SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum [email protected]Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286 ISSN : 2684-8791 (Online) 271 Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA SEBAGAI PEDOMAN PEMBANGUNAN NASIONAL Robinsar Marbun¹ [email protected]Ali Imran Nasution² [email protected]Wahida Apriani³ ¹⁾²⁾³⁾Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional“Veteran”Jakarta Abstract After the removal of the State Policy Guidelines (GBHN), has made a National Development Planning System (SPPN) which is legalized through Law Number 25/2004 on SPPN with the concept of long-term, medium-term and annual development planning for the central and regional levels. However, it has not yet fulfilled the criteria as the State Policy but only the Executive Policy, therefore there is a need to revive the GBHN as a guide to national development. This writing aims to find out how the legal certainty of the GBHN will be turned on and how urgent the GBHN Re- Existence itself is. This type of research is normative with literature study data collection techniques, as well as carrying out a philosophical approach and legislation. Ideally, the Re-Existence of GBHN through the 1945 Constitution, this is because SPPN as the GBHN model is a legal document for the organizers of national development based on popular sovereignty. This means that it is the people through their representatives in the MPR that designs, establishes and monitors it. So ideally, the existence of GBHNthrough the 5th amendment to the 1945 Constitution is limited. Keywords: GBHN, National Development, Limited Amendments. Abstrak Pasca dihilangkannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN),dibuat Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang dilegalisasi melalui UU No.25/2004 tentang SPPN dengan konsep perencanaan pembangunan nasional jangka panjang, menengah, dan tahunan untuk tingkat pusat dan daerah.Belum memenuhi kriteria sebagai haluan negara melainkan hanya haluan eksekutif.Perlu ada penghidupan kembali GBHN sebagai pedoman pembangunan nasional. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum dari GBHN yang akan dihidupkan dan urgensinya Re-Eksistensi GBHN itu sendiri. Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif dengan teknik pengumpulan data studi pustaka,dengan pendekatan filosofis dan perundang-undangan. Idealnya Re-Eksistensi GBHN melalui UUD 45, hal ini dikarenakan SPPN sebagaimana model GBHN adalah dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Rakyat melalui wakil-wakilnya di MPR yang merancang, menetapkan dan mengawasi sehingga idealnya dari Re-eksistensi GBHN melalui amandemen ke 5 UUD 45 secara terbatas. Kata kunci: GBHN, Pembangunan Nasional, Amandemen Terbatas.
16
Embed
TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
presiden.(Tempo.co,2019). Namun, tak sedikit yang menentang gagasan menghidupkan kembali
GBHN. Faisal Basri, ahli ekonomi dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa sejak dekade 1990-
an, banyak kebijakan ekonomi yang tidak lagi didasarkan pada Repelita. Repelita dan GBHN memang
pernah menjadi instrumen perencanaan pembangunan yang efektif. Tetapi, hal tersebut tidak terlepas
dari kondisi politik yang ada saat itu, seperti sistem politik Orde Baru yang monopoli menguasai
wilayah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dwi fungsi ABRI, serta kooptasi pemerintah terhadap
semua organisasi sosial dan profesi.(Basri,2016)
Alternatif Bentuk Hukum Terhadap Re-Eksistensis GBHN Indonesia adalah negara hukum yang konstitusional dan demokratis, dengan demikian segenap
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memiliki daya ikat yang sama. Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut juga menegaskan hirarki peraturan perundang-undangan
yaitu bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih bawah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di atasnya. Prinsip negara hukum juga menegaskan bahwa segenap
penyelenggara negara dan seluruh rakyat wajib menjalankan segala undang-undang sebagaimana
mestinya, termasuk undang-undang yang menyangkut semacam GBHN Permasalahan terjadi karena
tidak ada peraturan perundang-undangan yang membuat korelasi antara program nasional, program
di daerah dan antar daerah. Untuk itu diperlukan Undang-Undang Pokok tentang garis-garis besar
daripada haluan Negara yang menjadi rujukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu segala peraturan perundang-undangan, baik yang
berupa regeling maupun beschiking, bahkan aspirasi masyarakat dapat dijadikan bahan bagi
penyusunan garis- garis besar daripada haluan negara. Yang perlu dilakukan adalah penyempurnaan
dan konsolidasi serta sinkronisasi berbagai ketentuan-ketentuan tersebut agar arah, haluan, dan
strategi pembangunan nasional yang berkelanjutan menghasilkan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang kokoh.
Konsekuensi Hukum Diberlakukannya Haluan Negara Hukum ditegakkan tentu akan timbul suatu konsekuensi karena pada dasarnya didalam unsur-
unsur ketentuan hukum mengenal adanya suatu akibat hukum. Lalu dalam hal ini, apakah perlu ada
konsekuensi hukum apabila haluan Negara ditetapkan untuk dijadikan pedoman penyelenggaraan
oleh lembaga-lembaga Negara dan pemerintah? Maka jawabannya adalah perlu ada konsekuensi
hukum diberlakukannya haluan Negara. Hukum perlu ditegakkan demi terwujudnya
penyelenggaraan Negara yang tertib, aman, dan terbebas dari suatu kecurangan. Beberapa cara
menegakan hukum adalah: ( Sutianingsih,2017)
a. Jika hukum merupakan perwujudan norma masyarakat yang dikehendaki bersama pasti akan
mudah pelaksanaannya.
b. Jika tersedia sanksi hukum yang tegas maka hukum akan mudah tegak dan dilaksanakan.
c. Jika penegak hukum dan pihak yang terkait mampu dan mau menegakkan hukum sesuai
peraturan perundang-undangan.
Jadi tiga cara ini harus dilakukan agar penegakan pelaksanaan GBHN bisa dilakukan dengan
baik dan penuh tanggung jawab. Konsekuensi hukum apabila suatu haluan negara yang ditetapkan tidak dijadikan pedoman penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga negara dan pemerintah baik
di tingkat pusat maupun daerah, maka dilihat dari bentuk hukum yang mewadahi haluan negara
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
Penting Atau Tidaknya Re-Eksistensi Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki cita-cita dan tujuan nasional yang secara jelas
telah tertuang dalam pembukaan konstitusi yakni termaktub dalam alinea ke 2 dan 4 Pembukaan
UUD 1945. Merujuk alinea kedua Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut bangsa Indonesia memiliki
cita-cita “.....Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Selanjutnya
merujuk kepada alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945 bangsa Indonesia mempunyai empat
tujuan yang ingin dicapai yaitu pertama, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, kedua, mencerdaskan kehidupan bangsa, ketiga, meningkatkan kesejahteraan umum, dan
keempat, ikut serta menciptakan ketertiban dunia berdasakan perdamaian abadi dan keadilan
sosial.Demi tercapainya cita- cita dan tujuan itu pemerintah dan seluruh rakyat harus bekerja cerdas,
berpikir keras, dan tidak segan belajar dari sejarah. Jalan terbaik untuk menata bangsa adalah dengan
merumuskan panduan perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang pada akhir akhir ini
mencuat kembali pentingnya hal itu. Ada yang menyebut panduan itu dengan rencana pembangunan
semesta berencana, ada yang nyaman dengan road map pembangunan dan sebutan lainnya yang
intinya menginginkan kembali adanya garis-garis besar daripada haluan negara atau state guide lines
development policy. Aspirasi yang menginginkan adanya perubahan yang bergulir akhir-akhir ini
tidak lain karena dalam perjalanan berbangsa dan bernegara sejak reformasi digulirkan ditengah
masyarakat dirasakan adanya masalah mendasar bahwa arah pembangunan tidak sejalan dengan cita-
cita dan tujuan nasional yang termasuk dalam Pembukaan UUD, yang terkait dengan: pertama:
sistem perekonomian nasional saat ini yang cenderung larut pada sistem perekonomian liberal,
kedua: sistem demokrasi politik yang juga telah larut ke demokrasi liberal, ketiga: tidak adanya
mekanisme umum dalam mengembangkan budaya nasional, keempat: dalam proses menuju cita-cita
dan tujuan nasional tidak adanya road map yang mengikat, kelima: melemahnya moral dan etika
dalam bermasyarakat dan bernegara, keenam: hasil pembangunan tidak merata dan sangat persial,
dan tidak adanya kesinambungan program pembangunan. Presiden terpilih sama halnya dengan
Gubernur, Bupati, Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat hanya berkewajiban untuk
menjalankan janji-janji politiknya yang tertuang dalam dokumen visi dan misi seperti yang
ditawarkan pada saat kampanye.
Pengalaman menunjukkan banyak para Pimpinan tersebut dipilih kembali karena ’kekuatan’
yang dibangunnya selama 5 tahun periode pemerintahannya dan tidak ada relevansi yang mendasar
apakah mereka telah berhasil atau tidak dalam hal merealisasikan visi dan misi tersebut. Mereka
bekerja melaksanakan pembangunan tidak didasari oleh suatu pedoman yang mengikat secara
nasional, karena tidak adanya garis-garis besar dari pada haluan negara. Dengan demikian maka
masing-masing tingkatan pemerintahan yaitu Kabupaten, Kota, Provinsi dan Tingkat Nasional tidak
terkoordinasikan dan tidak ada lagi ikatan untuk saling berkontribusi dalam rangka mendekatkan
kepada cita cita dan tujuan nasional yang tertuanag dalam Pembukaan UUD. Sinergi dan sinkronisasi
program serta anggaran tidak terjadi.Walaupun ada UU No 17 tahun 2003, tentang Keuangan
Negara, UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17
tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Daya ikat dan daya
rekat dari UU tersebut lemah karena sistem ketatanegaraan sudah berubah. Merespons betapa
pentingnya road map pembangunan/perencanaan pembangunan semesta berencana(RPSB)/GBHN
atau apapun namanya memang menjadi pekerjaan rumah para elit. GBHN harus menjadi acuan bagi
setiap kabinet untuk merumuskan program pemerintahannya dalam setiap periode, sehingga pada
setiap periode pemerintahan, terjadi kesinambungan untuk melanjutkan hal hal yg baik dari
pemerintah sebelumnya dan mengambil langkah-langkah baru yang lebih baik untuk menggenapkan
upaya meraih capaian masa lalu. Secara filosofis road map/RPSB/GHHN menjadi koridor
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan cita cita dan tujuan nasional.
Perjalanan yang diharapkan dapat berjalan secara tertib, teratur, sinambung, dan efisien. Dengan
demikian garis besar haluan negara berfungsi sebagai lorong atau koridor yang menghubungkan
program program pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang berkali kali sampai
tercapainya cita cita bangsa.
Pro Dan Kontra Penghidupan Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara Pada hakikatnya suatu perencanaan pasti memiliki pro dan kontra didalamnya, terlepas yang
mana benar dan salah tidak terkecuali dengan rencana penghidupan kembali GBHN yang belum
memiliki ketetapan hukum, hal ini jelas sangat menarik untuk diperdebatkan guna menentukan masa
depan bangsa dan negara agar mencakup kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan politik atau
golongan tertentu saja. Sebagai berikut Penulis menemukan alasan mengapa pihak yang “Pro”
terhadap penghidupan kembali GBHN, dikarenakan:
a. Negara seluas Indonesia dengan pluralisme yang ada memerlukan haluan negara sebagai
pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan.
b. Diperlukan integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Diperlukan sistem
perencanaan pembangunan yang berbasis kedaulatan rakyat;
c. Keberadaan suatu Garis-Garis Besar Haluan Negara dipandang mendasar dan urgent
mengingat tidak saja proses pembangunan nasional memerlukan panduan arah dan strategi baik
dalam jangka pendek, menengah dan panjang, tetapi juga yang lebih mendasar adalah guna
memastikan bahwa proses pembangunan nasional tersebut merupakan manifestasi dan
implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa Pancasila.
Sedangkan Penulis menemukan alasan mengapa pihak yang “Kontra” terhadap
penghidupan kembali GBHN, dikarenakan :
a. Memunculkan kembali GBHN merupakan pengingkaran terhadap penegasan sistem presidensial;
b. Perencanaan pembangunan nasional sudah cukup diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yang kemudian
dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN);
c. Kesinambungan pembangunan bukan disebabkan oleh ada atau tidaknya GBHN, tetapi lebih
disebabkan oleh perilaku penyelenggara negara;
d. Pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku, dan peraturan perundang-undangan lainnya sudah
merupakan haluan negara bagi seluruh penyelenggaraan negara.
e. Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku, dan peraturan perundang-undangan lainnya sudah
merupakan haluan negara bagi seluruh penyelenggaraan negara.
f. Namun terdapat permasalahannya UU SPPN dan RPJPN memiliki kekurangan; a)
Hasilnya berupa dokumen perencanaan yang tidak applicable, tidak mudah diakses, dan belum tentu
dijadikan acuan dalam penyusunan RAPBN dan program prioritas; b) Tidak mampu mengikuti
perkembangan dan kebutuhan masyarakat, Selain itu terdapat kekurangan sistem RPJP dan RPJM
yang ada sekarang adalah: a) Cenderung terfokus pada visi misi pemilihan presiden lima tahunan;
b)Cenderung didominasi oleh perspektif pembangunan ekonomi; c) Cenderung adanya kepentingan
pemerintahan eksekutif.Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Ketetapan MPR akan hidup kembali
dengan status hierarkis di bawah UUD tetapi diatas UU. Bagaimanapun juga rumusan GBHN tidak mungkin
tidak berkenaan dengan nilai-nilai, norma, dan prinsip-prinsip pembimbing dan pengarah yang bersifat umum,
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
abstrak, dan fundamental, sehingga tidak akan mungkin mengurangi kebebasan Presiden menyusun
programnya sendiri sesuai dengan janji kampanye. Namun, visi dan misi calon presiden, calon gubernur, calon bupati,dan calon walikota bagaimanapun juga harus bersifat terpadu, berkesinambungan dan berkelanjutan
secara nasional berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan haluan- haluan negara dalam garis-garis besarnya yang
tertuang dalam GBHN dan perencanaan nasional jangka panjang dan menengah menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Agenda Perubahan Ke-V UUD 1945 ini perlu disepakati segera, karena waktu yang tersedia sangat terbatas. Jika RPJP berusia 20 tahunan, maka sebaiknya GBHN berusia 25 tahunan.
JPJP yang sekarang berlaku adalah RPJP Nasional 2005-2025 yang jika dilanjutkan dengan JPJP Nasional
berikutnya akan jatuh pada tahun 2025-2045 yang penyusunan dan penetapannya tentu akan dilakukan di masa pemerintahan Presiden berikutnya. Akan tetapi, jika GBHN disepakati untuk 25 tahun, maka GBHN baru
nantinya adalah GBHN 2021-2045 yang dapat dirumuskan dan ditetapkan masih di masa pemerintahan
Presiden Joko Widodo dan Makhruf Amin. Namun, untuk itu, waktu yang tersedia untuk menuntaskannya
hanya 1 tahun, yaitu tahun 2020, dengan syarat bahwa di masa 3 bulan pertama persidangan MPR pada bulan Oktober-Desember 2019, Perubahan Ke-V UUD 1945 sudah harus ditetapkan sebagaimana mestinya sebagai
dasar untuk disusun dan ditetapkannya GBHN 2021-2045 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun
2020.
Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
dan Penting atau tidaknya Re-Eksistensi Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai Pedoman
Pembangunan Nasional
Secara subtantif GBHN merupakan landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden
yang disusun secara sentralistis dan bersifat top down serta eksklusif. GBHN paling tidak sudah
diterapkan ketika pada masa pemerintahan Orde Lama. MPRS pada waktu itu menetapkan
sedikitnya tiga TAP MPRS yaitu: TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang manifesto politik RI
sebagai GBHN; TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan
Nasional Semesta Berencana dan TAP MPRS No. IV/MPRS/1960 tentang Pedoman Pelaksanaan
Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. Pola inilah yang kemudian dilanjutkan
oleh Pemerintahan Orde Baru dalam merumuskan perencanaan pembangunan. GBHN kemudian
dirubah ketika MPR mengesahkan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004.
Dalam TAP ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk secara bersama-sama
menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana
Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN. Sebagai realisasi ketetapan tersebut Presiden
dan DPR membentuk UU No.25 Tahun 2000 yang kemudian disempurnakan di akhir masa
pemerintahan Megawati dengan UU No.25 Tahun 2004. Dengan adanya pendapat salah satu pakar
hukum yang menyatakan bahwa UUD 1945 lama menganut paham pembagian kekuasaan yang
bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap
terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun
sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan
lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.
Dalam perpspektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan
perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Karena itu, dalam UUD 1945 lama tidak diatur
pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif.
Pada intinya tidak ada produk buatan manusia yang tidak bisa diubah. Namun demikian juga
tidak boleh ada perubahan jika substansi dan proses yang sudah ada lebih baik dari yang nantinya
akan digantikan. Sesungguhnya dibanding GBHN yang lalu, secara substansi dan proses, pengganti
GBHN yakni RPJP, RPJM dan lain-lain sudah cukup baik. Namun bila akan dikembalikan kepada
GBHN, maka tentu harus lebih baik dari GBHN yang lalu yang sentralistis. Wacana pengembalian
diakses pada tanggal 10 November 2019, Pukul 8.20 WIB.
Kansil, (1980)Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pradnya Paramita. Kelsen,H.(1961).General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel,diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,Bandung, Cetakan
I, Nusamedia dan Nuansa,2011.
Ketentuan umum Pasal 1 Angka 1-2 UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN.
Ketentuan umum UU No. 17 Tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional
Kusnardi,M., dan Harmaily,I.(1980). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,Jakarta,PT Sastra
Hudaya. Le Roy,C.(1981).Kekuasaan Ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo,Semarang,.
Nggilu,N,M.(2014).Hukum Dan Teori Konstitusi; Perubahan Yang Partisipatif Dan
Populis, Yogyakarta,UII Press.
Prabowo,D.(2019).“Kritik Demokrasi Indonesia, Megawati Sebut Seperti Poco-poco”