi
antara pepohonan dengan tanaman makanan ternak dan ternak, dan c) kombinasi
pepohonan dengan ikan.
Berdasarkan adanya kebijakan HHBK maka hutan rakyat juga dapat dibedakan
berdasarkan produk utama yang dihasilkan, menjadi 3 kelompok: a) hutan rakyat
monokultur yang dikelola untuk kayu, b) hutan rakyat monokultur yang dikelola untuk
HHBK dan c) hutan rakyat agroforestri yang dikelola untuk kayu dan HHBK. Masing-
masing usaha pengelolaan hutan rakyat tersebut mempunyai karakteristik (jangka waktu
usaha, intensitas pengelolaan, kompleksitas pengelolaan, penggunaan input produksi dan
penutupan tajuk) dan menghasilkan manfaat (lingkungan, sosial dan ekonomi) tertentu,
yang berbeda satu dengan lainnya (Puspitojati, Mile, Fauzaih, Darusman, 2014).
9
2.1.3 Hutan Lahan Kritis / Kering
Tanah kering merupakan suatu lingkungan fisik mencakup iklim, relief, tanah,
hidrologi dan tanaman yang sampai pada batas - batas tertentu akan mempengaruhi
kemampuan penggunaan tanah tersebut. Iklim dikawasan tanah kering adalah iklim
kering, timbulnya kekritisan sehubungann dengan kurangnya air di kawasan itu.
Kekurangan air ini tentu dipertimbangkan dari segi kehidupan, terutama usaha pertanian
yang umummnya dilakukan penduduk Indonesia. Dari segi ini dapat mengetahui
perbedaan yang pokok antara tanah basah dan tanah kering, terutama cara penyediaan air
untuk memenuhi keperluan tanaman yaitu dari air hujan melalui pengalihan kepada
bentuk lengas tanah, yang dalam pengertian ini mencangkup air hujan yang ditampung
dalam penampungan yang ada di dalam lapangan.
Kritisnya air, yang menyebabkan ketergantungannya pada air hujan menjadikan
tanah kering memiliki sifat - sifat yang demikian berbeda dengan tanah basah. Demikian
pula masalah - masalah yang timbul sehubungan dengan pemanfaatannya, yang terutama
meliputi masalah fisik tanah (bahan organik), status unsur hara, solum efektif, masukan
teknologi dan erosi tanah (Triwanto, 2012).
2.1.4 Manfaat dan Silvikultur Hutan Rakyat
Hutan rakyat pada umumnya dan hutan rakyat kayu pada khususnya
menghasilkan manfaat lingkungan yang tinggi. Manfaat lingkungan hutan rakyat kayu
memang tidak setinggi manfaat lingkungan hutan rakyat campuran yang memiliki
beragam jenis tanaman dan beberapa strata tajuk. Hutan rakyat kayu juga memiliki akar
pohon yang dalam, tajuk antar pohon yang saling menutupi dan tanaman bawah, sehingga
mempunyai peranan penting dalam memelihara tata air dan kesuburan tanah, mengurangi
10
bahaya banjir, longsor, erosi dan berkontribusi dalam mengatasi pemanasan global. Hutan
rakyat kayu merupakan usaha jangka panjang yang hasilnya dipungut pada akhir daur.
Menurut Andayani (2009) bahwa menuliskan bahwa peranan yang penting dari
tumbuhan adalah melindungi tanah dari pukulan hujan secara langsung dengan jalan
mematahkan energi kinetiknya melalui tajuk, ranting, dan batangnya dengan serasah yang
dijatuhkannya akan terbentuk humus yang berguna untuk menaikkan kapasitas infiltrasi
tanah. Vegetasi juga akan membantu penyerapan air ke dalam tanah dengan perakaran
yang dalam dan memiliki laju transpirasi yang cukup tinggi sehingga dapat menghabiskan
kandungan air tanah hingga jeluk - jeluk yang dalam. Hal ini meningkatkan peluang
penyimpanan air di dalam tanah dan menyebabkan laju infiltrasi menjadi meningkat (Lee,
1988).
Lahan yang sempit, petani mengelola hutan rakyat kayu seumur atau beragam umur
dalam satu bidang lahan. Oleh Karena itu, hutan rakyat kayu umumnya tidak
menghasilkan pendapatan tahunan. Dalam kondisi demikian, usaha hutan rakyat kayu
tidak menjadi usaha pokok petani melainkan sebagai usaha sambilan yang berfungsi
sebagai tabungan. Manfaat sosial hutan rakyat dalam bentuk kesempatan kerja dinikmati
berbagai pihak yang terlibat, dimana kesempatan kerja yang tersedia dari kegiatan
pengelolaan hutan rakyat sampai pengangkutan kayu gergajian ke industri barang jadi.
Hutan rakyat kayu menyediakan kesempatan kerja 325 HOK/ha/5 tahun atau rata-rata 65
HOK/ha/tahun. Pengelolaan hutan yang intensif dapat meningkatkan kesempatan kerja
tersebut hingga 100% (Pratama, Yuwono, Hilmanto, 2015).
Silvikultur hutan rakyat ditetapkan sesuai kondisi setempat guna menjamin
kelestarian usaha perhutanan rakyat. Menurut Departemen Kehutanan (1996), bahwa
11
berdasarkan pola silvikuturnya hutan rakyat dibagi menjadi dua pola, yaitu :1. Pola hutan
rakyat monokultur yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman kayu-kayuan.2.
Pola hutan rakyat polikultur yaitu hutan rakyat yang terdiri dari tanaman kayu-kayuan
(tanaman hutan) dan tanaman pertanian (tanaman pangan, tanaman obat, rumput atau
pakan ternak, perkebuanan, tanaman hortikultura), guna memberikan hasil dalam waktu
pendek dan berkesinambungan.
Kegiatan silvikultur dapat pula berupa pengawetan tanah dan air, dimana Menurut
Triwanto, (2012) bahwa usaha pengawetan tanah dan air terdapat 3 metode yaitu, dengan
metode vegetative seperti penggunaan tanaman penutup tanah, penanaman dalam strip,
pertanaman berganda, pemakaian mulsa dan reboisasi, penghijauan dan rehabilitasi lahan.
Selanjutnya dengan metode teknis atau mekanis yaitu dengan pengolahan lahan,
penterasan, saluran pembuangan air dan bendungan pengendali. Terakhir dengan metode
kimiawi, metode ini meliputi tindakan penggunaan bahan - bahan kimia atau usaha
penambahan bahan kimia ke dalam tanah untuk memperbaiki sifat tanah, terutama
kemantapan struktur tanah sehingga tanah menjadi resisten.
2.2 Siklus Hidrologi
Tata air merupakan fenomena yang menggambarkan proses perolehan, kehilangan,
dan penyimpanan air tanah dalam kondisi alami. Hutan merupakan bentuk penggunaan
lahan dengan dominasi pohon-pohon hutan yang meliputi atau menutupi permukaan lahan
dan merupakan implementasi dari tata ruang. Sebagai implementasi dari tata ruang dan
sebagai penutup lahan, maka hutan akan mempengaruhi proses penerimaan air yang
tercurah dari atmosfer pada lahan di bawahnya. Air hujan yang tercurah dari atmosfer
sebelum sampai ke permukaan lahan yang berhutan akan diterima terlebih dahulu oleh
12
lapisan tajuk hutan. Air hujan tersebut akan mengalami pencegatan (interception) tajuk,
yang lolos dari cegatan tajuk disebut air lolos (through fall) dan mencapai lantai hutan,
dan air hujan yang mengalir melalui batang-batang pohon hutan disebut aliran batang
(stem flow) dan akhirnya sampai di lantai hutan.
Air hujan yang mencapai lantai hutan (aliran batang dan air lolos) akan mengalami
cegatan oleh lapisan serasah hutan. Air yang lolos dari cegatan searah akan meresap ke
lapisan tanah atas yang biasanya disebut air infiltrasi. Apabila kapasitas cegatan searah
telah jenuh dan infiltrasi mulai lambat, maka air akan menjadi aliran permukaan. Air hujan
yang tercegat oleh tajuk akan menguap ke udara, sehingga air hujan yang tercegat tajuk
termasuk air hilang. Air hujan yang meresap dalam lapisan tanah (air infiltrasi) adalah
termasuk perolehan air, sedangkan air hujan yang menjadi aliran termasuk air hilang.
Jumlah air lolos dan air batang disebut hujan neto sedangkan air infiltrasi disebut hujan
efektif ( Pudhiharta, 2008).
2.3 Infiltrasi
2.3.1 Pengertian Infiltrasi dan Manfaat Pengukuran Infiltrasi
Ketersedian air pengairan bagi pertanian itu berbeda-beda tergantung pada
musim, lokasi sumber air dan usaha-usaha konservasi air. Ketersedian air bagi lahan
pertanian dapat diusahakan juga dengan memberikan irigasi, yang dimana dalam
pemberian air irigasi pada lahan harus mengetahui laju infiltrasinya agar tidak terjadi run-
off (Kertasapoetra, 1994). Menurut Arsyad (2006) bahwa ketika air jatuh pada tanah
kering, permukaan atas dari tanah tersebut menjadi basah, sedang bagian bawahnya relatif
masih kering. Dengan demikian terdapat perbedaan yang besar dari gaya kapiler antara
permukaan atas tanah dengan yang ada di bawahnya. Karena adanya perbedaan tersebut,
13
maka terjadi gaya kapiler yang bekerja bersama-sama dengan gaya berat, sehingga terjadi
infiltrasi (Arsyad, 1989, dalam Harto, 1993).
Terdapat dua parameter penting berkaitan dengan infiltrasi yaitu laju infiltrasi dan
kapasitas infiltrasi per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah. Sedangkan
kapasitas infiltrasi adalah laju maksimum air dapat masuk ke dalam tanah pada suatu saat
(Arsyad, 1989). Laju infiltrasi berkaitan dengan banyaknya air infiltrasi tanah meliputi
infiltrasi kumulatif, laju infiltrasi dan kapasitas infiltrasi. Infiltrasi kumulatif adalah
jumlah air yang meresap ke dalam tanah pada suatu periode infiltrasi. Laju infiltrasi adalah
jumlah air yang meresap ke dalam tanah dalam waktu tertentu. Sedangkan kapasitas
infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum air meresap ke dalam tanah (Haridjaja,
Murtilaksono, Rachman, 1991).
Kemampuan tanah untuk menyerap air infiltrasi pada suatu saat dinamai kapasitas
infiltrasi (infiltration capacity) tanah. laju perkolasi adalah banyaknya air melalui
penampang profil tanah per satuan waktu, dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam.
Kapasitas perkolasi adalah kemampuan profil tanah melalukan air di dalam profil tanah.
Infiltrasi dan perkolasi berhubungan erat. Laju infiltrasi tanah yang jenuh tidak dapat
melampaui laju perkolasi. Laju infiltrasi ditentukan oleh besarnya kapasitas infiltrasi dan
laju penyediaan air. Selama intensitas hujan (laju penyediaan air) lebih kecil dari kapasitas
infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan intensitas hujan. Jika intensitas hujan
melampaui kapasitas infiltrasi terjadilah genangan air dipermukaan tanah atau aliran
permukaan (Arsyad, 2010).
Menurut Asdak (2010) bahwa mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang
tidak saling mempengaruhi, yaitu: a). Proses masuknya air hujan melalui pori-pori
14
permukaan tanah. b). Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah. c). Proses
mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas). Meskipun tidak saling
mempengaruhi secara langsung, ketiga proses tersebut saling terkait. Infiltrasi merupakan
bagian dari siklus hidrologi yang mempunyai peranan penting dalam berbagai aspek
kehidupan yang berkaitan dengan ketersediaan air. Infiltrasi juga dapat dimanfaatkan
untuk pertimbangan perkiraan potensi kekeringan, aliran permukaan, erosi dan
pertimbangan kegiatan-kegiatan tertentu (Haridjaja, Murtilakso, Rachman, 1991). Lebih
lanjut mengetahui Jury, dan Horton, (2004) bahwa pada awal infiltrasi, air yang meresap
ke dalam tanah mengisi kekurangan kadar air tanah. Setelah kadar air tanah mencapai
kadar air kapasitas lapang, maka kelebihan air akan mengalir ke bawah menjadi cadangan
air tanah (ground water). Ketersediaan air di dalam tanah sangat berpengaruh pada
perubahan tata guna lahan di suatu daerah, dan berdampak pada daerah resapan air hujan
(Hudson, 1976; Raghunath, 1985). Penggunaan metode infiltrasi diharapkan dapat
menduga infiltrasi dengan cepat dan tepat, yang selanjutnya dapat digunakan dalam
pengelolaan air irigasi, pendugaan erosi dan limpasan permukaan (Dhalhar, 1972 dalam
Hillel, 1980).
2.3.2 Mekanisme Pengukuran Laju Infiltrasi
Pengukuran infiltrasi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain; yaitu
dengan infiltrometer. Infiltrometer dalam bentuk yang paling sederhana terdiri atas
tabung baja yang ditekankan kedalam tanah. Permukaan tanah di dalam tabung diisi air.
Tinggi air dalam tabung akan menurun, karena proses infiltrasi. Kemudian banyaknya air
yang ditambahkan untuk mempertahankan tinggi air dalam tabung tersebut harus diukur.
Makin kecil diameter tabung makin besar gangguan akibat aliran ke samping di bawah
15
tabung. Dengan cara ini infiltrasinya dapat dihitung dari banyaknya air yang ditambahkan
ke dalam tabung sebelah dalam per satuan waktu. Testplot, pengukuran infiltrasi dengan
infiltrometer hanya dapat dilakukan terhadap luasan yang kecil saja, sehingga sukar untuk
mengambil kesimpulan terhadap besarnya infiltrasi bagi daerah yang lebih luas. Untuk
mengatasi hal ini dipilih tanah datar yang dikelilingi tanggul dan digenangi air. Daya
infiltrasinya didapat dari banyaknya air yang ditambahkan agar permukaannya konstan.
Jadi testplot sebenarnya adalah infiltrometer yang berskala besar. Terakhir dengan
lysimeter merupakan alat pengukur berupa tangki beton yang ditanam dalam tanah diisi
tanah dan tanaman yang sama dengan sekelilingnya, dilengkapi dengan fasilitas drainase
dan pemberian air.
Pengukuran infiltrasi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang besaran
dan laju infiltrasi serta variasi sebagai fungsi waktu. Cara pengukuran yang dapat
dilakukan adalah dengan pengukuran lapangan menggunakan alat infiltrometer (David,
Fauzi, Sandhyavitri, 2016). Infiltrometer merupakan suatu tabung baja silindris pendek,
berdiameter besar (atau suatau batas kedap air lainnya) yang mengitari suatu daerah dalam
tanah (Seyhan, 1990). Ring infiltrometer utamanya digunakan untuk menetapkan infiltrasi
kumulatif, laju infiltrasi, dan kapasitas infiltrasi. Ada dua bentuk ring infiltrometer, yaitu
single ring infiltrometer dan double atau concentric-ring infiltrometer. Single ring
infiltrometer umunya berukuran diameter 10-50 cm dan panjang atau tinggi 10-30 cm.
Ukuran double ring infiltrometer adalah ring pegukur/ring dalam umunya berdiameter 10-
20 cm, sedangkan ring bagian luar (ring penyangga/buffer ring) berdiameter 50 cm (Balai
Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2006). Pada dasarnya tidak ada perbedaan
antara single ring infiltrometer dan double, pengukuran dengan single ring infiltrometer
16
dapat menggunakan lingkaran tengah double ring infitrometer. Hanya saja yang
membedakan kedua alat tersebut adalah pendekatanya dimana untuk double ring
infiltrometer, ring bagian luar bertujuan untuk mengurangi pengaruh batas dari tanah agar
air tidak dapat menyebar secara lateral dibawah permukaan tanah (David, Fauzi,
Sandhyavitri, 2016).
Gambar 2. 1. Doubel Ring Infiltrometer
Singh (1989) menyajikan beberapa model infiltrasi yang telah diusulkan dan
digunakan pada kebanyakan analisa hidrologi dan hidraulik yang berkaitan dengan sistem
keairan. Model - model tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelas yakni : (1)
model empiris, dan (2) model konseptual. Model empiris menyatakan kapasitas infiltrasi
sebagai fungsi waktu. Dimana kadar lengas tanah memiliki sifat dinamis terhadap waktu,
sehingga laju infiltrasi ditentukan oleh kondisi lengas tanah mula-mula saat proses
infiltrasi mulai terjadi. Adapun model- model empiris infiltrasi diantaranya adalah model
Kostiakov, model Horton, model Holtan dan model Overton. Sedangkan model
konseptual yang menganalogikan proses infiltrasi sebagai faktor terinterasi dengan aspek
hidrologi lain. Beberapa model konseptual adalah model SCS, model HEC, model Philip,
dan model Hidrograf. Dari beberapa model tersebut yang sangat sering digunakan dalam
penelitian adalah model empiris Horton, Model Horton adalah salah satu model infiltrasi
yang terkenal dalam hidrologi. Kapasitas infiltrasi berkurang seiring dengan
bertambahnya waktu hingga mendekati nilai yang konstan. Infiltrasi membagi curah hujan
17
menjadi dua yaitu menyerap kedalam tanah dan sisanya menjadi limpasan atau terjadi
penguapan. Perubahan di permukaan tanah dapat mempengaruhi infiltrasi. Ketika
intensitas curah hujan kurang dari kapasitas infiltrasi, semua air mencapai tanah dapat
menyerap. Tetapi jika intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi, infiltrasi akan terjadi
hanya pada tingkat kapasitas infiltrasi, dan air yang melebihi kapasitas infiltrasi akan
menjadi limpasan permukaan, atau menguap.
2.4 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Laju Infiltrasi
Laju infiltrasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor , salah satunya keberadaan
vegetasi pada lahan, dan kondisi tanah di lapangan yaitu sifat fisik tanah seperti
struktur,tekstur, porositas, kadar air dan kerapatan tanah. Sifat fisik tanah sangat
berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Selain itu laju infiltrasi dapat juga dipengaruhi oleh
vegetasi. Pada lahan yang memiliki kerapatan vegetasi tinggi akan memiliki laju infiltrasi
yang tinggi pula dan sebaliknya pada lahan yang memiliki kerapatan vegetasi yang rendah
laju infiltrasinya rendah. Menurut Maryono (2004) infiltrasi berubah - ubah sesuai dengan
intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai batasnya, banyaknya infiltrasi akan
berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorbsi setiap tanah. Selain intensitas curah
hujan, infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan udara yang
terdapat dalam tanah. Proses infiltrasi bisa terjadi di semua permukaan bumi termasuk di
hutan, namun pada masing -masing lahan hutan memiliki laju infiltrasi yang berbeda.
Berikut penjelasan lebih spesifik mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi laju
infiltrasi.
18
2.4.1 Struktur Tanah
Laju infiltrasi dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, jenis liat, tutupan tajuk vegetasi,
tindakan pengolahan tanah dan laju penyediaan air. Secara langsung, laju infiltrasi
dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi dan laju penyediaan. Kapasitas infiltrasi ditentukan
oleh struktur dan tekstur tanah. Unsur struktur tanah yang terpenting adalah ukuran,
jumlah dan distribusi pori, serta kemantapan agregat tanah (Haridjaja, Murtilakso, dan
Rachman, 1991).
Struktur merupakan kenampakan bentuk atau susunan partikel partikel primer
tanah (pasir, debu, dan liat individual) hingga partikel partikel skunder (gabungan partikel
partikel primer yang disebut ped (gumpalan) yang membentuk agregat (bongkah). Tanah
yang partikel partikelnya belum bergabung, terutama yang bertekstur pasir, disebut tanpa
struktur atau berstruktur lepas, sedangkan yang berstruktur liat, yang terlihat massif (padu
tanpa ruang pori, yang lembek jika basah dan keras jika kering) apabila dilumat dengan air
membentuk pasta disebut juga tanpa struktur. Struktur tanah berfungsi memodifikasi
pengaruh tekstur terhadap kondisi drainase atau aerasi tanah, karna susunan antar ped atau
agregat tanah akan menghasilkan ruang yang lebih besar dibanding antar partikel primer.
Oleh karna itu tanah yang berstruktur baik akan memiliki kondisi drainase dan aerasi yang
baik pula, sehingga lebih memudahkan sistem perakaran tanaman untuk berpenetrasi dan
mengasorpsi (menyerap) hara dan air sehingga pertumbuhan dan produksi lebih baik
(Hanafiah, 2007).
2.4.2 Tekstur Tanah
Tekstur adalah perbandingan fraksi pasir, debu, dan liat dalam massa tanah yang
ditentukan di laboratorium. Definisi dari tekstur tanah adalah susunan relatif dari tiga
19
ukuran zarah tanah, yaitu: pasir berukuran 2 mm–50 μm, debu berukuran 50–2 μm, dan
liat berukuran < 2 μm (Soil Survey Staff, 2012). Terdapat 13 kelas tekstur tanah, yaitu: