UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE) DALAM PEMBUKTIAN SIDANG PERKARA PERDATA SKRIPSI RIEYA APRIANTI 0806461783 FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA DEPOK JULI, 2012 Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
143
Embed
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN … yuridis.pdfHukum Program Kekhusuan Praktisi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE)
DALAM PEMBUKTIAN SIDANG PERKARA PERDATA
SKRIPSI
RIEYA APRIANTI 0806461783
FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA
DEPOK JULI, 2012
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE)
DALAM PEMBUKTIAN SIDANG PERKARA PERDATA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
RIEYA APRIANTI 0806461783
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN PRAKTISI HUKUM DEPOK
JULI, 2012
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Rieya Aprianti
NPM : 0806461783
Tanda Tangan :
Tanggal : 10 Juli 2012
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Rieya Aprianti
NPM : 0806461783
Program Studi : Ilmu Hukum (Praktisi Hukum)
Judul : “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE) DALAM PEMBUKTIAN SIDANG PERKARA PERDATA“ Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Praktisi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI Pembimbing : Sri Laksmi Anindita, S. H., M. H. (.................................)
Pembimbing : Disriani Latifah, S. H., M.H., M. Kn. (.................................)
Penguji : Chudry Sitompul, S. H., M. H. (.................................)
Penguji : Sonyendah Retnaningsih, S. H., M. H. (.................................)
Penguji : Febby Mutiara Nelson, S. H., M. H (.................................)
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 10 Juli 2012
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana
Hukum Program Kekhusuan Praktisi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan, serta doa dari
berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini,
sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
(1) Yth. Bapak Chudry Sitompul, S.H., M.H. selaku Ketua Program
Kekhususan III Praktisi Hukum yang telah meloloskan judul skripsi penulis,
sehingga penulis dapat memulai penyusunan skripsi dengan topik yang
penulis angkat ini;
(2) Yth. Ibu Sri Laksmi Anindita, S.H., M.H. selaku pembimbing materi yang
dari awal hingga akhir selalu memberikan masukan kritis guna
memperlancar dan menghasilkan materi skripsi yang baik dan terarah.
Penulis sangat kagum dengan beliau yang sangat teliti dan cermat dalam
memeriksa dan mengoreksi kata per kata, lembar demi lembar, dan
membantu mensinkronisasi tulisan penulis dari satu bab ke bab lainnya
dalam skripsi ini. Beliau juga selalu memberikan ‘pekerjaan rumah’ pada
saat bimbingan, yang bahkan sering menanyakan materi-materi dasar untuk
menguji kemampuan penulis dalam menjawab pertanyaan pada saat
bimbingan. Tanpa beliau, skripsi ini mungkin tidak akan pernah selesai dan
dapat diuji sebagai sebuah karya ilmiah. Terima kasih Mbak Amy atas
keikhlasannya menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan
Zikry, Alldo Felix Januardy, Fenny Marlinda, Gusnandi Arief, dan
Ferny Melissa Tobing.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
viii
(13) Senior-senior dalam komunitas peradilan semu, Dodik Setyo Wijayanto
yang sangat berjasa dalam mendidik penulis tanpa pamrih untuk mengetahui
praktik peradilan yang ideal maupun senyata-nyatanya di lapangan, bahkan
sedikit banyak juga membantu penulis dalam mendapatkan materi maupun
bahan skripsi ini; Rian Hidayat yang pertama kali memperkenalkan penulis
dalam kerasnya dunia peradilan semu dengan semboyannya ‘datang saat
langit masih biru, pulang langit sudah biru lagi’; Yizreel Alexander
Sianipar, senior yang menjadi role model penulis yang dengan sabar
melatih tentang bagaimana menjalankan peran menjadi seorang penuntut
umum yang ideal (cool-but-pierce prosecutor); Nicolas Roni yang
senantiasa memberikan kritikan ‘pedas’ dan tajam kepada penulis, bahkan
sangat ‘pelit’ pujian karena semata-mata untuk mendorong penulis menjadi
lebih baik lagi; Riki Susanto dan Fernandes Raja Saor yang memberi
inspirasi kepada penulis tentang ilmu padi ‘semakin berisi maka semakin
merunduk’, memberi inspirasi mengenai ilmu kehidupan yang hanya dapat
diperoleh dari pengalaman dan kebijaksanaan, yang juga mengajarkan
bahwasanya tidak ada seorang pun yang bisa menjadi orang hebat tanpa
bantuan dari orang-orang kecil; Nancy Setiawati Silalahi, Grace Hutapea,
Ronaldlionar Sitohang, Togar Tanjung, Willy P. Wibowo, dan Felix
Suranta Tarigan;
(14) Rekan-rekan sesama PK III, Devina Puspita yang sedikit banyak telah
direpotkan oleh penulis untuk bertanya hal-hal kecil namun penting artinya;
Fransiscus Manurung, Handiko Natanael Nainggolan, Hangkoso Satrio
Wibowo, Sari Hadiwinoto, Hanna Luciana Marbun, dan Frans Ricardo
Pardede yang sama-sama berjuang menyusun skripsi di program
kekhususan praktisi hukum;
(15) Teman-teman MCC UDAYANA ‘Indonesia Against Transnational Crime’,
Yizreel Alexander Sianipar, Hersinta Setiarini, Lulu Latifah, Puspita
Rani, Anugerah Rizki Akbari, Adam Khaliq Soelaeman, Andreas
Aditya Salim, M. Tanziel Aziezi, Arief Raja Jacob Hutahaean,
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
ix
Damianagatayuvens, Darma Zendrato, Nardo Silalahi, Ahmad Rashed
Haidar, dan Lidya Alide Manalu;
(16) Teman-teman MCC UNPAD ‘National Human Rights’, Gede Aditya
Pratama, Arief Raja Jacob Hutahaean, Endah Dewi Purbasari,
Fransiscus Manurung, Mahiswara Timur, Jesi Karina, Aria Bahana,
Aga P. Samuel Marpaung, Rainer Faustine Jonathan, Yohan Misero,
Gusnandi Arief Haliadi, Muhammad Bonar, Ridho Suryadana, Devi
Darmawan, Ferny Melissa Tobing, Rachmawati Putri, dan Muhammad
Rafi.
(17) Junior-junior penulis, Hesky Manurung dan Yohan Misero yang seringkali
dimintai bantuan oleh penulis baik dalam perkuliahan maupun saat lomba
mooting; Diyana Theresia, Agung Kurnia Saputra, dan Muhammad
Rafi yang pernah bekerja sama dengan penulis dalam menjalani pahit manis
dunia peradilan semu; Arini Faradinna dan Frederick Angwyn yang
senantiasa ramah dengan senyuman khasnya; serta Christine Elisia Wijaya
yang juga sedang berjuang mewujudkan impian untuk lulus 3 tahun dari
FHUI tercinta;
(18) Teman-teman MCC UII, MCC UNAIR, dan MCC Mahkamah Konstitusi
2011;
(19) Terakhir, penulis ucapkan terima kasih tak terhingga kepada (Almarhum)
Bapak tercinta yang semasa hidupnya tidak pernah letih berdoa dan
berkorban. Seribu maaf rasanya tidak akan pernah cukup dituturkan oleh
penulis yang belum sempat membalas kebaikan beliau sedikitpun di masa-
masa hidupnya. Penyesalan mungkin akan selalu ada di hati penulis yang
bahkan tidak sempat melihat detik-detik terakhir hembusan nafasnya.
Semoga engkau selalu diberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya dan
diberikan kebahagiaan yang kekal di akhirat nanti. Wahai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha lagi diridhai-Nya.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
x
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Depok, 10 Juli 2012
Penulis
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
xi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Rieya Aprianti
NPM : 0806461783
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Praktisi Hukum (PK III)
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN
PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE) DALAM PEMBUKTIAN
SIDANG PERKARA PERDATA”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 10 Juli 2012
Yang Menyatakan,
(Rieya Aprianti)
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
xiii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Rieya Aprianti
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : “TINJAUAN YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE) DALAM PEMBUKTIAN SIDANG PERKARA PERDATA” Dalam perkara perdata seringkali ada obyek sengketa yang tidak dapat dihadirkan di muka persidangan, oleh karena itu perlu dilakukan sidang pemeriksaan setempat (descente) oleh hakim karena jabatannya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan rinci mengenai obyek sengketa yang dapat dijadikan bahan oleh hakim dalam pertimbangan saat menjatuhkan putusan. Berdasarkan latar belakang tersebut, ada dua pokok permasalahan yang diangkat oleh penulis, yaitu (1) bagaimana kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat sebagai salah satu pendukung alat bukti dalam perkara perdata; (2) Bagaimana pertimbangan hakim dalam menilai kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat tersebut? Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder atau studi kepustakaan dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Dari penelitian yang dilakukan, hasil pemeriksaan setempat pada hakekatnya merupakan fakta persidangan yang dapat digunakan sebagai keterangan bagi hakim. Dengan demikian, pemeriksaan setempat memiliki kekuatan pembuktian bebas yaitu tergantung pada hakim dalam menilai kekuatan pembuktiannya. Kata kunci: pemeriksaan setempat, descente, kekuatan pembuktian
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
xiv
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Rieya Aprianti
Study Program : Legal Studies
Title : “LEGAL ANALYSIS ON LOCAL INVESTIGATION IN CIVIL PROCEDURE”
In civil cases there is often a subject of dispute that can’t be presented in a court of law, therefore it is necessary for a local investigation (descente) by a judge because of his position to get a clearee picture and detail information on the subject of dispute that can be taken into consideration by judges when verdict. Based on this background, there are two principal issues raised by the author; (1) How the strenght of local investigation as one of the supporting evidence in civil procedure, (2) How does the judge considered in assessing the strenght of the evidence the local investigation? The research methods used by the authors is a juridical-normative method that uses secondary data or library research using primary legal materials, secondary, and tertiary. From research conducted, the results of the local court is essentially a fact that can be used as evidence for the judge. Thus, the local investigation has the power that is free of evidence depends on the judge in assessing the strength of evidence. Key words : local investigation, descente, the strength of evidence
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
xv
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................. iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................... xi ABSTRAK .................................................................................................... xiii ABSTRACT .................................................................................................... xiv DAFTAR ISI ................................................................................................. xv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Pokok Permasalahan ............................................................................ 8 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8 1.4. Definisi Operasional............................................................................. 9 1.5. Metode Penelitian................................................................................. 10 1.6. Sistematika Penulisan .......................................................................... 12 BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA 2.1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Acara Perdata ................................. 14
2.1.1 Pengertian Hukum Acara Perdata ............................................ 14 2.1.2 Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata ................................... 16 2.1.3 Asas-Asas dalam Hukum Acara Perdata ................................. 21
2.2. Hukum Pembuktian Pada Pemeriksaan Perkara Perdata ..................... 26 2.2.1. Pengertian Pembuktian............................................................. 27 2.2.2. Prinsip-Prinsip Umum Pembuktian ......................................... 30 2.2.3. Sistem Pembuktian ................................................................... 39 2.2.4. Beban Pembuktian ................................................................... 41
2.3. Tinjauan Umum Mengenai Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata . 46 2.3.1. Alat Bukti Surat ....................................................................... 46
2.3.1.1. Akta ........................................................................... 48 2.3.1.2. Surat Bukan Akta ...................................................... 55
2.3.2. Alat Bukti Saksi ....................................................................... 57 2.3.3. Alat Bukti Persangkaan ............................................................ 60
2.3.3.1. Persangkaan Menurut Undang-Undang .................... 61 2.3.3.2. Persangkaan Berdasarkan Keyakinan Hakim ........... 62
2.3.4. Alat Bukti Pengakuan .............................................................. 63 2.3.4.1. Pengakuan Murni ...................................................... 66 2.3.4.2. Pengakuan dengan Kualifikasi .................................. 67 2.3.4.3. Pengakuan dengan Klausula ..................................... 67
BAB 3 PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMBUKTIAN SIDANG PERKARA PERDATA DI INDONESIA 3.1. Tinjauan Mengenai Pemeriksaan Setempat dalam Hukum Acara
Perdata .................................................................................................. 76 3.1.1. Pengaturan Tentang Pemeriksaan Setempat Dalam
3.2. Pemeriksaan Setempat Sebagai Salah Satu Pendukung Alat Bukti dalam Pembuktian Sidang Perkara Perdata.......................................... 93
3.3. Kekuatan Pembuktian Pemeriksaan Setempat dalam Hukum Acara Perdata .................................................................................................. 94
BAB 4 ANALIS KASUS 4.1. Analisis Putusan Nomor 31/Pdt.G/2006/PN.Jr .................................... 99
4.1.1. Kasus Posisi ............................................................................. 99 4.1.2. Analisis Kasus .......................................................................... 102
4.2. Analisis Putusan Nomor 18/Pdt.G/2011/PN.Tmk ............................... 111 4.2.1. Kasus Posisi ............................................................................. 111 4.2.2. Analisis Kasus .......................................................................... 114
BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 119 5.2. Saran ..................................................................................................... 121 DAFTAR REFERENSI ................................................................................ 122
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dari keseluruhan tahap persidangan perkara perdata, maka pembuktian
merupakan tahap spesifik dan menentukan.1 Dikatakan spesifik, karena pada tahap
pembuktian ini para pihak diberi kesempatan untuk menunjukkan kebenaran
terhadap fakta-fakta hukum yang menjadi titik pokok sengketa. Sedangkan
disebut sebagai tahap menentukan, dikarenakan hakim dalam rangka proses
mengadili dan memutus perkara tergantung terhadap pembuktian para pihak di
persidangan.
Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang
amat penting dan sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan
kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan
merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu
kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses
peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate absoluth),
tetapi bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan
(probable), namun untuk mencari kebenaran yang demikian tetap menghadapi
kesulitan.2
Menurut Krisna Harahap, prinsip umum pembuktian adalah :
“Landasan penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud. Memang di samping itu, masih terdapat lagi prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk setiap jenis alat bukti, sehingga harus dijadikan patokan dalam penerapan
1 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia,
(Jakarta : Djambatan, 1999), hal. 150.
2 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 498.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
2
Universitas Indonesia
sistem pembuktian. Namun apa yang dibicarakan dalam prinsip umum, merupakan kekuatan yang berlaku bagi sistem pembuktian secara umum.”3
Seperti kita ketahui, hukum acara atau hukum formil bertujuan untuk
memelihara dan mempertahankan hukum materiil. Secara formal hukum
pembuktian mengatur bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat dalam
Het Herziene Indonesisch Reglement yang selanjutnya disingkat HIR dan
Rechtglement Buitengewesten yang selanjutnya disingkat dengan R.Bg, sedangkan
secara materiil, hukum pembuktian itu mengatur bagaimana diterima atau
tidaknya pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan, serta kekuatan
pembuktian dari alat-alat bukti itu.
Dalam menyelesaikan perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah
menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar
ada atau tidak. Untuk itu, hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang
bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian
bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk
menetapkan hubungan hukum antara kedua pihak dan menetapkan putusan
berdasarkan hasil pembuktian.4 Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, hakim
terikat pada alat-alat bukti yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan diajukan oleh para pihak di persidangan. Berdasarkan hal tersebut, maka
keyakinan hakim bukanlah merupakan hal yang esensial dalam menentukan
kebenaran suatu peristiwa. Berbeda halnya dengan hukum acara pidana yang
menggariskan bahwa selain berdasarkan alat-alat bukti yang sah sesuai peraturan
perundang-undangan, keyakinan hakim mutlak diperlukan untuk menentukan
apakah terdakwa memang bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana. Di dalam tradisi hukum Anglo-Saxon seperti di Inggris, perbedaan antara
perkara perdata dan pidana ini disebut dengan terminologi yang berbeda, yaitu
3 Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata : Mediasi, Class Action, Arbitrase & Alternatif,
(Bandung : Grafiti, 2008), hal. 67.
4 Tata Wijayanta, et. al., Laporan Penelitian Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif Serta Relevansinya Terhadap Konsep Kebenaran Formal, (Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2009), hal. 1.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
3
Universitas Indonesia
preponderance of evidence dan beyond reasonable doubt.5 Dalam bahasa yang
sudah dikenal secara populer, ahli hukum mengontraskan kebenaran yang
diperoleh dari proses acara perdata dari kebenaran menurut proses acara pidana
dengan istilah “pencarian kebenaran formal” dan “pencarian kebenaran material”.
Secara umum, beban pembuktian yang dianut oleh hukum acara di
Indonesia adalah beban pembuktian yang berasaskan bahwa “siapa yang
mendalilkan, maka wajib untuk membuktikannya, begitu pula dengan yang
membantah hak orang lain wajib untuk membuktikannya”.6 Asas tersebut dapat
ditemukan dalam Pasal 163 HIR yang berbunyi :
“Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.” 7
Serta Pasal 1865 KUH Perdata yang berbunyi :
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain maka menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” 8
Ketentuan dalam Pasal 163 HIR dan Pasal 1865 KUH Perdata merupakan
suatu pedoman bagi hakim dalam menentukan beban pembuktian, akan tetapi
apabila hakim mutlak mengikuti aturan tersebut, maka akan menimbulkan beban
pembuktian yang berimbang antara para pihak. Kebenaran suatu peristiwa hanya
dapat diperoleh melalui proses pembuktian ini dan untuk dapat menjatuhkan
5 Sri wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di
Indonesia, (Yogyakarta : Gama Media, 2007), hal. 12.
6 R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, (Bogor : Politeia, 1995), hal. 119.
7 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, (Bogor : Politeia, 1992), Pasal 163.
8 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2008), Pasal 1865.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
4
Universitas Indonesia
putusan yang adil, maka hakim harus mengenal peristiwa yang telah dibuktikan
kebenarannya.9
Hukum acara perdata mengenal bermacam-macam alat bukti. Sedangkan
menurut hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang
berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat
bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam hukum
acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam
Pasal 164 HIR10 dan Pasal 1866 KUH Perdata11, yaitu :
a. Bukti surat;
b. Bukti saksi;
c. Persangkaan;
d. Pengakuan; dan
e. Sumpah.
Adapun sistem pembuktian dalam perkara perdata, dijelaskan oleh M.
Yahya Harahap12 ke dalam fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata
hanya terbatas :
1. mencari dan menemukan kebenaran formil,
2. kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung.
Sehubungan dengan sikap pasif hakim, sekiranya hakim harus yakin
bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi apabila
penggugat tidak mampu mengajukan bukti tentang kebenaran yang diyakininya,
maka hakim harus menyingkirkan keyakinan itu, dengan menolak kebenaran dalil
gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam persidangan.13 Tugas hakim
9 Sudikno Mertokusumo (a), Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh,
(Yogyakarta : Liberty, 2006), hal. 132.
10 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, op. cit., Pasal 164.
11 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1866.
12 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 499.
13 Ibid..
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
5
Universitas Indonesia
adalah menerapkan hukum atau undang-undang. Dalam sengketa yang
berlangsung di muka hakim, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang
saling bertentangan. Di sini hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil
manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan
duduknya perkara yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya itu, hakim dalam
amar atau diktum putusannya, memutuskan siapakah yang dimenangkan dan
siapakah yang dikalahkan. Dalam melaksanakan pemeriksaan tadi, hakim harus
mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang merupakan hukum
pembuktian. Ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-
wenangan (willekeur) akan timbul apabila hakim dalam melaksanakan tugasnya
itu diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, walaupun
itu sangat kuat dan sangat murni.14 Keyakinan hakim itu harus didasarkan pada
sesuatu yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti sebagaimana yang telah
disebutkan di atas. Dengan alat bukti ini masing-masing pihak berusaha
membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada hakim yang
diwajibkan memutuskan perkara.
Proses pembuktian sebagai salah satu proses acara dalam hukum perdata
formil menjadi salah satu proses yang paling penting. Suatu perkara di pengadilan
tidak dapat diputus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Pembuktian
dalam arti yuridis sendiri tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang
mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa pengakuan,
kesaksian atau surat-surat yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa
kemungkinan tidak benar palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa
setiap perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak.15
Tidak jarang dalam kasus perdata yang menekankan pada pencarian
kebenaran formil yakni melalui alat bukti surat justru menemui kesulitan. Dalam
pencarian kebenaran formil melalui pembuktian di sidang perkara perdata, ada
14 Subekti (a), Hukum Acara Perdata, Cet. Ketiga, (Bandung : Binacipta, 1989), hal. 79.
15 Eman Suparman, “Alat Bukti Pengakuan Dalam Hukum Perdata.” http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/2F%20Makalah-Alat-Bukti-Kump.pdf, 14 Mei 2010, diunduh 23 Maret 2012.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
6
Universitas Indonesia
kalanya hakim menemui kesulitan-kesulitan dalam hal alat-alat bukti yang satu
bertentangan dengan alat bukti lain yang diajukan oleh kedua belah pihak yang
bersengketa. Dalam sengketa tanah misalnya, seringkali ditemukan perbedaan
mengenai fakta atau dalil yang diajukan oleh baik penggugat ataupun tergugat.
Tak jarang mengenai luas, batas, dan keadaan tanah yang dikemukan masing-
masing pihak bertentangan satu sama lain. Hal ini bertambah pelik karena apa
yang menjadi obyek sengketa tidak dapat dihadirkan di muka persidangan. Dalam
hal ini maka untuk menjatuhkan putusan yang adil maka sudah seharusnya apabila
hakim melakukan pemeriksaan setempat guna memperoleh fakta-fakta yang
sebenarnya.
Dalam acara perdata, terdapat dua tindakan hukum atau permasalahan
hukum yang erat kaitannya dengan pembuktian. Untuk menguatkan atau
memperjelas fakta atau peristiwa maupun objek barang perkara, salah satu atau
kedua tindakan hukum itu sering dipergunakan atau diterapkan. Misalnya, untuk
menentukan secara pasti dan definitif lokasi, ukuran dan batas atau kuantitas dan
kualitas objek barang terperkara, peradilan sering menerapkan Pasal 153 HIR,
Pasal 180 R.Bg, dan Pasal 211 Rv dengan jalan memerintahkan pemeriksaan
setempat (plaatsopneming).16
Menurut Pasal 153 HIR yang menentukan bahwa :
“Bila ketua menganggap perlu dapat mengangkat seorang atau dua orang komisaris dari majelis, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan setempat dan melakukan pemeriksaan yang dapat memberi keterangan kepada hakim.” 17
Hal ini menentukan bahwa jika hakim memang memerlukan keterangan yang
dapat diperoleh dari benda yang tidak bisa dihadirkan dalam persidangan, maka
dapat mengangkat seorang wakil untuk melakukan pemeriksaan setempat.
Namun pemeriksaan setempat yang dilaksanakan oleh hakim karena
jabatannya ini pasti menemui kesulitan-kesulitan, sehingga hakim harus
16 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 779.
17 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, op. cit., Pasal 153.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
7
Universitas Indonesia
mempertimbangkan benar untuk mengadakan pemeriksaan setempat, yang
nantinya hasil dari pemeriksaan setempat tersebut merupakan hasil yang benar-
benar objektif untuk dijadikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Kesulitan-kesulitan tersebut mungkin dapat timbul dikarenakan pihak-
pihak yang berperkara memiliki pandangan serta pendapat sendiri terhadap
kesaksian yang diajukan pada majelis untuk membela dalilnya masing-masing.
Hakim tentunya telah memiliki pertimbangan lain sehingga hakim memutuskan
untuk memeriksa benda yang berada di luar pengadilan. Pemeriksaan setempat
tersebut dapat diajukan berdasarkan putusan baik atas permintaan para pihak
maupun atas kehendak hakim sendiri karena jabatannya sebagaimana tertuang
dalam Pasal 211 Rv.
Dalam pemeriksaan setempat, hakim berkedudukan sebagai pelaksana
pemeriksaan, walaupun pada dasarnya hakim dapat mengangkat seorang atau dua
orang komisaris dari majelis yang mana mereka memiliki tugas melihat keadaan
yang sebenarnya di lapangan. Akan tetapi hakim akan lebih yakin tentunya jika
hakim dapat melihat sendiri keadaan yang sebenarnya terjadi, sebab fungsi dari
pemeriksaan setempat tersebut merupakan alat bukti yang bebas. Artinya
kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim.18 Semua yang akan dijadikan
alat bukti tidak seluruhnya dapat dihadirkan di muka persidangan, seperti halnya
dalam kasus sengketa tanah yang objeknya tanah. Akan sulit kiranya kalau mau
membawa objek dari luar pengadilan ke pengadilan, dengan demikian maka akan
dilakukan pemeriksaan setempat (descente).
Pemeriksaan setempat mempunyai makna yang penting sebenarnya baik
untuk pihak-pihak yang berperkara maupun untuk hakim sebagai eksekutor dalam
sebuah perkara perdata. Bagi para pihak, dengan hakim melihat sendiri keadaan
sebenarnya, maka diharapkan putusan yang dijatuhkan akan adil bagi kedua belah
pihak. Adil bukan berarti apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak semua
dikabulkan, akan tetapi adil dalam arti sesuai dengan porsi yang seharusnya
sebagaimana hak. Para pihak tidak dapat menolak jika hakim telah memutuskan
untuk melaksanakan pemeriksaan setempat, sebab itu merupakan bagian dari
18 Mashudy Hermawan, Dasar-dasar Hukum Pembuktian, (Surabaya : UMSurabaya,
2007), hal. 149.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
8
Universitas Indonesia
proses pembuktian dalam sebuah perkara. Bagi hakim, dengan melaksanakan
pemeriksaan setempat akan memberi pandangan tersendiri mengenai duduk
perkara yang sebenarnya selain mendengar keterangan dari saksi yang diajukan di
hadapan persidangan.
Memang terkadang sulit, apalagi yang disampaikan para pihak di hadapan
majelis sering terjadi perbedaan yang tajam, padahal hakim di pengadilan ingin
mengetahui fakta-fakta yang sebenarnya. Dengan kata lain, pemeriksaan setempat
merupakan usaha hakim untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
diajukan oleh pihak penggugat terhadap pihak tergugat. Sehingga, hakim haruslah
kreatif untuk mencari keterangan, dan hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius
curia novit) agar dapat menjatuhkan putusan.19 Semua putusan hakim harus
disertai alasan-alasan atau pertimbangan mengapa hakim sampai pada putusannya
itu. Alasan atau konsideran itu merupakan pertanggungjawaban hakim kepada
masyarakat atas putusannya itu. Hal-hal tersebutlah yang kemudian menjadi
pokok pemikiran penulis untuk membahasnya lebih lanjut dalam skripsi ini.
1.2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka
yang menjadi pokok permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian pada
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat sebagai salah satu
pendukung alat bukti dalam perkara perdata?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menilai kekuatan pembuktian
pemeriksaan setempat guna mendukung pembuktian dalam perkara perdata
(studi kasus putusan No. 31/Pdt.G/2006/PN.Jr dan putusan No.
18/Pdt.G/2011/PN.Tmk)?
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan penelitian secara
umum dan tujuan penelitian secara khusus, yaitu sebagai berikut :
19 Sudikno Mertokusumo (b), Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty,
2003), hal. 137.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
9
Universitas Indonesia
1.3.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memberikan
gambaran dan perkembangan baru dalam ilmu pengetahuan hukum, terutama
dalam bidang hukum acara perdata yang berkaitan dengan pemeriksaan setempat
(descente). Selain itu, penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk menambah dan
memperbanyak kepustakaan yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian
pemeriksaan setempat dalam perkara perdata, serta untuk menjabarkan apa saja
kendala-kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan
pemeriksaan setempat.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat sebagai salah
satu pendukung alat bukti dalam perkara perdata.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menilai kekuatan pembuktian
pemeriksaan setempat guna mendukung pembuktian dalam perkara perdata.
1.4. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penggambaran hubungan antara konsep-
konsep khusus yang akan diteliti.20 Dalam ilmu sosial, konsep diambil dari teori.
Dengan demikian kerangka konsep merupakan pengarah atau pedoman yang lebih
konkret dari kerangka teori dan mencakup definisi operasional atau kerja.21
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pokok permasalahan, akan diberikan
batasan mengenai pengertian atas beberapa masalah umum yang terkait dengan
permasalahan di atas. Pembatasan ini diharapkan dapat menjawab permasalahan
yang terkait dengan penelitian ini dan supaya terjadi persamaan persepsi dalam
memahami permasalahan yang ada.
20 Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 67.
21 Ibid, hlm. 67.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
10
Universitas Indonesia
1. Hukum acara perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara-caranya memelihara dan mempertahankan hukum perdata
materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya
mengajukan sesuatu perkara perdata.22
2. Pembuktian adalah suatu jalan guna mendapatkan suatu keputusan akhir
yang mana didalam pembuktian tersebut terdapat fakta-fakta yang
dibutuhkan oleh hakim. Dengan demikian maka tentang hukumnya tidak
perlu diberitahukan kepada hakim oleh para pihak, dan tidak perlu pula
untuk dibuktikan karena hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia
novit).23
3. Alat bukti adalah apa saja yang menurut undang-undang dapat dipakai
untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut
undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan benar atau tidaknya
suatu tuduhan/gugatan.24
4. Pemeriksaan setempat atau descente menurut Sudikno Mertokusumo ialah
pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang
dilakukan diluar gedung pengadilan atau di luar tempat kedudukan
pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau
keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang
menjadi sengketa.25
1.5. Metode Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dimana penelitian
merupakan penelitian hukum yang mendasarkan pada konstruksi data yang
dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Penelitian yuridis
normatif itu sendiri adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika ilmu hukum dari sisi normatifnya (menelaah norma
hukum tertulis), dimana penelitian ini menekankan pada penggunaan data
sekunder atau studi kepustakaan.26 Penelitian ini melihat pada asas-asas hukum
yang terdapat dalam HIR, RBg, KUH Perdata, dan Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat.
Ditinjau dari segi sifatnya, tipe penelitian ini adalah penelitian deskripstif
karena memberikan dan menjabarkan bagaimana kenyataan di lapangan mengenai
kekuatan pemeriksaan setempat sebagai pendukung alat bukti dalam pembuktian
dalam sidang perkara perdata. Penelitian deskriptif itu sendiri merupakan
penelitian yang memberikan gambaran secara umum yang dapat ditangkap oleh
panca indera atau menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.27
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari studi kepustakaan, berupa teori-teori, definisi, permasalahan,
pembahasan, serta pengaturan yang berkaitan dengan hukum acara perdata, sistem
pembuktian perkara perdata, dan kekuatan pemeriksaan setempat sebagai
pendukung alat bukti dalam sidang perkara perdata. Jenis bahan hukum yang
digunakan itu sendiri adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
yaitu KUH Perdata, HIR, RBg, dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun
2001 tentang Pemeriksaan Setempat. Sedangkan bahan hukum sekunder dalam
penelitian ini adalah buku-buku dalam tinjauan pustaka yang berkaitan dengan
penelitian ini serta artikel-artikel dan makalah yang berkaitan dengan penelitian
ini. Selain bahan hukum primer dan sekunder yang telah disebutkan, penelitian ini
juga menggunakan bahan hukum tersier yaitu kamus dan ensiklopedia.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
dokumen yang dilakukan dengan penelusuran literatur-literatur yang berkaitan
dengan penelitian ini. Dalam studi dokumen, penulis berusaha menghimpun
sebanyak mungkin berbagai informasi yang berhubungan dengan pemeriksaan
setempat dalam perkara perdata. Dengan demikian, diharapkan dapat
26 Sri Mamudji, et al., op. cit., hal. 3.
27 Ibid., hlm. 4.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
12
Universitas Indonesia
mengoptimalkan konsep-konsep dan bahan teoritis lain yang sesuai konteks
permasalahan penelitian, sehingga terdapat landasan yang dapat lebih menentukan
arah dan tujuan penelitian. Di samping pengumpulan data berbentuk studi
dokumen, penulis juga melakukan kegiatan wawancara. Wawancara adalah suatu
kegiatan komunikasi verbal dengan tujuan mendapatkan informasi, guna
mendapatkan gambaran yang menyeluruh, terutama informasi penting berkaitan
dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif yaitu mendalami
makna dibalik realitas atau tindakan atau data yang diperoleh dan yang diteliti
atau dipelajari adalah objek penelitian yang utuh.28 Data yang telah didapatkan
untuk penelitian, kemudian diolah dan dianalisis. Hasil pengolahan data dianalisis
dengan pendekatan kualitatif kemudian disajikan dalam hasil penelitian deskriptif-
analitis.
Adapun bentuk laporan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu
apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau
lisan dan perilaku nyata29 selain itu memberikan gambaran umum tentang gejala
dan menganalisisnya.
1.6. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan materi pada penulisan ini, maka penulis
membagi pembahasan menjadi lima bab dan bab-bab tersebut terdiri dari sub-sub
bab, sehingga sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
Bab 1 adalah bagian pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, pokok
permasalahan, tujuan penulisan yang terbagi ke dalam tujuan umum dan tujuan
khusus, definisi operasional, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab 2 akan membahas tentang tinjauan umum mengenai pembuktian
dalam hukum acara perdata di Indonesia yang terbagi dalam beberapa sub bab
antara lain mengenai tinjauan umum tentang hukum acara perdata itu sendiri yang
meliputi pengertian, sumber-sumber, dan asas-asas dalam hukum acara perdata,
28 Ibid, hal. 67.
29 Ibid.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
13
Universitas Indonesia
tinjauan umum mengenai pembuktian pada pemeriksaan perkara perdata meliputi
pengertian pembuktian, prinsip-prinsip hukum pembuktian, sistem pembuktian,
dan beban pembuktian. Dalam bab ini selanjutnya juga akan dibahas mengenai
tinjauan umum mengenai alat bukti dalam hukum acara perdata yang berlaku di
Indonesia.
Bab 3 akan membahas mengenai pemeriksaan setempat (descente) dalam
pembuktian sidang perkara perdata di Indonesia yang dibagi dalam beberapa
subbab yaitu tinjauan mengenai pemeriksaan setempat itu sendiri, penjelasan
mengenai pemeriksaan setempat sebagai salah satu pendukung alat bukti dalam
pembuktian sidang perkara perdata, serta kekuatan pembuktian pemeriksaan
setempat dalam hukum acara perdata.
Bab 4 akan membahas mengenai analisis pertimbangan hakim dalam studi
kasus No. 31/Pdt.G/2006/PN.Jr yang merupakan perkara perdata antara Herman
Raharja sebagai Penggugat, melawan Erfan Fadillah dan P. Rusdiam sebagai Para
Tergugat dan putusan No. 18/Pdt.G/2011/PN.Tmk yang merupakan perkara antara
Tiraun M. Pardosi sebagai Penggugat I, Richard Togar Lubis sebagai Penggugat
II, Martin Lubis sebagai Penggugat III, Purwoyo sebagai Penggugat IV, dan
Hasudungan Lubis melawan Yosepha Alomang sebagai Tergugat I dan Yustina
Kwalik sebagai Tergugat II.
Bab 5 merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran yang
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam pokok permasalahan.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
14
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM
ACARA PERDATA DI INDONESIA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata bisa juga disebut dengan hukum perdata formal,
namun sebutan hukum acara perdata lebih lazim dipakai daripada hukum perdata
formal. Hukum acara perdata atau hukum perdata formal sebetulnya merupakan
bagian dari hukum perdata. Sebab di samping hukum perdata formal, juga ada
hukum perdata materiil. Hukum materiil di negara kita, baik yang termuat dalam
suatu bentuk perundang-undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan
pedoman atau pegangan ataupun penuntun bagi seluruh warga masyarakat dalam
segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup, baik itu perseorangan,
masyarakat maupun dalam bernegara, apakah yang dapat ia lakukan dan apa yang
tidak boleh dilakukan.30
2.1.1 Pengertian Hukum Acara Perdata
Dalam literatur-literatur hukum acara perdata, ada berbagai macam
definisi hukum acara perdata dari para ahli yang satu sama lain memberikan
rumusan yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang
sama. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa :
“hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.”31
Sudikno Mertokusumo memberi batasan hukum acara perdata yaitu :
30 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Cet. Keempat, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005),
hal. 1.
31 Wirjono Prodjodikoro (a), Hukum Acara Perdata di Indonesia, Cet. Keenam, (Bandung : Sumur Bandung, 1975), hal. 13.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
15
Universitas Indonesia
“peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata merupakan peraturan yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih konkret lagi dapatlah dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya” 32
R. Soepomo tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi
tugas dan peranan hakim menjelaskan bahwasanya :
“Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara” 33
Sedangkan menurut pendapat Lilik Mulyadi dalam bukunya disebutkan
bahwa hukum acara perdata adalah :34
a. Peraturan hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses
seseorang mengajukan perkara perdata (burgerlijk vordering, civil suit)
kepada hakim/pengadilan;
b. Peraturan hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan
bagaimana proses hakim mengadili perkara perdata (burgerlijk vordering, civil
suit);
c. Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim “memutus”
d. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan
putusan hakim (executie).
Dengan melihat beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata
bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil. Dengan demikian
hukum acara perdata pada umumnya tidak membebani hak dan kewajiban seperti
yang termuat dalam hukum perdata materiil, tetapi memuat aturan tentang cara
32 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 2.
33 R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cet. Ketigabelas, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1994), hal. 13.
34 Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 3-5.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
16
Universitas Indonesia
melaksanakan dan mepertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat
dalam hukum perdata materiil, atau dengan perkataan lain untuk melindungi hak
perseorangan.
2.1.2 Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
Pada praktik peradilan perdata di Indonesia sebagai sumber dasar
penerapan hukum acara perdata terdapat pada berbagai peraturan perundang-
undangan. Hal ini terjadi karena belum adanya produk nasional tentang peraturan
hukum acara perdata seperti halnya pada hukum acara pidana melalui Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LNRI 1981-76, TLNRI
3209).
Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-Undang
No. 1 Drt Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil
maka dapatlah disebutkan bahwa sumber dasar penerapan hukum acara perdata
dalam praktik peradilan pada asasnya adalah sebagai berikut :
a. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement atau Reglemen Indonesia Baru,
Staatsblad 1941 No. 44)35
HIR merupakan hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah Jawa
dan Madura sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
RI No. 19 Tahun 1964 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1099
K/Sip/1972. HIR tidak hanya memuat ketentuan-ketentuan hukum acara
perdata saja, tetapi juga memuat ketentuan-ketentuan hukum acara pidana.
Namun dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana maka sebagian ketentuan HIR khusus yang mengatur
acara pidana dicabut.
Keseluruhan Pasal-Pasal HIR mengenai hukum acara perdata
terhimpun dalam satu bab yaitu Bab IX tentang “Perihal Mengadili Perkara
35 Dalam doktrin lazim disebut lengkap dengan : Reglement op de uit oefening van de
politie, de Burgerlijke rechtspleging en de Strafvordering onder de Indlanders en de Vremde Oostelingen of Java en Madura (Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan perkara pidana golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura).
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
17
Universitas Indonesia
Dalam Perkara Perdata yang Diperiksa Oleh Pengadilan Negeri” yang terdiri
dari :
- Bagian Pertama tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan (Pasal
118-161);
- Bagian Kedua tentang bukti (Pasal 162-177);
- Bagian Ketiga tentang musyawarah dan putusan (Pasal 178-187);
- Bagian Keempat tentang banding (Pasal 188-194);
- Bagian Kelima tentang menjalankan putusan (Pasal 195-224);
- Bagian Keenam tentang beberapa hal yang menjadi perkara-perkara yang
istimewa (Pasal 225-236);
- Bagian Ketujuh tentang izin berperkara tanpa ongkos (Pasal 237-245).
b. RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten, Staatsblad 1927 No. 227)
RBg merupakan hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah-
daerah luar Pulau Jawa dan Madura yang ditetapkan berdasarkan Ordonansi
11 Mei 1927 dan berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927. Ketentuan hukum acara
perdata termuat dalam Bab II yang terdiri dari tujuh titel dari Pasal 104 sampai
dengan Pasal 323. Titel I, II, III, VI, dan VII sudah tidak berlaku lagi
348) dan Reglement op de Rechtsterlijke Organisatie in het beleid der Justitie
in Indonesia (R.O. atau Reglemen tentang Organisasi Kehakiman, Staatsblad
1847 No. 23) merupakan sumber dasar penerapan hukum acara perdata dalam
praktik peradilan.
36 R. Soepomo, op. cit., hal. 11.
37 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I dan II, (Jakarta : Penerbit Mahkamah Agung RI, 1993/1994), hal. 126. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 12.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
19
Universitas Indonesia
e. Undang-Undang
- Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa
dan Madura;38
- Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo.
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985;
- Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-
Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2
Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986;
- Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan
pelaksanaannya.
f. Peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung
- Misalnya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan dan PERMA No. 2 Tahun 2002 tentang Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok.
- Sedangkan contoh beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung RI misalnya :
SEMA No. 09 Tahun 1976 tentang Gugatan Terhadap Pengadilan dan
Hakim, SEMA No. 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, SEMA No. 7 Tahun 1992
tentang Pengawasan dan Pengurusan Biaya-Biaya Perkara dan SEMA No.
5 Tahun 1994 tentang Biaya Administrasi.
g. Yurisprudensi
Mengenai pengertian yurisprudensi dikemukakan oleh beberapa ahli dalam
kepustakaan, antara lain disebutkan :39
38 Dengan adanya Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 ini, maka peraturan mengenai
banding dalam HIR Pasal 188-194 tidak berlaku lagi.
39 Pustaka Peradilan Jilid VIII, (Jakarta : Penerbit Proyek Pembinaan Teknis Yustisial MARI, 1995), hal. 146-147. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 14.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
20
Universitas Indonesia
1) Yurisprudensi adalah peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Poernadi
Poerbatjaraka dan Soerjono Soekanto).
2) Yurisprudensi yaitu ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh
peradilan (Kamus Fockema Andrea).
3) Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari Keputusan
Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh
hakim lain dalam memberi keputusan soal yang sama (Kamus Fockema
Andrea).
4) Yurisprudensi adalah sumber hukum yang lahir dan berkembang sebagai
hukum yang hidup (living law) dalam praktik peradilan, berasal dari
putusan peradilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap yang dalam
praktik peradilan dalam kasus dan masalah yang sama, selalu diikuti oleh
badan peradilan yang lain (Ida Bagus Ngurah Adhi, Hakim Pengadilan
Tinggi Jakarta).
Dari pengertian yurisprudensi yang dikemukakan dalam literatur tersebut di
atas, berdasarkan data lapangan yang diperoleh dari para hakim Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri serta Pengacara di Jakarta yang dijadikan
sampel penelitian bahwa sebagian dari mereka lebih condong menerima
pengertian yurisprudensi yang dikemukakan dalam Kamus Fockema Andrea
sebagaimana huruf c di atas.
h. Adat kebiasaan,40 perjanjian internasional,41 doktrin.42
40 Mengenai adat kebiasaan sebagai sumber hukum acara perdata diintrodusir oleh Prof.
Dr. Wirjono Projodikoro, S.H. dengan menyebutkan bahwa “seperti halnya dengan segala hukum maka hukum acara perdata sebagian tertulis, artinya termuat dalam beberapa undang-undang negara, sebagian tidak tertulis artinya menurut adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perdata. (Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hal. 18)”
41 Definisi yang diambil dari Konvensi Wina Tahun 1969 disebutkan bahwa perjanjian internasional merupakan perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya, mengatur perjanjian antarnegara selaku subyek hukum internasional (“Pengertian Perjanjian Internasional Menurut Para Ahli”, id.shvoong.com/law-and-politics/2158086-pengertian-perjanjian-internasional/ , diunduh 6 Juni 2012, pukul 22.04 WIB)
42 Doktrin antara ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara perdata juga, sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata. Tetapi doktrin itu sendiri bukanlah hukum (Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 9).
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
21
Universitas Indonesia
2.1.3 Asas-asas Dalam Hukum Acara Perdata
Seperti halnya hukum-hukum pada bidang yang lain, hukum acara perdata
juga mempunyai beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan
dalam hukum acara perdata tersebut. Berikut ini akan diuraikan beberapa asas
penting dalam hukum acara perdata, yaitu :
a. Hakim Bersifat Menunggu
Asas dari hukum acara perdata pada umumnya yaitu dalam
pelaksanaannya inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya
kepada yang berkepentingan. Jadi apakah akan diproses atau tidak, apakah suatu
perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan
kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan,
maka tidak ada hakim (Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine
actore).43 Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan,
sedang hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya
(index ne procedat ex officio). Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya,
hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan
dalih bahwa tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
b. Peradilan yang Terbuka Untuk Umum (openbaarheid van rechtspraak)
Sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata pada asasnya
terbuka untuk umum. Sebelum suatu perkara perdata mulai disidangkan maka
hakim ketua harus menyatakan bahwa sidang “dibuka” dan “terbuka untuk
umum”. Ini berarti bahwa setiap orang diperbolehkan untuk hadir, mendengar dan
menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara perdata itu di pengadilan sepanjang
undang-undang tidak menentukan lain dan apabila tidak dipenuhi hal tersebut
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum (Pasal 13 Undang-Undang No. 48
Tahun 2009). Tujuan asas ini adalah untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang
tidak memihak, adil dan benar sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku,
43 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 10-11.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
22
Universitas Indonesia
yakni dengan meletakkan peradilan di bawah pengawasan umum.44 Untuk
kepentingan kesusilaan hakim memang dapat menyimpang dari asas ini, misalnya
dalam perkara perceraian karena perzinahan. Akan tetapi, walaupun pemeriksaan
suatu perkara dilakukan secara tertutup, namun putusannya harus tetap diucapkan
dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
c. Hakim Bersikap Pasif (lijdelijkeheid van de rechter)
Menurut Riduan Syahrani,45 asas ini mengandung beberapa makna yaitu :
1) Hakim wajib mengadili seluruh gugatan/tuntutan dan dilarang menjatuhkan
putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada
yang dituntut (Pasal 178 ayat (3) HIR/189 ayat (3) RBg). Intinya ruang
lingkup gugatan serta kelanjutan pokok perkara hanya para pihak yang berhak
menentukan sehingga untuk itu hakim hanya bertitik tolak pada peristiwa yang
diajukan para pihak (secundum allegat iudicare).
2) Hakim mengejar kebenaran formal yakni kebenaran yang hanya didasarkan
kepada bukti-bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus
disertai keyakinan hakim. Jika salah satu pihak yang berperkara mengakui
kebenaran suatu hal yang diajukan oleh pihak lain, maka hakim tidak perlu
menyelidiki lebih lanjut apakah yang diajukan itu sungguh-sungguh benar
atau tidak. Berbeda dengan perkara pidana, dimana hakim dalam memeriksa
dan mengadili perkara dengan mengejar kebenaran materiil, yaitu kebenaran
yang harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
dan harus ada keyakinan hakim.
3) Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak
mengajukan verzet, banding dan kasasi terhadap putusan pengadilan.
Jadi pengertian pasif di sini hanyalah berarti bahwa hakim tidak
menentukan luas dari pokok sengketa. Hakim tidak boleh menambah atau
menguranginya. Akan tetapi itu semua tidak berarti bahwa hakim sama sekali
tidak aktif. Selaku pimpinan sidang, hakim harus aktif memimpin pemeriksaan
44 Riduan Syahrani (a), Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta :
Pustaka Kartini, 1988), hal. 17.
45 Ibid, hal 16-17.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
23
Universitas Indonesia
perkara dan tidak merupakan sekedar alat dari para pihak, dan harus berusaha
sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan. Hakim juga berhak memberi nasihat kepada kedua belah
pihak serta menunjukkan upaya hukum dan memberi keterangan kepada mereka
(Pasal 132 HIR/156 RBg).46
d. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Ketentuan dalam HIR maupun RBg tidak mengharuskan kepada pihak-
pihak yang berperkara untuk mewakilkan pengurusan perkara mereka kepada ahli
hukum, sehingga pemeriksaan di persidangan dilakukan secara langsung terhadap
pihak-pihak yang berkepentingan.47 Walaupun demikian, para pihak yang
berperkara apabila menghendaki boleh mewakilkan kepada kuasanya (Pasal 123
HIR/147 RBg). Dengan adanya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat maka hanya seorang sarjana hukum yang memiliki izin beracara/litigasi
di pengadilan saja yang dapat mewakili seseorang untuk beracara di pengadilan.48
46 R. Soepomo, op. cit., hal. 18.
47 Sistem hukum acara perdata dalam HIR dan RBg berbeda dengan sistem hukum acara perdata dalam Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mewakilkan kepada seorang ahli hukum (procureur) dalam beracara di muka pengadilan. Perwakilan ini merupakan keharusan yang mutlak dengan akibat batalnya tuntutan (Pasal 106 ayat (1) Rv) atau diputuskan di luar hadirnya tergugat (Pasal 109 Rv) apabila para pihak ternyata tidak diwakili. Sistem yang mewajibkan bantuan dari seorang ahli hukum dalam Rv ini didasarkan atas pertimbangan bahwa di dalam suatu proses yang memerlukan pengetahuan hukum dan kecakapan teknis, maka para pihak yang berperkara perlu dibantu oleh seorang ahli hukum supaya segala sesuatunya dapat berjalan lancar dan putusan dijatuhkan dengan seadil-adilnya.
48 Pasal 3 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan bahwa : (1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia; b. bertempat tinggal di Indonesia; c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1); f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus-menerus pada kantor Advokat; h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
24
Universitas Indonesia
e. Mendengar Kedua Belah Pihak yang Berperkara (horen van beide partijen)
Asas ini berarti bahwa pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan
sama, diberikan kesempatan yang sama, untuk membela kepentingan mereka.
Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai suatu yang
benar tanpa mendengar atau memberi kesempatan kepada pihak yang lain untuk
mengemukakan atau menyampaikan pendapatnya. Hal ini juga berarti bahwa
pengajuan alat-alat bukti harus dilakukan di muka sidang pengadilan yang dihadiri
oleh pihak-pihak yang berperkara (Pasal 121 HIR/145 RRBg dan Pasal 132
HIR/157 RBg).
Hakim tidak boleh memberikan putusan dengan tidak memberikan
kesempatan untuk kedua belah pihak yang berperkara. Putusan verstek bukanlah
merupakan pengecualian asas ini, karena putusan verstek dijatuhkan justru karena
tergugat tidak hadir dan ia juga tidak mengirimkan kuasanya, padahal ia sudah
dipanggil dengan patut. Jadi pihak tergugat yang tidak hadir telah mendapat
kesempatan untuk didengar, akan tetapi ia tidak mempergunakan kesempatan itu.
f. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang dijadikan
dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009,
Pasal 184 ayat (1) HIR/195 RBg, Pasal 319 HIR/618 RBg). Asas ini dimaksudkan
agar jangan sampai terjadi perbuatan sewenang-wenang dari hakim. Alasan-alasan
atau argumentasi itu adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim dari
putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan
ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif.49 Putusan yang
tidak lengkap atau kurang pertimbangannya (anvoldoende gemotiveerd)
merupakan alasan untuk kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan.
49 Scholten, Algemeen Deel, hal. 114. Dikutip juga oleh Sudikno Mertokusumo (a), op.
cit., hal. 15.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
25
Universitas Indonesia
g. Beracara Perdata Dikenakan Biaya (niet-kosteloze rechtspraak)
Untuk beracara perdata pada asasnya dikenakan biaya50 (Pasal 2 ayat (4)
dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Pasal 121 ayat (4)
Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara dapat
mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk
dibebaskan dari pembayaran biaya perkara dengan mengajukan surat keterangan
tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR/273 RBg). Dalam
Pasal 11 Lampiran A SEMA No. 10 Tahun 201051 disebutkan bahwa pemohon
bantuan hukum harus membuktikan bahwa ia tidak mampu dengan
memperlihatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah/Kepala
Desa setempat, surat keterangan tunjangan sosial lainnya seperti Kartu Keluarga
Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu
Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT), atau
surat pernyataan tidak mampu yang dibuat dan ditandatangani pemohon bantuan
hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Apabila penggugat yang
mengajukan permohonan pembebasan biaya perkara, maka permohonan diajukan
bersamaan dengan gugatan atau pada saat pemohon mengajukan gugatan secara
lisan sebagaimana dalam Pasal 237-241 HIR/273-277 RBg. Sedangkan apabila
diajukan oleh tergugat, maka permohonan pembebasan berperkara diajukan
bersamaan dengan penyampaian jawaban. Kemudian majelis hakim sebelum
menjatuhkan putusan sela yang berisi tentang pengabulan atau penolakan
berperkara secara prodeo, memeriksa bahwa penggugat atau tergugata tidak
mampu secara ekonomi (Pasal 19 Lampiran A SEMA No. 10 Tahun 2010).
2.2 Hukum Pembuktian Pada Pemeriksaan Perkara Perdata
Pembuktian adalah tahap terpenting dalam menyelesaikan perkara di
pengadilan, karena bertujuan untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa
50 Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 5 Tahun 1994, biaya
perkara meliputi biaya kepaniteraan, biaya pemanggilan para pihak, biaya pemberitahuan, biaya meterai, dan biaya administrasi.
51 Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung Tentangt Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, SEMA No. 10 Tahun 2010, Pasal 11 Lampiran A.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
26
Universitas Indonesia
atau hubungan hukum tertentu yang dijadikan dasar mengajukan gugatan ke
pengadilan. Melalui tahap pembuktianlah hakim akan memperoleh dasar-dasar
untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara. Acara
pembuktian dilakukan baik oleh pihak penggugat maupun tergugat dalam
persidangan untuk membuktikan adanya kejadian-kejadian atau peristiwa-
peristiwa, juga untuk membuktikan adanya suatu hak.52 Proses pembuktian ini
merupakan suatu susunan kesatuan untuk mencapai suatu tujuan, yaitu
membuktikan kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak, baik itu
peristiwa, kejadian, maupun hak.53 Pembuktian itu sendiri diperlukan dalam suatu
perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan (juridicto contentiosa)
maupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan
(juridicto voluntair).
Pembuktian yang dilakukan hakim dalam mengadili perkara untuk
menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak yang
berperkara. Tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dapat
dibuktikan tetapi adanya suatu hak juga dapat dibuktikan. Segala peristiwa yang
menimbulkan sesuatu hak harus dibuktikan oleh yang menuntut hak tersebut,
sedangkan peristiwa yang menghapuskan hak harus dibuktikan oleh pihak yang
menyangkal hak tersebut.54
Munir Fuady dalam bukunya mengungkapkan sejarah mengenai hukum
pembuktian. Dipaparkan bahwa hukum pembuktian merupakan salah satu bidang
hukum yang cukup tua umurnya. Hal ini karena manusia dan masyarakat
seprimitif apapun dia pada hakikatnya memiliki rasa keadilan dimana rasa
keadilan tersebut akan tersentuh jika ada putusan hakim yang menghukum orang
yang tidak bersalah atau membebaskan orang yang bersalah ataupun
memenangkan orang yang tidak berhak dalam suatu persengketaan. Agar tidak
52 Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata, (Bandung :
Alumni, 2009), hal. 110.
53 Ibid.
54 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 9.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
27
Universitas Indonesia
sampai diputuskan secara keliru maka dalam suatu proses peradilan diperlukan
pembuktian-pembuktian.55
2.2.1 Pengertian Pembuktian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembuktian adalah “suatu
proses, cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya
terdakwa dalam sidang pengadilan.”56 Berikut ini akan diuraikan definisi
pembuktian menurut beberapa ahli.
Menurut Riduan Syahrani, yang dimaksud dengan pembuktian adalah
“penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.” 57
Kemudian menurut Bachtiar Effendi, S.H. dkk menyebutkan bahwa
pengertian pembuktian adalah
“penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.”58
Sedangkan menurut pandangan praktisi (para hakim) dalam beberapa
Penataran Hakim menyebutkan bahwa :
a. Pembuktian adalah memperkuat kesimpulan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.59
55 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, cet. 1., (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2006), hal. 9.
56 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 4, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), hal. 172.
57 Riduan Syahrani (b), Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 83.
58 Bachtiar Effendi, Masdari Tasmin, A. Chodari, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 50.
59 Penataran Hakim 1976/1977 di Jakarta Jilid II, (Jakarta : Penerbit Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, 1978), hal. 122. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 155.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
28
Universitas Indonesia
b. Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang
dikemukakan dalam suatu proses sengketa, dengan mempergunakan
alat-alat bukti menurut undang-undang.60
c. Pembuktian adalah semua perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh
para pihak dalam persidangan perkara perdata yang bertujuan untuk
membuat atau memberi keyakinan kepada hakim tentang kebenaran
atas dalil, peristiwa-peristiwa serta fakta-fakta yang diajukan di dalam
proses perdata dengan cara mempergunakan alat-alat bukti
sebagaimana yang ditentukan menurut undang-undang.61
d. Pembuktian adalah memberi suatu kepastian yang layak menurut akal,
apakah perbuatan itu sungguh atau benar terjadi dan apa motif dari
perbuatan tersebut.62
e. Pembuktian berarti meyakinkan hakim dengan mempergunakan alat-
alat bukti tertentu menurut undang-undang akan kebenaran dalil-dalil
yang diketengahkan dalam suatu persengketaan oleh para pihak dalam
proses pengadilan.63
Selanjutnya menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, S.H. dengan
menyebutkan kata “membuktikan” maka ada beberapa pengertian :64
a. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Membuktikan di sini
berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi
setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
60 Penataran Hakim 1979/1980, (Jakarta : Penerbit Direktorat Jenderal Pembinaan Badan
Peradilan Umum Departemen Kehakiman, 1981), hal. 15. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit., hal 155.
61 Penataran Hakim 1979/1980, op. cit., hal. 88. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 155.
62 Penataran Hakim 1980/1981, (Jakarta : Penerbit Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, 1982), hal 195. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 155.
63 Penataran Hakim 1982 di Jakarta Ceramah dan Kuliah, (Jakarta : Penerbit Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, 1983), hal. 134. Dikutip juga oleh Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 155.
Berdasarkan suatu axioma65, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam
ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat
mutlak. Terhadap pembuktian ini tidak dimungkinkan adanya bukti
lawan, kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Di sini
axioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan
pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga
diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang memberi kepastian yang
bersifat mutlak.
b. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensionil. Di sini pun
membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan
kepastian mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya
yang mempunyai tingkatan-tingkatan :
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan
atas perasaan maka kepastian ini bersifat intuitif dan disebut
conviction intime.
- Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh
karena itu disebut conviction raisone.
c. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Di dalam
ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan
mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala
kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian
yang konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis
ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang
memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti
yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinannya
bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu
atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti
lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian
65 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut aksioma, yang artinya pernyataan yang
tidak diragukan lagi kebenarannya. Aksioma merupakan pendapat yang dijadikan pedoman dasar dan merupakan dalil pemula, sehingga kebenarannya tidak perlu dibuktikan lagi. Sedangkan dalil itu sendiri merupakan suatu kebenaran yang diturunkan dari aksioma, sehingga perlu dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
30
Universitas Indonesia
“historis”. Pembuktian yang bersifat historis ini mencoba menetapkan
apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik dalam pembuktian yang
yuridis maupun ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti
mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu
dianggap benar.
Dari beberapa pandangan teoritis dan praktisi hukum sebagaimana tersebut
di atas, Lilik Mulyadi menarik suatu kesimpulan bahwa dalam pengertian
“pembuktian” terkandung elemen-elemen sebagai berikut :66
- merupakan bagian dari hukum acara perdata;
- merupakan suatu proses prosesuil untuk meyakinkan hakim terhadap
kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan para pihak berperkara perdata di
sidang pengadilan;
- merupakan dasar bagi hakim dalam rangka menjatuhkan putusan.
2.2.2 Prinsip-Prinsip Umum Pembuktian
Yang dimaksud prinsip umum pembuktian adalah landasan penerapan
pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang
digariskan prinsip yang dimaksud. Memang di samping itu masih terdapat lagi
prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk setiap jenis alat bukti, sehingga harus
juga dijadikan patokan dalam penerapan sistem pembuktian.
1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil
Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel
negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses
pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran materiil, dimana selain
harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal
pembuktian, juga harus didukung oleh keyakinan hakim. Prinsip inilah yang
disebut beyond reasonable doubt. Sistem pembuktian ini yang dianut Pasal 183
KUHAP.67 Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti
66 Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 156-157.
67 Indonesia (a), Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, Pasal 183.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
31
Universitas Indonesia
yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai
dilarang dengan pengecualian (Pasal 169 HIR/306 RBg, Pasal 1905 KUH
Perdata).95
Pasal 169 HIR/306 RBg :
“Keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam hukum.”
Pasal 1905 KUH Perdata :
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya.”
3. Teori pembuktian positif
Di samping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada
hakim. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (Pasal 165 HIR/285
RBg, Pasal 1870 KUH Perdata).96
Pasal 165 HIR /285 RBg :
“Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.”97
Pasal 1870 KUH Perdata :
“Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.”98
95 Ibid.
96 Ibid.
97 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, op. cit., Pasal 165.
98 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1870.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
46
Universitas Indonesia
Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hukum
pembuktian itu sendiri terdiri dari :
a. Pembuktian formil, yang mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian
seperti terdapat dalam RBg/HIR.
b. Pembuktian materiil, mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan
alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari bukti itu.
2.3 Tinjauan Umum Mengenai Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata
Alat bukti bermacam-macam bentuk dan jenisnya yang mampu member
keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Alat
bukti mana diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugatan atau dalil
bantahan. Berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan alat bukti itulah
hakim melakukan penilaian,pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, telah disebutkan bahwa
mengenai alat bukti dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR/284
RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata, yaitu alat bukti surat, alat bukti saksi, alat
bukti persangkaan, alat bukti pengakuan, dan terakhir alat bukti sumpah.
2.3.1 Alat Bukti Surat
Alat bukti surat dalam perkara perdata merupakan bukti yang paling utama
atau merupakan alat bukti yang nomor satu jika dibandingkan dengan alat-alat
bukti lain dalam lalu lintas keperdataan. Apabila ditinjau dari visi gradasinya atau
urutannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 164 HIR/284 RBg atau Pasal 1866
KUH Perdata, maka alat bukti surat merupakan alat bukti yang pertama dan
utama. Dikatakan pertama, oleh karena alat bukti surat gradasinya disebut pertama
dibandingkan dengan alat bukti lainnya. Sedangkan dikatakan yang utama, oleh
karena dalam hukum perdata yang dicari adalah kebenaran formal maka alat bukti
surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat prmbuktian
utama.99 Dalam hukum acara perdata alat bukti ini diatur dalam Pasal 138
Surat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kertas dan
sebagainya yang bertulis (berbagai-bagai isi, maksudnya); secarik kertas dan
sebagainya sebagai tanda atau keterangan; atau sesuatu yang ditulis, yang tertulis,
atau tulisan.100 Dalam Black’s Law Dictionary, surat diartikan sebagai :
“one of the arbitrary marks or characters constituting the alphabet, and used in written language as the representatives of sounds or articulations of the human organs of speech.”101
Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian dari beberapa ahli
mengenai pengertian alat bukti dalam bentuk tertulis yang biasa disebut dengan
surat.
Surat menurut Prof. A. Pitlo adalah
“pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, menerjemahkan suatu isi pikiran.” 102
Kemudian Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa
“alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian” 103
Dalam hal yang sama I. Rubini dan Chidir Ali menyatakan bahwa
“surat adalah suatu benda (bisa kertas, kayu, daun lontar) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat).” 104
Selanjutnya Teguh Samudera berpendapat bahwa
100 Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., hal. 1250.
101 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co., 1997)., hal. 712.
104 I. Rubini dan Chidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1974), hal. 88.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
48
Universitas Indonesia
“surat adalah suatu pernyataan buah pikiran atau isi hati yang diwujudkan dengan tanda-tanda bacaan dan dimuat dalam sesuatu benda.” 105
Lebih lanjut Riduan Syahrani mengemukakan bahwa
“alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dapat dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.” 106
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
alat bukti tulisan atau surat adalah segala sesuatu yang memjuat tanda-tanda
bacaan yang merupakan buah pikiran atau isi hati dari orang yang membuatnya.
Maka surat yang dijadikan alat pembuktian ditekankan pada adanya tanda-tanda
bacaan yang menyatakan buah pikiran. Jadi, walaupun ada sesuatu benda yang
memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak menyatakan buah pikiran atau isi
hati, maka hal tersebut tidak termasuk sebagai alat bukti tertulis atau surat.
Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan
surat bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik
dan akta di bawah tangan.
2.3.1.1 Akta
Adapun yang dimaksud dengan akta menurut Riduan Syahrani adalah
“suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.” 107
Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa
“Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.” 108
105 Teguh Samudera, op. cit., hal. 36.
106 Riduan Syahrani (a), op. cit., hal. 60.
107 Ibid.
108 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 101.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
49
Universitas Indonesia
Selanjutnya A. Pitlo juga mengemukakan bahwa
“Akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.” 109
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tidak setiap surat itu
merupakan akta. Unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian
akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk
dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan
ditandatangani. Adanya tanda tangan dalam suatu akta adalah perlu untuk
identifikasi yaitu menentukan ciri-ciri atau membedakan akta yang satu dengan
akta yang lainnya. Dan dengan penandatangan itu seseorang dianggap menjamin
tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut. Sedangkan yang
dimaksud dengan penandatanganan itu sendiri ialah membubuhkan suatu tanda
dari tulisan tangan yang merupakan spesialisasi suatu surat atas nama si pembuat.
Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan dan atas
kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau cap jempol dianggap identik dengan
tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh
seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Pengesahan
sidik jari atau cap jempol oleh pihak yang berwenang dikenal dengan
waarmerking.110
Ditinjau dari segi hukum pembuktian, akta mempunyai beberapa fungsi :
a. Berfungsi sebagai Formalitas Kausa
Maksudnya, suatu akta berfungsi sebagai suatu syarat atas keabsahan
suatu tindakan hukum yang dilakukan. Apabila perbuatan atau tindakan
hukum yang dilakukan tidak dengan akta, maka tindakan itu menurut hukum
tidak sah, karena tidak memenuhi formalitas kausa.111 Dalam hal ini dapat
109 A. Pitlo, op. cit., hal. 52.
110 Dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan, dimasukan (didaftarkan) oleh notaris kedalam buku khusus. Artinya bahwa notaris menyatakan bahwa dokumen/surat tersebut tercatat/register dalam buku khusus notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen/surat tersebut sudah ditanda-tangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum di sampaikan kepada notaris yang bersangkutan. (http://www.bikinpt.com/service/legalisasi-waarmerking-register-dan-akta-notaris-akta-otentik, diunduh 3 Mei 2012 pukul 08. 28. WIB)
111 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 563-564.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
50
Universitas Indonesia
diambil contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal-Pasal 1681, 1682, 1683
KUH Perdata tentang cara menghibahkan; Pasal 1945 KUH Perdata tentang
sumpah di muka hakim, untuk akta otentik sedangkan untuk akta di bawah
tangan seperti dalam Pasal-Pasal 1610 KUH Perdata tentang pemborongan
kerja, 1767 KUH Perdata tentang meminjamkan uang dengan bunga, Pasal
1851 KUH Perdata tentang perdamaian. Jadi akta di sini maksudnya
digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum.
b. Berfungsi sebagai Alat Bukti
Fungsi utama akta adalah sebagai alat bukti. Artinya, tujuan utama
dibuat akta memang diperuntukkan dan dipergunakan sebagai alat bukti.
Dalam masyarakat sekarang, segala aspek kehidupan dituangkan dalam bentuk
akta. Misalnya, dalam perjanjian jula-belu para pihak menuangkannya dalam
bentuk akta dengan maksud sebagai alat bukti tertulis tentang perjanjian
tersebut. Bila timbul sengketa, sejak semula telah tersedia akta untuk
membuktikan kebenaran transaksi.112
c. Fungsi Probationis Causa
Fungsi ini memberi arti bahwa akta merupakan satu-satunya alat bukti
yang dapat dan sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. Jadi, fungsi akta itu
merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa tertentu, tanpa
akta peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi tidak dapat dibuktikan.
Menurut bentuknya maka akta dapat dibagi menjadi dua, yaitu akta otentik
dan akta di bawah tangan.
1. Akta Otentik
Secara teoritis, apa yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau
akta yang sejak semula dengan sengaja dan secara resmi dibuat untuk pembuktian.
Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu
tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari apabila terjadi sengketa.
Dikatakan secara resmi karena tidak dibuat di bawah tangan. Sedangkan secara
112 Ibid, hal. 564-565.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
51
Universitas Indonesia
dogmatis (menurut hukum positif), apa yang dimaksud dengan akta otentik
terdapat dalam Pasal 1868 KUH Perdata dan Pasal 165 HIR/285 RBg.
Pasal 1868 KUH Perdata :
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”113
Pasal 165 HIR/285 RBg :
“akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu, dan juga tentang yang tercanntum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.”114
Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada akta otentik yang
dibuat oleh pegawai atau pejabat umum dan ada yang dibuat di hadapan pegawai
atau pejabat umum yang berkuasa membuatnya. Akta otentik yang dibuat oleh
pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta pejabat (acte ambtelijk),
sedangkan akta otentik yang dibuat di hadapan pegawai/pejabat umum sering
disebut dengan akta partai (acte partij). Pejabat yang berwenang memuat akta
otentik adalah notaris, camat, panitera, pegawai pencatat perkawinan, dan lain
sebagainya. Berita acara pemeriksaan suatu perkara di persidangan pengadilan
yang dibuat panitera, berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang
tergugat yang dibuat oleh juru sita, dan berita acara pelanggaran lalu lintas yang
dibuat oleh polisi, merupakan akta-akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang. Sedangkan akta jual beli tanah di buat di hadapan camat atau
notaris merupakan akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang
berwenang.115 Untuk membuat akta partai (acte partij) pejabat tidak pernah
113Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1868.
114 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, op. cit., Pasal 165.
115Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 163.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
52
Universitas Indonesia
memulai inisiatif, sedangkan untuk membuat akta pejabat (acte ambtelijk) justru
pejabatlah yang bertindak aktif, yaitu dengan inisiatif sendiri membuat akta
tersebut. Oleh karena itu, akta pejabat berisikan tidak lain daripada keterangan
tertulis dari pejabat, sedangkan dalam akta partai berisikan keterangan para pihak
sendiri yang dituangkan (diformulasikan) oleh pejabat ke dalam akta.116
Adapun kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik merupakan
perpaduan dari kekuatan bukti luar, kekuatan pembuktian formil, dan kekuatan
pembuktian materiil sehingga akta otentik tersebut memiliki nilai kekuatan
pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende).117
a) Kekuatan bukti luar
Dalam hal ini berlaku asas acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa
suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap
sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya.118 Suatu akta otentik harus
dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya bahwa akta tersebut bukanlah akta otentik. Selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar,
maksudnya harus diterima kebenarannya sebagai akta otentik. Hal ini berarti
bahwa tanda tangan pejabat dianggap sebagai aslinya, sampai ada pembuktian
sebaliknya. Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang mempersoalkan
otentik tidaknya (authenticity). Beban pembuktian ini terikat pada ketentuan
khusus seperti yang diatur dalam Pasal 138 HIR (Pasal 164 RBg, 148 Rv).119
Sehingga sesuai dengan prinsip kekuatan bukti luar, hakim dan para pihak
yang berperkara wajib menganggap akta otentik itu sebagai akta otentik,
sampai pihak lawan dapat membuktikan bahwa akta yang diajukan bukan akta
otentik karena pihak lawan dapat membuktikan adanya suatu cacat hukum
karena pejabat yang membuatnya tidak berwenang atau tanda tangan pejabat
di dalamnya adalah palsu atau isi yang terdapat di dalamnya telah mengalami
perubahan, baik berupa pengurangan atau penambahan kalimat.120
b) Kekuatan pembuktian formil
Pasal 1871 KUH Perdata menjelaskan bahwa segala keterangan yang tertuang
di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penanda tangan kepada
pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu, segala keterangan yang diberikan
penanda tangan dalam akta otentik dianggap benar sebagai keterangan yang
dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran
yang tercantum di dalamnya bukan hanya terbatas pada keterangan atau
pernyataan yang terdapat di dalamnya benar dari orang yang
menandatanganinya, tetapi juga meliputi kebenaran formil yang dicantumkan
pejabat pembuat akta.
c) Kekuatan pembuktian materiil
Mengenai kekuatan pembuktian materiil akta otentik yaitu menyangkut
permasalahan benar atau tidak keterangan yang tercantum di dalamnya.
Dengan kata lain membuktikan antara para pihak bahwa benar peristiwa yang
tersebut dalam akta itu telah terjadi.
2. Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat
antara para pihak yang berkepentingan.121 Mengenai akta di bawah tangan ini
tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam Staatblad 1867 No. 29 untuk Jawa dan
Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286-305 RBg
(lihat juga Pasal 1874-1880 KUH Perdata).122 Termasuk dalam pengertian surat di
bawah tangan menurut Pasal 1 Staatblad 1867 No. 29 (Pasal 1874 KUH Perdata,
Pasal 286 RBg) ialah akta di bawah tangan, surat-surat daftar (register), catatan
mengenai rumah tangga, dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan
seorang pejabat.
120 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 566-567.
121 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 151.
122 Hari Sasangka, op. cit., hal. 56.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
54
Universitas Indonesia
Pasal 1874 KUH Perdata menyebutkan :
“sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.”123
Kemudian dalam Pasal 286 ayat (1) RBg dinyatakan :
“dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum.”124
Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan sudah barang tentu tidak
seluas dan setinggi derajat akta otentik. Tidak demikian halnya dengan akta
otentik, menurut M. Yahya Harahap, pada akta di bawah tangan tidak melekat
kekuatan pembuktian lahir, tetapi hanya terbatas pada daya kekuatan pembuktian
formil dan materiil dengan bobot kualitas yang jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kekuatan pembuktian yang dimiliki akta otentik.125 Mengenai hal ini,
Sudikno Mertokusumo126 dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia
mengemukakan bahwa oleh karena tanda tangan pada akta di bawah tangan
kemungkinannya masih dapat dipungkiri, maka akta di bawah tangan itu tidak
mempunyai kekuatan pembuktian lahir. Baru kalau tanda tangan diakui oleh yang
bersangkutan, maka akta di bawah tangan itu mempunyai kekuatan dan menjadi
bukti sempurna.
Sehingga kekuatan pembuktian yang melekat pada akta di bawah tangan,
antara lain meliputi :
a) Kekuatan pembuktian formil
Apabila tanda tangan pada akta di bawah tangan telah diakui, maka berarti
bahwa keterangan atau pernyataan di atas tanda tangan itu adalah keterangan
123 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudubio, op. cit., Pasal 1874.
124 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura S. 1927 No.27 (RBg), diterjemahkan oleh Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Cet. Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), Pasal 286.
125 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 591.
126 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 155.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
55
Universitas Indonesia
atau pernyataan dari si penanda tangan. Kekuatan pembuktian formil dari akta
di bawah tangan ini sama dengan kekuatan pembuktian formil dari akta
otentik.127
b) Kekuatan pembuktian materiil
Menurut Pasal 1875 KUH Perdata (lihat juga Pasal 288 RBg) maka akta di
bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu digunakan atau
yang dapat dianggap diakui menurut undang-undang, bagi yang
menandatangani, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari
mereka, merupakan bukti sempurna seperti akta otentik. Jadi isi keterangan di
dalam akta di bawah tangan itu berlaku sebagai benar terhadap siapa yang
membuatnya dan demi keuntungan orang untuk siapa pernyataan itu dibuat.
Suatu akta di bawah tangan hanyalah memberi pembuktian sempurna demi
keuntungan orang kepada siapa si penanda tangan hendak memberi bukti.
Sedangkan terhadap setiap orang lainnya kekuatan pembuktiannya adalah
bebas.128
2.3.1.2 Surat Bukan Akta
Surat bukan akta ialah setiap surat yang tidak sengaja dijadikan bukti
tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun
tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang
bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di
kemudian hari. Baik HIR, RBg, maupun KUH Perdata tidaklah mengatur tentang
kekuatan pembuktian dari surat-surat yang bukan akta. Surat di bawah tangan
yang bukan akta hanya disebut dalam Pasal 1874 KUH Perdata (Staatblad 1867
No. 29). Di dalam Pasal 1881 KUH Perdata (Pasal 294 RBg) dan 1883 KUH
Perdata (Pasal 297 RBg) diatur secara khusus beberapa surat-surat di bawah
tangan yang bukan akta, yaitu buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan
catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang
selamanya dipegangnya. Dikarenakan tidak diatur mengenai kekuatan
127 Ibid, hal. 156.
128 Ibid.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
56
Universitas Indonesia
pembuktiannya, maka surat-surat yang demikian itu hanya dapat dianggap sebagai
petunjuk ke arah pembuktian.129 Sehingga perihal kekuatan pembuktian daripada
surat-surat yang bukan akta tersebut sepenuhnya diserahkan kepada penilaian
hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 1881 ayat (2) KUH Perdata.130
Di samping sebagaimana disebutkan di atas undang-undang masih
menetapkan beberapa surat bukan akta yang mempunyai kekuatan pembuktian
yang lengkap yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1881 KUH Perdata dan
Pasal 1883 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 1881 KUH Perdata disebutkan
bahwa Daftar dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan bukti untuk
keuntungan pembuatnya; daftar dan surat itu merupakan bukti terhadap
pembuatnya :
1. dalam hal surat itu menyebutkan dengan tegas suatu pembayaran yang telah
diterima;
2. bila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat
adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan dalam suatu alas hak untuk
kepentingan orang yang disebutkan dalam perikatan. Dalam segala hal
lainnya, hakim akan memperhatikannya sepanjang hal itu dianggap perlu.131
Sedangkan Pasal 1883 KUH Perdata menyebutkan bahwa selama di tangan
seorang kreditur, catatan-catatan yang dibubuhkan pada suatu tanda alas hak harus
dipercayai, walaupun catatan-catatan itu tidak ditandatangani dan tidak diberi
tanggal, bila apa yang tertulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap
debitur.132 Demikian pula catatan-catatan yang oleh seorang kreditur dibubuhkan
pada salinan suatu tanda alas hak atau suatu tanda pembayaran, asalkan salinan
atau tanda pembayaran ini masih di tangan kreditur. Maka dapat disimpulkan
bahwa walaupun surat-surat yang bukan akta merupakan alat pembuktian yang
bebas nilai kekuatan buktinya, tetapi ada juga surat-surat yang bukan akta yang
129 Teguh Samudera, op. cit., hal. 54., menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
petunjuk ke arah pembuktian adalah surat-surat itu dapat dipakai sebagai alat bukti tambahan ataupun dapat pula dikesampingkan, dan bahkan sama sekali tidak dapat dipercaya.
130 Ibid.
131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1881.
132 Ibid, Pasal 1883.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
57
Universitas Indonesia
memiliki kekuatan bukti yang lengkap antara lain, surat-surat yang ditetapkan
dalam Pasal 1881 KUH Perdata dan Pasal 1883 KUH Perdata.133
2.3.2 Alat Bukti Saksi
Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut dengan kesaksian.
Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR
sampai dengan Pasal 179 RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306
RBg/169 HIR sampai dengan Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi,
serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902 sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata.
Ada beberapa pendapat mengenai kesaksian :
Menurut A. Pitlo, kesaksian hanya boleh berisikan apa yang dilihat oleh
saksi dengan pancainderanya dan tentang apa yang dapat diketahui sendiri dengan
cara yang demikian.134 Sedangkan menurut S. M. Amin, kesaksian hanya
gambaran dari apa-apa yang telah dilihat, didengar dan dialaminya, keterangan-
keterangan ini semata-mata bersifat obyektif.135 Kemudian Sudikno Mertokusumo
juga mengemukakan bahwa kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada
hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.136
Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau
kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh
secara berpikir tidaklah merupakan kesaksian. Pembuktian dengan alat bukti saksi
diperbolehkan dalam segala hal ini diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR dan
Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang menentukan lain. Misalnya,
mengenai perjanjian pendirian perseoran firma diantara para persero firma itu
sendiri yang harus dibuktikan dengan akta notaris (Pasal 22 KUHD), mengenai
133 Teguh Samudera, op. cit., hal. 56.
134 Hari Sasangka, op. cit., hal. 60.
135 Ibid.
136 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 159.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
58
Universitas Indonesia
perjanjian pertanggungan/asuransi hanya dapat dibuktikan dengan polis (Pasal
258 KUHD).
Keterangan saksi itu haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di
persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak boleh diwakilkan serta
tidak boleh dibuat secara tertulis. Mengenai ketentuan bahwa saksi harus memberi
keterangan secara lisan dan pribadi diatur dalam Pasal 140 ayai (1) HIR/166 ayat
(1) RBg dan Pasal 148 HUR/176 RBg, dimana ditentukan bahwa terhadap saksi
yang telah dipanggil dan terhadap saksi yang telah datang di persidangan enggan
memberi keterangan dapat diberikan sanksi juga. Yang dapat didengar sebagai
saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak yang berperkara (Pasal 139
ayat (1) HIR/165 ayat (1) RBg).
Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak
diajukan pihak-pihak yang berpekara. Namun demikian ada beberapa orang yang
tidak dapat didengar sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai
HIR, serta Pasal 1910 KUHPerdata. Orang-orang yang tidak dapat didengar
sebagai saksi adalah :
a. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan
lurus dari salah satu pihak;
b. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
c. Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;
d. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat;
Adapun alasan pembentuk undang-undang menentukan mereka tidak dapat
didengar sebagai saksi adalah :
a. Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar
sebagai saksi;
b. Untuk menjamin hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan
retak apabila mereka memberikan kesaksian;
c. Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah
memberikan kesaksian;
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
59
Universitas Indonesia
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak
sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian pekerjaan. Orang-orang yang dapat
meminta dibebaskan memberikan kesaksian adalah :
a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan salah
satu pihak;
b. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan
perempuan dari suami/istri dari salah satu pihak;
c. Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah
diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal itu
saja yang dipercayakan karena martabat, pekerjaan dan jabatannya itu,
misalnya dokter, advokat dan notaries.
Mengenai kesaksian yang harus diberikan oleh saksi di muka persidangan
adalah tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat, dengar
dan alami sendiri serta alasan atau dasar yang melatar belakangi pengetahuan
tersebut. Dalam hal ini saksi tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan
ataupun memberikan pendapat tentang kesaksiannya karena hal ini bukan
dianggap sebagai kesaksian ( Pasal 308 RBg/171 ayat (2) HIR dan Pasal 1907
KUHPerdata). Kesaksian juga harus dikemukakan dengan lisan dan secara pribadi
apa yang diketahuinya, tidak boleh secara tertulis dan diwakilkan oleh orang lain.
Ketentuan ini di tafsirkan dari Pasal 166 ayat (1) RBg/140 ayat (1) HIR dan Pasal
176 RBg/148 HIR yang menentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil
dengan patut dan tidak datang diberi saksi dan terhadap saksi yang telah datang di
persidangan tetapi enggan memberikan keterangan juga dapat diberi sanksi.137
2.3.3 Alat Bukti Persangkaan
Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR/310 RBg dan Pasal
1915 sampai dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Satu-satunya Pasal dalam HIR
yang mengatur mengenai persangkaan adalah Pasal 173 HIR/310 RBg. Pasal ini
sendiri tidak menguraikan apa yang dimaksud dengan persangkaan, akan tetapi
hanyalah mengemukakan bahwa persangkaan itu boleh diperhatikan sebagai alat
bukti, yaitu bahwa persangkaan saja yang tidak berdasarkan suatu peraturan
137 Teguh Samudera, op. cit., hal. 60.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
60
Universitas Indonesia
undang-undang yang tertentu, hanya harus diperhatikan oleh hakim pada waktu
menjatuhkan keputusan, jika persangkaan itu penting, saksama, tertentu, dan satu
sama lain bersetujuan.138 Pasal 1915 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“persangkaan-persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.”139
Alat bukti ini dalam Kamus Hukum disebut vermoedem yang berarti dugaan atau
presumptie, berupa kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau oleh hakim
dari suatu hal atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang
belum diketahui.140 Mengenai persangkaan ini, Prof. Subekti memberikan definisi
yang lebih sederhana:
“persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suati peristiwa yang telah terkenal atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal, artinya sebelum terbukti.”141
Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk
mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang
harus dibuktikan. Misalnya, dalam perkara gugatan perceraian yang didasarkan
pada perzinahan sangat sulit sekali untuk mendapatkan saksi yang telah melihat
sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk membuktikan peristiwa perzinahan hakim
harus menggunakan alat bukti persangkaan.
Menurut Sudikno Mertokusumo142, pada hakekatnya yang dimaksudkan
dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung.
Misalnya saja pembuktian daripada ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu di
tempat tertentu dengan membuktikan ketidakhadirannya pada waktu yang sama di
138 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh
Mengenai pengakuan di muka hakim di depan persidangan haruslah
diperhatikan ketentuan dalam Pasal 1926 KUH Perdata152 yang menyebutkan
bahwa pengakuan di muka hakim di depan persidangan tidak dapat ditarik
kembali, kecuali kalau terbukti bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu
kesesatan atau kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi. Dengan alasan seolah-
olah orang yang melakukan pengakuan keliru tentang hal hukumnya, suatu
pengakuan tidak dapat ditarik kembali.
Berbeda dengan pengakuan di muka hakim di persidangan, pengakuan di
luar sidang ialah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu
perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan
yang diberikan lawannya.153 Pengakuan di luar persidangan diatur dalam Pasal
175 HIR/312 RBg, Pasal 1927-1928 KUH Perdata. Menurut Sudikno
Mertokusumo,154 pengakuan di luar sidang ini dapat ditarik kembali.
Kedua macam pengakuan yang telah disebutkan di atas, satu sama lain
berbeda nilai pembuktiannya.155 Pasal 174 HIR156/311 RBg157 dan Pasal 1925
KUH Perdata158 tidak menentukan apa yang disebut pengakuan di muka hakim di
persidangan, akan tetapi hanya menentukan bahwa pengakuan merupakan bukti
sempurna terhadap yang melakukannya, baik secara pribadi maupun diwakilkan
secara khusus. Dalam hal ini pengakuan bukan hanya sekedar merupakan alat
bukti yang sempurna saja, tetapi juga merupakan alat bukti yang bersifat
menentukan, yang tidak memungkinkan pembuktian lawan (Pasal 1916 ayat (2)
152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1926.
153 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 178.
154 Ibid, hal. 179.
155 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op. cit., hal. 80.
156 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, op. cit., Pasal 174.
157 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura S. 1927 No.27 (RBg), diterjemahkan oleh Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 311.
158 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1925.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
65
Universitas Indonesia
nomor 4 KUH Perdata). Sebaliknya dalam Pasal 175 HIR159/312 RBg160 diatur
perihal pengakuan yang dilakukan di luar sidang, dimana ditentukan bahwa
diserahkan kepada pertimbangan dan awasan hakim akan menentukan kekuatan
mana akan diberikannya kepada suatu pengakuan dengan lisan yang diperbuat di
luar hukum. Dengan demikian penilaian terhadap kekuatan pembuktian
pengakuan di luar sidang merupakan bukti bebas.
Terhadap alat bukti pengakuan ini berlaku apa yang disebut onsplitsbare
aveu, yang artinya bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan. Pasal 176
HIR/313 RBg menyebutkan bahwa:
“Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas akan menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan maksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti yang kenyataan dusta.”161
Selanjutnya Pasal 1924 KUH Perdata pada pokoknya juga mengatur ketentuan
yang sama, dijelaskan bahwa :
“Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang melakukannya. Namun hakim adalah leluasa untuk memisah-misah pengakuan itu manakala si berutang didalam melakukannya, guna membebaskan dirinya, telah memajukan peristiwa-peristiwa yang ternyata palsu.”162
Dari dua ketentuan tersebut jelas bahwa suatu pengakuan harus diterima
bulat. Hakim tidak boleh memisah-misah atau memecah-mecah pengakuan itu dan
menerima sebagian dari pengakuan sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan
menolak sebagian lainnya yang masih perlu dibuktikan lebih lanjut.
159 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh
M. Karjadi, op. cit., Pasal 175.
160 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura S. 1927 No.27 (RBg), diterjemahkan oleh Ropaun Rambe, op. cit.,, Pasal 312.
161 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, op. cit., Pasal 176.
162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1924.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
66
Universitas Indonesia
Yurisprudensi dan ilmu pengetahuan membedakan pengakuan menjadi
tiga, yaitu pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi, dan yang terakhir
pengakuan dengan klausula.163 Yang dimaksud dengan kualifikasi bukan semata-
mata sangkalan, tetapi hendak memberikan kualifikasi terhadap pengakuan.
Demikian juga pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dengan tambahan
yang bersifat membebaskan.164
2.3.4.1 Pengakuan Murni (aveu pur et-simple)
Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai
sepenuhnya dengan posita pihak lawan.165 Penggugat menyatakan suatu peristiwa
pada pihak tergugat, kemudian tergugat mengakui atau membenarkan seluruh
gugatan penggugat tersebut, sehingga dengan pengakuan saja hakim menyatakan
terbukti apa yang dikemukakan oleh penggugat. Pengakuan tersebut mutlak, tidak
ada syarat apapun. Dengan demikian pengakuan tersebut harus dinyatakan
terbukti oleh hukum. Misalnya, penggugat menyatakan bahwa tergugat meminjam
uang sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah), kemudian tergugat
mengakui bahwa ia memang meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp
3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
2.3.4.2 Pengakuan dengan Kualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu
qualifie)
Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.166 Di dalam pengakuan dengan
kualifikasi ini tergugat menambahkan sesuatu pada pokok gugatan, sehingga
sebenarnya tergugat tidak mengakui apa pun melainkan memberikan gambaran
menurut pandangannya sendiri.167 Misalnya, penggugat menyatakan bahwa
163 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 175.
164 Eman Suparman, Alat Bukti Pengakuan Dalam Hukum Acara Perdata, (Bandung : Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, s.l.), hal. 18.
165 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 175.
166 Ibid, hal. 176.
167 Eman Suparman, op. cit., hal. 21.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
67
Universitas Indonesia
tergugat telah membeli tanah dari penggugat seharga Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah), kemudian tergugat mengaku bahwa memang telah membeli
tanah dari penggugat, tetapi bukan seharga Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah), melainkan sebesar Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Berdasarkan hal di atas, pengakuan dengan kualifikasi sebenarnya adalah
pengakuan dan sangkalan. Di satu pihak tergugat mengakui sebagian dari gugatan
penggugat, sedangkan di lain pihak tergugat juga menyangkal sebagian lainnya
dari gugatan. Terhadap pengakuan dengan kualifikasi ini, undang-undang
melarang untuk memisah-misahkan pengakuan tersebut. Pengakuan semacam itu
harus diterima secara bulat, dalam arti tidak boleh hanya pengakuan yang diterima
sebagai terbukti sedangkan sangkalannya tidak diterima.168
2.3.4.3 Pengakuan dengan Klausula (geclausuleerde bekentenis, aveu
complexe)
Pengakuan dengan klausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Misalnya, penggugat
menyatakan bahwa tergugat telah membeli rumah penggugat seharga Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), tergugat mengaku telah mengadakan
perjanjian jual beli rumah milik penggugat seharga Rp 30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah), tetapi ditambahkan bahwa harga rumah tersebut telah dibayar lunas.
Keterangan-keterangan tambahan atau klausula semacam itu lainnya ialah :
pembayaran, pembebasan, kompensasi, dan sebagainya. Pengakuan ini pada
hakekatnya adalah pengakuan dengan sangkalan. Akan tetapi bedanya adalah
bahwa dalam pengakuan dengan klausula ini terdapat keterangan tambahan yang
sifatnya membebaskan sebagai dasar penolakan gugatan. Seperti halnya
pengakuan dengan kualifikasi, maka pengakuan dengan klausula pun harus
diterima secara bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan
tambahannya (onsplitsbare aveu).
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal terdapat pengakuan tergugat
yang disertai keterangan tambahan, maka masih diperlukan sesuatu keterangan
berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada penggugat. Pembentuk
168 Ibid.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
68
Universitas Indonesia
undang-undang secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak layak
apabila tergugat yang memberi pengakuan masih harus dibebani dengan
pembuktian. Oleh karena itu ketentuan Pasal 173 HIR merupakan akekecualian
dari Pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan ps. 1865 BW). Dengan demikian terhadap
pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, kewajiban pembuktian dibebankan
kepada penggugat.169 Dalam pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan
dengan klausula ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan
tambahan dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat
dipisah-pisahkan. Dalam hal ini maka pembuktian kebenarannya dibebankan
kepada pihak tergugat.
Dalam hal tergugat mengajukan pengakuan yang tidak boleh dipisah-
pisahkan maka penggugat dapat memilih :
1. menolak sama sekali pengakuan (onsplitsbare aveu) itu seluruhnya dan
memberi pembuktian sendiri, atau
2. membuktikan bahwa keterangan tambahan pada pengakuan itu tidak benar.
Apabila penggugat berhasil membuktikannya, maka ia dapat meminta kepada
hakim untuk memisahkan pengakuan tergugat dari keterangan tambahan
tergugat yang terbukti tidak benar. Karena pemisahan itu, maka pengakuan
tergugat menjadi pengakuan biasa yang mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna dan mengikat.170
2.3.5 Alat Bukti Sumpah
Alat bukti sumpah ini diatur dalam Pasal 155-158 HIR/182-185 RBg,
Pasal 177 HIR/314 RBg, dan Pasal 1929-1945 KUH Perdata. Undang-undang
tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud sumpah dalam hukum
acara perdata, maka dari itu para ahli hukum memberikan pengertian, antara lain :
169 Ibid, hal. 22.
170 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 178.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
69
Universitas Indonesia
1) Menurut A. Pitlo
“sumpah adalah hal menguatkan suatu keterangan dengan berseru kepada Tuhan.”171
2) Menurut Sudikno Mertokusumo
“sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.”172
3) Menurut M. H. Tirtaamidjaja
“sumpah adalah suatu keterangan yang diucapkan dengan khidmat, bahwa jika orang yang mengangkat sumpah itu memberi keterangan yang tidak benar, ia bersedia dikutuk Tuhan.”173
4) Menurut Krisna Harahap
“sumpah adalah pernyataan untuk memastikan sesuatu, yang disampaikan atas nama Yang Maha Kuasa.”174
Ada dua macam sumpah menurut Sudikno Mertokusumo175, yaitu sumpah
untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah
promissoir dan sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa
sesuatu itu benar demikian atau tidak, yang disebut sumpah assertoir atau
confimatoir. Termasuk sumpah promissoir adalah sumpah saksi dan sumpah ahli,
karena sebelum memberikan kesaksian atau pendapatnya harus diucapkan
pernyataan atau janji akan memberi keterangan yang benar dan tidak lain daripada
yang sebenarnya, sedangkan sumpah confirmatoir tidak lain adalah sumpah
sebagai alat bukti, karena fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm) suatu
Dalam pembuktian hukum acara perdata, para pihak yang bersengketa
tidak boleh didengar sebagai saksi. Walaupun para pihak tidak dapat didengar
sebagai saksi, namun dibuka kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari
para pihak dengan diteguhkan dengan sumpah yang dimasukkan dalam golongan
alat bukti. Pasal 177 HIR//314 RBg menyatakan bahwa :
“Kepada seorang, yang dalam satu perkara telah mengangkat sumpah yang ditangguhkan atau ditolak kepadanya oleh lawannya atau yang disuruh sumpah oleh hakim tidak dapat diminta bukti yang lain untuk menguatkan kebenaran yang disumpahkannya itu.”176
Sumpah harus dilakukan di persidangan, kecuali apabila karena alasan-
alasan yang sah penyumpahan tidak dapat dilangsungkan di persidangan, dan
hanya dapat dilakukan di hadapan lawannya (Pasal 158 HIR/185 RBg, Pasal
1944-1945 KUH Perdata). Sumpah tidak memberi pembuktian selain untuk
keuntungan atau kerugian yang memerintahkan atau yang mengembalikannya
atau ahli warisnya serta mereka yang memperoleh hak dari padanya (Pasal 1937
KUH Perdata).
HIR sendiri menyebutkan ada tiga macam sumpah sebagai alat bukti ,
yaitu sumpah pemutus (decisoir), sumpah pelengkap (suppletoir), dan sumpah
penaksir (aestimator, schattingseed).
2.3.5.1 Sumpah Pemutus (decisoir)
Sumpah pemutus ialah sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh
penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk
menggantungkan putusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah.177
Sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya ini
diatur dalam Pasal 156 HIR/183 RBg dan Pasal 1930 KUH Perdata. Sumpah ini
disebut juga dengan sumpah yang menentukan. Adapun pihak yang
memerintahkan atau meminta mengucapkan sumpah disebut deferent, yaitu pihak
176 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh
M. Karjadi, op. cit., Pasal 177.
177 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 750.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
71
Universitas Indonesia
yang memerintahkan sumpah pemutus, sedangkan pihak yang diperintahkan
untuk bersumpah disebut delaat atau gedefereerde.
Sumpah pemutus ini dapat dibebankan dan diperintahkan meskipun tidak
ada pembuktian sama sekali, sehingga pembebanan sumpah pemutus ini dapat
dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan di persidangan. Insiatif untuk
membebani sumpah pemutus ini datang dari salah satu pihak (deferent) dan ia
pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya. Dan sumpah pemutus itu dapat
dibebankan kepada siapa saja yang dapat menjadi pihak dalam perkara secara
pribadi atau oleh orang yang diberi kuasa khusus dengan akta otentik (Pasal 157
HIR/184 RBg, Pasal 1945 KUH Perdata).
Makna sumpah pemutus ini menurut Prof. Subekti178 yaitu memiliki daya
kekuatan memutuskan perkara atau mengakhiri perselisihan, sehingga sumpah
pemutus mempunyai sifat dan daya litis decisoir, yang berarti dengan adanya
pengucapan sumpah pemutus maka dengan sendirinya mengakhiri proses
pemeriksaan perkara yang kemudian diikuti dengan pengambilan dan
menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang diucapkan dan undang-
undang melekatkan kepada sumpah pemutus tersebut nilai kekuatan pembukytian
sempurna, mengikat, dan menentukan.
Sumpah pemutus harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh
pihak yang diperintahkan untuk bersumpah. Apabila perbuatan tersebut dilakukan
kedua belah pihak, pihak yang diperintahkan bersumpah, tetapi tidak bersedia,
dapat mengembalikan sumpah tersebut kepada lawannya (relaat). Akan tetapi,
bila perbuatan yang dimintakan sumpah bukan merupakan perbuatan yang
dilakukan bersama oleh kedua belah pihak, melainkan hanya dilakukan sendiri
oleh pihak yang dibebani sumpah, maka sumpah tersebut tidak dapat
dikembalikan kepada pihak lawan yang tidak ikut melakukan perbuatan. Pasal 156
HIR/183 RBg dan Pasal 1932 KUHPerdata menyatakan :
“barangsiapa diperintahkan mengangkat sumpah, dan menolak mengangkatnya atau menolak mengembalikannya, ataupun barangsiapa memerintahkan sumpah dan setelah kepadanya dikembalikan sumpah itu,
178 Subekti (b), op. cit., hal. 61.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
72
Universitas Indonesia
menolak mengangkatnya, harus dikalahkan dalam tuntutan maupun tangkisannya.”179
Hakim tidak boleh menolak keinginan pihak-pihak yang berperkara untuk
menyelesaikan perkaranya dengan sumpah pemutus. Hakim hanya
mempertimbangkan, apakah hal-hal atau kejadian-kejadian yang akan dilakukan
dengan sumpah tersebut akan membawa pada penyelesaian perkara dan apakah
benar-benar mengenai hal-hal dan kejadian-kejadian yang benar tidaknya memang
dapat dikuatkan oleh sumpah dari pihak yang berperkara. Bila segala sesuatu
untuk melakukan sumpah telah terpenuhi, hakim harus memperkenankan
penyumpahan itu dan harus memberi putusan sesuai dengan bunyi sumpah
tersebut.
Pasal 1936 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“apabila seorang yang telah diperintahkan melakukan sumpah pemutus, atau seorang yang kepada sumpahnya telah dikembalikan pemutusan perkaranya, sudah mengangkat sumpahnya, maka tak dapatlah pihak lawan diterima untuk membuktikan kepalsuan sumpah itu.”180
Pihak yang memerintahkan pihak lawannya untuk bersumpah harus dikalahkan,
tanpa ada kemungkinan untuk mengajukan alat bukti lain. Jika pihak yang
dikalahkan menuduh bahwa sumpah yang diangkat pihak lawannya itu palsu,
maka ia dapat mengajukan pengaduan kepada aparat yang berwenang dan
meminta supaya pihak yang mengangkat sumpah itu dituntut dalam perkara
pidana atas dakwaan bersumpah palsu yang disebut dalam Pasal 242 KUHP.181
2.3.5.2 Sumpah Pelengkap (suppletoir)
Sumpah pelengkap atau sumpah penambah ialah sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk
melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar
179 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1932.
180 Ibid, Pasal 1936.
181 Riduan Syahrani (a), op. cit., hal. 119.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
73
Universitas Indonesia
putusannya. Sumpah pelengkap ini diatur dalam Pasal 155 HR/182 RBg dan Pasal
1940 KUH Perdata. Pasal 1940 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“hakim dapat, karena jabatan, memerintahkan sumpah kepada salah satu pihak yang berperkara, untuk menggantungkan pemutusan perkara pada penyumpahan itu, atau untuk menetapkan jumlah yang akan dikabulkan.”182
Jadi sumpah pelengkap atau sumpah penambah diperintahkan oleh hakim untuk
menambah atau melengkapi pembuktian peristiwa yang belum lengkap. Jadi,
sumpah pelengkap hanya dapat diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak
yang berperkara apabila sudah ada permulaan pembuktian, tetapi masih belum
mencukupi dan tidak ada alat bukti lain, misalnya apabila hanya ada seorang saksi
saja.
Sumpah pelengkap ini mempunyai fungsi menyelesaikan perkara, maka
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan adanya
bukti lawan. Pihaj lawan boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu apabila
putusan yang didasarkan atas sumoah pelengkap itu telah mempunyai kekuatan
hukum yang pasti, maka bagi pihak yang dikalahkan terbuka kesempatan
mengajukan request civil setelah putusan pidana yang menyatakan bahwa sumpah
itu palsu.183
Kepada pihak mana yang harus diperintahkan oleh hakim untuk
mengangkay sumpah pelengkap atau penambah sepenuhnhya terserah kepada
kebijaksanaan hakim yang mempunyai inisiatif untuk membebani sumpah,184
atinya hakim bebas dalam memilih siapa dari pihak-pihak yang berperkara yang
akan dibebani sumpah. Dalam hal ini yang harus dipertimbangkan oleh hakim
ialah pihak manakah yang dengan sumpah pelengkap itu sekiranya akan
menjamin kebenaran peristiwa yang menjadi sengketa. Pihak yang diperintahkan
oleh hakim untuk mengangkat sumpah pelengkap tidak boleh mengembalikan
sumpah tersebut kepada pihak lawan (Pasal 1943 KUH Perdata).
182 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1940.
183 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 180.
184 Ibid, hal. 181.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
74
Universitas Indonesia
Hakim dapat memerintahkan sumpah penambah tersebut apabila ia
berpendapat bahwa tuntutan atau tangkisan tidak terbukti dengan sempurna
ataupun tuntutan atau tangkisan tersebut juga tidak sama sekali tidak terbukti
(Pasal 182 RBg/155 HIR ayat (1) dan Pasal 1941 KUHPerdata).185 Adapun apa
yang dinyatakan dalam sumpah penambah tidak harus berhubungan dengan
perbuatan yang dilakukan secara pribadi oleh orang yang bersumpah. Dan kepada
pihak lawan diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa sesuatu yang telah
diteguhkan oleh sumpah tersebut adalah tidak benar.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat diambil beberapa perbedaan
yang utama dari sumpah pemutus dengan sumpah penambah, antara lain :186
1. sumpah pemutus dibebankan oleh hakim atas inisiatif para pihak dalam
perkara, sedangkan sumpah pelengkap atau penambah atas inisiatif hakim
sendiri;
2. sumpah pemutus hanya diperbolehkan apabila tidak ada suatu bukti apapun,
sedangkan sumpah penambah harus ada permulaan pembuktian;
3. sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak lain, sedangkan sumpah
penambah tidak dapat dikembalikan atau dialihkan kepada pihak lain;
4. sumpah palsu tidak dapat mempengaruhi akibat dari sumpah pemutus,
sedangkan untuk sumpah penambah dapat dipengaruhi dengan adanya sumpah
palsu;
5. dalam sumpah pemutus yang menjadi obyek sumpah harus mengenai
perbuatan pribadi, sedangkan dalam sumpah penambah yang menjadi obyek
sumpah adalah perbuatan orang lain;
6. sumpah pemutus memberikan bukti yang menentukan, sedangkan sumpah
penambah memberikan bukti sementara, yang dapat dilawan dengan bukti
lain.
185 Hari Sasangka, op. cit., hal. 116.
186 Ibid, hal. 128.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
75
Universitas Indonesia
2.3.5.3 Sumpah Penaksir
Sumpah ini diatur dalam Pasal 155 HIR/182 RBg dan Pasal 1940 KUH
Perdata. Sumpah penaksir yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.187
Apabila dalam persidangan penggugat tidak mampu membuktikan berapa jumlah
ganti rugi yang sebenarnya atau berapa nilai harga barang yang dituntutnya,
begitu juga tergugat tidak mampu membuktikan bantahannya berapa ganti rugi
atau harga barang yang sebenarnya, taksiran atas ganti rugi atau harga barang itu
dapat ditentukan melalui pembebanan sumpah penaksir.
Sumpah penaksir ini baru dapat dibebankan oleh hakim kepada penggugat
apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian itu.
Sumpah tersebut dapat dipergunakan oleh hakim bila ia berpendapat bahwa alat
bukti yang telah ada tidak dapat menetapkan besarnya kerugian tersebut.188
Kekuatan pembuktian sumpah penaksir ini sama dengan sumpah penambah yaitu
bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.
187 Sudikno Mertokusumo (a), op. cit., hal. 182.
188 Hari Sasangka, op. cit., hal. 120.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
76
Universitas Indonesia
BAB 3
PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMBUKTIAN SIDANG
PERKARA PERDATA DI INDONESIA
3.1. Tinjauan Mengenai Pemeriksaan Setempat Dalam Hukum Acara
Perdata
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, lima alat bukti yang berlaku
dalam hukum acara perdata baik yang diatur dalam pasal 164 HIR, Pasal 284
RBg, maupun pasal 1866 KUH Perdata bersifat limitatif. Akan tetapi dalam
praktek terdapat pendukung alat bukti yang dapat dipergunakan untuk
memperoleh kepastian mengenai suatu kebenaran peristiwa yang menjadi
sengketa. Hakim Pengadilan Negeri sebagai judex factie harus memeriksa fakta-
fakta dari suatu perkara dengan sebaik-baiknya sehingga ia mengetahui dengan
jelas seluk-beluknya. Dengan demikian, ia akan dapat mempertimbangkan dengan
sebaik-baiknya dan memberikan putusan yang seadil-adilnya menurut peraturan
hukum yang berlaku.
Untuk mengetahui dengan jelas seluk-beluk suatu perkara kadangkala
tidak selalu mudah, apalagi keterangan yang disampaikan pihak-pihak yang
berperkara di persidangan sangat tajam bertentangan satu sama lain. Selain itu
terhadap suatu keadaan kadangkala tidak bisa atau tidak begitu mudah dijelaskan
secara lisan maupun tulisan, bahkan dengan gambar atau sketsa sekalipun,
sedangkan untuk membawa obyek yang ingin dijelaskan tersebut ke depan sidang
pengadilan tidak mungkin, misalnya barang-barang tidak bergerak seperti rumah,
tanah, gedung, dan sebagainya. Dalam keadaan yang demikian maka untuk
mengetahui keadaan-keadaan atau fakta-fakta dari perkara tersebut dengan sebaik-
baiknya, perlu dilakukan pemeriksaan setempat. Walaupun secara formil
pemeriksaan setempat tidak termasuk alat bukti, namun demikian pemeriksaan
setempat berfungsi untuk membuktikan kejelasan dan kepastian tentang lokasi,
ukuran, dan batas-batas obyek sengketa.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
77
Universitas Indonesia
3.1.1 Pengaturan Tentang Pemeriksaan Setempat Dalam Peraturan
Perundang-undangan
Pemeriksaan setempat dalam HIR hanya diatur dalam satu pasal yang
terdiri dari dua ayat yaitu Pasal 153 HIR. Ketentuan dalam pasal tersebut pada
pokoknya berisi dapat dilakukannya pemeriksaan setempat yang dapat
dipergunakan hakim sebagai keterangan dalam mengambil keputusan, serta
kewajiban bagi panitera untuk membuat berita acara pemeriksaan setempat yang
ditandatangani hakim komisaris dan panitera itu sendiri. Pengaturan dalam HIR
ini sangatlah ringkas dan tidak diatur berbagai hal lainnya yang erat kaitannya
dengan pemeriksaan setempat. Ketentuan Pasal 153 HIR itu sendiri menyebutkan
bahwa :
(1) Jika dipandang perlu atau berfaedah, Ketua boleh mengangkat satu atau dua komisaris dari dewan itu yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim.
(2) Panitera pengadilan hendaklah membuat berita acara tentang pekerjaan itu dan hasilnya, berita acara itu harus ditandatangani oleh komisaris dan panitera pengadilan itu.189
Sama halnya dengan HIR, pada RBg pun ketentuan mengenai pemeriksaan
setempat hanya diatur dalam satu pasal yang terdiri dari tiga ayat yaitu Pasal 180
RBg. Substansi yang tedapat dalam ketentuan pasal ini pada pokoknya sama
dengan Pasal 153 HIR, akan tetapi kelebihannya terdapat pada ayat (3) yang
(1) Ketua, jika dipandangnya perlu atau bermanfaat, dapat mengangkat satu atau dua orang komisaris untuk, dengan dibantu oleh panitera, mengadakan pemeriksaan di tempat agar mendapat tambahan keterangan.
(2) Tentang apa yang dilakukan oleh komisaris serta pendapatnya dibuat berita acara atau pemberitaan oleh panitera dan ditandatangani oleh komisaris dan panitera itu (IR. 153.)
(3) Jika tempat yang akan diperiksa itu terletak di luar daerah hukum tempat kedudukan pengadilan itu, maka ketua dapat diminta kepada
189 Engelbrecht, op. cit., hal. 721.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
78
Universitas Indonesia
pemerintah setempat supaya melakukan atau menyuruh melakukan pemeriksaan itu dan mengirimkan dengan selekas-lekasnya berita acara pemeriksaan itu.190
Di samping kedua peraturan tersebut di atas, pemeriksaan setempat diatur
pula dalam Bab II, Bagian 7 Rv yaitu dalam Pasal 211 sampai dengan Pasal 214
dengan titel Pemeriksaan di Tempat dan Penyaksiannya. Apa yang diatur dalam
Rv ini memiliki ketentuan yang lebih luas dibandingkan dengan yang diatur
dalam HIR dan RBg. Pasal 211 Rv menentukan bahwa :
(1) Jika hakim atas permintaan para pihak atau karena jabatan memandang perlu, maka dengan surat putusan dapat diperintahkan agar seorang atau lebih para anggota yang duduk dalam majelis, disertai oleh panitera, datang di tempat yang harus diperiksa untuk menilai keadaan setempat dan membuat akta pendapatnya, baik dilakukan sendiri maupun dengan dibantu oleh ahli-ahli.
(2) Dengan cara dan maksud yang sama dapat diperintahkan dengan suatu putusan, penyaksian benda-benda bergerak yang tidak dapat atau sukar untuk diajukan ke depan sidang pengadilan.
(3) Putusan itu menentukan waktu pemeriksaan di tempat atau waktu dan tempat peninjauan, tenggang waktu, bilamana berita acara seperti tersebut dalam Pasal 212 harus disediakan di kepaniteraan, dan menentukan waktu dilakukannya persidangan bagi para pihak untuk melanjutkan perkaranya.191
3.1.2 Pengertian Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan setempat dikenal dengan istilah gerechtelijke plattsopneming
atau descente. Menurut pandangan doktrin, selain istilah tersebut di atas,
pemeriksaan setempat juga lazim disebut dengan istilah plaatselijke onderzoek
atau local investigation.192 Baik HIR, RBg, maupun Rv tidaklah memberikan
suatu pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat.
190 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura S. 1927 No.27 (RBg),
diterjemahkan oleh Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 180.
191 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S. 1849 No. 63, diterj. Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Cet. Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), Pasal 211.
192 Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 194.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
79
Universitas Indonesia
Maka dari itu, berikut ini akan dijabarkan apa yang dimaksud pemeriksaan
setempat menurut pendapat beberapa ahli.
1) Menurut Sudikno Mertokusumo,
“pemeriksaan setempat atau descente ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.”193
2) Menurut Subekti,
“pemeriksaan setempat tidaklah lain daripada memindahkan tempat sidang hakim ke tempat yang dituju itu, sehingga apa yang dilihat oleh hakim sendiri di tempat tersebut, dapat dianggap sebagai dilihat oleh hakim di muka sidang pengadilan.”194
3) Menurut Lilik Mulyadi,
“pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan perkara yang dilakukan hakim di luar persidangan Pengadilan Negeri atau di lokasi pemeriksaan setempat dilakukan sehingga hakim dapat secara lebih tegas dan terperinci memperoleh gambaran terhadap peristiwa yang menjadi pokok sengketa.”195
4) Menurut Abdulkadir Muhammad,
“pemeriksaan di tempat adalah pemeriksaan dengan pergi ke tempat barang yang menjadi obyek perkara, yang tidak dapat dibawa ke muka persidangan, misalnya keadaan pekarangan, bangunan, dan lain-lain.”196
5) Menurut Riduan Syahrani,
“pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai fakta-fakta atau keadaan-keadaan suatu perkara yang dilakukan oleh hakim karena jabatannya di tempat obyek perkara berada.”197
193 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 187.
194 Subekti, op. cit., hal. 88.
195 Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 194.
196 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : Alumni, 1982), hal. 175.
197 Riduan Syahrani, op. cit., hal. 79.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
80
Universitas Indonesia
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemeriksaan setempat pada hakekatnya tidak lain daripada pemeriksaan perkara
dalam persidangan, hanya saja persidangan tersebut berlangsung di luar gedung
dan tempat pengadilan, tetapi masih di dalam wilayah hukum pengadilan yang
bersangkutan di tempat obyek barang perkara terletak untuk melihat keadaan atau
memeriksa secara langsung obyek tersebut. Di dalam praktek, pemeriksaan
setempat biasanya dilakukan berkenaan dengan letak gedung atau batas tanah.
3.1.3 Tujuan Pemeriksaan Setempat
Di dalam praktek, pemeriksaan setempat biasanya dilakukan berkenaan
dengan letak gedung atau batas tanah. Tujuan pemeriksaan setempat itu sendiri
yaitu untuk mengetahui dengan jelas dan pasti mengenai letak, luas, dan batas
obyek barang yang menjadi obyek sengketa, atau untuk mengetahui dengan jelas
dan pasti mengenai kuantitas dan kualitas barang sengketa, jika obyek barang
sengketa merupakan barang yang dapat diukur jumlah dan kualitasnya.198
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2001 tentang
Pemeriksaan Setempat dijelaskan bahwa banyak perkara-perkara perdata yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak dapat dieksekusi (non
executable) dikarenakan obyek perkara atas barang-barang tidak bergerak
(misalnya: sawah, tanah, dan sebagainya) tidak sesuai dengan diktum putusan,
baik mengenai letak, luas, batas-batas, maupun situasi pada saat dieksekusi akan
dilaksanakan. Oleh sebab itu, untuk menghindari terjadinya non executable dalam
menjalankan putusan pengadilan, maka SEMA ini meminta kepada majelis hakim
yang memeriksa perkara perdata dalam hal-hal tersebut mengadakan pemeriksaan
setempat atas obyek perkara dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan atau
keterangan yang lebih rinci atas obyek perkara.199
Apa yang dikemukakan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7
Tahun 2001 tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 3537
198 Mashudy Hermawan, Dasar-dasar Hukum Pembuktian, (Surabaya : UMSurabaya,
2007), hal. 151.
199 Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung Tentang Pemeriksaan Setempat, SEMA No. 7 Tahun 2001.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
81
Universitas Indonesia
K/Pdt/1984.200 Menurut putusan ini, hasil pemeriksaan setempat berfungsi untuk
memperjelas obyek gugatan. Dengan adanya pemeriksaan setempat yang
dibarengi dengan pembuatan sketsa tanah terperkara, maka dengan demikian telah
jelas letak dan luas tanah terperkara secara definitif, sehingga tidak ada lagi
kesulitan untuk melaksanakan eksekusi riil atas putusan yang dijatuhkan.
3.1.4 Tata Cara Pemeriksaan Setempat
Berdasarkan Pasal 153 HIR, 180 RBg, serta Pasal 211 Rv, pemeriksaan
setempat dapat dilakukan oleh hakim karena jabatannya atau atas permintaan para
pihak.
1. Oleh Hakim Karena Jabatannya
Hakim karena jabatannya, secara ex officio dapat menetapkan atau
memerintahkan diadakan pemeriksaan setempat, apabila hal itu dianggapnya
penting untuk mengetahui secara pasti keadaan yang berkenaan dengan obyek
gugatan. Dengan demikian, pemeriksaan setempat ini bukanlah pemeriksaan oleh
hakim secara pribadi, tetapi pemeriksaan oleh hakim karena jabatannya, oleh
karena pemeriksaan yang bersifat pribadi oleh hakim itu tidak boleh dijadikan
bukti.201
Sehubungan dengan hal itu, maka hakim perlu memperhatikan Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat.
Apabila dari hasil proses persidangan, terdapat kesan atau indikasi barang obyek
gugatan masih kabur, maka sangat tepat dan beralasan melaksanakan ketentuan
dalam SEMA untuk melakukan pemeriksaan setempat guna menghindari
kesulitan pelaksanaan eksekusi putusan di kemudian hari.
Mengenai sejauh mana kewenangan hakim dalam menetapkan atau
memerintahkan pemeriksaan setempat, tidak hanya terbatas pada hakim tingkat
pertama (Pengadilan Negeri). Dapat juga oleh hakim tingkat banding dan kasasi.
Jadi, pengertian hakim berdasarkan jabatannya meliputi semua hakim secara
200 Tanggal 3-2-1986, jo. PT Manado No. 205/1983, tanggal 27-7-1983, jo. PN Gorontalo
No. 29/1982, tanggal 23-3-1983.
201 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 187.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
82
Universitas Indonesia
instansional.202 Apabila ada ketidakjelasan mengenai obyek sengketa, terlebih lagi
ada perbedaan yang sangat signifikan antara apa yang didalilkan oleh penggugat
maupun yang didalilkan oleh tergugat, maka hakim akan mengambil inistiatif
sendiri untuk melakukan pemeriksaan setempat baik diminta atau pun tidak oleh
para pihak. Mengenai apabila pada pengadilan tingkat pertama tidak
melaksanakan pemeriksaan setempat, kemudian perkara sudah masuk pada tingkat
banding atau kasasi, dan pada pengadilan tingkat banding atau kasasi Majelis
Hakim memandang perlu untuk dilakukan pemeriksaan setempat terhadap obyek
sengketa, maka Majelis Hakim pada tingkat banding atau kasasi dapat
memerintahkan kepada pengadilan negeri untuk membuka kembali persidangan
dalam perkara a quo dan selanjutnya melakukan sidang pemeriksaan setenpat
secara langsung di lokasi obyek sengketa guna melakukan pemeriksaan tambahan
terhadap tanah obyek sengketa baik menyangkut luas, batas-batas, letak tanah
obyek sengketa secara jelas, tegas, dan terperinci. Kemudian nanti selanjutnya
juga diperintahkan kepada pengadilan negeri agar setelah selesai melakukan
pemeriksaan setempat terhadap tanah obyek sengketa yang dimaksud segera
mengirimkan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Setempat kepada pengadilan
tingkat banding atau kasasi untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap
materi pokok perkaranya.203
Pendapat tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 274
K/Sip/1976,204 dalam perkara ini hakim tingkat kasasi memerintahkan Pengadilan
Negeri melakukan pemeriksaan setempat. Dalam amar putusannya dikatakan
bahwa oleh karena judex factie belum memeriksa tanah obyek gugatan, maka
kepada Pengadilan Negeri diperintahkan mengadakan pemeriksaan setempat yang
disertai dengan pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Begitu juga
yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung Np. 436 K/Sip/1974.205 Dalam
202 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 782.
203 Dodik Setyo Wijayanto, 25 Mei 2012, Wawancara Personal.
204 Tanggal 25-4-1979, Rangkuman Yurisprudensi (RY) Mahkamah Agung Indonesia II, Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata, Proyek Yurisprudensi MA, 1997, hal. 306.
205 Tanggal 30-3-1978, Ibid.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
83
Universitas Indonesia
perkara ini pun tingkat kasasi juga memerintahkan Pengadilan Negeri untuk
mengadakan pemeriksaan tambahan mengenai batas-batas tanah berperkara.
2. Atas Permintaan Para Pihak
Selain oleh hakim karena jabatannya, pemeriksaan setempat juga dapat
diajukan atas permintaan salah satu pihak maupun kedua belah pihak yang
berperkara. Hak para pihak tentang ini ditegaskan dalam Pasal 211 ayat (1) Rv,
bahwa atas permintaan para pihak dapat diadakan pemeriksaan setempat.
Permintaan itu dapat diajukan oleh salah satu pihak apabila pihak lawan
membantah kebenaran letak, luas, atau batas-batas tanah obyek sengketa.206 Maka
untuk memperoleh kejelasan yang pasti, sangat penting dilakukan pemeriksaan
setempat seperti yang dapat dilihat dalam Putusan MA No. 274 K/Sip/1976
maupun Putusan No. 436K/Sip/1974 dimana hakim pada tingkat kasasi
berpendapat, letak dan ukuran luas atau batas-batas tanah yang menjadi obyek
perkara belum jelas dan pasti, sehingga dianggap sangat beralasan untuk
melakukan pemeriksaan setempat.
Mengenai permintaan dari para pihak ini sedikit banyak timbul pertanyaan
seperti apabila hakim menetapkan atau memerintahkan dilakukannya pemeriksaan
setempat, apakah hal tersebut harus mendapat persetujuan dari para pihak yang
berperkara atau apabila yang meminta diadakannya pemeriksaan setempat oleh
salah satu pihak, apakah diperlukan persetujuan dari pihak yang lain atau tidak.
Dalam hal ini tidaklah diperlukan persetujuan dari para pihak, karena perintah
untuk dilakukannya pemeriksaan setempat merupakan wewenang penuh yang
dimiliki oleh hakim.207 Meskipun demikian terkadang seringkali menimbulkan
dilematik terkait dengan ketentuan dalam Pasal 211 Rv. Pasal ini memuat
ketentuan bahwa apabila hakim yang memerintahkan untuk dilakukannya
pemeriksaan setempat, maka hakim harus menentukan siapa yang akan
menanggung biaya terkait dengan pelaksanaannya. Misalnya apabila hakim
menetapkan bahwa biaya pelaksanaan pemeriksaan setempat dibebankan kepada
206 Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 152.
207 Ibid, hal. 153.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
84
Universitas Indonesia
penggugat dan ternyata atas penetapan itu penggugat menolak untuk menanggung
biaya pemeriksaan setempat. Dari sinilah kemudian timbul pertanyaan mengenai
apa akibat yang harus ditanggung penggugat atas penolakan tersebut. Dalam kasus
yang demikian, penolakan tersebut tidak sama dengan persetujuan, tetapi
bermakna pengingkaran dalam melaksanakan kewajiban yang diperintahkan
hukum kepadanya, dalam hal ini Pasal 214 ayat (2) Rv. Kepadanya dapat
ditimpakan akibat hukum, yaitu keingkaran itu merupakan fakta di persidangan
yang dapat dijadikan alasan merugikan kepentingannya.208
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pelaksanaan pemeriksaan
setempat didasarkan pada perintah majelis hakim yang memeriksa perkara.
Perintah itu menurut Pasal 153 HIR dan Pasal 180 RBg secara samar dituangkan
dalam bentuk putusan sela. Namun dalam Pasal 211 Rv, perintah penuangan
dalam putusan sela (interlocutoir vonnis)209 atau tussen vonnis ditentukan secara
tegas, yang antara lain berisi hal-hal berikut :
a. Penunjukan Pelaksana Pemeriksaan Setempat
Dalam putusan sela tersebut, terdapat nama pejabat yang bertindak sebagai
pelaksana yang terdiri dari :
1) Paling tidak salah seorang hakim anggota majelis
Dalam pelaksanaan pemeriksaan setempat setidaknya terdiri dari seorang
hakim anggota majelis yang memeriksa perkara tersebut. Baik HIR maupun
RBg menyebut hakim anggota yang ditunjuk sebagai pelaksana pemeriksaan
setempat dengan sebutan komisaris. Pasal 153 HIR/180 RBg menyebutkan
bahwa untuk melaksanakan pemeriksaan setempat, dapat diangkat satu atau
dua orang komisaris yang terdiri dari hakim anggota majelis yang mengadili
208 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 783.
209 Merupakan salah satu bentuk putusan sela (sementara). Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 48 Rv, hakim dapat mengambil atau menjatuhkan putusan yang bukan putusan akhir (eind vonnis), yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan berlangsung. Namun, putusan tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan dengan putusan akhir mengenai pokok perkara. Putusan interlocutoir itu sendiri adalah suatu putusan dimana hakim sebelum memberi putusan terakhir, memerintahkan kepada salah satu pihak supaya membuktikan hal sesuatu dimana putusan interlocutoir ini dapat mempengaruhi akan bunyinya putusan terakhir, atau putusan yang memerintahkan penyelidikan setempat (Soepomo, op. cit., hal. 93).
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
85
Universitas Indonesia
perkara. Dalam Pasal 211 Rv juga disebutkan bahwa yang akan bertindak
melakukan pemeriksaan setempat diangkat dari seorang atau dua orang
anggota majelis yang mengadili perkara. Ini merupakan suatu ketentuan yang
tepat karena hakim anggota majelis yang ikut memeriksa perkara secara
realitas dan obyektif lebih tepat diangkat karena mereka sudah mengetahui
dan mendalami kasus yang diperkarakan.210
2) Disertai seorang panitera
Anggota pelaksana pemeriksaan setempat selanjutnya adalah panitera yang
dalam hal ini bertindak untuk mendampingi hakim anggota majelis yang
ditunjuk sebagai pelaksana, di samping itu panitera juga bertugas untuk
membuat berita acara pemeriksaan setempat.
3) Dapat dibantu oleh ahli
Pasal 211 Rv juga mengatur tentang kebolehan mengikutsertakan ahli.
Ketentuan ini tidaklah bersifat mutlak karena yang mutlak ditentukan
hanyalah hakim anggota majelis dan panitera. Menyertakan ahli dalam
pemeriksaan setempat sifatnya insidentil, yaitu tergantung pada kebutuhan dan
keadaan. Apabila dianggap perlu, maka dalam putusan sela dapat dimasukkan
seorang atau beberapa orang ahli sesuai dengan obyek barang yang menjadi
sengkata para pihak. Misalnya jika obyeknya tanah, maka dapat dibantu oleh
ahli dari kantor Badan Pertanahan Nasional.211
Terlepas dari ketentuan pasal-pasal yang dikemukakan, dibolehkan juga
pelaksanaan pemeriksaan setempat dilakukan secara lengkap oleh majelis hakim
dalam perkara yang bersangkutan.212 Pendapat yang demikian dijelaskan dalam
Putusan Mahkamah Agung No. 316 K/Sip/1983.213 Dalam putusan tersebut
dikatakan bahwa pemeriksaan setempat yang dilakukan majelis dan panitera yang
bersangkutan dianggap lebih sempurna dari ketentuan pelaksanaan yang
210 Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 155.
211 Ibid.
212 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 784.
213 Tanggal 6-2-1985, jo. PT Ujung Pandang No. 429/1982, tanggal 27-12-1982, jo. PN Bulu Kumba No. 6/1982, tanggal 11-5-1982.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
86
Universitas Indonesia
digariskan Pasal 180 RBg yang hanya terdiri dari satu atau dua orang hakim
anggota majelis. Menurut putusan ini pelaksanaan yang dilakukan oleh majelis
hakim secara komplet tidaklah dilarang dalam ketentuan Pasal 180 RBg, atas
alasan ketentuan pasal itu tidak bersifat imperatif, melainkan regulatif (aanvullend
recht). Selain itu yang paling penting untuk diperhatikan adalah kesediaan bagi
pihak yang meminta untuk diadakannya pemeriksaan setempat untuk membayar
biaya yang timbul dari pelaksanaan pemeriksaan setempat tersebut.
b. Berisi Perintah Hal yang Harus Diperiksa
Dalam putusan sela yang memerintahkan dilakukannya pemeriksaan
setempat memuat rumusan untuk melakukan pemeriksaan terhadap obyek barang
sengketa di tempat barang tersebut berada. Namun dalam putusan sela sebaiknya
perintah tersebut dideskripsikan secara jelas dan rinci, seperti perintah memeriksa
lokasi, ukuran, dan batas-batasnya, atau jumlah serta kualitasnya. Pokoknya
disebutkan satu per satu hal-hal yang harus diperiksa dan dinilai mengenai
keadaan barang obyek perkara. Karena pada prinsipnya hasil yang ingin dicapai
dari pemeriksaan setempat yaitu agar dapat ditemukan fakta yang terang, pasti,
dan definitif mengenai keadaan barang obyek perkara. Berarti untuk mencapai
hasil yang demikian, dalam putusan sela harus ditegaskan apa saja yang mesti
Mengenai pelaksanaan pemeriksaan setempat berpedoman pada ketentuan
Pasal 153 HIR, Pasal 180 RBg, dan Pasal 211 Rv. Syarat-syarat dalam
pelaksanaan pemeriksaan setempat antara lain sebagai berikut :
a. Dihadiri para pihak
Pada prinsipnya, pemeriksaan setempat adalah sidang resmi
pengadilan. Hanya saja tempat persidangannya yang berpindah dari ruang
sidang pengadilan ke tempat letaknya barang yang menjadi obyek sengketa.
Oleh karena itu, meskipun tempatnya berpindah secara formil harus lengkap
214 Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 155.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
87
Universitas Indonesia
dihadiri para pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Karena secara formil harus
dihadiri oleh para pihak, maka dari itu pelaksanaan sidang pemeriksaan
setempat harus diberitahukan secara resmi kepada para pihak, baik penggugat
maupun tergugat. Apabila pemberitahuan tersebut sudah dilakukan, akan
tetapi kemudian yang bersangkutan tidak hadir tanpa alasan yang sah (default
without reason), maka sidang pemeriksaan setempat dapat dilangsungkan
secara op tegenspraak atau tanpa bantahan dari pihak yang tidak hadir
berdasarkan Pasal 127 HIR.215
Dengan demikian, sebagai syarat formil, sidang pemeriksaan setempat
harus dihadiri para pihak. Namun apabila salah satu pihak tidak hadir tanpa
alasan yang sah, pemeriksaan dapat dilangsungkan tanpa hadirnya pihak
tersebut. Pemeriksaan tidak boleh digantungkan kepada kehadiran para pihak,
terlebih lagi apabila ketidakhadiran itu tanpa alasan yang sah.216
b. Datang ke tempat barang terletak
Suatu hal yang perlu diingat, pemeriksaan setempat bukan hanya
terbatas pada benda tidak bergerak seperti tanah atau kapal. Menurut Pasal
211 ayat (2) Rv, pemeriksaan setempat dapat juga diperintahkan terhadap
benda bergerak (movable goods) dengan syarat apabila barang tersebut sulit
atau tidak mungkin dibawa atau diajukan di sidang pengadilan.
Proses sidang pemeriksaan setempat mesti dilangsungkan di tempat
lokasi barang itu terletak. Pejabat yang diangkat atau ditunjuk datang langsung
ke tempat barang yang hendak diperiksa terletak. Setelah sampai di tempat,
hakim yang memimpin pemeriksaan membuka secara resmi sidang
pemeriksaan setempat. kemudian kepada para pihak diberi hak dan
kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti atau fakta untuk memperkuat
dalil maupun bantahan masing-masing. Dalam hal ini para pihak dibolehkan
mengajukan saksi yang mereka anggap dapat memperkuat dalil gugatan atau
215 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 785.
216 Ibid.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
88
Universitas Indonesia
bantahan.217 Pemeriksaan setempat ini sebenarnya dapat dilakukan melalui
dua cara, yaitu yang pertama sidang dibuka terlebih dahulu di pengadilan, baru
kemudian menuju lokasi obyek sengketa atau yang kedua sidang pemeriksaan
setempat langsung dibuka di lokasi barang terperkara terletak.
Jadi, tidak ada bedanya dengan proses persidangan biasa sebagaimana
layaknya di ruang sidang pengadilan. Segala sesuatu yang berkenaan dengan
tata tertib dan hak serta asas yang semestinya ditegakkan, berlaku sepenuhnya
pada sidang pemeriksaan setempat.
c. Panitera membuat berita acara
Sebagaimana halnya dengan persidangan biasa, sidang pemeriksaan
setempat pun harus dituangkan dalam berita acara yang disebut berita acara
pemeriksaan setempat. Dalam hal ini yang bertugas untuk membuat berita
acara tersebut adalah panitera. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 153 ayat (2)
HIR, Pasal 180 RBg, dan Pasal 212 Rv. Pasal 212 Rv menyebutkan bahwa :
“Panitera membuat berita acara tentang semua hal yang terjadi di tempat dilakukan pemeriksaan.”218
Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 186 HIR yang menegaskan :
(1) Panitera membuat berita acara dari tiap-tiap satu perkara di dalam berita acara itu disebut juga selain dari yang terjadi dalam persidangan, nasehat yang tersebut pada ayat ketiga pasal 7 Reglemen tentang Aturan Hakim dan Mahkamah serta Kebijaksanaan Kehakiman di Indonesia.
(2) Berita acara ini ditandatangani oleh hakim dan panitera.219
Perlu diingat, bahwa Berita Acara Pemeriksaan Setempat merupakan bagian
dari Berita Acara Persidangan dan Berita Acara Persidangan itu sendiri
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam suatu putusan. Berbeda dengan
217 Ibid.
218 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S. 1849 No. 63, diterj. Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 212.
219 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (H.I.R) diterj. Karjadi, op. cit., Pasal 186.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
89
Universitas Indonesia
pelaksanaan sita jaminan, berita acara dibuat oleh juru sita, sehingga terpisah
dari Berita Acara Persidangan.
d. Membuat akta pendapat
Selain panitera membuat berita acara pemeriksaan setempat, hakim
yang ditugaskan sebagai pelaksana pemeriksaan setempat juga ditugaskan
membuat akta pendapat yang berisi penilaian atas hasil pemeriksaan yang
dilakukan. Dasar hukum ketentuan ini tertuang dalam Pasal 211 Rv. Untuk
membuat akta pendapat yang obyektif dan realistis, hakim pelaksana dapat
meminta bantuan kepada ahli, agar pada saat pemeriksaan dilakukan
didampingi ahli. Dalam hal ini sudah barang tentu akta pendapat harus
konsisten dengan berita acara yang dibuat oleh panitera, karena rujukan akta
itu adalah berita acara pemeriksaan setempat itu sendiri.220
Dalam praktek, akta pendapat ini jarang sekali dibuat oleh Majelis
Hakim yang ditunjuk untuk memimpin pemeriksaan setempat. Hal ini
dikarenakan sudah ada Berita Acara Pemeriksaan Setempat yang telah dibuat
oleh panitera yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau catatan bagi hakim
nantinya.
3.1.6 Pendelegasian Pemeriksaan Setempat
Pasal 180 ayat (3) RBg dan Pasal 213 Rv mengatur tentang pendelegasian
pelaksanaan sidang pemeriksaan setempat kepada Pengadilan Negeri yang lain.
Apabila pemeriksaan setempat harus dilakukan dalam wilayah hukum Pengadilan
Negeri yang lain, disebabkan obyek barang sengketa terletak di wilayah hukum
Pengadilan Negeri dimaksud, maka pemeriksaan dilimpahkan kepadanya. Pasal
213 Rv menyebutkan bahwa :
“Jika pemeriksaan setempat atau penyaksian harus dilakukan dalam wilayah hukum suatu pengadilan, tetapi di luar tempat kedudukannya, maka hal itu dapat diserahkan kepada Residentierechter. Dengan suatu
220 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 786.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
90
Universitas Indonesia
keputusan ditetapkan hari perkara itu mendapat giliran pemeriksaan lagi.”221
Pelimpahan itu sesuai dengan prinsip atau patokan yurisdiksi relatif yang
dimiliki setiap Pengadilan Negeri yang hanya terbatas dalam daerah hukumnya.
Jika diperlukan pemeriksaan suatu barang di luar daerah hukum pengadilan yang
memeriksa perkara yang bersangkutan, maka pemeriksaan tersebut harus
dilaksanakan oleh pengadilan negeri yang bersangkutan dengan jalan
mendelegasikan kepada pengadilan negeri dimana barang tersebut terletak. Sistem
ini merupakan aturan yang bersifat tata tertib beracara yang harus dipenuhi oleh
setiap pengadilan negeri.222 Jadi pengadilan negeri asal mengajukan permohonan
kepada pengadilan negeri dimana obyek sengketa terletak, nantinya pengadilan
negeri setempat yang akan memeriksa ke lokasi. Kemudian pengadilan negeri
setempat akan memberikan berita acara hasil pemeriksaan setempat kepada
pengadilan negeri pengaju.
3.1.7 Biaya Pemeriksaan Setempat
Mengenai biaya atau ongkos pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 214
Rv, dimana terdapat beberapa hal yang penting untuk diketahui, antara lain :
a. Dibebankan kepada pihak yang meminta
Pihak yang meminta dilakukannya pemeriksaan setempat, maka dengan
sendirinya menurut hukum dibebankan kewajiban untuk membayar biaya
pemeriksaan dimana biaya itu dibayar lebih dahulu sebelum pemeriksaan
dilakukan. Pasal 214 ayat (1) Rv menegaskan bahwa :
“Ongkos jalan ditanggung oleh pihak yang menghendaki diadakannya pengamatan atau penyaksian setempat, dibayar lebih, dan diserahkan kepada panitera.”223
221 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S.
223 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S. 1849 No. 63, diterj. Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 214 ayat (1).
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
91
Universitas Indonesia
Tentang biaya ini sesuai dengan ketentuan pembayaran panjar biaya
perkara yang disebut dalam Pasal 121 ayat (4) HIR yang menegaskan sebelum
gugatan diregister oleh panitera, penggugat harus lebih dahulu membayar panjar
biaya perkara yang ditentukan.224 Secara lengkap Pasal 121 ayat (4) HIR
berbunyi:
“memasukkan ke dalam daftar seperti di dalam ayat pertama, tidak dilakukan, kalau belum dibayar lebih dahulu kepada panitera sejumlah uang yang akan diperhitungkan kelak yang banyaknya buat sementara ditaksir oleh ketua pengadilan negeri menurut keadaan, untuk bea kantor kepaniteraan dan ongkos melakukan segala panggilan serta pemberitahuan yang diwajibkan kepada kedua belah pihak dan harga materai yang akan dipakai.”225
b. Hakim sendiri yang menentukan
Apabila pemeriksaan setempat bukan atas permintaan salah satu pihak,
tetapi atas perintah hakim secara ex officio maka beban pembayaran panjar biaya
ditentukan oleh hakim sendiri. Hakim bebas menentukan kepada siapa dipikulkan
untuk membayar biaya pemeriksaan setempat tersebut, dapat dipikulkan kepada
penggugat maupun kepada tergugat. Pasal 214 ayat (2) Rv menegaskan bahwa :
“Jika hakim yang memerintahkan pengamatan dan penyaksian setempat, maka ia menentukan pula siapa yang harus membayar lebih dahulu biayanya.”226
Dikarenakan yang dianggap sebagai pihak yang paling berkepentingan
dalam suatu perkara adalah pihak penggugat, maka pihak penggugatlah urutan
pertama yang layak dibebani biaya pemeriksaan setempat oleh hakim. Namun
dalam hal ini, hakim sedapat mungkin realistis sesuai dengan asas kepatutan.
Tidak patut hakim membebankan biaya pemeriksaan setempat kepada pihak
ekonomi lemah. Misalnya, apabila ternyata tergugat secara nyata berada dalam
224 Ibid., hal. 787.
225 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (H.I.R) diterj. Karjadi, op. cit., Pasal 121.
226 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S. 1849 No. 63, diterj. Ropaun Rambe, op. cit., Pasal 214 ayat (2).
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
92
Universitas Indonesia
posisi ekonomi yang lebih kuat dari penggugat, maka dianggap beralasan untuk
membebankan biaya pemeriksaan setempat tersebut kepada tergugat.227
Namun demikian, apabila pihak yang dibebani enggan atau tidak mau
membayar, maka pelaksanaan pemeriksaan setempat tersebut tidak dilakukan.228
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 160 ayat (2) HIR yang berbunyi :
“Jika kedua pihak enggan memanjarkan biaya itu, dan sia-sia dinasihatkan oleh ketua untuk itu, maka perbuatan yang diperintahkan, kecuali jika itu diwajibkan oleh undang-undang, tidak dilakukan, dan pemeriksaan diteruskan, kalau perlu pada persidangan lain yang ditetapkan oleh ketua , dan diberitahukan kepada kedua pihak.”229
c. Komponen biaya pemeriksaan setempat
Komponen pokok biaya pemeriksaan setempat menurut Pasal 214 Rv
adalah ongkos jalan. Komponen inilah yang umum yaitu biaya perjalanan
pelaksanaan yang terdiri dari paling sedikit dua orang, yaitu hakim dan panitera.
Mengenai besarnya ongkos jalan itu sendiri tergantung pada jarak antara kantor
Pengadilan Negeri dengan tempat letaknya barang yang menjadi obyek sengketa.
Dasar perhitungan ialah ongkos transportasi yang dikeluarkan ke tempat tersebut.
Hal ini sejalan dengan sebagaimana ketentuan yang termuat dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 5 Tahun 1994 tentang Biaya Administrasi, dimana dalam
poin 8 disebutkan :
“Bersamaan dengan ini disampaikan bahwa pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Majelis/Hakim di luar ruang sidang pengadilan adalah sama sifatnya dengan persidangan yang dilakukan di kantor Pengadilan. Karenanya untuk melakukan persidangan pemeriksaan setempat, tidak dibenarkan adanya pembebanan biaya yang sifatnya honor/uang makan bagi Majelis/Panitera Pengganti, kecuali untuk pengadaan biaya transportasi dari Kantor Pengadilan ke tempat persidangan pulang pergi.”230
227 Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 158.
228 Ibid.
229 Engelbrecht, op. cit., Pasal 160 ayat (2).
230 Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung Tentang Biaya Administrasi, SEMA No. 5 Tahun 1994, poin 8.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
93
Universitas Indonesia
Komponen biaya pemeriksaan setempat ini juga meliputi biaya
pemanggilan saksi atau ahli jika memang ada. Bahkan dalam hal tertentu, apabila
pemeriksaan memerlukan pengamanan dari aparat kepolisian, maka perhitungan
panjar biaya juga meliputi ongkos yang diperlukan untuk itu sesuai dengan
kewajaran.231
Berdasarkan Pasal 214 Rv, komponen panjar biaya pemeriksaan setempat
tidak sebanyak yang disebut dalam Pasal 182 HIR. Komponen biaya pemeriksaan
setempat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 214 HIR antara lain meliputi :
1) biaya kantor panitera dan biaya meterai,
2) biaya saksi, ahli, atau juru bahasa,
3) biaya pemeriksaan setempat,
4) biaya pemanggilan,
5) biaya yang disebut dalam Pasal 138 HIR,
6) biaya eksekusi.
3.2. Pemeriksaan Setempat Sebagai Salah Satu Pendukung Alat Bukti
Dalam Pembuktian Sidang Perkara Perdata
Seiring dengan perkembangan zaman, pernah dipersoalkan apakah di
samping lima macam alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284
RBg, dan Pasal 1866 KUH Perdata terdapat lagi alat-alat bukti lainnya atau tidak.
Menurut R. Soesilo dalam penjelasan Pasal 164 ini, ia berpendapat bahwa apa
yang disebutkan sebagai alat-alat bukti dalam pasal tersebut sebenarnya kurang
lengkap. Menurut HIR sesungguhnya masih ada beberapa macam alat bukti lain
lagi, seperti misalnya hasil pemeriksaan hakim sendiri atau hasil penyelidikan
setempat yang tersebut dalam Pasal 153 HIR, hasil pemeriksaan ahli yang
disebutkan dalam Pasal 155 HIR dan begitu pula hal-hal yang diakui oleh umum,
atau yang diakui kebenarannya oleh kedua belah pihak.232 Hal ini sejalan dengan
apa yang dikemukakan Subekti yang menyatakan bahwa penyebutan alat-alat
bukti dalam Pasal 164 tersebut tidak berarti melarang alat-alat bukti lainnya.
231 Mashudy Hermawan, op. cit., hal. 159.
232 R. Soesilo, HIR Penjelasan, Pasal 164.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
94
Universitas Indonesia
Tidak dilarang misalnya mengajukan bukti-bukti yang berupa tanda-tanda yang
bukan tulisan.233 Pasal 1887 KUH Perdata misalnya menyebutkan :
“Tongkat-tongkat berkelar yang sesuai dengan kembarnya, harus dipercaya, jika dipergunakan antara orang-orang yang biasa membuktikan penyerahan-penyerahan barang yang dilakukannya atau diterimanya dalam jumlah-jumlah kecil, dengan cara yang demikian itu.”234
Menurut Sudikno Mertokusumo,235 meskipun pemeriksaan setempat ini tidak
dimuat di dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBG, dan Pasal 1866 KUH Perdata
sebagai alat bukti, tetapi oleh karena tujuan pemeriksaan setempat ialah agar
hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa, maka
fungsi pemeriksaan setempat pada hakekatnya adalah sebagai alat bukti.
Terlepas dari persoalan apakah pemeriksaan setempat merupakan alat
bukti atau tidak yang tidak ada kesepakatan para ahli, namun pemeriksaan
setempat yang pelaksanaannya seringkali disaksikan oleh masyarakat ramai akan
memberi kesan yang positif bahwa pengadilan benar-benar berusaha melakukan
pemeriksaan perkara seteliti dan seobyektif mungkin untuk memberikan putusan
yang adil dan benar menurut peraturan hukum yang berlaku.236 Oleh sebab itu,
walau secara yuridis formil tidak termasuk sebagai alat bukti, namun hasil
pemeriksaan setempat dapat dijadikan sebagai pendukung alat bukti dalam
persidangan.
3.3. Kekuatan Pembuktian Pemeriksaan Setempat Dalam Hukum Acara
Perdata
Secara yuridis formil, hasil pemeriksaan setempat bukanlah merupakan
alat bukti, karena sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pemeriksaan
setempat tidak termasuk sebagai alat bukti baik yang disebut dalam Pasal 164
HIR, Pasal 283 RBg, maupun Pasal 1866 KUH Perdata. Namun demikian, hasil
233 Subekti, op. cit., hal. 88.
234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterj. Subekti dan Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1887.
235 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 187-188.
236 Riduan Syahrani, op. cit., hal. 80.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
95
Universitas Indonesia
pemeriksaan setempat dapat mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan oleh
majelis hakim nantinya.237 Kekuatan pembuktiannya itu sendiri diserahkan kepada
pertimbangan majelis hakim.238
a. Sebagai Keterangan Bagi Hakim
Dalam Pasal 153 ayat (1) HIR, Pasal 180 ayat (1) RBg, dan Pasal 211 Rv
ditegaskan bahwa nilai kekuatan yang melekat pada hasil pemeriksaan setempat
dapat dijadikan keterangan bagi hakim. Dengan demikian, nilai kekuatan yang
melekat padanya hanya sebagai keterangan yang menjelaskan tentang kepastian
definitif atas barang yang disengketakan. Namun kalau sesuatu keterangan yang
jelas dan definitif dijadikan sebagai dasar pertimbangan, berarti keterangan itu
pada dasarnya tiada lain dari pembuktian tentang eksistensi dan keadaan barang
yang bersangkutan. Dan oleh karena keterangan tersebut merupakan hasil yang
diperoleh dalam persidangan pemeriksaan setempat, berarti keterangan itu sama
dengan fakta yang ditemukan dalam persidangan. Sesuai dengan hukum
pembuktian, setiap fakta yang ditemukan dalam persidangan, hakim terikat untuk
menjadikannya sebagai bagian dasar pertimbangan mengambil putusan.239
Sehubungan dengan itu, pada dasarnya hasil pemeriksaan setempat
merupakan fakta yang ditemukan dalam persidangan, sehingga mempunyai daya
kekuatan mengikat kepada hakim dalam mengambil keputusan. Tetapi sifat daya
mengikatnya tidaklah mutlak. Hakim bebas untuk menentukan nilai kekuatan
pembuktiannya.240
b. Variabel Nilai Kekuatannya Dalam Putusan Pengadilan
1) Hasil pemeriksaan setempat dapat dijadikan dasar pertimbangan
Prinsip ini tetap bertitik tolak dari kebebasan hakim untuk menilainya,
karena patokan yang dipergunakan bukan mesti atau wajib dijadikan dasar
237 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 788.
238 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 188.
239 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 788.
240 Ibid.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
96
Universitas Indonesia
pertimbangan, tetapi dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh
hakim. Pendapat itu antara lain dikemukakan dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 1497 K/Sip/1983.241 Menurut putusan ini, hakim atau
pengadilan dapat menetapkan luas tanah terperkara berdasarkan hasil
pemeriksaan setempat.242
2) Dapat dijadikan dasar mengabulkan gugatan
Dalam hal dalil gugatan tentang luasnya tanah dibantah oleh tergugat, dan
kemudian ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan setempat sama luasnya
dengan yang tercantum dalam dalil gugatan, maka dalam kasus yang
seperti ini hasil pemeriksaan setempat yang dimaksud dapat dijadikan
dasar pengabulan gugatan. Hal ini antara lain ditegaskan dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 3197 K/Sip/1983243 yang berpendapat bahwa hasil
pemeriksaan setempat dapat dijadikan dasar dalam pengabulan gugatan,
asal pengabulan tersebut tidak melebihi petitum gugatan. Dengan kata lain,
yang dikabulkan sama denga posita dan petitum gugatan yang ternyata
sama pula dengan hasil pemeriksaan setempat, sehingga tidak melanggar
asas ultra petitum partium sebagaimana dalam ketentuan Pasal 178 ayat
(3) HIR244 yang berbunyi :
“hakim tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan dari pada yang digugat.”245
241 Tanggal 20-12-1984, jo. PT Semarang No. 455/1981, Tanggal 29-11-1982, jo. PN
Pemalang No. 36/1980, Tanggal 15-6-1980.
242 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 788-789.
243 Tanggal 9-2-1985, jo. PT Padang No. 166/1980, Tanggal 15-6-1983, jo. PN Paddang No. 128/1978, Tanggal 3-3-1980.
244 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 789.
245 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (H.I.R) diterj. Karjadi, op. cit., Pasal 178 ayat (3).
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
97
Universitas Indonesia
3) Dapat dipergunakan menentukan luas
Daya mengikat hasil pemeriksaan setempat yang lain yaitu bahwa hasil
pemeriksaan setempat dapat dijadikan dasar atau fakta untuk menentukan
luas obyek tanah yang menjadi obyek sengketa. Sifat daya kekuatannya
memang tidak mutlak. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 1777 K/Sip/1983.246 Dalam putusan tersebut dikatakan bahwa
hasil pemeriksaan setempat dapat dijadikan dasar untuk memperjelas letak,
luas, dan batas obyek tanah terperkara. Sehubungan dengan itu, maka
judex factie berwenang untuk menjadikan hasil pemeriksaan setempat
tersebut untuk menentukan luas obyek tanah terperkara.247
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa dalam praktik pemeriksaan setempat
biasanya memang dilakukan berkenaan dengan letak gedung atau batas tanah.
Berikut ini akan dijabarkan sebuah kasus dalam perkara di Pengadilan Negeri
Sidoarjo dengan Putusan No. 59/Pdt.G/1988/PN.Sda antara Achmad Chalimi dkk
sebagai Para Penggugat melawan Abdul Hadi alias Soepadi dkk sebagai Para
Tergugat, yang menyangkut warisan atas tanah tambak di Desa Kedungpeluk,
Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo.
Dalam kasus ini para penggugat mendalilkan bahwa para tergugat
menguasai tanah tambak harta peninggalan Mbok Seken yang semasa hidupnya
mempunyai tanah tambah barang asal dari orang tuanya yang semula bernama
Tambak Sepir, kemudian ditukar kepada pamannya yang bernama Mantri P.
Abdullah dengan Tambak Seloro Letter C No. 335 seluas ± 10,92 hektar. Semasa
perkawinannya dengan suami pertamanya yang bernama P. Sampe yang
kemudian meninggal dunia, Mbok Seken tidak mempunyai anak, tetapi
mempunyai seorang keponakan bernama H. Mariyam. Setelah meninggalnya P.
Sampe, Mbok Seken menikah lagi dengan seorang duda bernama H. Sulaiman
yang semasa perkawinannya terdahulu telah mempunyai beberapa anak, salah
satunya Abdul Hadi alias Soepadi yang menguasai tanah sengketa.
246 Tanggal 17-1-1985, jo. PT Medan No. 161/1981, Tanggal 23-3-1982, jo. PN P.
Sidemouan No. 50/1980, Tanggal 14-10-1980.
247 M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 789.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
98
Universitas Indonesia
Merasa dikuasai secara sepihak oleh Abdul Hadi alias Soepadi, ahli waris
H. Mariyam yaitu Achmad Chalimi dkk kemudian mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri Sidoarjo. Dalam pemeriksaan di Pengadilan Negeri Sidoarjo,
para penggugat mengajukan saksi sejumlah 12 (dua belas) orang, akan tetapi
antara yang satu dengan yang lainnya memberikan keterangan yang tidak sama
mengenai luas tanah tambak tersebut. Karena tidak ada kejelasan mengenai luas
tanah sengketa, maka majelis hakim yang diketuai oleh Achmad Fatoni kemudian
merasa perlu melaksanakan pemeriksaan setempat.
Dari hasil pemeriksaan setempat tersebut, ternyata penggugat tidak dapat
menjelaskan berapa luas tanah tanah tambaknya karena dalam pemeriksaan
setempat hanya mengikutsertakan aparat keamanan (polisi), tetapi teknisi seperti
juru ukur dan juru gambar dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang
membantu kelancaran pemeriksaan setempat tidaklah dilibatkan, sehingga hasil
pemeriksaan setempat tersebut dapat menjadi keterangan bagi hakim yang
bersangkutan dalam memutus perkara. Padahal Yurisprudensi Mahkamah Agung
No. 274 K/Sip/1976 tertanggal 25 April 1979 dalam perkara Syamsiar melawan
Rosni Syarif, menegaskan bahwa : “Karena judex factie belum memeriksa tanah
milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat, kepada Pengadilan Negeri
diperintahkan untuk mengadakan pemeriksaan setempat disertai pengukuran
tanah tersebut oleh Badan Pertanahan Nasional yang disaksikan oleh hakim yang
bersangkutan dan pihak-pihak.” Dikarenakan penggugat tidak melibatkan juru
ukur dan teknisi dari Badan Pertanahan Nasional, sehingga walaupun telah
dilakukkan pemeriksaan setempat, akan tetapi tetap tidak dapat memberikan
kepastian definitif mengenai obyek sengketa. Oleh karena itu, akhirnya majelis
hakim memutuskan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
99
Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS KASUS
4.1. Analisis Kasus Nomor 31/Pdt.G/2006/PN.Jr
4.1.1. Kasus Posisi
Dalam perkara Nomor 31/Pdt.G/2006/PN.Jr ini sengketa berawal dari
diajukannya gugatan oleh Herman Raharja sebagai Penggugat, melawan Erfan
Fadillah dan P. Rusdiam sebagai Para Tergugat pada tanggal 17 April 2006.
Duduk perkara dalam sengketa ini antara lain bahwa penggugat merasa
kepentingannya terganggu dikarenakan para tergugat telah membangun dan
mendirikan rumah dengan merampas atau menyerobot sebagian tanah yang
menjadi hak penggugat. Penggugat sendiri mendalilkan bahwa dirinya memiliki
tanah yang terletak di Kelurahan Jember Kidul, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten
Jember yang terdaftar dalam Sertifikat Hak Milik No. 4999/Kelurahan Jember
Kidul, gambar situasi tanggal 13 Juli 1994 No. 3068/1994 seluas 3.103 m2 dengan
batas-batas sebagai berikut :
- Utara : selokan kemudian jalan dan tanah kuburan;
- Timur : Joko Slamet dan H. Maryam;
- Selatan : Sungai;
- Barat : kuburan dan Pak Rusdiam/Irfan Fadillah.
Pada tahun 2005, para tergugat tanpa sepengetahuan dan tanpa seizin
penggugat telah membangun/mendirikan rumah di atas tanah lokasi kuburan yang
diakui sebagai miliknya yang terletak bersebelahan (sebelah barat) dengan tanah
yang menjadi hak penggugat yaitu seluas ± 4,5 m2 (tanah sengketa) dengan bentuk
segitiga dengan batas-batas sebagai berikut :
- Utara : selokan kemudian jalan;
- Timur : Herman Raharja;
- Selatan : kuburan kemudian tanah Herman Raharja;
- Barat : Pak Rusdiam/Irfan Fadillah;
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
100
Universitas Indonesia
sehingga bangunan rumah yang dibangun oleh para tergugat sebagian terdiri di
atas tanah sengketa yang mengakibatkan tanah milik penggugat mengalami
perubahan batas dan luasnya menjadi berkurang.
Berdasarkan dalil-dalil tersebutlah, maka penggugat menyimpulkan bahwa
para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang telah
menimbulkan kerugian materiil yang ditaksir sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) untuk setiap tahunnya sejak Januari 2005 saat para tergugat membangun
rumah di atas sebagian tanah yang diakui milik penggugat sampai dengan
diserahkannya tanah sengketa tersebut kepada penggugat. Dikarenakan para
tergugat sudah merampas sebagian tanah milik penggugat dan mendirikan
bangunan rumah di atas tanah sengketa tanpa didukung alat bukti yang sah, maka
penggugat juga memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara untuk menghukum para tergugat untuk segera membongkar rumah yang
berdiri di atas tanah sengketa tersebut dan menyerahkan tanah sengketa tersebut
kepada penggugat dalam keadaan kosong seperti keadaan semula.
Menanggapi gugatan yang diajukan oleh penggugat, maka kemudian para
tergugat melalui kuasanya mengajukan jawaban yang dalam eksepsi menyatakan
bahwa surat gugatan penggugat yang menyebutkan tanah sengketa adalah ± 4,5
m2 dengan bentuk segitiga adalah sangat keliru sekali karena yang dikuasai oleh
para tergugat adalah seluas 750 m2 yang didasarkan pada petok C. 1109 a.n. P.
Sunaryo Satujo, persil 75, D.I.
Selanjutnya dalam pokok perkara, para tergugat juga mendalilkan bahwa
terbitnya Sertifikat Hak Milik No. 4999 milik penggugat berdasar pada petunjuk
bekas yasan, kutipan petok C No. 3881 persil 68 Klas S seluas 2.110 m2, namun
yang terjadi pada gambar situasi tanggal 13 Juli 1994 No. 3068/1994 luasnya
menjadi 3.103 m2, sehingga mempunyai selisih yang sangat signifikan sekali yaitu
seluas 993 m2. Hal ini tidak disadari oleh penggugat bahwa selisih tanah seluas
993 m2 adalah tanah milik P. Sunaryo Satujuo (alm) petok C. 1109 a.n. P.
Sunaryo Satujo, persil 75, D.I., dengan luas 750 m2, yang makamnya ada di
sebelah tanah sengketa tersebut yang tidak lain adalah kakek Rusdiam atau buyut
Erfan Fadillah selaku para tergugat. Dalam hal ini penggugat telah keliru
mendalilkan bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
101
Universitas Indonesia
dengan merampas tanah milik penggugat dan mendirikan rumah di atas sebagian
tanah milik penggugat. Para tergugat memang membangun rumah pada tahun
2005, namun rumah tersebut didirikan di atas tanah milik P. Sunaryo Satujo (alm)
yang merupakan orang tua dari tergugat, bukan di atas sebagian tanah milik
penggugat karena tanah milik penggugat ada di belakang atau di sebelah selatan
tanah milik para tergugat. Sehingga jelas para tergugat sangat keberatan apabila
harus membongkar rumah yang dibangun di atas tanah yang menjadi hak para
tergugat sendiri, bahkan menurut para tergugat sertifikat hak milik termasuk
gambar situasi tanah tanggal 13 Juli 1994 No. 3068/1994 milik penggugat sangat
membawa kerugian bagi para tergugat.
Selanjutnya dalam rekonpensi, para tergugat konpensi menyatakan bahwa
P. Sunaryo Satujo (alm) pada tahun 1962 meninggal dunia dan meninggalkan
beberapa ahli waris, dimana Tergugat II konpensi adalah salah satunya. P.
Sunaryp Satujo (alm) dalam hal ini meninggalkan harta peninggalan atau warisan
berupa tanah pekarangan dengan identitas petok C. 1109 a.n. P. Sunaryo SSatujo,
persil 75, D.I. dengan luas 750 m2 (tanah sengketa) dengan batas-batas sebagai
berikut :
- Utara : Jalan Sentot Prawirodirjo;
- Timur : Tanah milik Mulyono Tejo;
- Selatan : Tanah Herman Raharja;
- Barat : Tanah makam Kel. P. Sunaryo dan Erfan.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka para tergugat memohon kepada Majelis
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara menyatakan bahwa Sertifikat Hak
Milik No. 4999/Kelurahan Jember Kidul dan gambar situasi tanggal 13 Juli 1994
seluas 3.103 m2 tidak sah dan mengandung cacat hukum karena kelebihan luas
tanah mengingat Sertifikat Hak Milik No. 4999 tersebut berasal dari petunjuk
kutipan petok C No. 3881, persil 68, Klas S.II, dengan luas seharusnya ± 2.110
m2.
Dikarenakan adanya perbedaan tentang tanah yang menjadi obyek
sengketa baik perbedaan luas maupun batas-batasnya antara penggugat dengan
para tergugat, maka sebelum penggugat mengajukan saksi-saksi, majelis hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara ini melakukan sidang pemeriksaan
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
102
Universitas Indonesia
setempat (descente) dengan datang langsung ke lokasi obyek sengketa pada
tanggal 23 Juni 2006.
Setelah dilakukan pemeriksaan setempat, ada pihak ketiga yang
mengajukan gugatan intervensi karena juga merasa memiliki tanah sengketa
tersebut, yaitu M. Slamet sebagai Penggugat Intervensi I, Rudi sebagai Penggugat
Intervensi II, Rudjamah sebagai Penggugat Intervensi III, Sulastri sebagai
Penggugat Intervensi IV, dan M. Taufik sebagai Penggugat Intervensi V yang
semuanya mengaku sebagai ahli waris dari P. Sunaryo Satujo yang berhak
mewarisi tanah sengketa tersebut. Pada pokoknya gugatan intervensi yang
diajukan oleh para penggugat intervensi serupa dengan jawaban yang diajukan
oleh para tergugat dalam konpensi bahwa Sertifikat Hak Milik No. 4999
Kelurahan Jember Kidul, gambar situasi tanggal 13 Juli 1994 No. 3068/1994
seluas 3.103 m2 adalah berasal dari kutipan petok C. 3881 persil 68, Klas S.II
dengan luas 2.110 m2 sebagaimana yang tertera di buku Desa Kelurahan Jember
Kidul pada tanggal 11 September 1975 tetapi pada kenyataannya gambar situasi
menjadi seluas 3.103 m2, sehingga kelebihan seluas 993 m2 dimana 750 m2 dari
kelebihan luas tersebut adalah tanah milik para penggugat intervensi yang
dikuatkan dengan Surat Keterangan dari Lurah Jember Kidul No.
590/147/535.04/2006.
4.1.2. Analisis Kasus
Dalam kasus ini, sidang pemeriksaan setempat dikehendaki oleh kedua
belah pihak, baik penggugat maupun tergugat. Apabila memperhatikan ketentuan
Pasal 211 ayat (1) Rv, maka hakim harus mengabulkan permohonan tersebut
diikarenakan adanya perbedaan mengenai luas dan batas-batas tanah yang menjadi
obyek sengketa antara dalil yang dikemukakan oleh penggugat dengan dalil yang
dikemukakan oleh para tergugat. Majelis hakim sendiri dalam pertimbangannya
menyatakan bahwa untuk kepentingan pembuktian, maka pada tanggal 23 Juni
2006 majelis hakim mengadakan pemeriksaan setempat di lokasi tanah sengketa
yang ternyata di samping tanah sengketa diakui sebagai milik penggugat, juga
diakui sebagai milik para tergugat. Pertimbangan majelis hakim ini telah sejalan
dengan ketentuan yang dikemukakan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.
Tinjauan yuridis..., Rieya Aprianti, FH UI, 2012
103
Universitas Indonesia
7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat yang memuat ketentuan bahwa
ketua/majelis hakim yang memeriksa perkara untuk mengadakan pemeriksaan
setempat guna mendapat penjelasan atau keterangan yang lebih rinci atas obyek
perkara untuk menghindari putusan non executable nantinya karena obyek perkara
tidak sesuai dengan diktum yang termuat dalam putusan, baik mengenai letak,
luas, batas-batas, maupun situasi pada saat eksekusi akan dilaksanakan. Terlebih
lagi dalam kasus ini pemeriksaan setempat tersebut dikehendaki oleh kedua belah
pihak yang berperkara, maka pertimbangan hakim untuk menyelenggarakan