TINJAUAN YURIDIS PEMBUBARAN ORMAS DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM KONSEP NEGARA HUKUM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: IMAM SARIFUDDIN NIM: 1113045000024 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M
89
Embed
TINJAUAN YURIDIS PEMBUBARAN ORMAS DALAM UNDANG- …€¦ · PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA . FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM. U. NIVERSITAS . I. SLAM . N. EGERI. SYARIF HIDAYATULLAH.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TINJAUAN YURIDIS PEMBUBARAN ORMAS DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM KONSEP NEGARA HUKUM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
IMAM SARIFUDDIN
NIM: 1113045000024
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Imam Sarifuddin. NIM 1113045000024. TINJAUAN YURIDIS PEMBUBARAN
ORMAS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG
ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM KONSEP NEGARA HUKUM.
Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Keluarnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan menjadi Undang-undang telah mengganti substansi Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Salah satu yang menjadi titik tekan adalah peniadaan proses peradilan
dalam rangkaian proses pembubaran organisasi kemasyarakatan. Padahal
penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan merupakan
salah satu kunci atau pilar dalam negara hukum dan penegakan hak asasi manusia,
mengingat organisasi masyarakat merupakan salah satu manifestasi hak
konstitusional wagra negara dalam bidang kebebasan berkumpul dan berserikat.
Potensi kesewenang-wenangan pemerintah serta peluang tereduksinya kebebasan
hak berkumpul dan berserikat menjadi terbuka semakin luas.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
reasearc dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
buku-buku, jurnal hukum, disertasi, tesis, dan skripsi hukum.
Hasil penelitian menunjukkan Faktor yang melatarbelakangi digantinya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yaitu: Pertama, adanya keadaan
yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat
berdasarkan Undang-Undang. Kedua, ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
v
Undang-Undang secara prosedur biasa karena membutuhkan waktu yang lama
sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu segera diselesaikan.
Kelebihan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi
Kemasyarakatan ini adalah perluasan pendefinisian dan larangan serta sanksi
terhadap ormas yang bertentangan dengan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945. Sedangkan kekurangan dari Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 ini adalah hilangnya mekanisme peradilan yang dianggap bisa
menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah untuk membubarkan ormas
yang dirasa bertentangan dengan pemerintah tanpa adanya putusan pengadilan
terlebih dahulu.
Cara untuk melengkapi kekurangan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 menurut konsep Negara hukum di Indonesia yaitu dengan
cara tetap menggunakan proses peradilan dalam proses pembubaran ormas.
Sedangkan untuk mengatasi permasalah tentang inefesiensi dalam proses
peradilan karna lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses pembubaran
ormas, maka pemerintah dapat memberikan batasan waktu kepada Lembaga
peradilan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pembubaran ormas
tersebut.
Kata Kunci : Pembubaran Ormas, UUD No 16 Tahun 2017, Negara Hukum.
Pembimbing : Dr. H. RUMADI, M.Ag
Daftar Pustaka : 1983 s.d. 2017
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi yang serta selalu
melimpahkan kasih sayang-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, dan sahabatnya serta kita sebagai
pengikutnya.
Maksud penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat
penyelesaian studi program S1 (Strata Satu) pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul
“TINJAUAN YURIDIS PEMBUBARAN ORMAS DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM KONSEP NEGARA HUKUM”.
Dalam penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak, baik secara personal maupun kelembagaan. Untuk
itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Maka perkenankan penulis
menghaturkan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Thalabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Rumadi, M.Ag. Pembimbing dalam penyelesaian
skripsi ini. Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan dan
arahan yang sangat berarti demi kelancaran penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua Jurusan Hukum Tata Negara dan
Ibu Masyrofah, S.Ag., M.Si. Sekertaris Jurusan Hukum Tata
Negara.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada
penulis sehingga penulis bisa dapat menyelesaikan studi di jurusan
vii
Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Ayah dan Ibunda penulis tercinta yang selalu memberikan nasehat,
semangat, dan kasih sayangnya.
6. Adik penulis tersayang dan semua saudara penulis yang ikut
berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas dukungan
dan kasih sayang kalian. Penulis begitu menyayangi dan mencintai
kalian semua .
7. Sahabat-sahabat yang menemani penulis dari awal kuliah sampai
sekarang: Aliza Aulia, Bagus Priyanto, Masagus Ahmad Fahrobi,
Imam Firmansyah, Dudu Abdul Manan, dan Bintang Tri Fajar.
8. Sahabat-sahabat penulis Prodi Hukum Tata Negara angkatan 2013.
Terima kasih atas persahabatanya dan kebersamaanya. Semoga kita
bisa terus menyambung tali silaturahmi.
9. Teman-teman Alumni MAN 1 Bandar Lampung yang sudah
menyemangati dan selalu mengingatkan penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Terutama teman-teman satu asrama
penulis: Sayid Fikri, Agung Darmansyah, Syarif Hidayatullah,
Ahmad Hadi Nurkhalis, dan Imam Gunadi.
10. Seluruh pihak yang berkontribusi dalam penulisan skripsi ini baik
secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa penulis
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis
normatif (legal research):
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.
Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
4 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Tangsel: Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Jakarta, 2010), h. 26.
5 Fahmi Muhammad Ahmadi, dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Tangsel:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010), h. 54.
11
berperilaku manusia yang dianggap pantas.6 Objek penelitian pustaka ini
adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang ormas ditinjau dari konsep Negara hukum.
Pada dasarnya pendekatan normatif adalah metode penelitian
hukum terhadap aturan hukum yang tertulis. Pada penelitian hukum
normatif peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi
sumber data primer.7
Pendekatan normatif berdasarkan pada logika dan penormaan yang
ada pada masyarakat, sehingga ada pendapat lain bahwa penelitian hukum
dibangun berdasarkan disiplin ilmu dan cara-cara kerja ilmu hukum
normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.
Menurut Johny Ibrahim bahwa sebagai ilmu praktis normologis,
ilmu hukum normatif berhubungan langsung dengan praktik hukum yang
berhubungan langsung dengan praktik hukum yang menyangkut dua aspek
utama yaitu :8
a. Tentang pembentukan hukum
b. Tentang penerapan hukum
Tipe penelitian yang digunakan penulis dalam menulis skripsi ini
adalah yuridis normatif (legal research), yaitu penelitian yang difokuskan
dengan menerapkan kaidah-kaidah atau norma- norma dalam hukum
positif. Penelitian ini dengan cara mengkaji peraturan-peraturan serta
literatur yang berisi konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan
isu hukum yang menjadi permasalahan.
6 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Pertama), h. 118.
7 Fahmi Muhammad Ahmadi, dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, h.38.
8 Hardijan Rusli, Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana, dalam Jurnal Law
Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol. 5. No. 3. Maret, 2006, h. 41.
12
3. Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data merupakan cara
mengumpulkan bahan-bahan hukum yang dibutuhkan untuk menjawab
rumusan masalah penelitian. Menurut Peter cara mengumpulkan data
meliputi sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Antara lain
sebagai berikut :9
a) Sumber hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas, bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim.
b) Sumber hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumentasi-dokumentasi resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. Ada juga bahan hukum seperti skripsi, tesis dan
disertasi hukum.
4. Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca atau mudah dipahami dan diinformasikan
kepada orang lain.10
Pada tahapan ini, data yang diperoleh dari Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa hingga dapat
menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat digunakan untuk
menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data
tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif, yaitu menganalisis dan
menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran
secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Surabaya: Prenada Media Group, 2016), h.
181.
10 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.
244.
13
5. Teknis Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2017.”
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab
terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Umum Konsep Negara Hukum. Bab ini
menguraikan konsep negara hukum menurut teori ilmu negara, dan teori
tentang negara hukum, serta teori kedaulatan menurut konsep negara hukum.
BAB III Pengaturan Ormas Dalam Perundang-Undangan. Bab ini
menguraikan organisasi kemasyarakatan menurut perundang-undangan, dan
latar belakang munculnya perppu dan undang-undang nomor 16 tahun2017
tentang ormas.
BAB IV Pembubaran Ormas Dalam Negara Hukum. Bab ini berisi
perbandingan pembubaran ormas dalam undang-undang nomor 17 tahun
2017 dengan undang-undang nomor 17 tahun 2013, dan analisis undang-
undang nomor 16 tahun 2017 tentang penetapan perppu nomor 2 tahun 2017
tentang ormas ditinjau dari teori negara hukum.
BAB V Penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM KONSEP NEGARA HUKUM
A. Konsep Negara Hukum Menurut Teori Ilmu Negara
1. Definisi Teori Tujuan Negara
Negara adalah suatu kekuasaan yang mempunyai tugas dan fungsi
konstitusional dalam menjalankan roda-roda pemerintahan yang terkait
dengan keputusan pemerintah dan kepentingan rakyat. Namun, hadirnya
konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan mandat yang harus
diimplementasikan.
Maleha Soemarsono menegaskan dalam perspektif kajian teori
ilmu Negara, masalah tujuan Negara dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut
peninjauan, yaitu;1
a. Tujuan Negara berkaitan dengan tujuan akhir manusia
b. Tujuan kekuasaan
c. Tujuan kemakmuran
Untuk itu pola menjalankan kekuasaan Negara harus berdasarkan
konstitusi, sebab tujuan didirikannya suatu Negara bersumber pada
konstitusi. Dalam hubungan timbal balik inilah Negara tanpa konstitusi,
maka Negara tidak akan mampu berdiri tegak. Begitu sebaliknya, amanat
Undang-Undang Dasar 1945 yang memerintahkan pada Negara agar tidak
kerap menyeleweng dari aturan.
Diskursus soal Negara sebenarnya sudah dijelaskan oleh beberapa
sarjana terkenal terkait pengertian Negara adalah sebagai berikut;2
1. Roger H. Soltau
“Negara adalah alat agency atau wewenang/authority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas
nama masyarakat.
1 Maleha Soemarsono, “Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori Tujuan
Negara”, dalam Jurnal Hukum dan Pembagunan, Vol. 37. No. 2, April-Juni 2007, h. 301-302.
2 Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Radar Jaya Pratama,
2000), h. 57.
15
2. Max Weber
“Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah.”
3. Robert M. Mac. Iver
“Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem
hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.”
4. Miriam Budiardjo
“Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangnya
melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.” Dari bebeperapa pendapat sarjana di atas penulis mengartikan
bahwa Negara dituntut mampu menyelesaikan semua persoalan yang
terkait dengan kepentingan penguasa dan rakyat. Oleh sebab itu, menurut
Bintan R. Saragih, apabila kepentingan umum dirugikan, maka Negara
harus campur tangan antara masyarakat hukum yang satu terhadap
masyarakat hukum lainnya.3
2. Teori Kekuasaan Negara
Teori kekuasaan Negara sudah diperbincangkan sejak zaman
Yunani kuno. Misalnya, Plato, dan Aristoteles, dua pemikir besar di zaman
itu menyatakan bahwa Negara memerlukan kekuasaan yang mutlak.
Kekuasaan ini diperlukan untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai
moral yang rasional.4
3 Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih, Ilmu Negara, h. 19.
4 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 10-11.
16
Definisi mengenai kekuasaan telah banyak dikemukakan oleh para
ahli. Max Weber dalam bukunya Wirtschafgt und Gessellshaft (1992)
seperti yang dikutip oleh Miriam Budiardjo5: “Kekuasaan adalah
kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan
sendiri sekalipun mengalamai perlawanan, dan apapun dasar kemampuan
ini (macht beduetet jede chance innerhalb einer soziale Beziehung den
eigenen Willen durchzusethen auch gegen Widerstreben durchzustzen,
gleichviel worauf diese chance beruht).”
Sementara itu apabila kita mengacu pada teori kekuasaan menurut
pendapat Ramlan Surbakti dan Robert Dahl. Sebagaimana yang dikutip
oleh Siti Nuraini dalam buku “Memahami Ilmu Politik” menurut Ramlan
Surbakti, kekuasaan diartikan sebagai berikut : “Kekuasaan secara umum
diartikan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh
yang dimiliki untuk mempengaruhi pihak lain sehingga pihak lain
berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Dalam
arti sempit kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk
menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan sehingga keputusan
menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada
umumnya6.
Kekuasaan dalam perkembanganya digunakan untuk
mempengaruhi kebijakan umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut
sesuai dengan keinginan memegang kekuasaan itu sendiri. Hal ini relevan
dengan definisi yang disampaikan oleh para ilmuan politik yang secara
umum menjelaskan bahwa kekuasaan adalah mempengaruhi seseorang
agar bertingkah laku sesuai dengan yang diinginkan. Kekuasaan
mempunyai jangkauan cukup luas meliputi kemampuan untuk
5 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 63.
6 Siti Nuraini, “Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa”, Jurnal Kybernan,
Vol.1.Maret 2010, Bekasi. h.11
17
mempengaruhi pihak lain, kemampuan untuk memerintah, kemampuan
untuk memberi keputusan, serta mempengaruhi pihak lain.
Memang Negara dan kekuasaan adalah dua hal yang sangat relavan
dalam menjalankan kepentingan umum, akan tetapi juga Negara dan
keuasaan tidak seolah-olah terlepas dari genggaman hukum sebagai aturan
yang mengatur tindakan pemegang kekuasaan Negara agar tidak
menyalahgunakan aturan hukum yang ada. Dalam konteks ini, tentu
karena adanya formalisasi kekuasaan Negara pada Negara hukum. Yaitu,
Negara yang ada kekuasaanya tetapi tindaknnya harus berdasarkan hukum.
B. Teori tentang Negara Hukum
1. Istilah Negara Hukum
Dari segi terminologi ditemukan beberapa penamaan atau sebutan
tentang Negara hukum. Misalnya di Indonesia biasa disebut dengan istilah
Negara hukum proklamasi, Negara hukum Pancasila, Negara hukum
Indonesia.7 Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.8
Dalam teori ilmu Negara menegaskan bahwa hubungan antara
Negara dan hukum harus dilihat sebagai hubungan timbal balik.
Kekuasaan (Negara) tanpa hukum, tidak memiliki kewibawaan, sedangkan
hukum tanpa dukungan (sanksi), sulit ditegakkan. Dalam hubungan
tersebut, hukum meligitimasi Negara, sedangkan Negara mempositifkan
(menciptakan, menegaskan, dan memberlakukan) dan menegakkan
7 Nurul Qamar, Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang, (Makassar: Pustaka
Refleksi, 2010), h. 4.
8 Andi Salman Maggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. 1. No. 2,
Desember 2014, h. 186.
18
hukum. Jadi, yang menjadi ciri khas Negara hukum ialah hubungan antara
Negara dan hukum. Keduanya saling terkait dan saling mengisi.9
Karena itulah Negara hukum mempunyai kedudukan yang sangat
penting terhadap upaya penegakan prinsip-prinsip kehidupan bernegara,
kedudukan tersebut bertujuan dalam rangka mewujudkan cita-cita
penegakan hukum yang prosedural berdasarkan sumber hukum tertinggi
negara (konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945).
Dalam teori ilmu Negara konsep Negara hukum telah kita jumpai
sejak jaman Yunani. Artistoteles, berpendapat bahwa yang dimaksud
Negara hukum;10
“Adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh warga Negara. Dengan adanya keadilan dalam masyarakat, maka akan tercapai kebahagiaan. Untuk itu
harus ditanamkan norma-norma susila pada rakyat, agar mereka menjadi warga Negara yang baik, dan peraturan hukum juga harus mencerminkan keadilan.”
Istilah Negara hukum yang dipergunakan, dapat dianalogikan
dengan padangan yang dipergunakan dalam bahasa asing pada Negara-
Negara Eropa Kontinental atau Negara Civil Law System (sistem yang
menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum
publik), dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah rechsstaat11
.
Beberapa pendapat tersebut menjelaskan bahwa kekuasaan itu
adalah mutlak mengatur suatu Negara yang tidak hanya bersumber pada
kedudukan dan kewenangan bagi penguasa, melainkan setiap tindakan
kekuasaan Negara yang bersumber pada konsep Negara hukum dituntut
mematuhi dan mentaati peraturan perundang-perundangan.
9 Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Ke 5, (Bandung:
Grafitri, 2004), h. 12.
10 Maleha Soemarsono, “Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori Tujuan
Negara”, h. 305.
11 Nurul Qomar, Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang, h. 5.
19
Negara hukum telah merupakan suatu diskusi panjang dalam
sejarah peradaban umat manusia. Karena ribuan tahun yang lalu diskusi ini
telah ada dalam gagasan umat manusia dalam kaitannya membentuk suatu
Negara yang ideal, meskipun dalam formatnya yang masih sangat
sederhana. Para filsuf Yunani misalnya, sejak kira-kira abad V sebelum
Masehi, telah menggagas cita-cita Negara hukum yang ideal.12
Untuk membendung adanya kesewenang-wenangan dari kekuasaan
yang mempraktikkan sistem yang absolut dan mengabaikan hak-hak
rakyat muncul ide dilahirkannya Negara hukum.13
Dengan demikian,
untuk mewujudkan tujuan Negara sebagai Negara hukum, maka
dibentuklah sebuah lembaga peradilan yang memikul tugas dan
kewenangan untuk menegakkan hukum.14
Karena itu konsep Negara hukum adanya pemisahan kekuasaan
Negara yang mempunyai tugas dan fungsi pokok yang bersifat
konstitusional, sehingga pembagian kekuasaaan ini sesuai dengan tugas
dan fungsinya untuk mengontrol keseimbangan diantara kekuasaan lainnya
serta menghindari praktik kesewenang-wenangan pemerintah dalam
menyelesaikan persoalan hukum yang terjadi.
John Locke pernah menegaskan terkait esensi tugas Negara
sebagaimana di bawah ini;15
“Negara secara alamiah diatur oleh hukum alam yang harus
dipatuhi oleh setiap orang sebagai hukum, memberi arahan dalam
kehidupan manusia di mana setiap orangmempunyai kebebasan dan
persamaan, tidak seorang pun boleh mengganggu kehidupan,
kemerdekaan atau memenjarakan orang lain.”
12 Sayuti, “Konsep Rechsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia”, dalam Jurnal Nalar
Fiqh, Vol. 4. No. 2, Desember 2011, h. 81.
13 Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta:
Kaukaba, 2013), h. 1.
14 Andi Salman Maggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, h. 186.
15 Sayuti, “Konsep Rechsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia”, h. 87.
20
Salah satu cara menghindari tindakan kesewenang-wenangan itulah
hukum tidak hanya sebagai pedoman masyarakat. Namun, hukum sebagai
alat kontrol sosial (social control) yang bersumber pada kepastian dan
kemanfaatan hukum itu sendiri, sehingga adanya hukum adalah sebagai
tumpuan dan harapan bagi masyarakat sebagai pencari keadilan untuk
memperjuangkan hak-haknya sebagai warga Negara.
Meskipun kewenangan pemerintah itu bersifat prosedural Negara
hukum dipandang sebagai satu pilihan terbaik dalam menata kehidupan
kenegaraan yang berdasarkan demokrasi dengan suatu konstitusi yang
mengatur hubungan antar Negara dan rakyat.16
Artinya, setiap persoalan
hukum yang terjadi baik itu pemerintah ataupun masyarakat harus melalui
metode penyelesaian hukumnya.
Berdasarkan sumber hukum konstitusi dan Undang-Undang Dasar
1945 tentu hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak
boleh ditetapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan
penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena hukum
tidak dimaksudkan hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang
yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua
orang sehingga Negara hukum yang dikembangkan bukan absolute
rechtsstaat, tetapi democratische rechtsstaat.17
2. Definisi Negara Hukum
Menurut sejarahnya bahwa embrio tentang gagasan Negara hukum
telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi,
sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuannya. Sementara itu,
dalam dua tulisan pertama, politeia dan Politicos, belum muncul istilah
Negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa
16 Nurul Qomar, Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang, h. 1.
17 Muntoha, “Demokrasi dan Negara Hukum”, dalam Jurnal Hukum, Vol. 16. No. 3, Juli
2009, h. 380.
21
penyelenggara Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik.18
Pengertian Negara hukum juga ditegaskan oleh Hugo Grabbe
bahwa;
“Seharusnya Negara hukum (rechsstaat) dan setiap tindakan
Negara harus didasarkan pada hukum atau dapat dipertanggungjawabkan pada hukum.”
Plato berpendapat terkait pengertian Negara hukum secara normatif
bahwa;19
“Negara hukum tersebut adalah untuk mencegah kekuasaan
sewenang-wenang oleh penguasa Negara dan untuk melindungi hak-hak rakyat dari tindakan pemerintahan yang tidak adil dan kesewenang-wenangan yang membuat penderitaan bagi rakyat.”
Pendapat A. Hamid S. Attami merujuk pada pada pandangan
Bunkers, mengatakan bahwa;20
“Negara hukum (rechsstaat) secara sederhana adalah Negara yang
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan Negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.”
Sedangkan menurut Philipus M. Hadjon mendefinisikan Negara
hukum sebagai berikut;21
“Negara hukum hakekatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat, bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah dilandasi oleh dua prinsip, prinsip hak asasi manusia dan prinsip Negara hukum. Pengakuan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan daripada Negara hukum.”
18 Nurul Qamar, Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang, h. 6.
19 Nurul Qamar, Negara Hukum Atau Negara Undang-Undang, h. 6-7.
20 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, h. 10.
21 Nurul Qomar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, h. 24.
22
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara hukum,22
dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara pemerintah dan masyarakat harus tunduk pada
tatanan hukum yang berlaku. Sebagai Negara hukum, Indonesia
mempunyai implementasi serangkaian proses hukum yang terbagi menjadi
dua bagian. Yaitu, proses pembuatan hukum, dan penegakan hukum.
Mekanisme pembuatan hukum secara garis besar juga diharuskan
bersumber pada pelaksanaan konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945
agar setiap tindakan pemerintah dan aparat penegak hukum menjaga
keseimbangan (check and balance) terhadap kewenangan yang diatur.
Dalam hal ini, untuk menghindari penegakan hukum yang tidak
prosedural.
Bahkan Algra dan Jansen memberikan pandangan yang substantif
bahwa;23
“Negara hukum menjadikan hukum sebagai aturan main dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu sendiri antara lain. Opleged om de semenselving vreedzaam, rechsvaarding, en doelmatig te ordenen,
(diletakkan untuk menata masyarakat yang damai, adil dan bermakna).”
Artinya sasaran dari Negara hukum adalah terciptanya kegiatan
kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang bertumpu pada
keadilan, kedamaian, dan kemanfaatan atau kebermaknaan. Dalam Negara
hukum, eksistensi hukum dijadikan sebagai instrument dalam menata
kehidupan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.
Secara sederhana pengertian Negara hukum dikatakan oleh
Bohtling bahwa;24
22 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
23 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Neara Hukum Demokrasi, h. 11-12.
24 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Neara Hukum Demokrasi, h. 27.
23
“Negara hukum adalah Negara di mana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan hukum.”
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa kedaulatan hukum
merupakan instrumen utama dalam deklarasi Negara hukum yang
mencantumkan dalam konstitusinya sebagai Negara yang berdasarkan atas
hukum, sehingga dengan deklarasi inilah kewenangan pemerintah sebagai
pelaksana kekuasaan harus mengontrol sesuai koridor hukum yang
berlaku.
Andi Salman Maggalatung menegaskan tentang tujuan daripada
konsep Negara hukum sebagai berikut;25
“Segala bentuk yang berkaitan dengan menjalankan tujuan Negara Indonesia harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat.” Berdasarkan pendapat di atas cenderung pada tujuan Negara yang
yang dapat memberikan ruang atau kesempatan bagi masyarakat dalam
memperjuangkan hak-haknya sebagai warga Negara agar mendapatkan
perlindungan demi tegaknya supremasi hukum, sehingga karena dengan
implikasi hukum itulah kedaulatan tidak hanya berpihak pada penguasa.
Akan tetapi pada masyarakat.
Secara formal Negara hukum mampu mengimplementasikan fungsi
dan tujuan penegakan hukum yang bertindak sesuai dengan ketentuan
hukum, karena penuangan hukum dalam suatu Negara adalah suatu
keniscayaan agar prinsip-prinsip itu dijalankan oleh aparat penegak
hukum, dan pemegang kekuasaan agar tidak serta merta melakukan
tindakan yang menyimpang dari aturan.
3. Unsur-Unsur Negara Hukum
Sebelum berangkat pada gagasan atau ide soal Negara hukum,
tentu Negara hukum itu dapat diartikan sebagai Negara di mana tindakan
25 Andi Salman Maggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, h. 186.
24
pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah
adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa dan tindakan
rakyat menurut kehendaknya sendiri.26
Ide tentang konsep Negara hukum merupakan hal yang sangat
mendasar dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena
adanya konsep ini adalah bentuk penuangan hukum dalam mengatur suatu
Negara agar dapat berjalan secara prosedural. Oleh karena itu menurut
Stahl, konsep Negara hukum yang disebut dengan istilah rechsstaat
mencakup empat elemen penting, yaitu;
1. Perlindungan hak asasi manusia
2. Pembagian kekuasaan
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang
4. Peradilan tata usaha Negara
Dalam konteks bernegara yang berdasarkan atas hukum tentu hak-
hak warga Negara mempunyai kedudukan yang di mata hukum atau yang
dikenal dengan istilah persamaan (equal) di hadapan hukum. Artinya,
Negara hukum tidak hanya bertumpu pada aturan yang sifatnya formal,
akan tetapi, juga penting memperhatikan hak-hak warga Negara tersebut.
International Commission of Jurist menentukan pada syarat-syarat
representative government under the rule of law, sebagai berikut;27
1. Adanya proteksi konstitusional
2. Adanya pengadilan yyang bebas dan tidak memihak
3. Adanya pemilihan umum yang bebas
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat
5. Adanya tugas oposisi
6. Adanya pendidikan civic
26 Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih, Ilmu Negara, h. 91.
27 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Edisi ke-dua,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 130-131.
25
Prinsip-prinsip Negara hukum selalu berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan Negara. Prof. Utrecht membedakan dua
macam Negara hukum, yaitu Negara hukum formil atau Negara hukum
klasik, dan Negara hukum materiil atau Negara hukum modern.
Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat
formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis
terutama. Tugas Negara adalah melaksanakan praturan perundang-
undangan tersebut untuk menegakkan ketertiban. Tipe Negara hukum
tradisional ini dikenal dengan istilah penjaga malam. Negara hukum
materiil mencakup pengertian yang lebih luas termasuk keadilan di
dalamnya.
Dari persoalan prinsip Negara hukum modern ini hukum sebagai
aturan untuk menegakkan keadilan tanpa menciderai prinsip-prinsip
Negara hukum itu sendiri, termasuk lembaga peradilan yang menjembatani
antara masyarakat dengan aparat penegak hukum sebagai salah satu
metode penyelesaian hukum agar tidak ada tindak sewenang-wenang.
4. Prinsip-Prinsip Negara Hukum
Negara Indonesia yang diformalkan menjadi Negara hukum tentu
harus mempunyai kriteria dalam menegakkan hukum agar sesuai dengan
prinsip-prinsip yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam hal ini, ada perumusan prinsip untuk menopang pelaksanaan suatu
Negara yang berdasarkan atas hukum.
Berdasarkan berbagai prinsip Negara hukum yang telah
dikemukakan tersebut dan melihat kecenderungan perkembangan Negara
hukum modern yang melahirkan prinsip-prinsip penting baru untuk
mewujudkan Negara hukum, maka terdapat dua belas prinsip pokok
sebagai pilar-pilar utama yang menyangga berdirinya Negara hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie kedua belas prinsip tersebut adalah sebagai
berikut;28
28 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,), h. 131-132.
26
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
3. Asas Legalitas (Due Process of Law)
4. Pembatasan Kekuasaan
5. Organ-Organ Penunjang yang Independen
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court)
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokratis (Democratishe Rechsstaat)
11. Transparansi dan Kontrol Sosial
Perkembangan prinsip-prinsip hukum Negara hukum tersebut
dipengaruhi oleh semakin kuatnya penerimaan paham keadulatan rakyat
dan demokrasi dalam kehidupan bernegara menggantikan model-model
Negara tradisional. Prinsip-prinsip Negara hukum (nomocratie) dan
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dijalankan secara
beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang.
Sebagai Negara hukum, Indonesia menerima secara final kedua
belas prinsip itu mengandung kepastian hukum. Karena model-model
konsep Negara hukum seperti ini, maka setiap penegakan hukum pada
umumnya akan mengikuti prosedur yang berlaku. Sebab itu konsep ini
dituangkan serta diakui secara konstitusional.
5. Ciri-Ciri Negara Hukum
Istilah “the rule of law” mulai popular dengan terbitnya buku
Albert Venn Dicey pada tahun 1885 dengan judul Introduction to study of
the law of the Constitution. Sementara itu, istilah “rechsstaat” mulai
populer di Eropa sejak abad XIX kendatipun pemikiran mengenai hal
tersebut sudah lama ada. Konsep yang terakhir ini lahir dari suatu
perjuangan absolutism, sehingga sifatnya revolusioner. Sebaliknya, konsep
the rule of law berkembang secara evolusiner.
27
Albert Venn Dicey memperkenalkan adanya tiga ciri-ciri dari
Negara hukum;29
1. Supremacy of Law (Supremasi hukum, artinya yang
mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam Negara adalah
hukum)
2. Equality Before The Law (Persamaan dalam kedudukan hukum
bagi setiap orang)
3. Human Rights (Konstitusi tidak merupakan sumber dari hak-
hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia diletakkan
dalam konstitusi, itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi
itu harus dilindungi)
Mengenai Supremacy of Law yang dilontarkan oleh A.V. Dicey
mengandung maksud bahwa hukum mempunyai kedudukan yang tertinggi
dalam rangka mencegah kekuasaan (pemerintah) agar tidak menyimpang
dari undang-undang. Dengan demikian, kekuasaan akan tunduk kepada
hukum, bukan sebaliknya hukum tunduk kepada kekuasaan.
Apabila hal ini terjadi, berarti kekuasaan dapat membatalkan
hukum, sehingga hukum itu dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan.
Oleh sebab itu, hukum tidak boleh menjadi alat, tetapi harus menjadi
tujuan, walaupun tujuan yang dimaksud bukanlah hukum ansich,
melainkan untuk melindungi kepentingan rakyat, sehingga antara hukum
dan kepentingan rakyat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Mengenai soal deklarasi Negara hukum terbukti oleh berbagai
pernyataan yang mencerminkan Indonesia sebagai Negara hukum antara
lain;30
29 Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Ke 5, h. 22-23.
30 Sugiyanto, dan Bambang Giyanto, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara, 2008), h. 16-17.
28
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 (setelah diamandemen) pasal 1 ayat (3) disebutkan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.
2. Bab X pasal 27 ayat (1) yang menyatakan segala warga Negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.
3. Dalam sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden, terdapat kata-
kata “memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan
selurusnya.”
4. Pasal 28 ayat (5) “untuk penegakan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”
5. Pasal 28 “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.”
6. Dalam penjelasan UUD 1945 yang sekarang sudah dihapus
sistem pemerintahan Negara, tapi maknanya masih dapat
dipakai yaitu Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas
hukum (rechsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(machsstaat), dan pemerintah berdasarkan sistem konstitusi
(hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
terbatas).
7. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
disebutkan “sebagai negara yang berdasarkan pada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan,
29
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
senantiasa berdasarkan atas hukum.”
Artinya setiap orang atau organisasi masyarakat yang dianggap
melakukan tindakan yang bertentangan paham ideologi Pancasila. Tentu
pemerintah harus menjunjung tinggi lembaga peradilan sebagai lembaga
penegak hukum yang mempunyai tugas untuk memutuskan perkara
tersebut.
Karena dengan bagaimanapun hak untuk hidup, hak untuk tidak
dipaksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dapat dituntut atas dadasr hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.31
Sumber hukum di atas tersebut memperkuat bahwa ciri-ciri Negara
hukum adalah Negara yang mampu menegakkan supremasi hukum, hak
asasi manusia, dan setiap orang mempunyak kedudukan yang sama di
muka hukum, sehingga ciri-ciri ini juga tertuang di dalam undang-undang
yang mengatakan, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.32
Artinya secara normatif adanya undang-undang di atas
memperjelas agar pemerintah dalam membubarkan organisasi masyarakat
harus melalui jalur hukum yaitu lembaga peradilan untuk menjaga
keseimbangan (check and balances) antara lembaga eksekutif dan lembaga
yudikatif sebagai kekuasaan Negara yang juga menjalankan amanah
undang-undang.
31 Pasal 28 huruf I ayat (1) Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
32 Pasal 28 huruf I ayat (5) Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
30
C. Teori Kedaulatan Menurut Konsep Negara Hukum
1. Definisi Teori Kedaulatan
Kedaulatan ini adalah suatu nilai yang dinormakan dalam konsep
bernegara agar Negara dan rakyat mempunyai hak yang sama dalam
memperjuangkan hak-haknya sebagai warga Negara untuk mendapatkan
perlindungan serta kedudukan yang sama di hadapan hukum demi
tegaknya prinsip supremasi hukum.
Istilah kedaulatan dalam teori Hukum Tata Negara merupakan
padanan istilah sovereignty (Ingris), souverainete (Prancis), souvereniteit
(Belanda), souranus (Italia). Semua istilah tersebut berasal dari kata latin,
superanus, yang mempunyai arti “tertinggi”.
Dalam perkembangannya, muncul teori-teori kedaulatan yang
mencoba untuk merumuskan siapa dan apakah yang berdaulat dalam suatu
negara. Laski menyatakan sebagai berikut;
“The modern state is a sovereign state. It is, therefore, independent
in the face of other communities. It may infuse its will towards them with a substance which need not be affected by the will of any external power. It is, moreover, internally supreme over the territory that it control.”
Jadi, menurut anggapan Laski, kedaulatan merupakan suatu
keharusan yang dimiliki oleh Negara yang ingin independen atau merdeka
dalam menjalankan kehendak rakyat yang dipimpinnya, sehingga
kedaulatan merupakan hal yang mempengaruhi seluruh kehidupan
bernegara.
Hal ini senada dengan pernyataan Bodin, yang dikenal sebagai
bapak teori kedaulatan, yang merumuskan kedaulatan sebagai berikut;
“Suatu keharusan tertinggi dalam suatu Negara, di mana kedaulatan dimiliki oleh Negara dan merupakan ciri utama yang membedakan organisasi Negara dari organisasi yang lain di dalam Negara, karena kedaulatan adalah wewenang tertinggi yang tidak dibatasi
oleh hukum dari pada penguasa atas warga negara dia dan orang-orang lain dalam wilayahnya.”
31
Pada perkemabangan berikutnya, prinsip-prinsip kedaulatan
tersebut dirumuskan secara berbeda-beda yang disesuaikan dengan konsep
Negara dan pemerintahan yang berlaku. Setidaknya, ada lima bentuk
kedaulatan yang dapat diketahui sebagai berikut;33
1. Kedaulatan Tuhan
2. Kedaulatan Raja
3. Kedaulatan Rakyat
4. Kedaulatan Negara
5. Kedaulatan Hukum
Dari semua teori kedaulatan ini, kedaulatan hukum merupakan
puncak keadilan bagi masyarakat yang membedakan dari aspek kedaulatan
lainnya. Karena itu, kekuasaan tertinggi berada pada hukum yang
bersumber pada kesadaran hukum pada setiap orang, sehingga setiap
tindakan baik itu dari penguasa maupun rakyat mempunyai kedudukan
yang sama dalam sendi-sendi kehidupan bernegara.
Namun ada juga yang mengatakan kedaulatan rakyat dalam teori
dan sejarah kenegaraan dialnjukan dan kedaulatan hukum, sekalipun
mengenai hal ini ada dua pendapat yaitu;34
1. Bahwa hukum berdaulat karena sifatnya yang imperative dan
tanpa diterima oleh rakyat pun hukum tetap berlaku (Hans
Kelsen).
2. Bahwa hukum berdaulat karena ia bersumber kepada
kesadaran-kesadaran hukum dari rakyat.
Dari pengertian yang kedua ini kedaulatan hukum merupakan
kelanjutan dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, pada dasarnya hukum
yang baik adalah hukum yang diterima oleh rakyat karena ia
mencerminkan kesadaran hukumnya.
33 Jazim Hamidi, dkk, Teori Hukum Tata Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h.
3-4.
34 Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih, Ilmu Negara, h. 135.
32
BAB III
PENGATURAN ORMAS DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
A. Organsasi Kemasyarakatan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
1. Definisi Organisasi Masyarakat
Organisasi adalah suatu perkumpulan atau wadah untuk melakukan
gerakan di bidang kegiatan-kegiatan baik itu kegiatan sosial keagamaan
maupun kemasyarakatan, wadah ini mempunyai peranan yang sangat
penting dalam upaya memaksimalkan aspirasi dari masyarakat untuk
memajukan pembangunan nasional.
Organisasi kemasyarakatan ini mempunyai suatu kemerdekaan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat serta memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara individu ataupun kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai perwujudan hak asasi manusia1, secara normatif hak
asasi dan kebebasan ini dalam konteks individu dan kolektif, sehingga
setiap orang yang mempunyai kebebasan pada era demokratis paling tidak
mempunyai kewajiban untuk menghormati dan tunduk pada peraturan
perundang-undangan.
Secara mendasar pengertian tentang organisasi masyarakat (ormas)
ditegaskan sebagai berikut;2
“Organisasi masyarakat adalah organisasi yang didirikan dan
dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan tujuan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.”
1 Arianti, Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Aksi Organisasi Masyarakat Front
Pembela Islam (FPI) Dalam Kaitannya Dengan Konflik Keagamaan Di Kota Makassar,
(Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2014).
2 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
33
Untuk lebih berperan dan bisa disebut dalam melaksanakan
fungsinya sebagai organisasi kemasyarakatan berserikat dan berkumpul
dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis. Penentuan
organisasi kemasyarakatan yang mempunyai ruang lingkup nasional,
provinsi, kabupaten/kota.3
Sedangkan menurut M. Billah dan Abdul Hakim G. Nusantara,
umumnya Indonesia mencerminkan kebangkitan kesadaran golongan
masyarakat menengah terhadap masalah kemiskinan, ketidakadilan sosial,
dan masalah hak asasi manusia. Kini, ormas di Indonesia dapat pula
dikatakan sebagai cerminan kesadaran tentang dampak program
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah serta tindakan yang
diambilnya dalam melaksanakan program tersebut.4
Di sisi lain, juga dapat mendorong kemajuan negara dari aspek
pembangunan nasional serta penegakan hukum untuk mencapai tujuan
Negara, meskipun adalah wadah juga mempunyai keharusan dalam
menghormati aturan atau tata tertib yang ada demi tegaknya aturan di
Negara hukum ini.
Karena itulah tujuan penormaan hukum dalam suatu Negara
sehingga menjadi Negara hukum agar setiap tindakan seseorang
didasarkan pada hukum yang berlaku, sebab Negara hukum pada masa
yang lalu mengikat penguasa untuk tidak boleh bertindak sebelum ada.
Dan bagaimana dengan Negara hukum pada zaman modern ini Negara
hukum dan abad modern ini memberi kebijaksanaan kepada penguasa.5
Negara hukum yang memberikan kebijaksanaan kepada penguasa
tentu tindakan penguasa untuk membubarkan ini harus melalui prosedur
3 Pasal 8 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
4 Tirta Nugraha Mursitama, Laporan Pengkajian Hukum tentang Peran dan Tanggung
Jawab Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN, 2011), h. 4.
5 Moh. Kusnadi, dan Bintang R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Radar Jaya Pratama,
2000), h. 136-137.
34
hukum yang berlaku untuk melindungi hak-haknya sebagai warga Negara,
sehingga pembubaran dalam Negara hukum ini, penguasa penting untuk
melalui pengadilan sebagai suatu terobosan dalam penegakan hukum dan
keadilan.
2. Sejarah Lahirnya Ormas
Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 5 Mei 1908 yang kemudian
dapat membangkitkan bangsa ini dengan membentuk kelompok-kelompok
terlihat dari berdirinya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928
yang diikuti dengan adanya Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon.
Secara historis keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia diawali
oleh perjalanan perjuangan yang didukung oleh kelompok-kelompok atau
organisasi masyarakat yang mempunyai keinginan dan tujuan yang sama
yaitu kemerdekaan Indonesia, yang terwujud pada tanggal 17 Agustus
l945.
Dalam perjalanan perjuangan kemerdekaan Indonesia Kehadiran
beberapa organisasi, merupakan fakta yang tidak terbantahkan, karena
organisasiorganisasi pada zaman itu mempunyai tujuan yang sama
membangun kesadaran masyarakat Indonesia sehingga menghantarkan
mampu kemerdekaan Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut sampai
saat ini, masih diakui keberadaannya dan berkembang dengan cara
melakukan kiprahnya di tengah-tengah masyarakat pada berbagai bidang
kehidupan sosial kemasyarakatan, misalnya organisasi keagamaan, yang
bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi
rakyat. Organisasi-organisasi dimaksud diantaranya adalah :6
a. Tahun 1908, Budi Oetomo berbasis subkultur Jawa;
b. Tahun 19l1, Serikat Dagang Islam, kaum entrepreneur Islam yang
bersifat ekstrovert dan politis;
6 Nia Kania Winayanti, Dasar Hukum Pendirian dan Pembubaran Ormas ,(Yogyakarta,
Pustaka Yustisia, 2011), h. 3.
35
c. Tahun 1912, Muhammadiyah dari kultur Islam modernis yang bersifat
introvert dan social;
d. Tahun 1912, Indiche Party dari subkultur campuran yang
mencerminkan elemen politis nasionalisme nonrasial dengan slogan
“tempat yang member nafkah yang menjadikan Indonesia sebagai
tanah airnya”.
e. Tahun 1913, Indische Social Democratiche Vereniging,
mengejawantahkan nasionalisme politik radikal dan berorientasi
Marxist.
f. Tahun 1915, Trikoro Dharmo, sebagai imbrio Jong Java.
g. Tahun 1918, Jong Java;
h. Tahun 1925, Manifesto Politik;
i. Tahun 1926, Nahdlatoel „Ulama (NU) dari subkultur santri dan ulama
serta pergerakan lain seperti subetnis Jong Ambon, Jong Sumatera,
maupun Jong Selebes yang melahirkan pergerakan nasionalisme yang
berjati diri Indonesia;
j. Tahun 1928, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928;
k. Tahun 1931, Indonesia Muda.
Keberadaan organisasi kemasyarakatan diatas, merupakan sejarah
tumbuh dan berkembangnya kesadaran sekaligus ekspresi kebebasan
mengeluarkan pendapat dalam konteks berserikan dan berkumpul. Pada
pemerintahan orde baru, secara konkret banyak organisasi kemasyarakatan
lainnya berdiri meskipun sistem politik pada saat itu kurang memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk berekspresi, pembatasan dan larangan
untuk kegiatan yang mengarah pada hal-hal politik harus tunduk dan patuh
pada satu kendali, yaitu stabilitas nasional.
Dalam konteks organisasi kemasyarakatan dan partai politik
dikendalikan melalui instrument asas tunggal, yaitu bahwa semua
organisasi, baik ormas maupun parpol harus berasas tunggal, yaitu
Pancasila. Sampai saat ini masih terdapat organisasi kemasyarakatan
36
(ormas) warisan pemerintahan Orde Baru. Karena memang ada beberapa
yang sengaja dibuat, tumbuh, dan berkembang sebagai penguat kekuasaan
pemerintahan Orde Baru.
Disisi lain, yang tumbuh dan berkembang dengan keterbatasan
berekspresi karena tidak berafiliasi dengan kekuasaan Orde Baru namun
tetap mampu menunjukkan jati diri dan eksistensinya. Ormas yang hidup
dan tumbuh pada masa pemerintahan Orde Baru baik yang berafiliasi
dengan kekuasaan maupun tidak, misalnya :
a. Kemahasiswaan seperti Himpunan mahasiswa Islam (HMI),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI);
b. SOKSI;
c. kepemudaan seperti Pemuda Pancasila, AMPI, FK-PPI;
Organsiasi-organisasi kemasyarakatan diatas, lahir dari suatu
kesadaran, dan sangat memperdayakan masyarakat karena organisasi
merupakan manifestasi dari kepedulian dan peran serta masyarakat dalam
pembangunan bangsa, yang diwujudkan dalam berbagai bentuk program
dan kegiatan kemasyarakatan, sesuai dengan visi dan misinya masing-
masing, termasuk di dalamnya menyampaikan pandangan, kritikan, dan
mungkin konsep tandingan atas berbagai kebijakan yang diambil
pemerintah.
Namun, kritikan dan konsep tandingan tersebut, tetap berada dalam
kerangka dan bermuara pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Menyadari tumbuh dan berkembangnya kesadaran masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
melalui organisasi kemasyarakatan yang mengalami perkembangan sejak
awal tahun 1980-an, maka pemerintah bersama DPR akhirnya
menerbitkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang organisasi
kemasyarakatan, sebagai landasan hukumdan pengakuan secara legal atas
37
keberadaan dan kiprah organisasi-organisasi dimaksud. Konsideran Umum
Nomor 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan “Masalah
keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan nasional adalah wajar.
Kesadaran serta kesempatan untuk itu sepatutnya ditumbuhkan,
mengingat pembangunan adalah untuk manusia dan seluruh masyarakat
Indonesia. Dengan pendekatan ini, usaha untuk menumbuhkan kesadaran
tersebut sekaligus juga merupakan upaya untuk memantapkan kesadaran
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berorientasi
kepada pembangunan nasional.
3. Tujuan dan Maksud Terbentuknya Organisasi Masyarakat
Kehadiran organisasi kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat
ormas, ditengah-tengah masyarakat merupakan wujud dari ekspresi
masyarakat untuk menampung aspirasi mereka, sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3) yang
dinyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
7
Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang dinyatakan bahwa :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
8
Selain untuk menegakkan hak asasi manusia sebagaimana yang
telah diatur dalam konstitusi, di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 disebutkan beberapa tujuan terbentuknya ormas secara umum
yaitu antara lain bertujuan untuk:
7 Lihat Pasal 28 E Undang-Undang Dasar 1945
8 Lihat Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945
38
a. Meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat ;
b. Memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. Menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa;
d. Melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya
yang hidup dalam masyarakat;
e. Melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. Mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan
toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;
g. Menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa; dan
h. Mewujudkan tujuan negara.9
Selain itu juga, tujuan suatu organisasi masyarakat sudah tentu
berkaitan dengan hak dan kewajiban suatu organisasi masyarakat itu
sendiri. Hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh suatu ormas tidak
boleh bertentangan dengan yang ada di dalam Pasal 20 dan 21 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013. Di dalam Pasal 20 disebutkan beberapa
hak yang dimiliki oleh suatu organisasi masyarakat yaitu:
a. Mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri
dan terbuka;
b. Memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk nama dan
lambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Memperjuangkan cita-cita dan tujuan organisasi;
d. Melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi;
e. Mendapatkan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan
kegiatan, dan
f. Melakukan kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah,
swasta, lain, dan pihak lain dalam rangka pengembangan dan
9 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. Hal ini dijelaskan
dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 untuk ormas yang
didirikan oleh warga negara asing dan BAB XVI yang mengatur tentang
larangan khusunya bagi ormas yang didirikan oleh warga Negara
Indonesia.
Jika ormas melanggar hal-hal yang telah tertulis dalam bab
larangan tersebut maka ormas tersebut berhak untuk diberikan sanksi
tegas oleh pemerintah. Hal tersebut berdampak pada pembubaran ormas,
tetapi sebelum itu terlebih dahulu ormas diberikan prosedur sanksi
administratif hingga berdampak pada pencabutan surat keterangan
terdaftar atau pencabutan status badan hukum dan juga pembubaran. Hal
ini telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 pada
BAB XVII tentang sanksi.
Selain itu juga ada pula sanksi yang diberikan untuk ormas yang
melanggar hal-hal yang telah dilarang di dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 khusunya ormas yang terdaftar di lingkungan Kementerian
dalam Negeri dan Pemerintah Daerah diatur di dalam Permendagri Nomor
33 Tahun 2012, BAB V bagian ketiga tentang pembekuan surat
keterangan terdaftar dan bagian keempat tentang pencabutan surat
keterangan terdaftar.
B. Latar Belakang Munculnya Perppu Dan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
1. Definisi Perppu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa.
Bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan:
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas: c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang...”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang memiliki kedudukan yang sejajar dengan
Undang-Undang. Karena kedudukannya yang sejajar, maka kedudukan
norma Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang pada dengan
sendirinya adalah sejajar dengan norma Undang-Undang21
2. Munculnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 adalah hasil dari
pengesahan yang dilakukan oleh DPR dari peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu) yang juga merupakan salah satu produk hukum
yang juga diakui dalam tata hukum dan hierarki peraturan perundang-
undangan. Keberadaannya sejajar dengan Undang-Undang. Hal ini dapat
dilihat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatakan, jenis dan
hierarki perundang-undangan terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai tata urutan yang tertinggi,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai tata urutan yang
kedua, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
yang berada setelah Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat, serta
beberapa peraturan perundang-undangan lain di bawahnya. Secara
hierarkis, Undang-Undang dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tersebut memang sejajar.
Namun, yang menjadi perbedaan salah satunya adalah syarat dan
prosedur dikeluarkannya produk hukum tersebut sehingga berpengaruh
21 Putusan MK Nomor 39/P-XV/2017, h. 3
48
pada keabsahannya. Jika Undang-Undang dikeluarkan atas dasar
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, maka dapat
dikeluarkan serta merta oleh Presiden dengan adanya hal ikhwal
kegentingan yang memaksa. Kegentingan yang memaksa tersebut sejauh
ini memang menjadi subjektifitas presiden, atau dalam penjelasan Undang-
Undang Dasar 1945 disebut juga noodverordenings recht22
(hak untuk
menetapkan peraturan dalam hal Negara sedang dalam keadaan darurat
atau keadaan kegentingan yang memaksa).
Dasar yuridis konstitusional lain dikeluarkannya ini dapat dilihat
dari konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 khususnya Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 Undang-Undang
Dasar 1945 mengatakan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya.
Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-
Undang. Sedangkan pada Pasal 22 D 1945 ayat (1) dikatakan:
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang.”
Mahkamah Konstitusi yang dikenal sebagai penafsir konstitusi (the
sole interpreter of constitution), telah memberikan tafsiran sekaligus
pembatasan mengenai kualifikasi kegentingan yang memaksa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan
Putusan MK Nomor 138/P-VII/2009 ada tiga syarat sebagai parameter
adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan
yaitu :
a. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
22 Maria Farida, Ilmu Perundang Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
(Yogyakarta: Kanisius , 1998, Cet. Pertama) , h. 96.
49
c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan
waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut
perlu kepastian untuk diselesaikan.
Adanya batasan dari Mahkamah Konstitusi tersebut harus diakui
tidak dapat membatasi subjektifitas presiden untuk mengeluarkan perppu.
Hal inilah kiranya yang mendasari dikeluarkannya perppu, yang hampir
setiap presiden pasca reformasi telah mengeluarkan produk hukum
tersebut.
Pada tanggal 10 Juli 2017 pemerintah telah menerbitkan perppu
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Disampaikan oleh
Menko Bidang Polhukam, Wiranto, memberikan berbagai argumen
tentang terbitnya perppu tersebut. Poin pokoknya sebagai berikut:23
1. Perppu tersebut diterbitkan dalam rangka tugas pemerintah untuk
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia;
2. Organisasi kemasyarakatan di Indonesia yang saat ini mencapai
344.039 ormas yang telah beraktifitas di segala bidang kehidupan,
baik dalam tingkat nasional maupun di tingkat daerah, harus
diberdayakan dan dibina. Sehingga dapat memberikan kontribusi
positif bagi pembangunan nasional;
3. Kenyataannya saat ini, terdapat kegiatan-kegiatan yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, yang merupakan ancaman terhadap eksistensi bangsa
dengan telah menimbulkan konflik di masyarakat;
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi
kemasyarakatan tidak lagi memadai sebagai sarana untuk mencegah
meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
23 Sudjito, Membaca “Kepentingan Politik” di Balik Perppu ormas dan Implikasi
Sosilogisnya Pada Masyarakat, makalah dalam seminar nasional: QUO VADIS PERPPU
ORMAS, diselenggarakan oleh FH UII, R.Sidang Utama Lt. 3, h. 1.
50
Undang Dasar 1945, baik dari aspek substantif terkait dengan norma,
larangan dan sanksi serta prosedur hukum yang ada. Antara lain, tidak
terwadahinya asas hukum administrasi contrario actus yaitu asas
hukum bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau yang
memberikan pengesahan adalah lembaga yang seharusnya mempunyai
wewenang untuk mencabut atau membatalkannya;
5. Selama ini, pengertian tentang ajaran dan tindakan yang bertentangan
dengan Pancasila dirumuskan secara sempit yaitu hanya sebatas pada
ajaran Atheisme, Marxisme dan Lininisme, padahal sejarah Indonesia
membuktikan bahwa ajaran-ajaran lain juga bisa dan bertentangan
dengan Pancasila.
Atas dasar argumen di atas maka Undang-Undang ini menjadi
payung hukum untuk bagaimana pemerintah dapat lebih leluasa, dapat
menjamin bagaimana memberdayakan dan membina ormas. Terdapat pula
dalam Undang-Undang ini asas contrarius actus, dalam artian yang
memberikan ijin dan mengesahkan ormas itu diberikan hak dan
kewenangan untuk mencabut ijin itu pada saat ormas yang bersangkutan
melanggar ketentuan yang berlaku pada saat diberikan ijin.
Pada sumber yang lain, Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan, menjelaskan adanya 3 (tiga) pertimbangan
pemerintah dalam penerbitan perppu yang akhirnya menjadi Undang-
Undang ormas ini. Pertama, dikeluarkannya perppu tersebut memang
menjadi hak prerogratif pemerintah yang dijamin secara konstitusional.
Dengan demikian, maka wajar saja apabila pemerintah mengeluarkan
perppu tersebut. Kedua, pemerintah menilai bahwa sejauh ini, perppu
tersebut dikeluarkan karena aturan hukum yang ada belum memadai.
Penerbitan perppu tersebut diharapkan menjadi solusi untuk
menghindari kekosongan hukum. Ketiga, perppu ini dikelurakan karena
payung hukum yang lain tidak bisa mengatasi persoalan hukum,
sedangkan untuk membuat undang-undang, dibutuhkan waktu yang cukup
lama padahal persoalan hukumnya membutuhkan penanganan dan
51
penyelesaian segera. Ketiga pertimbangan tersebut yang mendasari
pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini24
Pada dasarnya ialah embrio atas munculnya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan
menjadi Undang-Undang.
Sebagaimana diketahui, dasar yuridis mengenai organisasi
kemasyarakatan di Indonesia sebelumnya adalah Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan. Pemerintah menilai,
Undang-Undang ini telah tidak mampu mewadadahi problematika
organisasi kemasyarakatan yang sedang berkembang saat ini.
Secara lebih spesifik, pemerintah menilai, penindakan melalui
Undang-Undang tersebut terhadap organisasi kemasyarakatan yang
bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan Undang-
Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tidak lagi efektif.
Tidak efektiktifnya sanksi berdasarkan Undang-Undang tersebut,
lebih lanjut dijelaskan oleh Wiranto sebagai Menko Polhukam, yaitu yang
berkaitan dengan asas hukum administrasi yang berkaitan dengan asas
contrarius actus, yaitu sebuah asas yang mengatakan bahwa lembaga yang
mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap organisasi
kemasyarakatan adalah yang berwenang untuk membatalkannya.25
3. Pro dan Kontra Undang - Undang
Dikeluarkannya Undang-Undang ormas ini memang banyak
menuai kontroversi dan perdebatan. Buktinya, tidak lama setelah
24 Fabian Januarius Kuwado Dan Kristian Erdianto, “Ini Tiga Pertimbangan Pemerintah
Menerbitkan Perppu Ormas” dari, https://nasional.kompas.com/read/2017/07/12/12232051/initiga-pertimbangan-pemerintah-menerbitkan-perppu-ormas , diakses pada tanggal 9 April 2019.
25 Dewi Irmasari, “Ini Alasan Pemerintah Terbitkan Perppu Ormas” dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Masyarakat
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat;
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan;
Putusan MK Nomor 39/P-XV/2017
Putusan MK Nomor 6-13-20/P-VIII/2010
78
C. Jurnal dan Kajian Hukum
Arwanto, Bambang. “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Akibat Tindakan Faktual
Pemerintah.” Yuridika Vol. 31 No.3, 2016: 367.
Maggalatung, Andi Salman. “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan
Doktrin Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim.” Cita Hukum, Vol. 1. No. 2, 2014: 186.
Mursitama, Tirta Nugraha. Pengkajian Hukum tentang Peran dan Tanggung Jawab Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional
BPHN, 2011.
Rusli, Hardijan. “Metode Penelitian Hukum Normatif.” Law Review Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol. 5. No. 3., 2006: 41.
Sayuti. “Konsep Rechsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia.” Nalar Fiqh, Vol.
4. No. 2, 2011: 81.
Soemarsono, Maleha. “Negara Hukum Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori
Tujuan Negara.” Hukum dan Pembagunan, Vol. 37. No. 2, April-Juni 2007: 301-302.
Sonata, Depri Liber. “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakterirtik Khalas Dari Metode Meneliti Hukum.” Fiat Justisia Ilmu Hukum. Vol. 8. No. 1, 2014: 28.
Sudjito. Membaca “Kepentingan Politik” di Balik Perppu Ormas dan Implikasi
Sosilogisnya Pada Masyarkat. Jakarta: FH UII, 2017.
Wardaya, Manunggal K. “Perubahan Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi.”
Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Volume 7, No 2, , 2010: 9.