TINJAUANSECARA KRITIS
REFORMASI
PENDIDIKANNASIONAL
85 Tahun Tribute to Prof H.A.R. Tilaar
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar I i
DAFTARISI
PENGANTAR EDITOR.................................................................... vii
GURU, PILAR UTAMA MUTU PENDIDlKAN :........... 1
PERSPEKTIF MULTIKULTURAL KRITIS BAGIPENGEMBANGAN KAPASITAS GURU/PENDIDIK GURUDAN PEMBELAJAR BAHASA ASING
Oleh Joseph Ernest Mambu
Universitas Kristen Satya Wacana 9
PROFESI GURU DI SIMPANG JALANOleh Jimmy Ph. Paat. Ade Irawan, Bambang Wisudo.... 29
ETNOPEDAGOGI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN
Oleh Unifah Rosyidi 65
KURIKULUM: SUATU TINJAUAN KRITIS
Oleh S. Hamid Hasan 84
MERINTIS ILMU PENDIDlKAN BERFILOSOFIPANCASILA YANG MEMERDEKAKAN
Oleh Edi Subkhan 103
TANTANGAN PANCASILA:GLOBALISASI DAN IDEOLOGI TRANS NASIONALSERTA WATAK KEABADIAN PANCASILA
Oleh Mahnan Marbawi 131
MENUMBUHKAN KEMERDEKAAN BERPIKIROleh Henny Supolo Sitepu 162
IV I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI INDONESIAStudi Kritis Implementasi Pendidikan di IndonesiaOleh: Dedi Djubaedi ,.......................... 171
PENDIDIKAN AGAMAIS-NASIONALIS UNTUK KEUTUHAN NKRIOleh: Dr. Muhammad Kosim, MA 191
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGIOleh Kamanto SunartoDepartemen Sosiologi FISIP-UI 209
OTONOMI PENDIDIKAN TINGGI, DALAM KONTEKSMANAJEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh: Bedjo Sujanto 224
RETRET BESAR PENDIDIKAN INDONESIA
Oleh Ir Bagus Siswanto ·235
MENBANGUN SDM TIDAK CUKUP DENGAN PENDIDIKAN DANKESEHATAN
Oleh: SoekirmanGuru Besar (Em.) IPB, Bogor / Ketua Institut GiziIndonesia 261
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN VOKASIONAL DIINDONESIA
Oleh Eka TP. Simanjuntak 269
IKUT MEMBANGUN ANAK BANGSA?
Oleh E Baskoro Poedjinoegroho, SJ 285
BABIUPAYA MENJAGA DAN MELESTARIKAN BUDAYADAN EKSISTENSI NEGARA KESATUAN REPUBLIKINDONESIA 293
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar I V
BABll"UNTUK INDONESIA RAyg 303
BABillISU-ISU WHITE PAPER JAKARTA EDUCATIONAND CULTURE FORUM 309
BABNMENAKAR VISI PENDIDIKAN PEMIMPIN BARU ... 314
BABVFINAL' WHITE PAPERWhite Paper Jakarta Education and Culture ForumRevolusi Mental dalam Pendidikan 333
BABVISATU TAHUN JOKOWI:"BELUM ADA TEROBOSAN YANG SIGNIFIKAN':.... 336
VI I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
PENGANTAR EDITOR
"I)endidikan sudah hams berhenti berfungsi sebagai pabrik yang kemudian
r memisahkan produknya atas yang berkualitas dan tidak/kurang
berkualitas.Jika produk pabrik yang tidak berkualitas berharga rendah atau
bahkan dibuang, tidak dernikian halnya dengan basil pendidikan. Proses
pendidikan hams bertanggung jawab memberikan anggota warganegara
yang berkualitas dan menjadi anggota yang produktif, bukan beban bagi
masyarakat. Menghasilkan warganegara yang tidak/kurang berkualitas
sudah harns dianggap sebagai kejahatan pendidikan.
Itulah salah satu kritikan dari Hamid Hasan terkait pendidikan di
Indonesia yang dianggap sudah sangat komersial dan bersifat industri.
Pendapat Hamid Hasan yang membahas Kurikulum Suatu Pandangan
Kritis ini sejalan dengan tulisan Kamanto tentang Komodifikasi Pendidikan
dan Tinjauan Kritis Pendidikan di Perguruan Tingginya Bedjo Sujanto. Dua
kutipan di atas hanya triger bagi pembaca untuk Iebih dalam menyelami isu
isu pendidikan yang dilihat secara kritis.
Tulisan kritis terkait pendidikan di Indonesia ini sebagai rasa syukur
sekaligus refleksi kritis atas 85 tahun peIjalanan intelektual dari seorang putra
Tondano Sulawesi Utara Hendri Alex Rudolf Tilaar, atau yang Iebih dikenal
dengan H.A.R. Tilaar . Tilaar merupakan sedikit dari tokoh pendidikan yang
tetap konsen mengkritisi arab pendidikan di Indonesia yang dianggap telah
keluar dari jalur tujuan Pendidikan Nasional yang ada dalam Pembukaan
UUD 1945. Pendidikan saat ini menurut Tilaar sudah kehilangan arab
dan tidak memiliki rub untuk memperkuat -Ideologi Pancasila - yang selalu
menjadi perhatian utama dalam dalam setiap tulisannya. Pendidikan saat ini
hanya menghasilkan manusia-manusia tanpa jiwa.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini, merupakan bunga rarnpai
tulisan dari beberapa pakar dan praktisi pendidikan. Buku yang didedikasikan
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar Ivii
untuk Pro£ Tilaar ini tidak dalam posisi mengomentari secara langsung
perjalanan panjang dan kiprah pernikiran pendidikan H.A.R. Tilaar sejak
tahun 1950-an. Buku ini sendiri merupakan sebuah pengantar sederhana
dari berbagai persoalan pendidikan Indonesia yang dilihat oleh para penulis
secara kritis.
Buku ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama menjelaskan
perspektif para penulis. Ada empat isu pada bagian pertama: isu guru dan
kurikulum, Pancasila dan Pendidikan Kritis, Komersialisasi di Perguruan
Tinggi, dan Pendidikan dan Gizi. Sementara bagian ke dua berisi kompilasi
hasil diskusi Jakarta Education and Culture Forum (JEF). Sebuah forum
diskusi bulanan para pakar dan praktisi pendidikan teIkait isu-isu aktual
pendidikan yang digagas oleh Prof H.A.R. Tilaar dan Mahnan Marbawi.
Buku ini juga sebagai salah satu saksi dan bukti konsistensi pernikiran
pendidikan kritis di Indonesia yang akan terns berkembang. Akhirnya
di tangan para pembacalah akan menilai seberapa besar daya kritis dan
perspektif perubahan yang dibawa oleh buku ini. Selamat membaca.
Jakarta, 31 Mei 2017
Mahnan Marbawi
Jimmy Phaat
Vlll I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
PERSPEKTIF MULTIKULTURAL KRITIS
BAGI PENGEMBANGAN KAPASITAS GURU/
PENDIDIK GURU DAN PEMBELAJAR
BAHASA ASING
Joseph Ernest Mambu
Universitas Kristen Satya Wacana
A. Pendahuluan
Sebagai seorang critical applied linguist (linguis terapan kritis), saya tidak
berangkat dari teori linguistik, namun dari isu dan masalalz dalam
konteks penggunaan dan pembelajaran bahasa, khususnya bahasa asing
seperti Bahasa Inggris, dari sudut pandang kritis. Isu utama yang menjadi
perhatian saya dalam bab ini adalah multikulturalisme. Isu global ini, jika
tidak dipahami secara jeli, akan berakhir menjadi sebuah kelatahan belaka.
Ini masalalz pertama. Masalalznya lagi, sebagian orang rupanya hanya
menganggap keadaan multikultural sebagai sebuah keniscayaan. Menurut
saya, multikulturalisme tidak bisa dipahami hanya sebagai sebuah keadaan
multikultural (atau adanya keragaman budaya saja) secara naif. Masalalz ketiga
yang berkaitan dengan isu multikulturalisme di Indonesia bisa dihubungkan
dengan adanya peminggiran (atau pemarginalan) seseorang atau
sekelompok orang yang memiliki atribut tertentu. Di Indonesia pada akhir
2016 sampai awal 2017, rnisalnya, seorang Ahok sering dipermasalahkan
kecalongubernurannya di DKI Jakarta kMena dia merepresentasikan
(budaya) eina dan Kristen di sebuah negara dengan mayoritas (budaya)
Jawa dan Islam. Pertanyaannya adalah mengapa isu multikulturalisme dan
masalalz-masalalz yang berkaitan dengan isu ini menjadi penting bagi linguis
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar I 9
terapan seperti saya yang menjadi guru dan pendidik guru Bahasa Inggris di
sebuah universitas swasta di tanah air.
Sebagai guru dan pendidik guru Bahasa Inggris, saya meyakini bahwa
pembelajaran bahasa tidak bisa dipasung hanya pada pengajaran tata bahasa
dan kosa kata. Dalam pembelajaran bahasa asing seperti Bahasa Inggris
dibutuhkan juga peningkatan kecakapan menyusun wacana/diskursus (atau
discourse) lisan maupun tertulis yang bisa dipahami dan, secara pragmatik dan
sosiokultural, sesuaidengan situasi, tempat,genre, sertaaudience-nya. Memahami
dan mempraktekkan cara bertutur dan menulis yang tidak menyinggung
perasaan orang dari latar belakang budaya yang beragarn menjadi salah satu
tujuan utama dari kajian (diskursus) multikulturalisme. Sebelum menggali
lebih dalarn tujuan diskursus multikulturalisme ini, ijinkan saya memerinci
hal-hal yang akan saya bahas dalarn bab ini. Pertama, konsep budaya (culture)
akan didefinisikan. Kedua, tiga pendekatan multikulturalisme-konservatif,
liberal, dan kritis-akan dibahas. Ketiga, saya akan memaparkan perspektif
sosiokulturaldalam kajian pembelajaranbahasa asing. Perspektif sosiokultural
ini krusial untuk membingkai pembelajaran pendekatan multikulturalisme
kritis. Keempat, saya akan menggunakan contoh bagaimana saya
mempraktekkan (atau kalau tidak lebih baik mempraksis-kan) perspektif
sosiokultural dalam belajar dan membimbing mahasiswa pendidikan Bahasa
Inggris di Universitas Kristen Satya Wacana belajar konsep multikulturalisme
kritis. Pada tataran praksis inilah teIjadi pengembangan kapasitas saya
(sebagai guru dan pendidik guru) dan mahasiswa/peserta didik saya dalarn
hal belajar perspektif multikulturalisme kritis. Yang terakhir, implikasi untuk
praktek pedagogis dan penelitian akan saya diskusikan secara singkat.
B. Mendefinisikan "Budaya"
Terinspirasi salah satunya dari perspektif pasca-strukturalis dalarn
bidang linguistik terapan (lihat rnisalnya dalarn Norton, 2013; Pennycook,
2007), maka definisi saya pada istilah budaya adalah sebagai berikut. Budaya
merupakan pengendapan (atau tersedimentasinya) pengetahuan, keyakinan,
artifak, dan praktek-praktek seseorang atau kelompok masyarakat yang bisa
tetap sarna selarna bertahun-tahun, atau berevolusi, atau bahkan berubah/
10 I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
bergeser secara radikal, saat seseorang atau sekelompok masyarakat tersebut
berinteraksi dengan orang-orang lain di berbagai wilayah geografis maupun
situs-situs daring (dalam jaringan).
Definisi yang cukup luas ini mempennasalahkan pemahamaman
budaya yang sering terkungkung pada ranah artifak (atau peninggalan
peninggalan dan warisan) yang terlihat dalam bentuk tarian, musik, karya
sastra, rnakanan, atau bentuk-bentuk kerajinan yang sering dikonotasikan
berasal dari satu wilayah geografis yang relatif sempit (misal: tari Gambyong
berasal dari Surakarta) atau milik etnik atau suku tertentu (misal: Bamngsai
itu identik dengan suku/etnik Tionghoa). Dalam kenyataannya, artifak
yang tampak sekilas statis sebenarnya bisa berlrembang dan berubah tidak
saja karena perubahan zaman, namun juga karena interaksi pelaku budaya
di satu wilayah tertentu dengan pelaku budaya dari wilayah lain. Sebagai
pecinta musik klasik (yang sering dikonotasikan dengan ke-Eropa-an), saya .
belajar dari sejarah bagaimana komponis besar Perancis seperti Maurice
Ravel dan Claude Debussy menghibridkan musikklasik impresionisnya (yang
sudah bergeser dari ekspresionisme romantis awal abad ke-19) dengan musik
gamelanJawa. 1
Namun, seperti definisi saya di atas, budaya bukan melulu tentang
artifak. Budaya juga mencerminkan pengetahuan (atau kearifun loka!) yang
kadang atau sering sulit bersanding dengan budaya arus utama dari yang
sering disebut sebagai ''Barat'' (contoh: Amerika dan Eropa). Misalnya,jika
saya mengerik punggung anak saya sampai belang-belang merah dan warna
terang-karena kulit anak saya warnanya lebih terang daripada saya
maka saya bisa dilaporkan ke polisi oleh guru di TK-nya di Amerika Serikat
Kero'an adalah budaya keluarga sayajika salah seorang anggota keluarga saya
"masuk angin."
Budaya juga merepresentasikan keyakinan, termasuk keyakinan guru
(teO£hm' beli¢) dalam berinteraksi dengan peserta didiknya. Misalnya, seorang
guru bisa berkeyakinan bahwa pembelajaran yang terbaik adalah yang
berpusat pada guru. Sebagian guru yang lain percaya bahwa pembelajaran
bisa terjadi lebih efektifjika berpusat pada pembelajar. Keyakinan-keyakinan
bttps:/lwww.sfcv.org/articlelg;unelan-and-weslem-classical-music .
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tlbar 111
semacam ini kemudian bisa diteIjemahkan dalam praktek-praktek di kelas:
ceramah guru/dosen terns sepanjangjam pelajaran, atau melibatkan siswa/
mahasiswa dalam diskusi kelompok.
Budaya, seperti yang saya definisikan, bisa berubah, baik itu yang tidak
terlalu disadari pelaku budayanya, maupun yang sesuai dengan keputusan
secara sengaja pelaku budayanya. Mungkin ayah ibu saya yang terpapar
budaya Belanda di masa lalu tidak begitu mengamati bagaimana budaya
penggunaan kata "broer" dan "zus" sudah tidak lagi lazim digunakan anak
muda zaman sekarang. Saya pun cenderung pakai kata ''bro'' atau "sis," yang
lebih terdengar ke-Inggris-Inggris-an. Di samping perubahan bahasa secara
halus (yang sering tidak disadari) dari masa ke masa, perubahan budaya
bisa dikondisikan. Pada tataran pengondisian inilah saya memfokuskan
pembahasan saya mengenai konsep multikulturalisme. Guru atau
pendidik guru bisa mengondisikan siswa/mahasiswanya belajar perspektif
multikulturalisme kritis, walaupun tidak hams selalu setuju dengan saya.
c. Tiga Perspektif da1aJn Menyikapi MultikulturalisDleMenurut Kubota (2013), multikulturalisme "mencerminkan
keberagaman budaya, etnik, ras, bahasa, dan agama yang diakibatkan
oleh mobilitas manusia dalam proses penjajahan, perbudakan, migrasi,
dan penyebab-penyebab historis lainnya" (hal. 3774; diteIjemahkan dari
Bahasa Inggris). Menurut saya, faktor-faktor lainnya yang menyebabkan
keberagaman (atau super-keberagaman [super-diver.ri!J]---istilah Vertovec,
2(07): pemikahan, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) (Blommaert,
Spotti, & VanderAa, 2015),dankelas sosial(lihatmisalnyaBlock, 2015). Dalam
era super-dwe:rsi9 ini masalah-masalah rill di dunia (misal: ketidakadilan sosial)
tidak bisa disikapi atau diselesaikan secara simplistik (misal: hanya dengan
melihat konflik etnis). Masalah etnis atau ras bersinggungan dengan konflik
pada tataran lainnya (misal: pada tataran agama dan kelas sosial). Dalam
menyikapi Ahok, misalnya, kelompok Islam "bumi datar" dan kelompok
Islam moderat tidak sepaham, walaupun sama-sarna Islam. Yang sarna-sarna
Tionghoanya pun tidak bisa selalu sepaham dengan Ahok, misalnya karena
mereka adalah pengusaha kaya yang dirugikan dengan sistem transparansi
12 I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
keuangan dalam pemerintahan Ahok. Keadaan multikultural yang superdiverse inilah yang perlu disikapi dengan bijak oleh pendidik guru, guru, dan
pembelajar bahasa asing.
Perspektifkonservatif
Kubota (2013) menjelaskan tiga perspektif dalarn memandang
multikulturalisme: .konseIVatif, liberal, dan kritis. Perspektif konseIVatif
pada dasarnya sangat menentang keadaan multikultural karena dianggap
mengancarn "kohesi sosial" (hal. 3775). Perspektif ini mendukung ke
homogen-an budaya dan mendorong dipertahankannya hegemoni budaya
arus utama (atau mainstream), misalnya nilai-nilai kekristenan orang kulit
putih di negara-negara Barat. Di Indonesia, perspektif konseIVatif ini
sedang ditumbuhsuburkan oleh golongan Muslim garis keras atau ultra
fundamentalis. Sudah barang tentu perspektif konseIVatif ini sarna sekali
bukan yang saya idealkan sebagai pedagog kritis.
Perspektfliberal
Perspektif liberal dalarn menyikapi multikulturalisme sedikit lebih baik
daripada perspektif konservatll. Dalam perspektif liberal, pluralisme diakui
dan bahkan dirayakan (Kubota, 2013). Saya tidak tahu, sebenarnya, mengapa
kompas.com berslogan "Rayakan Perbedaan." Narnun, jika perbedaan
hanya untuk sekedar dirayakan, inilah masalahnya. Masalah utamanya ada
dua. Pertama, fokus pada perayaan perbedaan budaya sering berakibat pada
pengeksotikan (exocticizing) dan pengesensialisasian (essen.tia/izing) budaya orang
lain/liyan (other). Dengan kata lain, menganggap budaya liyan sebagai sesuatu
yailg eksotik dan bisa direduksi menjadi suatu esensi statis adalah masalah
besar dari perspektif liberal ini. Tidaklah asing bagi kita untuk melihat festival
atau parade budaya. Di Salatiga, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
setiap tahun menyelenggarakan parade' budaya. Tahun lalu saya melihat
arak-arakan budaya di salah satu jalan utama di Salatiga, dan kebetulan
yang paling saya ingat, karena saking eksotisnya, adalah penarnpilan tarian
dari Papua oleh sekolompok mahasiswa Papua yang mengenakan atribut
tradisionalnya, lengkap dengan kotekanya. Narnun, budaya Papua tidak
bisa direduksi menjadi sebuah esensi berupa tarian Papua yang diparnerkan
beserta atribut-atribut eksotisnya. Kedua, fokus hanya pada perbedaan
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar 113
budaya yang dirayakan mengabwkan isu-isu kekuasaan dan hak-hak khusus
(atau prWiI£ge) yang lianya dimiliki suatu kelompok masyarakat.
Dalam festival/pesta/parade budaya, tidak pernah ada yang namanya
diskusi/fonun terbuka di mana anggota-anggota masyarakat, khususnya
yang merasa tertindas atau termarginal, bisa secara blak-blakan menuangkan
pemikiran atau perasaannya secara lisan, tertulis, atau melalui media (seni)
lainnya. Bahkan, buku-buku teks pelajaran Bahasa fuggris yang beredar di
fudonesia pun, sejauh pengetahuan dan pengamatan saya, sepertinya be1um
pernah adayangberisibacaan dan/ataupertanyaan-pertanyaanpemaharnan
bacaan maupun diskusi yang mengangkat isu-isu hubungan kekuasaan dan
prWiI£ge, dalam interaksi manusia berlainan latar belakang budaya, secara
eksplisit. Yang ada 1ebih bersifat "wisata kultural" (cultural tourism). Artinya,
presentasi tentang budaya dikemas dalam festival/parade/pesta budaya
dan buku-buku teks secara informatif mengenai artifak dan kebiasaan
kebiasaannya saja. Artifak-artifak bisa disingkat menjadi 4F:food (makanan),
fashUm (pakaian)Jestival, danfollaJance (tarian rakyat) (Kubota, 2013, hal. 3775).
Kebiasaan-kebiasaan yang seringberedar di masyarakat dalampembicaraan,
atau bahkan diskursus di dalam kelas, adalah yang direduksi menjadi sebuah
esensi statis, seo1ah-olah demikianlah adanya. Misalnya: orang Batak (pasti!)
kasar; orangJawa Tengah dari Solo halus; wanita adalah tukang gosip; orang
Cina pelit; orang Kristen suka kemewahan; dsb. Singkatnya, menarnpilkan
budaya secara pemak-pernik etnisnya saja (etJznU: tidbits), termasuk dalam hal
mengategorikan pahlawan suatu etnis/bangsa tertentu, atau menarnpilkan
yang mainstream dari sebuah budaya (Convertino, 2016, hal. 126) adalah
representasi dari perspektif liberal terhadap multikulturalisme.
Masalah utama lainnya dari perspektif liberal dalarn menyikapi
multikulturalisme adalah penekanan yang berlebihan pada kesamaan
(commo1'li11iry) dan kesetaraan tiap-tiap individu (iruiividualequtJ1i!y) (Kubota, 2013,
hal. 3775). fuilah ironi dalam perspektif liberal. Di satu sisi, perbedaan budaya
dirayakan, narnun di sisi lain perbedaan-perbedaan (termasuk kesenjangan
kekuasaan) dinafikan atau dianggap tidak ada. Saya, paling tidak, sering
mendengar hal semacarn ini: '~da punya kesempatan yang sarna. Kalau
Anda bekerja keras, Anda akan berhasil." Kadang guru bisa mengatakan hal
14 I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
semacam itu. Narnun, pernikiran ini bisa menyesatkan. Apakah "kesempatan
yang sarna itu" memang benar-benar sarna? Mari membayangkan dalarn
satu kelas di sebuah SMP negeri, misalnya, ada satu anak pejabat dan ada
satu anak pembantu nunah tangga. Katakanlah kedua-duanya ber-IQ
normal-tidak jenius, tidak pula terbelakang. Katakanlah keduanya sarna
sarna bekerja keras. Narnun, si anak pejabat bisa bekerja keras dalarn belajar
karena ditolong guru les privatnya, sementara yang anak pembantu harus
bekerja keras membantu ibunya setelah pulang sekolah terlebih dahulu
sebelum pada malarn harinya belajar keras dengan penerangan nunah ala
kadarnya. Telepon selulernya jadul, sehingga tidak bisa untuk berselancar
secara leluasa di dunia maya. Belum lagi kalau si anak ini hams bangun
pagi-pagi buta untuk menolong pekerjaan nunah tangga sebelum ibunya ke
nunah majikannya. Si anak pejabat, tidak hams bangun terlarnpau pagi atau
membantu pekerjaan orang tua. Kadang ia malah punya lebih banyak waktu
bermain atau eari informasi dari internet. Dua anak ini sarna-sarna punya
budaya-baik dalarn hal keyakinan dan praktek-kerja keras, tetapi starting
paint (titik awal) mereka tidak sarna. Si anak pembantu, yang bekerja ekstra
keras pun, tidak bisa fokus pada pelajaran. Si anak pejabat bisa belajar keras,
dibantu guru les pula, plus masih ada waktu bermain.
Secara lebih makro, kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa
orang Papua yang tinggal di pedalarnan tidak memiliki starting point yang
sarna dengan orang kelas menengah ke atas yang lahir dan besar di kota
besar diJawa.Jadi, alangkah naifuyajika seorang guru menekankan kepada
para muridnya bahwa mereka semua sudah setara dalam berbagai hal
dan memiliki kesempatan yang sarna untuk sukses. Tentulah berkat dan
kesuksesan, untuk banyak orang, tergantungjuga pada berkat Tuhan. Narnun
yang lebih penting dalarn bab ini adalah kesadaran kritis bahwa dalarn
dunia, khususnya Indonesia, yang masih dipenuhi ketidakadilan sosial, guru
perlu eelik terlebih dahulu bahwa para muridnya tidak saja memiliki budaya
yang beraneka ragam, narnun mereka juga berangkat dari titik awal kelas
sosial dan (peng)kasta(an) yang berbeda pula. Si anak pejabat dan si anak
pembantu baleh saja sarna-sarna dari etnisJawa, narnun kelas sosial mereka
jelas berbeda. Belum lagi jika ada pengkastaan seeara agarna: si anak pejabat
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar I 15
Muslim, dan si anak pembantu non-Muslim.
Perspektifkritis
Kesadaran kritis bahwa pembelajar atau peserta didik berangkat
dari latar belakang budaya .dan titik awal kelas sosial maupun pembedaan
kasta oleh masyarakat adalah hal penting yang mendasari pendekatan kritis
terhadap multikulturalisme. Kubota (2013) secara khusus menggarisbawahi
bahwa perspektif kritis dalam menyikapi multikulturalisme mendorong
peserta didik untuk tidak berkutat pada pemahaman dan apresiasi
superfisial/dangkal pada keberagaman. Ia mendorong peserta didik untuk
lebih sadar akan isu-isu kekuasaan, diskriminasi, kearifan/pengetahuan lokal
yang direndahkan (sui?jugated local knowledge), ras, gender, dan ketidaksetaraan
ekonomis pada tataran lokal, nasional, dan global.
Lebih lanjut Kubota (2013, hal. 3777-3779) menjabarkan beberapa
hal lain yang mencirikan perspektif multikuluralisme kritis-dengan sedikit
modifikasi dari saya:
Ideologi (anti)monolingual, yaitu menentang pemaksaan penggunaan
bahasa dominan pada kelompok-kelompok minoritas secara kebahasaan
(misal: anti pemaksaan penggunaan Bahasa Jawa pada siswa-siswa yang
berasa dari luar Jawa). Ideologi ini juga mendorong pembelajar untuk
mengeksplorasi "identitas majemuk" (multiple identities), dan bukannya
otentisitas budaya yang tidak bisa berubah/harga mati.
(Anti)normatisme, yaitu menentang peminggiran/pemarginalan pada
bahasa-bahasa non-mainstream oleh paham normatif dari pengguna bahasa
mainstream suatu bangsa. Contoh riil: Bahasa Inggris adalah bahasa yang
memarginalkan bahasa-bahasa seperti bahasa Navajo orang asli Amerika.
Pemahaman budaya (anti)esensialis, yaitu menentang batas-batas
(budaya) diri (se!fj dan liyan (other) secara kaku.
Anti-buta pada warna kulit, yaitu menentang disepelekannya rasisme
.dan ketidaksetaraan struktural yang mempengaruhi para peserta didik dalam
berbagai hal. Wama kulit memang menjadi isu di Amerika Utara. Dalam
konteks Indonesia, saya mengadaptasinya menjadi anti-buta pada (relasi)
kekuasaan, yang lebih luas daripada anti-buta perbedaan wama kulit.
Sejauh ini saya sudah mengupas tiga perspektif dalam menyikapi
16 I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
multikulturalisme. Sejalan dengan pernikiran ,Kubota (2013), saya mgm
mendorong para guru dan pendidik guru bahasa asing untuk mendalami
perspektif kritis bersama para peserta didiknya. Pertanyaan besarnya adalah:
Bagaimanakah perspektif multikulturalisme kritis bisa dipelajari bersama
oleh guru/pendidik guru dan peserta didiknya?
D. PengelDbangan Kapasitas Guru Bahasa Asing dalam
MelDpelajari MultikulturalisJne Kritis: Sebuah Perspektif
Sosiokultural
Saya sengaja mengganti istilah pengembangan profesionalisme
(professional development) menjadi pengembangan kapasitas di sini.
Profesionalisme itu cenderung menyempit pada guru atau pendidik gurunya
saja yang tersertifikasi secara profesional dan tergabung dalam organisasi
profesi guru. Pengembangan kapasitas bisa mencakup mat tulus guru, atau
pendidik guru, maupun peserta didiknya yang tidak mesti tersertifikasi atau
secara resmi menjadi anggota profesi organisasi guru namun terpanggil
untuk terns belajar mengembangkan dirinya.
Menurut Johnson (2009), perspektif sosiokultural pengembangan
profesionalisme (yang dalam bab ini saya ganti secara sengaja menjadi
pengembangan kapasitas) mengasumsikan bahwa h.wnan cognition is formed
through engagement in social activities, and that it is the social relationships and the culturallY
constructed materials, signs, and symbols, r(erred to as semiotU artifacts, that mediate
those relationships that create uniquelY human forms rf higher-level thi.nki.ng, [Kognisi
manusia/proses manusia memperoleh pengetahuan dibentuk melalui
keterlibatannya dalam aktivitas-aktivitas sosial. Hubungan-hubungan sosial
dan materi-materi, tanda-tanda, serta simbol-simbol yang terkonstruksil
terbangun secara kultural, yang disebut sebagai artifak semiotiklah, yang
memediasi/menjadi perantara dalam hubungan-hubungan sosial tersebut.
Melalui hubungan-hubungan sosial yang termediasi artifak semiotik inilah
cara berpikir manusia yang lebih tinggi tingkatannya terbentuk.] (hal. 1)
Perspektif sosiokultural ini saya terjemahkan secara visual dalam Bagan
1. VlSualisasi Perspektif Sosiokultural MenurutJohnson (2009).
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar I 17
'" •• Ia..a.l.......
St'Il110tlC artIta~ ts ..
sor lell n-Iatlfll1shlpS
Lalu apa kaitan perspektif sosiokultural ini dengan multikultu~me
kritis? Jika kita mengasurnsikan bahwa tingkat berpikir yang lebih tinggi
(higher-level thinking) ketimbang pandangan kOnseIVatif dan liberal terhadap
multikulturalisme adalah multikulturalisme kritis, maka pembelajar perlu
terlibat dalam aktivitas kelas atau daring/dalam jaringan (online) yang
dimediasi oleh guru atau pendidik guru secara dialogis (teaching as dialogic
mediation). Mediasi juga teIjadi dengan adanya materi-materi pembelajaran
(learning materials) dan relasi-relasi di kelas atau daring antara guru/pendidik
guru dengan (maha)siswa (teacher-student relatWnships), atau antara (maha)siswa
sendiri (student-student relationships). Pengembangan kapasitas guru/pendidik
guru dan para (maha)siswanya tercermin dari kognisi yang terbatas pada
perspektif konseIVatif dan/atau liberal terhadap multikulturalisme menjadi
kognisi yang ~ebih) kritis. Liliat Bagan 2.
Bagan 2. VlSualisasi Pengembangan Kapasitas Guru/Pendidik Guru
dan (Maha)siswanya: Menuju Multikulturalisme Kritis.
LCdnllIlg J1lHI,'n,11s -
1< d( 11. r stud"IlI k. Stll<kIlIstudf-flt rt--J,-ltIIlTlS}1l )S
Berpijak pada pemikiran-pemikiran Vygotsky, Johnson (2009) lebih
lanjut menjabarkan beberapa prinsip dasar perspektif sosiokultural:
18 I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
1. Guru/pendidik guru sebagai pembelajar dalarn hal mengajar (Teachers as
learners if teaching). Artinya: Guru/pendidik guru perlu belajar bagaimana
memahami dan mengembangkan konsep-konsep teoritis, serta
mentransformasi praktek-praktek mengajarnya sesuai dengan konsep
konsep teoritis yang dipelajarinya.
2.. Bahasa sebagai praktek sosial (Language as social practice ). Artinya: Bahasa
digunakan manusia sebagai alat psikologis dan kultural untuk (a)
memaknai suatu pengalarnan hidup; (b) membagikan/menceritakan
pengalaman tersebut kepada orang lain; dan (c) mentransformasi
pengalarnan-pengalarnan tersebut menjadi pengetahuan dan
pemaharnan budaya (cultural knowledge and understandings) (hal. 3).
3. Mengajar sebagai mediasi dialogis ('Teaching as dialogic mediation). Artinya:
Guru/pendidik guru perlu memberi keleluasaan kepada para (maha)
siswanya untuk berkontribusi dan berbagi penemuan (discoveries) di kelas
atau di luar kelas, dengan dibantu atau dimediasi oleh guru/pendidik
guru dan/atau pembelajar yang lebih kompeten sebagai "kolaborator
ahli" ('expert' collabarators) (hal. 63).
4. Struktur-struktur makro dan profesi guru bahasa ke-2/asing (Macro
structures and the L2 teacher prifession). Artinya: Kebijakan-kebijakan resmi
dari pemerintah, termasuk kewajiban menjalankan suatu kurikulum,
yang membentuk pekerjaan guru/pendidik guru sehari-hari perlu
disadari oleh para guru/pendidik guru (hal. 5).
5. Perlunya pendekatan-pendekatan penelitian pada pengembangan
profesi (Inquiry based approaches to professional development). Artinya: Dalam
pengembangan profesi (atau kapasitasnya), para guru/pendidik guru
perlu bekerja sarna secara dialogis untuk menyelesaikan masalah
masalah pedagogis/pembelajaran.
Mengenai bagaimana prinsip-prinsip ini termanifestasikan dalarn 10 tahun
terakhir masa kerja saya sebagai dosen akan saya bahas pada sub-bab di
bawahini.
E. PengaJaman Pribadi Saya sebagai Pelllbelajar dan Pendidik
Guru da1alll Bergwnul dengan Konsep Multikulturalisllle Kritis
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar 119
sehuna Satu Dekade Lebih
Saya mengenal prinsip pedagogi kritis secara eksplisit waktu saya
mengambil studi magister linguistik terapan pada 2004-2005 (lihat Mambu,
2010 untuk narasi lebih detailnya). Sejak pulang studi magister,saya ingin
membuka mata kuliah pilihan yang ada muatan pedagogi kritisnya. Dalam
rangka menjadi guru pendidik yang juga pembelajar dalam hal mengajar
pedagogi kritis di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris UKSW
(bandingkan dengan prinsip # 1 [Johnson, 2009]), pada tanggal 16 April
2006, dalam sebuah pameran buku akbar di Solo, saya membeli buku
beIjudul Critical Pedagogies and Language Uarning (Norton & Toohey, 2004).
Saat membaca buku itulah saya mengenal konsep critical mulJ:iJ:ulturalism dari
Kubota (2004).
Pada pertengahan 2007, saya memberanikan diri untuk bertemu
pimpinan Fakultas Bahasa dan Sastra UKSW kala itu dan meminta restu
mereka agar saya bisa membuka mata kuliah Critical PedtJgogies and liJeracies.
Mereka setuju. Maka saya menawarkan mata kuliah pilihan (elektif) ini pada
semester ganjil2007-2oo8 untuk pertama kalinya, dan terns saya tawarkan
sampai 2010 sebelum saya berangkat studi doktoral saya dalam bidang
linguistik terapan (lagi). Selama kurun waktu 2007-2010 ini saya belum
pernah membaca Johnson (2009), jadi secara retrospektif saya boleh akui
bahwa saya masih dalam sebatas mengenalkan konsep multikulturalisme
kritis dalam mode ceramah (lecturing mode).
Setelah selesai studi S-3, saya mulai menawarkan lagi mata kuliah
pilihan favorit saya ini pada pertengahan 2016. Namun, lagi-lagi saya sering
merasa bahwa saya masih banyak berkutat pada mode kuliah. Saya makin
reflektif dan saya merasa lebih sadar bahwa pada 2016 ini mahasiswa
mahasiswa saya kebingungan dengan konsep-konsep dalam pedagogi kritis
yang kadang untuk mengucapkannya saja sulit (misal: conscientization-nya
Paulo Freire [1970/2000]).
Tahun 2016 menandai pernbahan radikal dalam hal kurikulum di tanah
air, termasuk di program studi Pendidikan Bahasa Inggris UKSW Pemerintah
mewajibkan seluruhprogram studi untukmembuat kurikulum berbasis SNPT
20 I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
(Stamlar Nasional Pendidikan Tinggil yang sesuai dengan KKNI (Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia).3 Saya bukan pemuja standarisasi, tetapi
saya hams mengakui ada yang cukup berguna dalam kurikulum berbasis
SNPT ini (karena bisa sejalan dengan prinsip pedagogi kritis). Kurikulum
ini mendorong dosen agar tidak (hanya) mempresentasikan isi (bandingkan
konsep "mendepositkan" pengetahuan-nya Freire [1970/2000]), namun
ada upaya agar ada capaian pembelajaran (learning outcomes) dalam diri
(maha)siswa. Di titik inilah saya menyadari bahwa struktur-struktur makro
(bandingkan prinsip #4 [Johnson, 2009]) bisa bergunajuga.
Dalam menyiapkan silabus mata kuliah yang berganti nama sedikit
Critical Pedngogy arui Iiteraq di bulan Desember 2016, saya mulai bertanya
bagaimana bahan-bahan (atau isi) pedagogi kritis bisa lebih mudah
dipahami oleh mahasiswa saya. Maka saya mulai mendalami perspektif
sosiokultural dalam pendidikan guru bahasa (misal: Johnson, 2006, 2009,
2015). Salah satu hal yang menarik perhatian saya dari pustaka perspektif
sosiokultural tersebut adalah bagaimana guru bahasa bisa memfasilitasi
pembelajarnya dalam mempelajari konsep melalui mediasi dialogis oleh
guru (prinsip #3 [Johnson, 2009]) dengan menggunakan isi/bahan belajar
yang berguna untuk meningkatkan pemahaman pembelajar. Karena saya
juga mempersiapkan diri menjadi pembicara utama (plenary speaker) di sebuah
konferensi mengenai multikulturalisme, maka saya memfokuskan perhatian
dan penelitian kecil (smallY inquiry) saya (bandingkan prinsip #5 [Johnson,
2009]) dalam hal bagaimana multikulturalisme kritis bisa dipahami dengan
lebih baik~ebagai sebuah capaian pembelajaran, meminjam istilah
SNPT-oleh mahasiswa saya yang mengambil mata kuliah pilihan Critical
Pedngogy arui Iiteraq di semester genap 2016-2017 (Januari sid April 2017).
Jadi, pertanyaan besar saya untuk penelitian kecil ini adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah pemahaman saya tentang multikulturalisme kritis selama
ini mentransformasi praktek mengajar saya? Secara lebih spesifik saya ingin
mengetahui juga sarana-sarana mediasional (mediational means) apa saja yang
bisa saya gunakan untuk membuat mahasiswa saya memahami konsep
2 http://jdih.ristekdikti.go. id/?q=perundangan/konten/11343
3 http://www.kkni-kemenristekdikti.org/
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar I 21
multikulturalisme kritis?
Secara umum, jawaban saya adalah ini: Memahami multikulturalisme
kritis mentransformasi saya untuk tidak bergantung pada mode ceramah.
Kedengarannya sepele. Namun ini bukan hal yang mudah bagi saya. Saya
senang memberi ceramah, namun jika itu saja yang saya gunakan, saya
menyangkali hakekat pedagogi (termasuk multikulturalisme) kritis. Pedagogi
kritis seharnsnya mempermasalahkan kekuasaan yang terpusat hanya
pada guru/pendidik guru. Saya ingin mengubah budaya saya dari sekedar
mengajar menjadi ternan belajar nan kritis bagi mahasiswa saya. Untuk
mentransformasi budaya ketergantungan pada metode ceramah, saya
menggunakan sarana narasi.
Pada tanggal 12 Januari 2017, di minggu ke-2 perkuliahan Critical
Pedagogy & literaq, saya menggunakan cerita pengalaman Shinta (nama
samaran) menghadapi ketegangan rasial di kelas Berbicara (Speaking)-nya.
Cerita dan analisa terhadap cerita ini telah saya terbitkan dalam Mambu
(2011), sebenarnya, namun saya belum pernah menggunakannya sebagai
sarana mediasional bagi mahasiswa saya belajar multikulturalisme kritis.
Cerita Shinta yang sudah saya teIjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia di
sini adalah sebagai berikut:
Aku mengambil kelas Speaking 4 dan saat pertaina kali aku masuk
kelas, tiba-tiba aku merasa tidak nyaman karena akuJawa, sementara
teman-temanku yang lain di kelas itu Tionghoa. Asisten dosen (asdos)
ku pun Tionghoa. Aku tidak merasa nyaman karena ada asumsi bahwa
orang Tionghoa lebih tinggi der;yatnya ketimbang orang dari etnis
lain. Waktu itu hanya ada dua yangJawa dan satu yang Batak di kelas.
Sepertinya kami akan bernasib sarna: didiskriminasi. [...JSuatu hari, kami diberi tugas [...Juntuk membuat proposal
dan sesudah itu kami harns mempresentasikannya di depan kelas.
Karena tugasnya agak soot, kami harns bekeIja dalam kelompok yang
berisi 4 orang. Tentu saja aku gabung dengan teman-temanku yang
Jawa dan Batak. Untungnya, ada satu ternan Tionghoa yang gabung
juga. Aku sangat senang karena akhirnya ada orang Tionghoa mau
berteman denganku.
22 I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
Tapi perasaanku keliru. Untuk tugas berikutnya, asdosku
menugasiku mementaskan drama. Dia juga membagi kami ke
dalam kelompok berisi 4 mahasiswa. Kupikir aku akan kerja dengan
kelompokku yang dulu. Tapi ternan Tionghoaku kali ini tidak mau
kerja denganku dan ternan-ternan non-Tionghoaku. [...] Kami sangat
marah. [...]
Kami juga bingung karena tindakan asdos kami. Kami bertanya
tanya mengapa dia diam saja dan tidak memperingatkan ternan
Tionghoa kami itu. [...] Mungkin karena asdos kami itu Tionghoa
juga. [...] (tugas ke-4 jurnal reflektif yang ditulis oleh Shinta; dalam
Mambu, 2011, hal. 157-158)
Cerita versi Shinta mungkin saja tidak "objektll." Kita perlu juga
mendengar cerita versi asdos dan ternan-ternan Shinta, baik yang Tionghoa
maupun yang non-Tionghoa. Namun demikian, cerita ini bisa menjadi media
refleksi untuk mahasiswa saya tahun 2017 ini. Setelah mereka membaca cerita
Shinta (dalam versi asli Bahasa Inggrisnya), saya menyodorkan pertanyaan
pertanyaan berikut ini-dalam Bahasa Inggris, di kelas saya 12 Januari
lalu-sebagai mediasi dialogis saya (bandingkan prinsip #3 [Johnson, 2009]):
1. Pemahkah kalian, sebagai siswa, mengalami seperti cerita Shinta di kelas
Bahasa Inggris?
2. Jika ya, tolong ceritakan pengalaman Anda tersebut. Apa yang Anda
lakukan untuk mengatasi masalah tersebut?
3. Jika tidak, apa yang akan kalian lakukan sebagai guru Bahasa Inggrisjika
menghadapi situasi yang mirip di kelas yang Anda ajar?
Tidak banyak jawaban yang saya dapatkan di kelas. Dalam catatan
refleksi saya setelah mengajar, ada satu mahasiswa, sebut saja Cindy,
menyebutkan secara singkat adanya ketegangan rasial antar siswa yang
sedang belajar BahasaJerman di SMA-nya dulu di luarJawa. Terlepasdari
pertanyaan-pertanyaan di atas, sayabertanyaapalagi yangmenarikdari cerita
Shinta di kelas Speaking 4. Beberapa mahasiswa berusaha untuk menjawab
pertanyaan saya tersebut, tapi menurut saya kurang mantap. Lalu saya
memberi sebuah petunjuk dengan pertanyaan menyelidik (probing qu£stion):
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar I23
"What is the""!ioritygroup in Indonesia? (Apa kelompok mayoritas di Indonesia?).
Seorang mahasiswi saya, sebut saja Fitri, menjawab lantang dan menurut
saya ini merupakan penemuan barn (discovery)-nya: "Oh ya! The ""!iori!Y can
become the minority" (yang mayoritas [yaitu orang Jawa] bisa menjadi yang
minoritas). Betul sekali. Orang Jawa memang kelompok mayoritas di luar
lingkup kelas Speaking 4 dan Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris
(pBI) UKSW pada tahun 201O-an. Kenyataannya, etnisJawa memang yang
paling dominan di Indonesia.4 Namun, di Prodi PBI UKSW pada era itu
etnis Tionghoa terasa lebih dominan, karena di sarnping jumlahnya yang
relatif masih cukup banyak pada masa itu, mereka juga termasuk yang
pandai, atau sangat pandai, dan bahkan terpandai.
Tidakperlumediayangsulitdanyangkelihatanwahuntukmeningkatkan
kesadaran mahasiswa saya akan adanya ketegangan rasial. S~telah cerita
Shinta, pada tanggal12Januari 2017 tersebut sayajuga menggunakan media
gambar (lihat Bagan 3) untuk memperkuat (reinforce) pemahaman mereka pada
multikulturalisme kritis. Di modul yang saya kembangkan, gambar-gambar
tersebut saya tampilkan bersama dengan ringkasan perspektif konservatif,
liberal, dan kritis pada multikulturalisme. Saya meminta para mahasiswa
untuk mencocokkan gambar-gambar tersebut dengan salah satu perspektif
(lihat Bagan 3). Gambar yang atas menunjukkan multikulturalisme liberal,
yang bawah kritis. Gambar yang bawah adalah nukilan blog yang membahas
konflik mahasiswa UKSW dari etnis tertentu dengan warga dekat kampus.
UKSW
Setelah pertemuan tanggal 12 Januari 2017 tersebut, saya tidak bisa
memaksakan mahasiswa saya untuk mernikirkan multikulturalisme kritis
terns. Namun, saya bersyukur ada satu mahasiswi saya, sebut saja Bulan,
yang menuangkan pemikirannya dalam jurnal reflektifuya. Karena Bulan
berbicara tentang pengalamannya sebagai orangJawa tapi besar diluarJawa,
di draf awal saya mendorongnya untuk menghubungkan ceritanya dengan
perspektif multikulturalisme kritis. Di draf akhirnya tanggal26Januari 2017
(yang sudah saya teIjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia di sini) ia menulis
beberapa hal berikut-karena ruang yang terbatas saya tidak bisa mengutip
4 https:llwww.cia.govnibrary/publicationslthe-world-factbooklgeoslid.html
24 I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
semua ceritanya:
Saya tertarik dengan kisah Shinta [dalam Mambu, 2011]. Yang
menarik adalah saya juga mengalarni diskriminasi. Sebagai seorang
Jawa yang 1ahir dan besar di SoE Timor,5 saya sering bingung ketika
orang bertanya saya dari mana. [...] Meskipun orang-orang Timor
tahu saya bukan asli Timor, tetapi karena logat Timor saya, penampilan
non-Timor saya tidak menjadi masalah di sana. [...]
Di tahun pertama saya di UKS\Y, beberapa ternan jengkel
dengan saya karena saya bisa menjawab pertanyaan dosen dan kadang
saya mendapat nilai tertinggi di kelas. Mereka tidak percaya bahwa
"gadis dari daerah terpencil" ini bisa bersaing dengan yang sudah
hidup lama di "pulau maju" (developed is1m.uf) [...]
Bulan lalu mengaitkan kisahnya dengan konsep multikulturalisme yang
sedang ia pelajari:
Sungguh ironis hal-hal yang saya ceritakan di atas terjadi di UKSW di
mana festival budaya Indonesia yang menekankan keberagaman dirayakan
setiap tahunnya. Walaupun universitas ini dikenal sebagai Indonesia mini,
[...] multikulturalisme hanyadirayakan sebagai wisatakultural (cultural tourism).
Menurut Kubota di 1embar kerja (worksheet) minggu ke-2, wisata budaya
identik dengan pendekatan 4F: food, fashion, festival, dan folkdance (Kubota,
2013, hal. 3775). Tidak ada yang salah dengan merayakan [keberagaman],
tapi mungkin kita bisa menambah sesuatu berkaitan dengan nilai moral
keberagaman, atau mengakomodasi isu-isu rasial di sekeliling kita.
[...] [projeksi masa depan Bulan sebagai guru:] Seorang guru
hams membimbing siswanya sadar bahwa apa yang para siswanya
lakukan bisa mengarah pada diskriminasi atau tidak. 'Teaching language
jUnction if identifying racism and discrimination mayprevent students to discriminate
the minoriry and make them to be more open-minded [Mengajarkan fungsi
bahasa untuk mengidentifikasi rasisme dan diskriminasi bisa mencegah
para siswa mendiskriminasi kelompok minoritas dan membuat mereka
5 Nama daerah sudah disamarkan juga.
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar I 25
lebih berpikiran terbuka].
Tata bahasa Bulan di kalimat terakhir dalam Bahasa Inggris memang
tidak sempurna; ia juga tidak memberi contoh fungsi bahasa untuk
mengidentifikasi rasisme dan diskriminasi juga. Namun demikian, inti dari
pesan tertulisnya cukup bagi saya untuk menyimpulkan bahwa Bulan
satu dari lebih dari 25 mahasiswa di kelas Critical Pedagogy and Liter~bisa
berpikir menuju perspektif multikulturalisme kritis yang dari kacamata saya
lebih tinggi derajat pemikirannya dari perspektif liberal, apalagi konseIVatif.
E. KesinJ.pulan
Budaya dan segala keberagamannya tidak bisa dilihat dari artifak dan
perayaannya saja. Budaya mencakup pengendapan maupun pergeseran
pengetahuan dan keyakinan akan suatu konsep (misal: dari konsep liberal
menuju kritis dalam hal multikulturalisme). Tidak mungkin yang sudah
mengendap diganti semuanya dengan yang barn. Saya, misalnya, tidak anti
perayaan keragaman budaya; hanya saja, saya tidakakan berhenti di situ. Saya
akan mendorong mahasiswa saya untuk belajar something beyond (sesuatu yang
lebih dari sekadar) yang sudah mengendap lama dalam mental dan praktek
(contoh: festival budaya), dan mengondisikan mereka untuk memaharni
perspektif kritis di mana mereka bisa lebih sadar akan ketegangan/konflik
rasial atau apapun dalam proses mereka berbudaya.
Dari pengalaman sayasebagaipendidikguru di prodi PBI UKSW dalam
10 tahun terakhir, saya melihatbahwamemaharni konsep dan menyampaikan
konsep yang saya paharni melalui metode ceramah, khususnya dalam
memperkenalkan mahasiswa pada konsep multikulturalisme kritis, adalah
satu hal. Namun, bagaimana kita membuat mahasiswa memaknai konsep
yang kita paharni dengan derajat berpikir yang lebih tinggi (higher-level thinking)
adalah hal lain. Agar higher-level thinking dalam diri pembelajar terjadi, guru/
pendidik guru perlu: (a) Terus menjadi pembelajar dalam hal mengajar
dan ini bisa diinspirasi dari pemahaman atas struktur-struktur makro (misal:
kurikulum berbasis SNPT di Indonesia) dan penelitian tindakan kelas; (b)
memupuk mediasi dialogis dengan pembelajar sehingga peserta didik dan
guru memiliki kesempatan untuk saling membagikan pengalamannya, serta
26 I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
menganalisa pengalaman-pengalaman tersebut dengan perspektif teoritis
tertentu (seperti multikulturalisme kritis).
Pengalaman saya menginvestigasi pengembangan kapasitas saya dan
mahasiswa saya dalam memahami konsep multikulturalisme kritis masih
sangat terbatas. Usaha saya berdialog dengan mahasiswa tidak selalu
berhasil-mereka sering diam saja di kelas. Penelitian-penelitian 1anjutan
yang perlu dilakukan adalah yang 1ebih ko1aboratif sifatnya. Artinya, para
guru/pendidikguru yang berhaluan kritis perlu tergabung dalam pengamatan
di kelas terhadap ternan sejawat (peer-observations) atau kelompok-kelompok
studi (study groups) saat bereksperimen dengan pedagogi kritis. Bentuk-bentuk
lain dari mediasi dialogis (misal: mengundang pembicara tamu; melihat
film dokumenter; debat; simulasi tindakan advokasi bagi kaum termarginal,
dsb.) untuk memperkuat pemahaman pembe1ajar terhadap konsep seperti
multikulturalisme kritis (atau perspektif-perspektif kritis 1ainnya) perlu
dilakukan juga. Masih banyak gawe kita ke depan.
E Daftar Pustaka
Block, D. (2015). Social class in applied linguistics. Annual Rcuiew ifAppliedlinguistics, 35, 1-19. doi: 10.1017IS0267190514000221
Blommaert,J., Spotti, M., & Van der Aa,J. (2015). Complexity, mobility,
migration. 7ilburg Papers in Culture Studies, 137, 1-20.
Convertino, C. (2016). Beyond ethnic tidbits: Toward a critical and
dialogical model in multicultural socialjustice teacher preparati~n.Intonational
Journal ifMulticultural Edu£ation, 18(2), 125-142.
Freire, P. (197012000). Pedagogy if the oppressed (M. B. Ramos, Trans.)
(30th anniversary edition). New York, NY: Continuum Books. (Original work
published 1968).
Johnson, K. E. (2006). The sociocultural tum and its challenges for
second language teacher education. TESOL Qyarter!J, 40(1), 235-257. doi:
10.2307/40264518
Johnson, K. E. (2009). Second language f£acher edu£ation: A sociocultural
perspectWe. New York, NY: Routledge.
Johnson, K. E. (2015). Reclaiming the relevance of 12 teacher education.
85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar I 27
The Modern LanguageJournal, 99(3),515-528. doi: 10.1 11 l/modl.l2242
Kubota, R. (2004). Critical multiculturalism and second language
education. In B. Norton, & K. Toohey (Eds.), Critical pedagogies and language
learning (pp. 30-52). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kubota, R. (2013). Multiculturalism and second language learning.
In C. A. Chapelle (EeL), The enqclopedia of appliullinguistics (pp. 3774-3781).
Malden, MA: Blackwell Publishing.
Mambu,]. E. (2010). Personalizing critical pedagogies in foreign language
education. Yogyakarta, Indonesia: Sanata Dharma University Press.
Mambu,]. E. (2011). English for advocacy purposes: Critical pedagogy's
contribution to Indonesia. TheJournal ofAsia TEFl., 8(4), 135-173.
Norton, B. (2013). 1denti!Y and language learning: Extending the conversation
(2nd ed.). Bristol, UK: Multilingual Matters.
Norton, B. & Toohey, K. (Eds.). (2004). Critical pedagogies and language
learnin& Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Pennycook, A. (2007). Global Englishes and transcultural floWs. New York,
NY: Routledge.
Vertovec, S. (2007). Super-diversity and its
Etlmic and Rm:io1 Studi£s, 30(6), 1024-1054. doi:
o~/10.1080/01419870701599465
28 I 85 Tahun Tribute to ProfH.A.R. Tilaar
implications.
http://dx.doi.